You are on page 1of 37

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara dengan keragaman budaya dan suku bangsa. Dayak merupakan salah satu dari ribuan suku yang terdapat di Indonesia. Dayak ini dikenal sebagai salah satu suku asli di Kalimantan. Mereka merupakan salah satu penduduk mayoritas di provinsi tersebut. Kata Dayak dalam bahasa lokal Kalimantan berarti orang yang tinggal di hulu sungai. Hal ini mengacu kepada tempat tinggal mereka yang berada di hulu sungai-sungai besar. Agak berbeda dengan kebudayaan Indonesia lainnya yang pada umumnya bermula di daerah pantai, masyarakat suku Dayak menjalani sebagian besar hidupnya di sekitar daerah aliran sungai pedalaman Kalimantan. Dalam pikiran orang awam, suku Dayak hanya ada satu jenis. Padahal sebenarnya mereka terbagi ke dalam banyak sub-sub suku. Perbedaan tersebut disebabkan oleh terpencarnya masyarakat Dayak menjadi kelompok-kelompok kecil dengan pengaruh masuknya kebudayaan luar. Setiap sub suku memiliki budaya unik dan memberi ciri khusus pada setiap komunitasnya. 1.2 Identifikasi Masalah Dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Dimana lokasi suku Dayak dan bagaimana keadaan alamnya? 2. Darimana asal mula suku Dayak? 3. Apa bahasa yang digunakan oleh suku Dayak? 4. Bagaimana sistem teknologi suku Dayak? 5. Bagaimana sistem mata pencaharian suku Dayak? 6. Bagaimana organisasi sosial pada suku Dayak?
1

7. Bagaimana sistem pengetahuan pada suku Dayak? 8. Kesenian apa saja yang terdapat di masyarakat suku Dayak? 9. Bagaimana sistem religi masyarakat suku Dayak? 1.3 Tujuan Penulisan Makalah Tujuan dari pnulisan makalah ini adalah agar pembaca mengetahui: 1. Lokasi dan lingkungan alam 2. Asal mula san sejarah 3. Bahasa yang digunakan 4. Sistem teknologi 5. Sistem mata pencaharian. 6. Organisasi sosial 7. Sistem pengetahuan 8. Kesenian 9. Sistem religi 1.4 Sistematika Penulisan KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Identifikasi Masalah 1.3 Tujuan Penulisan Makalah 1.4 Sistematika Penulisan BAB II PEMBAHASAN 2.1 Lokasi, Lingkungan Alam, dan Demografi

2.2 Asal Mula dan Sejarah Suku Bangsa 2.3 Bahasa 2.4 Sistem Teknologi 2.5 Sistem Mata Pencaharian 2.6 Organisasi Sosial 2.7 Sistem Pengetahuan 2.8 Kesenian 2.9 Sistem Religi DAFTAR PUSTAKA

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi Suku Dayak Kalimantan Tengah adalah salah satu dari provinsi-provinsi Republik Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan Indonesia. Provinsi Kalimantan Tengah terdiri dari lima kabupaten, yaitu: Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Kapuas, Barito Utara dan Barito Selatan. Luas seluruh Kalimnatan Tengah adalah 152.600 kilometer persegi sehingga melebihi luas Pulau Jawa dan Madura. Namun daerah itu menurut sesnsus 1961 hanya berpenduduk 497.000 jiwa, jadi kepadatan penduduk rata-rata hanya 3.3 orang saja per tiap kilometer persegi. Sebagaian besar penduduknya terdiri dari orang Dayak yang terbagi atas beberapa suku bangsa seperti Ngaju, Ot Danum, Ma`anyan, Ot Siang, Lawangan, Katingan, dan sebagainya. Mereka ini berdiam di desa-desa sepanjang sungai-sungai besar dan kecil seperti sungai-sungai Barito, Kapuas, Kahayan, Katingan, Mentaya, Seruyan, dan lain-lain. Penduduk Kalimantan Tengah selain orang Dayak yang merupakan penduduk asli daerah itu, adapula keturunan orang-orang pendatang. Mereka ini adalah orang-orang Banjar, Bugis, Madura, Makasar, Melayu, Cina, dan lain-lain. Dalam makalah ini, kebudayaan penduduk pendatang itu tidak akan kami bicarakan. Yang menjadi pokok pembicaraan dalam makalah ini adalah penduduk asli daerah tersebut yang terdiri dari orang Dayak. Dari sekian banyak macam orang dayak di Kalimantan Tengah, hanya 3 suku Dayak saja yang kami akan bahas diantaranya adalah Ngaju, Ot Danum, dan Ma`anyan. Tempat tinggal suku bangsa Ngaju adalah di sepanjang sungai-sungai besar Kalimantan Tngah seperti Kapuas, Kahayan, Rungan Manuhin, Barito, dan

Katingan. Sedangkan tempat kediaman orang Ot Danum adalah selain di sepanjang sungai-sungai besar seperti Kahayan, Rungan, Barito, dan Kapuas juga di hulu sungai-sungai dari Kalimantan Barat seperti sungai Melawi. Suku-suku bangsan Ngaju dan Ot Danum yang akan dibicarakan dalam makalah ini adalah mereka yang berdiam di sungai Kapuas dan Kahayan. Secara administratif kenegaraan, kediaman mereka ini termasuk bagian dari kabupaten Kapuas. Di daerah aliran sungai Kahayan suku bangsa Ngaju berdiam di sebelah hilir sedangkan suku bangsa Ot Danum di daerah hulu. Batas kediaman orang Ngaju di hulu Kahayan hanya samapai di Tumbang Miri saja sebagai desanya yang terakhir, sedangkan di hilir terus turun sampai ke muara sungai Kahayan. Letak kediaman orang Ot Danum adalah di hulu Kahayan, yaitu daerah sebelah utara Tumbang Miri. Jika desa-desa orang Ot Danum pada umumnya merupakan daerah eksklusif dari orang Ot Danum, maka sebaliknhya desa-desa orang Ngaju makin ke hilir makin kemasukan orang-orang dari luar yang bukan Dayak. Suku Bangsa Ma`anyan tersebar di berbagai bagian dari Kabupaten Barito Selatan yaitu, di tepi timur Sungai Barito, terutama di antara anak-anak sungainya seperti Patai, Telang, Karau, dan Dayu. Di timur, daerah suku bangsa Ma`anyan bersentuhan dengan wilayah orang Banjar dari daerah hulu sungai dari Provinsi Kalimantan Selatan, dibarat berbatasan dengan suku-suku bangsa Bakumpai, dan orang Banjar dari daerah Hulu Sungai dari Sungai Barito, di selatan dibatasi tanah paya-paya di selatan Sungai Patai, dan di utara sampai ke Sungai Ayu di sebelah utara Buntuk. Di daerah aliran sungai-sungai Karau dan Ayu, orang Ma`anyan banyak bercampur dengan suku bangsa daya lain, yaitu suku bangsa Lawangan, yang memang sudah mendiami wilayah itu sebelum orang Ma`anyan memasukinya. Mengenai hinungan ketiga suku nagsan tersebut, ada sarjana seperti Mallinckrodt yang menganggapnya berasal dari satu strams yaitu stamras der Ot Danum. Mengani hal ini perlu dilakukan penelitian lebih dalam. Menurut pengakuan orang Ngaju, memang orang Ngaju berasal dari orang-orang Ot Danum juga, tetapi kemuadian karena mereka berdiam di daerah hilir, lambat laun

mereka telah mengalami perubahan kebudayaan, sebagai akibat dari akulturasi dengan kebudayaan orang-orang pendatang. Kebenaran pendapat ini sudah tentu perlu diuji lagi, tatapi jika kita teliti sebentar memang tak dapat kita sangkal bahwa orang-orang Dayak di seluruh Kalimantan, terutama yang hidup di pedalaman sesungguhnya memiliki corak kebudayaan. kesatuan mereka ini adalah berdasarkan persamaan dalam beberapa unsur kebudayaan, yaitu misalnya mata pencaharian hidup yang berdasarkan perladangan. Mengenai jumlah penduduk dari ketiga suku-suku Dayak yang dibicarakan dalam makalah ini, kami hanya memperoleh bahan dari Ot Danum dab Ma`anyan saja, sedangkan dari orang Ngaju tidak. Jumalah penduduk Ot Danum kurang lebih adalah 5.900 jiwa dan jumlah penduduk Ma`anyan diantara 3.000 sampai 4.000 jiwa. Orang-orang Dayak di Kalimantan Tengah mendiami desa-desa yang terletak jauh satu dari yang lain, di tepi-tepi atau eekat sunagi-sungai besar dan kecil dari provinsi itu. Komunikasi antara satu desa dengan desa lain pada umumnya melalui air, dan jarang sekali melalui darat. Hal ini disebabkan karena daerah dimana desa-desa itu didirikan masih merupakan daerah hutan tropis dan semak belukar bawah yang padat. Untuk mengunjungi suatu desa, orang harus merapatkan perahunya pada sebuah tempat berlabuh yang dibuat dari balok-balok. Satu desa pada umumnya mempunyai sekitart 100-500 rumah. Rumah-rumah desa pada umumnya didirikan di tepi jalan yang dibuat sejajar ataupun tegak lurus dengan sungai. Rumah penduduk pada umumnya dibuat dari sirap (lempengan kayu) atau kulit kayu. Rumah-rumah itu pada umumnya didirikan diatas tonggak-tonggak setinggi kira-kira dua setengah meter, sehingga untuk memasukinya, kita harus menaiki tangga yang dibuat dari setengah balok yang diberi lekuk-lekuk tempat kaki berpijak. Dahulu rumahrumah gaya lama di Kalimantan Tengah merupakan rumah panjang yang oleh orang-orang Ngaju dan Ot Danum di sebut betang. Betang tersebut dapat mempunyai ruangan-ruangan kecil sampai 50 banyaknya. Rumah semacam itu

kini sudah jarang di Kalimantan Tengah, tetapi masih banyak terdapat di daerah utara, yaitu di daerah-daerah suku bangsa Ot Siang dan Murung. Di daerah sungai Kahayan hanya di daerah suku bangsa Ot Danum saja yang masih terdapat rumah betang. Bentuk rumah yang paling umum kini terdapat di Kalimantan Tengah adalah rumah-rumah yang lebih kecil yang didiami oleh satu samapai lima keluarga batih yang berkerabat, yaitu yang terdiri dari satu keluarga batih senior ditambah dengan keluarga batih anak-anaknya, baik laki-laki maupuan yang perempuan, yang dapat kita sebut keluarga luas yang utrolokal. Pada orang Ma`anyan, rumah demikian disebut lewu. 2.2 Asal Usul dan Sejarah Suku Bangsa Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak. Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,seperti melayu

menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan. Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit

(Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri. Namun ada juga suku Dayak yang tidak mengetahui lagi asal usul nama sukunya. Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya. Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis Dayak, yang terbesar suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dsb. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak,

demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu. Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak,Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri

Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat. masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), KamaBaba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh(Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman. Adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu)

memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.

10

Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut menyatakan tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan ataupun perluasan kekuasaan. Masyarakat Dayak yang pindah ke agama Islam ataupun yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan Senganan, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani. Bangsa Dayak di Kalimantan Barat terbagi berdasarkan sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat menjadi 4 kelompok besar, 1 kelompok kecil yakni: 1. Kendayan / Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, dan sekitarnya.mempunyai gerak tari, enerjik, stakato, keras. 2. Ribunic / Jangkang Grop/ Bidoih / Bidayuh : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn, Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan membuka, tidak kasar dan halus. 3. Iban / Ibanic : Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa,

11

Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau / malenggang dan sekitarnya

(perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah dan Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus. 4. Banuaka" Grop : Taman, Tamambaloh dan sub nya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirip kelompok ibanic, tetapi sedikit lebih halus. 5. Kayaanik, punan, bukat dll. Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, karena menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak Mali / ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah kab. ketapang. kemudian Dayak Kabupaten Ketapang,Daerah simpakng seperti Dayak

Samanakng dan Dayak Kualan, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dsb. Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas dan Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: dayak Keninjal(mayoritas tanah pinoh;antara lain desa ribang rabing, ribang semalan, madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll)dayak Kebahan (antara lain desa:poring,nusa kenyikap, Kayu Bunga, dll yang memiliki tari alu dan tari belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara lain desa:Nanga taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong, sebagian desa balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai

mangat,nyanggai,nanga raya dll),dayak limai (antara lain desa tanjung beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh (antara lain sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak sebruang (antara
12

lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk kelompok kalteng), Leboyan. 2.3 Bahasa Bahasa yang digunakan termasuk kelompok Ibanic group seperti halnya kelompok Ibanic Lainnya:Kantuk, bugao, desa, seberuang,Ketungau, sebaruk dan kelompok Ibanic lainnya. Perbedaannya adalah pengucapan / logat dalam kalimat dengan suku serumpun yakni pengucapan kalimat yang menggunakan akhiran kata i dan e, i dan y, misalnya: Kediri dan Kedire, rari dan rare, kemudian inai dan inay, pulai dan pulay dan penyebutan kalimat yang menggunakan huruf r ( R berkarat ), serta logat pengucapannya, walauun mengandung arti yang sama. 2.4 Sistem Teknologi Orang dayak di Kalimantan Tengah, seperti orang ngaju, ot-Danum, dan maanyan, sudah lama berhubungan dengan orang luar seperti orang Melayu, Jawa, Bugis, Cina, Arab dan Eropa. Walaupun demikian sebelumnya berkembang sistem pendidikan sekolah. Penduduk kalimantan Tengah maih terkurung dalam alam lingkungannya sendiri. Beberapapemuda Dayak Kalimantan Tengah yang telah mendapatkan pendidikan modern, dengan penuh idealisme berusaha untuk memajukan suku bangsanya., antara lain dengan mendirikan organisasi sarikat dayak dalam tahun 1919 dan koperasi Dayak dalam tahun 1928 kedua organisasi tadi lebur jadi Pakat Dayak yang bergerak dalam lapangan sosial, ekonomi dan politik. Setelah kemerdekaan orang Dayak Ngaju berhasratagar kalimantan Tengah menjadi sebuah propinsi sendiri, lepas dari kalimantan selatan. Hasrat itu diperjuangkan oleh organisasi Penyalur Hasrat Rakyat Kalimantan Tengah dan perjuangan mereka berhasil dengan terbentuknya propinsi kalimantan tengah pada tanggal 23 Mei 1957

13

Sejak saat itu orang kalimantan tengah mulai membangun daerahnya yang merupakan hutan rimba.kekayaan kalimantan tidak terutama terletak dalam kekayaan isi buminya, yang mengandung minyak bumi, emas dan intan sedangkan hutan rimbanya juga mengandung kekayaan kekayaan yang dapat diexploitasi. Sayang bahwa usaha usaha pembamgunan tidak selalu lancar. Hal ini rupanya tidak terletak kepada sifatkurang kemampuan dan sikap mental dari orang Dayak Kalimantan Tengah, tetapi merupakan suatu akibat kemacetan menyeluruh yang dialami oleh negara negara kita pada tahun tahun terakhir ini. 2.5 Sistem Mata Pencaharian a. Berladang Mata pencaharian suku dayak di Kalimantan adalah berladang. Berladang adalah pekerjaan yang memakan banyak sekali tenaga. Untuk mengerjakannya, penghuni dari suatu rumah tangga saja tidak mencukupi; mereka harus memperoleh bantuan dari tetangga mereka. Oleh karena itu maka di desa Telang di daerah Maanyan misalnya, telah dikembangkan suatu sistem kerjasama dengan jalan membentuk kelompok gotong royong, yang biasanya berdasarkan hubungan ketetanggaan atau persahabatan. Kelompok ini terdiri dari 12-15 orang, yang secara bergiliran membuka hutan bagi ladang masing-masing anggota. Siklus pengerjaan ladang di Kalimantan adalah sebagai berikut: Pada bulan-bulan Mei, Juni atau Juli orang menebang pohon-pohon di hutan. Setelah penebangan, batang-batang kayu, cabang-cabang, ranting-ranting, serta daundaunnya dibiarkan mengering selama dua bulan, setelah mana paling lambat pada bulan Agustus atau September seluruhnya tadi sudah harus dibakar, karena setelah itu musim hujan sudah tiba. Abu bekas pembakaran tadi dibiarkan sebagai pupuk. Setelah itu tibalah masanya untuk mulai menanam, yaitu kira-kira bulan Oktober. Pekerjaan ini di daerah Maanyan dilakukan secara bergotong-royong. Para laki-laki berbaris dimuka sambil menusuk-nusuk tanah dengan tongkat tugalnya, sedangkan para wanitanya berbaris mengikuti di belakang, sambil memasukkan beberapa butir padi ke dalam lubang-lubang yang dibuat oleh kaum

14

laki-laki tadi. Pekerjaan selanjutnya yaitu merawat serta menjaga pertumbuhan bibit tersebut menjadi tanggungan rumah tangga masing-masing. Untuk keperluan ini sebagian atau seluruh warga dari suatu rumah tangga berdiam di dangau mereka sampai selesai panen nanti. Ladang tadi perlu dilindungi dari binatangbinatang liar seperti babi hutan dan rusa, dan juga kera-kera yang gemar mencabut tanaman dalam ladang. Di sekitar ladang-ladang orang Dayak Kalimantan Tengah pada umumnya memasang perangkap-perangkap yang terdiri dari setangkai bambu yang ujungnya diruncingi bagaikan tombak, dan yang dapat lepas secara otomatis, apabila tali yang menghubunginya dilanggar binatang yang hendak memasuki ladang. Alat ini oleh orang Ngaju disebut dondang, dan oleh orang Maanyan disebut pusi. Alat ini sering diberi racun sehingga merupakan alat yang amat berbahaya. Di antara bulan-bulan Februari dan Maret, tibalah musim panen. Hal ini tergantung pada jenis padi yang ditanam. Di Kalimantan Tengah paling sedikit ada tiga jenis padi yang ditanam orang, yaitu padi enam bulanan yang terbanyak ditanam, padi empat bulanan, dan padi ketan yang juga empat bulanan. Padi ketan terutama ditanam untuk keperluan upacara-upacara, antara lain untuk membuat arak yang oleh orang Ngaju/Ot-Danum disebut anding. Di samping padi, orang Kalimantan Tengah juga menanam tanamantanaman lain di ladang-ladang mereka, seperti ubi kayu, ubi rambut, keladi, terong, nanas, pisang, tebu, cabe, berbagai macam labu-labuan, dan adakalanya juga tembakau. Dari semua itu yang paling banyak ditanam adalah ubi kayu yang bukan saja dimakan ubinya, tetapi juga sangat digemari daun-daunnya sebagi lauk-pauk. Pohon buah-buahan yang banyak ditanam di ladang adalah durian, cempedak, dan suatu pohon yang amat penting adalah pinang. Baik laki-laki maupun wanita gemar sekali makan sirih dan pinang. b. Berburu, Mencari Hasil Hutan, dan Mencari Ikan Kemudian mata pencaharian suku dayak kalimantan tengah yaitu berburu, mencari hasil hutan, dan mencari ikan. Sumber protein orang Dayak Kalimantan Tengah pada umunya dipenuhi dengan makanan yang terdiri dari ikan-ikan

15

sungai. Daging babi, kerbau dan ayam walaupun sangat digemari, bukanlah merupakan makanan sehari-hari, tetapi makanan pada waktu ada upacara-upacara adat atau pada waktu desa kebetulan dikunjungi tamu-tamu penting. Di hutan sekitar tempat kediaman ada juga binatang liar seperti babi hutan dan rusa, tetapi karena senjata api kurang dimiliki mereka, maka daging-daging binatang tersebut hanya menjadi makanan yang bersifat kadangkala saja. Alat tradisionil orang Ngaju untuk berburu selain dondang tersebut di atas, masih ada beberapa lagi yang penting, umpamanya lonjo(tombak), ambang (parang), jarat(jerat), sipet(berisikan ranjau kayu atau bambu runcing) yang disebut tambuwung. Masa sesudah panen sampai dimulainya lagi pembukaan ladang biasanya dipergunakan untuk menambah nafkah dengan mata pencaharian sambilan, yaitu mengumpulkan rotan, karet, damar di hutan, atau ke gosong-gosong sungai untuk mendulang bijih-bijih emas, atau menambak sungai untuk menangkap ikan. Hasil hutan dan sungai itu sebagian dikonsumsi sendiri, dan lebihnya dijual kepada tengkulak-tengkulak yang berasal dari daerah pesisir dan yang dalam waktuwaktu tertentu mengunjungi desa-desa dipehuluan. Kecuali itu sudah tentu ada juga orang Dayak yang membawanya sendiri ke kota-kota untuk menjualnya sendiri di pasar. Di daerah hulu seperti tempat kediaman orang Ot-Danum, tidak dikenal warung-warung, apalagi pasar. Orang Dayak terkenal sekali dengan kesenian menganyam kulit rotan, yang berupa tikar, keranjang-keranjang, dan topi-topi. Pekerjaan menganyam adalah pekerjaan kaum wanita. Produksi mereka yang berupa amak(tikar) diperdagangkan di pasar-pasar Kuala Kapuas, Banjarmasin, Sampit dan lain-lain. Dulu orang Kalimantan Tengah rupa-rupanya juga sudah dapat menenun kain dari kapas atau kulit kayu, tetapi pada masa ini kesenian itu sudah dilupakan orang. Demikian juga karena sudah banyak kain import masuk ke pedalaman, kain dari kulit kayu sudah tidak dibuat lagi. Dulu memang pakaian asli laki-laki Dayak adalah ewah(cawat) yang terbuat dari kulit kayu, sedangkan kaum wanita memakai sarung dan baju dari kulit kayu. Pada masa ini orang Dayak di Kalimantan Tengah sudah berpakaian lengkap seperti orang Indonesia lainnya di

16

daerah pantai yaitu bagi laki-laki hem dan celana, dan bagi kaum wanita sarung dan kebaya atau bagi yang muda-muda rok potongan Eropah.

2.6 Organisasi Sosial a. Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan orang Dayak Kalimantan Tengah, baik Ngaju, OtDanum maupun Maanyan, berdasarkan prinsip keturunan ambilineal, yang menghitungkan hubungan kekerabatan untuk sebagian orang dalam masyarakat melalui orang laki-laki dan untu sebagian orang yang lain dalam masyarakat itu juga, melalui orang-orang wanita. Pada masa dahulu, pada waktu di daerah Kalimantan Tengah masih ada rumah-rumah panjang, maka kelompok kekerabatan yang terpenting dalam masyarakat mereka adalah keluarga-ambilineal kecil. Bentuk keluarga ini timbul kalau ada keluarga-luas yang utrolokal. Untuk memperkuat rasa identitet itu, maka dikembangkan orientasi terhadap nenek moyang yang hidup dua sampai tiga angkatan yang lampau. Pada masa sekarang, kelompok kekerabatan yang terpenting adalah keluarga-luas utrolokal yang di Kalimantan Tengah biasanya menjadi isi dari suatu rumah tangga. Rumah tangga ini juga berlaku sebagai kesatuan fisik misalnya dalam sistem gotong royong, dan sebagai kesatuan rohaniah dalam upacara-upacara agama Kaharingan. Setiap keluarga-luas mempunyai ruh pelindung sendiri, dan beberapa di antaranya memuja ruh-ruh nenek moyangnya sendiri. Kecuali itu, setiap rumah tangga Kaharingan mempunyai pantangan terhadap makanan khusus yang harus ditaati oleh warga-warganya. Kewargaan dari suatu rumah tangga tidak statis, karena kewargaan anggota-anggotanya semata-mata tergantung dari tempat tinggal yang ditentukan pada waktu ia mau menikah, padahl ketentuan itu dapat diubah menurut keadaan setelah menikah.

17

Jika seorang bersama keluarganya kemudian pindaj keluar dari rumah itu, pertalian fisik dan rohani dengan rumah-tangga semula pun turut berubah. Seperti halnya dengan suku-suku bangsa lain di dunia, saat peralihan yang penting dalam lingkaran hidup orang Dayak Kalimantan Tengah adalah perkawinan. Pada orang Dayak ada perkawinan yang dianggap ideal dan amat diingini oleh umum, yaitu perkawinan yang antara dua orang bersaudara sepupu yang kakek-kakeknya adalah saudara sekandung, yaitu apa yang disebut hajenan dalam bahasa Ngaju (saudara sepupu derajat kedua). Selain itu juga dianggap baik perkawinan di antara dua orang saudara sepupu yang ibu-ibunya bersaudara sekandung, dan di antara cross-cousin. Perkawinan yang dianggap sumbang (sala horoi dalam bahasa Ngaju), adalah perkawinan di antara saudara sepupu yang ayah-ayahnya adalah bersaudara sekandung (patri-parallel cousin), dan terutama sekali perkawinan di antara orang-orang dari generasi yang berbeda, misalnya antara seorang anak dengan orang tuanya, atau antara seorang gadis dengan mamaknya. Persetubuhan di antara seorang mamak dengan kemenakannya dianggap sedemikian buruknya, sehingga untuk itu perlu diadakan upacara sebagai penghapus dosa. Dalam hal ini kedua orang yang bersalah tadi diharuskan makan dari dulang tempat makan babi sambil merangkak di hadapan warga desa yang sengaja diundang untuk menyaksikan upacara tersebut. Pantang-pantang kawin tersebut, jika dilanggar berarti tulah besar yang menurut kepercayaan orang Ngaju dan Ot-Danum dapat mendatangkan bencana bukan saja pada orang-orang yang bersangkutan, tetapi juga pada seluruh warga desa, sehingga perlu dinetralisasi dengan upacara penawar seperti yang diceritarakan di atas. Orangorang Dayak Kalimantan Tengah tidak melarang gadis-gadis mereka menikah dengan orang-orang dari suku bangsa lain, asalkan saja laki-laki asing tersebut bersedia untuk tunduk kepada adat mereka, dan bersedia terus berdiam di desa mereka. Pada suku-suku bangsa Ngaju dan Ot-Danum, seorang anak yang telah mencapai umur 20 tahun bagi seorang laki-laki dan 18 bagi seorang wanita, biasanya dicarikan jodoh oleh orang tuanya. Pada zaman dahulu, orang Dayak

18

berkuasa penuh atas pemilihan jodoh anak-anak mereka, tetapi kini keadaan sudah berubah, dan para pemuda-pemudi yang sudah bersekolah boleh bebas mencari teman hidupnya masing-masing, asalkan calon mereka mendapat persetujuan dari orang tua mereka. Maka biasanya orang tua si pemuda adalah pihak pelamar, dan untuk hal itu mereka akan pergi ke rumah orang tua si gadis untuk menyerahkan hakumbang auch(bahasa Ngaju), yaitu semacam uang lamaran sebesar Rp 10-Rp 500 (pada tahun 1960), sambil menerangkan maksud kedatangannya. Sesudah itu orang tua si gadis akan mengumpulkan semua kaum kerabat mereka yang dekat, dan membicarakan masalahnya dengan mereka. Selama beberapa hari sebelum keputusan dapat diambil, para kerabat dekat tersebut dengan saksama akan melakukan penyelidikan tentang tingkah laku si calon menantu untuk mengetahui: apakah ia seorang yang berwatak baik, apakah ia bukan keturunan budak, dan apakah ia bukan keturunan hantuen. Hakumbang auchsegera dikembalikan jika ternyata bahwa si pemuda tidak memenuhi syarat, dan itu berati bahwa pinangan ditolak. Kalau lamaran diterima, maka diadakan upacara peresmian pertunangan dan perundingan mengenai langkah-langkah selanjutnya. Biaya pesta ini seluruhnya ditanggung oleh pihak keluarga si gadis, dan binatang yang khusus disembelih pada kesempatan ini adalah babi. Menyembelih ayam untuk pesta ini dianggap hina. Sebelum dimulai dengan perundingan yang dilakukan pada tengah hari, pihak laki-laki menyerahkan hadiah-hadiah yang berupa sehelai bahalai (sarung panjang untuk wanita), bahan kain untuk kebaya, minyak wangi, cincin emas dan sebagainya, tergantung dari kemampuan yang memberi. Setelah ini, segera dimulailah perundingan antara kedua belah pihak untuk menentukan antara lain hari pernikahan, besarnya biaya yang harus disumbangkan oleh pihak lakilaki untuk membiayai pesta perkawinan, besarnya emas kawin (Ngaju palaku), dan sebagainya. Jangka waktu di antara pesta pertunangan dengan pesta perkawinan adalah di antara satu bulan sampai tiga tahun, tergantung dari hasil keputusan perundingan. Sebelum melakukan upacara perkawinan, seorang gadis jika

19

kebetulan masih mempunyai kakak perempuan yang sehingga waktu itu belum juga kawin, harus juga menghadiahkan kakaknya tersebut sebuah gong atau keramik Cina, untuk menolak bencana yang akan terjadi di dalam perkawinannya, karena sudah berani melangkahi hak-hak kakaknya. Hadiah ini oleh orang Ngaju disebut panangkalau. Adat pelamaran yang diuraikan di atas berlaku pada masyarakat Ngaju, tetapi dengan beberapa perbedaan kecil juga pada orang OtDanum. Adat melamar terurai di atas juga terdapat pada suku bangsa Dayak Maanyan yang menurut Hudson disebut pipakatan yaitu perkawinan yang diurus oleh orang tua, karena di-mapakat-i, (dimufakati) oleh orang tuanya, tetapi selain bentuk perkawinan tersebut di atas, pada orang Maanyan ada satu bentuk perkawinan lagi yang pada dewasa ini sudah mulai umum, yaitu ijari(berasal dari kata jadi atau lari), atau kawin lari. Walaupun namanya kawin lari tetapi bukan berarti bahwa dengan larinya sepasang merpati itu, perkawinan sudah dapat terjadi. Larinya itu hanya baru merupakan tindakan pertama menuju ke upacara perkawinan adat. Demikianlah jika ada dua orang yang sepakat untuk hidup bersama, maka mereka lari menuju ke rumah kepada adat yang disebut panghulu, atau ke rumah seorang kawan baik yang mempunyai kedudukan baik di dalam masyarakat. Kepada tokoh-tokoh itu mereka sampaikan keputusan hati mereka, dan tokoh itulah yang kemudian menghubungi orang-orang tua kedua belah pihak tersebut. Jika orang tua tidak keberatan, maka kontrak perkawinan segara dibuat, dan upacara perkawinan darurat daoat dilangsungkan dengan cepat. Pesta perkawinan yang dilangsungkan ini disebut kawin setengah. Setelah selesai berlangsungnya pesta perkawinan ini, dua sejoli tersebut sudah boleh hidup bersama sebagai suami isteri untuk waktu tiga bulan. Dalam waktu itu mereka diwajibkan untuk berusaha mengumpulkan biaya guna membeayai pesta perkawinan menurut adat. Dalam usahanya ini mereka seringkali mendapat bantuan dari kerabatnya yang mampu, umpamanya mereka diperbolehkan untuk menyadap karet diladang karetnya. Perkawinan semacam ini tidak selalu dapat berlangsung dengan lancar, karena perundingan gagal bukan saja karena soal

20

besarnya mas kawin, tetapi juga persoalan tempat kediaman setelah nikah dari keduanya itu. Ijari juga dijalankan oleh orang-orang yang perjodohannya tidak disetujui oleh orang-orang tuanya. Perkawinan orang Dayak Kalimantan Tengah pada umunya adalah monogami, hal ini bukan saja berlaku pada mereka yang beragama Nasrani, tetapi juga pada mereka yang beragama Kaharingan. Adat kaharingan sebenarnya tidak melarang seorang laki-laki mengambil lebih dari seorang isteri, tetapi dalam prakteknya hal itu jarang sekali dapat dilakukan, karena adat wajib membayar palakulagi yang bukan sedikit jumlanya itu. Di Kalimantan Tengah angka perceraian adalah cukup tinggi. Menurut Hudson, ditiga desa di daerah orang Maanyan, 25% dari perkawinan-perkawinan diakhiri dengan perceraian. Perceraian pada orang Ngaju, Ot-Danum, maupun Maanyan biasanya terjadi karena tidak setianya salah satu pihak. Perceraian sebagai akibat seorang isteri mandul tak pernah terjadi, karena ada adat mengadopsi anak yang dilakukan secara luas. Pada perceraian, anak-anak yang masih kecil biasanya ikut dengan ibunya, sedangkan anak-anak yang sudah agak besar menjadi tanggungan kaum kerabat dari kedua belah pihak menurut keadaan. b. Sistem Kemasyarakatan Seperti telah dikatakan di atas, Propinsi Kalimantan Tengah terdiri dari satu kotamadya dan lima kabupaten. Kotamadya tersebut adalah Palangka Raya yang didirikan di atas wilayah desa Pahandut di Kabupaten Kapuas. Palangka Raya adalah ibu kota Propinsi Kalimantan Tengah. Adapun kelima kabupaten Kalimantan tersebut adalah: 1) Kotawaringin Barat (ibukota: Pangkalan Bun), merupakan daerah aliran sungai-sungai Kotawaringin, Lamandau, an Arut. 2) Kotawaringin Timur (Ibukota: Sampit), merupakan daerah aliran Sungaisungai Pembuan (Seruyan), dan Sampit (Mentaya). 3) Kapuas (Ibukota: Kuala Kapuas), merupakan daerah aliran Sungai-sungai Katingan (Mendawai), Kahayan dan Kapuas.
21

4) Barito Selatan (Ibukota: Muntok), merupakan daerah aliran Sungai-sungai Patai, Telang, Dayu, Paku karau, dan Ayuh. 5) Barito Utara (Ibukota: Muara Teweh), merupakan daerah aliran Sungaisungai Montalat, Teweh, Lahai, Busang, dan Murung. Propinsi Kalimantan Tengah dikepalai oleh seorang Gubernur dan Kebupaten dikepalai oleh seorang Bupati yang diangkat oleh Gubernur. Berhubung kesukaran komunikasi di Kalimantan Tengah, maka pengaruh seorang Bupati menjadi besar sekali. Dulu Kabupaten dibagi menjadi beberapa kewedanaan, dan masing-masing kewedanaan dibagi lagi menjadi kecamatankecamatan, tetapi sejak tahun 1964 kawedanaan dihapuskan. Kecamatan selanjutnya dibagi lagi ke dalam desa-desa yang dikepalai oleh seorang pembekal. Di dalam satu desa di samping ada seorang pembekal yang merupakan kepala desa urusan adiministratif pemerintahan desa, ada seorang kepala lagi yang khusus mengurus adat setempat yang disebut panghulu. Para panghulu tersebut berada di bawah seorang kepala adat di tingkat kecamatan yang disebut demang. Panghulu dari suatu desa dalam hal mengurus adat desanya didampingi oleh satu dewan orang-orang tua yang di daerah Maanyan disebut mantir. Seperti telah diterangkan di muka penduduk Kalimantan Tengah, selain mempunyai desa-desa induk, juga mempunyai desa-desa ladang semi-permanen. Jika mengingat mata pencaharian hidup orang Dayak Kalimantan Tengah adalah berdasarkan perladangan yang harus berpindah-pindah, maka rupa-rupanya desa asli dari mereka adalah justru desa ladang yang semi-permanen dan bukan desa induk yang permanen. Menurut Hudson, desa-desa induk adalah rupa-rupanya bentuk kesatuan setempat dibentuk oleh Pemerintah Kolonial sejak kira-kira tahun 1856. Pada dewasa ini, walaupun sudah ada desa-desa induk yang permanen, tetapi karena mata pencaharian hidup orang Dayak Kalimantan Tengah masih tetap berladang, maka sebagian besar dari orang desa, terutama yang masih kuat bekerja, hidup di desa-desa ladang mereka untuk lebih dari enam bulan tiap-tiap tahun.

22

Pemerintahan desa. Pemerintahan desa secara formil berada di tangan pembekal dan penghulu. Pembekal bertindak sebagai pemimpin administratif, dan penghulu sebagai kepala adat dalam desa. Syarat untuk menjadi pembekaladalah kemampuan menulis dan membaca huruf latin, mempunyai rumah dan mempunyai pengaruh di desanya. Adapun syarat bagi seorang panghulu adalah keahlian dalam soal-sola adat. Demikian seorang ahli adat, panghulu harus bertindak dalam hal memutuskan perkara-perkara hukum adat dan menjadi wakil desanya pada upacara-upacara adat yang diadakan di desa tetangga. Kedudukan pembekal dan panghulu sangat terpandang di desa. Mereka memperoleh jabatan mereka melalui pemilihan oleh warga desa. Dahulu kedua jabatan dirangkap oleh seorang kepala desa yang disebut patih, tetapi kemudian karena pekerjaan administratif makin bertambah dengan kemajuannya zaman, maka terjadi pemisahan tersebut. Hukum Adat. Hukum adat orang-orang Dayak di seluruh Kalimantan, termasuk juga dari Kalimantan yang kini menjadi wilayah Malaysia dan Brunai, telah pernah diseragamkan dalam suatu musyawarah besar yang diadakan di desa Huron Anoi (Tumbang Anoi) Kahayan Hulu, Kalimantan Tengah. Musyawarah ini berlangsung di antara 22 Mei sampai dengan 24 Juli 1894. Musyawarah ini yang oleh orang Dayak Kalimantan Tengah dikenal sebagai Perdamaian Tumbang Anoi, dihadiri oleh kepala-kepala adat dan demang-demang dri antara lain Kalimantan Selatan, Barat, Timur, dan juga dari Utara. Di dalam musyawarah tersebut telah diseragamkan garis-garis besar hukum adat, agar dapat dijadikan pedoman bagi seluruh orang Dayak seluruh Kalimantan, agar tidak terjadi lagi kesimpang-siuran yang dapat menimbulkan pertentangan di antara sesama orang Dayak. Sejak itu hukum adat yang berlaku diseluruh Kalimantan adalah berdasarkan keputusan musyawarah tersebut. Hukum adat Kalimantan menurut Hadson adalah hukum setempat yang tidak tertulis. Sanksi dari hukum adat kebanyakan berupa pemberian ganti kerugian (Maanyan danda). Maksud pembayaran ganti kerugian adalah mengembalikan keseimbangan ketenangan masyarakat yang dikacaukan oleh

23

kejahatan seperti misalnya pembunuhan., melarikan isteri orang, dan sebagainya. Hukum adat selain menentukan hukuman terhadap pelanggaran adat yang berupa denda secara materiel, juga mengharuskn si pelanggar membayar denda secar upacara, yaitu dengan maksud memulihkan keseimbangan alam dengan jalan mengambil hati para dewa agar tidak marah lagi. Demikian maka setiap dandadapat terdiri dari dua bagian, yaitu pembayaran berbentu benda-benda materiel (uang, benda-benda antik) dan berbentuk sajian binatang kepada para dewa. Suatu upacara yang penting dalam rangka ini adalah upacara memercikkan darah binatang sajian ke sekililing desa, dengan maksud sebagai penawar. Upacara ini pada orang Maanyan disebut pilah. Upacara pilah dilakukan misalnya jika di desa telah terjadi pelanggaran pantangan kawin, sumbang, zina. Untuk penawarnya harus dikurbankan seekor babi dan darahnya dipercikpercikkan pada pohon-pohon buah-buahan yang tumbuh di sekeliling desa dengan secabang daun-daunan, dengan maksud agar pohon-pohon tersebut dapat berubah lagi dengan baik. Upacara tersebut juga terdapat di antara orang Ngaju dan OtDanum, yaitu terutama jika terjadi persetubuhan di antara seorang mamak dengan kemenakannya. Keputusan hukum adat tidak pernah dijatukan oleh seorang, melainkan oleh suatu sidang yang terdiri dari dewan orang tua di bawah penghulu sebagai ketua. Dalam mengambil keputusan, sidang hukum adat ini harus selalu memperhatikan dua dasar jiwa hukum adat, yaitu menanyakan apakah perkara yang sama ini pernah terjadi sebelumnya, dan kedua, berusaha agar hukuman yang akan dijatuhkan itu berdasarkan keadilan. Karena berpedoman kepada dua prinsip dasar tersebut, maka hukum adat orang Dayak adalah luwes dan mudah berubah. Jika sidang hukum adat desa tidak mengambil keputusan mengenai suatu perkara yang rumit, maka perkara tersebut diajukan kepada demang, kepala adat tingkat kecamatan. Keputusan sidang hukum adat harus ditaati, jika tidak maka terdakwa akan diisolasikan dari masyarakat desanya secara fisik dan rohaniah. Nasib orang yang sedemikian itu buruk sekali, karena sejak itu ia tidak lagi berada dalam perlindungan adat. Ia akan dijauhi dan diboikot oleh tetangga-tetangganya.

24

Seorang dari desa Siong di daerah Maanyan misalnya, telah diadili karena memperkosa isteri orang lain, tetapi ia tidak mau menerima keputusan sidang hukum adat. Ia diisolasikan, maka pada waktu anaknya meninggal dunia, tidak ada orang desa yang mau membantu mangurus jenazahnya, bahkan mereka melarangnya memakamkan jenzanh itu di tempat pemakaman umum. Perlakuan ini akhirnya memaksa ia untuk tunduk. Pada dewasa ini di Kalimantan Tengah selain berlaku hukum adat, berlaku juga hukum pidana R.I. walaupun di antara kedua hukum tersebut sering terjadi pertentangan, tetapi kebanyakan adalah saling mengisi. Umpamanya di salah satu desa di Paju Sepuluh (daerah Maanyan), telah ada kejadian bahwa sebuah perangkap untuk rusa di hutan menyebabkan kecelakaan dan membunuh seorang laki-laki yang merupakan anak tunggal dari suami isteri yang sudah lanjut umurnya. Karena kejadian itu menurut hukum pidana tidak disebabkan oleh kejahatan, maka pemiliki perangkap tadi diserahkan kepada kebijaksanaan sidang hukum adat. Sidang hukum adat kemudian telah men-danda-nya dan mengatur agar ia dapat di adopsi oleh orang tua si korban, sehingga dengan demikian ia dapat memberi nafkah kepada orang tua tadi itu. Sampai pada tahun 1968 di Kalimantan Tengah sudah terbentuk tiga tempat peradilan Agama/Masyarakat, yaitu: 1) Peradilan Agama/Masyarakat Sampit, yang mewilayahi: daerah kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Kotawaringin Barat. Pusatnya adalah di Pangkalan Bun. 2) Peradilan Agama/Masyarakat Kapuas, yang mewilayahi: daerah Kabupaten Kapuas dan Kotapraja Palangka Raya, Pusatnya adalah di Kuala Kapuas. 3) Peradilan Agama/Masyarakat Muara Teweh, yang mewilayahi: daerah Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan. Pusatnya adalah Muara Teweh. 2.7 Sistem Pengetahuan Suku Dayak

25

Suku Dayak mempunyai kode yang umum dimengerti oleh suku bangsa Dayak, kode ini dikenal dengan sebutan Totok Bakakak. Macam macam Totok Bakakak: Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju "Asang". Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang. Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya. Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya. Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar. Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan. Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah tua meninggal dunia. Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan tajau. Daun sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat. Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu.

26

2.8 Kesenian Bentuk kesenian suku Dayak tidak bisa dilepaskan dari sejarah

sosiologisnya. Berawal dari masyarakat primitif yang menganut animismedinamisme, kebudayaan suku ini berakulturasi dengan kebudayaan kaum pendatang seperti Jawa dan Tionghoa. Agama yang dianggap lahir dari budaya setempat adalah Kaharingan. Pengaruh kuat agama Hindu dalam proses akulturasi ini menyebabkan Kaharingan dikategorikan ke dalam cabang agama tersebut. Dalam perkembangan berikutnya, ada akulturasi budaya Islam pengaruh Kesultanan Banjar di pusat kebudayaan suku Dayak. Meskipun begitu, sebagian masyarakat Dayak tergolong teguh memegang kepercayaan dinamismenya. Untuk kelompok ini, sebagian besar memutuskan untuk memisahkan diri dan masuk semakin jauh ke pedalaman.

Macam-macam Kesenian Suku Dayak Kebudayaan suku Dayak yang khas membentuk estetika yang tercermin dalam budaya dan keseniannya, meliputi seni tari, seni musik, seni drama, seni rupa, dan sebagainya. 1. Seni Tari

Banyaknya suku dan subsuku Dayak menimbulkan beragamnya seni tari tradisional. Secara garis besar, berdasarkan vocabuler tari, bisa diklasifikasikan menjadi 4 kelompok. Tarian dengan gerak enerjik, keras dan staccato, adalah ciri kelompok tari Kendayan, yang dimiliki oleh suku Dayak Bukit, Banyuke, Lara, Darit, Belangin,
27

Bakati, dan lain-lain, di sekitar Pontianak, Landak, dan Bengkayang.Tarian dengan gerak tangan membuka, gerakan halus, adalah ciri vocabuler tari Ribunic atau Bidayuh, yang berkembang di kalangan suku Dayak Dayak Ribun, Pandu, Pompakang, Lintang, Pangkodatan, Jangkang, Kembayan, Simpakang, dan lainlain, di sekitar Sanggau Kapuas.Tarian dengan gerak pinggul yang dominan adalah ciri tari kelompok Ibanic yang dimiliki suku Dayak Iban, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, dan sebagainya, di sekitar Sanggau, Malenggang, Sekadau, Sintang, Kapuas, dan Serawak.Sedikit lebih halus adalah ciri kelompok Banuaka, yang dimiliki oleh suku Dayak Taman, Tamambaloh, Kalis, dan sebagainya, di sekitar Kapuas Hulu. Sebagian besar tari Dayak adalah tari ritual upacara sesuai dengan agama Kaharingan. Misalnya, tari Ajat Temuai Datai. Tarian ini populer di kalangan Dayak Mualang dan berfungsi sebagai upacara penyambutan terhadap pahlawan yang pulang mengayau. Di masa lalu, mengayau berarti pergi membunuh musuh, namun sekarang mengalami pergeseran makna. Mengayau berarti melindungi pertanian, mendapatkan tambahan daya jiwa, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Beberapa contoh tari yang lain, misalnya sebagai berikut. 1. Tari Gantar Tarian ini menggambarkan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian di dalamnya menggambarkan benih pada dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya. Tarian ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak. 2. Tari Kancet Papatai/Tari Perang Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Tarian ini sangat lincah, gesit, penuh

28

semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penarinya. Dalam tarian ini, penari mempergunakan pakaian tradisional suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tarian ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe. 3. Tari Kancet Ledo/Tari Gong Jika tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya tarian Kancet Ledo menggambarkan kelemah-lembutan seorang gadis bagaikan sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup angin. Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisional suku Dayak Kenyah dan pada kedua belah tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Tarian ini biasanya ditarikan di atas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong. 4. Tari Kancet Lasan Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tarian Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh tanah/lantai. Tarian ini lebih menekankan pada gerakan burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon. 5. Tari Serumpai Ini merupakan tarian dari suku Dayak Benuaq yang dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian ini diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu). 6. Tarian Belian Bawo

29

Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tarian ini sering disajikan pada acara-acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian dari suku Dayak Benuaq.

7. Tari Kuyang Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon besar dan tinggi agar tidak menggangu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut. 8. Tarian Pecuk Kina Trian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun. 9. Tarian Datun Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah. 10. Tari Ngerangkau Tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu. 11. Tarian BaragaBagantar Awalnya BaragaBagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq. 2. Seni Musik

30

Tidak jauh beda dengan seni tari, seni musik suku Dayak didominasi musik-musik ritual. Musik itu merupakan alat berkomunikasi dan menyampaikan pesan kepada roh-roh. Beberapa jenis alat musik suku Dayak adalah prahi, gimar, tuukng tuat, pampong, genikng, glunikng, jatung tutup, kadire, klentangan, dan lain-lain. Masuknya Islam memberi pengaruh dalam seni musik Dayak, dengan dikenalnya musik tingkilan dan hadrah. Musik Tingkilan menyerupai seni musik gambus dan lagu yang dinyanyikan disebut betingkilan yang berarti bersahut-sahutan. Dibawakan oleh dua orang pria-wanita dengan isi lagu berupa nasihat, pujian, atau sindiran. Berikut adalah beberapa kesenian musik suku Dayak 1. Ngendau Ngendau ialah senda gurau yang dilagukan. Biasanya dilakukan oleh para remaja baik laki-laki ataupun perempuan secara bersaut-sautan. 2. Kalalai-lalai Kalalai-lalai ialah nyanyian yang disertai tari-tarian Suku Dayak Mamadi daerah Kotawaringin. 3. Natum Natum ialah kisah sejarah masa lalu yang dilagukan. 4. Natum Pangpangal Natum Pangpangal ialah ratap tangis kesedihan pada saat terjadi kematian anggota keluarga yang dilagukan. 5. Dodoi Dodoi ialah nyanyian ketika sedang berkayuh diperahu atau dirakit. 6. Dondong Dondong ialah nyanyian pada saat menanam padi dan memotong padi. 7. Marung

31

Marung ialah nyanyian pada saat upacara atau pesta besar dan meriah.

8. Ngandan Ngandan ialah nyanyian yang dinyanyikan oleh para lanjut usia yang ditujukan kepada generasi muda sebagai pujian, sanjungan dan rasa kasih sayang. 9. Mansana Bandar Mansana artinya cerita epik yang dilagukan. Bandar ialah nama seorang tokoh yang sangat dipuja dizamannya. Bandar hidup di zaman lewu uju dan diyakini bahwa tokoh Bandar bukan hanya sekedar mitos. Hingga saat ini orang-orang tertentu yang bernazar kepada tokoh Bandar. Keharuman namanya karena pada kepribadiannya yang sangat simpatik dan menarik, disamping memiliki sifat kepahlawanan dan kesaktian yang tiada duanya. Banyak sansana tercipta untuk memuji dan mengagungkan tokoh Bandar ini, namun dengan versi yang berbeda-beda. 10. Karunya Karunya ialah nyanyian yang diiringi suara musik sebagai pemujaan kepada RanyingHatala.Dapat juga diadakan pada saat upacara

pengangkatan seorang pemimpin mereka atau untuk menyambut kedatangan tamu yang sangat dihormati. 11. Baratabe Baratabe ialah nyanyian untuk menyambut kedatangan pada tamu. 12. Kandan Kandan ialah pantun yang dilagukan dan dilantunkan saut menyaut baik oleh laki-laki atau perempuan dalam suatu pesta perkawinan. Apabila pesta yang diadakan untuk menyambut tamu yang dihormati maka kalimat-kalimat yang dilantunkan lebih bersifat kalimat pujian, sanjungan, doa dan harapan mereka pada tamu yang dihormati tersebut. Tradisi ini

32

biasa ditemukan pada Suku Dayak Siang atau Murung di Kecamatan Siang dan Murung, Kabupaten Barito Hulu. 13. Dedeo atau Ngaloak Dedeo atau Ngaloak sama dengan Kandan hanya istilahnya saja yangberbeda, karena Dedeo atau Ngaloak adalah tradisi Suku Dayak DusunTengah didaerah Barito Tengah, Kalimantan Tengah. 14. Salengot Salengot ialah pantun berirama yang biasa diadakan pada pesta pernikahan, namun dalam upacara kematian Salengot terlarang oleh adat untuk dilaksanakan. Salengot khusus dilakukan oleh laki-laki dalam menceritakan riwayat hingga berlangsungnya pernikahan kedua mempelai tersebut.

Alat musik yang biasa terdapat di dalam kebudayaan Suku Dayak adalah sebagai berikut : 1. Garantung Garantung adalah gong yang terdiri dari 5 atau 7 buah, terbuat dari tembaga. 2. Sarun Sarun ialah alat musik pukul yang terbuat dari besi atau logam. Bunyi yang dihasilkan hanya lima nada. 3. Salung Salung sama dengan Sarun, tetapi Salung terbuat dari bambu. 4. Kangkanung Kangkanung ialah sejenis gong dengan ukuran lebih kecil berjumlah lima biji, terbuat dari tembaga. 5. Gandang Mara Gandang Mara ialah alat musik perkusi sejenis gendang dengan ukuran setengah sampai tiga per empat meter. Bentuki silinder yang tewrbuat dari kayu dan pada ujung permukaan di tutup kulit rusa yang

33

telah di keringkan. Kemudian di ikat rotan agar kencang dan lebih kencang lagi diberi pasak.

3. Seni Drama Drama tradisional ditemukan pada masyarakat Kutai dalam bentuk kesenian Mamanda. Drama ini memainkan lakon kerajaan dan dimainkan dalam upacara adat seperti perkawinan atau khitanan. Bentuk

pementasannya menyerupai ludruk atau ketoprak.

4. Seni Rupa Seni rupa Dayak terlihat pada seni pahat dan patung yang didominasi motif-motif hias setempat yang banyak mengambil ciri alam dan roh dewa-dewa dan digunakan dalam upacara adat. Ada macammacam patung dengan ragam fungsi, di antaranya sebagai berikut. Patung azimat yang dianggap berkhasiat mengobati

penyakit.Patung kelengkapan upacara.Patung blontang, semacam patung totem di masyarakat Indian. Selain itu, seni rupa Dayak terlihat pada seni kriya tradisional seperti kelembit (perisai), ulap doyo (kain adat), anjat (tas anyaman), bening aban (kain gendongan), seraong (topi), dan lain-lain. Kesenian suku Dayak adalah bagian dari kekayaan budaya Nusantara yang layak dibanggakan. 2.9 Sistem Religi Berdasarkan religinya, penduduk propinsi Kalimantan Tengah (suku dayak) dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu Islam, agama pribumi, Kristen, dan Katolik. Menurut laporan Perwakilan Departemen Agama Propinsi Klimabtan Tengah, maka orang islam merupakan golongan terbesar. Jumlah besar dari orang islam itu sudah tentu disebabkan karena di Propinsi Kalimantan Tengah sekarang ini ada banyak orang pendatang. Di daerah hilir sungai-sungai besar banyak orang pribumi atau orang dayak yang juga telah menjadi orang Islam sejak lebih dari satu abad lamanya, tetapi sebelum zaman perang dunia ke

34

II, mereka biasanya tidak mau dianggap orang dayak lagi karena sebutan itu berarti orang udik, dan di dalam zaman itu dianggap merendahkan. Agama asli penduduk pribumi adalah agama Kaharingan. Sebutan itu dipergunakan sesudah perang dunia ke II, waktu diantara penduduk pribumi Kalimantan timbul suatu kesadaran akan kepribadian budaya mereka sendiri dan suatu keinginan kuat untuk menghidupkan kembali kebudayaan Dayak yang asli. Agama kristen mulai masuk mulai pertengahan abad yang lalu, dan aliran agama kristen yang pada masa sekarang ini paling besar jumlah penganutnya adalah aliran Gereja Kalimantan Evangelis. Agama katolik baru disebarkan di kalangan orang Dayak mulai pada zaman kemerdekaan. Umat Kaharingan percaya bahwa alam sekitar hidupnya itu penuh dengan makhluk-makhluk halus dan ruh-ruh yang menempati tiang rumah, batu-batu besar, pohon-pohon besar, hutan belukar, dan air, pokoknya alam sekeliling tempat tinggal manusia. Ada dua golongan ruh-ruh, ada golongan ruh-ruh yang baik dan golongan ruh jahat. Disamping itu ada pula makhluk halus yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Dayak, ialah ruh nenek moyang. Menurut kepercayaan suku Dayak, jiwa yang mati itu meninggalkan tubuh dan menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia sebagai ruh nenek moyang. Lama kelamaan ruh nenek moyang itu akan kembali kepada dewa tertinggi yang disebut Ranying, tetapi proses itu akan memakan waktu yang lama dan melalui berbagai macam rintangan dan ujian hingga akhirnya masuk ke dunia ruh yang bernama Lewu Liaudan menghadap Ranying. Terwujudnya kepercayaan terhadap arwah nenek moyang dan makhluk halus lainnya terwujud dalam upacara keagamaan. Ada suatu rangkaian upacara yang dilakukan prang pada peristiwa-peristiwa penting selama hidupnya, seperti upacara menyambut kelahiran anak, upacara memandikan bayi untuk

pertamakalinya, upacara memotong rambut bayi, dan juga upacara mengubur dan pembakaran mayat. Jika orang Dayak mati, mayatnya akan di letakkan di sebuah peti kayu berbentuk perahu lesung dan kemudian di bakar secara besar-besaran yang disebut Tiwah. Dan setelah proses pembakaran itu selesai, tulang belulang

35

terutama tengkoraknya digali lagi dan kemudian pihak keluarga memindahkannya ke pemakaman yang tetap, sebuah bangunan yang berukiran indah, yang disebut Sandung. Karena acara pemakaman itu dilakukan secara besar-besaran oleh sejumlah keluarga, maka acara itu dapat berlangsung seminggu sampai tiga minggu berturut-turut. Karena banyaknya pengunjung yang ingin menyaksikan upacara itu, maka dibutuhkan biaya yang sangat besar oleh karena itu terpaksa upacara itu hanya bisa dilakukan sekali dalam tujuh atau delapan tahun sekali. Upacara itu juga diisi dengan nyanyian-nyanyian yang amat panjang tanpa menggunakan teks dan juga menampilkan tarian suci yang menarik. Orang dayak juga mengenal upacara-upacara keagamaan yang dilakukan oleh beberapa keluarga, yaitu upacara yang bersangkutan dengan pertanian di ladang, dengan maksud untuk menambah kesuburan tanah, menolak hama, dan hasil bumi yang berlimpah. Dalam upacara tersebut, yang dipimpin oleh seorang yang bernama Balian, sering tampak berbagai unsur ilmu gaib.

36

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. (2004). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. http://www.anneahira.com/kesenian-suku-dayak.htm http://id.wikipedia.org/wiki/suku_Dayak http://travel.okezone.com/read/2011/02/24/407/428449/mengenal-dekatsuku-dayak http://www.kutaikartanegara.com/senibudaya/tari.html

37

You might also like