You are on page 1of 15

KUMPULAN PUISI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO

KUKIRIMKAN PADAMU Oleh : Sapardi Djoko Damono kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku, par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya. Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka. Namun ada. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

KUTERKA GERIMIS Oleh : Sapardi Djoko Damono Kuterka gerimis mulai gugur Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu Seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu Seperti badai rintik-rintik yang di luar itu Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

LIRIK UNTUK LAGU POP Oleh : Sapardi Djoko Damono

jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring!); swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!) aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!) aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek ketika hutan mendadak gaib jangan pejamkan matamu: Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

MATA PISAU Oleh : Sapardi Djoko Damono mata pisau itu tak berkejap menatapmu kau yang baru saja mengasahnya berfikir: ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam; ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu (http://zhuldyn.wordpress.com)

PERAHU KERTAS Oleh : Sapardi Djoko Damono Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.

Ia akan singgah di bandar-bandar besar, kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu. Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya, Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

PERISTIWA PAGI TADI kepada GM Oleh : Sapardi Djoko Damono

Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang. Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, Ialu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan. Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit. Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu. (http://zhuldyn.wordpress.com)

PERTAPA

Oleh : Sapardi Djoko Damono Jangan mengganggu: aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah kata ah, apa ada bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna masih beranikah kau menyapaku, Saudara? Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

PESAN Oleh : Sapardi Djoko Damono Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya. Kami saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya. Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan .. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

PESTA Oleh : Sapardi Djoko Damono pesta berlangsung sederhana. Sedikit tangis, basa-basi itu; tinggal bau bunga gemetar pada tiktok jam, ingin mengantarmu sampai ke tanah-tanah sana yang sesekali muncul dalam mimpimimpinya . . . di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya

Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI Oleh : Sapardi Djoko Damono

angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, aku rindu, aku ingin mempermainkanmu! kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, jangan berisik, mengganggu . hujan! hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya, lepaskan daun itu! Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

SAJAK NOPEMBER Oleh : Sapardi Djoko Damono Siapa yang akan berbicara untuk kami siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur yang berjejal bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan siapa yang akan berbicara atas nama kami yang berjejal dalam kubur

bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami siapa yang bisa paham makna kehendak kami kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus tanpa dicatat namanya kepada Ibu yang lebih besar dan agung : ialah Tanah Air kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus untuk pergi lebih dahulu apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik tanpa mengeluh serta putus asa di Solo dua orang dalam satu kuburan di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik tapi katakanlah kepada anak cucu kami; di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu bertimbun dalam satu lobang dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu tambur yang paling besar telah ditabuh dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami terompet yang paling lantang ditiup dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu kami pun bangkit dari kubur memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka dan hari depan, sudah itu : mati orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu tanpa tahu siapa kami ini tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal

tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah dan sudah itu : mati siapa berkata bahwa kami telah musnah siapa berkata kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah di ladang dan di laut, meskipun kalian tiada menyadari kehadiran kami siapa berkata bahwa kami telah musnah siapa berkata tanah air adalah sebuah landasan dan kami tak lain baja yang membara hancur oleh pukulan ialah kemerdekaan kemarin giliran kami tapi besok mesti tiba giliranmu kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak hidup dan mengerti makna kemerdekaan dan kami adalah baja yang membara di atas landasan dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan (mungkin besok tiba giliranmu) siapa yang tahu cinta saudara, paman dan bapa siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak ingat untuk apa kamu pergi siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia ingat kenapa kami tak kembali begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan apa saja untuknya jawablah : ya begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa jawab lagi : ya sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari datang untuk memberkati anak-anak yang tidur sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan bahasa dan kehendak kami

sudah kau dengarkah suara napas kami menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur sebab kami selalu dan selalu lahir kembali selalu dan selalu berkelahi lagi mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak tapi toh tak ada bedanya: kami telah memulainya dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya dan memang tak ada bedanya : kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan bagimu adalah awal pertaruhan awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi meski kami pernah kau kenal atau tidak meski kami pernah kau jumpa atau tidak kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung lantaran satu harapan yang pasti walau tak pernah kembali kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan mengeluarkan ampun kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini agar tak lagi mengembara arwah kami kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati kami telah mati lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami kami telah berkelahi; dan mati tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami dan mengatakannya kepada siapa pun tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami yang telah mati pagi sekali dan berjalan tanpa nama dan tanda dalam satu lobang kubur kami telah lahir dan selalu lahir selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah

selalu dan selalu berkelahi di mana dan kapan saja biarkan kami bicara lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja hari ini biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar atas rasa bangga kami yang sederhana biarkanlah kami bicara hari ini lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta Gelora Th III, No 19 ( Nopember 1962) Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air (http://zhuldyn.wordpress.com)

SAJAK SUBUH Oleh : Sapardi Djoko Damono Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air. Mereka berteriak, Jangan bermimpi! dan ia terkejut tak mengerti. Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi. Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya. Jangan bermimpi! gertak mereka. Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai. Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya. Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, Jangan bermimpi! Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan .. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

SAJAK TELUR Oleh : Sapardi Djoko Damono dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai merindukan telur Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

SELAMAT PAGI INDONESIA Oleh : Sapardi Djoko Damono selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk dan menyanyi kecil buatmu. aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu, dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam kerja yang sederhana; bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal. selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah, di mata para perempuan yang sabar, di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan; kami telah bersahabat dengan kenyataan untuk diam-diam mencintaimu. pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu agar tak sia-sia kau melahirkanku. seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya. aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan, merubuhkan kesangsian, dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman

yang megah, biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat, para perepuan menyalakan api, dan di telapak tangan para lelaki yang tabah telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura. Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil memberi salam kepada si anak kecil; terasa benar : aku tak lain milikmu

Basis Thn. XV 4 Januari 1965 (http://zhuldyn.wordpress.com)

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air SERULING Oleh : Sapardi Djoko Damono Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdunya . Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa menganga. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

SETANGAN KENANGAN

Oleh : Sapardi Djoko Damono

Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setangan di lorong yang berlumpur itu. Soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepargelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana . Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

SIHIR HUJAN Oleh : Sapardi Djoko Damono

Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan swaranya bisa dibeda-bedakan; kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu. Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

TAJAM HUJANMU Oleh : Sapardi Djoko Damono

tajam hujanmu ini sudah terlanjur mencintaimu: payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku, air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu, aspal yang gemeletuk di bawah sepatu, arloji yang buram berair kacanya, dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan deras dinginmu sembilu hujanmu Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

TEKUKUR Oleh : Sapardi Djoko Damono Kautembak tekukur itu. Ia tak sempat terkejut, beberapa lembar bulunya lepas; mula-mula terpencar di sela-sela jari angin, satu-dua lembar sambar-menyambar sebentar, lalu bersandar pada daun-daun rumput. Kena! serumu. Selembar bulunya ingin sekali mencapai kali itu agar bisa terbawa sampai jauh ke hilir, namun angin hanya meletakkannya di tebing sungai. Tapi ke mana terbang burung luka itu? gerutumu. Tetes-tetes darahnya melayang : ada yang sempat melewati berkas- berkas sinar matahari, membiaskan wama merah cemerlang, lalu jatuh di kuntum-kuntum bunga rumput. Merdu benar suara tekukur itu, kata seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di sana; ia merasa tiba-tiba berada dalam sebuah taman bunga. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

TELINGA Oleh : Sapardi Djoko Damono Masuklah ke telingaku, bujuknya. Gila ia digoda masuk ke telinganya sendiri agar bisa mendengar apa pun secara terperinci setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis yang menciptakan suara. Masuklah, bujuknya. Gila ! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.

Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

TENTANG MATAHARI Oleh : Sapardi Djoko Damono Matahari yang di atas kepalamu itu adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu waktu kau kecil, adalah bola lampu yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat yang teratur kau terima dari sebuah Alamat, adalah jam weker yang berdering sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan yang dituding anak kecil itu sambil berkata : Ini matahari! Ini matahari!

Matahari itu? Ia memang di atas sana supaya selamanya kau menghela bayang-bayanganmu itu. (http://zhuldyn.wordpress.com)

TUAN Oleh : Sapardi Djoko Damono

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang ke luar. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982. (http://zhuldyn.wordpress.com)

YANG FANA ADALAH WAKTU Oleh : Sapardi Djoko Damono Yang fana adalah waktu. Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. Tapi, yang fana adalah waktu, bukan? tanyamu. Kita abadi. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982.

You might also like