You are on page 1of 3

3.

Pembahasan Pengobatan / terapi An. N (1,5 tahun) di paviliun kemuning RSU Tangerang dimulai sejak

tanggal 3 Maret 2012. An. N mengalami demam sudah hampir 3 minggu. Dua hari sebelum masuk rumah sakit An. N mengalami demam disertai kejang. Oleh orang tua dibawa ke bidan terdekat dan diberikan terapi paracetamol untuk menurunkan demam dan antibiotik untuk pengobatan infeksi. Setelah pemberian obat, demam sempat turun namun terjadi kejang kembali. Lalu An. N dibawa ke klinik (dokter spesialis anak) dan diberikan terapi pertama penanganan kejang yaitu diazepam suppositoria (Hardiono, 2006). Dokter menyarankan untuk dirawat karena khawatir akan terjadinya kejang demam kembali. Keesokan harinya sebelum masuk rumah sakit terjadi kejang dan demam kembali sehingga segera dibawa ke RSUD Balaraja dan diberikan terapi yang sama yaitu diazepam suppositoria dan keadaan An. N normal kembali, namun karena ruang perawatan di RSUD Balaraja sedang penuh, An. N dirujuk ke RSU Tangerang. Pada tanggal 2 Maret 2012, An. N masuk IGD RSU Tangerang dengan kesadaran compus mentis, lemas, frekuensi nadi 100x/menit, frekuensi pernapasan 28x/menit, suhu 37oC, Kepala : UUB belum menutup; Thorax: Cos BJ I-II (N), murmur (-), gallop (-); Pulmo: Ronki -/- , wheezing -/-; Abdomen: BU (+); Ext: Akral hangat, CTR <3. Dengan kondisi pemeriksaan fisik tersebut, An. N didiagnosis mengalami kejang demam komplek yang disebabkan oleh meningitis. Pada tanggal 3 Maret 2012, An. N diberikan terapi Cefotaxime 2 x 500 mg (IV), Paracetamol sirup 3 x 1 cth (bila demam), diazepam 3 x 1 mg (po), dexametason 1 x 5 mg selanjutnya 3 x 1,5 mg (IV). Pemberian Antibiotik didasarkan dengan jumlah lekosit pasien yang tinggi, hal ini menandakan telah terjadi infeksi oleh mikroorganisme. Cefotaxime digunakan sebagai antibiotik golongan sefalosporin generasi III dalam pengobatan meningitis selama 10 14 hari yang disebabkan oleh berbagai kuman enterik gram negatif ( S. Pneumoniae, N. Meningitidis, H. Influenzae) (Pharmacotherapy Handbook 7th Ed, Dipiro). Paracetamol diberikan untuk penangan demam yang disebabkan oleh infeksi dan dapat dikombinasikan dengan antibiotik cefotaxime (Pharmacotherapy Patophysiologic Approach Dipiro 2005). Pemberian Dexametason digunakan sebagai terapi tambahan untuk pengobatan meningitis (Pharmacotherapy Handbook 7th Ed, Dipiro). Diazepam digunakan sebagai terapi penanganan pertama kejang (Farmakologi dan Terapi Ed 5, FKUI). Pada tanggal 4 Maret 2012, An. N masih mendapat terapi yang sama dengan sebelumnya. Tanggal 5 - 6 Maret 2012 An. N masih mendapat terapi yang sama dengan sebelumnya dengan peningkatan dosis penggunaan cefotaxime 3 x 500 mg dan dexametason 3 x 1,5 mg. Dilakukan test mantoux pada tanggal 5 Maret 2012 untuk melihat apakah pasien memiliki penyakit TB. Tanggal 6 Maret 2012 An. N mendapat terapi tambahan Fenitoin Loading dose 20o mg dalam NaCl 0,9% 20 ml, 12 jam kemudian pemberian fenitoin menjadi 2 x 25 mg (IV). Fenitoin di

sini akan menggantikan terapi diazepam sebagai anti konvulsif karena apabila setelah pemberian diazepam pasien sudah tidak mengalami kejang lagi, pemberian antikonvulsan longer-acting harus diberikan, dalam hal ini yaitu pemberian fenitoin (Pharmacotherapy Handbook 7th Ed, Dipiro). Pada pembacaan hasil tes mantoux tanggal 7 Maret 2012, An. N positif menderita TB sehingga ada tambahan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), yaitu Isoniazid 1x95 mg po (10 mg/kg/hr), Rifampisin 1x150 po (15mg/kg/hr) sebelum makan, Pirazinamid 1x250 po (26 mg/kg/hr), Ethambutol 1x200 po (21 mg/kg/hr). Obat obat tuberkulosis yang digunakan An. N merupakan obat tuberkulosis golongan primer dan merupakan pemberian OAT jangkat pendek kategori I dengan masa pengobatan 2 bulan dan tahap lanjut pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) kategori I
dengan memberikan isoniazid (H) dan rifampisin (R) 3 kali seminggu selama 4 bulan. (http://www.klinikindonesia.com/kamus-kedokteran-o/obat-anti-tuberkulosis.php). Selain pemberian OAT, antibiotik yang semula cefotaxim diganti dengan ceftriaxone 2 x 475 mg (100 mg/kg/hari), hal ini tidak mempengaruhi kerja antibiotik tersebut untuk pengobatan meningitis karena ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin golongan III yang juga digunakan untuk pengobatan meningitis (Pharmacotherapy Handbook 7th Ed,

Dipiro). Ceftriaxone juga digunakan sebagai antibiotik profilaksi operasi berdasarkan data tanggal 6 Maret 2012, pasien mengeluarkan cairan jernih yang diduga dari kepala dan kemungkinan akan dilakukan operasi. Selain itu pemberian dexametason diganti dengan prednison, hal ini juga tidak mempengaruhi kerja dexametason sebagai terapi tambahan dalam pengobatan meningitis

karena prednison dan dexametason merupakan golongan anti inflamasi golongan kortikosteroid dan prednison juga merupakan obat meningitis tubekulosis (Drug Information Handbook 18th Ed). Tanggal 8 Maret 2012, obat obat yang digunakan masih sama seperti hari sebelumnya, yaitu OAT, ceftriaxone, prednison dan fenitoin. Pada tanggal 9 Maret 2012 terdapat keluhan pasien sudah 7 hari tidak buang air besar sehingga pasien diberikan laksativ golongan pencahar garam dan pencahar osmotik yaitu Lactulax (Lactulose). Dikarenakan tingkat kesadaran pasien, lactulax digunakan karena feses yang dihasilkan lunak sehingga pasien tidak perlu mengejan feses dapat keluar dengan sendirinya. (Farmakologi dan terapi Ed 5, FKUI) Pada hari ini juga dilakukan pengukuran tekanan darah dan hasilnya 120/70 mmHg. Untuk anak anak, tekanan darah dengan angka tersebut termasuk hipertensi tingkat I (104/57 124/70 mmHg) sehingga diberikan terapi captopril 3 x 3 mg po. Pemberian obat tanggal 9 Maret 2012 - 15 Maret 2012 sama, yaitu, Ceftriaxone pada pagi hari saja setelah itu STOP, OAT, prednison, lactulax, captopril, dan fenitoin. Pada tanggal 10 Maret 2012 pasien didiagnosis hiponatremia berulang, dimana hasil pemeriksaan elektrolit Natriumnya pada tanggal 6 Maret 2012 sebesar 119,22 mmol/L dan tanggal 9 Maret 2012 yaitu 129,42 mmol/L. Angka angka tersebut menunjukkan kadar natrium yang

selalu dibawah batas normal yaitu 137 150 mmol/L, namun pasien tidak mendapatkan terapi pengobatan. Dari awal masuk pasien juga memiliki kadar hemoglobin yang rendah yaitu dibawah 10,5 13 g/dL namun pasien tidak diberikan terapi penambah darah. Tanggal 10 Maret 2012 hasil pemeriksaan CT Scan menyatakan bahwa pasien menderita hidosepalus ringan dan dapat dilakukan operasi yang dilaksanakan pada tanggal 15 Maret 2012. Pada tanggal 15 Maret 2012 Antibiotik Ceftriaxone diganti dengan ceftizoxime 2 x 400 mg dan pada tanggal 17 Maret 2012 dosis pemakain ditingkatkan menjadi 4 x 500 mg, hal ini tidak mempengaruhi kerja antibiotik
tersebut untuk terapi meningitis karena ceftizoxim merupakan golongan sefalosporin golongan III yang juga digunakan untuk pengobatan meningitis (Pharmacotherapy

Handbook 7th Ed, Dipiro). Pada tanggal ini juga pasien diberikan ketorolac 3 x 7,5 mg dan ranitidin 3 x 12,5 mg. Nyeri paska operasi merupakan masalah utama yang dihadapi pasien, oleh karena itu diberikan ketorolac yang merupakan obat NSAID yang digunakan untuk indikasi nyeri akut pasca bedah yang sedang hingga berat setingkat dengan opioid (Drug Information Handbook 17th Edition). Sebenarnya pemberian ketorolac pada anak dibawah 12 tahun tidak dianjurkan, namun karena tidak ada sediaan injeksi analgesik yang tersedia selain ketorolac sehingga untuk pemberiannya diberikan dengan dosis terkecil. Ketorolac memiliki efek samping nyeri gastrointestinal, tukak gastrointestinal dan perdarahan gastrointestinal. Oleh sebab itu diberikan ranitidin untuk mengatasi masalah pada gastrointestinal. Pemberian Ketorolac diberikan mulai tanggal 15 Maret 2012 16 Maret 2012 dan pemberian ranitidine mulai tanggal 15 maret 2012 19 Maret 2012. Pada tanggal Pada tanggal 16 Maret 2012, pemberian lactulax dihentikan karena feses tetap tidak keluar sehingga pada tanggal 16 Maret 2012 - 19 Maret 2012 obat obat yang digunakan sama yaitu Ceftizoxime, OAT, Prednison, Captopril, dan fenitoin. Pada tanggal 20 Maret 2012, pasien diberikan microlax 1x/tube sebagai laksativ pengganti lactulax. Microlax memiliki 3 cara kerja sekaligus yaitu: Na lauril sulfoasetat menurunkan tegangan permukaan feses sehingga feses mudah terbasahi, Sorbitol, Na Sitrat menyerap air ke dalam usus besar / rektum untuk melunakkan feses yang keras, dan PEG 400 melumasi rektum sehingga feses mudah dikeluarkan. Dengan penggunaan microlax pada tanggal 20 Maret 2012 dan 21 Maret 2012, An. N sudah mulai buang air besar sedikit sedikit.

You might also like