You are on page 1of 56

FILSAFAT MANUSIA; Siapakah Manusia?

DIAKSES HARI MINGGU 02 MEI 2010


Filed Under: Uncategorized by Muhammad Abdul Halim Sani 26 Komentar September 6, 2007 A. Pendahuluan Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya, yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asyari, Filsafat Islam, 1999) Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan masnusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan mahluk alami, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan

kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain. Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia dalam bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritus suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005) Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya danketurunnya, sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi mnurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal, bebas I dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hnya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal. (Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999). Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan

selesai dan dianggap tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak berubah.(Musa Asyari, Filsafat Islam, 1999) Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, 2002). Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang menentujkan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , kan tetapi bukan berarti bahwea ia tidak dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asyari, Filsafat Islam, 1999) B. Hakekat manusia

Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001). Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan rasionalisme. Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001) Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan

perbuatannya, sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asyari, Filsafat Islam, 1999) Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004) Manusia dalam konsep al Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya, sebagaimana dilukiskan dalam kisah adam dapat diredusir menjadi rumus; http://halimsani.wordpress.com/2007/09/06/filsafat-manusiasiapakah-manusia/ Mengenal Manusia Melalui Filsafat Suatu Filsafat Manusia Filsafat ialah tertib atau metode pemikiran yang berupa pertanyaan kepada diri sendiri tentang sifat dasar dan hakikat berbagai kenyataan yang tampil dimuka. Filsafat manusia merupakan bagian dari filsafat yang mengupas apa artinya manusia. Filsafat manusia mempelajari manusia sepenuhnya, sukma serta jiwanya. Filsafat manusia perlu dipelajari karena manusia adalah makhluk yang mempunyai kemampuan hak istimewa dari sampai batas tertentu memiliki tugas menyelidiki hal-hal secara mendalam. Manusia dapat mengatur dirinya untuk dapat membedakan apa yang baik dan buruk baginya yang harus diperoleh dari hakikat diri manusia.

Kesulitan Bagi Suatu Filsafat Manusia Filsafat berpretensi mengatakan apa yang paling penting bagi manusia. Para filsuf mangatakan dan menimbulkan berbagai pendapat. Bagi Platon dan Platin misalnya, manusia adalah suatu makhluk ilahi. Bagi Epicura dan Lekritius sebaliknya manusia yang berumur pendek lahir karena kebetulan dan tidak berisi apa-apa. Descartes mengambarkan manusia sebagai terbetuk dari campuran antara dua macam bahan yang terpisah, badan dan jiwa. Perlunya dan Kemungkinan Filsafat Manusia Filsafat mengajukan pertanyaan dan mengupasnya. Filsafat bertanya pada diri sejak ribuan tahun apakah manusia itu, dan darimana datangnya manusia, tempat apakah yang didudukinya dalam alam semesta yang luas, darimana manusia datang dan untuk apakah ia ditakdirkan. Watak Sifat Manusia, Obyek Filsafat Manusia Filsafat manusia menduga bahwa suatu watak manusia suatu kumpulan corak-corak yang khas, atau rangkain bentuk yang dinamis yang khas yang secara mutlak terdapat pada manusia. Kategori manusia secara fundamental dari semua kebudayaan memiliki kesamaan. Suatu kebudayaan manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa. Semua kebudayaan diatur untuk dapat menyelamatkan solidaritas kelompok yang dengan cara memenuhi tuntutan yang diajukan oleh semua orang, yaitu dengan mengadakan cara hidup teratur yang memungkinkan pelaksanaan kebutuhan vital mereka. Perbedaan Filsafat Manusia dengan Ilmu-Ilmu yang bersangkutpaut dengannya. Ilmu yang mengemukakan kesimpulan-kesimpulan dengan bahasa matematika, yang menunjukkan bahwa mereka dalam objeknya mencapai secara langsung hanya apa yang dapat diukur dan dapat dihitung jumlahnya. Filsafat mengarahkan penyelidikannya terhadap segi yang mendalam dari makhluk hidup. Filsafat bertanya apakah yang paling mendasar memberi corak yang khas pada manusia, apakah yang menyebabkan ia bertindak sebagimana yang ia lakukan. Titik Tolak dan Objek yang Tepat Filsafat Manusia Fisafat selalu tergantung dari konteks kebudayaan dimana dia berkembang, namun dia tetap merupakan sesuatu yang sama sekali berlainan dengan jumlah atau perpaduan segala pengetahuan dari suatu zaman. Filsafat tidak dituntut untuk mempergunakan kesimpulam-kesimpulan sebagai titik tolak yang wajib bagi pemikirannya. Maka seharusnya bertolak dari pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia yang secara wajar ada pada setiap individu yang dimiliki oleh semua orang secara bersama-sama. Metode Filsafat Filsafat bersifat interogatif. Ia mengajukan persoalan-persoalan dan mempertanyakan apa yang tampak sebagai sudah jelas. Ilmu pengetahuan mengemukakan pertanyaan. Filsuf memberikan pertanyaan ke jantung hal-hal atau sampai ke akar persoalan. Metodenya bersifat diagonal atau menurut ungkapan dialektik. Plato melalui diskusi antara guru dan murid kemudian dikemukaan persoalan yang setapak demi setapak demi mencapai pemecahan. Dialektik merupakan hasil pengumpulan, penjumlahan, dan penilaian kritik dari semua opini yang didapatkan dari sesuatu masalah yang telah dikemukaan. Aristoteles selalu memulai dulu dengan mengemukaan apa yang telah dia katakan tentang masalah oleh para pendahulunya. Pada Hegel, dialektik menjadi cara yang mulai dengan memperlawankan dua ide yang saling bertentangan lalu mendamaikan mereka dengan unsur ketiga yang mengandung kedua ide itu dan merupakan sintesis daripadanya. Metode filsuf pada aliran Descartes disebut aliran filsafat bersifat refleksif. Sang filsuf hendaknya penuh perhatian terhadap gejala-gejala terutama dalam arti luas sebab ia berpendapat bahwa sang filsuf hendaknya penuh perhatian terhadap gejala-gejala. Mulai dari Husserl di Jerman, metode

filsaat diklasifikasikan fenomologis. Filsafat ingin menjelaskan gejala-gejala secara objektif mungkin menurut bagaimana gejala itu menampilkan diri terhadap kesadaran. Keberadaan Manusia Manusia mampu mengetahui dirinya dengan kemampuan berpikir yang ada pada dirinya. Manusia menghasilkan pertanyaan tentang segala sesuatu. Filsafat lahir karena berbagai pertanyaan yang diajukan oleh manusia. Ketika Manusia mulai menanyakan keberadaan dirinya, filsafat manusia lahir dan mempertanyakan, siapakah Kamu Manusia? Manusia bisa memikirkan dirinya, tapi apakah tujuan pertanyaan yang diajukannya. Keberadaan dirinya diantara yang lain yang membuat menusia perlu mendefinisikan keberadaan dirinya. Apabila pernyataan bahwa manusia dapat mengatur dirinya untuk dapat membedakan apa yang baik dan buruk baginya yang harus diperoleh dari hakikat diri manusia. Hakikat diri manusia tidak akan muncul ketika tidak terdapat pembanding diluar dirinya. Sesuatu yang baik dan buruk pada manusia menunjukkan dirinya ada dinilai diantara keberadaan yang lain. Watak manusia merupakan suatu kumpulan corak-corak yang khas, atau rangkain bentuk yang dinamis yang khas yang secara mutlak terdapat pada manusia. Manusia berada dengan yang alain menciptakan kebudayaan. Suatu kebudayaan manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa. Bahasa melakukan enilain tentang keberdaan manusia berupa wujud yang dapat diterjemahkan melalui kata-kata. Filsafat mengarahkan penyelidikannya terhadap segi yang mendalam dari makhluk hidup karena terdapat penilaian dari yang lain sebagai pembanding. Pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia yang secara wajar ada pada setiap individu yang dimiliki oleh semua orang secara bersama-sama malakukan penilaian diantara individu manusia. Tag: kata demi kata Sebelumnya: sampah Selanjutnya : PUISI SAYA http://phadli23.multiply.com/journal/item/10/filsuf

Manusia dan Filsafat Penciptaan [terakhir]


Posted on April 22, 2007 by eurekamal
c. Kekuasaan dan Ketenaran Sebagian meletakkan kekuasaan dan ketenaran bagi keabadiannya sebagai ideologi, namun terletak perbedaan antara seorang yang memiliki tujuan khas dan dalam perjalanan menggapai tujuan khusus itu ia mendapatkan kekuasaan dan ketenaran dan seorang yang tujuan utamanya adalah meraih puncak kekuasaan dan ketenaran. Seorang pelajar yang tujuan mulianya adalah menuntut ilmu, ketika telah menjadi seorang ilmuwan biasanya ia juga memperoleh suatu kedudukan dan menjadi terkenal. Di sini pelajar tersebut tidak menjadikan ilmu sebagai alat untuk mencapai puncak tujuannya yaitu kedudukan dan ketenaran, namun tujuannya tak lain misalnya melakukan penelitian untuk mendapatkan ilmu dan penemuan baru,

bukan kekuasaan. Adalah sangat mungkin seorang individu secara lahiria meletakkan ilmu sebagai tujuannya hingga ia memperoleh sebuah ijazah dan kemudian mencapai suatu kedudukan dan menjadi tenar. Di sini, individu ini nampak menempatkan ilmu itu sebagai tujuan, sementara secara hakiki inti tujuannya adalah mendapatkan kedudukan, kekuasaan, dan ketenaran. Memang benar bahwa ilmu pada kedua individu di atas ditempatkan sebagai tujuan, tapi pada individu pertama digunakan untuk berkhidmat pada kemanusiaan dan mengikuti tuntutan fitrah sucinya, sementara pada individu kedua hanya untuk memuaskan tujuan rendah dari jiwanya yaitu cinta pada kekuasaan dan ketenaran. Adalah sangat urgen untuk individu kedua ini memahami dan mengetahui bahwa: Pertama, cinta kekuasaan dan ketenaran adalah sangat tidak layak bagi kedudukan mulia manusia dan juga tidak sesuai dengan hakikat wujudnya; Kedua, seorang yang telah menjadi terkenal dan berkuasa adalah sangat mungkin, karena terjadi perubahan nilai dan tolok ukur sosial dalam masyarakat, akan terdepak dari kursi kekuasaan dan menjadi terhina; Ketiga, cinta kekuasaan dan ketenaran merupakan perkara yang sangat nisbi, karena pada setiap tempat dan zaman terdapat orang yang memiliki kekuasaan dan ketenaran yang lebih tinggi dan lebih luas dari kekuasaan dan ketenaran yang dimilikinya. Kekuasaan dan ketenaran tersebut dari aspek bahwa tidak bisa ditempatkan sebagai ideologi, karena akan menyirnakan sifat rendah hati dan tawadhu serta terjebak dalam kecenderungan materi dan lautan egoisme yang kesemua ini merupakan penghalang proses kesempurnaan manusia. Apabila manusia tidak melepaskan dirinya dari kecenderungan dan cinta kekuasaan ini, maka mustahil ia melangkahkan kakiknya meniti jalan kesempurnaan. d. Cinta Diri dan Egoisme Sebagian manusia menjadikan kecintaan pada diri (cinta diri) sebagai tujuan dan ia berusaha segenap kemampuan dan berupaya dengan gigihnya dalam meraih tujuan ini. Mereka mengerahkan segenap kekuatan jiwa dan pikirannya untuk memuaskan apa-apa yang menjadi tuntutan dan kecenderungan kecintaan dirinya. Keadaan tersebut biasanya ditemukan pada masa remaja, dan keadaan ini dapat melemah dan berlalu dengan cepat seiring dengan penambahan umur sehingga tidak terlalu penting dan berbahaya

bagi jiwa. Namun keadaan ini bisa tetap berlanjut hingga pada tingkatan mempengaruhi keseimbangan jiwa manusia dan menjadi suatu penyakit jiwa. masyarakat yang non-etis. Cinta pada diri sendiri berdasarkan realitas di atas tidak bisa menjadi sebuah ideologi, karena menghilangkan keseimbangan jiwa manusia dan menyebabkan manusia tidak bisa berpikir secara benar serta memandang realitas hidup dengan khayalan kosong. e. Welfarisme [1] Begitu banyak manusia menjadikan tujuan hidup satu-satunya untuk menggapai kesejahteraan hidup (welfare). Mereka ini berupaya dengan segenap kemampuan untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera dan melupakan bahwa kesejahteraan merupakan alat dan wasilah kehidupan, bukan tujuan hakiki kehidupan manusia. Namun sangat disayangkan bahwa sebagian aliran pemikiran dan ideologi manusia bahkan menegaskan dan menekankan pencapaian suatu kehidupan sejahtera yang kosong dari kesedihan, kemalangan, dan kemiskinan sebagai suatu tujuan hidup manusia. Mereka ini lupa dan tidak memperhatikan bahwa apabila semua manusia suatu waktu sampai pada puncak kesejahteraan, tidak ada lagi kefakiran, kemalangan, dan seluruh manusia menjalani hidup di surga dunia ini, maka fitrah manusia masih akan menyoalkan tentang dari mana kita datang? Kenapa kita lahir ke alam ini? Dan kemana kita akan pergi? Apabila mencapai puncak kesejahteraan dapat dianggap sebagai tujuan hakiki kehidupan dan ideologi manusia, maka manusia-manusia yang telah menggapai puncak kesejahteraan tidak mesti lagi memilih suatu ideologi lain sebagai pandangan hidupnya, sementara realitas yang terjadi tidaklah demikian dan begitu banyak manusia sejahtera menuntut ilmu dan pengetahuan atau mengejar kekuasaan, kedudukan, dan ketenaran. Lebih dari yang disebutkan di atas, apabila kesejahteraan hidup yang secara hakiki adalah alat dan perantara diletakkan sebagai tujuan hakiki kehidupan manusia, maka ketika manusia ini tidak berhasil meraih tujuannya tersebut niscaya ia akan merasakan kemalangan yang sangat dalam, sangat mungkin berujung pada putus asa dan bunuh diri, dan kemudian memandang kehidupan dengan pandangan yng sangat negatif. Penyakit jiwa ini akan semakin parah dengan ketiadaan sistem pendidikan yang mumpuni dan keadaan sosial yang sangat liberal serta prilaku

f. Hedonisme [2] Manusia lain menempatkan kesenangan hidup atau hedonis sebagai ideologinya dan berusaha mendapatkan semaksimal mungkin segala kesenangan dalam kehidupannya. Bentuk pandangan hidup seperti ini tidak lepas dari pengaruh konsep filsafat Epicurian. Sesungguhnya mereka ini bukan hanya tidak meletakkan tujuan mendasar dan hakiki untuk kehidupan mereka, bahkan kehidupan itu sendiri dianggap dan dipandang sebagai permainan dan canda belaka. Manusia seperti ini dapat dipandang tidak memiliki keseimbangan jiwa dan pikiran, dan tujuan mereka tidak lain adalah berusaha mendapatkan seluruh kesenangan dan memuaskan keinginankeinginan alami dan kecenderungan-kecenderungan tubuh. Hedonisme tidak dapat ditempatkan sebagai ideologi, karena manusia akan terpenjara oleh kecenderungan tubuh yang rendah dan jiwa manusia tidak ijinkan untuk melakukan perjalanan menyempurna dan melesak hingga tingkatan ter-tinggi kesempurnaan manusia dan Ilahi. Dan begitu pula, hedonisme ini niscaya meletihkan tubuh manusia dan berujung pada nihilisme. 4. Karakteristik- Karakteristik Ideologi Sempurna Sebagaimana yang telah diungkapkan tentang defenisi ideologi dan ideologi yang dianut oleh manusia, dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa ideologi adalah suatu tema yang merupakan pokok perhatian manusia, merupakan dasar semua prilaku manusia dan menentukan bentuk pilihan manusia, merupakan tujuan segala usaha dan upaya manusia, dan merupakan penjelas kedudukan manusia di alam eksistensi ini, minimal kehidupannya di alam materi, serta merupakan tolok ukur bagi nilai-nilai dan keutamaan kehidupan. Di sini perlu diperhatikan poin penting bahwa tolok ukur mengenal ideologi manusia ialah melihat apa yang menjadi titik tekan dan perhatian mendasar dari kehidupannya dan dasar motivasi segala prilaku dan tindakannya. Yakni manusia ini dengan motivasi, dasar, dan tujuan apa ia melakukan perbuatan tersebut, jadi apa saja tujuan dan motivasi segala tindakan dan prilaku manusia tidak lain adalah ideologi dan tujuan hidup manusia. Manusia tidak perlu menyatakan secara lahiriah mengenai ideologi dan tujuan hidup yang dianutnya karena ideologi bukan realitas yang terucap tetapi sebuah realitas yang mendasari seluruh perbuatan, tindakan, dan prilaku manusia. Oleh karena itu, suatu ideologi bisa mengemban masalah-masalah tersebut di atas apabila mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Ideologi tidak hanya harus mempunyai seluruh sifat positif, bahkan mesti jauh dari segala kekurangan dan kelemahan. Apabila kita mengamati setiap ideologi manusia, maka kita akan jumpai beberapa dimensinya yang bermanfaat dan memiliki sisi positif, tetapi aspek-aspek lainnya yang negatif dan mempunyai kekurangan niscaya jauh dari nilai-nilai hakiki. Sebagai contoh, kekayaan yang berfungsi memenuhi kebutuhan-kebutuhan materi manusia merupakan hal yang bermanfaat dan positif, namun dari dimensi bahwa dia menyebabkan terjadinya eksploitasi alam maka mustahil dia ditempatkan sebagai suatu ideologi. Atau cintai diri dan egoisme yang walaupun memuaskan dan berkhidmat pada kebutuhan-kebutuhan ruhani dan jasmani manusia, namun dari aspek bahwa egoisme ini mengerahkan segala potensi manusia untuk berkonsentrasi pada satu dimensi saja yang lantas berujung pada keterasingan manusia dari alam spiritual malakuti dan hilangnya sifat-sifat kemanusiaan, jadi dengan realitas ini egoisme tak bisa dijadikan sebagai suatu ideologi bagi manusia. 2. Ideologi mesti menjelaskan kedudukan manusia di alam eksistensi dan menjawab persoalanpersoalan hakiki manusia, seperti masalah asal-muasal manusia, tujuan keberadaan manusia di alam ini, dan akhir perjalanan hidup manusia pasca kematian. Manusia senantiasa ingin memahami secara hakiki kedudukannya di alam eksistensi, apa yang mesti dilakukan di dunia ini, dan apa tujuan hakiki kehidupan manusia. Dan karena tak satupun ideologi yang ada dapat menjawab secara sempurna persoalan-persoalan manusia tersebut dan hanya filsafat penciptaan yang mampu memberikan solusi riil dan hakiki atas semua persoalan kemanusiaan tersebut, dengan demikian filsafat penciptaan ialah ideologi yang paling sempurna yang bisa dianut manusia. 3. Ideologi harus terkait dengan semua aspek kehidupan manusia dan menentukan bentuk hubungan individu-individu dalam masyarakat dan mengarahkan menusia ke arah pembangunan diri, masyarakat, dan bangsanya. Disamping itu, ideologi dapat memberdayakan potensi-potensi yang berbeda dari setiap individu untuk kepentingan kesempurnaan masyarakat manusia dan menegaskan bahwa setiap individu-individu manusia berhubungan satu sama lain sedemikian sehingga diumpamakan sebagai bagian-bagian dari tubuh yang satu. Ia mengajarkan pada manusia untuk merasakan langsung penderitaan-penderitaan orang lain dan memotivasi manusia menolong dan membantu sesamanya. Tidak diragukan lagi bahwa sifat dan karakteristik seperti ini hanya dimiliki oleh filsafat penciptaan, karena tidak satupun dari ideologi yang ada memiliki pengaruh universal dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh, bangsa yang menganut nasionalisme sebagai ideologinya, walaupun memiliki pengaruh bagi yang manusia lainnya, namun aspek-aspek manfaat dari ideologi ini hanya meliputi minoritas manusia yang hidup dan tinggal dalam komunitas masyarakat tersebut. 4. Ideologi harus memiliki dimensi logis, argumentatif, rasionalitas, dan bersifat tetap dan stabil. Dan begitu banyak realitas yang dijadikan manusia sebagai ideologi, seperti kekayaan, kesejahteraan (welfare), suku, bangsa dan lain sebagainya, yang mungkin secara lahiriah bersifat logis, namun apabila hal-hal ini dianalisa dalam koridor hubungan manusia dan masyarakat atau kemashlahatan semua individu manusia maka nampak ketaklogisan dan ketidakstabilan ideologiideologi tersebut; karena bagaimana mungkin, dengan asumsi bahwa nasionalisme ditempatkan sebagai ideologi bagi semua manusia dengan keberadaan ideologi-ideologi lain seperti kekayaan atau hedonisme yang juga dianut oleh sebagian manusia, dapat diyakini bahwa tidak akan terjadi benturan di antara individu-individu manusia. 5. Cita-cita dan tujuan ideologi ialah bisa dicapai oleh semua individu manusia. Dengan ungkapan lain, puncak kesempurnaan yang dicanangkan oleh ideologi tersebut bisa diraih secara bertahap oleh setiap individu manusia berdasarkan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Begitu banyak ideologi yang dianut oleh manusia mustahil dicapai oleh seluruh manusia, dengan ini menyebabkan manusia yang tidak dapat menggapainya menjadi sangat terpukul dan mengalami gangguan kejiwaan. Misalnya manusia yang menjadikan kekayaan sebagai ideologinya dan menempatkan uang sebagai satu-satunya nilai dan tolok ukur, apabila manusia ini tidak berhasil meraih tujuan dan cita-cita ideologinya, maka pasti dia akan mengalami depresi kejiwaan. 6. Ideologi mesti bersifat abadi dan kekal, karena kalau manusia memilih suatu ideologi yang tidak kekal, maka dapat dipastikan bahwa kehidupan manusia akan mengalami kemunduran dan

kehancuran. Sebagai contoh, kalau seseorang menjadikan kekayaan sebagai ideologinya ,maka dengan ketiadaan ideologi itu akan menyebabkan manusia menjadi terpuruk, jiwanya menjadi tidak stabil, dan kehidupannya menjadi sia-sia. Pandangan-Pandangan tentang Alam Eksistensi Apakah kita dapat memahami dan mendefenisikan tentang kehidupan ataukah tidak? Apakah keberadaan kita sendiri bisa dijelaskan sedemikian rupa sehingga memiliki nilai yang abadi ataukah tidak? Apakah kehidupan itu sendiri memiliki nilai ataukah tidak? Pertanyaan dan persoalan seperti ini senantiasa menarik perhatian para pemikir. Penyikapan yang optimisme dan pesimisme yang terjadi di sepanjang sejarah manusia atas kehidupan ini merupakan bukti terhadap urgensinya persoalan di atas yang sebagaimana dikatakan oleh Albert K, Apa bedanya bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya, secara tegas saya katakan bahwa persoalan ini sama sekali tidak mempunyai nilai dan manfaat. Dan kita melihat begitu banyak manusia yang putus asa atas kehidupan karena memandang bahwa hidup ini tidak memiliki nilai. Atau kita menyaksikan individu-individu lain yang karena keterikatannya secara emosional atau rasional dengan agama dan kepercayaan mengorbankan dirinya demi agama suci dan keyakinannya atau menjalani kehidupan ini berdasarkan agama dan keyakinan tersebut. Oleh karena itu, menurut perspektif saya makna dan arti kehidupan merupakan persoalan yang urgen dan hakiki.[3] Konsep dan pandangan para pemikir tentang alam eksistensi dan kehidupan dapat dibagi secara umum dalam tiga kelompok, antara lain: 1. Kelompok yang mendukung Optimisme dan memandang kehidupan ini dengan pikiran yang positif. Mereka ini juga menyaksikan bahwa kehidupan dunia ini memiliki keburukan dan kemalangan, akan tetapi berkeyakinan bahwa kebaikan dan keberuntungan kehidupan dunia ini jauh lebih besar dari penderitaan dan keburukannya. Dengan ungkapan lain, kemenangan berada pada keberuntungan dan kebaikan dunia ini. Penderitaan, kemalangan, dan keburukan merupakan perkara-perkara yang nisbi, cepat berlalu, dan diinginkan atau tidak niscaya akan sirna. Secara umum, makna Optimisme digunakan dalam hal-hal di bawah ini: a. Optimisme, sebagaimana yang terkandung dalam pandangan-pandangan Leibniz. Ia berkeyakinan bahwa alam eksistensi ini merupakan alam wujud yang terbaik yang dapat tercipta, maka dari itu seluruh apa yang terjadi dan segala fenomena yang muncul di alam eksistensi ini juga merupakan realitas-realitas dan perkara-perkara yang terbaik.[4] b. Optimisme dan berpikir positif dalam kerangka mekanisme eksistensi bermakna bahwa eksistensi itu sendiri identik dengan kebaikan, dan keburukan sebagai suatu hal yang

nisbi atau tiada. Pandangan ini berpijak pada mekanisme eksistensi dan dibangun di atas dalil filosofis yang kuat. Mayoritas filosof Islam menganut pandangan ini. c. Optimisme dengan makna bahwa zat dan wujud manusia secara esensial adalah baik dan kalau terdapat keburukan dalam diri manusia maka sesungguhnya berasal dari lingkungan sosial, sistem pengajaran, dan metodologi pendidikan. d. Optimisme dengan arti bahwa manusia beranggapan bahwa segala perkara dan realitas yang terjadi di alam eksistensi ini adalah baik dan bermanfaat. Dengan ungkapan lain, dia berkeyakinan bahwa apabila terjadi banjir atau angin topan dan fenomena alam lainnya maka sebenarnya memiliki hikmah dan mashlahat. e. Optimisme mashlahat. f. Optimisme yang bermakna negatif dimana manusia supaya lepas dari segala tanggung jawab berupaya menjelaskan secara baik seluruh kejadian sosial yang terjadi. 2. Kelompok yang menganut Pesimisme dan senantiasa melihat kehidupan ini dengan pikiran yang negatif. Kelompok manusia ini hanya memandang aspek penderitaan dan kemalangan kehidupan dan tidak berharap sama sekali akan hadirnya kebaikan bagi kehidupan. Secara umum, Pesismisme digunakan dalam pengertian-pengertian sebagai berikut: a. Pesimisme dalan mekanisme alam eksistensi adalah bahwa yang hakiki dan prinsipil dalam alam eksistensi ialah keburukan. Kebaikan merupakan perkara yang bersifat sementara dan akan berlalu, hal-hal yang abadi di alam ini hanyalah keburukan dan penderitaan. b. Pesimisme yang terkait dengan esensi manusia, yakni wujud manusia secara substansial adalah buruk. Apabila terdapat prilaku dan perbuatan manusia yang baik, maka hal-hal itu hanyalah bersifat permukaan belaka dan dibalik tindakan baik itu tersimpan niat buruk. c. Pesimisme bermakna bahwa manusia memandang keburukan dan penderitaan bersifat hakiki dan substansial sementara kebaikan itu bersifat aksidental, dan berkeyakinan juga bahwa penderitaan mengalahkan kenikmatan dan keburukan mengungguli kebaikan. memiliki pengertian bahwa manusia tetap berkeyakinan terhadap

keberadaan keburukan, namun kemenangan senantiasa berakhir pada kebaikan dan

Dan berdasarkan pandangan ini, penderitaan dan keburukan adalah hakiki dan kenikmatan dan kebaikan tidak lain adalah ketiadaan penderitaan dan ketiadaan keburukan. d. Pesimisme dan berpikir negatif berarti bahwa manusia juga mengakui adanya kebaikan dan kesenangan, akan tetapi kemenangan berpihak pada keburukan dan penderitaan. e. Pesimisme memiliki pengertian bahwa manusia apabila memandang apa saja yang ada di alam ini, maka akan mendapatkan keburukan, penderitaan, dan kekurangan. 3. Kelompok ketiga adalah yang memiliki perspektif dan pandangan sebagai berikut: a. Alam eksistensi ini bukan merupakan alam yang terbaik dan juga tidak menyeluruh bersifat buruk, tetapi alam ini memiliki kebaikan, keindahan, keburukan, dan penderitaan. b. Esensi manusia tidak bersifat buruk dan juga tak bersifat baik, namun pilihan, kebebasan, dan ikhtiar manusia dalam bertindak akan membentuk esensi dan hakikat wujudnya. c. Apabila manusia berusaha maka niscaya dia dapat menyingkirkan dan menyirnakan keburukan-keburukan serta mencapai kebaikan-kebaikan dan kenikmatan-kenikmatan. Mayoritas psikolog beranggapan bahwa Optimisme dan berpikir positif merupakan perkara yang fitrah dan berkeyakinan bahwa keberadaan faktor-faktor tak sehat dan kehendak-kehendak yang menyimpang mengakibatkan perkembangan fitrah manusia ke arah yang menyimpang pula dan manusia kemudian beralih dari puncak Optimisme ke lembah Pesimisme dan berpikir negatif. Hasil penelitian para psikolog menunjukkan bahwa Pesimisme banyak dianut oleh masyarakat perkotaan dan juga kaum lelaki lebih banyak terjerumus ke lembah Pesimisme dibanding kaum hawa. Filsafat Nihilisme Pada kesempatan ini kami akan membahas substansi filsafat Nihilisme dan konsep-konsep para penganut-penganutnya. Pemeluk aliran filsafat ini adalah orang-orang yang memahami bahwa realitas yang ada di alam ini hanyalah keburukan. Mereka beranggapan bahwa fenomena-fenomena yang ada pada manusia tidak lain adalah penderitaan, kemalangan, kemiskinan, dan kehancuran. Begitu pula,

segala maujud selain manusia adalah buruk dan tak bermanfaat bagi manusia. Secara umum, yang ada di alam hanyalah suara-suara keburukan dan atmosfir-atmosfir putus asa. Pemikiran-pemikiran Nihilisme dapat dilihat pada karya-karya pendukung masyhur Nihilisme, seperti Jean Paul Sartre, Franz Kafka, Arbert K, Samuel B, Arthur A. Penulis-penulis ini mengungkap ketidakbermaknaan kehidupan dan Nihilisme dalam bentuk cerita-cerita. Sebagian penulis ini, berupaya membangun argumentasi rasional atas ketidakberartian kehidupan manusia dan Nihilisme. Nihilisme merupakan kecenderungan baru di zaman moderen. Pada masa yang lalu, yang ada hanyalah Pesimisme dan bukan Nihilisme, namun di abad kontemporer Pesimisme mencapai puncak kejayaannya dan menjadi Nihilisme. Bunuh diri, lari dari tanggung jawab hidup, dan memandang hidup ini sebagai canda-gurau belaka adalah merupakan tanda-tanda bahwa manusia masa kini memandang rendah kehidupan dan terjebak dalam dunia Nihilisme. Mayoritas manusia yang hidup di Barat tidak mengetahui mengapa dan bagaimana mesti menjalani kehidupan ini, mereka memikirkan segala hal, kecuali hakikat kehidupan dan kedudukan manusia di alam eksistensi. Begitu banyak manusia di dunia Barat memahami dirinya telah tenggelam di lautan tak bertepi bernama kehidupan dan tak memiliki harapan bagi keselamtan diri mereka. Nah, para penulis di atas meriakkan Nihilisme dan tak bermaknanya kehidupan, perkataan mereka adalah cerita tentang penderitaan beribu-ribu manusia yang telah kehilangan diri mereka sendiri dan telah putus asa akan keselamatan mereka di lautan yang tidak bertepi ini. Di bawah ini akan disebutkan beberapa kondisi yang menyebabkan manusia abad kini cenderung pada Nihilisme dan perlahan-lahan memandang kehidupan ini tidak bermakna lagi, antara lain: 1. Pasca revolusi indusrti, dunia Barat sangat mengunggulkan ilmu dan industri sedemikian sehingga diposisikan sebagai tuhan, namun ketika terjadi peperangan dan perubahan ekonomi dan sosial yang drastis dimana tuhan mereka tidak mampu menyelesaikan dan mengobati penderitaan-penderitaan manusia, mereka akhirnya putus asa dan kehilangan kepercayaan. 2. Dua perang dunia dan revolusi berdarah yang terjadi sekitar dua abad sebelumnya bersama dengan penjajahan membuat kehidupan manusia semakin terjepit dan gelap. 3. Ribuan manusia yang mengalami kemiskinan dan sebagian kecil manusia yang berada dalam kehidupan yang mewah dan berlebihan menjadikan mereka tersebut memandang kehidupan ini dengan pikiran negatif dan terjebak dalam pesimisme.

4.

Pemikiran Darwin, Freud, Nitche, dan yang lainnya dimana menjungkirbalikkan prinsip-prinsip hakiki manusia dan mengarahkan kehidupan manusia pada jalan buntu, sehingga pada akhirnya mayoritas manusia mengalami keraguan pikiran dan kebingungan bertindak dalam kehidupan.

5.

Maraknya penganut Materialisme dimana mereka berusaha menjauhkan kehidupan manusia dari Tuhan dan agama suci, hal ini menyebabkan manusia merasa asing di alam eksistensi.

6.

Nilai-nilai manusia mengalami perubahan, yakni nilai-nilai etika dan akhlak. Realitas perubahan ini menepihkan hubungan kasih sayang manusia dimana berujung pada pesimisme kehidupan.

Faktor-Faktor Mendasar Kecenderungan Manusia pada Nihilisme Secara umum, faktor-faktor tersebut terbagi dua: 1. 2. Faktor-faktor internal atau individual; Faktor-faktor eksternal atau sosial.

Adalah tidak diragukan bahwa dalam kerangka pengenalan manusia mustahil dipisahkan antara individu dan masyarakat, karena keduanya saling berpengaruh satu sama lain dan kalau faktor-faktor di atas dibagi menjadi dua bagian tidak lain adalah semata-mata karena intensitas efek dan pengaruh faktor yang satu atas faktor lainnya. Faktor-faktor internal seperti ketiadaan atau kesalahan pendidikan, perasaan terhina, tidak rela atas dirinya, dan aspek kejiwaan lain. Faktor-faktor eksternal seperti kerusakan lingkungan sosial, perubahan nilai-nilai manusia, pandangan dunia, dan lain lain. Pada kesempatan ini, hanya faktor-faktor yang terpenting yang akan dianalisa. Di antara banyak faktor yang mungkin berpengaruh dalam mengantarkan manusia ke lembah pesimisme dan nihilisme, yang akan disebutkan adalah faktor-faktor yang bersifat umum dan universal yang meliputi banyak motivasimotivasi partikular. Sebagai contoh, kerusakan dan kesalahan pendidikan merupakan salah satu faktor yang umum dan universal yang bisa mencakup aspek-aspek partikular seperti ketiadaan kasih sayang dalam program pengajaran, pendekatan yang non-manusiawi, kekerasan, dan lain-lain. Dalam mengkaji faktor-faktor tersebut di atas harus memperhatikan poin-poin sebagai berikut: 1. Mustahil dapat dikatakan bahwa hanya satu faktor dan penyebab hadirnya pesimisme dan nihilisme, karena tabiat manusia hanya dapat berubah dengan faktorfaktor yang banyak. Lebih dari apabila hanya satu faktor yang berpengaruh dalam kejiwaan manusia, mekanisme defensif yang ada dalam diri manusia akan bisa menjinakkannya dan manusia tak terpengaruh olehnya.

2. Kecenderungan manusia pada pesimisme dan nihilisme memiliki derajat dan tingkatan, yakni semua individu yang terjebak dalam pesimisme dan nihilisme tidak berada dalam satu tingkatan kualitas yang sama. Dan kualitas ini sangat bergantung pada pribadi setiap individu. 3. Intensitas dan bentuk pesimisme dan nihilisme pada individu bergantung pada faktor-faktor yang berpengaruh atasnya, seperti seorang yang patah hati dalam cinta atau tidak berhasil mencapai kedudukan yang diinginkan akan terjebak dalam pesimisme, namun setelah berlalunya waktu ia mendapatkan cinta yang baru atau berhasil menggapai posisi yang lain, dengan demikian ia bisa bangkit lagi dan menjauh dari pesimisme. Sementara seorang yang jatuh ke lembah pesimisme dan nihilisme karena faktor kekeliruan dalam mengenal hakikat dan tujuan penciptaan alam semesta adalah sangat mungkin tetap terjebak dalam paham tersebut sepanjang hayatnya. 4. Pengaruh pesimisme dan nihilisme pada setiap manusia juga sesuai dengan umur dan kualitas rasionalitas dan pemikirannya serta karakter pribadi masing-masing individu, karena: Pertama , anak remaja pada masa baligh biasanya mengalami semacam goncangan kejiwaan dan cenderung pesimis yang disebabkan oleh transformasi masa kanak-kanak ke masa remaja dan perubahan pada struktur pisik dan jiwa yang merupakan kemestian di masa baligh. Sementara manusia yang telah dewasa lazimnya tidak mengalami perubahan semacam itu. Kedua , manusia yang memiliki pengetahuan luas dan setelah mempelajari beragam aliran-aliran pemikiran lantas tidak bisa menetapkan salah satu pemikiran yang benar, pada akhirnya akan mengalami kebingungan dan terjebak dalam pesimisme dan nihilisme. Pesimisme orang seperti ini pasti berbeda dengan pesimisme anak remaja yang baru melewati masa baligh. Ketiga , sisi kepribadian manusia menentukan kemampuan defensif dalam menghadapi realitas arus negatif pesimisme dan nihilisme. Individu yang terwarnai dengan warna asli keagamaan sangat sulit dan hampir mustahil terpengaruh oleh arus negatif ini. Sementara seseorang yang bebas dan tidak terikat dengan budaya agama kemudian tersandung dengan persoalan besar kehidupan yang tidak mampu ia selesaikan kemungkinan besar akan terimbas oleh arus itu. 5. Pesimisme dan nihilisme memiliki tahapan yang beragam dan sangat mungkin seseorang akan terjabak dalam pesimisme pada waktu tertentu, namun setelah penyebab keterjebakan itu sirna ia tak berada dalam lembah pesimisme. Keadaan lain mungkin terjadi pada manusia dimana sangat mustahil dia dapat bangkit dan melepaskan dirinya dari cengkeraman pesimisme sepanjang hidupnya. Di bawah ini kami akan jabarkan dan uraikan faktor-faktor penting dan mendasar yang menyebabkan hadirnya kecenderungan manusia dan keterjebakannya dalam pesimisme dan nihilisme. 1. Dilema Penciptaan Dalam perjalanan sejarah, manusia senantiasa ingin mengetahui dari mana dia berasal, untuk apa ia hadir di muka bumi ini, dan kemana ia akan pergi setelah kematian. Sebagian manusia merasa tidak mampu memberikan solusi atas persoalan-persoalan tersebut kemudian mengabaikannya dan sebagian lain yang minoritas sangat serius memandang masalah-masalah itu dan berusaha secara terus menerus mencari jawaban hakikinya. Permasalahan tersebut dihadapi oleh semua kalangan pemikir dan filosof, namun problematika penciptaan itu dapat diselesaikan dengan cermat bagi sebagian filosof, terutama para filosof Muslim. Hal

ini karena para filosof Islam, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Khwajah Nashiruddin Thusi, Mulla Sadra, dan filosof Islam kontemporer, bersentuhan dengan sistem filsafat yang sempurna dan pengetahuan mereka yang lengkap terhadap teks-teks suci agama Islam. Dengan demikian, para filosof ini tidak jatuh ke lembah pesimisme dan nihilisme. Berbeda dengan para pemikir lainnya, seperti tokoh-tokoh yang dikenal sebagai pendukung filsafat pesimisme dan nihilisme, karena mereka tidak mempunyai sistem filsafat yang komprehensif, metodologi berpikir yang sempurna, dan tidak menjangkau sumber asli agama pada akhirnya tidak dapat memahami dan memberikan solusi yang sempurna atas semua persoalan tersebut. Dan puncaknya adalah mereka berpegang pada konsep pesimisme dan nihilisme. Di sini bisa dikatakan bahwa manusia yang tidak berkontemplasi, bertadabbur, bertafakkur atas hakikat dan tujuan penciptaan serta tidak berupaya menggali rahasia eksistensi niscaya menyebabkan dia tertarik ke arah pesimisme dan tersungkur ke jurang gelap nihilisme. Sementara berpegang teguh pada sistem filsafat Ilahi dan teks suci agama, manusia dapat menyingkap tabir rahasia alam dan akan mengantarkannya pada pengetahuan hakiki tentang tujuan dan filsafat penciptaan, dengan demikian dia dapat selamat dari keterjebakan dalam pemikiran pesimisme dan pandangan nihilisme. 2. Rahasia Kematian Fenomena kematian merupakan salah satu faktor yang mendasar bagi kecenderungan manusia kepada pesimisme dan nihilisme. Hakikat kematian yang tak terungkap menarik begitu banyak para pemikir dan filosof ke arah pesimisme. Manusia yang telah terjebak dalam kesenangan lahiriah dan juga mengetahui bahwa kesenangan itu mesti berakhir, maka seketika itu ia akan putus asa dan pesimis, kemudian dia akan bertanya pada dirinya sendiri, apakah kehidupan ini memiliki nilai? Orang-orang yang tidak terperangkap dalam pesimisme dan nihilisme adalah hanya orang-orang yang percaya bahwa pasca kematian terdapat alam keabadian (alam akhirat) dan yakin bahwa kehidupan di dunia ini adalah suatu tahapan untuk memasuki tahapan lain dari kehidupan yang lebih sempurna dan abadi, dengan demikian kematian bukan akhir dari kehidupan, tetapi jembatan yang menghubungkan antara dunia ini dengan dunia lain. Namun bagi mereka yang tidak percaya akan keberadaan alam-alam lain selain alam materi ini, maka kematian bermakna akhir kehidupan, dengan kedangkalan pengetahuan ini mereka niscaya akan pesimis dan menganut nihilisme. 3. Keraguan Pada satu sisi keraguan merupakan salah satu faktor terpenting dalam mengenal alam wujud dan eksistensi. Seorang pemikir dan filosof yang belum mengalami keraguan terhadap masalah-masalah eksistensial dan ontologi pada umumnya tak bisa mengenal secara luas realitas-realitas lain.

Pencapaian-pencapaian ilmiah dan filsafat yang dialami oleh sekian banyak pemikir dan filosof bersumber dari keraguan-keraguan terhadap tema-tema mendasar makrifat manusia, apabila ilmu dan pengetahuan manusia tidak diragukan oleh para ilmuwan, maka ilmu dan pengetahuan manusia akan tetap berada dalam tingkatan tertentu, tidak mengalami kemajuan, dan tidak akan lahir beragam aliran dan sistem pemikiran ilmu dan filsafat. Jika manusia menjadikan keraguan tersebut sebagai perantara dan jembatan menuju perolehan pengetahuan dan makrifat ontologi serta ilmu-ilmu lainnya, maka hal tersebut sangatlah bermanfaat. Namun kalau keraguan seseorang tetap berlangsung, artinya dia tetap berada dalam keraguan dan tetap tinggal pada jembatan keraguan tersebut, bahkan meragukan hal-hal yang paling gamblang, jelas, dan aksioma sekalipun seperti meragukan keberadaan alam ini atau keberadaan dirinya sendiri, maka bentuk keraguan ini tidak boleh dikategorikan sebagai keraguan ilmu dan filsafat, karena orang seperti ini sesungguhnya mengalami sakit kejiwaan. Walhasil, bentuk keraguan semacam ini, yakni keraguan kejiwaan, akan menarik manusia kearah pesimisme dan nihilisme, karena dia telah sampai meragukan semua persoalan bahkan kepada keberadaan dan eksistensi kehidupannya sendiri. 4. Ketiadaan Cita-Cita dan Ideologi Tanpa diragukan bahwa manusia yang tidak memiliki harapan, tujuan, cita-cita, dan ideologi pasti akan mengalami putus asa dan pesimisme. Seseorang yang tidak menentukan arah dan tujuan kehidupannya yang kemudian berusaha dengan segenap kemampuan menggapainya atau dia hanya mengikuti perubahan-perubahan yang ada dan menempatkan dirinya semata pada realitas yang ada, maka ketika berbenturan dengan berbagai kejadian dan fenomena yang tidak menguntungkan dirinya dan bahkan terjebak dalam persoalan yang tidak ada solusinya pasti akan putus asa dan pesimis. Keberadaan tujuan, cita-cita, harapan dan ideologi dalam kehidupan pada beberapa aspek bisa mengantisipasi pesimisme dan nihilime, pertama manusia yang memiliki ideologi pasti akan berharap untuk sampai pada cita-cita ideologinya dan harapan ini akan mencegah manusia untuk putus asa dan pesimis. Kedua, segala usaha untuk mencapai tujuan ideologi membuat manusia menjadi sangat sibuk dengan dirinya dan tidak mengijinkan pikiran-pikirannya terpengaruh oleh pesimisme dan nihilisme. Ketiadaan ideologi pada individu dan masyarakat merupakan salah satu alasan fundamental bagi kecenderungan sebagian besar remaja dan pemuda kepada pesimisme, karena mereka ini sama sekalai tidak mengetahui secara hakiki apa yang diinginkan dan apa yang dicari dalam kehidupan ini. Perubahan-perubahan yang terjadi dimasyarakat dan kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam berbagai tradisi kehidupan manusia menyebabkan lahirnya perubahan pada nilai-nilai, harapan, cita-cita,

dan ideologi manusia, dan realitas perubahan yang tak tertolak ini menghadirkan keberadaan suatu kelompok manusia yang tidak mampu menetapkan satu ideologi bagi mereka secara sempurna. Bertrand Russel memandang bahwa salah satu faktor mendasar kecenderungan sebagian remaja dan pemuda di Barat kepada pesimisme adalah ketiadaan ideologi dan cita-cita yang sempurna. Ia sangat berkeyakinan bahwa perubahan nilai-nilai agama menyebabkan hilangnya berbagai cita-cita, berkata, Apabila pemuda dan remaja di Barat sekarang ini hanya menampakkan sikap pesimisme, maka hal ini mesti disebabkan oleh faktor khusus. Pada masa kini, para pemuda bukan hanya tidak bisa menerima apa yang dikatakan pada mereka, bahkan mereka tidak bisa lagi meyakini dan mempercayai sesuatu. Dan keadaan ini sangatlah ajaib dan mesti mendapatkan suatu perhatian dan observasi khusus. Mari kita mengkaji ulang satu persatu cita-cita dan ideologi masa lalu dan mencari tahu mengapa cita-cita dan ideologi tersebut tidak lagi memberikan pengaruh dan menarik perhatian remaja dan pemuda.[5] 5. Perubahan Nilai Salah satu faktor yang penting ketika suatu masyarakat berpindah dan berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain dan menyebabkan hadirnya pesimisme pada manusia adalah persoalan nilai-nilai, karena ketika terjadi perubahan pada setiap masyarakat begitu banyak nilai-nilai akan juga mengalami perubahan, diinginkan atau tidak. Perubahan nilai-nilai ini dimana sebelum terjadinya perubahan tersebut manusia sangat bergantung dan bersandar padanya serta menafsirkan kehidupan dengannya menyebabkan terjadinya suatu pukulan yang besar pada kejiwaan manusia. Seseorang yang sangat berpijak pada tradisi-tradisi, pada suatu kondisi akan mengalami kebingungan yang bersumber dari satu kontradiksi kejiwaan. Suatu kontradiksi dalam menerima dan memilih nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai baru. Kalau seseorang ini memiliki kualitas pikiran dan pengetahuan luas yang dengannya ia dapat memilah yang baik dan yang buruk serta memilih yang baik itu sebagai suatu nilai baru baginya, maka dia pasti terhindar dari problematika kejiwaan baik dari aspek pikiran maupun dari dimensi perbuatan. Namun apabila dia tidak mampu memilih suatu nilai baru baginya, yakni dia tidak bisa menerima nilai-nilai baru itu bagi pembentukan pribadinya dan penerapan nilai-nilai lama juga akan mengalami hambatan yang sulit, maka dia akan mengalami suatu keraguan yang berpuncak pada keadaan yang pesimisme dan putus harapan. Sebagai contoh, salah satu nilai yang mengalami perubahan pada masa kini adalah cinta. Pada abad-abad yang lalu, cinta dan kasih sayang merupakan tiang pokok dan pondasi utama kehidupan manusia yang menyebabkan kehangatan pada keluarga dan keterikatan seseorang pada keluarganya, namun pada masa kini, dikarenakan kebebasan seksual, cinta dan kasih sayang tidak bermakna lagi. Hal inilah yang menyebabkan ketiadaan keterikatan manusia lagi pada kehidupan keluarganya. Nilai-nilai lain yang mengalami perubahan adalah dalam masalah akhlak. Pada masa kini, beberapa nilai akhlak

mengalami perubahan lewat pemikiran Darwin, Marks, dan Nitche. Di masa lalu kasih sayang, cinta, memaafkan, kedermawanan, dan pemurah adalah nilai-nilai kebaikan, namun sekarang ini, menurut pandangan Nitche, kekerasan, kekejaman, kekejian, ketidaksopanan, pameran kekuatan, dan riya adalah nilai-nilai baik. Perubahan konsep ini menyebabkan memudarnya nilai-nilai akhlak, hubungan dan kepercayaan sesama manusia menjadi sirna, dan tak ada lagi cinta dan kasih sayang. Puncak dari semua perubahan nilai ini adalah hilangnya keterikatan manusia pada kehidupan. 6. Materialisme Seorang penganut materialisme beranggapan bahwa seluruh fenomena, peristiwa, dan kejadian yang terwujud di alam semesta ini bersumber dari hal-hal yang bersifat kebetulan belaka dan tidak berasal dari rangkaian sebab-akibat (kausalitas). Mereka juga memandang bahwa manusia menjalani kehidupan di dunia ini dalam beberapa waktu dan kehidupan manusia akan berakhir dengan kematian (yakni pasca kematian tak ada lagi kehidupan bagi manusia). Ajaran materialisme menetapkan bahwa kehidupan dunia merupakan puncak tujuan manusia dan kebahagiaan dititik beratkan pada kehidupan materi dan kesejahteraan hidup. Sementara agama dan pandangan dunia ilahi meletakkan kehidupan dunia ini sebagai perantara dan bukan akhir kehidupan serta untuk mencapai kehidupan yang kekal dan sempurna mesti melewati gerbang kematian. Jadi dalam hal ini, kehidupan dunia merupakan alat untuk menggapai kesempurnaan hakiki dan bukan tujuan hakiki kehidupan manusia. Dengan demikian orangorang yang beragama bisa menanggung kesulitan, penderitaan, dan malapetaka yang terjadi di dalam kehidupan duniawi dan tidak jatuh ke jurang pesimisme dan nihilisme. Berbeda dengan orang-orang materialisme yang tidak percaya pada Tuhan dan kehidupan pasca kematian, beranggapan bahwa keberadaan diri mereka dan alam semesta ini tidak memiliki arah dan tujuan serta memandang bahwa kehidupan dunia ini adalah perkara yang sia-sia dan tak bermakna. Kehidupan dunia dalam gagasan materialisme merupakan suatu pengulangan-pengulangan yang meletihkan dan membebani manusia, dengan demikian segala usaha manusia pun bersifat sia-sia dan tidak berguna sama sekali. Kaum materialis tidak memahami rahasia dan hakikat penciptaan, oleh karena itu mereka pun tidak akan mengetahui asal keberadaan mereka, tujuan kehadiran mereka di dunia ini, dan puncak perjalanan kehidupan mereka. Ujung dari semua ini tidak lain ialah keraguan, pesimis, putus asa, merasa asing , teralienasi, dan tidak ada tempat untuk mengeluhkan dan memohon pertolongan. Pada hakikatnya manusia membutuhkan tempat berlindung dan berpijak yang tanpa itu manusia mustahil menjalani kehidupan. Setiap tujuan yang dipilih dan ditetapkan oleh kaum materialis, karena bersifat nisbi dan relatif, bukan merupakan tempat berlindung dan batu pijakan hakiki. Namun orangorang beragama yang menempatkan Tuhan sebagai tempat berlindung dan bersandar, karena Dia

sebagai Yang Maha Mutlak dan meliputi segala perkara kehidupan manusia serta memiliki pengaruh yang tidak terbatas, merupakan sebaik-baiknya ideologi. 7. Lingkungan Sosial Kondisi lingkungan sosial yang tidak seimbang menyebabkan begitu banyak manusia tertarik ke arah pesimisme dan nihilisme. Faktor ini, khususnya di abad kontemporer, merupakan salah satu hal yang mendasar keterjebakan manusia pada pesimisme. Tokoh-tokoh pencetus ide pesimisme, seperti Sartre, Albert K, dan Kafka, yang apabila ditelaah latar belakang kehidupan mereka nampak bahwa faktor lahirnya gagasan mereka ini disebabkan oleh kondisi lingkungan sosial yang tidak seimbang dan tidak teratur. 8. Pendidikan Seseorang yang dibesarkan dan dididik di dalam keluarga yang terdidik, suci, penuh kasih sayang dan cinta sangat kecil kemungkinan mengalami pesimisme. Hal ini akan sangat berbeda dengan seseorang yang dibesarkan di dalam keluarga yang tidak berpendidikan, tidak bermoral, penuh kebencian dan tidak memiliki cinta dan kasih sayang yang proporsional. Masalah pendidikan ialah hal yang paling mendasar untuk mewujudkan manusia yang sukses dan berhasil dalam kehidupan atau juga menghadirkan manusia yang pesimisme dan nihilisme. Pendidikan yang membuat manusia menjadi sempurna adalah pendidikan yang berpijak pada filsafat penciptaan, dalam koridor hakikat kemanusiaan, dan ajaran Ilahi. 9. Kegagalan Meraih Cita-Cita Kebanyakan manusia meletakkan sesuatu dalam kehidupan sebagai cita-cita dan berusaha mewujudkannya. Namun karena suatu halangan mereka tidak dapat meraih cita-cita tersebut dan akhirnya berujung pada putus asa dan pesimisme. Penentuan cita-cita dan ideologi merupakan asas kehidupan, namun bersyarat bahwa ideologi yang dipilih oleh manusia itu mesti jauh dari segala kekurangan dan kelemahan. Manusia ketika menentukan suatu tujuan dan harapannya untuk mencapai tujuan tersebut harus sesuai dengan nilai yang ada pada tujuan itu, dengan ungkapan lain bahwa nilai harapan bergantung pada nilai tujuan dan cita-cita yang dipilih oleh manusia. Berdasarkan hal ini, kalau manusia berhasil menggapai cita-citanya, maka kebahagiaannya pasti sesuai dengan tingkatan nilai yang ditentukan dalam cita-citanya tersebut. Begitu pula sebaliknya, apabila dia tidak sukses meraih citacitanya, maka kualitas putus asa dan pesimismenya sesuai derajat nilai cita-cita.

Walhasil, putus asa dan pesimisme setiap orang yang lahir dari kegagalan meraih cita-cita adalah bertingkat-tingkat dan berbeda-beda, karena bergantung pada nilai cita-cita tersebut. Oleh karena itu, pertama-tama harus teliti dalam memilih tujuan dan untuk tujuan ini mesti sesuai dengan nilai yang merupakan tuntutan hakiki kehidupannya. Manusia tidak selayaknya menentukan suatu tujuan yang pada hakikatnya bukan tujuan utama dan memandang tujuan tersebut sebagai sesuatu yang sangat bernilai dan berharga, karena kalau dia tidak berhasil mencapainya pasti akan mengalami putus asa, kekecewaan, pesimisme, dan nihilisme. Dengan demikian, dia justru akan kehilangan tujuan hakiki dan nilai kehidupan yang sangat berharga dan abadi, yakni kebahagiaan, kesempurnaan, dan keselamatan di alam akhirat yaitu alam pasca kematian. 10. Merasa Rendah Diri Merasa rendah diri dan hina juga merupakan faktor lahirnya pesimisme. Apabila rasa rendah diri ini mencapai derajat tertentu akan menyebabkan suatu penyakit kejiwaan. Pada umumnya, orang yang mengidap penyakit ini pada awalnya senantiasa melihat cacat dan kelemahan dirinya serta tidak memandang kelebihan dirinya. Sesungguhnya perasaan seperti ini juga memiliki sisi positif, karena membuat manusia berusaha menyempurnakan dirinya. Tapi pada level negatif menyebabkan manusia merasa asing dengan diri sendiri dan larut dalam kelemahan dirinya. Dan karena dia merasa gagal dalam kehidupan lantas menjadi pesimis dan putus asa. Dia menderita terus menerus dalam kerendahan dirinya dan kehilangan sikap untuk mengambil suatu keputusan yang tegas dan benar. 11. Ketidaksesuaian dengan Lingkungan Kesesuaian dengan lingkungan merupakan salah satu syarat mendasar bagi kehidupan suatu makhluk hidup. Apabila diamati kehidupan binatang, maka kita akan memahami bahwa setiap kali berhadapan dengan kesulitan senatiasa berusaha supaya sistem kehidupannya disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan adaptasi terhadapnya. Kalau binatang itu kehilangan adaptasinya, maka niscaya kehidupannya akan segera punah. Manusia dalam hal ini sedikit berbeda dengan hewan, manusia mempunyai ilmu dan kemampuan yang luas untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Apabila manusia tidak mampu menemukan lingkungan yang pantas dan sesuai dengannya, maka akan putus asa, mengalami goncangan kejiwaan, dan terjebak dalam pesimisme dan nihilisme. Dengan demikian, dia akan kehilangan nilai yang sangat berharga dalam kehidupannya yang mendatang, yakni akan kehilangan kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi.

12. Tidak Rela atas Keadaan Diri Salah satu faktor penting dan mendasar yang menyebabkan manusia terjebak pesimisme adalah tidak rela terhadap kondisi diri, yakni manusia tidak rela atas jenis kelaminnya. Misalnya seorang laki-laki atau perempuan tidak rela atas kelaki-lakiannya atau keperempuannya. Kerelaan atas kondisi diri merupakan syarat atas keseimbangan jiwa dan ruhani manusia.[selesai]

[1] . Paham yang dianut orang-orang yang mencari kesejahteraan semata-mata. [2] . Paham yang dianut orang-orang yang mencari kesenangan semata-mata. [3] . Filsafat Nihilisme, Albert K, penerjemah: Muhammad Giyatsi, hal 94. [4] . Dalam pandangan Leibniz, alam materi merupakan ciptaan Tuhan dan bersumber dari iradah-Nya. Oleh karena itu, alam materi ini merupakan alam materi yanmg terbaik. Tuhan mencipta alam materi ini dengan penciptaan yang terbaik, yakni penciptaan ini dikatakan terbaik berdasarkan kondisi-kondisi dan karakteristik alam materi itu sendiri, bukan dibandingkan dengan dua alam lainnya (alam barzah dan alam akal). [5] . Bertrand Russel, Dar setoyesy-e Ferogat, hal 210, penerjemah: Ibrahim Yunusi. Tulisan ini pernah dimuat pada site www.wisdoms4all.com/Indonesia

http://eurekamal.wordpress.com/2007/04/22/manusia-dan-filsafat-penciptaan-terakhir/
RENE DESCARTES (1596-1650) Filsafat Rasionalismenya membawa dampak terhadap pandangan tentang manusia. Pemikiran-pemikiran penting dalam filsafatnya: Ada dua bentuk realitas yang berbeda, dua substansi. Yang pertama adalah gagasan (res cogitan), atau pikiran, dan yang kedua adalah perluasan (res extensa). Pikiran itu adalah kesadaran, tidak mengambil tempat dalam ruang. Materi adalah perluasan, mengambil tempat dalam ruang dan tidak mempunyai kesadaran. Kedua substansi tersebut tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Pikiran sama sekali tidak tergantung pada materi, sebaliknya proses materi juga tidak tergantung pada pikiran dualisme. Manusia adalah makhluk ganda yang mempunyai pikiran dan badan perluasan. Apa yang kita pikirkan dengan akal kita tidak terjadi di dalam badan itu terjadi di dalam pikiran, yang sama sekali tidak tergantung pada realitas perluasan. Namun Descartes tidak dapat

menyangkal bahwa ada interaksi konstan antara pikiran dan badan. Interaksi konstan berlangsung antara roh dan materi. Pikiran dapat selalu dipengaruhi oleh perasaan dan nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan badaniah. Namun pikiran dapat menjauhkan diri dari impuls-impuls tercela semacam itu dan bekerja tanpa tergantung pada badan (jika aku merasakan sakit yang amat-sangat pada perutku, jumlah sudut dalam sebuah segitiga tetap 180 derajat. Maka manusia mempunyai kemampuan untuk bangkit mengatasi kebutuhan-kebutuhan badaniah dan bertindak secara rasional. Dalam hal ini pikiran lebih unggul daripada badan. SREN KIERKEGAARD (1813-1855) Sebagai Bapak Eksistensialisme, pandangan filosofis Kierkegaard tentunya banyak membahas tentang manusia, khususnya eksistensinya. Beberapa point yang penting dalam filsafatnya: Individu tidak ditempatkan di hadapan Ketiadaan, melainkan di hadapan Tuhan. Dia menganggap Hegelianisme sebagai ancaman besar untuk individu, untuk manusia selaku persona. Yang harus dipersoalkan terutama subyektivitas dari kebenaran, yaitu bagaimana kebenaran dapat menjelma dalam kehidupan individu. Kebenaran obyektif termasuk agama harus mendarah daging dalam si individu. Yang penting ialah bahwa aku memahami diriku sendiri, bahwa kulihat dengan jelas apa yang Tuhan kehendaki sungguh-sungguh agar aku perbuat. Yang terutama kubutuhkan ialah mendapatkan suatu kebenaran yang adalah benar untuk aku, suatu ide yang bisa mengilhami kehidupan dan kematianku. Apakah gunanya menemukan suatu kebenaran yang disebut obyektif dan mempelajari semua sistem filosofis Sejauh mana ada baiknya bagiku dapat menjelaskan arti agama Kristen bila agama itu tidak mempunyai arti mendalam untuk aku sendiri dan kehidupanku Kierkegaard mencari kebenaran yang konkret serta eksistensial, suatu pengetahuan yang dihayati (connaissance vcue), a real knowledge. Dia membedakan manusia dalam stadium estetis, etis dan religius. Pada stadium estetis manusia membiarkan diri dipimpin oleh sejumlah besar kesan-kesan indrawi, mengikuti prinsip kesenangannya, lebih dijadikan hidup daripada ia hidup sendiri. Manusia menyibukkan diri

dengan rupa-rupa hal, tetapi ia tidak melibatkan diri; ia hanya tinggal seorang penonton yang berminat. Ia bisa menjadi seorang hedonis yang sempurna, seorang perayu seperti Don Juan, atau seorang yang sok tahu dan seorang Sofis (mis. Mendalami filsafat dan teologi). Kebosanan, kekurangsenangan dan kecemasan memimpin seseorang ke arah stadium etis. Mulai mekar keinsafan akan kemungkinan-kemungkinan kita, akan kebebasan, tanggung jawab dan kewajiban kita. Kita sampai pada diri kita sendiri, menggantungkan kehidupan kita pada norma, bertumbuh menjadi persona. Kita semakin mengikat diri, dari penonton menjadi pelaku, kita melibatkan diri. Dalam stadium ini juga, manusia menyadari keadaannya yang tragis dan bercacat; ia menginsafi bahwa ia penuh kekurangan. Ia akan merasa jengkel karena ketidaksempurnaannya serta ketidaksanggupan morilnya dan mungkin akan memberontak terhadap seluruh tatanan etis. Manusia bisa merasa dirinya kecil dan tidak berdaya sambil mendambakan topangan serta bantuan Tuhan, yang mengulurkan tangan-Nya untuk membantu manusia yang terkoyak-koyak (bandingkan Mat 5:3). Bila kita menangkap tangan ini dan membuka diri untuk Tuhan, maka kita tiba pada stadium religius. Sebagai orang Kristen ia berani menerjunkan diri ke dalam petualangan untuk dengan ketidakpastian intelektual yang besar mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus. Iman kepercayan Kristiani itu bersifat paradoks, sebagaimana Kristus merupakan Paradoks besar yang mempersatukan keabadian serta keduniawian, keilahian serta kemanusiawian. Hidup sebagai Kristen adalah cara hidup tertinggi yang merupakan kemungkinan ultim dan makna keberadaan manusia. http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/1910

Filsafat Manusia (4)

Topic List < Prev Topic | Next Topic > Next Message > Next Message >

Reply < Prev Message | GABRIEL MARCEL (1889-1973)

Salah satu thema utama dalam filsafatnya adalah mengenai tubuh. Beberapa hal yang penting: Masalah mengenai mempunyai dan Ada dikaitkan dengan tubuh. Saya mempunyai tubuhku atau saya adalah tubuhku? Tubuhku bagi saya bukan obyek, melainkan selalu melibatkan pengalaman saya sendiri tentang

organisme fisis-kimiawi, inilah yang ingin diselidiki oleh Marcel. Analogi saya mempunyai tubuhku dengan saya mempunyai anjingku harus dihentikan karena tiga aspek: 1) antara saya dan tubuhku tidak terdapat struktur qui-quid (subyek yang mempunyai dan yang dipunyai) seperti antara saya dan anjingku; 2) tubuh tidak berada di luar saya seperti halnya dengan anjing; 3) saya tidak merupakan yang lain terhadap tubuhku seperti saya memang merupakan yang lain terhadap anjingku. Tubuh bukanlah alat. Martil berada antara tukang kayu dan papan yang sedang dikerjakan. Tubuh tidak berada antara aku dan apa yang sedang dikerjakan. Bila saya menulis, tubuh tidak berada antara aku dan kertas. Tubuh adalah alat absolut, artinya alat yang memungkinkan alat2 tetapi tidak merupakan alat bagi sesuatu yang lain. Tubuh adalah prototipe di bidang mempunyai, yang memungkinkan untuk mempunyai tetapi tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain. Sekalipun demikian saya tidak identik begitu saja dengan tubuhku. Tetapi jelas penengahan antara saya dan tubuhku tidak bersifat instrumental. Marcel menyebutnya sympathetic mediation: penengahan pada taraf merasakan (sentir). Saya adalah tubuhku, hanya sejauh saya adalah makhluk yang merasakan. Proses merasakan harus dimengerti sebagai suatu message dari luar yang diterima di dalam subyek. Garis pemisah yang ditarik antara di luar dan di dalam harus ditolak karena menerima dalam hal perasaan tidak pernah sama dengan menerima semata-mata pasif. Menerima di sini harus dimengerti sebagai partisipasi, membuka diri, memberikan diri; menerima seperti tuan rumah menyambut tamu-tamunya. Merasakan berarti menerima dalam wilayah yang merupakan wilayah saya. Inkarnasi manusia hanya mungkin karena dengan tubuhku saya berada dalam dunia, bukan saja dalam arti bahwa saya dapat mempengaruhi benda-benda, tetapi juga dalam arti bahwa saya terpengaruhi oleh benda-benda. Dualisme antara di luar dan di dalam harus ditinggalkan. Inkarnasi itu merupakan titik tolak refleksi filosofis dan bukan cogito atau kesadaran.

JEAN PAUL SARTRE (1905 -1980) Manusia merupakan suatu proyek ke masa depan yang tidak mungkin didefinisikan. Manusia adalah sebagaimana ia diperbuat oleh dirinya sendiri. Ia adalah masa depannya. Moral dan etika harus diciptakan oleh manusia sendiri. Kita adalah kebebasan total, kita dihukum untuk bertindak bebas. Inilah kemegahan dan sekaligus kemalangan bagi kita, sebab kebebasan mengandung juga tanggung-jawab. Kita bertanggung-jawab atas seluruh eksistensi kita dan bahkan kita bertanggung-jawab atas semua manusia karena terus-menerus kita adalah manusia yang memilih dan dengan memilih diri kita sendiri, kita sekaligus memilih untuk semua orang. Dari tanggung-jawab yang mengerikan ini lahirlah kecemasan atau keputus-asaan. Kita berusaha meloloskan diri dari kecemasan serta keputusasaan itu melalui sikap malafide (mauvaise foi) serta keikhlasan (sincerite), dengan berlagak seolah-olah kita bisa ada sebagaimana seharusnya kita ada dan secara diam-diam menyisipkan suatu identifikasi antara en-soi (Ada-pada-dirinya) dan pour-soi (kesadaran kita). Mungkinkah kehidupan manusia tanpa Tuhan? Apakah hidup manusia masih mempunyai makna? Secara obyektif kehidupan kita memang tidak mempunyai makna sedikitpun dan absurd sama sekali. Kita tidak mempunyai alasan untuk berada. Manusia merupakan une pasion inutile, suatu gairah yang tidak berguna. Namun kita bisa memberi makna kepada kehidupan kita dan dengan itu kehidupan manusiawi sebetulnya baru menjadi mungkin. Jadi seorang manusia dapat memberi makna kepada keberadaannya dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada, dengan merancang dirinya. Sartre pernah menyebut orang lain neraka, tetapi kemudian ia menginginkan suatu ikatan dan ia menemukan orang lain sebagai syarat untuk eksistensinya sendiri. Untuk memperoleh kebenaran tentang diri saya sendiri, saya memerlukan orang lain. Jadi Sartre yang sebagai atheis ingin menciptakan suatu way of life yang baru, yaitu semacam moral manusiawi yang baru. Karena saya terikat dengan orang lain, maka kebebasan saya harus memperhitungkan juga kebebasan orang lain itu. Saya tidak boleh membuat kebebasan saya menjadi tujuan

tanpa membuat hal yang sama dengan kebebasan orang lain. Setelah semua manusia mati, seluruh sejarah umat manusia dapat disingkatkan dengan mengatakan, begitulah manusia. Akan tetapi, siapakah yang dapat mengetahui serta mengatakan hal itu karena tidak ada lagi manusia? Selama masih ada manusia hidup, selalu terlalu pagi untuk mengatakan begitulah manusia. Bagi manusia individu, kemungkinan ultimate adalah kematian, tetapi kemungkinan ultimate seluruh umat manusia tidak kita ketahui.
http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/1917

Filsafat Manusia (2)

Topic List < Prev Topic | Next Topic > Next Message > Next Message >

Reply < Prev Message | PLATO (427 347 SM)

Terjadi titik balik dalam kebudayaan dan pemikiran Yunani ketika Plato menafsirkan semboyan kenalilah dirimu sendiri (gnothi seauton) dengan cara yang sama sekali baru. Penafsiran ini memunculkan persoalan yang tidak hanya tidak terdapat pada pemikiran pre-Sokrates, tetapi juga di luar jangkauan metode Sokrates sendiri. Untuk memenuhi permintaan orakel Delphi, untuk memenuhi kewajiban religius berupa pengkajian diri serta pengenalan diri, Sokrates mendekati manusia sebagai individu. Pendekatan Sokrates ini oleh Plato dianggap punya keterbatasan-keterbatasan. Bagi Plato, untuk memecahkan persoalan tersebut kita harus membuat rancangan yang lebih luas. Dalam pengalaman individual, kita menghadapi gejala-gejala yang demikian beraneka, rumit dan saling bertentangan, sehingga kita sulit melihatnya secara jelas. Manusia seharusnya dipelajari dari sudut kehidupan sosial dan politis. Menurut Plato, manusia adalah ibarat teks yang sulit, maknanya harus diuraikan oleh filsafat. Tapi dalam pengalaman kita sebagai pribadi, teks itu ditulis dengan huruf-huruf yang terlampau kecil sehingga tidak terbaca. Maka sebagai tugas pertama, filsafat harus memperbesar tulisan-tulisan tersebut. Filsafat hanya dapat mengajukan teori yang memadai tentang manusia apabila sampai pada teori tentang negara. Dalam teori tentang negara,

sifat-sifat manusia ditulis dengan huruf-huruf besar. Dalam teori tentang negara, arti teks yang semula tersembunyi seketika muncul, dan apa yang semula kabur dan ruwet menjadi jelas dan dapat dibaca. Namun negara bukanlah segala-galanya, serta negara tidak mencerminkan dan tidak menyerap seluruh aktivitas manusia, meskipun kegiatan manusia dalam perkembangan sejarahnya berhubungan erat dengan bertumbuhnya negara. Plato bertitik tolak dari manusia yang harmonis serta adil dan dalam hal itu ia menggunakan pembagian jiwa atas 3 fungsi, yaitu: Epithymia (suatu bagian keinginan dalam jiwa). Thymos, (suatu bagian energik dalam jiwa). Logos, (suatu bagian rasional dalam jiwa dan sebagai puncak dan pelingkup). Menurut Plato, negara diibaratkan sebagai Manusia Besar, sebagai organisme yang terdiri atas 3 bagian atau golongan yang masing-masing sepadan dengan suatu bagian jiwa, yaitu: Epithymia, golongan produktif yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang. Thymos, golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit. Logos, golongan pejabat yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan. Plato juga mengajarkan teori tentang pra-eksistensi jiwa. Dia mengatakan sebelum kita dilahirkan, atau sebelum kita memperoleh suatu status badani, kita sudah berada sebagai jiwa-jiwa murni dan hidup di kawasan lebih tinggi di mana kita memandang suatu dunia rohani. Sejak kita dilahirkan, kita berada di bumi dan jiwa kita meringkuk dalam penjara tubuh, terbuang dari daerah tinggi itu. Karena penjelmaan dalam tubuh itu, jiwa kita tidak lagi menyadarkan diri dan dengan mendadak tidak lagi menyadari pengetahuan tentang idea-idea dalam dunia kayangan dulu. Dari sini Plato kemudian mengembangkan teori tentang manusia. Manusia pada mulanya adalah roh murni yang hidup dari kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi. Jadi, kemungkinan dan makna ultimate keberadaan manusia mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang baik, yang benar, dan yang indah. Tetapi kita gagal mencapai kehidupan yang sebagaimana mestinya karena kita menyimpang dari kiblat idea-idea tersebut, sehingga kita langsung

terhukum dengan dipenjarakannya jiwa ke dalam tubuh. Kita harus berusaha naik ke atas dan memperoleh perhatian dan cinta besar untuk dunia ideal dan ilahi itu. Akan tetapi kemungkinan untuk mewujudkan makna ini sangat dibatasi karena kita terbelenggu dalam materi. Bagi kita, dunia jasmani dan tubuh menjadi kemungkinan-kemungkinan buruk untuk tersesat lebih jauh lagi dan tenggelam dalam rawa-rawa materi dan sensual. Kemungkinan yang paling jahat ialah menyerahkan diri sepenuhnya kepada dirinya sendiri (egoisme radikal) dan kepada benda-benda jasmani (materialisme dan sensualisme). Jadi, bagi manusia, dunia dan tubuh itu bersifat ambivalen, artinya dunia serta tubuh dapat merayu dia ke arah kemungkinan-kemungkinan yang jahat, tetapi dapat juga mendorong dia kepada kemungkinan-kemungkinan yang baik. Manusia memiliki suatu daya yang kuat dan gemilang yang dapat mendorong dia ke atas, yaitu cinta (eros). Eros adalah daya kreatif dalam diri manusia, pencetus kehidupan, inspirator para penemu, seniman dan genius. Eros memenuhi kita dengan semangat kebersamaan, membebaskan kita dari kesendirian kita, dan mengajak kita ke pesta, musik, tarian, dan permaian. Plato menyebutnya sebagai bapak segala kehalusan, segala kepuasan dan kelimpahan, segala daya tarik, keinginan dan asmara. Eros mendorong kita semakin tinggi, sehingga kita dapat beralih dari cinta yang kelihatan kepada cinta yang tidak kelihatan, ideal, ilahi. Menurut Plato, kematian hanyalah permulaan suatu reinkarnasi baru yang lebih rendah atau lebih tinggi daripada keberadaannya sebelumnya. Dalam karyanya: Phaidros, Plato berkata bahwa setelah 10.000 tahun, jiwa akan kembali ke asal usulnya. Jadi menurut pandangan Plato, manusia mempunyai banyak jiwa dan banyak manusia individu.
http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/1903

Filsafat Manusia (1)

Topic List < Prev Topic | Next Topic >

Reply < Prev Message | Next Message > Next Message > PENDAHULUAN Banyak tulisan modern sarat dengan perasaan absurditas, kebosanan, kemuakan dan ketidak-artian. Bagaimana timbulnya semua perasaan muram ini? Jelaslah

antara lain karena dua kali terjadi perang dunia yang disertai badai kekerasan, kebencian serta ketidak-manusiawian dan mengakibatkan korban berjuta-juta, ditambah lagi semua pengungsi dan orang yang kehilangan tempat tinggal. Barangkali yang paling buruk bukanlah kekerasan fisik, melainkan pembusukan kepribadian serta hati nurani karena perang memaksa manusia memainkan peranan-peranan di mana ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan mengkhianati keterlibatannya. Perang seolah-olah mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menghancurkan kemungkinan untuk bertindak dengan cara yang sungguh-sungguh manusiawi. Pertanyaan yang menarik bagi kita ialah apakah kita sebagai pribadi atau sebagai masyarakat, masih sanggup memberikan suatu makna kepada kehidupan kita. Kita berefleksi tentang diri kita sendiri dan tentang pertanyaan eksistensial ini: apakah hidup kita masih mempunyai makna? Dan kalau masih ada makna yang bagaimana? Dalam tulisan ini kami berusaha untuk menampilkan beberapa filsuf yang representatif berbicara mengenai manusia. Beberapa thema yang penting yang menjadi pokok pembahasan yang digeluti misalnya seperti tentang siapakah manusia (Sokrates), makna tertinggi keberadaan manusia (Plato), esensi atau hakekat manusia (Descartes), eksistensi manusia (Kierkegaard, Sartre), tubuh manusia (Plato, Marcel). Dan akhirnya kami mengakhiri tulisan ini dengan sebuah mini eksegese dari tulisan Paulus kepada jemaat di Roma (pasal 12:1-2) yang menurut hemat kami menjadi jawaban yang mengakhiri semua perdebatan filsuf-filsuf tentang manusia. PRE-SOKRATES --- SOKRATES Pada permulaan perkembangan pemikiran filsafat Yunani, tampaknya semata-mata berurusan dengan dunia fisik saja. Kosmologi jelas amat mengungguli penyelidikan-penyelidikan dalam cabang-cabang filsafat lainnya. Mazhab Milesian mengembangkan filsafat jasmaniah. Mazhab Pythagorean mengembangkan filsafat matematis. Aliran ini berpendapat bahwa unsur-unsur kualitatif kosmos berasal dari unsur-unsur kuantitatif, yaitu bilangan-bilangan. Mazhab ini juga menaruh perhatian

yang dalam pada masalah manusia, tetapi terutama dari sudut keagamaan di dalam kelompok tertutup tempat mereka hidup. Para pemikir Eleatik menjadi orang-orang pertama yang menggariskan cita-cita logika. Mereka menegaskan bahwa hanya rasio yang dapat membuka jalan ke arah Ada yang benar dan nyata. Heraklitos berdiri pada garis perbatasan antara pemikiran kosmologis dan pemikiran antropologis. Dia menolak konsep tentang Ada yang dikemukakan Mazhab Eleatik. Bagi dia, pengenalan indrawi menjadi titik tolak yang terpecaya meskipun ia sangat menjunjung tinggi rasio (logos) sebagai kemampuan untuk mengenal, namun rasio itu sama bergerak dan terlibat dalam proses menjadi seperti segala sesuatu yang ada. Protagoras, seorang sofis, mengatakan bahwa bukanlah Ada yang menentukan pengenalan kita, melainkan pengenalan kita yang menentukan Ada. Jadi bukan obyektivisme, melainkan subyektivisme. Oleh sebab itu dia berpendapat bahwa manusia adalah tolok ukur untuk segala-galanya. Meskipun mereka tergolong filsuf alam, namun Heraklitos sudah yakin bahwa mustahil menyelami rahasia alam tanpa mempelajari rahasia manusia. Kita harus memenuhi tuntutan akan pengenalan diri bila kita hendak tetap menguasai realitas dan memahami maknanya. Oleh sebab itu Heraklitos menyebut seluruh filsafatnya dengan dua kata edizesamen emeoton (Aku mencari diriku sendiri). Namun kecendrungan berpikir yang baru ini, baru matang pada masa Sokrates, sehingga persoalan tentang manusia merupakan patokan yang membedakan pemikiran Sokrates dengan pemikiran pre-Sokrates. Ungkapan Sokrates yang sangat terkenal adalah kenalilah dirimu sendiri. Manusia adalah makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. Sokrates berkata dalam Apologia, Hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Bagi Sokrates, manusia adalah makhluk yang bila disoroti pertanyaan yang rasional dapat menjawab secara rasional pula. Menurut Sokrates, hakekat manusia tidak ditentukan oleh tambahan-tambahan dari luar, ia semata-mata tergantung pada penilaian diri atau pada nilai yang diberikannya kepada dirinya sendiri. Semua hal yang

ditambahkan dari luar kepada manusia adalah kosong dan hampa. Kekayaan, pangkat, kemasyhuran dan bahkan kesehatan atau kepandaian semuanya tidak pokok (adiaphoron). Satu-satunya persoalan adalah kecendrungan sikap terdalam pada hati manusia. Hati nurani merupakan hal yang tidak dapat memperburuk diri manusia, tidak dapat juga melukainya baik dari luar maupun dari dalam.
http://groups.yahoo.com/group/METAMORPHE/message/1898 Filsafat Manusia. Tinjauan kefilsafatan tentang manusia Menurut tinjauan kefilsafatan manusia adalah makhluk yang bertanya, dalam hal ini manusia sebagai makhluk yang mempertanyakan dirinya sendiri dan keberadaannya. Dalam hal ini manusia mulai tahu keberadaannya dan menyadari bahwa dirinya adalah penanya. Apabila ditinjau dari segi dayanya, maka jelaslah manusia memiliki dua macam daya. Disatu pihak manusia memiliki daya untuk mengenal dunia rohani, yang nous, suatu daya intuitip, yang kerena kerjasama dengan akal menjadikan manusia dapat memikirkan serta membicarakan hal-hal yang rohani. Di lain pihak manusia memiliki daya pengamatan (aisthesis), yang karena pengamatan yang langsung yang disertai dengan daya penggambaran atau penggagasan menjadikan manusia memiliki pengetahuan yang berdasarkan pengamatan. Manusia terdiri dari jiwa dan tubuh, yang keduanya dapat berdiri sendirisendiri. Jiwa berada dalam tubuh seperti terkurung dalam penjara dan hanya kematian yang dapat melepaskan belenggu tersebut. Tujuan kefilsafatan manusia diatas menitik beratkan pada dayanya, manusia sebagai idea, yaitu sebagai manusia yang tak bertubuh. Telah ada kekal sejak logos, jiwa dibedakan antara jiwa sebagai kekuatan hidup (psuke) dan jiwa sebagai kekuatan akali (nous, dianoia, psuke logike). Jiwa sebagai kekuatan hidup berada dalam darah dan tidak dapat binasa. Jiwa yang besifat akali ayau nous lebih tinggi tingkatannya karena merupakan jiwa yang bersifat ilahi. Sebelum manusia dilahirkan jiwa ini sudah ada jiwa ini tidak dapat binasa. Ia memasuki tubuh dari luar. Di dalam tubuh jiwa itu dipenjara. Karena itu hidup di dunia ini

adalah kejahatan. Kematian merupakan wujud suatu kebebasan, dimana manusia orang dibangkitkan kepada hidup yang sejati dan kepada kebebasan. Berdasarkan pandangan di atas tujuan hidup manusia ialah menjadi sama dengan ALLAH. Adapun yang menuju kepada ALLAH itu melalui pengetahuan. Supaya orang dapat mendapat pengetahuan diperlukan logos, sebab logos merupakan sumber segala pengetahuan. Agar manusia dapat menerima daya kerja logos ia harus menjauhkan diri dari dunia dan dari segala nafsu. Kebajikan diungkapkan dalam tiga tingkatan, yaitu : Aphateia (tiada perasaan) di man orang melepaskan diri dari segala hawa nafsu dan dari segala yang bersifat badani Kebijaksanaan, adalah suatu karunia Ilahi, yang diarahkan kepada yang susila atau kesalahan Ekstase, yaitu menenggelamkan diri kedalam yang ilahi. Pemikiran Philo besar sekali pengaruhnya terhadap pemikiran filsafat berikutnya terutama yang menyangkut masalah manusia. Hal ini dapat dilihat dalam pemikiran Plotinos yang menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah dipersatukannya kembali manusia dengan yang Ilahi. Menurut Plotinos jalan kembali manusia terdiri dari tiga tahap, yaitu melakukan kebajikan umum, berfilsafat dan mistik. Di dalam diri Plotinus pemikiran Yunani sampai kepada ajaran tentang mistik. Philo maupun Plotinus telah meletakkan dasar-dasar pemikiran tentang manusia secara kefilsafatan yang berdampingan daengan pandangan agama (theology). Manusia Dalam Multi Dimensi Menurut Fichte manusia secara prinsipil adalah makhluk yang bersifat moral yang di dalamnya mengandung suatu usaha. Di sinilah manusia perlu menerima dunia di luar dirinya. Sikap seperti ini dapat menjadikan manusia menyadari dirinya sendiri dan usaha untuk membatasi dirinya sendiri dari masyarakat luas.

Hakikat pemikiran para filsuf tentang manusia pada umumnya mengacau kepada hakikat manusia itu sendiri. Menurut Kierkegaard, pertama-tama yang penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksistensinya sendiri. Akan tetapi eksistensi manusia bukanlah suatu ada melainkan suatu menjadi, yang mengandung di dalamnya suatu perpindahan, yaitu perpindahan dari kemungkinan ke kenyataan. Eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Demikianlah jelas, bahwa bereksistensi berarti : Berani mengambil keputusan yang menentukan hidup. Tiap eksistensi memiliki cirinya sendiri yang khas. Kierkegaard membedakan adanya 3 bentuk eksistensi, yaitu : bentuk esteti, bentuk etis dan bentuk religius. Beberapa Paham Tentang Manusia Pandangan tentang manusia di dalam pemikiran filsafat berkisar pada empat kelompok besar, yaitu : Materialisme Idealisme Rasionalisme Irrasionalisme Materialisme telah diawali sejak filsafat Yunani yakni sejak munculnya filsuf alam Yunani, kemudian kaum Stoa dan Epikurisme. Paham ini mulai memuncak pada abad ke-19 di Eropa. Materialisme ekstrim memandang bahwa manusia terdiri dari materi belaka. Seorang tokoh filsafat alam (Anaximandros) memberikan pandangan tentang manusia. Anaximandros mengatakan tidak mungkin manusia pertama timbul dari air dalam rupa anak bayi. Anaximandros beranggapan bahwa manusia-manusia pertama tubuh di dalam badan seekor ikan, kemudian bilamana manusia-manusia pertama mampu memelihara hidupnya sendiri, mereka dilemparkan di atas daratan. Ia mendasari anggapannya atas observasi (walaupun tidak tepat) pada seekor ikan hiu (gaelus levis) di laut Yunani.

Pandangan Lemettrie (1709-1751) sebagai pelopor materialisme menyebutkan bahwa manusia tidak lain adalah binatang, binatang tak berjiwa, material belaka, jadi manusia pun material belaka. Kesimpulannya : bahan bergerak sendiri, adapun yang disebut orang sebagai pikiran itupun merupakan sifat material, terutama kerja atau tindakan otak. Dalam gerak-geriknya manusia itu sungguhsungguh seperti mesin. Materialisme ini dalam antropologia disebut materialisme ekstrim, karena aliran ini mengingkari kerohanian dalam bentuk apapun juga, malahan mengingkari adanya pendorong hidup. Kebalikan dari meterialisme adalah idealisme. Dalam pandangan ini semuanya membedakan manusia dari binatang ; bukanlah manusia itu material belaka. Meskipun diakui juga, bahwa manusia ada samanya juga dengan binatang jadi manusia pun mempunyai kebinatangan tetapi dalam pada itu adalah bedanya yang mengkhususkan dia, yang sama sekali melainkan dia dari binatang. Kelainan ini bukanlah perbedaan tingkatan saja, melainkan mengenai jenisnya istimewa: kemanusiaannya. Dalam idealisme terdapat beberapa corak, yaitu : idealisme etis, idealisme estetik ; dan idealisme hegel. Adapun paham rasionalisme dan irrasionalisme bukanlah paham yang saling bertentangan seperti paham materalisme dan idealisme. Pelopor rasionalisme adalah Rene Descartes yang menyatakan bahwa manusia terdiri dari jasmaninya dengan keluasannya (extensio) serta budidan kesadarannya. Sedangkan yang dimaksud dengan pandangan manusia yang irrasionalistis ialah pandanganpandangan : Yang mengingkari adanya rasio; Yang kurang menggunakan rasio walaupun tidak mengingkarinya Terutama pandangan yang mencoba mendekati manusia dari lain pihak serta, kalau dapat dari keseluruhan pribadinya. Teranglah bahwa penggolongan filsafat manusia dalam rasionalismeirrasionalisme bukanlah penggolongannya yang lain sekali dari penggolongan :

idealisme-materialisme : ini hanya pandangan dari sudut lain. Dengan demikian semua aliran materialisme harus dimasukkan kedalam aliran irrasionalisme. http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/06/filsafat-manusia.html

II.PENGERTIAN FILSAFAT Filsafat merupakan landasan ilmu, yang menjadi pondasi berfikir rasional, mencari kebenaran dan mengembangkan pengetahuan yang sedalam-dalamnya. Orang yang berfilsafat dapat diumpamakan sebagai seseorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang , ia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kemestaan alam, Karakteristiknya berfikit filsafat yang pertama adalah menyeluruh, yang kedua mendasar. 4 Filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran/ rasio belaka. a. Menurut Harun Nasution filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tak terikat tradisi, dogma atau agama) dan dengan sedalamdalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan b. Menurut Plato( 427-347 SM) filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada c. Aristoteles (384-322 SM) yang merupakan murid Plato menyatakan filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda. d. Marcus Tullius Cicero (106 43 SM) mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha untuk mencapainya. e. Al Farabi (wafat 950 M) filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina menyatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakekatnya yang sebenarnya. http://syahrir.isgreat.org/syah-ebooks/Islami/Konsep%20Pendidikan%20Manusia%20dalam %20Falsafah%20Islam.pdf

Apakah filsafat itu, dan bagaimana perkembangannya? Adalah satu pertanyaan yang memerlukan jawaban singkat sebelum permasalahan yang diketengahkan ini diuraikan. Bertrand Russel menjelaskan bahwa filsafat merupakan jenis pengetahuan yang memberikan kesatuan dan sistem ilmu pengetahuan melalui pengujian kritis terhadap dasar-dasar keputusan, prasangka-prasangka dan kepercayaan. Hal ini disebabkan karena pemikiran filsafat bersifat mengakar (radikal) yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh dari A-Z, mencari yang sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan teknik. Objek penelitiannya ialah segala yang ada dan yang mungkin ada, baik "ada yang umum" (ontologi 'ilm al-kainat) maupun "ada yang khusus atau mutlak" (Tuhan). Atau, dengan kata lain, objek penelitian filsafat mencakup pembahasan-pembahasan logika, estetika, etika, politik dan metafisika. http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Filsafat.html MANUSIA ADALAH SUATU MAKHLUK HIDUP :MANUSIA ADALAH SUATU MAKHLUK HIDUP Oleh : Grace Natalia

Kegiatan-Kegiatan Sebagai Ciri Khas Makhluk Hidup :Kegiatan-Kegiatan Sebagai Ciri Khas Makhluk Hidup Sebagai makhluk hidup, manusia termasuk di dalam suatu kelompok besar yang mengandung tumbuh-tumbuhan dan binatang. Setiap jenis makhluk hidup merealisir gagasan hidup masing-masing, yang nampak nyata pada spesies manusia. Slide 3:Aktivitas hidup membuat kita mengerti bagaimana makhluk hidup pada umumnya dan manusia pada khususnya berbeda secara radikal dengan mesin, meskipun mesin mampu melakukan tugas-tugas yang tak dapat dilaksanaka dengan baik oleh binatang maupun manusia. Kegiatan yang dapat disebut sebagai ciri khas makhluk hidup antara lain : Asimilasi Memperbaiki dan memulihkan luka-lukanya Mereproduksi Bereaksi atas pengaruh-pengaruh yang diterimanya. Slide 4:Asimilasi Makhluk hidup berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah apa yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Memperbaiki dan memulihkan lukalukanya Dikerjakan dari substansinya sendiri, dari dalamnya sendiri, dan dibuat oleh organismenya sendiri. Mereproduksi Mereproduksi / Melipatgandakan diri, membuat dalam dirinya bibit atau tunas yang akan menjadi suatu makhluk hidup yang akan menjadi gambarannya dan menjadi penerus spesiesnya. Bereaksi Makhluk hidup bereaksi terhadap pengaruh-pengaruh yang diterimanya, keadaan-keadaan yang mengkondisikan eksistensinya. Makhluk hidup mampu beradaptasi dan readaptasi terus-menerus, dan menjadi tujuan bagi dirinya sendiri. Dalam hal manusia, menentukan sendiri cita-cita dan tujuan-tujuannya. Kodrat Makhluk Hidup :Kodrat Makhluk Hidup Secara esensial, makhluk hidup adalah sesuatu yang menyempurnakan dirinya sendiri. Dia mempunyai kemampuan untuk bergerak sendiri, untuk tumbuh, dan mengembangkan dirinya.(filsuf-filsuf Yunani) Ciri khas makhluk hidup adalah kemampuannya melaksanakan kegiatan imanen (kegiatan yang efeknya tetap di dalam makhluk), maupun melakukan kegiatan transitif (kegiatan yang memproduksi suatu suatu efek di luar diri pelakunya. Slide 6:Karena menyempurnakan dirinya sendiri (otoperfektif), maka makhluk hidup perlu mempunyai suatu kesatuan substansial. Kesatuan substansial adalah kesatuan yang dinamis dan yang menstrukturkan sumber pertama dari aktivitas-aktivitas yang beraneka ragam dan terkoordinir pada setiap makhluk hidup yang primordial. Kesatuan substansial tersebut adalah juga sesuatu yang interior dan natural. Interior, karena dia tidak terjadi dari penggabungan materimateri, tetapi sebaliknya karena dari dirinyalah makhluk hidup mengembangkan diri. Merupakan semacam pusat atau inti yang darinya memancar seluruh aktivitas makhluk hidup dan ke arahnya operasi kembali. Natural, karena tidak terjadi pada 3. Jiwa Makhluk Hidup :3. Jiwa Makhluk Hidup 4. Realitas Jiwa :4. Realitas Jiwa 5. Karakteristik Spesifik Badan Manusia :5. Karakteristik Spesifik Badan Manusia 6. Makhluk Hidup Mengatasi Batas-Batas Kebertubuhannya :6. Makhluk Hidup Mengatasi Batas-Batas Kebertubuhannya

http://www.authorstream.com/presentation/granata-152574-filsafat-manusia-adalah-suatumakhluk-hidup-entertainment-ppt-powerpoint/ Bener nih ? Memang benarmanusia bisa bertanya banyak hal tentang dirinya, lingkungannya, bahkan secara spiritual ia bisa bertanya pada Tuhannya. Konon kemampuan dunia fauna khasnya sebatas mempunyai instinct-naluri. Naluri memenuhi kebutuhan tubuhnya, naluri menemukan pasangan, naluri untuk menghindari bahaya, hakekatnya naluri untuk bertahan hidup. Konon dolphin, paus , dan ikan hiu bisa berkomunikasimemang banyak fauna, para hewan yang mempunyai berbagai cara dengan nalurinya, berkomunikasi tetapi mereka belum terbukti mampu bertanya. Kalau ada fauna yang mampu bertanya niscaya mereka pun mempunyai kemampuan menjawab-berarti mereka bisa berkomunikasi panas ! Hanya manusia di alam ini yang mampu bertanya ( tentu akan berjawab, walaupun seandainya ia bermonolog di dalam dirinya). Flora bagaimana ? Dari bacaan selama ini, penulis baru bertemu ada beberapa peneliti berpendapat : flora ada yang mempunyai kemampuan emosional bukan naluri seperti di dunia fauna. Bahkan ada beberapa jenis tanaman demikian kuat ikatan emosional-nya dengan manusia tertentu, umpamanya. Ia bisa memantau seberapa jauh pun letak geografis memisahkan mereka, bahkan berlainan benua. Tanaman itu tahu apa yang dialami sahabat manusia-nya itu. Manusia bisa bertanya-tanya mengenai tanaman, atau apa saja tetapi tanaman yang emosional itu tidak bisa bertanya mengenai keadaan manusia dan lingkungan-nya. Metode pemikiran mempertanyakan hakekat manusia ini menjadi ranah filsafat. Kemampuan ini menjadi perhatian kaum pemikir dan filosof-sejak kaum filosof di jaman Yunani sampai saat ini kaum pemikir atau filosof kontemporer. Terkenal sekali perkataan Socrates: kenalilah dirimu . Dari jaman itu pun manusia mampu merumuskan tanya-jawab tentang dirinya. Kalau-lah manusia tidak mempunyai kemampuan bertanya, tentu hidup kita tetap sama dengan nenek moyangtidak ada perubahan lain dalam hidup manusia . Hasil manusia bertanya-tanya timbullah satu unsur penunjang hidup manusia. Yang namanya Kebudayaan, cara budaya manusia menjadi salah satu yang membedakan manusia dengan para hewan. Hewan tetap hidup secara naluriah sama dengan cara hidup nenek moyangnya. Memang fisik mereka seperti juga manusia bisa mengalami evolusi menyesuaikan diri dengan hukum alam lingkungannya. Bisa fisik mereka dan tingkah lakunya berubah, secara alamiah. Terhadap manusia. Alam bukan saja memaksa perubahan fisik manusia, tetapi bisa pula sekaligus manusia merubah budaya hidupnya, untuk menyesuaikan dengan perubahan alamiah itu. Dari hasil bertanya, manusia menemukan kebudayaan bagi menunjang kehidupannya. Budaya manusia bisa berkembang secara evolusioner perlahan-lahanbisa pula secara revolusioner menemukan cara yang merubah hidup masyarakat manusia secara drastis. Bahkan sekarang manusia bisa memanipulasi budaya agar bisa mencapai ukuran standar yang dikehendaki. Mengapa bisa demikian ? Karena manusia mampu bertanya-manusia menemukan jawabannya. Kemampuan bertanya manusia bisa menghasilkan standar. Standar pengetahuan, standar pengujian, standar kehidupan, standar kebenaran, standar norma dan etika, standar keindahan dan berbagai standar yang

diperlukan dalam hidup masyarakat manusia.Untuk apa ? Untuk bertahan hidup, untuk berkehidupan yang maju (karena pengaruh peradaban sesama manusia di dunia), dan untuk kemampuan mengelola perubahan secara budaya. Standar hidup yang dipertanyakan manusia menyangkut Nilai-rasa aman, nyaman, adil, puas, tentram dan banyak hal-hal yang positif lainnya. Itulah sebabnya Budaya kita memberikan kita organisasi Ke-Negara-an untuk menjawab berbagai kepentingan kita sebagai manusia. Mengapa kita ingin terlibat secara intensif terhadap segala gejala dalam lingkungan kita ? Entah alamiah, entah kemasyarakatan, entah kenegaraan, entah hal yang sebenarnya tidak langsung ada kepentingan fisik kita, sebagai manusia. Karena apa ? Mengapa Itu tadi, karena manusia mempunyai kemampuan bertanya. Ada Kepentingan dalam pertanyaan manusia. Untuk mempertanyakan keberadaan manusia itu - jawabnya bisa berbeda-beda dalam kurun yang berbeda, dalam tingkat budaya yang berbeda - jadi budaya yang menjadi alat bantu manusia bisa makin mendekatkan apa hakekat keberadaan manusia. Nanti kita akan sampai pada suatu jawaban yang paling kena di saat ini. Menurut Plato dan Plotinos manusia ialah suatu makhluk illahiah, makhluk yang dekat dengan keberadaan illahi, Sang Pencipta. Epikuros dan Lukretius sebaliknya mendapat jawab bahwa manusia adalah suatu makhluk yang berumur pendek (mungkin parameter yang disadarinya alam sang penunjang kehidupan lebih panjang umurnya, dari kenyataan manusia berganti-ganti generasi demi generasi ). Rene Descartes ( 1596-1650) seorang filosof Perancis, dia hidup di kalangan yang terus menerus mempertanyakan berbagai ide yang melekat dalam masyarakat. Dari berbagai hipotesanya sampailah ia pada hakekat keberadaan manusia : Cogito ergo Sum-Saya berfikir maka saya ada ! Alangkah hebatnya pendapatnya itu. Cogito ergo Sum. Bagi kaum Muslimin, firman Allah menyatakan bahwa manusia adalah khalifah di alam dunia ini-apatah misi-mu manusia Sang Khalifah ? Apa artinya firman itu ? Tiada lain, engkau adalah Sang pengelola alam semesta. Apa ? Mengapa ? Bilamana ? Dimana ? Siapa ? dan Bagaimana ? Itulah sahabat manusia dalam mengelola alam menurut filosof Rudyard Kipling. Tidak ada kata-kata tanya lain selain ke-enam sahabat hidup keberadaan manusia di alam dunia ini. Ke-enam kata tanya itu adalah hakekat kemampuan keberadaan manusia di alam dunia ini. Jawabnya adalah Budaya-Bagaimana adalah Budaya itu. Budaya adalah hasil pertanyaan manusia. Bagaimana manusia bertanya pada Tuhan-nya ? Berdoalah ! Konotasi berdoa adalah bertanya pada Tuhan untuk memperoleh jawaban.Ada dua buku yang menjelaskan bagaimana Tuhan menjawab doa manusiasatu buku ditulis oleh seorang Barat, satu buku lagi oleh seorang Muslim yang kompeten. Kedua-nya menyatakan bahwa Tuhan menjawab doa manusia, melalui kemampuan naluri manusia. Lho ! http://filsafat.kompasiana.com/2010/01/23/serial-filsafat-01-hanya-manusia-yang-mampubertanya/

Pelajaran Mata Kuliah Filsafat Manusia

Ruang lingkup filsafat manusia dan metodenya pertama-tama mencoba memahami filsafat manusia dengan menjelaskan objek material dan objek formalnya, menjelaskan persamaan, perbedaan dan hubungan antara filsafat manusia dengan berbagai ilmu tentang manusia lain lalu baru disampaikan metode-metode dalam filsafat manusia. Pejajaran pertama yaitu tentang corak dan berbagai aliran dalam filsafat manusia dibagi atas:

Corak pemikiran manusia dalam filsafat manusia Berbagai aliran dalam filsafat manusia Pembahasan tentang tesis-tesis tentang manusia dan gambaran manusia seutuhnya

Dimensi kejasmanian dan kerohanian antara lain membahas tentang:


Manusia sebagai makhluk yang memiliki struktur fisik (tubuh) Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal budi (jiwa) Manusia sebagai makhluk yang memiliki dimensi roh Pandangan banyak filsuf terhadap bagaimana hubungan aspek kejasmanian dan kerohanian di dalam diri perorangan.

Kita tahu bahwa manusia merupakan makhluk sosial, oleh karena itu pelajaran mata kuliah filsafat manusia juga membahas tentang dimensi sosialitas dan keunikan manusia. Pembahasannya dibagi atas beberapa lingkup yaitu:

Sosialitas manusia Manusia sebagai makhluk sosial Manusia sebagai pribadi (subjek otonom) Manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat Pandangan tentang sosialitas dan keunikan manusia serta prinsip dasar dalam pengaplikasiannya

Manusia, katakanlah saya atau Anda pasti memiliki corak pemikiran sendiri sesuai dengan pengalaman dan watak masing-masing. Inilah yang dapat disebut ideal menurut diri sendiri. Dari sini pembahasan filsafat manusia juga tidak lepas dari pembahasan manusia sebagai makhluk yang memiliki idealisme. Sejak zaman Rousseau, demokrasi, liberal, dan perkembangannya membawa dampak pendiskusian mendalam tentang kebebasan dan tanggung jawab pada manusia, meski pun isu kebebasan dan tanggung jawab sebenarnya seharusnya sudah ada sejak beberapa ribu tahun yang lalu, namun pembahasannya baru serius tampaknya sejak Rousseau, di sini filsafat juga berperan dalam masalah filosofis tentang kebebasan dan tanggung jawab. http://aprillins.com/pelajaran-mata-kuliah-filsafat-manusia

Ditulis oleh Admin Selasa, 11 Agustus 2009 22:52 Ditulis oleh Aiter dan Billy

----- Original Message ----From: "Billy Kristanto" Subject: Filsafat Manusia

PENDAHULUAN Banyak tulisan modern sarat dengan perasaan absurditas, kebosanan, kemuakan dan ketidak-artian. Bagaimana timbulnya semua perasaan muram ini? Jelaslah antara lain karena dua kali terjadi perang dunia yang disertai badai kekerasan, kebencian serta ketidak-manusiawian dan mengakibatkan korban berjuta-juta, ditambah lagi semua pengungsi dan orang yang kehilangan tempat tinggal. Barangkali yang paling buruk bukanlah kekerasan fisik, melainkan pembusukan kepribadian serta hati nurani karena perang memaksa manusia memainkan peranan-peranan di mana ia tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan mengkhianati keterlibatannya. Perang seolaholah mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menghancurkan kemungkinan untuk bertindak dengan cara yang sungguhsungguh manusiawi. Pertanyaan yang menarik bagi kita ialah apakah kita sebagai pribadi atau sebagai masyarakat, masih sanggup memberikan suatu makna kepada kehidupan kita. Kita berefleksi tentang diri kita sendiri dan

tentang pertanyaan eksistensial ini: apakah hidup kita masih mempunyai makna? Dan kalau masih ada makna yang bagaimana? Dalam tulisan ini kami berusaha untuk menampilkan beberapa filsuf yang representatif berbicara mengenai manusia. Beberapa thema yang penting yang menjadi pokok pembahasan yang digeluti misalnya seperti tentang siapakah manusia (Sokrates), makna tertinggi keberadaan manusia (Plato), esensi atau hakekat manusia (Descartes), eksistensi manusia (Kierkegaard, Sartre), tubuh manusia (Plato, Marcel). Dan akhirnya kami mengakhiri tulisan ini dengan sebuah mini eksegese dari tulisan Paulus kepada jemaat di Roma (pasal 12:1-2) yang menurut hemat kami menjadi jawaban yang mengakhiri semua perdebatan filsuf-filsuf tentang manusia.

PRE-SOKRATES --- SOKRATES Pada permulaan perkembangan pemikiran filsafat Yunani, tampaknya sematamata berurusan dengan dunia fisik saja. Kosmologi jelas amat mengungguli penyelidikan-penyelidikan dalam cabang-cabang filsafat lainnya. Mazhab Milesian mengembangkan filsafat jasmaniah. Mazhab Pythagorean mengembangkan filsafat matematis. Aliran ini berpendapat bahwa unsur-unsur kualitatif kosmos berasal dari unsur-unsur kuantitatif, yaitu bilangan-bilangan. Mazhab ini juga menaruh perhatian yang dalam pada masalah manusia, tetapi terutama dari sudut keagamaan di dalam kelompok tertutup tempat mereka hidup. Para pemikir Eleatik menjadi orang-orang pertama yang menggariskan citacita logika. Mereka menegaskan bahwa hanya rasio yang dapat membuka jalan ke arah Ada yang benar dan nyata. Heraklitos berdiri pada garis perbatasan antara pemikiran kosmologis dan pemikiran antropologis. Dia menolak konsep tentang Ada yang dikemukakan Mazhab Eleatik. Bagi dia, pengenalan indrawi menjadi titik tolak yang

terpecaya meskipun ia sangat menjunjung tinggi rasio (logos) sebagai kemampuan untuk mengenal, namun rasio itu sama bergerak dan terlibat dalam proses menjadi seperti segala sesuatu yang ada. Protagoras, seorang sofis, mengatakan bahwa bukanlah Ada yang menentukan pengenalan kita, melainkan pengenalan kita yang menentukan Ada. Jadi bukan obyektivisme, melainkan subyektivisme. Oleh sebab itu dia berpendapat bahwa "manusia adalah tolok ukur untuk segala-galanya". Meskipun mereka tergolong filsuf alam, namun Heraklitos sudah yakin bahwa mustahil menyelami rahasia alam tanpa mempelajari rahasia manusia. Kita harus memenuhi tuntutan akan pengenalan diri bila kita hendak tetap menguasai realitas dan memahami maknanya. Oleh sebab itu Heraklitos menyebut seluruh filsafatnya dengan dua kata edizesamen emeoton ("Aku mencari diriku sendiri"). Namun kecendrungan berpikir yang baru ini, baru matang pada masa Sokrates, sehingga persoalan tentang manusia merupakan patokan yang membedakan pemikiran Sokrates dengan pemikiran preSokrates. Ungkapan Sokrates yang sangat terkenal adalah "kenalilah dirimu sendiri". Manusia adalah makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisikondisi eksistensinya. Sokrates berkata dalam Apologia, "Hidup yang tidak dikaji" adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Bagi Sokrates, manusia adalah makhluk yang bila disoroti pertanyaan yang rasional dapat menjawab secara rasional pula. Menurut Sokrates, hakekat manusia tidak ditentukan oleh tambahan-tambahan dari luar, ia semata-mata tergantung pada penilaian diri atau pada nilai yang diberikannya kepada dirinya sendiri. Semua hal yang 'ditambahkan dari luar' kepada manusia adalah kosong dan hampa. Kekayaan, pangkat, kemasyhuran dan bahkan kesehatan atau kepandaian semuanya tidak pokok (adiaphoron). Satu-satunya persoalan adalah kecendrungan sikap terdalam pada hati manusia. Hati nurani merupakan "hal yang tidak dapat

memperburuk diri manusia, tidak dapat juga melukainya baik dari luar maupun dari dalam". PLATO (427 - 347 SM) Terjadi titik balik dalam kebudayaan dan pemikiran Yunani ketika Plato menafsirkan semboyan "kenalilah dirimu sendiri" (gnothi seauton) dengan cara yang sama sekali baru. Penafsiran ini memunculkan persoalan yang tidak hanya tidak terdapat pada pemikiran pre-Sokrates, tetapi juga di luar jangkauan metode Sokrates sendiri. Untuk memenuhi permintaan orakel Delphi, untuk memenuhi kewajiban religius berupa pengkajian diri serta pengenalan diri, Sokrates mendekati manusia sebagai individu. Pendekatan Sokrates ini oleh Plato dianggap punya keterbatasan-keterbatasan. Bagi Plato, untuk memecahkan persoalan tersebut kita harus membuat rancangan yang lebih luas. Dalam pengalaman individual, kita menghadapi gejala-gejala yang demikian beraneka, rumit dan saling bertentangan, sehingga kita sulit melihatnya secara jelas. Manusia seharusnya dipelajari dari sudut kehidupan sosial dan politis. Menurut Plato, manusia adalah ibarat teks yang sulit, maknanya harus diuraikan oleh filsafat. Tapi dalam pengalaman kita sebagai pribadi, teks itu ditulis dengan huruf-huruf yang terlampau kecil sehingga tidak terbaca. Maka sebagai tugas pertama, filsafat harus 'memperbesar' tulisan-tulisan tersebut. Filsafat hanya dapat mengajukan teori yang memadai tentang manusia apabila sampai pada teori tentang negara. Dalam teori tentang negara, sifat-sifat manusia ditulis dengan huruf-huruf besar. Dalam teori tentang negara, arti 'teks' yang semula tersembunyi seketika muncul, dan apa yang semula kabur dan ruwet menjadi jelas dan dapat dibaca. Namun negara bukanlah segala-galanya, serta negara tidak mencerminkan dan tidak menyerap seluruh aktivitas manusia, meskipun kegiatan manusia dalam perkembangan sejarahnya berhubungan erat dengan bertumbuhnya negara. Plato bertitik tolak dari manusia yang harmonis serta adil dan dalam hal itu ia

menggunakan pembagian jiwa atas 3 fungsi, yaitu: Epithymia (suatu bagian keinginan dalam jiwa). Thymos, (suatu bagian energik dalam jiwa). Logos, (suatu bagian rasional dalam jiwa dan sebagai puncak dan pelingkup). Menurut Plato, negara diibaratkan sebagai Manusia Besar, sebagai organisme yang terdiri atas 3 bagian atau golongan yang masing-masing sepadan dengan suatu bagian jiwa, yaitu: Epithymia, golongan produktif yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang. Thymos, golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit. Logos, golongan pejabat yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan. Plato juga mengajarkan teori tentang pra-eksistensi jiwa. Dia mengatakan sebelum kita dilahirkan, atau sebelum kita memperoleh suatu status badani, kita sudah berada sebagai jiwa-jiwa murni dan hidup di kawasan lebih tinggi di mana kita memandang suatu dunia rohani. Sejak kita dilahirkan, kita berada di bumi dan jiwa kita meringkuk dalam penjara tubuh, terbuang dari daerah tinggi itu. Karena penjelmaan dalam tubuh itu, jiwa kita tidak lagi menyadarkan diri dan dengan mendadak tidak lagi menyadari pengetahuan tentang idea-idea dalam dunia kayangan dulu. Dari sini Plato kemudian mengembangkan teori tentang manusia. Manusia pada mulanya adalah roh murni yang hidup dari kontemplasi akan yang ideal dan yang ilahi. Jadi, kemungkinan dan makna ultimate keberadaan manusia mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang baik, yang benar, dan yang indah. Tetapi kita gagal mencapai kehidupan yang sebagaimana mestinya karena kita menyimpang dari kiblat idea-idea tersebut, sehingga kita langsung terhukum dengan dipenjarakannya jiwa ke dalam tubuh. Kita harus berusaha naik ke atas dan memperoleh perhatian dan cinta besar untuk dunia ideal dan ilahi itu. Akan tetapi kemungkinan untuk mewujudkan makna ini sangat

dibatasi karena kita terbelenggu dalam materi. Bagi kita, dunia jasmani dan tubuh menjadi kemungkinan-kemungkinan buruk untuk tersesat lebih jauh lagi dan tenggelam dalam rawa-rawa materi dan sensual. Kemungkinan yang paling jahat ialah menyerahkan diri sepenuhnya kepada dirinya sendiri (egoisme radikal) dan kepada benda-benda jasmani (materialisme dan sensualisme). Jadi, bagi manusia, dunia dan tubuh itu bersifat ambivalen, artinya dunia serta tubuh dapat merayu dia ke arah kemungkinankemungkinan yang jahat, tetapi dapat juga mendorong dia kepada kemungkinan-kemungkinan yang baik. Manusia memiliki suatu daya yang kuat dan gemilang yang dapat mendorong dia ke atas, yaitu cinta (eros). Eros adalah daya kreatif dalam diri manusia, pencetus kehidupan, inspirator para penemu, seniman dan genius. Eros memenuhi kita dengan semangat kebersamaan, membebaskan kita dari kesendirian kita, dan mengajak kita ke pesta, musik, tarian, dan permaian. Plato menyebutnya sebagai "bapak segala kehalusan, segala kepuasan dan kelimpahan, segala daya tarik, keinginan dan asmara". Eros mendorong kita semakin tinggi, sehingga kita dapat beralih dari cinta yang kelihatan kepada cinta yang tidak kelihatan, ideal, ilahi. Menurut Plato, kematian hanyalah permulaan suatu reinkarnasi baru yang lebih rendah atau lebih tinggi daripada keberadaannya sebelumnya. Dalam karyanya: Phaidros, Plato berkata bahwa setelah 10.000 tahun, jiwa akan kembali ke asal usulnya. Jadi menurut pandangan Plato, manusia mempunyai banyak jiwa dan banyak manusia individu. RENE DESCARTES (1596-1650) Filsafat Rasionalismenya membawa dampak terhadap pandangan tentang manusia. Pemikiran-pemikiran penting dalam filsafatnya: Ada dua bentuk realitas yang berbeda, dua "substansi". Yang pertama adalah gagasan (res cogitan), atau "pikiran", dan yang kedua adalah perluasan (res extensa). Pikiran itu adalah kesadaran, tidak mengambil tempat dalam ruang.

Materi adalah perluasan, mengambil tempat dalam ruang dan tidak mempunyai kesadaran. Kedua substansi tersebut tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Pikiran sama sekali tidak tergantung pada materi, sebaliknya proses materi juga tidak tergantung pada pikiran dualisme. Manusia adalah makhluk ganda yang mempunyai pikiran dan badan perluasan. Apa yang kita pikirkan dengan akal kita tidak terjadi di dalam badan - itu terjadi di dalam pikiran, yang sama sekali tidak tergantung pada realitas perluasan. Namun Descartes tidak dapat menyangkal bahwa ada interaksi konstan antara pikiran dan badan. Interaksi konstan berlangsung antara "roh" dan "materi". Pikiran dapat selalu dipengaruhi oleh perasaan dan nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan badaniah. Namun pikiran dapat menjauhkan diri dari impuls-impuls 'tercela' semacam itu dan bekerja tanpa tergantung pada badan (jika aku merasakan sakit yang amat-sangat pada perutku, jumlah sudut dalam sebuah segitiga tetap 180 derajat. Maka manusia mempunyai kemampuan untuk bangkit mengatasi kebutuhankebutuhan badaniah dan bertindak secara rasional. Dalam hal ini pikiran lebih unggul daripada badan. SREN KIERKEGAARD (1813-1855) Sebagai Bapak Eksistensialisme, pandangan filosofis Kierkegaard tentunya banyak membahas tentang manusia, khususnya eksistensinya. Beberapa point yang penting dalam filsafatnya: Individu tidak ditempatkan di hadapan Ketiadaan, melainkan di hadapan Tuhan. Dia menganggap Hegelianisme sebagai ancaman besar untuk individu, untuk manusia selaku persona. Yang harus dipersoalkan terutama subyektivitas dari kebenaran, yaitu bagaimana kebenaran dapat menjelma dalam kehidupan individu. Kebenaran

obyektif - termasuk agama - harus mendarah daging dalam si individu. Yang penting ialah bahwa aku memahami diriku sendiri, bahwa kulihat dengan jelas apa yang Tuhan kehendaki sungguh-sungguh agar aku perbuat. Yang terutama kubutuhkan ialah mendapatkan suatu kebenaran yang adalah benar untuk aku, suatu ide yang bisa mengilhami kehidupan dan kematianku. Apakah gunanya menemukan suatu kebenaran yang disebut obyektif dan mempelajari semua sistem filosofis . Sejauh mana ada baiknya bagiku dapat menjelaskan arti agama Kristen bila agama itu tidak mempunyai arti mendalam untuk aku sendiri dan kehidupanku ." Kierkegaard mencari kebenaran yang konkret serta eksistensial, suatu pengetahuan yang dihayati (connaissance vcue), a real knowledge. Dia membedakan manusia dalam stadium estetis, etis dan religius. Pada stadium estetis manusia membiarkan diri dipimpin oleh sejumlah besar kesan-kesan indrawi, mengikuti prinsip kesenangannya, lebih dijadikan hidup daripada ia hidup sendiri. Manusia menyibukkan diri dengan rupa-rupa hal, tetapi ia tidak melibatkan diri; ia hanya tinggal seorang penonton yang berminat. Ia bisa menjadi seorang hedonis yang sempurna, seorang "perayu" seperti Don Juan, atau seorang yang "sok tahu" dan seorang Sofis (mis. Mendalami filsafat dan teologi). Kebosanan, kekurangsenangan dan kecemasan memimpin seseorang ke arah stadium etis. Mulai mekar keinsafan akan kemungkinan-kemungkinan kita, akan kebebasan, tanggung jawab dan kewajiban kita. Kita sampai pada diri kita sendiri, menggantungkan kehidupan kita pada norma, bertumbuh menjadi persona. Kita semakin mengikat diri, dari penonton menjadi pelaku, kita melibatkan diri. Dalam stadium ini juga, manusia menyadari keadaannya yang tragis dan bercacat; ia menginsafi bahwa ia penuh kekurangan. Ia akan merasa jengkel karena ketidaksempurnaannya serta ketidaksanggupan morilnya dan mungkin akan memberontak terhadap seluruh tatanan etis. Manusia bisa merasa dirinya kecil dan tidak berdaya sambil mendambakan

topangan serta bantuan Tuhan, yang mengulurkan tangan-Nya untuk membantu manusia yang terkoyak-koyak (bandingkan Mat 5:3). Bila kita menangkap tangan ini dan membuka diri untuk Tuhan, maka kita tiba pada stadium religius. Sebagai orang Kristen - ia berani menerjunkan diri ke dalam petualangan untuk - dengan ketidakpastian intelektual yang besar mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus. Iman kepercayan Kristiani itu bersifat paradoks, sebagaimana Kristus merupakan Paradoks besar yang mempersatukan keabadian serta keduniawian, keilahian serta kemanusiawian. Hidup sebagai Kristen adalah cara hidup tertinggi yang merupakan kemungkinan ultim dan makna keberadaan manusia. GABRIEL MARCEL (1889-1973) Salah satu thema utama dalam filsafatnya adalah mengenai tubuh. Beberapa hal yang penting: Masalah mengenai "mempunyai" dan "Ada" dikaitkan dengan tubuh. Saya mempunyai tubuhku atau saya adalah tubuhku? Tubuhku bagi saya bukan obyek, melainkan selalu melibatkan pengalaman saya sendiri tentang organisme fisis-kimiawi, inilah yang ingin diselidiki oleh Marcel. Analogi "saya mempunyai tubuhku" dengan "saya mempunyai anjingku" harus dihentikan karena tiga aspek: 1) antara saya dan tubuhku tidak terdapat struktur qui-quid (subyek yang mempunyai dan yang dipunyai) seperti antara saya dan anjingku; 2) tubuh tidak berada di luar saya seperti halnya dengan anjing; 3) saya tidak merupakan "yang lain" terhadap tubuhku seperti saya memang merupakan "yang lain" terhadap anjingku. Tubuh bukanlah alat. Martil berada antara tukang kayu dan papan yang sedang dikerjakan. Tubuh tidak berada antara aku dan apa yang sedang dikerjakan. Bila saya menulis, tubuh tidak berada antara "aku" dan kertas. Tubuh adalah "alat absolut", artinya alat yang memungkinkan alat2 tetapi tidak merupakan alat bagi sesuatu yang lain.

Tubuh adalah "prototipe" di bidang "mempunyai", yang memungkinkan untuk mempunyai tetapi tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain. Sekalipun demikian saya tidak identik begitu saja dengan tubuhku. Tetapi jelas penengahan antara saya dan tubuhku tidak bersifat instrumental. Marcel menyebutnya sympathetic mediation: penengahan pada taraf "merasakan" (sentir). Saya adalah tubuhku, hanya sejauh saya adalah makhluk yang merasakan. Proses "merasakan" harus dimengerti sebagai suatu "message" dari luar yang diterima di dalam subyek. Garis pemisah yang ditarik antara "di luar" dan "di dalam" harus ditolak karena "menerima" dalam hal perasaan tidak pernah sama dengan "menerima semata-mata pasif". "Menerima" di sini harus dimengerti sebagai partisipasi, membuka diri, memberikan diri; "menerima" seperti tuan rumah menyambut tamu-tamunya. "Merasakan" berarti menerima dalam wilayah yang merupakan wilayah saya. "Inkarnasi" manusia hanya mungkin karena dengan tubuhku saya berada dalam dunia, bukan saja dalam arti bahwa saya dapat mempengaruhi bendabenda, tetapi juga dalam arti bahwa saya terpengaruhi oleh benda-benda. Dualisme antara "di luar" dan "di dalam" harus ditinggalkan. Inkarnasi itu merupakan titik tolak refleksi filosofis dan bukan cogito atau kesadaran. JEAN PAUL SARTRE (1905 -1980) Manusia merupakan suatu proyek ke masa depan yang tidak mungkin didefinisikan. Manusia adalah sebagaimana ia diperbuat oleh dirinya sendiri. Ia adalah masa depannya. Moral dan etika harus diciptakan oleh manusia sendiri. Kita adalah kebebasan total, "kita dihukum untuk bertindak bebas". Inilah kemegahan dan sekaligus kemalangan bagi kita, sebab kebebasan mengandung juga tanggung-jawab. Kita bertanggung-jawab atas seluruh eksistensi kita dan bahkan kita bertanggung-jawab atas semua manusia karena terus-menerus kita adalah manusia yang memilih dan dengan memilih

diri kita sendiri, kita sekaligus memilih untuk semua orang. Dari tanggungjawab yang mengerikan ini lahirlah kecemasan atau keputus-asaan. Kita berusaha meloloskan diri dari kecemasan serta keputusasaan itu melalui sikap malafide (mauvaise foi) serta keikhlasan (sincerite), dengan berlagak seolaholah kita bisa ada sebagaimana seharusnya kita ada dan secara diam-diam menyisipkan suatu identifikasi antara en-soi (Ada-pada-dirinya) dan pour-soi (kesadaran kita). Mungkinkah kehidupan manusia tanpa Tuhan? Apakah hidup manusia masih mempunyai makna? Secara obyektif kehidupan kita memang tidak mempunyai makna sedikitpun dan absurd sama sekali. Kita tidak mempunyai alasan untuk berada. Manusia merupakan une pasion inutile, suatu gairah yang tidak berguna. Namun kita bisa memberi makna kepada kehidupan kita dan dengan itu kehidupan manusiawi sebetulnya baru menjadi mungkin. Jadi seorang manusia dapat memberi makna kepada keberadaannya dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada, dengan merancang dirinya. Sartre pernah menyebut orang lain "neraka", tetapi kemudian ia menginginkan suatu ikatan dan ia menemukan orang lain sebagai syarat untuk eksistensinya sendiri. Untuk memperoleh kebenaran tentang diri saya sendiri, saya memerlukan orang lain. Jadi Sartre yang sebagai atheis ingin menciptakan suatu way of life yang baru, yaitu semacam moral manusiawi yang baru. Karena saya terikat dengan orang lain, maka kebebasan saya harus memperhitungkan juga kebebasan orang lain itu. Saya tidak boleh membuat kebebasan saya menjadi tujuan tanpa membuat hal yang sama dengan kebebasan orang lain. Setelah semua manusia mati, seluruh sejarah umat manusia dapat disingkatkan dengan mengatakan, "begitulah manusia". Akan tetapi, siapakah yang dapat mengetahui serta mengatakan hal itu karena tidak ada lagi manusia? Selama masih ada manusia hidup, selalu terlalu pagi untuk mengatakan "begitulah manusia". Bagi manusia individu, kemungkinan

ultimate adalah kematian, tetapi kemungkinan ultimate seluruh umat manusia tidak kita ketahui. RASUL PAULUS Kita akan mengkonsentrasikan pandangan Paulus, khususnya dalam suratnya kepada jemaat di Roma (pasal 12:1-2). Di sini Paulus mengaitkan tubuh (sebagai persembahan yang hidup kepada Allah), keberbedaan kita dengan dunia, pembaharuan budi dan mengetahui kehendak Allah (yang baik dan sempurna). Berbeda dengan Plato dan Descartes yang cenderung melihat tubuh sebagai penjara jiwa, yang seringkali menghalangi akal sehat yang seharusnya memimpin, berbeda juga dengan Marcel yang cenderung memberhalakan tubuh sebagai "alat absolut" yang tidak dijadikan oleh sesuatu apapun yang lain, maka Paulus menasihatkan kita untuk mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup kepada Allah. Di sini kita melihat pandangan yang positif tentang tubuh (bukan sesuatu yang jahat), sekaligus dilarang untuk memberhalakannya, karena Allah sebagai Pencipta tubuh kita berhak untuk memakainya, bahkan "mempunyainya" sebagai "alat" di tangan-Nya. Berbeda dengan Marcel yang mengatakan bahwa kita seharusnya terbuka terhadap setiap "message" dari luar yang diterima (dirasakan) oleh tubuh, terpengaruhi oleh benda-benda dlsb, Paulus mengatakan agar kita tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Permasalahannya di sini bukanlah bahwa kita harus memiliki satu sikap eksistensial berani ditransformasi oleh segala sesuatu "yang lain", melainkan pertanyaan "apa yang mentransformasi kita?" Alkitab mengatakan bahwa transformasi itu terjadi dalam "pikiran" (mind) yang mengenal kehendak Allah. Transformasi pikiran inilah sebenarnya yang dikejar dan didambakan oleh Plato dan yang disebutnya sebagai "kontemplasi

akan yang ideal dan yang ilahi". Alkitab tidak pernah mengajarkan agar kita memberikan diri untuk ditransformasi oleh apa saja (asal bersedia ditransformasi), melainkan bahwa yang mentransformasi kita adalah firman Tuhan. Transformasi yang dikerjakan oleh firman Tuhan membuat kita semakin mengerti dan mengenal kehendak Allah. Di sini kita melihat bahwa Alkitab menghendaki pengertian pikiran kita (understanding of our mind) terus-menerus disempurnakan, sehingga menjadi orang kristen yang berkenan kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari mengerti dan memikirkan apa yang kita percaya karena di situlah transformasi itu terjadi. Sebagaimana dikatakan oleh John Piper, orang kristen seharusnya menjadi seseorang yang memiliki "a mind in love with God". Mind corresponds to the understanding of the truth of God's perfections. Love corresponds to the delight in the worth and beauty of those perfections. God is glorified both by being understood and by being delighted in. He is not glorified so much by one brand of evangelicals who divorce delight from understanding. And he is not glorified so much by another branch of evangelicals who divorce understanding from delight (John Piper, God's Passion for His Glory. Wheaton: Crossway Books, 1998, p.82). Plato mengatakan bahwa kemungkinan dan makna ultimate keberadaan manusia mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang baik, yang benar, dan yang indah. Paulus mengatakan bahwa mengetahui dan dapat membedakan kehendak Allah adalah apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Plato secara samar-samar memiliki pengertian tentang makna ultimate keberadaan manusia, namun Pauluslah yang dipercayakan Tuhan untuk menyatakan apa yang baik itu, yang benar, yang indah, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna yaitu mengetahui kehendak Allah. Dengan mengetahui kehendak Allah sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya manusia menemukan makna ultimate keberadaan dirinya

http://www.inkribs.org/index.php/karangan-popular/45-diakonia/136-filsafat-manusia

You might also like