You are on page 1of 19

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN

Pedagang Kaki Lima (PKL) telah menjadi fenomena yang lazim terdapat pada kotakota besar di Indonesia. Pemerintah Daerah sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan untuk mengelola dinamika masyarakat, mempunyai kebijakan yang berbeda-beda dalam menyikapi fenomena tersebut (PKL). Sejalan dengan uraian di atas, dalam penjelasan UU. No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, disebutkan bahwa Usaha kecil (termasuk PKL) merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperanan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya. Bahkan PKL, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Selain itu, kelompok PKL mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Terlepas dari potensi ekonomi sektor informal PKL, maraknya keberadaan PKL di kota-kota besar di Indonesia kerap menimbulkan masalah baik bagi pemerintah setempat, para pemilik toko, dan pengguna jalan. Tidak sedikit para pemilik toko dan pengguna jalan, merasa terganggu dengan membeludaknya PKL. Sejalan dengan semangat otonomi daerah, setiap pemerintah daerah berupaya mengembangkan berbagai strategi atau kebijakan untuk menangani persoalan PKL dari mulai yang bersifat persuasif hingga represif. Pilihan strategi terkait dengan cara pandang pemerintah terhadap PKL. Jika pemerintah melihat PKL sebagai potensi sosial ekonomi yang bisa

dikembangkan, maka kebijakan yang dipilih biasanya akan lebih diarahkan untuk menata PKL, misalnya dengan memberikan ruang usaha bagi PKL, memformalkan status mereka sehingga bisa memperoleh bantuan kredit bank, dan lainnya. Namun sebaliknya, jika PKL hanya dilihat sebagai pengganggu ketertiban dan keindahan kota, maka mereka akan menjadi sasaran penggusuran dan penertiban. Besarnya arus migrasi desa-kota akan menimbulkan dampak demikian besar pada daya dukung lingkungan dengan gejala munculnya pemukiman liar (squatter settlement) dan pengangguran yang akan mempertajam persaingan memperebutkan lapangan pekerjaan dan pemukiman. Para pendatang dari desa ini sebagian besar tidak memiliki keahlian atau keterampilan yang dibutuhkan sektor modern, sehingga mereka harus menjalani kehidupan marginal selama bermukim di perkotaan. Itu pula sebabnya di beberapa sudut kota sering ditemukan orang hidup menggelandang, tidur di emper toko, kios pasar atau dikolong jembatan yang menampilkan kesengsaraan manusia di kota-kota besar yang sedang tumbuh pesat. Untuk dapat bertahan hidup, maka tidak ada jalan lain , selain berusaha di sektor-sektor ekonomi informal. Dari dampak gejala urbanisasi semacam inilah kemudian mulai muncul berbagai jenis dan tingkatan usaha di sektor ekonomi informal, mulai dari pengemis jalanan, pengamen, pengumpul barang bekas (barang rombengan), pemungut puntung rokok, kaca, dan kertas bekas, tukang copet,calo karcis dan pelacur jalanan, tukang becak, hingga pedagang kaki lima berbagai jenis usaha. Khusus mengenai PKL, keberadaan mereka tidak pernah surut dari berbagai masalah, baik yang datang dari Pemerintah Kota maupun kehadiran pihak ketiga yakni para preman.

B. PENGERTIAN PEDAGANG KAKI LIMA Pengertian umum PKL adalah orang yang melakukan usaha dagang dan atau jasa, di tempat umum baik menggunakan atau tidak menggunakan sesuatu, dalam melaksanakan kegiatan usaha dagang.

Tempat usaha PKL adalah tempat umum, yaitu tepi-tepi jalan umum, trotoar, dan lapangan serta tempat lain di atas tanah negara yang ditetapkan oleh Walikota Surakarta. PKL adalah perorangan yang melakukan penjualan barang-barang dengan

menggunakan bagian jalan atau trotoar dan tempat-tempat untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya. PKL pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu PKL yang mobile (tidak menetap), PKL yang tidak mobile (menetap), PKL static knock down (menggelar barang dagangannya pada waktu dan tempat tertentu). Munculnya sektor informal khususnya Pedagang Kaki Lima di kota-kota besar di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari akibat pembangunan pertanian yang dikenal dengan revolusi hijau pada awal Pemerintahan Orde Baru. Keberadaan sektor informal khususnya Pedagang Kaki Lima di perkotaan lebih banyak dilihat oleh Penguasa sebagai parasit yang mengganggu ketertiban dan keindahan wajah kota, sehingga kota besar seperti Jakarta pernah menerapkan kebijakan pintu tertutup bagi migran asal pedesaan ini. Belum tuntas masalah ini ditangani, justru pada putaran berikutnya, terjadi peningkatan pesat jumlah Pedagang Kaki Lima di kota-kota besar di Jawa sebagai akibat krisis ekonomi global tahun 1997 yang lalu. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, sektor informal di wilayah perkotaan Indonesia kembali menunjukkan pertumbuhan yang pesat. Menurut para ahli, meningkatnya sektor informal mempunyai kaitan dengan menurunnya kemampuan sektor modern (industri) dalam menyerap pertambahan angkatan kerja baru di kota. Di pihak lain pertumbuhan angkatan kerja baru di kota-kota besar sebagai akibat langsung dari migrasi desa-kota jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan kesempatan kerja. Kondisi ini telah menambah jumlah pengangguran termasuk penganguran usia muda dan terdidik di perkotaan. Tumbuhnya sektor informal di kota-kota besar di Indonesia tidak dapat dilihat secara parsial dari sudut pandang perkotaan saja, akan tetapi harus pula dilihat dari latar belakang sejarah arus migrasi desa-kota yang sejak dekade 1970,1980 hingga 10 tahun terakhir terus menunjukkan trend peningkatan.

Pertama, sangat sempitnya luas usaha tani, kedua, akan ada sejumlah besar petani yang tidak memiliki tanah pertanian, dan ketiga akan terjadi keadaan dimana kepemilikan tanah pertanian terpusat pada segelintir orang kaya saja. Kondisi sedemikian itu telah menyebabkan tekanan ekonomi di satu pihak terasa berat, sementara di pihak lain hampir tidak ada lagi sumber ekonomi yang memadai yang dapat diusahakan di pedesaan menyebabkan golongan penduduk miskin pedesaan terpolarisasi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah mereka yang tetap bertahan di pedesaan dengan segala kemiskinannya, sementara golongan lainnya (yang produktif) melakukan migrasi ke kota-kota besar dengan berbagai alasan dan caranya masing-masing.

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH

A. PERNYATAAN VISI DAN MISI 1. V i s i Mewujudkan Sumatera Barat yang tangguh, bersih dalam semangat kebersamaan 2. M i s i

a. Mewujudkan Sumberdaya Manusia yang berkualitas dan mempunyai tanggungjawab bernegara dan berbangsa b. Mewujudkan Pemerintahan yang baik dan bersih c. Mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan 3. Rencana Kerja Pemerintah Daerah a. Meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan sosial budaya b. Membangun sumberdaya manusia berkualitas c. Menyelenggarakan Pemerintahan yang baik dan bersih d. Membangun ekonomi yang tangguh dan berkeadilan e. Mengembangkan infrastruktur yang mendorong percepatan pembangunan f. Mempercepat penurunan tingkat kemiskinan g. Memberdayakan nagari sebagai basis pembangunan

B. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Maksud a. Berkaitan dengan Visi dan Misi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mewujudkan Sumatera Barat yang tangguh, bersih dalam semangat kebersamaan, maka perlu upaya dan langkah langkah mengujudkannya melalui salah satunya Pengelolaan Pedagang Kaki Lima secara perspektif di Sumatera Barat melalui komitmen dan konsisten dalam penanganan PKL melalui kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota se Sumatera Barat. b. Makalah ini dibuat untuk menjadi pedoman ataupun acuan bagi segenap aparatur Pemerintahan di lingkungan Provinsi Sumatera Barat dalam mewujudkan kinerja yang efektif sesuai azas azas umum Pemerintahan yang baik dalam konteks prinsip prinsip Negara Hukum Indonesia yang menjunjung tinggi Supremasi Hukum dan HAM.

2. Tujuan a. Untuk dapat memberikan kerangka pemikiran sebagai berikut. Seperti peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, dan dapat melahirkan pembuatan Perda Provinsi Sumatera Barat tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima (PKL) haruslah memenuhi persyaratan yang diberlakukan sesuai dengan peraturan yang ada. b. Sebagai masukan kepada pembuat undang-undang dalam merancang perumusan kebijakan publik menjadi peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. c. Tercapainya sasaran dan program secara efektif dan efisien sesuai dengan kebijaksanaan dan strategis Satuan Polisi Pamong Praja khususnya dibidang peningkatan Ketentraman dan Ketertiban Umum. d. Untuk tercapainya Kesepakatan yang harus dibuat berupa Naskah atau Pedoman pembinaan dan Penataan PKL di Kabupaten / Kota se Sumatera Barat.

C. STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat, setiap Pemerintah Daerah berupaya mengembangkan berbagai strategi atau kebijakan untuk menangani persoalan PKL dari mulai yang bersifat persuasif hingga represif. Untuk itu Pemerintah Daerah perlu melakukan kebijakan kebijakan yang bisa menata PKL dengan ter-arah untuk keindah Kota, dengan cara : 1. Memberikan ruang usaha bagi PKL yang dinilai daerah pusat perekonomian 2. Memberikan suatu jaminan yang pasti bahwa ketika para PKL ini di gusur dengan memformalkan status mereka sehingga bisa memperoleh bantuan kredit bank dengan melalui registrasi (Pendataan PKL) sesuai lokasi dan penempatan yang tidak melanggar Peraturan

Daerah atau Keputusan Kepala Daerah. 3. Memberikan sanksi bagi PKL yang berdagang mengunakan trotoar, badan jalan, taman, jalur hijau dan tempat-tempat lain yang bukan peruntukkannya tanpa izin dari Pemerintah. 4. Memberikan sanksi apabila mendirikan kios dan/atau berjualan di trotoar, taman, jalur hijau, melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan kelengkapan taman atau jalur hijau. 5. Memberikan shif / jadwal yang bergantian, apabila jumlah PKL melebihi kapasitas penempatan pasar tersebut. 6. Merelokasi PKL apabila melebihi Kapasitas penempatan pasar tersebut ketempat yang baru, terutama pada pasar pasar pembantu ( Pasar Impres ) dengan menata fasilitas fasilitas PKL di tempat tersebut dengan baik dan teratur. 7. Memberikan perhatian yang lebih terhadap PKL untuk pemberian Pelatihan dan permodalan terhadap PKL yang telah ditata melalui pendataan dan registrasi secara bertahap. 8. Melanjutkan program Pemerintah Pusat melalui pemberian modal usaha bagi PKL yang telah ditata dan diregistrasi ( dari tahun 2007 s/d 2010 ) yang telah diberikan modal sebanyak Rp. 500.000,- / PKL dan jumlahnya sudah mencapai 7.000 PKL tersebar di Kabupaten / Kota

BAB III PERMASALAHAN DAN SOLUSI

Dalam rangka menciptakan kondisi Ketertiban, Ketentraman dan Keamanan yang kondusif, Satuan Polisi Pamong Praja sebagai perangkat Pemerintah Daerah yang melaksanakan tugas Kepala Daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan Ketertiban dan Ketentraman Umum yang mantap di wilayah/ daerah daerah, dalam arti suatu kondisi dimana Pemerintah dan Rakyat dapat melakukan kegiatan secara aman, tertib dan teratur. Dengan berlakunya Undang Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengubah sistem Pemerintahan dari yang semula sentralisasi menjadi desentralisasi, yang memiliki konsekuensi terhadap perubahan status Satuan Polisi Pamong Praja sebagai Perangkat wilayah menjadi Perangkat Pemerintah Daerah. Kerena itu tugas Kepala Daerah sebagai Penyelenggara Pemerintah Umum praktis bertambah berat. Dalam kaitan ini keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Sumatera Barat dalam jajaran perangkat Pemerintah Daerah mempunyai arti yang strategis dalam membantu Kepala Daerah di bidang penyelenggaraan Pemerintahan umum.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang 32 Tahun 2004 bahwa Kedudukan Polisi Pamong Praja sebagai Perangkat Daerah mempunyai tugas Membantu Kepala Daerah dalam memelihara Ketentraman dan Ketertiban Umum serta Penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Dalam pelaksanaan tugas Penegakan Peraturan Daerah dan kebijakan atau Keputusan Kepala Daerah terhadap PKL, Satuan Polisi Pamong Praja sering mendapatkan sorotan negative dari masyarakat dalam melakukan penertiban PKL, bahkan aparat Satuan Polisi Pamong Praja di cap sebagai suatu perbuatan kejahatan ketika ia melakukan pengrusakan atas hak milik barang dagangan PKL serta melakukan pengusuran. Hal ini sering kita dengar, padahal disisi lain hak hak masyrakat perlu kita perhatikan, seperti hak pejalan kaki atau penguna jalan. Kondisi ini perlu Pemerintah Daerah menerapkan kebijakan pintu tertutup ( Jadwal pembagian shif bagi pedagang musiman ) guna menekan jumlah PKL dari migran pedesaan yang setiap musiman seperti libur panjang, ajaran baru sekolah atau pada bulan Ramadha yang sudah

menjadi tradisi bagi masyarakat yang selalu membanjiri kota. Satuan Polisi Pamong Praja ( Satpol. PP ) sering dihadapi masalah dalam menghadapi perlawanan Pedagang Kaki Lima yang melanggar Peraturan Daerah di lapangan dalam mempertahankan hidupnya di kota yakni ; a. Banyaknya Pedagang Kaki Lima yang dibacking oleh aparat hukum seperti TNI, POLRI, Pejabat bahkan ada juga dari anggota Pol. PP itu sendiri. b. Pedagang Kaki Lima sudah berjualan selama 10 tahun bahkan lebih. c. Kurangnya sosialisasi dan pemahaman bagi Pedagang Kaki Lima selama ini. d. Belum pernah memberikan suatu jaminan yang pasti bahwa ketika para PKL ini di gusur, mereka harus berjualan di tempat seperti apa dan dimana.

Implementasi terhadap pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Sumatera Barat dalam penertiban Pedagang Kaki Lima di temukan berbagai permasalahan dilapangan sebagai berikut :

1. Permasalahan a. Belum optimalnya koordinasi antara Satpol-PP dengan Instansi terkait seperti Pemerintah Kota dalam perencanaan dan penertiban PKL, sehingga terkesan Pemerintah Kota lebih dominan mengambil keputusan sepihak, tanpa mempertimbangkan urgensi dan skala perioritas program sebagaimana yang telah ditetapkan. b. Dalam pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Satpol. PP di lapangan dalam Penegakan Peraturan Daerah seringkali dihadapkan pada suatu kondisi dilematis, disatu sisi bertugas untuk mewujudkan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah, sedangkan disisi lain harus berhadapan dengan Masyarakat yang merasa terganggu kepentingannya. c. Belum Optimalnya Pelaksanaan Ketentraman dan Ketertiban Umum pada tingkat Sumatera Barat dan sebagian di kabupaten / kota, karena terbatasnya jumlah personil dan SDM yang

dimiliki. d. Masih rendahnya komitmen sebagian Kepala SKPD tingkat Provinsi dan Kepala Daerah di kabupaten/kota dalam penegakan peraturan dan pemberlakuan sanksi secara tegas, karena masih cenderung mangandalkan pertimbangan faktor keresahan di tengah-tengah masyarakat (politis), sehingga lebih dominan melakukan pendekatan secara Persuasif dan preventif. e. Belum Optimalnya Pelaksanaan Penegakan Perda ( Law Enforcement ) terutama yang berkaitan dengan Perizinan dan Retribusi. f. Lemahnya tingkat koordinasi dengan institusi Kepolisian, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan Penertiban PKL di lapangan. g. Masih terbatasnya anggaran operasional Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten / Kota.

2. S o l u s i Jajaran Satuan Polisi Pamong Praja agar dalam menghadapi, mengayomi dan melayani masyarakat tidak dengan cara yang kasar, seperti memaksa, mengancam dan mengunakan kekerasan, tetapi melalui cara cara persuasif, simpatik dan edukatif sehingga sedapat mungkin dihindari Penggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan kontra produktif di masyarakat. Perlu saya sampaikan bahwa guna mendukung kelancaran kinerja Satuan Polisi Pamong Praja, perlu dukungan politik dari anggota Dewan sebagai bentuk representatif dari masyarakat baik berupa anggaran, sarana dan prasarana yang diperlukan. Melalui dukungan tersebut diharapkan dapat lebih memantapkan gerak langkah Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Sumatera Barat dalam pelaksanaan Operasional di lapangan, telah dilakukan berbagai pendekatan dalam upaya mencari solusi di antaranya sebagai berikut :

a. Peningkatan Sarana dan Prasarana. Sarana dan prasarana yang diperlukan dalam menunjang kelancaran program kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja di Sumatera Barat usulan permintaan yang belum dipenuhi sampai saat ini, karena keterbatasan anggaran pemerintah daerah antara lain sebagai berikut ; Mobil Truk (Dalmas) untuk transportasi pengangkutan anggota Pol-PP ke lokasi tempat kejadian. Kendaraan Operasional roda 4 ( 2 unit ) dan roda 2 ( 5 unit ) untuk penunjang kegiatan operasional Peralatan radio komunikasi berupa Handy Talky dan Peralatan Radio Komunikasi Jarak Jauh (Radio CB). b. Iventarisasi dan verifikasi Peraturan. Membuat aturan tatanan dan sanksi bagi PKL yang dihimpun dalam suatu Peraturan Daerah. Mengusulkan revisi perubahan peraturan daerah dan peraturan Gubernur yang akan berimplikasi terhadap pendapatan daerah. c. Peningkatan Koordinasi Institusi. Melakukan peningkatan koordinasi dengan berbagai SKPD baik pada tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota di Sumatera Barat dalam bentuk sebagai berikut ; Koordinasi dengan SKPD Provinsi, berupa komitmen dalam upaya penegakan peraturan daerah seperti mengoptimalkan peran PPNS pada masing-masing SKPD, memberikan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan daerah yang dimilikinya. Koordinasi dengan Polda Sumatera Barat selaku koorwas PPNS, khususnya dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah, serta peningkatan Trantibum. Membentuk Forum Komunikasi Satpol-PP se Sumatera Barat yang implementasi

kegiatan dalam bentuk membahas permasalahan dan mencari solusi penyelesaiannya. d. Peningkatan SDM Personil Pol - PP. Dalam rangka meningkatkan eksistensi Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Sumatera Barat dalam Penegakan Peraturan Daerah dan Menyelenggarakan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat serta Perlindungan Masyarakat, dengan

ditingkatkannya eselonering ( Eselon II.a ) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010, guna memudahkan koordinasi antar Instansi Dinas / Badan / Kantor dapat memperlancar tugas dan fungsi Satpol. PP sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang 32 Tahun 2004 bahwa Kedudukan Polisi Pamong Praja sebagai Perangkat Daerah mempunyai tugas Membantu Kepala Daerah dalam memelihara Ketentraman dan Ketertiban Umum serta Penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. Berbagai upaya peningkatan SDM telah dilakukan guna mendukung kelancaran pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Pol-PP dilapangan seperti ; - Tingkatkan motivasi, pengetahuan, keterampilan dan sikap kearah profesional sejalan dengan peningkatan status kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja. - Senantiasa menjaga Citra dan Kewibawaan Korps dalam melakukan tugas pokok dan fungsi sebagai wujud pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat, bangsa dan negara. - Melakukan Sosialisasi ditengah tengah masyarakat dengan melibatkan berbagai stake holders terkait. - Memfasilitasi staf untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan baik pada tingkat nasional maupun lokal, guna mendukung peningkatan kinerja Satpol-PP. Tingkatkan koordinasi dengan instansi terkait, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan jajaran Pemerintah Daerah. Dalam peningkatan SDM Polisi Pamong Praja perlu menjadi perhatian oleh Pemda Provinsi dan Kabupaten / Kota untuk menjadi Polisi Pamong Praja yang

profesional melalui pelatihan maupun Bintek yang berkaitan dengan Tugas dan Fungsi Polisi Pamong Praja dengan menyediakan anggaran yang memadai dalam setiap tahunnya, sehingga semua Polisi Pamong Praja yang ada sekarang harus melalui Pendidikan Dasar (DIKSAR) Pol. PP untuk tahap awal. Dari jumlah Polisi Pamong Praja se Sumatera Barat ada 2.500 orang baru

20% yang telah mengikuti pelatihan dasar Polisi Pamong Praja, karena tidak semuanya setiap Kabupaten / Kota dalam penyediaan anggaran pendidikan dasar ini, akibatnya belum dapat diandalkan untuk bersikap serta bertindak di lapangan tanpa Ilmu Dasar Polisi Pamong Praja, ditambah lagi tidak selektifnya anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang ditempatkan di Satuan Polisi Pamong Praja, yaitu pindahan dari SKPD lain yang tidak terpakai atau yang bermasalah ( Nakal ) dan tidak disiplin.

Untuk menjadikan Satpol. PP yang profesional tentu di mulai dari Rekrument yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja.

Jadi pada prinsipnya untuk menjadikan Polisi Pamong Praja yang profesional tentu harus ada Komitmen dan konsisten Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten / Kota se Sumatera Barat dalam mengalokasikan anggaran pendukung setiap tahunnya untuk : 1. Peningkatan Sumber Daya Manusia melalui Diksar dan Bintek. 2. Menyediakan kelengkapan Sarana dan Prasarana ( Pakaian dan peralatan Pol. PP ) 3. Menyediakan anggaran yang memadai untuk dana Operasional dalam Penegakan Peraturan Daerah atau Pelaksanaan Trantibum ( selama 12 bulan ).

BAB IV PENGAWASAN DAN PEMBINAAN

Berbagai upaya terus dilakukan Pemerintah untuk menata kota, khususnya menyikapi kehadiran PKL di berbagai jalan protokol, dan perkembangan bangunan-bangunan liar yang dinilai sudah sangat mengganggu kelancaran arus lalu lintas, keindahan dan ketertiban kota, kehadiran PKL dan bangunan liar di sejumlah wilayah, terutama di jalan-jalan protokol, sudah tidak dapat ditoleransi lagi, sehingga kehadiran PKL dan sektor informal lainnya yang sudah puluhan tahun lamanya itu, harus ditertibkan. Pendek kata, genderang perang melawan PKL dan bangunan liar, telah dimulai oleh Pemerintah Daerah dan hal ini tidak bisa dikompromikan lagi. Kebijakan Pemerintah Daerah terhadap Kelompok PKL yang pelaksanaannya oleh Satuan Polisi Pamong Praja didukung oleh aparat terkait seperti terdiri dari unsur Pemerintah Kota, Poltabes, Personil TNI AD telah sepakat untuk bekerjasama secara kolektif menertibkan kota dari PKL yang merupakan masalah sosial yang sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu, dan dari tahun ke tahun masalahnya tidak pernah terselesaikan dengan tuntas, karena akar permasalahannya tidak tersentuh sama sekali. Pemerintah Daerah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan berkembangannya bangunan liar serta kehadiran Pedagang Kaki Lima dengan cara yakni ; 1. Mencegah dan memberantas terjadinya dan meluasnya bangunan atau kehadiran PKL. 2. Melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan/atau bahaya atas meluasnya perbuatan maksiat dari timbulnya bangunan liar atau PKL dengan cepat.

Adapun Pola kerjasama dalam penertiban Pedagang Kaki Lima dengan cara sebagai berikut :

a. Cara Preemtif, yaitu tindakan pendekatan dan peningkatan kesadaran bermasyarakat dengan cara mensosialisasikan agar masyarakat turut serta menjaga Ketertiban, Ketentraman dan Keamanan dan menjaga lingkungan b. Cara Preventif, yaitu tindakan pencegahan terhadap terjadinya gangguan Ketertiban, Ketentraman dan Keamanan dengan melaksanakan razia atau operasional di lapangan. c. Cara Represif, yaitu upaya penindakan hukum baik yustisial maupun non yustisial yang dilakukan setelah dilakukan tindakan pendekatan dan pencegahan. d. Cara Rehabilitasi, yaitu rangkaian tindakan dan kegiatan untuk memulihkan dan mengembalikan situasi / kondisi wilayah, kelompok dan perorangan pada situasi dan kondisi sebelum terjadinya gangguan Ketertiban, Ketentraman dan Keamanan.

Seharusnya Pemerintah berupaya membangun kawasan PKL Binaan radius 100 meter dari Pasar. Atau juga berupaya untuk merelokasi PKL ke tempat-tempat yang lebih khusus. Melalui relokasi ini Pemerintah Kota berharap dapat membina PKL (bina usaha,bina manusia dan bina lingkungan), menertibkan dagangan, tempat usaha dan sumber hukumnya. Meskipun demikian, karena alasan beban sewa di tempat yang baru lebih tinggi serta akan jauh dari pembeli, maka tidak sedikit PKL yang menolak di relokasi dan akhirnya mereka memilih kucing-kucingan dengan aparat.

- Diksar Pol. PP - Pemahaman Perda No. 11 Tahun 2001 - Memahami KUHP - Memahami KUHAP

- Diklat PPNS - Ketemapilan Operasional PENINGKATAN SDM

PENCEGAHAN DAN PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA

PERINDAG

TERTIBNYA P K L

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Untuk mewujudkan pembinaan PKL yang produktif serta kemampuan memberikan kontribusi kepada daerah atau kota, maka Pemerintah telah melakukan pembinaan terhadap PKL dengan cara menciptakan kemitraan antara sektor informal (PKL) dengan Pemerintah Daerah. Pembinaan ini bertujuan untuk memotivasi para PKL agar dapat mengembangkan usahanya, selain itu bertujuan pula memberikan arahan tentang pentingnya manajerial agar mereka mampu mengelola usahanya tersebut sehingga diharapkan usaha mereka akan bertambah maju. Motivasi yang tinggi serta kemampuan manajerial yang baik diharapkan dapat meningkatkan kinerja usaha PKL, dimana dengan semakin meningkatnya kinerja usaha dan kesejahteraan PKL diharapkan akan dapat memotivasi masyarakat lain untuk mencontoh atau merencanakan usaha sesuai kemampuan yang mereka miliki, sehingga akan dapat meningkatkan peluang kerja disektor informal yang pada gilirannya dapat menanggulangi tingkat pengangguran.

Program pengembangan sektor informal PKL yang harus diperhatikan dalam menertibkan sektor informal, yaitu: 1. Usaha di sektor ini harus dilindungi dari hambatan yang tidak perlu seperti pungutan liar, pemerasan, dan lain sebagainya. 2. Pembinaan hendaknya jangan sampai mematikan kreativitas yang merupakan ciri mereka. 3. Perlu diperhatikan penyediaan tempat-tempat tertentu dan jam-jam tertentu bagi para PKL dengan penyediaan penerangan dan sarana kebersihan yang memadai. 4. Perlu adanya strategi dan kebijakan pengembangan PKL meliputi perlindungan hukum dan ruang usaha (space), pengembangan kemampuan serta pengembangan potensi. Ketigajenis pengembangan tersebut hendaknya dilakukan secara sinergik, saling kait-mengait dan saling mendukung agar kemampuan PKL layak ditingkatkan. 5. Memberikan perlindungan hokum dan space, dimana hal ini sangat bergantung pada goodwill Pemerintah Kabupaten / Kota, sementara pengembangan kemampuan PKL dapat dicapai melalui program-program pelatihan, sedangkan pengembangan potensi PKL sangat bergantung pada motivasi dan kemampuan manajerial PKL itu sendiri.

B. S a r a n 1. Mengoptimalkan Pengawasan dan pembinaan PKL dalam penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum serta Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat dimasa yang akan datang. 2. Terjalinnya hubungan koordinasi dan kerjasama yang erat dengan aparat POLRI sehingga mengasilkan produk produk Hukum sebagai pedoman bagi Satuan Polisi Pamong Praja nantinya. 3. Agar dalam penyusunan Anggaran dapat diberikan prioritas program dan kegiatan di bidang penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum dan penegakan Peraturan Daerah serta Keputusan Kepala Daerah. 4. Perlu ada Kendaraan Dinas untuk penunjang tugas seperti Kendaraan Foriders dan Truck Dalmas untuk mengangkut anggota Satuan Polisi Pamong Praja ke lokasi kerusuhan atau Bencana Alam. 5. Perlunya dilakukan Study Konparatif ke Daerah Provinsi Bali atau Provinsi Jawa Barat sebagai tolak ukur dalam pengelolaan Pedagang Kaki Lima di Daerah.

Akhir kata dengan selesainya Makalah ini, kami mengharapkan kepada semua pihak yang turut membantu untuk penyelenggaraan Ketentraman dan Ketertiban Umum dan penegakan Peraturan Daerah serta Keputusan Kepala Daerah. Terima kasih.

KEPALA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI SUMATERA BARAT ttd

Ir. H. EDI ARADIAL, MBA Pembina Utama Muda NIP. 19570220 198503 1 006

(Kantor Satuan Polisi Pamong Pr)


Home Link Produk Perundangan Agenda Pariwisata Produk Unggulan Artikel Peluang Investasi Profile Daerah Pengumuman Berita Pembangunan & Tender Struktur Organisasi Fasilitas Umum Perizinan Suara Masyarakat Gallery Polling Posko Gempa

Copyright 2008 by Telematika Elektronik Biro Humas Setda Prov. Sumbar | Email : biro_humas@sumbarprov.go.id Jl. Jendral Sudirman No.51 Padang Telp. (0751) 37626 Fax. (0751) 31549 --

You might also like