You are on page 1of 4

Kampanye dan Politik Uang

Oleh Saldi Isra


(Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)

Beberapa saat setelah Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri berbicara di Lapangan Gasibu, Bandung Jawa Barat, terlihat sebuah mobil Kijang hitam dengan tempelan striker kepala banteng membangi-bagikan uang kepada sejumlah simpatisan PDI Perjuangan. Tidak terlihat siapa yang berada di dalam mobil itu karena saat pembagian tersebut kaca mobil hanya dibuka sedikit (Kompas, 23/03-2004). Praktik serupa tidak hanya terjadi dalam kampanye PDI Perjuangan tetapi juga dilakukan oleh peserta pemilihan umum yang lain. Misalnya, Ny Sintje Sondakh Mandey --istri Gubernur Sulawesi Utara-- dan Ny Arianne Fredirk Nangoy --istri Walikota Manado-membagi-bagikan uang kepada massa pada saat kampanye Partai Golkar. Bahkan, berdasarkan laporan yang diterima Panitia Pengawas Pemilu Sulawesi Utara, Ny Arianne membagi uang pecahan Rp. 50.000 kepada massa kampanye dengan cara menghamburkannya (Kompas, 19/03-2004). Dengan cara yang berbeda, praktik politik uang juga dilakukan oleh Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yaitu dengan membagi sembako kepada peserta kampanye. Atau dengan sedikit lebih halus, Partai Amanat Nasional (PAN) melakukan pembagian hadiah bagi simpatisan yang mengikuti kampanye. Contoh di atas, adalah realitas yang tak terbantahkan bahwa politik uang sangat dominan selama dua minggu pelaksanaan kampanye. Praktik-praktik itu tidak hanya menjadi tontonan yang memalukan sekaligus memilukan tetapi dengan cara-cara yang tidak terpuji sebagian peserta pemilihan umum menodai dan menginjakinjak makna hakiki penyelenggaraan kampanye yaitu melakukan melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Masalahnya, mengapa sebagian peserta pemilu tidak takut melakukan praktik politik uang selama masa kampanye? Adakah ini terkait dengan lemahnya ancaman hukuman yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif (UU No. 12/2003)?

*** Dalam tulisan Kampanye dengan Uang Haram (Kompas, 08/10-2002), saya menyatakan aturan dana kampanye masih sangat jauh dari rumusan yang jelas dan tegas. Hampir kesemua ketentuan dana kampanye terkategori pasal karet yang dapat menyulitkan lembaga pengawas untuk melakukan law enforcement terhadap semua pelanggaran yang terjadi. Misalnya, dalam kasus money politics, Pasal 77 Ayat (1) 12/2003 menyatakan selama masa kampanye sampai dilaksanakan pemungutan suara, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Dalam penjelasannya dinyatakan, yang dimaksud dengan menjanjikan dan/atau memberikan, inisiatifnya berasal dari calon yang menjanjikan dan memberikan unruk mempengaruhi pemilih. Ketentuan ini secara tegas melarang calon anggota legislatif menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi dalam menentukan pilihan politiknya. Larang itu penting karena kampanye adalah sarana untuk mendapatkan dukungan rakyat melalui penyampaian program-program kalau yang bersangkutan memenangkan pemilihan umum. Keharusan menawarkan program ini dinyatakan dalam Pasal 1 angka 11 UU No 12/2003, kampanye adalah kegiatan peserta pemilihan umum dan/atau calon anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan program-programnya. Ketentuan ini mendorong peserta pemilihan umum membangun citra lewat program kerja bukan melakukan pembodohan dengan mengandalkan uang. Sayangnya, aturan yang terdapat dalam Pasal 77 Ayat (1) hanya memberikan larangan kepada calon anggota legislatif. Dengan rumusan seperti itu, meskipun uang berasal dari calon anggota legisltif, sepanjang yang bersangkutan tidak menjanjikan atau memberikan langsung kepada pemilih, ia sangat sulit untuk dapat dijangkau dengan Pasal 77 Ayat (1). Kecenderungan inilah yang terjadi dalam praktik politik uang selama masa kampanye. Barangkali, dengan alasan itu pula KPU memperluas larangan politik uang yang terdapat dalam Pasal 77 Ayat (1) di atas. Perluasan ini dapat dibaca dalam Pasal 35 Surat Keputusan (SK) KPU Nomor 701 Tahun 2003 bahwa partai politik, calon anggota legislatif, dan calon anggota DPD selama masa kampanye tidak dibenarkan memberikan

materi dalam bentuk apapun yang bisa mempengaruhi calon pemilih untuk mencoblos pilihan tertentu. Larangan yang terdapat dalam SK KPU itu jauh lebih luas dibandingkan dengan Pasal 77 Ayat (1). Sekiranya peserta pemilihan umum menghormati aturan yang dibuat KPU itu, praktik politik uang tidak akan seluas yang terjadi saat ini karena larangan juga ditujukan terhadap partai politik. Sayangnya, bagi peserta pemilihan umum, terutama yang mempunyai dana berlimpah, SK KPU tidak mampu mencegah keinginan mereka untuk membagi-bagikan uang selama masa kampanye. Sekedar membandingkan, kasus bagi-bagi uang dari mobil Kijang hitam yang terjadi di Lapangan Gasibu Bandung di atas tidak mudah dijangkau dengan Pasal 77 Ayat (1) UU No 12/2003. Kejadian itu hanya mungkin dijangkau kalau ada keberanian dan kemauan untuk melaksanakan SK KPU No 701. Tetapi untuk sampai ke arah itu, ada problem asas hukum bahwa ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori). Barangkali, di atas kertas, praktik politik uang yang dilakukan oleh Ny Sintje Sondakh Mandey dan Ny Arianne Fredirk Nangoy sangat terbuka untuk diproses karena yang bersangkutan adalah calon anggota legislatif. Proses hukum harus dilakukan untuk segera memenuhi Pasal 77 Ayat (2) bahwa calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dinyatakan batal sebagai calon oleh KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota. *** Lalu apa yang harus dilakukan untuk menghadapi meruyaknya praktik politik uang selama masa kampanye? Pertanyaan ini menjadi sangat penting karena, hampir dapat dipastikan, praktik serupa akan semakin meluas seiring dengan semakin dekatnya hari pencoblosan. Dan, bisa jadi, sebagian besar dana yang dibagi-bagikan itu berasal dari hasil kejahatan politik, misalnya korupsi. Untuk menghadapi itu semua, harus ada perlawanan terbuka dari semua komponen masyarakat yang punya komitmen mendapatkan hasil pemilihan umum yang berkualitas. Jangan ditolerir himbauan terima uangnya, tetapi jangan pilih partai politiknya. Mempertahankan himbauan itu, sama saja dengan membiarkan kejahatan politik di depan mata. Kita harus menyampaikan, politik uang adalah kejahatan.

Di samping itu, Panwaslu dan komponen masyarakat lainnya harus mencatat semua (laporan) praktik politik uang yang dilakukan oleh peserta pemilihan umum. Dan, pada masa tenang, umumkan secara terbuka siapa saja peserta pemilihan umum yang melakukan praktik politik uang. Pengumuman itu harus disertai dengan ajakan untuk tidak memilih peserta pemilihan umum yang terlibat politik uang. Saya kira, harus ada keberanian untuk melawan. Negeri ini harus diselamatkan dari orang-orang selalu menggunakan uang untuk mencapai kekuasaan.

You might also like