You are on page 1of 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Lansia 1.1 Defenisi Lansia 1.2 Batasan-Batasan Lansia 1.3 Teori-Teori Penuaan 1.4 Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia 2. Penyakit Kronis 2.1 Defenisi Penyakit Kronis 2.2 Kategori Penyakit Kronis 2.3 Implikasi Penyakit Kronis 2.4 Fase-Fase Penyakit Kronis 2.5 Jenis-Jenis Penyakit Kronis 3. Koping 3.1 Defenisi Koping 3.2 Strategi Koping

Universitas Sumatera Utara

1. Lansia 1.1 Defenisi Lansia Lansia atau usia tua adalah suatu periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Hurlock, 1999).

1.2 Batasan-Batasan Lansia Umur yang dijadikan patokan sebagai lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun. Menurut WHO ada empat tahap batasan umur yaitu usia pertengahan (middle age) antara 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, dan usia lanjut usia (old) antara 75-90 tahun, serta usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008). Menurut Depkes RI batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan umur usia lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini (prasenium) yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun, kelompok usia lanjut (senium) usia 65 tahun ke atas dan usia lanjut dengan resiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat (Mutiara, 1996).

Universitas Sumatera Utara

Di Indonesia, batasan lanjut usia adalah 60 tahun ke atas. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 (Nugroho, 2008).

1.3 Teori-Teori Penuaan Teori tentang penuaan dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok teori stokastik dan teori kelompok genetika perkembangan (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005). 1.3.1 Kelompok teori stokastik Pada kelompok ini proses tua dianggap sebagai akibat dari kumpulan dampak negatif lingkungan. Adapun teori yang termasuk dalam kelompok ini adalah: 1. Teori Mutasi Somatik Teori mutasi somatik dikemukakan pada pertengahan abad 20 dengan dasar setelah perang dunia saat itu, lingkungan banyak terekspos oleh radiasi yang memicu mutasi sel. Lebih jauh mutasi sel menyebabkan kemunduran sampai pada kegagalan organ sehingga dapat menyebabkan kematian (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005). 2. Teori Kesalahan Berantai (Error Catasthrophe Theory). Orgel (1963) mengemukakan teori kesalahan pembentukan protein sel yang mengandung materi genetik. Jika kesalahan tersebut terus-menerus diturunkan dari generasi ke generasi, maka lumlah molekul abnormal akan semakin banyak. Menurut teori ini proses tua disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang beruntun dan

Universitas Sumatera Utara

berlangsung lama sepanjang kehidupan, dimana terjadi kesalahan transkripsi (perubahan DNA menjadi RNA) maupun translasi (perubahan RNA menjadi protein atau enzim). Enzim atau protein yang salah ini akan menyebabkan gangguan pada metabolisme sehingga mengurangi fungsi sel. Walaupun pada keadaan tertentu sel mampu memperbaiki kesalahan, namun kemampuan ini sangat terbatas. Kesalahan beruntun inilah yang akan menimbulkan bencana (catasthrophe) (Kosasih, setiabudhi, dan heryanto, 2005). 3. Teori Pilin (Cross-Lingking Theory) Khon dan Bjorksten (1974) mengemukakan teori ini dengan dasar bahwa makin bertambahnya usia, protein manusia yaitu DNA satu dengan DNA lainnya akan saling melekat dan memilin (cross-link). Akibatnya protein (DNA) menjadi rusak dan tidak dapat dicerna oleh enzim pemecah protein (enzim protease), sehingga elastisitas protein akan berkurang dan akhirnya mengakibatkan kerutan pada kulit, fungsi penyaring ginjal menjadi berkurang, dan terjadi katarak pada mata (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005). 4. Teori Glikosilasi (Glycosilation Theory) Teori ini mengemukakan bahwa bila terjadi proses pengikatan antara gula (glukosa) dengan protein (proses glikosilasi) maka protein dan glukosa yang terlibat akan rusak dan tidak berfungsi optimal. Semakin lama hidup seseorang, semakin banyak pula kesempatan terjadinya pertemuan antara oksigen, glukosa dan protein yang akan memicu terjadinya keadaan degenerasi seperti katarak, senilis, kulit yang keriput/ kusam, dan lain-lain (Kosasih, Setiabudhi dan Heryanto, 2005).

Universitas Sumatera Utara

5. Teori Pakai dan Rusak (Wear and Tear Theory) Dr. August Weismann (1982) mengatakan bahwa tubuh dan sel-selnya rusak karena banyak terpakai dan digunakan secara berlebihan. Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan sebagainya dirusak oleh racun (toksik) yang didapat dari makanan dan lingkungan (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005).

1.3.2 Kelompok teori genetika perkembangan Kelompok teori ini mengemukakan bahwa proses tua merupakan bagian dari proses tumbuh kembang yang berkesinambungan, dimana secara genetik telah terkontrol dan terprogram. Memang tidak dipungkiri bahwa faktor luar (lingkungan) sangat berpengaruh, namun para ilmuwan percaya bahwa lama hidup dan proses tua sudah diatur secara instrinsik oleh tubuh, dalam hal ini kaitannya dengan genetik. Bukti nyata akan hal ini bahwa berbagai spesies memiliki lama hidup yang berbeda padahal mereka terekspos oleh suasana lingkungan yang sama. Adapun teori yang termasuk di dalam kelompok teori ini adalah: 1. Teori Neuro Endokrin (hormonal) Denckla (1974) mengungkapkan bahwa proses tua dipengaruhi oleh aksi hipotalamus-hipofisis-adrenal. Dengan bertambahnya usia, maka terjadi penurunan fungsi sel-sel neuron di hipotalamus, sehingga mengakibatkan gangguan produksi hormon-hormon yang secara otomatis mengganggu fungsi organ terkait. Hormon sangat vital untuk memperbaiki dan mengatur fungsi tubuh. Semakin tua seseorang maka produksi hormon tubuh menjadi berkurang, sehingga kemampuan tubuh untuk

Universitas Sumatera Utara

memperbaiki diri (self repaired) dan mengatur diri (self regulation) menjadi menurun (Kosasih, Setiabudhi, Heryanto, 2005). 2. Teori Mutasi Genetik Burnet (1974) mengatakan bahwa tiap spesies mempunyai konstitusi genetik spesifik. Tingkat ketepatan dan kepatuhan akan menentukan kemungkinan timbulnya kesalahan atau mutasi, dan sepanjang perjalanan hidup organisme dapat muncul kode genetik spesifik yang baru (Kosasih, Setiabudhi, Heryanto, 2005). 3. Teori Imunologis Teori ini berdasarkan dari pengalaman bahwa dengan bertambahnya usia maka terjadi penurunan kadar imunoglobulin, terutama IgD, peningkatan natural killer cell, penurunan faal limfosit T, resistensi terhadap infeksi, serta peningkatan kejadian penyakit autoimun. Salah satu bukti yang ditemukan Brocklehurst (1978) adalah bertambahnya prevalensi autoantibodi pada orang lanjut usia (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005). 4. Teori Radikal Bebas Harman (1956) menerangkan proses tua berdasarkan timbulnya kerusakan jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas. Radikal bebas ialah atom atau molekul dengan susunan elektron tidak lengkap atau tidak berpasangan sehingga bersifat tidak stabil dan kecendrungan kuat untuk berpasangan. Radikal bebas menyebabkan efek samping invivo sehingga terjadi injury sel atau disfungsi dan diikuti inflamasi dan pada akhirnya terjadi penyakit degeneratif (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005).

Universitas Sumatera Utara

5. Teori Membran ZsNagy mengakatakan bahwa kemampuan untuk memindahkan berbagai macam senyawa kimia, panas, dan berbagai proses listrik tergangggu sejalan dengan proses tua. Membran sel menjadi lebih kering (cairan dan lemak yang berkurang) dan menjadi lebih padat. Hal ini mengurangi kemampuan sel untuk menjalankan kemampuan sel untuk menjalankan fungsi normal dan terjadi akumulasi racun (toksin) yang disebut lifofuchsin yang akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005). 6. Teori Gangguan Mitokondria Mitokondria adalah organel yang menghasilkan energi Adenosine

Triphosphate (ATP). Pada teori radikal bebas dikatakan mitokondria terpapar oleh banyak radikal bebas yang dapat merusak mitokondria sedangkan sel kurang mendapat proteksi yang memadai dari proses ini, maka fungsi mitokondria akan terganggu dan otomatis produksi ATP berkurang. Sel-sel tidak dapat meminjam energi dari sel lain, maka kerja sel juga terganggu bahkan gagal. Bila sel gagal menghasilkan energi otomatis organ yang dibentuknya ikut terganggu dan gagal sehingga berakhir dengan kematian (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005). 7. Teori Telomerase Dasar teori ini didapat oleh grup ilmuwan dari Geron Corporation di Menlo Park, California. Telomer adalah rangkaian asam nukleat yang terdapat di ujung kromosom, fungsinya menjaga keutuhan kromosom. Tiap kali sel tubuh membelah, telomer akan memendek. Apabila ujung telomer sudah sangat pendek, kemampuan

Universitas Sumatera Utara

sel untuk membelah akan berkurang, melambat dan akhirnya sel tidak dapat membelah lagi (mati) (Kosasih, Setiabudhi, dan Heryanto, 2005).

1.4 Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lanjut Usia Constantinides (1994) mengatakan bahwa proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2008). 1.4.1 Perubahan-perubahan fisik 1. Sel Sel menjadi lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukurannya, berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel, serta otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10% (Nugroho, 2008). 2. Sistem persarafan Terjadi penurunan berat otak sebesar 10-20%, cepatnya menurun hubungan persarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi khususnya stres, mengecilnya saraf panca indra, serta kurang sensitifnya terhadap sentuhan. Pada sistem pendengaran terjadi presbiakusis (gangguan dalam pendengaran) hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga dalam terutama terhadap bunyi-bunyi atau nada-nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, otosklerosis akibat

Universitas Sumatera Utara

atrofi membran timpani, serta biasanya pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan jiwa/ stres (Nugroho, 2008). 3. Sistem penglihatan Timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih terbentuk sferis (bola), kekeruhan pada lensa menyebabkan katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapangan pandang, serta menurunnya daya membedakan warna biru atau hijau (Nugroho, 2008). 4. Sistem kardiovaskular Terjadi penurunan elastisitas aorta, katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun, kurangnya elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk atau dari duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan darah menurun, mengakibatkan pusing mendadak, serta meningginya tekanan darah akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer (Nugroho, 2008). 5. Sistem pengaturan Temperatur tubuh terjadi hipotermi secara fisiologis akibat metabolisme yang menurun, keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat memproduksi panas akibatnya aktivitas otot menurun (Nugroho, 2008). 6. Sistem respirasi Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas, menarik nafas lebih berat,

Universitas Sumatera Utara

kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun, ukuran alveoli melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang, kemampuan untuk batuk berkurang, serta kemampuan kekuatan otot pernafasan menurun (Nugroho, 2008). 7. Sistem gastrointestinal Terjadi kehilangan gigi akibat periodontal disease, kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk, indra pengecap menurun, hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah terhadap rasa manis, asin, asam, atau pahit, esofagus melebar, rasa lapar menurun, asam lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi, serta melemahnya daya absorbsi (Nugroho, 2008). 8. Sistem reproduksi Terjadi penciutan ovari dan uterus, penurunan lendir vagina, serta atrofi payudara, sedangkan pada laki-laki, testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur, kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia asal kondisi kesehatan baik (Nugroho, 2008). 9. Sistem perkemihan Terjadi atrofi nefron dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, otototot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air kecil meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria (Nugroho, 2008). 10. Sistem endokrin Terjadi penurunan semua produksi hormon, mencakup penurunan aktivitas tiroid, BMR, daya pertukaran zat, produksi aldosteron, progesteron, estrogen, dan testosteron (Nugroho, 2008).

Universitas Sumatera Utara

11. Sistem integumen Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak, permukaan kulit kasar dan bersisik kerana kehilangan proses keratinisasi, serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidermis, rambut menipis berwarna kelabu, rambut dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat menurunya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, pudar dan kurang bercahaya, serta kelenjar keringat yang berkurang jumlah dan fungsinya (Nugroho, 2008). 12. Sistem muskuloskeletal Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh, kifosis, pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami sclerosis, serta atrofi serabut otot (Nugroho, 2008).

2. Penyakit Kronis 2.1 Defenisi Penyakit Kronis Menurut Belsky (1990) penyakit kronis adalah penyakit yang mempunyai karakteristik yaitu suatu penyakit bertahap-tahap, mempunyai perjalanan penyakit yang cukup lama, dan sering tidak dapat disembuhkan. Sedangkan menurut Adelman & Daly (2001) penyakit kronis adalah penyakit yang membutuhkan waktu yang cukup lama, tidak terjadi secara tiba-tiba atau spontan, dan biasanya tidak dapat disembuhkan dengan sempurna.

Universitas Sumatera Utara

Karakteristik penyakit kronis adalah penyebabnya tidak pasti, memiliki faktor resiko multipel, membutuhkan durasi yang lama, menyebabkan kerusakan fungsi atau ketidakmampuan, dan tidak dapat disembuhkan. Penyakit kronis ini tidak disebabkan oleh infeksi atau patogen melainkan oleh gaya hidup, perilaku beresiko, pajanan yang berkaitan dengan proses penuaan.

2.2 Kategori Penyakit Kronis Menurut Christianson, dkk (1998 dikutip dari Conrad, 1978) ada beberapa kategori dari penyakit kronis yaitu 1. Lived with illnesses Pada kategori ini individu diharuskan beradaptasi dan mempelajari kondisi penyakitnya selama hidup, dan biasanya mereka tidak mengalami kehidupan yang mengancam. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah diabetes, asma, arthritis, dan epilepsi. 2. Mortal illnesses Pada kategori ini secara jelas individu kehidupannya terancam dan individu yang menderita penyakit ini hanya bisa merasakan gejala-gejala dari penyakitnya dan ancaman kematian. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah kanker dan penyakit kardivaskuler. 3. At risk illnesses Kategori penyakit ini sangat berbeda dengan dua kategori sebelumnya. Pada kategori penyakit ini tidak menekankan pada penyakitnya tetapi pada resiko

Universitas Sumatera Utara

penyakitnya. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini adalah hipertensi, dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan hereditas.

2.3 Implikasi Penyakit Kronis Penyakit kronis mempengaruhi banyak orang dalam berbagai cara, baik secara langsung atau tidak langsung. Penting artinya memahami implikasi arti dari penyakit kronis bagi individu, keluarga, dan masyarakat. Dengan cara ini individu dapat mengatasi masalah-masalahnya. Implikasi ini meliputi, yaitu menangani penyakit kronis mencakup lebih dari menangani masalah-masalah medis, dalam hal ini pertimbangan sosial dan psikologis penting diketengahkan. Adaptasi terhadap penyakit dan kecacatan merupakan proses yang berkepanjangan. Setiap perubahan besar atau penurunan fungsi membutuhkan adaptasi fisik, emosi dan sosial (Smeltzer & Bare, 2001). Suatu penyakit kronis dapat mengakibatkan kondisi penyakit kronis lain. Sebagai contoh, diabetes pada akhirnya dapat mengarah pada terjadinya perubahan neurologis dan sirkulasi dalam penglihatan, jantung, seksual, dan masalah-masalah ginjal (Smeltzer & Bare, 2001). Kondisi kronis menghadirkan dilema etis bagi individu, tenaga kesehatan profesional, dan masyarakat. Tidak ada pemecahan yang mudah terhadap masalahmasalah kondisi kronis. Hidup dengan penyakit kronis berarti hidup dengan ketidakpastian. Meskipun tenaga kesehatan dapat mengidentifikasi perjalanan penyakit yang diantisipasi, tetapi mereka tidak dapat menetukan kepastian perjalanan

Universitas Sumatera Utara

penyakit tepatnya seperti apa yang akan dihadapi oleh individu (Smeltzer & Bare, 2001).

2.4 Fase-Fase Penyakit Kronis Menurut Smeltzer & Bare (2001) ada sembilan fase dalam penyakit kronis, yaitu: 1. Fase pretrajectory Individu beresiko terhadap penyakit kronis karena faktor-faktor genetik atau perilaku yang meningkatkan ketahanan seseorang terhadap penyakit kronis. 2. Fase trajectory Adanya gejala-gejala yang berkaitan dengan penyakit kronis. Fase ini sering tidak jelas karena sedang dievaluasi dan pemeriksaan diagnostik sedang dilakukan. 3. Fase stabil Terjadi ketika gejala-gejala dan perjalanan penyakit terkontrol. 4. Fase tidak stabil Adanya ketidakstabilan dari penyakit kronis, kekambuhan gejala-gejala dari penyakit-penyakit. 5. Fase akut Ditandai dengan gejala-gejala yang berat dan tidak dapat pulih atau komplikasi yang membutuhkan perawatan di rumah sakit untuk menanganinya.

Universitas Sumatera Utara

6. Fase krisis Ditandai dengan situasi kritis atau mengancam jiwa yang membutuhkan pengobatan atau perawatan kedaruratan. 7. Fase pulih Pulih kembali pada cara hidup yang diterima dalam batasan yang dibebani oleh penyakit kronis. 8. Fase penurunan Terjadi ketika perjalanan penyakit berkembang dan disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan dalam mengatasi gejala-gejala. 9. Fase kematian Ditandai dengan penurunan bertahap atau cepat fungsi tubuh dan penghentian hubungan individual.

2.5 Jenis-Jenis Penyakit Kronis 1. Hipertensi Penyakit darah tinggi atau Hipertensi adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang ditunjukkan oleh angka systolic (bagian atas) dan angka bawah (diastolic) pada pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan darah baik yang berupa cuff air raksa (sphygmomanometer) ataupun alat digital lainnya. Nilai normal tekanan darah seseorang dengan ukuran tinggi badan, berat badan, tingkat aktifitas normal dan kesehatan secara umum adalah 120/80 mmHG. Dalam aktivitas sehari-hari, tekanan

Universitas Sumatera Utara

darah normalnya adalah dengan nilai angka kisaran stabil. Tetapi secara umum, angka pemeriksaan tekanan darah menurun saat tidur dan meningkat diwaktu beraktifitas atau berolahraga. Bila seseorang mengalami tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan pengobatan dan pengontrolan secara teratur (rutin), maka hal ini dapat membawa si penderita kedalam kasus-kasus serius bahkan bisa menyebabkan kematian. Tekanan darah tinggi yang terus menerus menyebabkan jantung seseorang bekerja extra keras, akhirnya kondisi ini berakibat terjadinya kerusakan pada pembuluh darah jantung, ginjal, otak dan mata. Penyakit hypertensi ini merupakan penyebab umum terjadinya stroke dan serangan jantung (Heart attack). Penyebab hipertensi bisa akibat dari penggunaan obat-obatan seperti golongan kortikosteroid (cortison) dan beberapa obat hormon, termasuk beberapa obat antiradang (anti-inflammasi) secara terus menerus (sering) dapat meningkatkan tekanan darah seseorang. Merokok juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi dikarenakan tembakau yang berisi nikotin. Minuman yang mengandung alkohol juga termasuk salah satu faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tekanan darah tinggi. Penyakit darah tinggi atau Hipertensi dikenal dengan 2 type klasifikasi, diantaranya: Hipertensi Primary adalah suatu kondisi dimana terjadinya tekanan darah tinggi sebagai akibat dampak dari gaya hidup seseorang dan faktor lingkungan. Seseorang yang pola makannya tidak terkontrol dan mengakibatkan kelebihan berat badan atau bahkan obesitas, merupakan pencetus awal untuk terkena penyakit tekanan darah

Universitas Sumatera Utara

tinggi. Begitu pula sesorang yang berada dalam lingkungan atau kondisi stressor tinggi sangat mungkin terkena penyakit tekanan darah tinggi, termasuk orang-orang yang kurang olahraga pun bisa mengalami tekanan darah tinggi.

Hipertensi secondary adalah suatu kondisi dimana terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi sebagai akibat seseorang mengalami/menderita penyakit lainnya seperti gagal jantung, gagal ginjal, atau kerusakan sistem hormon tubuh. Sedangkan pada Ibu hamil, tekanan darah secara umum meningkat saat kehamilan berusia 20 minggu. Terutama pada wanita yang berat badannya di atas normal atau gemuk (Adsensecamp, 2008).

2. Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia (meningkatnya kadar gula darah) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Gejala umum dari Diabetes Melitus (DM) adalah banyak kencing (poliuria), haus dan banyak minum (polidipsia), lapar (polifagia), letih, lesu, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, lemah badan, kesemutan, gatal, pandangan kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita. Pembagian DM ada beberapa jenis, yaitu: DM tipe 1 yaitu kerusakan fungsi sel beta di pancreas, autoimun, idiopatik. DM tipe 2 yaitu menurunnya produksi insulin atau berkurangnya daya kerja insulin atau keduanya.

Universitas Sumatera Utara

DM tipe lain yaitu karena kelainan genetik, penyakit pancreas, obat, infeksi, antibodi, sidroma penyakit lain. Gestasional diabetes yaitu DM pada masa kehamilan (Darwin, 2009).

3. Osteoporosis Penyakit tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai mikro arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat akhirnya menimbulkan kerapuhan tulang. Osteoporosis dapat dikelompokkan menjadi: Osteoporosis primer, sering menyerang wanita paska menopause dan juga pada pria usia lanjut dengan penyebab yang belum diketahui. Osteoporosis sekunder, disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan Cushing's disease, hyperthyroidism, hyperparathyroidism, hypogonadism, kelainan hepar, kegagalan ginjal kronis, kurang gerak, kebiasaan minum alkohol, pemakaian obat-obatan/corticosteroid, Kelebihan kafein, Merokok. Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.

Universitas Sumatera Utara

Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan postmenopausal. Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang. Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala. Beberapa penderita tidak memiliki gejala. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk. 4. Asam Urat Asam urat atau rematik gout (gout artritis) adalah hasil dari metabolisme tubuh oleh salah satu protein, purin dan ginjal. Dalam kaitan ini, ginjal berfungsi mengatur kestabilan kadar asam urat dalam tubuh dimana sebagian sisa asam urat dibuang melalui air seni. Namun bila asam urat berlebihan dan ginjal tidak mampu lagi mengatur kestabilannya, maka asam urat in akan menumpuk pada jaringan dan sendi. Pada saat kadar asam urat tinggi, akan timbul rasa nyeri yang hebat terutama pada daerah persendian. Setiap orang dapat terkena penyakit asam urat. Tetapi

Universitas Sumatera Utara

umumnya, banyak dialami para pria, sedangkan pada perempuan persentasenya kecil dan baru muncul setelah menopause. Kadar asam urat kaum pria cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Pada wanita, peningkatan itu dimulai sejak masa menopause. Hal ini dikarenakan perempuan mempunyai hormon estrogen yang ikut membantu pembuangan asam urat lewat urine. Sementara pada pria, asam uratnya cenderung lebih tinggi daripada perempuan karena tidak memiliki hormon estrogen tersebut.. Artritis gout muncul sebagai serangan keradangan sendi yang timbul berulang-ulang. gejala khas dari serangan artritis gout adalah serangan akut biasanya bersifat monoartikular (menyerang satu sendi saja) dengan gejala pembengkakan, kemerahan, nyeri hebat, panas dan gangguan gerak dari sendi yang terserang yang terjadi mendadak (akut) yang mencapai puncaknya kurang dari 24 jam. Lokasi yang paling sering pada serangan pertama adalah sendi pangkal ibu jari kaki. Hampir pada semua kasus, lokasi artritis terutama pada sendi perifer dan jarang pada sendi sentral (Wibowo, 2006).

5. Reumatoid Arthritis Artritis reumatoid (AR) merupakan salah satu jenis penyakit rematik yang merupakan penyakit autoimun. Sendi yang terjangkit biasanya sendi kecil seperti tangan dan kaki secara simetris (kiri dan kanan) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan kemudian sendi mengalami kerusakan. Kerusakan sendi sudah mulai terjadi pada 6 bulan pertama terserang penyakit ini, dan cacat bisa

Universitas Sumatera Utara

terjadi setelah 2-3 tahun bila penyakit tidak diobati. Jenis penyakit rematik bermacam-macam. Lebih kurang terdapat lebih dari 100 jenis penyakit rematik. Penyakit rematik memiliki gejala yang mirip satu dengan yang lain. Reumatoid artritis menyerang lapisan dalam bungkus sendi (sinovium) yang mengakibatkan radang pada pembungkus sendi. Akibat sinovitis (radang pada sinovium) yang menahun, akan terjadi kerusakan pada tulang rawan sendi, tulang, tendon, dan ligament dalam sendi. Peradangan sinovium menyebabkan keluarnya beberapa zat yang menggerogoti tulang rawan sel sehingga menimbulkan kerusakan tulang dan dapat berakibat menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Gejala Reumatoid arthritis yaitu terjadi peradangan pada sendi, terasa hangat di bagian sendi, bengkak, kemerahan dan sangat sakit. Biasanya pada banyak sendi, simetris, sendi terasa kaku di pagi hari. Selain itu, gejala lainnya adalah demam, nafsu makan menurun, berat badan menurun, lemah, dan anemia. Reumatoid arthritis dapat menyerang semua usia, dari anak sampai usia lanjut dan perbandingan wanita : pria adalah 3 : 1 (Sophia, 2009).

Universitas Sumatera Utara

3. Koping 3.1.Defenisi Koping Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap situasi yang mengancam yang dapat berupa perubahan cara berfikir, perubahan perilaku atau perubahan lingkungan yang bertujuan untuk mengatasi stres yang dihadapi (Keliat, 1998). Koping juga dapat didefinisikan sebagai usaha yang kognitif, perilaku dan emosi untuk mengatasi tuntutan eksternal dan atau internal yang dinilai sebagai beban atau melebihi sumber yang dimiliki seseorang. Koping merupakan proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stresfull. Koping tersebut merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologiknya (Rasmun, 2004). Menurut Yani (1997 dikutip dari McGrath, 1970) koping merupakan proses dimana individu mencoba untuk mengurangi atau memindahkan stres atau ancaman. Koping merupakan kombinasi dari persepsi, penampilan, penilaian, dan koreksi yang diikuti dengan kegiatan lanjut dan perilaku terarah dengan tujuan menguasai, mengendalikan atau menyelesaikan masalah (Yani,1997 dikutip dari Weimen 1976). Perilaku koping membantu seseorang beradaptasi terhadap stressor dan kembali pada keadaan yang stabil sedangkan mekanisme pertahanan ego membantu seseorang menghindari ancaman (Berger & William, 1992).

Universitas Sumatera Utara

3.2 Strategi Koping Menurut Jhon & MacArthur (1999) Strategi koping menunjuk pada usaha spesifik, baik secara pikologis yang dilakukan seseorang untuk mengatur, mentoleransi, mengurangi atau meminimalkan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Strategi koping dibedakan menjadi dua, yaitu koping berfokus pada masalah yang melibatkan usaha untuk mengontrol atau merubah sumber dari stres. Dalam koping ini individu secara aktif mencari penyelesaian masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres. Dan yang kedua yaitu koping yang berfokus pada emosi yang melibatkan usaha untuk mengatur respon emosional terhadap stres (Lazarus & Folkman, 1984). Koping berfokus pada masalah bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi seseorang dan lebih sering digunakan ketika stressor dinilai oleh individu sebagai penerimaan terhadap perubahan, sedangkan koping berfokus pada emosi berguna jika individu menilai menilai pengalaman stres dimana tidak dapat memodifikasi peristiwa atau stressor atau ketika stressor akan terselesaikan dengan terjadinya (Grey, 2000). Strategi koping yang termasuk koping berfokus pada masalah adalah koping konfrontasi, penggunaan dukungan sosial, dan perencanaan penyelesaian masalah. Sedangkan koping yang berfokus pada emosi yaitu kontrol diri, pelepasan diri, penilaian positif, penerimaan tanggung jawab, dan pelarian atau penghindaran (Lazarus & Folkman, 1984). Kedua strategi tersebut sering bekerja secara bersamaan (Wortman, dkk, 1999).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Kliat (1998) koping berfokus pada masalah melibatkan proses kognitif, afektif, dan psikomotor seperti berbicara dengan orang lain tentang masalahnya dan mencari jalan keluar dari nasehat orang lain, mencari tahu informasi sebanyak-sebanyaknya tentang situasi yang dihadapi, berhubungan dengan kekuatan supernatural, melakukan latihan penanganan stres, membuat berbagai alternatif tindakan dalam menangani situasi, dan belajar dari pengalaman masa lalu. Sedangkan menurut Rasmun (2001) koping yang berfokus pada masalah meliputi kompromi yaitu cara konstruktif yang digunakan oleh individu dimana dalam menyelesaikan masalahnya individu menempuh jalan dengan melakukan pendekatan negosiasi atau bermusyawarah. Yang kedua yaitu dengan menarik diri, dimana reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis. Dan yang terakhir adalah perilaku menyerang, dimana reaksi yang ditampilkan oleh individu dalam menghadapi masalah dapat konstruktif dan destruktif. Tindakan konstruktif misalnya penyelesaian masalah dengan teknik asertif yaitu tindakan yang dilakukan secara terus terang tentang ketidaksukaaan terhadap perlakuan yang tidak menyenangkan baginya, sedangkan tindakan destruktif yaitu individu melakukan tindakan penyerangan terhadap stressor yang dapat merusak dirinya, orang lain dan lingkungannya. Menurut Rasmun (2004 dikutip dari Bell, 1997) ada dua metode koping yang digunakan oleh individu dalam mengatasi masalah, metode tersebut adalah metode koping jangka panjang dan metode koping jangka pendek.

Universitas Sumatera Utara

Metode koping jangka panjang merupakan cara yang konstruktif dan efektif serta realistis dalam menangani masalah psikologis untuk kurun waktu yang lama, seperti berbicara dengan orang lain, mencoba mencari informasi, menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan kekuatan supranatural, melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan atau masalah, membuat berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi dan mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu. Metode koping jangka pendek merupakan cara yang digunakan untuk mengurangi stres dan cukup efektif untuk sementara, tetapi tidak efektif jika

digunakan dalam jangka panjang, seperti menggunakan alkohol atau obat-obatan, melamun dan fantasi, mencoba melihat aspek humor dari situasi yang tidak menyenangkan, tidak ragu dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil, banyak tidur, banyak merokok, menangis dan beralih pada aktifitas lain agar dapat melupakan masalah. Menurut Smeltzer & Bare (2001) berdasarkan dari 57 penelitian keperawatan yang ditelaah Jalowiec pada tahun 1993, ada lima koping yang sangat penting bila seseorang menghadapi penyakit yaitu mencoba merasa optimis mengenai masa depan, menggunakan dukungan sosial, menggunakan sumber spiritual, mencoba tetap mengontrol situasi maupun perasaan, dan mencoba menerima kenyataan yang ada. Koping cara lain yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah meliputi pencarian informasi, menyusun ulang prioritas kebutuhan dan peran, menurunkan tingkat harapan, melakukan kompromi, membandingkan dengan orang lain, perencanaan

Universitas Sumatera Utara

aktifitas untuk menghemat energi, memahami tubuhnya, dan melakukan bicara sendiri untuk meningkatkan keberanian diri. Merasa optimis mengenai masa depan yaitu adanya harapan akan kesembuhan penyakitnya, adanya fikiran yang berpusat pada kepercayaan dasar bahwa ada solusi terhadap kebutuhan dan masalah yang sedang dihadapi. Menggunakan dukungan sosial, dukungan sosial merupakan informasi verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial secara emosional merasa lega karena diperhatikan (Kuntjoro, 2002 dikutip dari Gottlib, 1983). Menggunakan sumber spiritual, seperti berdoa, menemui pemuka agama atau aktif pada pertemuan ibadah (Rasmun, 2004). Tidak sedikit klien yang menderita penyakit mencari dukungan spiritual dengan mendekatkan diri pada Tuhan sebagai sumber kopingnya, karena komponen dukungan spiritual adalah bimbingan, yaitu adanya hubungan kerja atau hubungan sosial yang memungkinkan seseorang mendapatkan informasi, saran atau nasehat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dan berasal dari guru, alim ulama, dan figure yang dituakan dalam upaya mendekatkan diri pada Tuhan (Kuntjoro, 2001 dikutip dari Cutrona, 1994).

Universitas Sumatera Utara

Mengontrol situasi maupun perasaan, merupakan pengendalian diri tanpa menunjukkan emosi atau bereaksi dengan tenang tanpa menunjukkan emosi atau perasaan (Wortman, dkk, 1999). Menerima kenyataan yang ada, menerima keadaan atau sadar akan keadaan dirinya yang menderita suatu penyakit dan cenderung mencari hikmah dari keadaan tersebut. Penerimaan berbagai kenyataan hidup merupakan keyakinan atau pandangan positif dapat menjadi sumber psikologis yang sangat penting untuk membentuk koping seseorang dalam menghadapi masalahnya.

Universitas Sumatera Utara

You might also like