You are on page 1of 16

Pengertian Ushul Fiqih Ushul fiqih ( ) tersusun dari dua kata, yaitu ushul ( )dan fiqih (.

) Pengertian ushul ( )secara bahasa: Ushul ( )merupakan jamak (bentuk plural/majemuk) dari kata ashl ( )yang berarti dasar, pondasi atau akar. Allah subhanahu wa taala berfirman: Artinya: Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. (QS. Ibrahim [14]: 24) Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah di kitab beliau, asy-Syakhshiyah alIslamiyah Juz 3, menyatakan bahwa arti ashl ( )secara bahasa adalah perkara yang menjadi dasar bagi yang lain, baik pada sesuatu yang bersifat indrawi seperti membangun dinding di atas pondasi, atau bersifat aqli, seperti membangun malul diatas illah dan madlul diatas dalil. Pengertian fiqih ( )secara bahasa: Fiqih ( )secara bahasa berarti pemahaman ( .)Allah subhanahu wa taala berfirman: Artinya: dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka memahami perkataanku (QS. Thaha [20]: 27-28) Pengertian fiqih ( )secara istilah: Fiqih ( )menurut istilah mutasyarriin (ahli syariah) adalah ilmu tentang hukum-hukum syari yang bersifat aplikatif yang digali dari dalil-dalil yang terperinci ( .) Ruang lingkup fiqih terbatas pada hukum-hukum yang bersifat aplikatif dan furuiy (cabang) dan tidak membahas perkara-perkara itiqad (keyakinan).

Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin rahimahullah memberikan definisi yang sedikit berbeda tentang fiqih ( ,)yaitu: mengenal hukum-hukum syari yang aplikatif melalui dalil-dalilnya yang terperinci ( .)Beliau menggunakan kata marifah dan bukan ilm untuk mencakup makna ilm dan zhann sekaligus karena hukum-hukum fiqih kadang bersifat yaqiniy (pasti, menghasilkan ilm) dan kadang zhanniy (dugaan, menghasilkan zhann). Untuk kajian kita, kita memakai istilah yang pertama. Pengertian ushul fiqih (:) Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah: kaidah-kaidah yang dengannya bisa dicapai istinbath (penggalian hukum) terhadap hukum-hukum syari dari dalil-dalil yang terperinci. Menurut Syaikh Atha Abu ar-Rasytah hafizhahullah: kaidah-kaidah yang diatasnya dibangun ilmu tentang hukum-hukum syari yang bersifat aplikatif yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci. Menurut Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin rahimahullah: ilmu yang membahas tentang dalil-dalil fiqih yang bersifat ijmaliy (global/umum), tatacara mengambil faidah (hasil pemahaman) darinya dan keadaan mustafid (orang yang mengambil faidah). Yang dimaksud dengan mustafid pada definisi ini adalah mujtahid. Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah: kaidah-kaidah yang dengannya seorang mujtahid bisa mencapai istinbath (penggalian hukum) terhadap hukumhukum syari dari dalil-dalilnya yang terperinci. Menurut Syaikh Abdul Wahhab Khallaf rahimahullah: ilmu tentang kaidahkaidah dan pembahasan-pembahasan yang dengannya bisa dicapai pengambilan faidah terhadap hukum-hukum syari yang bersifat aplikatif dari dalil-dalilnya yang terperinci. Semua definisi diatas bisa digunakan untuk mendefinisikan ushul fiqih. Ruang Lingkup Ushul Fiqih Ruang lingkup pembahasan ushul fiqih terbagi menjadi tiga, yaitu: 1. Hukum syari dan hal-hal yang berkaitan dengannya a. Pembahasan tentang al-Hakim b. Khithab at-Taklif

c. Khithab al-Wadhi d. Qaidah Kulliyyah 2. Dalil dan hal-hal yang berkaitan dengannya a. b. c. d. Dalil-dalil syari Sesuatu yang diduga sebagai dalil, padahal bukan dalil Pembahasan tentang bahasa Arab Pembahasan tentang al-Quran dan as-Sunnah

3. Ijtihad dan hal-hal yang berkaitan dengannya a. Pembahasan tentang ijtihad b. Pembahasan tentang taqlid c. Pembahasan tentang tarjih http://www.hasanalbanna.com/definisi-ilmu-ushul-fiqh/

DASAR MEMPELAJARI FIQH Pada pembahasan ini, kita akan menerangkan mengenai dasar dan sumber dalildalil syarI yang dipakai oleh para ulama di dalam mengambil hukum dan mengambil faidah dari suatu ayat atau hadist, sehingga dengan mengetahui dasar dan sumber dari dalil-dalil syarI ini, akan hilanglah keraguan, dan hilangkan pemikiran-pemikiran yang sesat, karena sebab utama munculnya pemikiranpemikiran sesat, dan sebab utama munculkan kelompok-kelompok dalam islam adalah tidak bersumbernya mereka pada dalil-dalil syarI yang benar. Mengenai hal ini, para ulama ahlussunnah bersepakat bahwa, dalil-dalil syarI yang menjadi dasar dan diakui sebagai dalil dari agama islam adalah al-quran, hadist, ijma dan qiyas. Namun mengenai ijma dan qiyas terdapat perselisihan para ulama mengenai rinciannya, ijma dan qiyas yang seperti apakah yang dijadikan dalil, dsb. Imam syafiI mengatakan :


sumber ilmu adalah berita yang ada pada al-quran, hadist, ijma atau qiyas. (lihat kitab Arrisalah) Dan para ulama pun bersepakat bahwa inti dari keseluruhan dalil yang empat ini adalah al-quran dan hadist, dimana kedua hal ini merupakan dasar dari agama dan tiang tegaknya islam. Imam syafiI mengatakan Diwajibkan untuk berpendapat dengan berdasar kepada al-quran dan hadits, adapun selain dari keduanya, maka ia harus mengikuti alquran dan sunnah. (lihat kitab jimaaul ilmi) Dari keempat dalil yang kita sebutkan di atas, semuanya mempunyai keterikatan yang sangat kuat. Satu dalil dengan dalil yang lain saling mendukung dan membenarkan, sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan. Kalaupun terjadi pertentangan hal ini dikarenakan pemahaman yang salah dari person akan dalil tersebut. Begitu pula, keempat dalil ini saling terikat satu sama lain, dimana semua dalil kembali kepada al-quran. Di dalam al-qur'an menunjukkan bahwa hadist itu adalah dalil, begitu pula al-qur'an dan hadist menunjukkan bahwa ijma itu adalah dalil, dan al-qur'an, hadist dan ijma menunjukkan bahwa qiyas itu adalah dalil. Dari hal ini, maka benarlah jika dikatakan bahwa sumber dari empat dalil ini adalah alquran, adapun selainnya adalah penjelas dari quran yang bersandar kepada alquran.

Jika ada yang bertanya, kenapa perlu ada ijma dan qiyas, bukankah al-quran dan hadits sudah cukup untuk menentukan suatu hukum dari agama islam??? Maka jawabnya, untuk ijma, maka rosulullah bersabda :


sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat terhadap hal-hal yang sesat. (HR Ibnu majah dalam sunannya, dan dihasankan syaikh Albani) Begitu pula syaikh utsaimin berkata dalam ushul min ilmi al ushul : kita katakan, bersepakatnya umat ini atas suatu hal, bisa jadi hal itu adalah benar, dan bisa jadi hal itu adalah salah. Jika hal itu adalah benar, maka itu menjadi dalil, namun jika hal tersebut adalah sesat, maka bagaimana mungkin, umat ini yang merupakan semulia-mulianya umat diantara umat-umat yang lain, dari masa nabinya sampai pada hari kiamat, berada pada perkara yang menyesatkan yang tidak diridhoi oleh Allah taala?? Ini merupakan perkara yang sangat mustahil". Dari hal ini, sangat jelaslah bahwa ijma merupakan dalil selain dari al-quran dan hadist. Lalu, apa faidah kita mengambil ijma sebagai dalil?? Maka hal ini untuk menegaskan suatu dalil dari al-quran dan hadits. Maksudnya, ketika terdapat suatu dalil al-quran dan hadits yang menunjukkan hukum suatu hal, kemudian para ulama bersepakat, ijma akan benarnya hukum tersebut, maka tidak ada orang lain yang bisa merubah dan mengganti hukum yang telah ditetapkan tersebut. Dan orang yang menyelisihinya adalah orang yang sesat. Sebagai contoh adalah di dalam al-quran dan hadits yang menyebutkan bahwa para sahabat adalah semulia-mulianya umat dan sebaik-baik umat nabi Muhammad, yang mana hal ini telah ditegaskan dengan ijmanya para ulama tentang hal tersebut. Maka, ketika seseorang mengatakan bahwa para sahabat seluruhnya adalah kafir, kecuali segelintir orang saja, seperti yang dikatakan orang syiah rafidhoh maka ini adalah perkataan yang menyelisihi al-quran, hadits dan ijma para ulama, sehingga perkataan ini adalah perkataan yang menyesatkan. Contoh yang lain adalah apa yang disebutkan dalam al-quran dan hadits yang menyatakan Allah mempunyai nama-nama dan sifat-sifat. Dan hal ini ditegaskan oleh ijma para ulama dengan mengatakan hendaknya menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah dengan tidak menakwilkannya dan menyelewengkannya terhadap makna yang lain". Dari hal ini, ketika ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah harus

ditakwil, maka ini adalah perkataan yang menyelisihi al-quran, hadits dan ijma para ulama. Begitu pula qiyas, dimana dengan adanya qiyas, segala permasalahan yang tidak disebutkan dalam al-quran dan hadits atau karena permasalahan baru yang disebabkan perkembangan jaman, maka bisa diketahui hukumnya dengan membandingkan dan menyerupakannya dengan dalil-dalil yang lain dan keadaan pada jaman nabi. http://ryper.blogspot.com/2009/12/ushul-fiqih-3-dasar-dan-sumber-dalil.html umber-Sumber Fiqh Islam Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber: 1. Al-Quran Al Quran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh: Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Quran niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Taala: (QS. Al maidah: 90) Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contohcontoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu. 2. As-Sunnah As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan. Contoh perkataan/sabda Nabi: Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran. (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasai no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)

Contoh perbuatan: Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa Aisyah pernah ditanya: Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya? Aisyah menjawab: Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya. Contoh persetujuan: Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: Shalat subuh itu dua rakaat, orang tersebut menjawab, sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang. Lalu Nabi shollallahualaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyariatkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya. As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Quran. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Quran maka kita merujuk kepada asSunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahualaihiwasallam dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Quran dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda: Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (Bukhari no. 595) Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Quran. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki. 3. Ijma Ijma bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syari, dan jika sudah bersepakat ulamaulama tersebutbaik pada generasi sahabat atau sesudahnyaakan suatu hukum syariat maka kesepakatan mereka adalah ijma, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).

Dari Abu Bashrah rodiallahuanhu, bahwa Nabi shollallahualaihiwasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan. (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396) Contohnya: Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak. Ijma merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Quran dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya. 4. Qiyas Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syari dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Quran, sunnah maupun ijma. Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Quran, as Sunnah dan Ijma. Rukun Qiyas Qiyas memiliki empat rukun: 1. 2. 3. 4. Dasar (dalil). Masalah yang akan diqiyaskan. Hukum yang terdapat pada dalil. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

Contoh: Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Quran, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu memabukkan terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syariat dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ala Manhaj Imam Syafii). http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fiqih-islam.html

HUBUNGAN FIQH DAN USHUL FIQH

Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu manthiq (logika) dengan filsafat, bahwa manthiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal, agar tidak terjadi kerancuan dalam berfikir. Juga seperti hubungan antara ilmu nahwu dengan bahasa Arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatika yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikian juga ushul fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistimbahtkan (menggali) hukum. Disamping itu, fungsi ushul fiqh itu sendiri adalah membedakan antara istimbath yang benar dengan yang salah. Sebagaimana ilmu nahwu berfungsi untuk membedakan susunan bahasa yang benar dengan susunan bahasa yang salah. Dan ilmu manthiq untuk mengetahui argumentasi yang ilmiah serta kesimpulan yang ilmiah pula. http://www.hasanalbanna.com/hubungan-ushul-fiqih-dengan-fiqih/

Hubungan Ushul Fiqih dengan Fiqih Ushul Fiqih sebagai ilmu, fungsi kerjanya merupakan alat untuk mendapatkan rumusan hukum fiqih, yang dihasilkan dari dalil-dalil syariat. Dengan demikian dapat dirumuskan hubungan antara Ushul Fiqih dengan fiqih, antara lain: a. Ushul Fiqih ibarat rantai penghubung antara fiqih dengan sumbernya b. Ushul Fiqih merupakan sistem atau metode untuk mengeluarkan hukum fiqih, agar para pakar fiqih terhindar dari kesalahan dalam menentukan hukum fiqih. c. Ushul Fiqih merupakan sarana untuk pengembangan ilmu fiqih yang telah dirintis oleh ulama generasi pendahulu, http://eling-buchoriahmad12.blogspot.com/2011/06/pengertian-obyek-fungsihubungan-ushul.html

RUANG LINGKUP PEMBAHASAN FIQH DAN USHUL FIQH

Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh. Maksudnya, pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk AlQur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh. Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Fiqh" (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil. Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu. Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi: a. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah). b. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya. c. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya. d. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi

keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah. e. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya. f. Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya. g. Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, AsSunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah. h. Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, alwashful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, assyabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya. Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan. Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya. Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu. Dengan Usul Fiqh : - Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia. - Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan. - Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman. - Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan

hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya. Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi' ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang. Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.

http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/ushul-fiqih/allsub/140/pengertian-danruang-lingkup-ushul-fiqh.html

SUMBER-SUMBER FIQH

PERANAN DAN KEDUDUKAN FIQH DAN USHUL FIQH Peranan Usul al-Fiqh dalam Menalar Hukum Islam Muhammad Abu Zahrah, seorang ulama kenamaan dari Mesir, menjelaskan peranan Usul Fiqh dalam menalar hukum sebagai berikut: . Dalam pernyataan singkat itu, setidaknya ada dua peranan yang dimainkan oleh Usul al-Fiqh, yaitu: - Sebagai metode yang menjadi pegangan bagi seorang faqih yang hendak berijtihad. - Sebagai kaidah (qanun) yang menjaga seorang faqih dari kesalahan dalam melakukan ijtihad (istinbat hukum). Dalam hal menalar hukum ini, Usul al-Fiqh bisa diibaratkan sebagai sebuah peta jalan atau rute yang menuntun seorang pengembara mencapai tujuannya. Boleh jadi, antara satu mujtahid dan mujtahid lain memiliki konten Usul al-Fiqh yang berbeda-beda, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dalam kerangka maslahah manusia sebagai makhluk individu maupun sosial. a. Usul al-Fiqh sebagai Metode Ijtihad Sebagai metode berijtihad, Usul al-Fiqh berperanan sebagai jalan yang menuntun seorang mujtahid dalam melakukan istinbat. Atau sebagai penjelasan jalan yang telah ditempuh oleh seorang mujtahid, sehingga orang-orang yang datang sesudahnya bisa memahami alasan mujtahid tersebut menempuh jalan tersebut. b. Usul al-Fiqh sebagai Kaidah Sebagai kaidah, Usul al-Fiqh memiliki peranan sebagai pengingat mujtahid dari kesalahan yang mungkin akan dilakukannya. Atau korektor atas kesalahan yang telah dilakukannya. Tentu saja fungsi atau peranan Usul al-Fiqh ini amat membantu mujtahid dalam melaksanakan tugasnya. Bagaimana pun cerdasnya seorang mujtahid, ia adalah seorang manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan kapan saja. Nah, di sinilah peranan Usul al-Fiqh amat dirasakan oleh mujtahid itu, yaitu menghindari atau setidaknya meminimalisir kesalahan-kesalahan tersebut. http://ahdabina.staff.umm.ac.id/archives/161

Kedudukan Fiqih sebagai sumber hukum setelah Quran dan Hadits

Kedudukan Fiqih berada di bawah al Quran dn Hadits di dalam penentuan hukum Islam. Materi yang ada di dalam Fiqih di ambil dari al Quranul Karim dan hadits Nabi (sabda-sabda dan perbuatan Rasulullah saw yang menjelaskan al Quran dan menerangkan maksudnya atau biasa disebut dengan as Sunnah). Disamping itu materi dari ilmu Fiqih juga berasal dari pendapat para Fuqaha. Pendapat-pendapat itu meskipun bersandar kepada al Quran dan as Sunnah namun merupakan hasil pemikiran yang telah terpengaruh yang berbeda-beda sesuai dengan masa yang dialami dan pembawaan-pembawaan jiwa (naluri) bagi setiap faqih. Kegunaan Ilmu Fiqih Fiqih dalam Islam sangat penting fungsinya karena ia menuntun manusia kepada kebaikan dan bertakwa kepada Allah SWT. Setiap saat manusia itu mencari atau mempelajari keutamaan fiqih, karena fiqih menunjukkan kita kepada sunnah Rasulullah SAW serta memelihara manusia dari bahaya-bahaya kehidupan. Beberapa diantara kegunaan ilmu fiqih adalah : 1. Untuk mencari kebiasaan faham dan mengerti pengertian dari agama Islam. 2. Untuk mempelajari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia. 3. Sebagai kaum muslimin kita harus bertafaqquh, artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum agama baik dalam bidang aqidah dan akhlak maupun dalam bidang ibadah maupun muamalat. Jelasnya, tujuan mempelajari ilmu fiqih adalah menerapkan hukum syara pada setiap perkataan dan perbuatan mukallaf, karena itu ketentuan-ketentuan fiqih yang dipergunakan untuk memutuskan segala perkara dan yang menjadi dasar fatwa. Seorang yang mengetahui dan mengamalkan fiqih akan dapat menjaga diri dari kecemaran dan lebih takut dan disegani oleh musuhnya. Fungsi Ijtihad

Makna dari ijtihad adalah mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara' dari apa yang dianggap syar'i sebagai dalil yaitu Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, ini ada dua macam yaitu: 1. Mengambil hukum dari zhahir-zhahir nash apabila hukum itu diperoleh dari nash-nash itu. 2. Mengambil hukum dari ma'qul nash karena nash itu menerangkannya atau illat itu dapat diketahui dan tempat kejadian yang di dalamnya mengandung illat, sedang nash itu tidak memuat hukum itu. Inilah yang dikenal qiyas. 3. Ijtihad berfungsi sebagai usaha untuk menyelesaikan suatu masalah yang timbul. Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam nash tidak dijumpai hukum yang akan diterapkan pada suatu kasus, maka seorang mujtahid boleh melakukan ijtihad sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama. Hasil ijtihad itu wajib diterapkannya, tetapi tidak wajib diikuti oleh mujtahid yang lain. Alasan jumhur ulama adalah ayat dan hadits yang menjadi dasar hukum ijtihad. Bahkan mereka berpendapat bahwa apabila hanya ada seorang mujtahid di suatu negeri, maka kewajiban berijtihad terpikul ke pundaknya, dalam ushul fiqih disebut dengan wajib 'aini (kewajiban secara pribadi). http://www.lib4online.com/2010/11/study-fiqih-fiqih-dan-kegunaanya.html

You might also like