You are on page 1of 47

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan *

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si.


Abstract The study was aimed at analyzing the relationship of bureaucratic characteristics, bureaucratic system, local culture, and organizational culture towards bureaucratic behavior. The pattern of bureaucratic behaviors was divided into autocratic, custodial, supportive and collegial. The findings showed that, first, the impact of bureaucratic characteristics brought about transitional bureaucratic behavior, where bureaucratic characteristics caused traditional bureaucratic behavior with the pattern of autocratic and custodial behaviors. On the other hand, the bureaucratic characteristics had caused the emergence of modern bureaucratic behavior with the pattern of supportive and collegial behavior. Second, bureaucratic system had caused the emergence of bureaucratic behavior in a transitional manner, on one hand bureaucratic behavior remained to operate traditional behavior with autocratic and custodial behavior; on the other hand, bureaucratic behavior orientation had changed towards the modern with supportive and collegial behaviors. Third, the impacts of local culture includes such value as Siri, Pacce and Werre had caused the emergence of the practice of traditional bureaucratic behavior, that is, autocratic and custodial and modern bureaucratic behaviors with a pattern of supportive and collegial behaviors. Fourth, organizational culture related with autocratic, custodial, supportive and collegial behaviors. Based on the contribution, communal culture factor possessed very big contribution towards the establishment of supportive and collegial behaviors. Generally the bureaucratic behavioral pattern of regency/city government remained transitional, that is, on one hand the traditional behavior with autocratic and custodial behaviors remained to operate, and on the other hand modern oriented bureaucratic behavior with the adoption of supportive and collegial behaviors was still in operation. Keywords: bureaucratic behavior, organizational behavior, organizational culture, government bureaucracy, local government

Latar Belakang
Kerangka dasar perilaku organisasi didukung dua komponen dasar, yaitu individu-individu yang berperilaku dan organisasi formal sebagai wadah dari perilaku itu sendiri (Thoha, 2002:170).

Ditulis ulang oleh Drs. Haris Faozan, M.Si. berdasarkan Disertasi Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si. Tulisan ini pernah terbit dalam buku Accelerating Performance: Konsep dan Aplikasi. Suryanto, Agustinus Sulistyo, dan kawan-kawan (Ikatan Peneliti LAN-IPLAN). Diterbitkan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2009. Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si. kembali ke Pangkuan Rahmatullah pada tanggal 29 Januari 2009. Pada saat itu Beliau menjabat sebagai Kepala Bidang Kajian Kinerja Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur, Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur II Lembaga Administrasi Negara (PKP2A II LAN), Makassar.

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

Duncan (1980) menandaskan bahwa determinan utama pentingnya perilaku organisasi adalah bagaimana perilaku manusia itu mempengaruhi usaha pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Perilaku birokrasi timbul sebagai akibat interaksi antara karakteristik individu dengan karakteristik birokrasi. Karakteristik individual mencakup persepsi, pengambilan keputusan pribadi, pembelajaran dan motivasi (Robbins, 2003:31). Menurut Thoha (2002) bahwa karakteristik individual meliputi kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, dan pengharapan. Perbedaan karakteristik individu tersebut menyebabkan perbedaan perilaku mereka. Setiap individu mempunyai karakteristik yang berbeda. Mereka mempunyai nilai, kepercayaan, motivasi, dan kemampuan yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan perilaku mereka. Namun demikian ikatan utama yang menyatukan perilaku mereka adalah tujuan organisasi. Hal ini penting mengingat perilaku mengarah kepada tujuan organisasi. Organisasi birokrasi sebagai wadah untuk mencapai tujuan pelayanan dan perlindungan masyarakat mempunyai karakteristik adanya hirarki, tugas, wewenang, tanggungjawab, sistem reward, dan sistem kontrol (Thoha, 2002). Menurut Lubis & Martani (1987), dan Robbins (2003), karakteristik birokrasi mencakup speselisasi, departementalisasi, rantai komando, rentang kendali, sentralisasi dan desentralisasi dan formalisasi. Dengan karakteristik yang dimilikinya, birokrasi dapat mengelola fungsi-fungsi organisasi dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu menurut Gibson (1989), struktur organisasi mempengaruhi perilaku manusia yang mengendalikan organisasi. Adapun Robbins (2003) menjelaskan bahwa perilaku mengarah kepada pencapaian tujuan dalam organisasi. Salah satu fungsi birokrasi pemerintah yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi merupakan instrumen pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien, efektif, berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk mampu melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik, maka organisasi birokrasi harus profesional, tanggap, dan aspiratif terhadap berbagai tuntutan dan kebutuhan akan pelayanan kepada masyarakat. Seiring dengan hal tersebut, pembinaan aparatur negara (aparatur birokrasi) harus dilakukan secara terus-menerus agar dapat menjadi alat yang efisien dan efektif, bersih dan berwibawa, sehingga mampu menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan, menggerakkan pembangunan secara lancar dan penyelenggaraan pelayanan umum (masyarakat) dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian kepada masyarakat. Perilaku birokrasi Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan masih berorientasi internal, lebih dominan memperhatikan kepentingan internal organisasi, kurang fokus pencapaian kinerja yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh karena itu untuk fokus pembahasan perilaku birokrasi pemerintah daerah, pada penelitian ini diarahkan pada birokrasi yang menjalankan tugas umum pemerintahan, yaitu fungsi pengaturan dan pelayanan administratif yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat umumnya dan koordinasi perumusan kebijakan dalam rangka menciptakan keteraturan, ketertiban dan keserasian dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah. Temuan penelitian selama ini menjelaskan bahwa perilaku birokrasi yang mementingkan diri dan kekuasaan serta orientasi jabatan struktural dipengaruhi penerapan nilai-nilai budaya Siri yang lemah (Munadah, 2005). Nilai patron-klien mempengaruhi perilaku pejabat public yang menyimpang (Kausar A.S, 2006). Kajian lain menjelaskan, kepuasan kerja, desain pekerjaan berpengaruh terhadap kinerja pegawai yang rendah sehingga membentuk perilaku birokrasi tradisional (Parhusip, 2006). Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa alasan mengapa penelitian ini penting; (1) kinerja birokrasi dalam pengelolaan sektor publik belum optimal, dimana kritik dan komplain masyarakat terhadap birokrasi masih cukup signifikan pada pemerintah kabupaten/kota di Sulawesi Selatan; (2) Peran birokrasi masih menonjol dan dominan dalam pengelolaan sektor publik. Oleh karena itu, ekspektasi masyarakat terhadap kinerja birokrasi cukup tinggi; (3) Salah satu aspek yang sangat menentukan kinerja birokrasi adalah aspek perilaku yang mempengaruhi baik dan buruknya penampilan birokrasi. Saat ini perilaku birokrasi lebih dikesankan sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas dan fungsi birokrasi sebagai perumusan kebijakan, pemberdayaan dan pelayanan kepada

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

|2

masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan: perilaku birokrasi pemerintah daerah belum berorientasi pada perilaku birokrasi yang berkinerja tinggi Terdapat empat pola perilaku birokrasi, Davis (1985), yaitu perilaku otokratik, perilaku kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial. Perilaku otokratik dan perilaku kustodial termasuk kategori perilaku yang tradisional dimana setiap birokrat hanya berorientasi kekuasaan, otoritas, dan kewenangan, pemenuhan kebutuhan pokok serta mengeksplorasi sumber daya ekonomi organisasi untuk diri dan kelompoknya. Perilaku suportif dan kolegial termasuk kategori perilaku birokrasi modern dimana setiap individu memberi dukungan yang tinggi terhadap pencapaian tujuan dan sasaran organisasi, serta organisasi memberi penghargaan yang tinggi pula terhadap kinerja birokrat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan karakteristik birokrat terhadap perilaku birokrasi, menjelaskan hubungan sistem birokrasi terhadap perilaku birokrasi, menganalisis hubungan budaya lokal terhadap perilaku birokrasi, dan menjelaskan hubungan budaya organisasi terhadap perilaku birokrasi. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan dalam rangka mengembangkan perilaku birokrasi Pemerintah yang berorientasi pelayanan kepada masyarakat. Model perilaku birokrasi yang berorientasi pelayanan adalah model suportif dan pola perilaku kolegial. Untuk membangun perilaku suportif dan kolegial, maka dibutuhkan strategi dalam peningkatakan karakteristik birokrat melalui kemampuan, sikap kerja yang posisitif dan motivasi berprestasi. Demikian juga penerapan nilai-nilai budaya lokal Siri, Pacce dan Werre secara konsisten dapat mendorong tumbuhnya perilaku suportif dan kolegial yang beroreintasi terhadap pelayanan yang memuaskan masyarakat.Demikian juga budaya organisasi yang mendukung terbentuknya perilaku birokrasi suportif dan kolegial dapat memberi konstribusi terjadinya proses perubahan perilaku yang diharapkan. Desain sistem birokrasi seperti desain pekerjaan, rentang kendali, sistem karier dan sistem reward dan punishment yang sesuai dengan kebutuhan perilaku suportif dan kolegial dapat membantu menciptakan perilaku birokrasi yang fokus terhadap orientasi pelanggan. Berkembangnya budaya organisasi mengintegrasikan antar budaya lokal membentuk budaya organisasi dan budaya organisasi yang memberi konstribusi terhadap perilaku birokrasi yang mendukung peningkatan pelayanan publik dan kupuasan internal birokrat sangat penting.

Karakteristik Birokrat
Manusia yang terlibat dalam suatu organisasi merupakan individu-individu yang memiliki karakteristik khas yang melekat dalam dirinya. Siagian (1997) memandang bahwa karakteristik khas yang dibawa manusia dalam organisasi inilah yang akan membentuk perilaku administrasinya. Perilaku individu yang tercermin dalam tabiat dan sifat merupakan pencerminan dari kepribadian individu. Dalam hal ini, setidaknya terdapat 4 (empat) faktor pembentuk perilaku seseorang, yaitu: (a) faktor genetik, (b) faktor pendidikan, (c) faktor lingkungan, dan (d) faktor pengalaman. Dengan hanya mempertimbangkan faktor dalam diri manusia, Supriatna (2000), mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) faktor yang membentuk tingkah laku seseorang yaitu: (a) pengamatan (persepsi), (b) sikap, (c) nilai, dan (d) motivasi. Faktor-faktor tersebut dapat membentuk efektifitas seseorang atau karyanya. Selanjutnya, efektifitas (karya), kepuasan kerja dan motivasi dipengaruhi rancangan kerja (job design) yang meliputi struktur kerja, tugas dan kewajiban. Sejalan dengan pendapat Supriatna di atas, Bryant dan White (1989) selain mengidentifikasi faktor dari dalam diri individu juga mengungkapkan faktor lingkungan organisasi dalam model sosial-psikologis. Bryant dan White (1989), mengatakan bahwa setidaknya terdapat 8 (delapan) determinan utama penyebab perilaku manusia, yaitu: (a) nilai-nilai, (b) emosi, (c) sikap-sikap, (d) struktur sosial, (e) peran dalam organisas, (f) teknologi, (g) peristiwa atau kejadian tertentu, dan (h) lingkungan baik berupa lingkungan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Sedangkan dalam model rasional, motivasi merupakan faktor utama yang mempengaruhi individu dalam berperilaku dalam organisasi.

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

Studi sistematis yang dilakukan oleh (Robbins:2003:31) menunjukkan bahwa ada enam variabel tingkat individual yang mempengaruhi perilaku individu, yaitu 1) karakteristik biologis (seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan dan masa kerja), 2) kemampuan, 3) pembelajaran, 4) persepsi, 5) pengambilan keputusan pribadi, dan 6) motivasi. Pandangan yang senada juga dikemukakan oleh Kretner dan Kinicki (2005) dimana perilaku individu dipengaruhi oleh kepribadian, sikap, kemampuan, motivasi dan persepsi. Masih sejalan dengan itu, Thoha (2002) menambahkan aspek kepercayaan, pengalaman dan pengharapan. Karakteristik individual ini saling memberi konstribusi terhadap timbulnya perilaku seseorang. Perbedaan perilaku disebabkan perbedaan masing-masing faktor yang ada pada diri seseorang. Berdasarkan uraian tentang karakteristikl yang mempengaruhi perilaku individu, maka dapat digarisbawahi bahwa faktor pembentuk utama perilaku individu adalah sikap, kemampuan dan motivasi. Tiga faktor ini menjadi kunci terhadap terbentuknya perilaku individu dalam organisasi. Beberapa konsep perilaku individu seperti yang didiskusikan di atas memasukkan faktor kemampuan, sikap, dan motivasi seperti yang dikemukakan oleh Thoha (2002), Robbins (2003), Kreitner dan Kinicki (2005) serta Bryant dan White (1989). 1. Kemampuan Kemampuan (ability) merupakan sebuah sifat yang melekat pada manusia yang memungkinkan seseorang melaksanakan sesuatu tindakan atau pekerjaan mental dan fisik. Robbins (2003) menyatakan bahwa kemampuan terkait dengan kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Adapun Palan (2003) menyebutkan bahwa kemampuan merupakan salah satu bagian dari kompetensi. Dimensi kemampuan berhubungan dengan kemampuan intelektual (merupakan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental) dan kemampuan fisik (kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan serupa). Oleh karena itu kemampuan dan keterampilan merupakan kompetensi yang bersifat perangkat keras (hard competence) yang dapat diamati dan dapat diciptakan dalam waktu yang singkat. Kompetensi merupakan dimensi kemampuan, keterampilan dan sikap yang dituntut bagi seseorang untuk dapat memenuhi tuntutan jabatan secara umum dapat dianggap sebagai persyaratan agar seseorang dapat melaksanakan pekerjaanya dengan profesional. Menurut Armstrong dan Murlis (1994), kompetensi merupakan atribut yang menyatakan karakter behavioral yang dapat ditunjukkan untuk membedakan para pelaku kinerja dalam suatu peranan tertentu di bawah berbagai hal seperti pencapaian, dukungan dan perhatian akan pesanan. Terdapat polarisasi dua kompetensi. Pandangan pertama, meletakkan perilaku sebagai fokus pemahaman terhadap kompetensi dengan bertumpu pada asumsi bahwa hanya perilaku yang diamati dalam latihan simulasi sebagai metode utama yang seharusnya menjadi sasaran pengukuran. Pandangan kedua, menaruh karakteristik fundamental individu sebagai titik berat dalam konsep mereka mengenai kompetensi, dengan berpijak pada pandangan bahwa peilaku manusia hanyalah pucuk permukaan sebuah gunung es. Aspek terpenting dalam kompetensi justru asepk-aspek fundamental pada diri manusia yang menjadi penentu perilaku, antara lain motives, trait, self concept dan nilai-nilai pribadi. Beberapa ahli memiliki klasifikasi yang berbeda tentang kompetensi. Palan, (2003) membagi ada lima tipe karakteristik kompetensi, yaitu knowledge, skill, self-concept and values, traits, motives. Selanjutnya Palan (2003) juga membagi kompetensi dalam empat jenis, yaitu: (1) core competencies, yaitu kompetensi inti/umum yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam organisasi, biasanya diturunkan dari visi, misi, dan nilai-nilai organisasi; (2) role competencies, berhubungan dengan kompetensi yang akan diperankan sebagai manejerial seperti melakukan aktivitas manajerial (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan); (3) Behavioral competencies, kompetensi perilaku, berkaitan taks, personal atribut, relationship, service; dan (4) functional competencies, berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan jabatan pekerjaan yang spesifik.

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

|4

Seperti yang dijelaskan di atas bahwa kemampuan merupakan deskripsi dari kompetensi yang dimiliki yang di dalamnya terdapat pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu perbedaan kemampuan dan keterampilan menyebabkan perbedaan perilaku masing-masing pegawai. Oleh karena itu kemampuan dan keterampilan memegang peran penting dalam perilaku individu dan kinerjanya. Formulai Keith Davis, menjelaskan bahwa kemampuan timbul dari fungsi pengetahuan dengan fungsi keterampilan. Sementara itu motivasi timbul dari adanya fungsi sikap dengan situasi. Sedangkan Prestasi manusia terjadi karena fungsi kemampuan dengan motivasi. Prestasi organisasi lahir karena adanya prestasi manusia dengan sumber daya organisasi. 2. Sikap Sikap merupakan pernyataan atau pertimbangan evaluatif baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai obyek, orang atau peristiwa (Robbins, 2003:90). Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu. Tiga Komponen utama sikap menurut S.J. Breckler (1984), yaitu: cognition, affect, dan behavior. Dalam organisasi, sikap ini penting karena mereka mempengaruhi perilaku. Seseorang dapat mempunyai ribuan sikap. Akan tetapi khusus yang berkaitan dengan perilaku, sikap berkaitan dengan pekerjaan. Dalam risetnya tentang sikap, P.P. Brooke (Robbins, 2003:91) menyatakan bahwa sikap selalu berhubungan dengan tiga hal utama, yaitu kepuasan kerja, keterlibatan kerja dan komitmen terhadap organisasi. Sehubungan dengan hal tersebut, ada tiga dimensi utama yang akan dijelaskan mengenai sikap kerja pegawai, yaitu: sikap terhadap kepuasan kerja, sikap terhadap keterlibatan kerja, dan sikap terhadap komitmen organisasi. a. Sikap terhadap kepuasan kerja Luthans (1992) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi penting dari kepuasan kerja yaitu kepuasan merupakan respon emosional terhadap situasi kerja; kepuasan kerja sering ditentukan oleh perolehan yang sesuai dengan harapan yang telah ditargetkan; dan kepuasan kerja menggambarkan beberapa sikap yang berkaitan. Sejalan dengan hal tersebut, Smith, Kandall, and Hulin (Luthans, 1992) menyebutkan lima dimensi dari kepuasan kerja, yaitu kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri; kepuasan terhadap imbalan; kesempatan promosi untuk meningkatkan posisi pada struktur organisasi; kepuasan terhadap supervisi, yaitu kemampuan atasannya untuk memberikan bantuan teknis dalam memotivasi; dan kepuasan terhadap rekan sekerja, yaitu seberapa besar rekan sekerja memberikan bantuan teknis dan dorongan sosial. Dari uraian di atas dapat disarikan bahwa kepuasan kerja adalah kondisi perasaan yang menyenangkan atas suasana kerja yang meliputi kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, kepuasan terhadap imbalan, kesempatan promosi untuk meningkatkan posisi pada struktur organisasi, kepuasan terhadap supervisi --yaitu kemampuan atasannya untuk memberikan bantuan teknis dalam memotivasi--, dan kepuasan terhadap rekan sekerja --yaitu seberapa besar rekan sekerja memberikan bantuan teknis dan dorongan sosial. b. Sikap terhadap keterlibatan kerja Keterlibatan kerja (job involvement) adalah sejauhmana seseorang memihak pada pekerjaanya, berpartispasi aktif di dalamnya, dan menganggap kinerjanya penting bagi harga diri. Pegawai dengan tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dengan kuat memihak pada jenis kerja yang dilakukan dan benar-benar peduli dengan jenis kerja itu. Beberapa riset menunjukkan bahwa tingkat keterlibatan kerja yang tinggi berhubungan dengan tingkat kemangkiran yang lebih rendah dan tingkat permohonan berhenti yang lebih rendah. c. Sikap terhadap komitmen organisasi Mowdy, Porter & Steers (Schultz & Schlutz, 1994) menyebutkan bahwa komitmen organisasi adalah sifat hubungan seorang individu dengan organisasi dengan memperlihatkan ciriciri sebagai berikut: (1) menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi, (2) mempunyai keinginan berbuat untuk organisasinya, (3) mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap bersama organisasinya. Oleh karena itu Griffin & Bateman menyebutkan bahwa komitmen organisasi. Adapun Mayer & Allen (Jong, Price & Mueller, 1997) menjelaskan ada 3 bentuk komitmen organisasi yang keseluruhannya mempunyai implikasi terhadap kelanjutan partisipasi individu dalam organisasi, yaitu: affective comitment, normative comitment, continuance comitment.

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

(1) Affective commitment merupakan suatu kelekatan psikologis terhadap organisasi. Pegawai yang memiliki Affective commitment yang kuat akan mengidentifikasikan diri terlibat mendalam, dan menikmati keanggotannya dalam organisasi. Affective commitment dipengaruhi oleh karakteristik organisasi seperti desentralisasi dalam pengambilan keputusan (Brooke, dkk, 1988). Affective comitment juga berkorelasi dengan kesesuaian harapan antara pegawai dengan imbalan yang diberikan organsiasi (keterlibatan kerja). (2) Normative commitmen menurut Mayer dan Allen (Irving, 1996) ditunjukkan dengan perasaan wajib untuk tetap bertahan dalam organisasi. Pegawai yang memiliki normative commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena merasa harus melakukan hal tersebut. Normative commitment dapat berkembang akibat investasi organisasi pada pegawainya, melalui pelatihan, subsidi kuliah, sosialisasi pengalaman yang menekankan pada nilai loyalitas. (3) Continuance commitment merupakan komitmen organisasi yang rasional. Komitmen ini berkaitan dengan dengan biaya jika ia keluar dari organisasi. Pegawai mempunyai continuance commitment tinggi akan bertahan dalam organisasi karena membutuhkannya. Stebbins (dalam Irving, 1996) menyatakan bahwa continuance commitment adalah kesadaran akan ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternatif tingkah laku yang lain karena adanya ancaman akan kerugian. Dengan demikian komitmen organisasi dapat disimpulkan sebagai hubungan antara pegawai dengan organisasi, yang diwujudkan melalui keinginan untuk mempertahankan diri keanggotannya organisasi, menerima nilai dan tujuan organisasi serta bersedia untuk berusaha keras demi tercapaianya tujuan dan keberlangsungan organisasi. 3. Motivasi Setiap orang memiliki motivasi, yaitu dorongan dari dalam dirinya yang tercermin dalam perilakunya. Timbulnya dorongan itu disebabkan oleh adanya insentif (rangsangan) atau stimulus yang harus diraih untuk memenuhi kebutuhannya. Motivasi merupakan faktor determinan penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Perbedaan motivasi menyebabkan perbedaan perilaku. Motivasi merupakan faktor-faktor dasar yang turut menentukan kinerja seseorang. Oleh sebab itu dikatakan bahwa motivasi merupakan kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan dan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual (Robbin, 2003:208). Meskipun seseorang memiliki motivasi tinggi untuk memenuhi kebutuhannya, akan tetapi jika kemampuannya kurang, maka kontribusi terhadap kinerja dan perilakunya akan lebih kecil, sehingga motivasi tidak dapat berdiri sendiri dalam mengelola dan meningkatkan kinerja seseorang dan organisasi. Sehubungan dengan hal tersebut, sejumlah ahli mengelompokkan teori motivasi berdasarkan kategori, yaitu motivasi berdasarkan kebutuhan; motivasi berdasarkan proses; teori penetapan sasaran; teori modifikasi perilaku; teori X dan Y dan, teori memotivasi melalui pekerjaan (Sigit, 2003:45; Robbins, 2003; Thoha, 2002). Teori hirarki kebutuhan dari Maslow menjelaskan ada 5 hirarki kebutuhan manusia. Maslow menghipotesiskan bahwa ada lima kebutuhan di dalam diri manusia secara berjenjang yaitu psikologis, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Teori ini mengatakan bahwa meskipun tidak ada kebutuhan yang pernah dipenuhi secara lengkap, suatu kebutuhan yang dipuaskan secara cukup banyak tidak lagi memotivasi. Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu sebagai tingkat tinggi dan tingkat rendah. Penyerdeharnaan teori hirarki kebutuhan Maslow, dilakukan oleh Frederick Herzberg, yang membagi kebutuhan manusia menjadi dua, yaitu faktor instrinsik dan faktor eksterinsik. Faktor intrinstik disebut juga faktor motivator, yaitu faktor kepuasan kerja yang berhubungan dengan prestasi, pengakuan, kerja, tanggung jawab, pertumbuhan. Sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari organisasi yang berfungsi memelihara kepuasan, seperti mislanya kebijakan, kondisi kerja, gaji, hubungan dengan rekan kerja, hubungan dengan bawahan, status dan keamanan. Menurut McClelland ada tiga kebutuhan manusia yang mendasar, yaitu kebutuhan berprestasi (achievement), kebutuhan kekuasaan (need power), kebutuhan afiliasi (affiliation).

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

|6

Penelitian yang dilakukan oleh McClelland menjelaskan bahwa peraih prestasi tinggi membedakan diri mereka dari orang lain. Mereka mencari situasi dimana mereka dapat menerima tanggung jawab pribadi untuik menemukan pemecahan masalah dengan baik, dan mereka dapat menerima umpan balik, dengan resiko yang sedang. Adapun kebutuhan akan kekuasaan merupakan hasrat untuk mempunyai dampak, pengaruh, dan mengendalikan orang lain. Individu-individu dengan mempunyai power tinggi menikmati untuk dibebani, bergulat untuk dapat mempengaruhi orang lain, lebih menyukai ditempatkan di dalam situasi kompetitif dan berorintasi status dan cenderung lebih peduli akan prestise (gengsi) dalam memperoleh pengaruh terhadap orang lain daripada kinerja yang efektif. Sedangkan kebutuhan afiliasi, atau hasrat untuk disukai atau diterima baik oleh orang lain.

Konsepsi Birokrasi Dan Sistem Birokrasi


Dalam masyarakat pada umumnya birokrasi lebih banyak dikonotasikan negatif, dimana menggambarkan keruwetan dan urusan yang bertele-tele dalam proses pelayanan dari suatu lembaga atau kantor pemerintah. Persepsi ini lahir karena begitu banyaknya formulir yang harus diisi dan meja yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu urusan. Begitu buruknya citra birokrasi yang dipersonifikasikan oleh aparat birokrasi, sehingga ketika suatu urusan terhambat atau waktu penyelesaian suatu berkas cukup lama, maka orang akan menyebut sebagai sesuatu yang sangat birokratis. Apabila pengertian tentang birokrasi dipahami dengan baik dan benar, maka persepsi yang timbul dalam masyarakat tidaklah sepenuhnya benar, bahkan birokrasi sesungguhnya sesuatu yang justru membantu kegiatan administrasi. Dalam literatur administrasi dan politik, sedikitnya terdapat 7 (tujuh) konsep dari birokrasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Martin Albrow (1989), yaitu: birokrasi sebagai organisasi rasional; birokrasi sebagai inefisiensi organisasional; birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat; birokrasi sebagai administrasi negara (publik); birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat; birokrasi sebagai sebuah organisasi, dan birokrasi sebagai masyarakat modern. Klasifikasi ketujuh konsep birokrasi yang dikemukakan oleh Albrow tersebut, kemudian oleh Santoso (1995) dipilah dalam 3 (tiga) kategori, yaitu: 1) birokrasi dalam pengertian baik atau rasional (bereau-rasionally) seperti yang dikemukakan oleh Hegel dan Max Weber; 2) birokrasi dalam pengertian suatu penyakit (bureau-phatology) seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx, Laski, Robert Michels, Donald P. Warwick, Michael Croiser, Fred Luthans, dan sebagainya; dan 3) birokrasi dalam pengertian netral (value-free) yang terlepas dari pengertian baik dan buruk. Dalam pengertian netral birokrasi dapat berarti keseluruhan pejabat negara pada cabang eksekutif, dalam konteks ini setiap organisasi yang besar juga diartikan sebagai birokrasi. Birokrasi dalam pengertian positif dikemukakan oleh Hegel dan Max Weber dengan memandang dari sudut kekuasaan. Hegel beranggapan bahwa jika warga negara suatu negara dibiarkan mengatur dirinya sendiri akan terjadi kekacauan, karena setiap warga negara mempunyai kepentingan subyektif yang akan melawan kepentingan subyektif warga negara lainnya. Oleh karena itu, negaralah yang dianggap sebagai penjelmaan kepentingan umum, masyarakat mempunyai legitimasi untuk mengatur kepentingan warga negara. Tetapi dalam pelaksanaannya pengaturan yang dilakukan oleh negara seringkali menguntungkan pihak tertentu saja. Oleh karena itu diperlukan suatu struktur yang menjembatani antara kepentingan negara dan kepentingan masyarakat. Hegel menganggap birokrasi sebagai institusi yang menjembatani antara negara yang memanifestasikan kepentingan umum dan civil society yang memanifestasikan kepentingan khusus dalam masyarakat . Sementara itu, Weber membahas birokrasi dalam kerangka teori mengenai authority dan domination. Konsep ini membicarakan hubungan kekuasaan yang menyangkut kemampuan orang yang berkuasa untuk memaksakan kehendaknya kepada orang yang dikuasai. Weber membagi authority dan domination menjadi 3 (tiga), yaitu; tradisional, kharismatik, dan legal-rasional. Setiap bentuk dominasi berpangkal pada sumber legitimasi yang berbeda dan administrasi yang berbeda pula. Sumber legitimasi bagi dominasi tradisional adalah waktu dan aparat administrasinya adalah

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

kerabat kerja. Bagi dominasi kharismatik, sumber legitimasinya adalah kepribadian yang luar biasa yang dimiliki pemimpin, aparat administrasinya adalah para pengikut yang setia. Sementara bagi dominasi legal-rasional, kewenangan bersumber dari seperangkat aturan yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu, aparat administrasinya adalah birokrasi. Birokrasi inilah yang menjadi unsur terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan organisasi. Bagi Weber (1947), organisasi merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan dan birokrasi dianggap sebagai tipe ideal bagi suatu organisasi. Ciri-ciri birokrasi Weber yang telah dikenal luas adalah: (1) the regular activities required for the purpose of the organization are distributed in a fixed way as official duties; (2) the organization of offices follows the principle of hierarchy; that is, each lower office is under the control and supervision of higher one; (3) operations are governed by a consistent sistem of abstract rule (and) consist of the application of these rules to particular cases; (4) the ideal official conducts his office (in) a spirit of formalistic impersonality, sine ira et studio, without hatred or passion, and hance without affection or enthusiasm; (5) employment in the bureaucratic organization is based on technical qualification and is protected against arbitrary dismissal. It constitutes a carrier. There is a sistem of promotions according to seniority or to achievement, or both; (6) Experience tends universally to show that the purely bureaucratic type of administrative organization is, from a purely technical point of view, capable of attaning the highest degree of efficiency (1947:331). Elemen utama prinsip type ideal birokrasi menurut Weber yaitu pembagian pekerjaan dan spesialisasi kerja, struktur kewenangan hirarkis dengan batas-batas kewenangan yang jelas, pelaksanaan tugas diatur sedemikian rupa melalui prosedur yang tetap, hubungan antar anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi (impersonal), pekerjaan dalam suatu organisasi birokratis didasarkan pada kualifikasi teknis dan dilindungi dari kemungkinan pemecatan sepihak. Beberapa pendapat yang mengkritik cara kerja birokrasi pemerintah adalah Donald Warwick tentang pelayanan birokrasi Amerika, dimana organisasi pemerintah dianggap menjadi tuan dan bukan pelayan masyarakat sehingga mengakibatkan masyarakat takut mengambil prakarsa, menumpuknya berkas-berkas laporan, terbuangnya waktu dan terkurasnya dana pemerintah federal (Abdullah, 1991). Selanjutnya, Michael Crozier dalam penelitian tentang birokrasi di Prancis berpendapat bahwa birokrasi merupakan organisasi yang tidak dapat mengoreksi tingkah lakunya dengan belajar dari kesalahan (Abdullah, 1991). Diantara perdebatan konsep birokrasi yang positif dan negatif, terdapat konsep birokrasi dalam pengertian yang netral. Pendapat Kumorotomo (1994), mengatakan bahwa birokrasi pada dasarnya alat atau sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat. Birokrasi lahir sebagai jawaban bagi banyaknya ragam kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi sehingga diperlukan suatu sistem administrasi dan pengaturan yang sistematis dan terorganisir dengan baik. Oleh karena itu, Blau dan Meyer (1987), menyebut birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugastugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinasikan secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. Selanjutnya, Gabriel Almond dan Bingham Powel (dalam Santoso, 1995), mendefinisikan birokrasi pemerintahan sebagai sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisasi secara formal, berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat peran formal. Lance Castel, dalam uraiannya tentang birokrasi di Indonesia mendefinisikan birokrasi sebagai orang-orang yang bergaji dan menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Berkaitan dengan studi organisasi Daft (1989) dan Scott (1992). melihat organisasi ke dalam dua dimensi pokok, yaitu struktural dan kontekstual. Dimensi struktural dibentuk oleh formalisasi, spesialisasi, standarisasi, hirarki otoritas, kompleksitas, sentralisasi, profesionalisme dan rasio pegawai. Sedangkan dalam dimensi kontekstual terdapat ukuran (size), teknologi, tujuan dan strategi, serta lingkungan. Struktur organisasi ditentukan oleh tingkat dan derajat dari berbagai unsur dalam kedua dimensi tersebut. Semua unsur ini dipercaya akan menentukan tingkat diferensiasi vertikal berdasarkan otoritas, dan diferensiasi horisontal berdasarkan fungsi dalam

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

|8

sebuah organisasi. Selanjutnya, kedua bentuk diferensiasi tersebut akan menentukan struktur organisasi yang secara umum banyak dipengaruhi oleh faktor formalisasi dan sentralisasi (Rapert dan Wren, 1998). Berdasarkan penjelasan Mintzberg (1981), ada dua bentuk organisasi birokrasi, yaitu birokrasi mesin dan birokrasi profesional. Munculnya birokrasi mesin sebagai hasil dari proses industrialisasi yang mengutamakan standarisasi tugas dan pekerjaan yang semakin terspesialisasi dan tidak memerlukan keahlian yang tinggi (low skilled). Di dalam struktur ini diperlukan unit administratif dan teknokstruktur yang dapat mendesain berbagai standar kerja dan aturannya. Perilaku setiap pegawai menjadi formal dan terpola, sesuai pedoman kerja, setiap tindakan harus terencana. Dengan demikian kinerja organisasi sangat ditentukan oleh sistem pengaturan. Implikasinya adalah para pejabat tidak meperoleh otonomi secara vertikal dengan kewenangan yang cukup kecil. Dalam struktur organisasi birokrasi seperti ini muncul hirarki pada lini tengah yang cukup besar sebagai akibat meningkatnya diferensiasi vertikal. Dengan semaking meningkatnya tingkat spesialisasi, pengelompokkan kerja secara horisontal dan vertikal akan semakin banyak. Dampaknya adalah bentuknya banyak unit kerja dengan tingkat spesialisasi sesuai dengan standar kinerja dan produksi. Akibat lain adalah departementalisasi akan menjadi lebih kaku sehingga pegawai banyak terjebak pada tugas-tugas rutin. Oleh sebab itu disebut sebagai desain organisasi birokrasi mesin. Seluruh pegawai dituntut bekerja secara formal kepada standar kerja, prosedur dan aturan. Organisasi menjadi bersifat mekanistik. Bentuk yang berbeda dari birokrasi adalah birokrasi profesional. Birokrasi ini tidak mengandalkan standar prosedur dan proses, melainkan bertumpu kepada standarisasi skill dalam pengkoordinasian. Struktur ini biasanya cocok rumah sakit, universitas, lembaga bantuan hukum dan lembaga konsultan. Kunci keberhasilan organisasi ditentukan oleh tingkat profesionlisme para pelaksana utama yang telah memperoleh pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya. Implikasinya adalah pengawasan dan pengendalian menjadi lebih longgar, setiap orang menjadi lebih independen. Bentuk ini menghasilkan organisasi yang lebih desentralisasi, dimana kekuasaan dan otoritas pembuat keputusan tidak lagi sentralisasi ke level top manajemen. Strukturnya bersifat demokratis, dimana proses pembuatan keputusan dapat mengalir dari bawah dilakukan oleh para profesional. Abdullah (1991), merangkum pendapat Edward Feit dan La Palombara, yang membatasi pengertian birokrasi sebagai para pejabat pimpinan tingkat atas dan menengah dalam struktur organisasi. Edward Feit, mendefinisikan birokrasi sebagai orang-orang dalam kepegawaian negara yang disamakan dengan jenjang atas atau menengah manajemen bisnis. Mereka merupakan bagian hirarki jabatan tersebut yang memiliki wewenang yang berasal dari kepala eksekutif, kepala negara atau jabatan yang sederajat. Sejalan dengan itu, La Palombara, mengatakan birokrat yang paling penting bagi kita adalah mereka yang umumnya melaksanakan peran manajerial, yang memerintah baik di badan-badan sentral maupun di bidang masing-masing, yang umumnya dideskripsikan dalam bahasa administrasi negara sebagai manajemen tingkat menengah atau atas. Konsep birokrasi dalam penelitian ini dapat didefiniskan sebagai seperangkat sistem yang melaksanakan urusan pemerintahan baik yang bersifat pengaturan melalui perumusan kebijakan, dan pelayanan dalam pelaksanaan misi pemerintahan daerah. Pengertian ini mengandung unsur: (1) birokrasi sebagai sistem, yang terdiri dari unsur tugas, spesialisasi, wewenang, tanggung jawab, hirarki dalam pengendalian pelaksanaan tugas, sistem jabatan karier dan memiliki sistem insentif dan punishment terhadap segala implikasi yang ditimbulkan dari pelaksanaan tugas; (2) Urusan atau kewenangan yang dilimpahkan oleh negara dalam menjamin tercapainya kehidupan masyarakat yang sejahtera; (3) fungsi birokrasi mencakup fungsi pengaturan melalui berbagai keputusan dan peraturan yang berfungsi mengatur kehidupan masyarakat tata kepemerintahan; fungsi pelayanan publik dan fungsi pembangunan. Secara garis besar jenis birokrasi berdasarkan fungsi utama pemerintah daerah seperti yang diuraikan di atas dapat dibagi dua, yaitu:

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

(a) birokrasi yang menjalankan fungsi pemerintahan umum; dan (b) birokrasi fungsional, yaitu birokrasi yang secara fungsional bertangungjawab terhadap pelaksanaan bidang pemerintahan, seperti birokrasi pendidikan, birokrasi kesehatan, birokrasi yang melaksanakan fungsi penyediaan infrastruktur, termasuk dalam kategori ini adalah birokrasi pembangunan dan birokrasi pelayanan menurut Abdullah. Di dalam sistem birokrasi terdapat empat elemen penting yang memungkinkan birokrasi dapat melaksanakan misinya dengan efektif dan efisien, yaitu desain pekerjaan, sistem hirarki, sistem karier dan sistem penghargaan dan sanksi. 1. Desain Pekerjaan Desain pekerjaan merupakan suatu proses untuk mendefinisikan arah pekerjaan yang ditunjukkan oleh kinerja dari pencapaian suatu pekerjaan yang ditunjukkan oleh kinerja dari pencapaian suatu pekerjaan (task performance) dalam organisasi melalui rangkaian kerja yang distandarkan. Menurut Harris (2000:370) desain pekerjaan merupakan aktivitas dari suatu proses rangkaian kerja sesuai dengan beban kerja dan tingkat keahlian dimiliki. Desain pekerjaan merubah isi dan/atau makna proses dari pekerjaan tertentu untuk meningkatkan kepuasan kerja dan kinerja (Kreitner, 2001:215). Pendekatan karakteristik tugas dimulai dari karya Turner dan Lawrence (Robbins, 1996:210) yang dikenal dengan teori atribut tugas wajib (requistite task attributes theory). Teori ini lahir dari hasil penelitian tentang pengaruh jenis-jenis pekerjaan yang berbeda berdasarkan kepuasan dan kemangkiran karyawan. Tesis mereka adalah karyawan akan lebih menyukai pekerjaan yang rumit (kompleks) dan menantang. Dengan asumsi pekerjaan seperti ini akan meningkatkan kepuasan kerja dan tingkat kemangkiran yang lebih rendah. Teori Atribut tugas wajib Turner dan Lawrence (1965) meletakkan pondasi yang merupakan kerangka dominan untuk mendefisikan karakteristik tugas dan pemahaman hubungan mereka dengan motivasi, kinerja dan kepuasan pegawai. Hackman and Odham (1976) mengajukan model karakteristik pekerjaan (Job characteristics models) dalam lima dimensi pekerjaan inti, yaitu (1) keanekaragaman keterampilan, (2) identitas tugas, (3) pentingnya tugas, (4) otonomi dan (5) umpan balik. Tiga dimensi pertama, secara bersama-sama menciptakan kerja yang bermakna. Artinya, jika ketiga karakteristik ini ada dalam suatu pekerjaan, dapatlah kita ramalkan bahwa pelaksana pekerjaan itu akan memandang pekerjaan itu sebagai yang hal penting, berharga, dan ada gunanya untuk dikerjakan. Selanjutkan pada pekerjaan yang memberikan otonomi memberikan kepada pelaksana pekerjaan itu suatu perasaan tanggung jawab pribadi untuk hasil-hasilnya bahwa, jika suatu pekerjaan memberikan umpan balik, pegawai akan tahu seberapa efektif dia bekerja. Job design mampu menggambarkan analisis pekerjaan yang dapat menginformasikan berbagai kebutuhan dari setiap unit kerja dalam organisasi yang dituangkan dalam deskripsi dan spesialisasi pekerjaan, dan penempatan sumber daya manusia dalam organisasi akan sesuai dengan tingkat kemampuan. Kesesuain pekerjaan dan tingkat kemampuan yang diperlukan dapat meningkatkan kepuasan kerja (Spencer and Spencer, 1993:239), serta pengetahuan, keterampilan, kemampuan atau karakteristik birokrat berpengaruh terhadap kinerja (Becker, 2001:156). 2. Rentang Kendali (Span of Control) Rentang kendali merupakan fungsi pengendalian birokrasi terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang telah dibagi berdasarkan desain pekerjaan dan spesialisasi kerja. Oleh karena itu rentang kendali yang efektif berhubungan dengan banyaknya jumlah bawahan yang melapor langsung kepada atasan berdasarkan struktur organisasi birokrasi. Gibson dkk (1997) membuat batasan bahwa rentang kendali tidak lebih dari 5 orang. Namun demikian batasan ini sangat tergantung dari kemampuan bawahan, karakteristik pekerjaan dan teknologi organisasi. Bagi staf yang telah memiliki kemampuan yang memadai, rentang kendali dapat lebih dari lima orang, sementara bagi staf yang belum memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai, rentang kendali bisa kurang dari lima. Demikian juga karakteristik pekerjaan yang rumit dan kompleks, seperti pekerjaan guru, dosen, pengacara tidak memerlukan rentang kendali yang sempit, membutuhkan rentangkendali yang luas. Akan tetapi pekerjaan yang rutin, sangat membutuhkan

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 10

rentang kendali yang sempit. Demikian juga teknologi kerja, semakin kompleksnya teknologi kerja, seperti teknologi informasi semakin membantu mengendalikan pegawai. 3. Sistem Karier Istilah karier memiliki fokus internal dan merujuk kepada cara pandang seseorang terhadap kariernya, dan fokus eksternal yang merujuk pada tujuan dan serangkaian posisi pekerjaan yang dipegang oleh individu. Dessler (1998:46), mendefinisikan karier sebagai serangkaian posisi yang berhubungan dengan kerja yang membantu seseorang bertumbuh dalam keterampilan, keberhasilan, dan pemenuhan kerja. Proses dan pengembangan karier yang ditumbuhkan organisasi sangat membantu individu pegawai dalam memecahkan masalah karier, tidak ada masalah bagi diri pegawai dalam meniti kariernya. Sesuatu yang sangat baik dimana proses dan pengembangan karier yang dapat menjanjikan berbagai pilihan atas jalur-jalur karier. Secara visual, jalur karier dapat menunjukkan katerkaitan suatu jabatan dengan jabatan lainnya. Ini berarti jalur karier mengarahkan karier pegawai berdasarkan urutan jabatan/profesi/posisi dengan pertimbangan kemiripan, kesesuaian dan keterkaitan tugas (task) dan permintaan (requirement) pada posisi serta hirarki jabatan. Perumusan jalur karier dapat membawa menfaat besar bagi seorang pegawai. Pegawai dapat menatap ke depan mengenai rencana kariernya dalam suatu organisasi, mengenai posisi apa yang ingin dia raih sepanjang kehidupan kariernya pada organisasi tersebut.

Budaya Lokal Di Sulawesi Selatan


Dalam komunitas masyarakat Sulawesi Selatan terdapat tiga budaya masyarakat yang menonjol, yaitu budaya Bugis, budaya Makassar dan budaya Tana Toraja. Komunitas Bugis mendiami daerah sebagian Pangkep, Barru, Parepare, Soppeng, Bone, Wajo, Sinjai, Sidrap, Pinrang, dan sebagaian Makassar. Sedangkan Suku Makassar mendiami Sebagian Kota Makassar, sebagian Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa, Selayar dan Makassar. Sedangkan Suku Tata Toraja secara geografis menempati daerah Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidrap bagian Utara, Kabupaten Enrekang, (Mamasa, Mamuju Sulawesi Barat) dan Kabupaten Tana Toraja sebagai intinya. Cukup banyak referensi yang menguraikan bhwa suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana dia berada, baik dari aspek sosial, budaya, ekonomi, maupun politik lokal. Lingkungan budaya daerah setempat memberi warna terhadap sikap dan perilaku birokrasi. Nilai-nilai budaya lokal dibawa oleh pejabat dan birokrat dalam sistem organisasi sehingga mempengaruhi bekerja dan bertindaknya sistem birokrasi yang bersangkutan. 1. Pengaruh Nilai-nilai Budaya Bugis-Makassar (Siri, Pacce, dan Werre, Reso, Lempu) Penampilan kepribadian Bugis-Makasar dalam struktur organisasi dan pemerintahan, antara lain dipengaruhi pula oleh aturan-aturan adat orang Bugis-Makassar. Dalam budaya panggaderreng tergambar citra bagaimana seseorang Bugis-Makassar dimasa lalu harus bertingkah laku ketika menghadap Raja. Acara mengadap Raja (Arung) dalam tradisi orang Bugis disebut Makkasuwiang. Hasan Walinono (1979: 88-89) menyatakan bahwa Makkasuwiang terwujud pada berbagai tindakan, seperti menyembah, membawa barang hantaran, melakukan pekerjaan tertentu untuk kepentingan yang di-kasuwiangi dan sebagainya. Demikian juga, kaidah-kaidah sopan santun, dan aturan dalam pergaulan --terutama bagi pejabat-- sangat dipentingkan, sehingga untuk diangkat menjadi pegawai atau pejabat harus mengetahui adat dan kebiasaan agar mudah menyesuikan diri dengan lingkungan birokrasi. Dalam praktek birokrasi, pola hubungan antara pejabat dengan staf dapat dilihat dari etika bila seorang warga masyarakat menghadap kepada para pejabat mulai dari Camat, Kepala Dinas, Pimpinan Unit Kerja, Bupati/Walikota, dan Gubernur. Dengan sendirinya tingkah laku (sikap dan perilaku) semacam itu mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung perilaku birokrasi pemerintah lokal dalam konteks yang berbeda, yaitu dalam sikap hubungan antara atasan dengan bawahan. Dalam penelitian ini, budaya daerah didefinisikan sebagai suatu nilai-nilai dasar yang menjadi pegangan bagi anggota masyarakatnya dalam kehidupan untuk menjadi acuan sikap dan

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

11

tingkah laku baik dalam kehidupan pribadi maupun berkelompok. Nilai-nilai budaya tersebut meliputi siri, pacce, reso, dan lempu. Siri merupakan suasana hati dalam masyarakat yang merupakan sistem nilai sikap bertindak untuk memantapkan perasaan motivasi-motivasi dengan membentuk keteraturan tindakan Abu Hamid (2005:xii). Peran nilai Siri dalam kehidupan pembangunan sangat penting. Oleh karena itu nilai-nilai siri harus diintepretasikan secara lebih nyata dalam kehidupan masyarakat. Ketika nilai siri merupakan taruhan harga diri, maka harga diri tersebut harus diangkat melalui kerja keras, berprestasi, berjiwa pelopor dan senantiasa berorientasi keberhasilan. Harga diri juga terangkat atas dukungan rasa passe (Bugis) atau pacce (Makassar), yaitu solidaritas terhadap orang lain sebagai partisipasi sosial. Passe adalah iba hati melihat sesama warga yang mengalami penderitaan atas perbuatan orang lain (Hamid, 2005:xiii). Siri menurut Andi Zainal Abidin (1979) mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu: (1) Siri Ripakasiri, yang terjadi manakala seseorang menghina atau memperlakukan sesamanya di luar batas kemanusiaan yang adil dan beradab, di depan umum atau pelanggaran terhadap martabat keluarga sesuai dengan ade, dan (2) Siri Masiri, pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu persepsi, yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi siri (martabat) orang itu sendiri, demi siri keluarga dan kelompok. Siri jenis ini melahirkan tekad yang kuat dan motivasi yang hebat untuk maju. Passe atau pacce adalah solidaritas yang tinggi yang didasarkan pada rasa senasib atau sependeritaan atau kehormatan kelompoknya. Sare atau Werre secara harfiah berarti pemberian, namun dalam konsep Bugis-Makassar, diartikan pula sebagai nasib. Dalam pengertian ini, masyarakat Bugis-Makassar percaya dan yakin bahwa nasib seseorang ditentukan oleh hasil usahanya, dan kemampuan pribadinya melalui kerja keras. Menurut Abidin (1979) ketiga konsep kepribadian dan sikap hidup orang (masyarakat) Bugis-Makassar, yaitu siri, pass/pacce, dan werre, merupakan nilai-nilai yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai pendorong dalam pembangunan. Konsep tentang kerja dan berusaha, dalam kebudayaan Bugis-Makassar, tersimpul dalam konsep Reso, yaitu ketekunan dan kerajinan dalam konsep. Reso merupakan salah satu nilai utama orang Bugis-Makassar, yang menegaskan bahwa untuk memperbaiki hidup manusia, haruslah ia bekerja keras dan berusaha sepenuh-penuhnya, untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan keluarganya dan masyarakat (Abdullah, 1982:172). Reso juga mengandung arti harus sabar dan tabah, karena mungkin saja suatu pekerjaan itu amat berat dan mengandung resiko, dan mungkin hasilnya tidak segera dapat dilihat. Dalam hubungannya dengan konsep kerja, maka nilai-nilai Bugis-Makassar, mengandung pula dorongan untuk berprestasi, dan mendorong persaingan (competition). Semangat untuk bersaing antara lain terkandung dalam anjuran untuk selalu berusaha di depan, dan jangan mau didahului untuk mencapai atau memulai sesuatu yang berguna. Dalam Lontara, nilai-nilai utama itu diharapkan menjadi pedoman dan bagian dari kepribadian orang (masyarakat) Bugis-Makassar. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut tidak hanya diberi pengertian dan interpretasi, melainkan diberi contoh pelaksanaannya dalam kehidupan masyarakat. Siri merupakan suatu etos kerja bagi masyarakat Bugis/Makassar, karena dalam konsep Siri mengandung etos kerja yang tinggi. Etos merupakan sifat karakter, kualitas hidup, moral dan gaya estetika serta susunan hati seseorang atau masyarakat (Hamid, 2005:3). Dalam studi sejarah Budaya, budaya Siri pernah mendorong dinamika masyarakat pada masa pemerintahan raja-raja dan masa perjuangan kemerdekaan. Dewasa ini, budaya Siri sudah mengalami pergeseran nilai, bukannya dijadikan dorongan berprestasi dan menimbulkan kreativitas untuk merasa malu kalau berbuat salah atau tidak melakukan ketentuan yang berlaku dan menghianati janji dan disiplinnya, melainkan ditarik lebih sempit pada ketersingungan rasa harga diri dan martabat keluarga serta asal keturunannya (Hamid, 2005:8). Dalam penelitiannya tentang siri, Mattulada (2005:67) menunjukkan bahwa siri adalah nilai yang bersifat fundamental, regulator sistem social; etos kebudayaan. Mattulada (2005) mengeksplorasi siri sebagai nilai yang esensial dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar terutama dalam dua hal, yaitu Siri sebagai harga diri (dignity), dan Siri sebagai keteguhan hati. Siri sebagai harga diri adalah kelayakan dalam kehidupan sebagai manusia yang diakui dan

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 12

diperlakukan sama oleh setiap orang terhadap sesamanya. Orang-orang yang tidak memperoleh perlakuan yang layaknya dari sesamanya itu merasa harga dirinya terlanggar. Kalimat Bahasa Makassar disebut : napakasiri ka. Sedangkan Siri sebagai keteguhan hati atau dalam kalimat Makassar disebut tu tinggi Siri na, adalah seorang yang mampu menentukan sikap sesuai dengan kebenaran dari ketepatan hati nuraninya yang benar. Ia tidak mudah terombang ambing oleh desakan atau ancaman dari luar dirinya. Termasuk dalam hal ini orang yang kuat imannya, teguh kepribadiannya dan sejenisnya (Mattulada, 2005: 70). Merujuk uraian tentang Budaya Bugis-Makassar , maka dapat ditarik benang merah bahwa nilai-nilai budaya lokal telah menjadi fondasi yang kuat dalam membentuk pola perilaku orangorang dan masyarakat Bugis-Makassar dalam berinteraksi, baik dalam masyarakat maupun dalam organisasi birokrasi. 2. Budaya Masyarakat Toraja Suku Toraja memiliki warisan budaya yang tinggi yaitu budaya tongkonan. Tongkonan banyak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Toraja, terutama dalam fungsinya sebagai tempat pembentukan dan pembinaan kesatuan dan persatuan keluarga dan masyarakat, yang dapat dianggap sebagai salah satu ciri kepribadian suku Toraja (Sahriah, 1977:2). Menurut Paranoan (1881:23), ada tiga fungsi utama tongkanan bagi masyarakat Toraja, yaitu: (1) sebagai sumber dan pelaksana peraturan adat, (2) sebagai wadah pemersatu keluarga, (3) sebagai wadah pemelihara warisan. Menurut suku Toraja, manusia terdiri atas 4 (empat) tingkatan (tana), yaitu: Tana Bulaan (Bangsawan-keturunan Tomanurun); Tana Bassi (bangsawan); Tana Karurung (rakyat biasa); Tana Kua-kua (hamba-keturunan Pong Pakulando). Tongkonan sebagai wadah pemersatu keluarga mengandung fungsi bahwa suku Toraja mempunyai sistem kekerabatan bilaterial dan parental. Secara himpunan kelamin, suku Toraja tergolong sebagai masyarakat bilateral kelamin, yaitu ayah, ibu dan anak yang menjadi tanggung jawab anak dan ibu. Oleh karena itu, perkawinan yang menonjol pada suku Toraja adalah perkawinan sepupu. Nilai kekeluargaan dan kebersamaan tidak saja mempengaruhi perilaku masyarakat Toraja sehari-hari, akan tetapi turut membentuk perilaku birokrat dalam mengelola tugas dan fungsi birokrasi Pemerintah Daerah secara keseluruhan. Secara fungsional Tongkonan berfungsi sebagai pusat pedoman bertingkah laku dalam interaksi sosial antara warga Tongkonan dan masyarakat pada umumnya (Paranoan, 1981:35). Pedoman tingkah laku tersebut terwujud dalam bentuk norma-norma, aturan-aturan seperti mendirikan rumah, upacara ritual, bercocok tanam perkawinan, sistem pewarisan dan penyelenggaraan pemerintahan. Konsep nilai budaya Toraja tidak berbeda jauh dengan konsep nilai budaya Bugis/Makassar, hal ini seperti yang diakui oleh Salombe (2005:99) bahwa dalam kosa kata bahasa Toraja terdapat kata Siri sebagai kata benda yang dapat berarti perasaan malu dan dapat juga berarti harga diri. Demikian juga nilai Pesse bagi masyarakat Bugis/Makassar mengandung makna yang sama dengan masyarakat Toraja sebagai rasa kebersamaan dan kekrabatan yang tinggi dalam kelompok. Dalam penelitian ini nilai-nilai Bugis/Makassar dan Toraja dapat direduksi menjadi tiga konsep utama yang dijadikan variabel, yaitu; pertama Siri adalah suatu sistem nilai sosio-kultural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Siri merupakan pandangan hidup yang bertujuan untuk mempertahankan harkat dan martabat pribadi, orang lain atau kelompok/organisasi. Kedua, Pesse adalah rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, yang menggelorakan semangat rela berkorban, bekerja keras dan pantang mundur. Ketiga, Werre dimana merupakan kepercayaan pada diri sendiri yang teguh, bahwa hanya dengan ketekunan dan kerajinan yang dilandasi dengan kecakapan, kejujuran, kebenaran, ketegaran dan kesabaran nasib seseorang atau masyarakat dapat diperbaiki.

Budaya Organisasi
Kreitner & Kinicki (2005:79) melihat budaya organisasi sebagai nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas organisasi. Adapun Robbins (2003:305) mengamati bahwa budaya

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

13

organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dengan organisasi-organisasi lain. Berkaitan dengan konteks tersebut, Schein (1997: 12) mendefiniskan budaya organisasi sebagai a pattern of shared basic assumptions that group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel relation to those problems. Definisi ini mengandung tiga karakteristik budaya organisasi yang paling penting, yaitu pertama, budaya organisasi diberikan kepada pegawai baru melalui proses sosialisasi; kedua, budaya organisasi mempengaruhi perilaku manusia ditempat kerja; dan ketiga budaya organisasi berlaku pada dua tingkat yang berbeda. Masing-masing tingkat bervariasi dalam kaitannya dengan pandangan ke luar dan kemampuan bertahan terhadap perubahan. Budaya organisasi merupakan wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut merasakan, memikirkan, dan bereaksi terhadap lingkungan yang beranekaragam. Konsep budaya organisasi seperti yang dikemukakan oleh Schein (1997:52) juga mengandung tiga dimensi utama, yaitu: 1. Budaya organisasi menjadikan organisasi bertahan dan mampu beradaptasi terhadap pengaruh lingkungan eksternal (surviving in and adapting to external environment). Untuk dimensi ini, organisasi memiliki lima elemen penting, yaitu mission and strategy, goals, means, measurement and correction). 2. Dimensi kemampuan mengelola integrasi internal (managing internal integration). Untuk mengelola integrasi internal dengan baik, ada enam elemen penting bagi organiasasi, yaitu creating a command language and conceptual categories; defining group boundaries and criteria for inclusion and exclusion; distributing power and status; developing norms of intimacy, friendship, and love; defining and allocating rewards and punishment; and explaining the unexplainable ideology and religion (menciptakan kesamaan bahasa dan kategori konsep; mendefinisikan batas-batas kelompok dan kriteria keluar masuknya anggota kelompok; distribusi kekuasaan dan status; pengembangan norma-norma keintiman, pertemanan dan kecintaan; mendefiniskan dan menerapkan penghargaan dan sanksi dan menjelaskan ideology dan agama yang tidak dapat dijelaskan. 3. Dimensi realitas, kepercayaan, waktu dan ruang (reality, truth, time and space). Enam faktor penting berhubungan dengan dimensi ketiga ini adalah the nature of reality and truth (alam realitas dan kebenaran), nature of time (alam waktu), nature of space (alam ruang), nature of human nature (alam kehidupan manusia), nature of human activity (alam aktivitas manusia), and nature of human relationships (alam hubungan antar manusia). Senada dengan Schein, menurut Kreitner & Kinicki (2005:83) ada empat fungsi utama budaya organisasi: (1) memberikan identitas organisasi kepada pegawainya; (2) memudahkan komitmen kolektif; (3) mempromosikan stabilitas sistem social; dan (4) membentuk perilaku dengan membantu manajer merasakan keberadaannya. Makna yang mendasar yang membangun budaya organisasi adalah nilai-nilai yang dimiliki organisasi. Nilai merupakan keyakinan yang dipegang teguh dan tampil dalam tingkah laku (Kreitner & Kinicki, 2005:79). Nilai dikategorikan menjadi dua, ada nilai yang mendukung (espoused values) merupakan nilai dan norma yang telah dibuat organisasi dan nilai yang diperankan (enacted values), yaitu nilai dan norma yang dimiliki pegawai. Hasil penelitian Kabanoff dan Hott sebagaimana dirujuk Kreitner & Kinicki (2005), mereka mengelompokkan tipologi nilai yang didasarkan pada norma pengharagaan antarorganisasi dan struktur kekuasaan organisasi. Norma kekuasaan organisasi menunjukkan keyakinan fundamental organisasi mengenai bagaimana penghargaan harus dialokasikan. Menurut norma penghargaan yang setara, penghargaan harus sebanding dengan konstribusi. Sebaliknya sistem nilai berorientasi kepada egalitarian dimana menghendaki agar organisasi memberikan penghargaan yang sama pada setiap pegawai, tanpa menghiraukan konstribusi komparatif mereka. Menurut Kabanoff dan Hott (Kreitner & Kinicki, 2005), ada empat tipe sistem nilai, yaitu elit,

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 14

meritokratis, kepemimpinan dan kolegial. Masing-masing sistem nilai terdiri dari seperangkat nilai yang diperkuat dan didukung oleh tipe sistem nilai dan seperangkat nilai yang tidak konsisten atau dikecilkan oleh sistem nilai itu sendiri (Kreitner & Kinicki, 2005:82). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, yang dilakukan terhadap 85 organisasi Australia selama Tahun 1986-1990, menunjukkan bahwa perubahan organisasi tampaknya tidak berhasil bila didasarkan pada seperangkat nilai yang sangat tidak konsisten dengan nilai-nilai individu pegawai. Hasil penelitian tersebut juga menemukan empat kecenderungan yang menarik mengenai empat tipologi organisasi, yaitu: (1) nilai organisasi cukup stabil dalam waktu empat tahun. Hal ini mendukung pandangan bahwa nilai-nilai bersifat relatif stabil dan bertahan terhadap perubahan; (2) Tidak terdapat gerakan universal pada satu tipe sistem nilai. Temuan ini menunjukkan bahwa tidak ada budaya atau sistem nilai organisasi yang terbaik; (3) organisasi dengan sistem nilai elit mengalami sejumlah besar perubahan dalam periode empat tahun. Organisasi elit cenderung menjadi kolegial. Temuan ini konsisten dengan penelitian yang terdahulu bahwa dua pertiga dari pegawai mengindikasikan bahwa mereka menginginkan lebih banyak pengaruh atau pembuatan keputusan dalam pekerjaan mereka; dan (4) terdapat peningkatan jumlah terhadap keseluruhan organisasi yang mendukung nilai individu komitmen pegawai. Pandangan ini konsisten dengan gagasan bahwa sukses organisasi sebagian tergantung pada taraf di mana para pegawai terikat pada organisasinya. Sementara itu, tipologi budaya organisasi yang lain dikemukakan oleh Cooke and Szumal (1993). Menurut mereka tipe budaya organisasi dibagi menjadi 3 (tiga) tipe yaitu konstruktif, pasifdefensif, dan agresif-defensif (Cooke and Szumal, 1993: 1299-1330:). Setiap tipe berhubungan dengan seperangkat keyakinan normatif yang berbeda. Keyakinan normatif mencerminkan pemikiran dan keyakinan individual mengenai bagaimana anggota dari organisasi tertentu diharapkan menjalankan tugasnya dan berinteraksi dengan orang lain. Budaya konstruktif adalah budaya dimana pegawai didorong untuk berinteraksi dengan orang lain dan mengerjakan tugas dan proyeknya dengan cara yang akan membantu mereka dalam memuaskan kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang. Pandangan ini sejalan dengan tipe budaya komunial yang dikemukakan oleh Goffee dan Jones (1998). Tipe budaya konstruktif mendukung keyakinan normatif yang berhubungan dengan pencapaian tujuan aktualisasi diri, pengharagaan yang manusiawi dan persatuan. Sebaliknya budaya pasif-defensif bercirikan keyakinan yang memungkinkan pegawai berintraksi dengan pegawai lain dengan cara yang tidak mengancam keamanan kerjanya sendiri. Budaya ini mendorong keyakinan normatif yang berhubungan dengan persetujuan, konvensional, ketergantungan, dan penghindaran. Sedangkan tipe budaya agresif-defensif mendorong pegawainya untuk mengerjakan tugasnya dengan keras untuk melindungi keamanan kerja dan status mereka. Tipe budaya ini lebih bercirikan keyakinan normatif yang mencerminkan oposisi, kekuasaan, kompetitif, dan perfeksionis. Secara faktual, budaya organisasi dapat dilihat dari yang berwujud fisik dan nonfisik seperti gaya berbusana, penghargaan, mitos, nilai-nilai yang dipublikasikan, upacara dan ritual, tempat parkir khusus, dekorasi dan sebagainya. Pada tingkat yang tidak terlihat, budaya organisasi merefleksikan nilai-nilai dan keyakinan yang dimiliki oleh anggota organisasi. Nilai-nilai tersebut cenderung berlangsung dalam waktu yang lama dan lebih tahan terhadap perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi mengandung lingkup dan kategori yang cukup luas, yang oleh Schein (1997:10) dikelompokkan dalam sepuluh kategori, yaitu: (1) Pengamatan perilaku yang berulang ketika orang berinteraksi, bahasa yang digunakan, kebiasaan dan tradisi yang ada, dan ritual-ritual yang mereka lakukan pada situasi yang beragam; (2) norma-norma kelompok; (3) nilai-nilai pendukung; (4) filosofi formal; (5) aturan main; (6) iklim; (7) keterampilan yang melekat; (8) kebiasan berpikir, model mental, dan atau pola bahasa; (9) saling memahami; (10) root metaphors atau simbol-simbol yang melekat.

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

15

Berkaitan dengan hal itu, Hofstede (1997) juga mengemukan ciri pokok budaya organisasi, yaitu (1) merupakan satu kesatuan yang integral dan saling terkait, (2) budaya organisasi merupakan refleksi sejarah dari organisasi yang bersangkutan, (3) berkaitan dengan hal-hal yang dipelajari oleh para antropolog, seperti ritual, simbol, cerita dan ketokohan, (4) lahir dari konsensus bersama, (5) budaya organisasi sulit berubah. Nilai-nilai dari budaya masyarakat membentuk budaya organisasi. Mengacu pada kategori budaya seperti yang dikemukakan Schein, sebenarnya birokrasi pemerintah telah menetapkan beberapa nilai budaya seperti yang tercermin dari PP No. 10 Tahun 1979, tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan. Unsur-unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan meliputi nilai-nilai kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa dan kepemimpinan. Nilai-nilai tersebut tidak pernah diterapkan secara konsisten sehingga kurang berfungsi sebagai pembentuk perilaku utama birokrasi. Dalam upaya membentuk nilai-nilai budaya birokrasi, Pemerintah telah menetapkan kebijakan pengembangan budaya kerja aparatur/birokrasi melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur negara Nomor 25/2002. Nilai-nilai utama budaya kerja aparatur meliputi : Komitmen dan konsisten terhadap visi, misi dan tujuan organisasi; Wewenang dan tanggung jawab; Keikhlasan dan kejujuran; Integritas dan profesionalisme; Kepemimpinan dan keteladanan; Kebersamaan dan dinamika kelompok; Ketepatan dan kecepatan; Rasionalitas dan kecerdesan emosi; Keteguhan dan ketegasan; Disiplin dan keteraturan kerja; Keberanian dan kearifan; Dedikasi dan loyalitas; Semangat dan motivasi; Ketekunan dan kesabaran; Keadilan dan keterbukaan; dan Ilmu pengetahuan dan teknologi. Budaya kerja tersebut di atas sejalan dengan tipologi nilai-nilai budaya seperti yang dikemukakan oleh Schein, seperti (1) norma-noma kelompok/organisasi sama dengan nilai-nilai keadilan dan keterbukaan, keberanian dan kearifan, wewenang dan tanggung jawab, kepemimpinan dan keteladanan, kebersamaan dan dinamika kelompok; dan keteguhan dan ketegasan (2) filosofi formal sama dengan nilai-nilai komitmen dan konsisten terhadap visi, misi dan tujuan organisasi; (3) aturan main berarti nilai-nilai disiplin dan keteraturan kerja; (4) iklim sama dengan nilai-nilai keadilan dan keterbukaan; (5) keterampilan yang melekat sama dengan nilai-nilai Ilmu pengetahuan dan teknologi; (6) kebiasan berpikir, model mental, dan atau pola bahasa; sama dengan semangat dan motivasi, ketekunan dan kesabaran; keikhlasan dan kejujuran; Integritas dan profesionalisme; ketepatan dan kecepatan; rasionalitas dan kecerdesan emosi dan (7) saling memahami memiliki makna dedikasi dan loyalitas dan (8) root metaphors atau simbol-simbol yang melekat Dari kategori nilai seperti yang dikemukakan di atas, dalam kajian ini budaya birokrasi dapat didefinisikan sebagai suatu nilai-nilai dasar yang menjadi acuan dalam berpikir, bersikap dan berperilaku yang telah terinternalisasi dalam diri dan kelompok dimiliki oleh setiap anggota organisasi menjadi identitas diri berinterksi dalam organisasi. Dalam tulisan yang berjudul People and Organization Culture J. Chartman dan D.P. Caldwell (Robbins, 2003:305) mengidentifikasi karakteristik utama budaya, yaitu inovasi dan pengambilan resiko; perhatian ke rincian, orientasi hasil, orientasi orang, orientasi tim, keagresifan, dan kemantapan. Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian yang dilakukan Goffee dan Jones (1998) telah mengidentifikasi dua jenis budaya organisasi yang berbeda, yaitu: a. Sosiabilitas. Ini suatu ukuran persahabatan. Sosiabilitas yang tinggi berarti orang melakukan hal-hal yang baik satu terhadap yang lainnya tanpa mengharapkan untuk mendapatkan imbalan dan berhubungan satu sama lain dengan cara yang ramah dan bersahabat. Berdasarkan kajian sebelumnya, sosiabilitas itu konsisten dengan satu orientasi orang yang tinggi, oreintasi tim yang tinggi, dan focus pada proses, bukan pada hasil. b. Solidaritas, yaitu ukuran dari orientasi tugas. Solidaritas tinggi berarti orang dapat mengabaikan bias pribadi atau berkumpul di balik kepentingan bersama dan tujuan bersama. Merujuk pada beberapa kajian sebelumnya, solidaritas ini konsisten dengan perhatian yang tinggi terhadap keagresifan yang rinci dan tinggi.

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 16

Dari dua sumbu sosiabilitas dan solidaritas di atas, Goffee dan Jones membaginya menjadi empat tipe budaya, yaitu: 1. Budaya jaringan, yaitu tinggi pada sosiabilitas, rendah pada solidaritas. Organisasiorganisasi ini memandang anggota sebagai keluarga dan sahabat. Orang saling mengenal dan senang satu sama lain. Orang dengan senang hati memberikan bantuan kepada yang lain dan secara terbuka berbagi informasi. Aspek negatif yang besar diasosiasikan dengan budaya ini adalah bahwa fokus pada persahabatan dapat menimbulkan rasa toleransi terhadap orang-orang yang berkinerja jelek dan penciptaan klik-klik politik. 2. Budaya Upahan (rendah pada sosiabilitas; tinggi pada solidaritas). Organisasi-organisasi ini sangat fokus terhadap tujuan. Orang sangat bersemangat dan ditetapkan untuk mencapai tujuan. Mereka mempunyai semangat untuk melakukan segala sesuatu secara cepat dan sangat peka terhadap tujuan. Budaya upahan tidak hanya sekedar menang; mereka juga menghancurkan musuh. Fokus pada tujuan dan sasaran yang ingin dicapai organisasi. Sisi bawah dari budaya ini adalah bahwa ia dapat mengarah ke suatu perlakuan yang hampir tidak manusiawi terhadap orang yang dipahami sebagai orang yang berkinerja rendah. 3. Budaya Fragmen (rendah pada sosalibilitas; dan rendah pada solidaritas). Organisasiorganisasi ini terdiri dari kaum individualis. Komitmen adalah yang pertama dan terutama bagi individu dan tugas-tugas jabatan mereka. Tidak ada atau hanya sedikit ada identifikasi dengan organisasi. Dalam budaya fragmen, pegawai dinilai hanya dengan produktivitas dan mutu kerja mereka. Hal-hal yang negatif yang besar dalam budaya ini adalah kritik yang besar terhadap orang lain dan tidak adanya kolegialitas. 4. Budaya komunal (tinggi pada sosiabilitas, tinggi pada solidaritas). Kategori yang terakhir ini menghargai baik persahabatan maupun kinerja. Orang punya rasa memiliki tetapi masih ada fokus yang ketat pada pencapaian tujuan. Pemimpin dari budaya ini cenderung inspirational dan karismatik, dengan satu visi yang jelas tentang masa depan organisasi. Sisi bawah dari budaya-budaya ini adalah bahwa mereka sering mengkomsumsi keseluruhan kehidupan seseorang. Para pemimpin kharismatik mereka sering berupaya menciptakan murid dan bukannya pengikut, menghasilkan satu iklim kerja yang hampir menyerupai kultus. Berdasarkan uraian konsepsi budaya organisasi yang dikemukakan Schein (1997), Goffee dan Jones (1998), Kabanoff & Hott, dan Chartman & Caldwell maka dapat digarisbawahi bahwa budaya organisasi memiliki karakteristik tipologi budaya dalam pendekatan yang menghubungan dua kepentingan yang berbeda. Dua kepentingan dimaksud adalah kepentingan dari perspektif individu manusia, yaitu terkait dengan kebutuhan, inisiatif, penghargaan dan keamanan; dan kepentingan dari perspektif kelompok dan organisasi, yaitu berhubungan dengan komitmen pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan nilai-nilai utama yang harus dipenuhi. Mencermati kajian yang dilakukan oleh Goffe dan Jones (1998), maka diketahui bahwa hasil kajiannya lebih mereduksi variabel-variabel individu dan organisasi yang terwakili dari budaya jaringan, fragmen, upahan dan komuninal. Tipe tersebut dipandang cocok untuk menjelaskan budaya birokrasi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan. Hal ini terutama berkaitan dengan tingkat abstraksi teorinya yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena birokrasi yang lebih mementingkan diri sendiri ketimbang masyarakat yang harus dilayani sebagai sasaran akhir dari tujuan birokrasi Pemerintah Daerah.

Perilaku Birokrasi
Perilaku birokrasi pada hakikatnya merupakan hasil interaksi antara individu-individu dengan organisasinya (Thoha, 2002:185). Individu membawa ke dalam tatanan birokrasi kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan, kebutuhan dan pengalamannya. Sedangkan birokrasi sebagai sistem untuk merasionalkan tindakan manusia dengan adanya keteraturan yang

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

17

baku, pembagian kerja, tugas jabatan, wewenang dan tanggung jawab, sistem penggajian serta sistem pengendalian. Perbedaan-perbedaan karakteristik individu mempengaruhi perilaku organisasi. Pejabat birokrasi memiliki faktor pribadi yang mempengaruhi sikap dan perilaku mereka dalam menjalankan tugas organisasi. Karakteristik birokrasi menentukan pola perilaku pegawai dalam mencapai tujuan organisasi. Faktor struktur, tugas, sistem reward, sistem pengendalian dan pengawasan serta hubungan hirarki dapat mempengaruhi pegawai dalam berperilaku. Orientasi utama perilaku adalah mencapai tujuan organisasi birokrasi. Perilaku birokrasi dapat timbul karena adanya interaksi antara karakteristik individu dengan birokrasi dalam menjalankan tugasnya. Thoha (1991), kemudian mengartikan perilaku birokrasi sebagai hasil interaksi antara individu-individu, organisasi dengan lingkungannya. Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan perilaku birokrasi adalah pola interaksi antar individu, organisasi dan lingkungan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Birokrat memiliki kemampuan, sikap dan motivasi. Sementara birokrasi sebagai suatu sistem memiliki ciri berupa adanya desain pekerjaan, rentang kendali, sistem karier dan sistem penghargaan dan sanksi. Keith Davis (1985:223) menyebutkan bahwa terdapat empat model perilaku organisasi sesuai dengan kecenderungan perubahan, yaitu model otokratik, model kustodial, model suportif dan model kolegial. Kecenderungan model ini searah dengan kecenderungan perubahan pengelolaan organisasi yang menekankan pada kebutuhan tingkat tinggi, yaitu sistem yang terbuka, orientasi manusia, penyebaran kuasa, motivasi instrinsik, sikap posistif tentang orang-orang, keseimbangan fokus pada kebutuhan pegawai dan organisasi, swadisplin dan peran manajemen atas dasar kepemimpinan dan dukungan tim.
Gambar 2 Model Perilaku Organisasi
Otokratik Basis Kuasa Orientasi manajerial Orientasi Pegawai Kuasa Wewenang Kepatuhan Kustodial Sumber Daya ekonomi Uang Rasa Aman dan Maslahat Hasil Psikologis Pegawai Kebutuhan pegawai Bergantung pada atasan Kebutuhan pokok Hasil Prestasi Minim Kerjasama pasif Timbulnya dorongan Antusiasme secukupnya Bergantung pada organisasi Rasa aman Partipasipasi Status dan Pengakuan Swadisiplin Perwujudan diri Suportif Kepemimpinan Dukungan Prestasi Kerja Kolegial Kemitraan Kerja Tim Tanggung jawab

HUBUNGAN DENGAN TEORI MOTIVASI Hiraki Kebutuhan Dua Faktor Lingkungan Motivasional Teori McGregor Gaya Kepemimpinan Managerial Grid Fisiologis Pemeliharaan Ekstrinsik Teori X Negatif 9,1 Rasa Aman Pemeliharaan Ekstrinsik Teori X Kebanyakan netral dalam pekerjaan 3,5 Kebutuhan tingkat menengah Motivasi Instrinsik Teori Y Positif 6,6 Kebutuhan Tingkat Tinggi Motivasi Instrinsik Teori Y Positif 8,8

Sumber: Diadaptasi dari Keith Davis, 1985.

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 18

Dari perspektif model perilaku organisasi seperti tersebut diatas, Davis, (1985:224) menjelaskan kecenderungan perubahan perilaku organisasi dari karakteristik yang tertutup kearah sistem terbuka, dari orientasi materialistik ke orientasi manusia, pemusatan kekuasaan kearah penyebaran kekuasaan. Pegawai memiliki motivasi ekstriksik menjadi motivasi instriksik. Setiap orang memiliki sikap negatif terhadap orang menjadi memiliki sikap positif terhadap orang lain. Dalam penelitian ini pola perilaku birokrasi mengacu pada pola yang dikemukakan oleh Davis (1985) pola otokratik, pola kustodial (pemeliharaan), pola suportif dan pola kolegial. Pola merupakan abstraksi empiris tentang perilaku birokrasi atas kenyataan yang terjadi sebagai akibat adanya tuntutan dari birokrasi untuk melaksanakan misinya dan tuntutan birokrat untuk memenuhi kebutuhannya. Pada model di atas jelas terdapat dua sumbu yang saling berinteraksi. Sumbu yang satu berkaitan dengan tuntutan dari birokrasi untuk melaksanakan misinya dengan efisien dan efektif, sementara pada sumbu yang lain adalah tuntutan pejabat/birokrat untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi, secara ekstrim, perilaku birokrasi yang dapat memenuhi kedua kepentingan, yaitu kepentingan organisasi dan kepentingan birokrat secara optimal merupakan model perilaku kolegial. Sebaliknya, perilaku birokrasi yang lebih dominan memenuhi kepentingan birokrat ketimbang kinerja birokrasi disebut model perilaku otoriter.

Hasil Penelitian Yang Relevan Dengan Perilaku Birokrasi Pemerintah


Munadah (2006) meneiliti tentang Studi perilaku birokrasi orang Makassar di Kabupaten Gowa, menunjukkan bahwa birokrasi yang diperankan oleh orang-orang Makassar merupakan sistem sosial budaya yang bertumpu pada penghayatan dan pengamalan terhadap nilai-nilai siri dalam sistim social panggandakkang pada interaksi pelayanan public. Nilai-nilai siri mendorong tumbuhnya sikap dan perilaku; jujur, cerdas dan berani yang merupakan suatu kesatuan yang utuh. Akan tetapi siri telah mengalami pergeseran makna dan fungsi yang sudah berbeda dari akarnya dalam performans birokrasi. Siri lebih bermakna menjaga rasa malu di depan public ketimbang menjaga substansi harga diri, memelihara moral dan kepercayaan. Siri lebih dimaknai sebagai penjaga status dan jabatan daripada martabat dan kualitas diri. Karena itu kejujuran, kecerdasan dan keberanian tidak lagi menjadi standar dalam rekruitmen dan kepemimpinan. Dalam pengaruh birokrasi siri dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan jabatan,Munadah (2006). Studi yang sama ditunjukkan Abdullah (1982) tentang Birokrasi dan Pembangunan Nasional: Studi tentang Peranan Birokrasi Lokal Dalam Implementasi Program-Program Pembangunan di Sulawesi Selatan. Salah satu aspek yang menonjol adalah adanya pengaruh budaya lokal yang bersifat positif dalam birokrasi terutama dalam implementasi program-program pembangunan. Dua penelitian di atas menunjukkan yang berbeda untuk variabel pengaruh budaya lokal. Penelitian pertama menunjukkan bahwa pengaruh budaya lokal dalam perilaku birokrasi orang Makassar cukup besar, akan tetapi nilai-nilai budaya tersebut telah mengalami perubahan makna sehingga mempengaruhi perilaku birokrasi, sedangkan penelitian yang kedua menunjukkan bahwa peran budaya lokal sangat mewarnai implementasi program-program pembangunan. Mariana (2007) meneliti tentang pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku pejabat publik di Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi yang dipengaruhi oleh nilai-nilai kolektif dan cenderung konservatif berpengaruh terhadap perilaku pejabat publik yang menyimpang. Immanuel (2006) telah meneliti pengaruh pengembangan organisasi dan budaya organisasi terhadap efektivitas keorganisasi Lembaga Perkreditan Desa di Bali, menunjukkan bahwa pengembangan organisasi, budaya organisasi berpengaruh terhadap efektivitas keorganisasian. Penelitian tentang Budaya Patron-klien terhadap perilaku birokrasi di Daerah dilakukan oleh Kausar A.S (2006) menujukkan bahwa budaya patron-klien sangat mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintah daerah, utamanya memperlemah kinerja birokrasi dengan perilaku birokrasi yang menyimpang. Gunawan (2004) yang meneliti pengaruh reformasi sistem birokrasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Kendari, dengan variable sistem birokrasi seperti struktur, perilaku

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

19

birokrat, unjuk kerja dan rekruitmen menunjukkan bahwa variabel-varaibel tersebut perpengaruh terhadap pelaksanaan otonomi, walaupun secara dimensional pengaruhnya sangat kecil. Parhusip (2006) telah melakukan penelitian tentang pengaruh desain pekerjaan dan kompetensi terhadap kepuasan kerja dan implikasinya kepada kinerja pegawai. Hasilnya secara deskriptif kepuasan desain pekerjaan dan kepuasan kerja rendah, namun secara korelatif memiliki hubungan. Kinerja birokrasi Indonesia tidak terlalu menggembirakan. Penelitian (PERC, Edisi, 18 Maret 2000) menyimpulkan bahwa birokrasi Indonesia dinilai termasuk buruk, dengan skor 8,0 dari kisaran skor 0 untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden. Penelitian ini juga menyimpulkan sebagian besar negara di kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers). Dalam analisis Gifford, dkk (1993) memetakan birokrasi dengan gejala lama dan yang akan datang. Birokrasi lama ditandai oleh Unskilled work, meaningless repetitive task, individual work, functional-based work, single skilled, power of bosses, coordination from above. Sedang Birokrasi yang diharapkan sesuai dengan tuntutan jaman adalah knowledge work, innovation and caring, team work, project-based work, multiskilled, power of customers/public/stakeholders, coordination among peers. Studi yang dilakukan oleh Center for Population and Policy Studies tentang pelayanan birokrasi Indonesia meliputi Sumatera Barat, DIY, Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pelayanan birokrasi masih diskriminasi, dengan alasan diskriminasi adanya perbedaan status sosial ekonomi, hubungan kekerabatan, dan besarnya uang jasa yang diberikan. Burhanuddin (2007) meneliti tentang studi perilaku birokrasi pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, dengan variabel karakteristik birokrat, sistem birokrasi budaya lokal, dan budaya organisasi terhadap perilaku birokrasi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah perilaku birokrasi bersifat transisional, disatu sisi praktek birokrasi masih tradisional dengan pola perilaku otokratik dan kustodial, disisi lain perilaku birokrasi berorientasi modern dengan pola perilaku suportif dan kolegial. Variabel karakteristik birokrat, system birokrasi, budaya lokal dan budaya organisasi menyebabkan transisi prilaku birokrasi pemerintahan daerah saat sekarang.

Kerangka Pikir
Seperti yang didiskusikan sebelumnya, bahwa perilaku birokrasi ditentukan oleh faktorfaktor individual dan organisasional sehingga muncul perilaku birokrasi, yang tentunya diwarnai oleh nilai-nilai budaya lokal dan budaya organisasi mempengaruhi perilaku birokrasi. Oleh karena itu analisis perilaku birokrasi memiliki keterkaitan dan korelasi dengan variabel karakteristik individual, sistem birokrasi budaya lokal dan budaya organisasi. Perilaku timbul untuk mencapai tujuan yang dapat diobservasi. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam sehingga dapat ditemukan penjelasan variabel-variabel dan hubungan antar variabel yang membentuk perilaku birokrasi.

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 20

Gambar 3 Kerangka Pikir Studi tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan

Karakteristik individu sebagai variabel utama meliputi kemampuan, sikap dan motivasi. Tiga faktor ini mewakili faktor-faktor yang merubah perilaku individu menjadi perilaku birokrasi. Tiga faktor ini pula dapat diberikan perlakuan untuk merubah dan mengembangkan individu sehingga kapasitasnya dapat ditingkatkan. Karakteristik sistem birokrasi yang utama mengendalikan perubahan perilaku dan standardisasi perilaku adalah desain pekerjaan, rentang kendali, sistim karier dan sistem reward dan punishment. Pengaruh Budaya Lokal dan budaya organisasi sangat dominan dalam menggerakkan roda birokrasi dalam mencapai misinya. Interaksi faktor individual birokrat dan sistem birokrasi dapat membentuk pola dan model perilaku birokrasi. Perilaku birokrasi terpola dalam empat dimensi utama, yaitu perilaku birokrasi otokratik, suatu perilaku yang lebih mementingkan diri sendiri, Kustodial, yaitu suatu perilaku birokrasi selalu menyandarkan diri pada sumber ekonomi dan sumber daya organisasi, tanpa banyak berkorban untuk organisasi; suportif, suatu perilaku birokrasi dimana dukungan individu terhadap kepentingan birokrasi diutamakan; dan perilaku kolegial, suatu perilaku yang selalu menyembangkan antara kepentingan manusia dengan organisasi secara simultan. Dalam struktur kerangka pikir seperti penjelasan diatas, maka kerangka pikir penelitian ini disusun sebagaimana dimodelkan pada Gambar 3.

Hipotesis
Hipotesis mayor dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: H1 = H0 = Ada hubungan karakteristik birokrat, sistem birokrasi, budaya lokal dan budaya organisasi terhadap empat perilaku birokrasi. Tidak ada hubungan karakteristik birokrat, sistem birokrasi, budaya lokal dan

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

21

budaya organisasi terhadap empat perilaku birokrasi. Berdasarkan hipotesis mayor tersebut di atas, dapat dirumuskan empat hipotesis minor, masing-masing sebagai berikut: Hipotesis minor 1 Hipotesis minor 2 Hipotesis minor 3 Hipotesis minor 4 Karakteristik birokrat berhubungan terhadap empat pola perilaku birokrasi. Sistem birokrasi berhubungan terhadap empat pola perilaku birokrasi. Budaya lokal berhubungan terhadap empat pola perilaku birokrasi. Budaya organisasi berhubungan terhadap empat pola perilaku birokrasi.

Metodologi
Sebagaimana penelitian perilaku organisasi, maka organisasi sebagai unit analisis untuk diteliti. Dengan demikian, unit analisis dalam penelitian ini adalah organisasi. Penelitian ini menggunakan metode survei, yaitu suatu penelitian yang dilakukan pada sampel untuk menggeneralisasi populasi. Lingkup penelitian dibatasi pada birokrasi pemerintahan yang melaksanakan tugas umum pemerintahan, meliputi Badan/Kantor Administrasi Kependudukan dan Cacatan Sipil, Pengawasan Bangunan dan Kecamatan. Penelitian ini dilaksanakan pada Birokrasi Pemerintah Kabupaten Kota Provinsi Sulawesi Selatan yang berfungsi melaksanakan tugas umum pemerintahan. Penentuan Kabupaten/Kota didasarkan atas wilayah geografis yang didiami oleh tiga etnis Sulawesi Selatan, yaitu Suku Bugis, Makassar dan Toraja. Hal ini diasumsikan bahwa aspek budaya berpengaruh terhadap perilaku birokrasi Pemerintah Daerah. Sehubungan hal tersebut lokasi penelitian ini meliputi : Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Wajo, dan Kabupaten Tana Toraja. Populasi penelitian ini adalah seluruh jenis organisasi perangkat daerah dan pejabat Pemerintah Kabupaten/Kota, meliputi: Sekretariat Daerah/DPRD, Badan, Dinas/Badan/Kantor dan Kecamatan. Selanjutnya untuk mendapat data yang komprehensip pada setiap organisasi perangkat daerah dipilih responden dengan jumlah 223 orang. Penentuan Sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penentuan Sampel Organisasi Perangkat Daerah berdasarkan teknik purposive sampling, yaitu cara penentuan sampel berdasarkan tujuan penelitian: Seperti tugas umum pemerintahan dilaksanakan Badan/dinas/kantor administrasi kependudukan dan catatan sipil, Dinas pengendalian dan pengendalian tata bangunan dan Kecamatan. 2. Teknik penarikan sampel Kecamatan dilakukan dengan acak sederhana (simple random sampling) dengan masing-masing yang mewakili setiap kabupaten/kota hanya satu kecamatan. Dengan demikian, Kecamatan tang dijadikan sampel adalah: (1) Kecamatan Manggala d Kota Makassar; Kecamatan Palangga pada Kabupaten Gowa; Kecamatan Pamana pada Kabupaten Wajo; Kecamatan Sangalla padaKabupaten Tana Toraja; 3. Teknik sampel berdasarkan wilayah geografis (Area Sampling); yaitu Daerah Kabupaten/Kota di Sulsel yang didiami oleh suku Bugis, Makassar dan Toraja. Daerah yang dominan didiami oleh suku Makassar adalah Kabupaten Gowa, sebagian Kota Makassar, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Selayar, dan sebagian Bulukumba. Sedangkan Daerah yang sebagian besar didiami oleh Suku Bugis adalah, Sebagian Makassar, Barru, Parepare, Sidrap, Pinrang, Bone, Wajo. Daerah yang sebagian besar didiami oleh suku Toraja adalah kabupaten Tana Toraja, Luwu, sebagian Palopo, sebagian Luwu Utara, sebagain Luwu Timur. 4. Berdasarkan area sampling seperti di atas yang mengelompokkan daerah berdasarkan tiga etnis; Bugis, Makassar dan Toraja, maka tahap berikutnya untuk memilih kabupaten/kota yang akan dijadikan sampel sebagai lokus penelitian menggunakan tehnik acak sederhana. Hasil penarikan sampel dengan tehnik acak sederhana, maka

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 22

daerah yang terpilih menjadi sampel dalam penelitian ini adalah: Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tana Toraja. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner dan wawancara. Kuesioner digunakan sebagai teknik utama dan diandalkan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini. Adapaun wawancara digunakan untuk memperdalam informasi berdasarkan variabel penelitian. Data yang diperoleh dari hasil wawancara digunakan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan masalah dan variabel penelitian. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap, yang pertama dengan analisis deskriptif masing-masing variabel penelitian. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui kecenderungan yang terjadi pada setiap variabel baik variabel pengaruh maupun variabel terpengaruh dalam penelitian. Untuk menjelaskan secara deskriptif masing-masingmasing variabel penelitian menggunakan rating scale. Hasil Olahan data rating scale diakumulasi berdasarkan nilai persentase dengan cara: total nilai rating scale yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian dibagi jumlah total ideal nilai rating scale dikali 100%. Kedua adalah analisis kuantitatif dengan analisis hubungan antara variabel X terhadap variabel Y. Untuk mengetahui hubungan dan uji hipotesis penelitian, digunakan metode analisis jalur (Path Analysis). Variabel-variabel penelitian didefinisikan secara operasional sebagai berikut: 1. Karakteristik birokrat merupakan sejumlah atribut yang mempengaruhi birokrat dalam berperilaku. Atribut tersebut adalah kemampuan, sikap kerja, dan motivasi. 2. Kemampuan merupakan kesanggupan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Indikator, pengetahuan tentang tugas, dan keterampilan melaksanakan tugas, pengalaman jabatan dan kompetensi. 3. Sikap pegawai merupakan pernyataan evaluatif mengenai sesuatu obyek pekerjaan dalam organisasi birokrasi. Indikator, a. sikap tentang kepuasan kerja meliputi kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, kepuasan terhadap imbalan, kesempatan promosi, kepuasan terhadap supervisi, kepuasan terhadap rekan sekerja. b. keterlibatan kerja meliputi pemihakan pada pekerjaan, berpartisipasi aktif dalamnya, dan kinerjanya penting bagi harga diri. c. komitmen terhadap organisasi; menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi, keinginan yang kuat berbuat untuk organisasi, dan mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap bersama organisasinya. 4. Motivasi adalah dorongan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. Dorongan tersebut berupa: Kebutuhan fisiologis, Kebutuhan rasa aman, Kebutuhan sosial, Kebutuhan penghargaan dan Kebutuhan aktualisasi diri. 5. Sistem birokrasi adalah sejumlah atribut yang menunjukkan ciri dan karakteristik untuk dapat menjalankan misi secara efisien dan efektif. Karakteristik tersebut, yaitu: a. Desain pekerjaan; kerangka penataan tugas jabatan yang berorientasi kinerja, kepuasan pegawai dan spesealisasi kerja. Indikatornya keanekaragaman keterampilan, identitas tugas, makna tugas, otonomi tugas, umpan balik tugas. b. Rentang kendali; Sistem pengawasan dan pengendalian seluruh fungsi dan tugas dalam jabatan yang menjadi hak, wewenang dan tanggung jawab untuk menjamin efisiensi dan efektivitas pelaksanaan misi organisasi, indikator; otoritas/wewenang, kepatuhan, loyalitas, dan otonomi c. Sistem karier; pola pengangkatan dan pengembangan pegawai dalam jabatan berdasarkan prestasi, kompetensi dan keahlian. Indikator; prestasi kerja, kompetensi dan keahlian yang dimiliki pejabat. d. Sistem insentif dan sanksi; Pola pemberian penghargaan dan sanksi atas kinerja jabatan yang menjadi tugas dan tanggung jawab. Indikator; penghargaan terhadap kinerja, sanksi atas kinerja. 6. Budaya Lokal, adalah nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Lokal dalam kehidupan masyarakat yang turut serta mempengaruhi sistem dan aktivitas birokrasi;

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

23

a. Nilai Siri merupakan pandangan hidup yang bertujuan untuk mempertahankan harkat dan martabat pribadi, orang lain atau kelompok/organisasi. Indikator, kerja keras, berprestasi, berjiwa pelopor dan senantiasa berorientasi keberhasilan. b. Nilai Passe adalah rasa kemanusiaan dan solidaritas yang adil menggelorakan semangat kebersamaan dan rasa memiliki yang tinggi antara sesama. Indikatornya; rasa kebersamaan, rela berkorban, solidaritas, dan pantang mundur. c. Nilai Werre merupakan kepercayaan pada diri sendiri yang teguh, bahwa hanya dengan ketekunan yang dilandasi dengan kecakapan, kejujuran, kebenaran, dan kesabaran nasib seseorang atau masyarakat dapat diperbaiki. Indikatornya ketekunan, kecakapan, kejujuran, kebenaran dan kesabaran. 7. Budaya organisasi adalah nilai yang permanen yang menjadi acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan organisasi dan membentuk pola pikir, sikap dan perilaku birokrat dalam menjalankan tugas. Budaya organisasi meliputi: a. Budaya fragmen (terpotong), yaitu organisasi yang memiliki nilai perhatian terhadap semangat individualistik yang tinggi. Indikator individualistik, independen dan komitmen terhadap diri sendiri. b. Budaya upahan, yaitu nilai-nilai organisasi yang lebih mengutamakan pencapaian tujuan dan sasaran daripada kepentingan individu dan orang lain. c. Budaya jaringan adalah suatu organisasi yang memiliki nilai-nilai kekerabatan dan kekeluargaan dalam organisasi. d. Budaya komunal yaitu organisasi yang memiliki nilai-nilai orientasi terhadap manusia dan orientasi terhadap kinerja secara bersamaan. 8. Perilaku Birokrasi adalah tindakan yang terpola dan diamati ditunjukkan oleh orangorang dalam organisasi birokrasi dalam melaksanakan aktivitasnya. 9. Pola perilaku birokrasi; adalah: a. Perilaku otoriter; pola perilaku birokratik yang berorientasi pada kepentingan diri individu yang menonjol dan menggantungkan diri semata-mata kepada organisasi. Indikatornya adalah orientasi pada kekuasaan dan wewenang, kepatuhan, bergantung pada atasan, pemenuhan kebutuhan pokok dan prestasi yang minim b. Perilaku kustodial; adalah pola perilaku birokratik yang berorientasi pada pemanfaatan sumber daya birokrasi untuk memenuhi kebutuhan rasa aman dan perlindungan dari organisasi. Indikator orientasi pada sumber daya ekonomi, kebutuhan rasa aman, dan kerjasama yang pasif. c. Perilaku suportif; pola perilaku birokratik yang berorientasi pada dukungan individu yang tinggi terhadap tujuan organisasi sehingga individu memperoleh manfaat dari organisasi. Indikatornya keteraturan dalam mengelola sumber daya organisasi, dukungan, status dan pengakuan, dan tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai. d. Perilaku kolegial; yaitu pola perilaku birokratik yang memiliki orientasi manusia dan orintasi kinerja yang optimal. Indikatornya kemitraan, kerja tim, tanggung jawab, swadisiplin, aktualisasi diri dan antusiasme yang tinggi dalam berprestasi.

Temuan Dan Pembahasan


A. Nilai Rata-Rata Variabel Penelitian
1. Nilai Rata-Rata Karakteristik Birokrat Tiga dimensi utama yang dapat dijelaskan mengenai karakterikstik birokrat, yaitu kemampuan, sikap dan motivasi. Tiga hal ini sangat mempengaruhi pola perilaku birokrat dalam birokrasi pemerintah daerah. Kemampuan merupakan hal utama yang menentukan seorang birokrat memiliki kapasitas dalam melaksanakan tugas dengan baik dalam suatu organisasi. Kemampuan diukur melalui tiga indikator utama, yaitu pengetahuan yang dimiliki, keterampilan dan pengalaman. Kemampuan sangat ditentukan oleh pengetahuan seseorang. Orang dapat memiliki

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 24

kemampuan apabila memiliki pengetahuan yang cukup. Pengetahuan yang memadai dapat diperoleh melalui pendidikan baik formal maupun informal. Keterampilan merupakan keahlian tertentu yang dimiliki untuk dapat melaksanakan pekerjaan secara professional. Kedua, pengalaman sangat bermanfaat dalam membentuk pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang baik. Karakteristik yang ketiga dari dimensi birokrat adalah motivasi, yaitu dorongan kerja yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu. Setiap orang memiliki dorongan yang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan motivasi menyebabkan perbedaan perilaku yang dilakukan oleh setiap orang dalam organisasi. Untuk mendapatkan skala nilai, diperoleh melalui total nilai rating scale yang diperoleh kemudian dibagi jumlah total ideal nilai rating scale dikali 100%. Dengan demikian skala ordinal dengan skor sebagai berikut: skor kurang dari 55 persen disebut kurang baik; 55-69 persen disebut sedang; skor 70-84 persen disebut baik dan; skor 85 100 persen disebut baik sekali. Berdasarkan kategori tersebut, maka dimensi birokrat berdasarkan daerah penelitian dapat ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Rata-rata Karakteristik Birokrat Pemerintah Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota Karakteristik Birokrat Makassar Gowa Wajo Toraja N =59 N =55 N =53 N =56 Kemampuan 66,84 62,01 65,98 62,54 Sikap Kerja 72,05 68,59 68,40 68,28 Motivasi 68,69 67,83 68,32 68,50 Rata-rata 68,90 65,58 67,35 65,90 Sumber Data: Hasil olahan data primer, 2007

Total N =223 64,39 69,10 64,57 66,97

Tabel 1 menjelaskan bahwa dimensi birokrat pada birokrasi Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan termasuk dalam kategori sedang (66,97). Empat daerah penelitian menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu termasuk kategori sedang, Makassar (68,90%), Gowa (65,58%), Wajo, (65,35%) dan Toraja (65,90%). Fenomena ini menunjukkan bahwa kualitas birokrat pada Birokrasi Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan belum optimal. Akan tetapi klasifikasi ini cukup bervariasi apabila diklasifikasi kembali berdasarkan masing-masing variabel. 2. Nilai Rata-rata Sistem Birokrasi Sistem birokrasi merupakan instrument organisasional yang dimiliki birokrasi untuk dapat melaksanakan misi birokrasi secara efisien dan efektif. Instrumen ini dapat berperan mengendalikan perilaku dan sumber daya organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan Dimensi-dimensi tersebut meliputi desain pekerjaan, rentang kendali, sistem karier dan sistem insentif dan sanksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan sistem birokrasi berada pada kategori sedang (65, 81%). Ini berarti bahwa rata-rata dimensi sistem birokrasi disatu sisi telah memberi manfaat yang cukup dalam menciptakan efisiensi dan efektivitas birokrasi dalam melaksanakan misinya, akan tetapi disisi lain beberapa dimensi birokrasi belum optimal dalam mendorong berkembangnya perilaku birokrasi dalam menjalankan fungsi secara optimal (Tabel 2).

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

25

Tabel 2 Rata-rata Sistem Birokrasi Pemerintah Kabupaten/Kota No Sistem Birokrasi Kabupaten/Kota Makassar Gowa Wajo N=59 N=55 N=53 1 Desain Pekerjaan 70,06 67,84 67,13 2 Rentang kendali/hirarki 54,85 54,40 55,83 3 Sistem karier 68,33 66,15 68,03 4 Sistem insentif dan sanksi 66,28 63,67 62,96 Rata-rata 67,41 65,70 65,55 Sumber Data: Hasil olahan data primer

Toraja N=56 67,83 55,96 63,50 62,59 64,90

Total N=223 68,62 55,74 66,29 63,53 65,81

3. Nilai Rata-rata Penerapan Budaya Lokal Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Sulawesi Selatan dihuni oleh tiga budaya masyarakat yang dominan yaitu Bugis-Makassar dan Toraja. Oleh karena itu nilai-nilai budaya lokal ikut mempengaruhi perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Tiga nilai utama yang dominan mempengaruhi masyarakat Bugis-Makssar dan Toraja adalah nilai Siri, Passe dan Werre. Nilai Siri merupakan pandangan hidup yang bertujuan untuk mempertahankan harkat dan martabat pribadi, orang lain atau kelompok/organisasi. Indikator, kerja keras, berprestasi, berjiwa pelopor dan senantiasa berorintasi keberhasilan. Nilai Pacce, adalah rasa kemanusiaan dan solidaritas yang adil menggelorakkan semangat kebersamaan dan rasa memiliki yang tinggi antara sesama. Indikatornya; rasa kebersamaan, rela berkorban, solidaritas, dan pantang mundur. Nilai Werre. merupakan kepercayaan pada diri sendiri yang teguh, bahwa hanya dengan ketekunan yang dilandasi dengan kecakapan, kejujuran, kebenaran, dan kesabaran nasib seseorang atau masyarakat dapat diperbaiki. Indikatornya ketekunan, kecakapan, kejujuran, kebenaran dan kesabaran. Temuan penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penerapan nilai-nilai budaya lokal dalam birokrasi pemerintah daerah termasuk kategori sedang (67,89%). Termasuk nilai Passe (68,30%), nilai Werre (65,61%). Sementara nilai Siri penerapannya dalam birokrasi Pemerintah Daerah termasuk ketegori baik (70,34%). Kota Makassar, Gowa dan Wajo termasuk ketegori baik dalam penerapan budaya Siri, dan hanya Toraja yang termasuk kategori sedang (68,92%). Untuk nilai Pacce walaupun rata-rata daerah penelitian menunjukkan kategori sedang, namun Toraja termasuk daerah kategori baik (70,78%). Secara umum, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya etnis Sulawesi Selatan memiliki peran penting dalam membentuk perilaku birokrasi. Temuan ini memperkuat temuan-temuan penelitian budaya Etnis Sulawesi Selatan sebelumnya bahwa nilai budaya lokal masih mempunyai peran yang relevan dengan sikap dan perilaku orang atau kelompok. Siri telah menjadi bagian dalam kepribadian dan kebudayaan yang membangunkan semangat juang Syech Yusuf baik dalam bidang kesufian, maupun perjuangan terhadap penindasan dan penjajahan kolonial (Hamid, 1994). Nilai Siri merupakan pandangan hidup yang bertujuan untuk mempertahankan harkat dan martabat pribadi, orang lain atau kelompok/organisasi. Harkat dan martabat pribadi dapat dipertahankan apabila seseorang memiliki kemauan untuk mempertahankan identitasnya melalui kerja keras, mengejar prestasi, dan menjadi teladan serta pelopor dalam segala aktivitas, senantiasa berorintasi keberhasilan. Orang-orang Bugis-Makassar dalam bekerja dan berperilaku senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai Siri walaupun jika diperhadapkan masalah organisasi nilai-nilai Siri tidak lagi diutamakan dalam menyelesaikan masalah kedinasan, lebih dominan nilai kedinasan ketimbang budaya lokal. Deskripsi responden menunjukkan bahwa nilai Siri tidak sesakral dahulu, nilai Siri telah bergeser makna dalam praktek di lingkungan pemerintah daerah. Contohnya pegawai tidak Siri lagi kalau terlambat datang ke kantor, prestasi kerjanya rendah, menyimpang dari ketentuan organisasi. Namun demikian Siri akan timbul apabila pegawai diganggu hak-haknya sementara tanggungjawab dan kewajibannya tidak berjalan secara simultan.

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 26

Temuan ini menjelaskan bahwa nilai Siri telah mengalami pergeseran makna. Seperti yang dijelaskan Mattulada (2005; 70) bahwa Siri sebagai nilai yang esensial dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar terutama dalam dua hal: Siri sebagai harga diri (dignity), dan Siri sebagai keteguhan hati. Siri sebagai harga diri adalah kelayakan dalam kehidupan sebagai manusia yang diakui dan diperlakukan sama oleh setiap orang terhadap sesamanya. Orang-orang yang tidak memperoleh perlakuan yang layaknya dari sesamanya itu merasa harga dirinya terlanggar, disebut : napakasiri ka (Makassar). Sedangkan Siri sebagai keteguhan hati atau dalam kalimat Makassar disebut tu tinggi Siri na, adalah seorang yang mampu menentukan sikap sesuai dengan kebenaran dari ketepatan hati nuraninya yang benar. Siri dalam pengertian sebagai keteguhan hati ini telah bergeser maknanya menjadi lebih prakmatis, untuk kepentingan diri dan jabatannya. Temuan ini juga sejalan dengan penelitian Munadah (2005:40), yang menyebutkan bahwa budaya Siri sudah kurang berfungsi dalam birokrasi karena penyimpangan dan manipulasi dianggap sebagai hal biasa, sehingga perilaku yang demikian tidak lagi dipandang sebagai hal yang tidak terlalu memalukan di depan publik.
Tabel 3 Rata-rata Penerapan Budaya Lokal pada Birokrasi Pemerintah Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan Kabupaten/Kota Total Nilai Budaya Lokal N =223 Makassar Gowa Wajo Toraja N =59 N =55 N =53 N =56 Siri 70,00 71,82 70,20 68,92 70,34 Passe 69,05 69,09 66,60 70,78 68,30 Werre 67,10 65,38 64,32 65,57 65,61 Rata-Rata 68,59 68,50 66,83 68,21 67,89 Sumber Data: Hasil olahan data primer, 2007

Nilai Pacce di Daerah Toraja termasuk kategori Baik (70,78%) dibandingkan rata-rata daerah penelitian lainnya. Pacce adalah rasa kemanusiaan dan solidaritas yang adil menggelorakkan semangat kebersamaan dan rasa memiliki yang tinggi antara sesama. Nilai Pacce yang tinggi ditandai oleh adanya rasa kebersamaan, rela berkorban, solidaritas, dan pantang mundur dalam membangun kebersamaan. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa budaya lokal utamanya nilai pacce atau rasa kebersamaan dan kekeluargaan berhubungan dengan perilaku birokrasi terutama dalam membangun kerjasama, solidaritas, rasa senasib dan sepenanggungan. Hasil data sekunder menjelaskan pula bahwa rata-rata pegawai dalam satu instansi memiliki hubungan keluarga satu sama lain. Selain itu, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa budaya tongkonan pada masyarakat Toraja memiliki hubungan yang erat dalam praktek penyelenggaraaan fungsi birokrasi pemerintah daerah. Orang-orang Toraja, baik yang bekerja pada sektor pemerintahan maupun profesi lainnya tidak dapat melepaskan diri dengan budaya tongkonan. Tongkonan sebagai wadah pemersatu keluarga mengandung fungsi bahwa suku Toraja mempunyai sistem kekerabatan bilaterial dan parental. Secara himpunan kelamin, suku Toraja tergolong sebagai masyarakat bilateral kelamin, yaitu ayah, ibu dan anak yang menjadi tanggung jawab anak dan ibu. Nilai kekeluargaan dan kebersamaan tidak saja mempengaruhi perilaku masyarakat Toraja sehari-hari, akan tetapi turut membentuk perilaku birokrat dalam mengelola tugas dan fungsi birokrasi Pemerintah Daerah secara keseluruhan. Orang-orang Toraja memiliki rasa kebersamaan dan solidaritas satu sama lain dalam bekerja. Nilai-nilai ini merupakan warisan budaya tongkonan yang mempersatukan mereka dalam keluarga. Sebagaimana hasil deskripsi responden bahwa fungsi tongkonan sebagai perekat toleransi dan kebersamaan karena di dalam tongkonan berlapis-lapis keturunan yang menganut berbagai agama. Tongkonan setiap saat bertemu baik dipesta Rambu Solo (pesta kedukaan), pesta rambu tuka (pesta sukuran), sehingga setiap ada masalah yang berhubungan dengan keluarga diselesaikan di tongkonan.

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

27

Secara keseluruhan nilai pacce memiliki hubungan dengan perilaku birokrasi orang-orang etnis Sulawesi Selatan. Bugis-Makassar dan Toraja memiliki solidaritas yang tinggi dalam membangun kerja tim, kerjasama dalam kelompok, solidaritas dan loyalitas terhadap anggotanya. Mereka merasa bekerja dalam organisasinya sesuatu yang menyenangkan karena satu dengan yang lainnya memiliki rasa kekeluargaan dan kebersamaan. Para birokrat membangun kerjasama dan kebersamaan. Sumber daya organisasi digunakan untuk membangun rasa kebersamaan dan kekeluargaan. Pola komunikasi dan perilaku kerja mereka menggunakan bahasa kekeluargaan dan penghargaan antara orang yang dituakan atau yang memiliki jabatan yang lebih tinggi. Misalnya untuk kasus di Gowa komunikasi informal dalam interkasi sehari-hari menggunakan kata Daeng atau Karaeng yang menunjukkan penghormatan atas kedekatan psikologis dengan lawan bicara sebagai orang yang dituakan atau yang memiliki jabatan yang lebih tinggi. Demikian pula di Wajo para birokrat mengunakan kata Cappo sebagai panggilan keakrabatan dan kekeluargaan yang berarti sepupu, menggambarkan hubungan kekeluargaan yang amat dalam. Selain itu apabila orang yang dituakan atau yang memiliki jabatan yang lebih tinggi, maka panggilan kekerabatan mereka adalah Puang. Istilah puang tidak hanya status sebagai keturunan raja, akan tetapi telah dijadikan simbol komunikasi yang efektif yang mempermudah urusan dengan pejabat lain atau orang yang dituakan. Istilah Puang seringkali digunakan pula oleh Birokrat junior atau staf terhadap pimpinannya, berarti menunjukkan penghormatan terhadap pejabat tersebut. Temuan ini sejalan dengan hasil temuan sebelumnya tentang nilai pacce dalam budaya etnis Sulawesi Selatan, yaitu orang-orang Sulawesi Selatan memiliki rasa kekeluargaan, solidaritas dan komitmen kekerabatan yang tinggi. Satu orang yang menderita, semua anggota organisasi/keluarga akan turut merasakan penderitaan. Dengan demikian kebutuhan sosial masyarakat etnis Sulawesi Selatan sangat menonjol dalam berinteraksi dalam lingkungan birokrasi pemerintah daerah. Nilai Werre termasuk kategori sedang (65,61%) untuk rata-rata daerah penelitian. Aktualisasi nilai Werre dalam sistem birokrasi seperti ketekunan, kecakapan, kejujuran, kebenaran dan kesabaran kurang terlalu menonjol. Hal ini disebabkan karena pengaruh faktor nilai-nilai pragmatis yang berlaku pada lingkungan kerja birokrasi pemerintah daerah. Nilai Werre menggambarkan semangat etnis Bugis-Makassar untuk bekerja dengan orientasi prestasi. Belum menonjolnya nilai Werre dalam praktek perilaku birokrasi saat sekarang disebabkan oleh penghargaan dan penilaian terhadap kinerja belum dilakukan secara obyektif seperti yang dijelaskan pada variable penelitian sebelumnya. Pegawai yang memiliki prestasi kerja tinggi diperlukakan sama dengan pegawai yang memiliki prestasi kerja biasa-biasa saja sehingga pegawai belum dapat menggali potensi dalam dirinya untuk bekerja lebih ulet dan menjunjung tinggi kejujuran dalam melaksanakan profesinya. Secara umum nilai-nilai Siri, pacce dan Werre telah megalami pergeseran berdasarkan rangkuman hasil deskripsi responden sebagai berikut: Kurang amanah terhadap jabatannya Kurang disiplin Kerja Lebih Mendahulukan kepentingan dirinya Mengutamakan kemauan dirinya sendiri daripada organisasi Berbuat semau hati terhadap pekerjaannya Organisasi milikinya pemerintah (penguasa) Keluargaku dan kerabat diutamakan Kurang menghargai pekerjaanya Lebih banyak mencari jabatan dan kekuasaan dalam bekerja 4. Nilai Rata-rata Penerapan Budaya Organisasi Dalam variabel budaya organisasi, terdapat empat pola budaya organisasi yang diteliti, yaitu budaya jaringan, budaya upahan, budaya fragmen dan budaya komunal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga pola budaya organisasi yaitu budaya jaringan, budaya upahan dan

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 28

budaya fragmen termasuk kategori sedang untuk seluruh daerah penelitian, kecuali budaya komunal, termasuk kategori baik (73,36%) rata-rata seluruh daerah penelitian.
Tabel 4 Rata-rata Penerapan Penerapan Budaya Organisasi pada Birokrasi Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan No Budaya Organisasi Kabupaten/Kota Makassar Gowa Wajo Toraja N =59 N =55 N =53 N =56 1 Budaya Jaringan 65,89 66,97 65,17 65,85 2 Budaya Upahan 63,97 62,67 64,03 63,20 3 Budaya Fragmen 66,93 68,55 67,87 68,01 4 Budaya Komunal 75,63 73,24 72,27 72,45 Rata-rata 68,10 76,86 67,33 67,38 Sumber Data: Hasil olahan data primer

Total N =223 65,87 63,35 67,83 73,36 67,60

Budaya jaringan pada organisasi birokrasi pemerintah daerah telah diterapkan, walaupun tidak terlalu dominan. Nilai-nilai utama yang ingin dicapai dalam budaya jaringan adalah semangat persahabatan, solidaritas dan kekeluargaan yang menonjol. Orang saling merasa memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Dalam organisasi terbangun rasa kebersamaan, kerja tim dan satu sama lainnya saling memberi dan menerima baik informasi, pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Hal ini lebih menonjol terutama di kantor kecamatan, jumlah pegawai yang sedikit, menumbuhkan semangat solidaritas yang tinggi. Hasil deskripsi responden, misalnya apabila salah satu pegawai di kantor kecamatan tidak hadir, maka yang lainnya membantu melaksanakan tugasnya. Sayangnya semangat solidaritas ini tidak selalu relevan dengan pencapaian tujuan dan sasaran organsiasi. Misalnya di Kantor Kependudukan dan cacatan Sipil Kota Makassar, beberapa masyarakat yang ingin mendapat pelayanan dokumen kependudukan harus menunggu beberapa jam untuk mendapatkan pelayanan dari pegawai karena pegawai sering mengikuti pertemuan kekerabatan dan kekeluargaan dalam jam dinas. Apabila dikonfirmasi dengan nilai budaya kerja aparatur yang telah ditetapkan (misalnya budaya kebersamaan dan dinamika kelompok), hal demikian jelas menjadi perekat dalam membangun budaya jaringan dalam organisasi birokrasi. Keadaan demikian sejalan dengan pandangan Goffe dan Jones (1998:21), bahwa budaya jaringan dapat menimbulkan aspek negatif yang besar, karena dengan hanya mengutamakan pada persahabatan dapat menimbulkan rasa toleransi terhadap orang-orang yang berkinerja jelek dan penciptaan klik-klik politik. Oleh karena itu budaya nilai-nilai yang ingin dicapai dari budaya jaringan tidak hanya berdiri sendiri, akan tetapi harus dihubungan dengan kepentingan organisasi yang lebih besar agar semangat persahabatan dan pertemanan tidak merugikan kepentingan organsasi itu sendiri. Nilai utama budaya upahan adalah ingin mencapai tujuan dan sasaran secara efisien dan efektif. Oleh karena itu setiap birokrat dituntut untuk bekerja selalu berorientasi pada visi dan misi organisasi. Pimpinan menetapkan target yang tinggi untuk dicapai oleh pegawainya. Pimpinan menetapkan kontrak kinerja dengan menuntut kepada pegawai untuk selalu fokus terhadap hasil, tujuan dan sasaran organisasi. Misalnya pada Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Makassar memiliki Visi Makassar Tertib Administrasi Kependudukan Tahun 2010. Setiap anggota organisasi dituntut untuk mencapai visi organisasi. Organisasi memperjuangkan kepentingannya yang utama. Budaya upahan terlihat dengan jelas seperti beberapa nilai yang telah ditetapkan menjadi budaya kerja aparatur melalui Keputusan Menpan Nomor 25/2002, diantaranya adalah nilai tentang komitmen dan konsisten terhadap visi, misi dan tujuan organisasi. Mereka yang tidak komit terhadap visi/misi organisasi akan dikenakan sanksi. Temuan ini menerangkan pula bahwa budaya upahan tidak terlalu menonjol dalam birokrasi Pemerintah Daerah. Artinya dalam organisasi tersebut tidak saja visi/misi, tujuan dan sasaran yang dikejar oleh setiap anggota organisasi, melainkan anggota organisasi harus pula memenuhi kebutuhan dan keinginan sebagai salah satu alasan penting bagi mereka untuk bergabung dalam organisasi, seperti kebersamaan, kekeluargaan, rasa solidaritas sehingga mereka menjadi bagian yang utuh dari organisasi mereka.

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

29

Selanjutnya hasil penelitian tentang budaya fragmen menggambarkan rata-rata kategori Sedang (67,83%), termasuk empat daerah penelitian, Makassar, Gowa, Wajo dan Toraja. Budaya organisasi ini menuntut kepada setiap anggota organisasi untuk meningkatkan kapasitas indivual mereka, membangun kompetensi, kemampuan dan keterampilan dan komitmen terhadap karier dan tugas. Fokus organisasi adalah berupaya untuk terus-menerus meningkatkan produktivitas kerja secara optimal. Pada budaya ini, semua permasalahan yang dihadapi oleh birokrat dalam melaksanakan pelayanan publik bersumber dari terbatasnya kompetensi, kemampuan dan keterampilan serta sikap dan perilaku kerja birokrat. Tingkat pengaduan masyarakat yang tinggi atas mutu layanan dokumen kependudukan, IMB dan layanan di kantor kecamatan bersumber dari produktivitas birokrat yang kurang memadai. Oleh karena itu organisasi menuntut kepada birokratnya untuk terus-menerus meningkatkan produktivitas dan kinerja pelayanannya dengan cara menyempurnakan pengetahuan dan keterampilan kerja secara terus-menerus. Deskripsi responden menjelaskan bahwa, birokrat memiliki keterbatasan sumber daya untuk meningkatkan dan mengakses sumber pengetahuan, keterampilan dan sikap serta perilaku kerja baru yang dituntut oleh masyarakat. Contoh sarana kerja dikantor kecamatan pada daerah penelitian Toraja, Wajo dan Gowa masih sangat minim, pada umumnya pegawai hanya menggunakan mesin tik untuk melayani masyarakat. Selama lima tahun terakhir, rata-rata pegawai kecamatan belum pernah ikut pelatihan teknis dan fungsional sesuai dengan bidang tugasnya. Tuntutan birokrasi untuk meningkatkan penerapan budaya fragmen dalam birokrasi pemerintah daerah belum sebanding dengan dukungan organisasi birokrasi terhadap birokrat. Untuk dapat meningkatkan kompetensi, kemampuan, keterampilan dan sikap kerja baru harus didukung oleh sumber daya yang memadai dari organisasi. Sumber daya tersebut dapat berupa pembiayaan untuk pengembangan SDM, peningkatkan kesejahteraan, dukungan teknologi kerja yang memadai sesuai dengan tuntutan tugas. Sementara itu budaya komunal merupakan budaya organisasi sangat dominan mempengaruhi interaksi birokrat dalam organisasi birokrasi pada semua daerah penelitian. Budaya ini menjelaskan hubungan dua arus utama dalam organisasi, yaitu orientasi utama pada pencapaian visi/misi, tujuan dan sasaran organisasi dengan menyeimbangkan kepentingan manusia untuk memelihara persahabatan, solidaritas, kekerabatan dan kekeluargaan. Dalam budaya ini, organisasi membangun budaya kerja tim yang kuat, semangat kebersamaan melewati batas-batas struktural dan berdampak psikis terhadap anggota organisasi. Pegawai memiliki komitmen organisasional yang kuat dalam mencapai visi dan misi. Akan tetapi organisasi juga sangat berkepentingan memelihara dan memenuhi segala kebutuhan anggotanya melalui semangat kebersamaan, persahabatan dan solidaritas. Wujud dari budaya ini adalah tumbuhanya rasa memiliki anggota terhadap organisasinya dan sebaliknya organisasi dapat mencapai tujuannya melalui upaya yang sungguh-sungguh dilakukan oleh setiap anggotanya. Hasil deskripsi responden dapat dikemukakan bahwa penyebab utama belum fokusnya pencapaian visi/misi organisasi adalah keterlibatan pegawai dalam perumusan visi/misi, tujuan dan sasaran yang rendah, standar kinerja belum diterapkan, penilaian kinerja dan kurangnya umpan balik terhadap kinerja birokrat . Hal ini termasuk nilai-nilai yang dikejar dalam sumbu solidaritas dalam budaya komunal. Namun untuk ukuran-ukuran sosiabilitas, seperti persahabatan, kekeluargaan, solidaritas cukup menonjol. Akan tetapi semangat untuk membangun tim kerja yang kuat, untuk kepentingan organisasi masih memberi perspektif belum baik dalam membangun budaya komunal. Sosibilitas masih lebih dominan diorientasikan untuk kepentingan individu dan kelompok 5. Nilai Rata-Rata Perilaku Birokrasi Uraian sebelumnya menjelaskan ada empat pola perilaku birokrasi, yaitu perilaku otokratik, perilaku kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial. Perilaku otokratik dicirikan oleh orientasi berokrat pada kepentingan diri individu yang menonjol dan menggantungkan diri sematamata kepada organisasi. Indikatornya adalah orientasi pada kekuasaan dan wewenang, kepatuhan, bergantung pada atasan, pemenuhan kebutuhan pokok dari organisasi. Sedangkan perilaku kustodial; adalah pola perilaku birokratik yang berorientasi pada pemanfaatan sumber daya

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 30

birokrasi untuk memenuhi kebutuhan rasa aman dan perlindungan dari organisasi. Indikator orientasi pada sumber daya ekonomi, kebutuhan rasa aman, dan kerjasama yang pasif. Perilaku suportif; pola perilaku birokratik yang berorientasi pada dukungan individu yang tinggi terhadap tujuan organisasi sehingga individu memperoleh manfaat dari organisasi. Indikatornya keteraturan dalam mengelola sumber daya organisasi, dukungan tim, status dan pengakuan, dan tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai. Sedangkan perilaku kolegial; yaitu pola perilaku birokratik yang memiliki orientasi manusia dan orintasi kinerja yang optimal. Indikatornya kemitraan, kerja tim, tanggung jawab, swadisiplin, aktualisasi diri dan antusiasisme yang tinggi dalam berprestasi.
Tabel 5 Rata-rata Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten/Kota Kabupaten/Kota Perilaku Birokrasi Makassar Gowa Wajo N =59 N =55 N =53 Perilaku Otoriter 68,76 66,55 68,32 Perilaku Kustodial 71,98 70,45 69,77 75,20 74,04 74,76 70,84 73,57 71,72

No 1 2

Toraja N =56 67,29 72,35 72,48 71,76

Total N =223 67,65 71,08 73,70 71,99

3 Perilaku Suportif 4 Perilaku Kolegial Sumber Data: Hasil olahan data primer

Dari hasil penelitian (Tabel 5) ini dapat diketahui bahwa rata-rata daerah penelitian menunjukkan perilaku yang menonjol adalah perilaku kustodial (71,08%), perilaku suportif (73,70%) dan perilaku kolegial (71,99%) termasuk kategori Baik. Sedangkan Semua daerah penelitian Makassar, Gowa, Wajo dan Toraja perilaku otoriternya termasuk kategori Sedang (67,65%). Secara umum dapat dijelaskan bahwa orientasi pola perilaku birokrasi pada daerah penelitian terbagi dua unsur utama, pertama perilaku birokrat masih menonjol pada pemenuhan kebutuhan diri sendiri dan ingin mendapat perlindungan dari organisasi, hal ini dapat dilihat masih kuatnya perilaku kustodial, meskipun perilaku otokratiknya tidak dominan lagi. Kedua perilaku yang mementingkan kinerja dan produktivitas kerja dan penghargaan terhadap manusia. Hal ini dapat dilihat dari menonjolnya perilaku suportif dan perilaku kolegial. Temuan penelitian di atas menjelaskan bahwa perilaku birokrat masih berada pada masa transisi, disatu sisi perilaku organisasi masih bersifat tradisional yang masih tertutup dan orientasi terhadap birokrat, disisi lain birokrasi telah mulai bergeser kearah modern, yang memadukan kepentingan birikrat dengan misi organisasi. Perilaku yang diharapkan bagi organisasi modern, yaitu perlaku organisasi yang menjadikan unsur manusia sebagai sumber daya organisasi yang vital yang memiliki inisiatif, prestasi kerja dan semangat kerja tim dan produktivitas kerja. Hal ini dapat dilihat dari masih tingginya perilaku kustodial, yaitu perilaku birokrasi. Namun demikian terjadi berseseran orientasi, diaman perilaku birokrasi telah dominan mengarah kepada perilaku suportif dan kolegial. Ini berarti perilaku birokrasi mengarah kepada perilaku yang dipraktekkan pada organisasi modern. Temuan ini sejalan dengan temuan Davis (1985:224) yang menyatakan bahwa terdapat kecenderungan perubahan perilaku organisasi dari karakteristik yang tertutup kearah sistem terbuka, dari orentasi materialistik ke orientasi manusia, pemusatan kekuasaan kearah penyebaran kekuasaan. Pegawai memiliki motivasi ekstriksik menjadi motivasi instrinsik. Setiap orang memiliki sikap negatif terhadap orang menjadi memiliki sikap positif terhadap orang lain.

B. Hubungan Antar Variabel Penelitian


1. Hubungan Karakteristik Birokrat Dengan Perilaku Birokrasi Karakteristik birokrat berpengaruh terhadap empat pola perilaku birokrasi yaitu perilaku otokratik, kustodial, suportif dan kolegial. Berdasarkan daerah penelitian, pengaruh karakteritik birokratik terhadap perilaku otokratik hanya terbukti di Kota Makassar, sedangkan di Gowa, Wajo

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

31

dan Toraja tidak terbukti. Karakteristik birokratik berpengaruh terhadap perilaku kustodial terbukti pada seluruh daerah penelitian, yaitu Makassar, Gowa, Wajo dan Toraja. Sedangkan daerah yang terbukti memiliki pengaruh karakteristik birokrat terhadap perilaku suportif adalah di Gowa, Wajo dan Toraja. Pengaruh karakterik birokrat terhadap perilaku kolegial terbukti sangat signifikan terhadap semua daerah penelitian. Gambaran ini menunjukkan bahwa perilaku birokrasi pemerintah daerah masih menerapkan perilaku transisional, disatu sisi birokrasi menerapkan perilaku tradisional dengan dengan pola otokratik dan kustodial, disisi lain orientasi perilaku telah berubah kearah perilaku modern dengan menerapkan pola perilaku suportif dan perilaku kolegial. Pengaruh variabel karaktersitik birokrat terbukti secara signifikan membentuk pola perilaku transisional tersebut. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis jalur (path analysis). Analisis jalur dimaksudkan untuk menjelaskan hubungan korelasi antar variabel-variabel, dan mengetahui konstribusi masing-masing variabel terhadap variabel lainnya. Seperti yang diuraikan sebelumnya, dalam penelitian ini hipotesis mayor penelitian ini adalah Ada hubungan sistem birokrasi terhadap empat perilaku birokrasi. Hipotesis tersebut diturunkan dalam hipotesis minor. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan antara sistem birokrasi dengan empat perilaku birokrasi. Hasil uji analisis jalur membuktikan bahwa sistem birokrasi berhubungan terhadap empat pola perilaku birokrasi Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis jalur (path analysis). Analisis jalur dimaksudkan untuk menjelaskan hubungan korelasi antar variabel-variabel, dan mengetahui konstribusi masing-masing variabel terhadap variabel lainnya. Seperti yang diuraikan sebelumnya, dalam penelitian ini hipotesis mayor penelitian ini adalah Ada hubungan karakteristik birokrat terhadap empat perilaku birokrasi. Hipotesis tersebut diturunkan dalam hipotesis minor. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan antara karakteristik birokrat dengan empat perilaku birokrasi. Hasil uji analisis jalur menunjukkan bahwa karakteristik birokrat berhubungan terhadap empat pola perilaku birokrasi dengan variasi yang berbeda masing-masing daerah penelitian. Kota Makassar memiliki pola hubungan yang berbeda dengan tiga daerah lainnya, yaitu karakteristik birokrat terbukti memiliki hubungan terhadap perilaku otokratik, kustodial dan perilaku kolegial. Karakteristik birokrat berhubungan terhadap perilaku otokratik hanya terjadi pada Kota Makassar, secara langsung signifikan (0,182), hubungan tidak langsung (0,442) cukup kuat sehingga secara akumulatif menjadi (0,806). Karakteristik birokrat meliputi kemampuan, sikap terhadap kepuasan kerja, sikap terhadap keterlibatan kerja dan sikap terhadap komitmen organisasional dan motivasi berhubungan dengan perilaku otokratik, suatu perilaku yang berorientasi kekuasaan, otoritas, kewenangan, loyalitas dan kepatuhan terhadap pimpinan serta mementingkan kebutuhan pokok. Sedangkan di Gowa, Wajo dan Toraja, pola hubungan karakteristik birokrat terhadap perilaku birokrasi cenderung sama, yaitu karakteristik birokrat berhubungan terhadap perilaku kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial. Berdasarkan pembuktian hipotesis ini menggambarkan bahwa karakteristik birokrat mempengaruhi perilaku tradisional melalui pola perilaku otokratik seperti yang terjadi di Kota Makassar dan pola perilaku kustodial seperti yang terjadi di Gowa, Wajo dan Toraja. Demikian juga karakteristik birokrat mempengaruhi perilaku modern melalui pola perilaku suportif seperti yang terjadi pada Gowa, Wajo dan Toraja dan perilaku kolegial pada seluruh daerah penelitian. Temuan data statistik mengenai hubungan antara variabel karakteristik birokrat terhadap perilaku birokrasi menunjukkan bahwa karakteristik birokrat yang diukur melalui kemampuan, sikap dan motivasi birokrat terbukti berhubungan terhadap empat pola perilaku yaitu perilaku otokratik, kustodial, suportif dan kolegial. Karakteristik birokrat berhubungan terhadap perilaku otokratik hanya terjadi di Kota Makassar, sedangkan perilaku kustodial terbukti terjadi pada daerah Makassar, Wajo dan Toraja. Pengaruh karakteristik birokrat terhadap perilaku suportif terbukti terjadi pada Daerah Gowa, Wajo dan Toraja. Sedangkan perilaku kolegial secara akumulatif terbukti pada semua daerah penelitian. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa pengaruh karaktersitik birokrat menyebabkan timbulnya empat pola perilaku birokrasi, yaitu perilaku otokratik, kustodial, suportif dan kolegial. Perilaku otokratik dan kustodial termasuk pola perilaku tradisional karena sifat bawaan perilaku ini

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 32

mementingkan diri sendiri, organisasi dan tertutup bagi kepentingan masyarakat yang dilayani. Birokrasi hanya berorientasi memenuhi kebutuhan birokrat dan seluruh perangkat internalnya. Sedangkan perilaku suportif dan kolegial termasuk perilaku birokrasi modern yang lebih berorientasi kinerja, pengelolaan organisasi secara efektif dengan mementingkan kebutuhan eksternal. Hasil kajian deskriptif seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa secara umum karakteristik birokrat termasuk kategori sedang (64,39), atau kapasitas birokrat masih belum memadai. Demikian juga hasil penelitian tentang perilaku birokrat, perilaku otokratik termasuk taraf sedang, sedangkan perilaku kustodial, suportif dan kolegial, termasuk taraf baik. Hasil uji hubungan analisis jalur menunjukkan bahwa karakteritik birokrat berpengaruh terhadap empat perilaku birokrasi dengan pola dan variasi yang berbeda masing-masing daerah.
Tabel 6 Hubungan antar variabel Karakteristik Birokrat terhadap Perilaku Birokrasi Berdasarkan Daerah Penelitian
Variabel Karakteristik Birokrat Makassar Perilaku Otokratik Orientasi kekuasaan dan kewenangan Kepatuhan Ketergantungan pada atasan Pemenuhan kebutuhan pokok Prestasi yang minim Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif Perilaku Suportif Kabupaten/Kota dan Perilaku Birokrasi Gowa Wajo Perilaku Otokratik Perilaku Otokratik Toraja Perilaku Otokratik

(tidak terbukti memiliki hubungan)

(tidak terbukti memiliki hubungan)

(tidak terbukti memiliki hubungan)

Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif Perilaku Suportif Keteraturan dalm mengelola sumber daya organisasi Dukungan individu terhadap kinerja Status dan pengakuan dari organisasi Tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai

Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif

Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif Perilaku Suportif Keteraturan dalm mengelola sumber daya organisasi Dukungan individu terhadap kinerja Status dan pengakuan dari organisasi Tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadsiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Perilaku Suportif Keteraturan dalm mengelola sumber daya organisasi Dukungan individu terhadap kinerja Status dan pengakuan dari organisasi Tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai

Karakteristik Birokrat: Kemampuan Sikap Motivasi

(tidak terbukti memiliki hubungan)

Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadsiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadsiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadsiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Sumber: Hasil olahan data primer

Pengaruh karakteristik birokrat bersumber dari variabel kemampuan meliputi indikator pengetahuan dan keterampilan. Kemampuan birokrat yang masih terbatas (taraf sedang) membentuk perilaku otokratik yang berorientasi mementingkan diri sendiri, kekuasaan, kewenangan, loyalitas dan kepatuhan dan memenuhi kebutuhan pokok yang utama. Hasil ini

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

33

sejalan dengan penelitian Munadah (2005) bahwa orientasi pejabat memperoleh kekuasaan dan jabatan struktural lebih tinggi daripada memberikan pelayanan kepada masyarakat. Birokrat yang memiliki kemampuan yang rendah cenderung memiliki pendapatan yang rendah (LAN, 2003). Orang memiliki Pendapatan yang rendah akan memenuhi hirarki kebutuhan pokoknya sebelum kebutuhan lainnya dipenuhi Maslow (Robbins,2003). Konstribusi sikap kerja birokrat berhubungan terhadap perilaku otokratik. Berdasarkan temuan penelitian sebelumnya bahwa, sikap birokrat terhadap komitmen organisasional taraf sedang (62,10%) memberi konstribusi terhadap perilaku otokratik. Indikator komitmen organisasi; keinginan mempertahankan diri keanggotannya, menerima nilai dan tujuan organisasi, bersedia untuk berusaha keras mencapai tujuan dan keberlangsungan organisasi. Dua dari indikator terakhir, menerima nilai dan tujuan organisasi dan bersedia untuk berusaha keras mencapai tujuan organisasi memberi konstribusi terhadap terbentuknya perilaku otoriter. Hasil penelitian sebelumnya bahwa indikator-indikator ini termasuk dalam taraf sedang, artinya masih rendah dari yang dituntut birokrat untuk meningkatkan komitmen organisasional dalam rangka membentuk perilaku birokrat yang berorientasi mementingkan publik dan organisasinya sendiri. Temuan lain adalah kontribusi variabel motivasi terhadap perilaku otokratik. Rata-rata hasil penelitian deskriptif untuk variabel motivasi termasuk taraf sedang, motivasi yang paling menonjol adalah motivasi sosial, aktualisasi diri, rasa, aman, fisiologis dan prestasi. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa struktur kebutuhan birokrat tidak hirarkis seperti yang dikemukakan oleh Maslow, bahwa manusia akan cenderung memenuhi kebutuhan yang pertama, kemudian kebutuhan yang kedua dan seterusnya sampai yang kelima, aktualisasi diri. Konstribusi kebutuhan fisiologis, rasa aman dan kebutuhan sosial ikut memberikan pengaruh terhadap perilaku otokratik. Birokrat yang memiliki kebutuhan fisiologis, akan gaji, dan pendapatan, alat transportasi kerja, tempat tinggal yang memadai akan cenderung memperolehnya dari organisasi. Demikian kebutuhan rasa aman, birokrat telah memiliki kepastian masa depan, asuransi dan perlindungan dari organisasi memberi konstribusi yang tinggi terhadap terbentuknya perilaku otokratik. Konstribusi kebutuhan sosial birokrat terhadap perilaku otokratik melalui pola hubungan kekeluargaan dan kekrabatan dapat melanggengkan kekuasaan bagi birokrat. Dengan kekuasaan dan jabatan yang dimiliki, memberi kesempatan bagi birokrat untuk memenuhi kepentingan pribadinya yang lebih dominan. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa terdapat konstribusi kebutuhan aktulisasi diri birokrat terhadap perilaku otokratik. Artinya birokrat yang memiliki kebutuhan aktulisasi diri yang tinggi adalah mereka yang memiliki kesempatan untuk mengaktualisasi diri melalui berbagai aktivitas pemerintahan, kebanyakan mereka adalah para pemangku jabatan struktural. Semakin besar kebutuhan aktulisasi diri semakin besar hubungan terhadap perilaku otoriter, yaitu para pejabat menjadikan aktulisasi dirinya untuk tetap eksis dalam organisasi dengan mendapatkan kekuasan, kewenangan, kepatuhan dan loyalitas terhadap pimpinannya untuk eksistensi dirinya dalam organisasi. Davis (1985) merumuskan bahwa tempat perilaku dalam suatu kerja digambarkan dalam suatu interaksi antara kemampuan yang terdiri dari pengetahuan dengan keterampilan. Sikap kerja dan situasi kerja melahirkan motivasi. Kemampuan berinteraksi dengan motivasi melahirkan prestasi kerja. Prestasi kerja adalah birokrat yang memiliki perilaku kolegial yang tinggi. 2. Hubungan Sistem Birokrasi Dengan Perilaku Birokrasi Sistem birokrasi terbukti berpengaruh terhadap empat pola perilaku birokrasi. Analisis masing-masing daerah penelitian menunjukkan bahwa hanya Kabupaten Gowa saja yang tidak terbukti sistem birokrasi berpengaruh terhadap perilaku otokratik dan perilaku suportif, tiga daerah penelitian lainnya menunjukkan tingkat signifikansi sistem birokrasi terhadap perilaku otokratik, kustodial, suportif dan kolegial. Gambaran ini menunjukkan bahwa perilaku birokrasi pemerintah daerah masih menerapkan perilaku transisional, disatu sisi birokrasi menerapkan perilaku tradisional dengan dengan pola otokratik dan kustodial, disisi lain orientasi perilaku telah berubah kearah perilaku modern dengan

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 34

menerapkan pola perilaku suportif dan perilaku kolegial. Pengaruh variabel sistem birokrasi terbukti secara signifikan membentuk pola perilaku transisional tersebut. Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis jalur (path analysis). Analisis jalur dimaksudkan untuk menjelaskan hubungan korelasi antar variabel-variabel, dan mengetahui konstribusi masing-masing variabel terhadap variabel lainnya. Seperti yang diuraikan sebelumnya, dalam penelitian ini hipotesis mayor penelitian ini adalah Ada hubungan sistem birokrasi terhadap empat perilaku birokrasi. Hipotesis tersebut diturunkan dalam hipotesis minor. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan antara sistem birokrasi dengan empat perilaku birokrasi. Hasil uji analisis jalur menunjukkan bahwa sistem birokrasi berhubungan terhadap empat pola perilaku birokrasi. Berdasarkan daerah penelitian, tiga daerah yang memiliki pola hubungan yang sama, yaitu Makassar, Wajo dan Toraja dimana sistem birokrasi berhubungan terhadap perilaku otokratik, perilaku kustodial dan perilaku kolegial. Sedangkan Gowa terbukti secara signifikan sistem birokrasi hanya hubungan terhadap perilaku kustodial dan perilaku kolegial. Sistem birokrasi berhubungan terhadap perilaku otokratik untuk daerah Makassar (0,594), Wajo (0,752), Toraja (0,524). Demikian juga sistem birokrasi terbukti berhubungan terhadap perilaku kustodial di Makassar (0,662), Gowa (0,214), Wajo (0,747) dan Toraja (0,321). Untuk pengaruh sistem birokrasi secara signifikan juga berhubungan terhadap perilaku suportif terjadi pada Makassar (0,813), Wajo (0,814) dan Toraja (0,803). Tingkat signifikansi pembentuk perilaku suportif ini cukup tinggi dibandingkan dengan tiga perilaku lainnya yang memiliki hubungan. Hal ini menujukkan bahwa sistem birokrasi memberi pengaruh yang kuat terhadap timbulnya perilaku birokrasi yang modern dengan perilaku suportif, dimana setiap individu memberi dukungan yang tinggi terhadap pencapaian tujuan organisasi dan juga sebaliknya organisasi memberi penghargaan atas kinerja yang diberikan oleh anggotanya. Untuk pola perilaku kolegial membuktikan bahwa semua daerah memiliki kecenderungan yang sama bahwa sistem birokrasi membentuk pola perilaku kolegial yang kuat seperti pada Makassar (0,664), Gowa (0,594), Wajo (0,790), dan Toraja (0,555). Dalam pengujian hipotesis ini ditemukan bahwa sistem birokrasi pemerintahan daerah menyebabkan timbulnya perilaku birokrasi yang tradisional dengan mempraktekkan perilaku otokratik dan perilaku kustodial. Namun demikian, sistem birokrasi dapat pula menyebabkan timbulnya perilaku birokrasi modern dengan pola perilaku suportif dan perilaku kolegial. Selain itu, pembuktian hipotesis ini menjelaskan bahwa system birokrasi berada dalam transisi, yaitu masih mempraktekkan perilaku tradisional dengan perilaku otokratik dan perilaku kustodial, namun telah berorientasi modern dengan bukti pengaruh system birokrasi terhadap perilaku suportif dan perilaku kolegial sangat signifikan. Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa ada empat pola hubungan antara sistem birokrasi terhadap perilaku birokrasi, yaitu pola perilaku otokratik, kustodial, suportif dan kolegial. Berdasarkan analisis masing-masing daerah, maka di seluruh daerah penelitian membuktikan bahwa sistem birokrasi terbukti secara signifikan mempengaruhi pola perilaku otokratik, kustodial, suportif dan kolegial dengan perbedaan pada daerah Makassar (-0,084) dimana sistem birokrasi berpengaruh negatif secara langsung terhadap perilaku otokratik. Namun demikian, setelah diakumulasi menjadi sangat kuat pengaruh positifnya terhadap perilaku otokratik. Kabupaten Gowa terbukti sistem birokrasi berpengaruh langsung secara negatif (-0,186) terhadap perilaku kustodial dan setelah diakumulasi dengan pengaruh tidak langsung menjadi signifikan perilaku kustodial. Berdasarkan konstribusi faktor sistem birokrasi, hasil penelitian menunjukkan bahwa desain pekerjaan, sistem karier dan sistem penghargaan dan sanksi memberi konstribusi yang kuat terhadap perilaku otokratik. Temuan lain yang menarik adalah faktor rentang kendali ternyata secara langsung tidak terbukti berpengaruh terhadap perilaku otokratik, akan tetapi secara tidak langsung memberi konstribusi terhadap perilaku otokratik melalui desain pekerjaan, sistem karier, sistem pengahargaan dan sanksi. Walaupun demikian data deskriptif menunjukkan rentang kendali masing-masing instansi lokus penelitian menunjukkan rentang kendali yang sempit. Artinya pegawai semakin sering diawasi, otonomi kerja kurang, pimpinan memiliki kewenangan yang luas mengawasi dan mengendalikan bawahan. Dengan rentang kendali yang sempit menuntut kepada pegawai untuk selalu loyal dan patuh terhadap pimpinan.

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

35

Pengaruh sistem birokrasi terhadap perilaku kustodial, signifikan terhadap semua daerah penelitian. Kecuali di Gowa dimana secara langsung sistem birokrasi berpengaruh negatif terhadap perilaku kustodial. Artinya desain pekerjaan, sistem karier, sistem reward dan sanksi berhubungan secara negatif terhadap perilaku kustodial. Semakin tinggi penerapan desain pekerjaan, sistem karier dan reward dan sanksi semakin rendah perilaku kustodial. Pengaruh sistem birokrasi terhadap perilaku suportif cukup signifikan secara positif dan langsung maupun tidak langsung untuk Daerah Makassar, Wajo dan Toraja, sedangka Gowa tidak terbukti sistem birokrasi mempengaruh perilaku Suportif. Daerah yang termasuk memiliki pengaruh sistem birokrasi terhadap perilaku suportif ini adalah Makassar secara langsung sangat signifikan (0,510), pengaruh langsung Wajo (0,221) dan Toraja cukup kuat pengaruh langsung (0,479). Berdasarkan uraian di atas, bahwa sistem birokrasi berhubungan terhadap empat pola perilaku birokrasi, yaitu perilaku otoktratik, perilaku kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa sistem birokrasi pemerintah daerah masih menganut sistem birokrasi transisi atau prismatik (Riggs, 1988:315). Artinya sistem birokrasi masih mencampuradukan yang bersifat tradisonal dan modern. Ini dapat dilihat dari fakta bahwa pengaruh sistem birokrasi terhadap empat pola perilaku birokrasi, yaitu perilaku otokratik dan kustodial termasuk kategori perilaku tradisional dan perilaku suportif dan perilaku kolegial termasuk perilaku modern (David, 1985). Rentang kendali termasuk faktor yang memberi konstribusi terhadap pembentukan perilaku otokratik. Dalam sistem birokrasi, rentang kendali sangat penting dalam mengawasi dan mengendalikan tugas kepada setiap pegawai. Rentang kendali membutuhkan kewenangan, loyalitas dan kepatuhan dari birokrat. Nilai-nilai ini mendorong tumbuhnya perilaku otokratik. Dengan kepatuhan dan loyalitas, birokrat dapat mempertahankan status dan fungsinya dengan baik walaupun kurang memiliki keahlian dan kompetensi. Dampak sistem karier belum memberi pengaruh terhadap tumbuhnya perilaku otokratik. Pola karier hanya berdasarkan atas pangkat/golongan, belum berkembang berdasarkan kompetensi dan keahlian. Rendahnya penerapan pola karier berpengaruh terhadap perilaku otokratik. Seperti temuan sebelumnya, bahwa pola karier birokrat diintervensi oleh pejabat politik melalui keterlibatan dalam Pilkada sehingga pengangkatan birokrat dalam jabatan bukan berdasarkan pertimbangan karier dan kompetensi melaingkan pertimbangan politis, kedekatan, kekerabatan dan kekeluargaan. Sistem penghargaan dan sanksi berhubungan terhadap perilaku otokratik. Semakin rendah penghargaan dan sanksi semakin tinggi pengaruhnya terhadap perilaku otoriter. Sistem penghargaan dan sanksi yang berlaku pada birokrasi saat ini belum mampu mendorong tumbuhnya semangat kerja dan prestasi kerja. Seseorang yang memiliki prestasi kerja baik diperlakukan sama dengan mereka yang bekerja jelek. Demikian juga pelanggaran disiplin tidak diberikan sanksi yang setimpal sehingga sistem sanksi tidak dipatahui. Konstribusi sistem birokrasi terhadap perilaku suportif sangat signifikan. Hal ini berarti beberapa sistem birokrasi turut berpengaruh terhadap perilaku suportif. Seperti desain pekerjaan, sistem rentang kendali, sistem karier dan sistem pengahargaan dan sanksi. Desain pekerjaan telah menetapkan tugas pokok dan fungsi jabatan, menetapkan syarat jabatan dan pola-pola komunikasi antara satu jabatan dengan jabatan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari seluruh uraian tugas pokok dan fungsi organsasi masing-masing instansi. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi jabatan/pekerjaan, birokrat telah memiliki spesifikasi tugas dan fungsi. Desain pekerjaan ini menimbulkan pola pengelolaan kinerja organisasi tertata, seperti dapat dilihat dari visi, misi, tujuan, sasaran, program dan kegiatan masing-masing unit kerja. Melalui desain pekerjaan dapat menetapkan kinerja masing-masing pegawai sehingga memberi dukungan yang tinggi terhadap organsasi untuk mencapai tujuan. Unsur desain pekerjaan, seperti keragaman tugas, identitas tugas, signifikasi tugas, otonomi tugas dan umpan balik tugas belum mampu meningkatkan motivasi pegawai dalam bekerja, sehingga menimbulkan perilaku otokratik, para birokrat tidak termotivasi dengan pekerjaan tetapi termotivasi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri karena hasil desain pekerjaan masih rendah atau belum mampu menjadi faktor motivator bagi pegawai untuk meningkatkan spesialisasi

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 36

dan keahlian serta prestasi kerja. Hal ini sejalan dengan pendapat (Harris, 2000:370). Desain pekerjan untuk meningkatkan keahlian. Desain pekerjaan untuk meningkatkan kepuasan kerja dan kinerja (Kreitner, 2001:215). Desain pekerjaan berperan dalam produktivitas dan kepuasan pegawai dimana dalam mendesain pekerjaan harus dilakukan secara bertangunggungjawab (Ivancevich, 2001:172) dan (Hackman and Odham, 1976). Ketika desain pekerjaan mampu menghasilkan motivasi berpretasi dan kepuasan pegawai, maka pegawai berorientasi untuk mencapai prestasi yang tertinggi sehingga pekerjaan menjadi motivator bagi dirinya. Demikian juga tentang rentang kendali, walaupun rentang kendali birokrasi pemerintah sempit, namun dapat meningkatkan efektivitas kerja birokrasi karena kemampuan birokrat masih rendah. Gibson (1995) menjelaskan rentang kendali yang sempit cocok untuk pegawai yang memiliki kemampuan terbatas. Pola hubungan sistem birokrasi terhadap perilaku kolegial sangat kuat untuk semua daerah penelitian. Hal ini berarti konstribusi unsur-unsur sistem birokrasi terhadap perilaku birokrasi sangat posistif. Perilaku kolegial suatu perilaku yang mengutamakan hubungan manusia dan kinerja secara simultan. Sama pentingnya mengedepankan aspek manusia dalam organisasi dengan aspek kinerja organisasi. Kinerja organisasi tinggi manakala didukung oleh manusia yang peduli dengan organisasinya. Manusia peduli dengan organisasinya jika organisasi peduli dengan anggaotanya. Temuan penelitian ini sejalan dengan teori instrinsk dari Herzberg; orientasi berpreastasi dari Mc Clelland. Beberapa unsur sistem birokrasi yang berhubungan terhadap perilaku kolegial adalah desain pekerjaan yang telah berorientasi spesialisasi, tugas, tanggungjawab, wewenang. Dengan kejelasan tugas, tanggungjawab, tuntutan keahlian mendorong pegawai untuk mencapai prestasi yang baik. Demikian sebaliknya, perhatian organisasi terhadap pegawai cukup tinggi melalui berbagai penghargaan, insentif, kondisi lingkungan kerja yang penuh dengan suasana persahatan dan kekeluargaan. Birokrat merasa nyaman bekerja dalam organisasi dan pegawai merasa bangga bekerja sebagai PNS. Sesuai hasil penelitian deskriptif sebelumnya bahwa sistem birokrasi berada dalam taraf sedang (65,81), termasuk seluruh komponen sistem birokrasi; desain pekerjaan rentang kendali, sistem karier dan sistem penghargaan dan sanksi. Kesimpulan umum untuk hubungan sistem birokrasi terhadap perilaku birokrasi; yaitu sistem birokrasi masih transisi; sistem birokrasi dapat menyebabkan perilaku birokrasi tradisional, yaitu perilaku otokratik dan perilaku kustodial, disisi lain sistem birokrasi mempengaruhi pula perilaku organisasi birokrasi modern yaitu suportif dan kolegial. Hal ini sejalan dengan kesimpulan Riggs (1985) bahwa administrasi negara-negara berkembang menganut prismatik, disatu sisi masih mempraktekkan nilai yang tradisional, tetapi disisi lain menerapkan prinsip-prinsip modern. Untuk menjelaskan secara deskriptif pola hubungan system birokrasi terhadap perilaku birokrasi dapat dilihat pada Tabel 7. Pada Tabel 7 tersebut menunjukkan bahwa sistem birokrasi yang diukur melalui desain pekerjaan, rentang kendali, sistem karier dan sistem penghargaan dan sanksi berpengaruh terhadap empat pola perilaku birokrasi; pola perilaku otokratik, kustodial, suportif dan kolegial. Berdasarkan analisis daerah penelitian, Gowa tidak terbukti sistem birokrasi berhubungan terhadap perilaku otokratik dan perilaku suportif. Namun demikian, Gowa terbukti sistem birokrasi mempengaruhi pembentukan perilaku transisional dengan perilaku tradisional yang menerapkan pola kustodial dan perilaku modern dengan pola perilaku kolegial. Berdasarkan masing-masing daerah penelitian, Kota Makassar, Wajo dan Toraja menunjukkan pola yang sama, dimana sistem birokrasi berhubungan terhadap keempat perilaku birokrasi. Hanya Kabupaten Gowa yang berbeda, dimana sistem birokrasi hanya terbukti berhubungan terhadap kustodial dan kolegial, dan tidak terbukti berhubungan terhadap perilaku otokratik dan perilaku suportif. Hasil temuan ini menunjukkan bahwa sistem birokrasi pemerintah daerah saat sekarang berperan cukup signifikan membentuk perilaku birokrasi transisional, dimana perilaku birokrasi menerapkan perilaku tradisional dengan pola otokratik dan kustodial, disisi lain pengaruh sistem birokrasi telah membentuk perilaku birokrasi yang modern dengan pola perilaku suportif dan perilaku kolegial.

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

37

Berdasarkan analisis deskriptif dan analisis hubungan dengan menggunakan analisis jalur diketahui bahwa hubungan sistem birokrasi terhadap perilaku birokrasi sangat signifikan. Sistem birokrasi memiliki empat hubungan terhadap pola perilaku birokrasi; yaitu perilaku otokratik, perilaku kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial. Sistem birokrasi meliputi desain pekerjaan, sistem rentang kendali, sistem karier dan sistem reward dan punishment (penghargaan dan sanksi). Penelitian Gunawan (2004) tentang pengaruh reformasi sistem birokrasi terhadap pelaksanaan otonomi, yang meneliti variabel struktur, perilaku birokrat, unjuk kerja dan rekruitmen berpengaruh terhadap pelaksanaan otonomi daerah, namun secara dimensional struktur, perilaku birokrat, unjuk kerja dan rekruitmen pengaruhnya sangat kecil terhadap otonomi. Penelitian lain, Parhusip (2006) tentang pengaruh desain pekerjaan dan kompetensi terhadap kepuasan kerja dan implikasinya terhadap kinerja pegawai, bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara desain pekerjaan terhadap perilaku kerja yang berorientasi prestasi kerja bagi organisasi.
Tabel 7 Hubungan antar variabel sistem birokrasi terhadap Perilaku Birokrasi Berdasarkan Daerah Penelitian
Variabel Sistem Birokrasi Makassar Perilaku Otokratik: Orientasi kekuasaan dan kewenangan Kepatuhan Ketergantungan pada atasan Pemenuhan kebutuhan pokok Prestasi yang minim Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif Perilaku Suportif Keteraturan dalm mengelola sumber daya organisasi Dukungan individu terhadap kinerja Status dan pengakuan dari organisasi Tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadisiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi Kabupaten/Kota dan Perilaku Birokrasi Gowa Wajo Perilaku Otokratik: Perilaku Otokratik: Orientasi kekuasaan dan kewenangan Kepatuhan Ketergantungan pada atasan Pemenuhan kebutuhan pokok Prestasi yang minim Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif Perilaku Suportif Keteraturan dalm mengelola sumber daya organisasi Dukungan individu terhadap kinerja Status dan pengakuan dari organisasi Tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai Toraja Perilaku Otokratik Orientasi kekuasaan dan kewenangan Kepatuhan Ketergantungan pada atasan Pemenuhan kebutuhan pokok Prestasi yang minim

(tidak terbukti memiliki hubungan)

Sistem Birokrasi Desain Pekerjaan Rentang Kendali Sistem Karier Sistem penghargaan dan sanksi

Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif Perilaku Suportif

Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif Perilaku Suportif Keteraturan dalm mengelola sumber daya organisasi Dukungan individu terhadap kinerja Status dan pengakuan dari organisasi Tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai

(tidak terbukti memiliki hubungan)

Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadsiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadsiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadsiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Sumber: Hasil Olahan Data Primer

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 38

Sebagaimana dijelaskan oleh Davis (1985), bahwa perilaku otokratik dan perilaku kustodial termasuk klasifikasi perilaku birokrasi yang tradisional, sedangkan perilaku suportif dan perilaku kolegial termasuk klasifikasi perilaku birokrasi modern. Perilaku yang dituntut sekarang adalah perilaku birokrasi modern yang dicirikan oleh sistem yang terbuka, orientasi manusia, penyebaran kekuasaan, motivasi instrinsik, sikap yang positif terhadap orang lain, keseimbangan fokus pada kebutuhan pegawai dan organisasi, swadisiplin, peran manajemen atas dasar kepemimpinan dan dukungan tim. Berdasarkan empat pola pengaruh sistem birokrasi terhadap perilaku birokrasi maka dapat disimpulkan bahwa, sistem birokrasi pemerintah daerah masih menganut birokrasi transisional, masih bercirikan perilaku tradisonal dan dalam masa berubah kearah perilaku birokrasi modern. Kesimpulan ini senada dengan Riggs (1988) bahwa birokrasi negara-negara berkembang manganut birokrasi prismatik, nilai-nilai tradisonal bercampur dengan nilai-nilai modern dalam sistem birokrasi. Dari perspektif pola perilaku birokrasi seperti temuan penelitian di atas ternyata sistem birokrasi mempengaruhi secara dominan perilaku otokratik, kustodial dan suportif dan perilaku kolegial. Artinya pola perilaku birokrasi pemerintah daerah masih mempraktekkan perilaku tradisional dan juga telah berorientasi perilaku modern. Hal ini sesuai dengan penjelasan Thoha (1989), dan Davis (1985:224) bahwa organisasi yang cenderung birokratis yang lebih berorientasi status, kekuasaan, kewenangan dan hirarki akan cenderung bersifat tertutup, kurang adaptif dan fleksibel dan kurang menghargai inovasi. Oleh karena itu, pola perilaku seperti ini termasuk perilaku tradisional, yaitu perilaku otokratik dan perilaku kustodial. Meskipun hasil penelitian ini telah menunjukkan adanya perubahan kearah perilaku suportif dan perilaku kolegial, namun perilaku birokrasi masih belum berubah sacara signifikan, masih mengembangkan perilaku tradisional. Namun demikian, telah terjadi kecenderungan perubahan perilaku organisasi dari karakteristik yang tertutup kearah sistem terbuka, dari orientasi materialistik ke orientasi manusia, pemusatan kekuasaan kearah penyebaran kekuasaan. Pegawai memiliki motivasi ekstriksik menjadi motivasi instriksik. Setiap orang memiliki sikap negatif terhadap orang menjadi memiliki sikap positif terhadap orang lain. Perubahan orientasi ke arah perilaku birokrasi modern belum bersifat permanen, tetapi masih bersifat fluktuatif tergantung kondisi dan orientasi yang mempengaruhinya. Hal ini berarti akan terjadi masa transisi perilaku birokrasi yang panjang dari tradisional ke modern. Perilaku birokrasi modern dapat tumbuh permanen apabila nilai-nilai transparansi, keterbukaan, sistem karier, akuntabilitas kinerja dan distribusi kekuasaan dapat ditegakkan secara konsisten tanpa memandang status sosial yang berbeda. 3. Hubungan Budaya Lokal Dengan Perilaku Birokrasi Budaya lokal terbukti berpengaruh terhadap empat perilaku birokrasi. Analisis beradasarkan masing-masing daerah menunjukkan pola yang sama, dimana sistem birokrasi mempengaruhi perilaku otokratik dan perilaku kolegial untuk semua daerah penelitian. Sedangkan pengaruh budaya lokal terhadap perilaku kustodial hanya terbukti di daerah Makassar, Gowa, dan Toraja. Pengaruh budaya lokal terhadap perilaku suportif terbukti pada daerah Wajo dan Toraja. Pengaruh budaya organisasi terhadap empat pola perilaku birokrasi terbukti secara signifikan dan terjadi pada semua daerah penelitian. Gambaran ini menunjukkan bahwa perilaku birokrasi pemerintah daerah masih menerapkan perilaku transisional, disatu sisi birokrasi menerapkan perilaku tradisional dengan pola otokratik dan kustodial, disisi lain orientasi perilaku telah berubah kearah perilaku modern dengan menerapkan pola perilaku suportif dan perilaku kolegial. Pengaruh variabel budaya lokal terbukti secara signifikan membentuk pola perilaku transisional tersebut. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis jalur (path analysis). Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis jalur (path analysis). Analisis jalur dimaksudkan untuk menjelaskan hubungan korelasi antar variabel, dan mengetahui kontribusi masing-masing variabel terhadap variabel lainnya. Seperti yang diuraikan sebelumnya, dalam penelitian ini hipotesis mayor penelitiannya adalah Ada hubungan budaya lokal terhadap empat

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

39

perilaku birokrasi. Hipotesis tersebut diturunkan dalam hipotesis minor. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan antara budaya lokal dengan empat perilaku birokrasi. Hasil uji analisis jalur menunjukkan bahwa bahwa budaya lokal berhubungan terhadap empat pola perilaku dengan variasi pola hubungan yang berbeda masing-masing daerah penelitian. Budaya lokal terbukti memiliki hubungan yang sangat signifikan terhadap pola perilaku otokratik pada semua daerah penelitian, seperti di Makassar (0,796), Gowa, (0,540), Wajo (0,609) dan Toraja (0,206). Demikian juga pola perilaku kolegial membuktikan hubungan yang signifikan pada semua daerah penelitian, seperti di Makassar (0,573), Gowa (0,504), Wajo (0,552) dan Toraja (0,414). Sebaliknya, terhadap perilaku kustodial dan perilaku suportif hanya terbukti perhubungan pada daerah Makassar, Gowa dan Toraja. Sedangkan pengaruh budaya lokal terhadap perilaku suportif hanya terjadi pada daerah Wajo dan Toraja. Pembuktikan adanya pengaruh budaya lokal terhadap empat perilaku birokrasi menjelaskan bahwa nilai-nilai budaya lokal cukup kuat membentuk perilaku birokrasi yang tradisional dengan pola perilaku otokratik dan perilaku kustodial. Di samping itu, budaya lokal juga memberi pengaruh yang kuat terhadap perilaku birokrasi modern dengan pola perilaku suportif dan perilaku kolegial. Budaya lokal yang meliputi nilai-nilai Siri, pacce, dan Werre terbukti mempengaruhi empat pola perilaku birokrasi dengan pola dan variasi berdasarkan daerah yang berbeda. Budaya lokal terbukti mempengaruhi perilaku otokratik pada daerah Makassar, Wajo dan Toraja, sedangkan Gowa tidak terbukti. Demikian juga budaya lokal terbukti sangat berperan membentuk perilaku kustodial dan terjadi pada daerah Makassar, Gowa dan Toraja, sedangkan di Wajo tidak terbukti bahwa budaya lokal membentuk perilaku kustodial. Untuk daerah Wajo dan Toraja menunjukkan pola yang sama dimana budaya lokal terbukti membentuk pola perilaku suportif, sedangkan di Makassar dan Toraja tidak terbukti. Peran budaya lokal dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku kolegial sangat signifikan terjadi pada semua daerah penelitian. Di Toraja menunjukkan tingkat perilaku yang sangat sempurna membentuk empat perilaku birokrasi dimana budaya lokal sama-sama berperan dalam membentuk dan mempengaruhi empat pola perilaku birokrasi (otokratik, kustodial, suportif dan kolegial). Berdasarkan analisis masing-masing daerah penelitian, untuk Kota Makassar menunjukkan bahwa budaya lokal berhubungan terhadap perilaku otokratik, kustodial dan kolegial. Sedangkan untuk Kabupaten Gowa, pengaruh budaya lokal terbukti berhubungan terhadap perilaku kustodial dan kolegial. Berdasarkan analisis data, budaya lokal tidak berhubungan terhadap perilaku otokratik dan suportif untuk Kabupaten Gowa. Sedangkan untuk Kabupaten Wajo, budaya lokal berhubungan terhadap perilaku otokratik, suportif dan kolegial, namun tidak terbukti berhubungan terhadap perilaku suportif. Untuk Kabupaten Toraja, ternyata budaya lokal berhubungan terhadap empat pola perilaku --otokratik, kustodial, suportif dan kolegial. Beradasarkan keseluruhan temuan penelitian, terutama hasil analisis jalur menunjukkan bahwa budaya lokal berpengaruh terhadap empat perilaku birokrasi dengan berbagai pola dan variasi yang berbeda masing-masing daerah penelitian. Namun demikian ada dua pola yang secara umum terjadi pada semua daerah penelitian, yaitu: (1) budaya lokal berpengaruh terhadap perilaku otokratik terbukti pada empat daerah penelitian; Makassar, Gowa, Wajo dan Toraja; (2) budaya lokal berpengaruh terhadap perilaku kolegial, terbukti secara akumulatif terjadi pada Makassar, Gowa, Wajo dan Toraja. Sedangkan Pengaruh budaya lokal terhadap perilaku kustodial hanya terbukti pada daerah penelitian makassar, Gowa dan Toraja. Budaya lokal juga berpengaruh terhadap perilaku suportif, terbukti secara signifikan pada daerah penelitian Wajo dan Toraja. Hubungan budaya lokal terhadap perilaku otokratik sangat signifikan. Sebenarnya apabila ditelusuri secara deksriptif, hubungan tersebut hanyalah merupakan dampak yang ditimbulkan dari rendahnya komitmen birokrat dalam menerapkan nilai-nilai budaya Siri, pacce dan Werre. Sejalan dengan temuan ini Abu Hamid, Matullada (2005), dan Munadah (2005) menyimpulkan bahwa nilai Siri dalam budaya masyarakat Bugis-Makassar saat sekarang telah mengalami pergeseran. Walapun Siri masih diakui, nilai-nilainya bukan lagi menjadi acuan yang utama dalam

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 40

berperilaku, tetapi nilai-nilai kehidupan yang pragmatis seperti kepuasan harta dan kekuasaan lebih diutamakan.
Tabel 8 Hubungan antara Budaya Lokal Terhadap Perilaku Birokrasi Berdasarkan Daerah Penelitian
Variabel Budaya Lokal Makassar Perilaku Otokratik: Orientasi kekuasaan dan kewenangan Kepatuhan Ketergantungan pada atasan Pemenuhan kebutuhan pokok Prestasi yang minim Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif Perilaku Suportif Kabupaten/Kota dan Perilaku Birokrasi Gowa Wajo Perilaku Otokratik: Perilaku Otokratik: Orientasi kekuasaan dan kewenangan Kepatuhan Ketergantungan pada atasan Pemenuhan kebutuhan pokok Prestasi yang minim Perilaku Kustodial Toraja Perilaku Otokratik Orientasi kekuasaan dan kewenangan Kepatuhan Ketergantungan pada atasan Pemenuhan kebutuhan pokok Prestasi yang minim

(tidak terbukti memiliki hubungan)

Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif

Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif Perilaku Suportif Keteraturan dalm mengelola sumber daya organisasi Dukungan individu terhadap kinerja Status dan pengakuan dari organisasi Tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai

(tidak terbukti memiliki hubungan) Perilaku Suportif Keteraturan dalm mengelola sumber daya organisasi Dukungan individu terhadap kinerja Status dan pengakuan dari organisasi Tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai

Perilaku Suportif

Budaya Lokal Siri Pacce Werre

(tidak terbukti memiliki hubungan)

(tidak terbukti memiliki hubungan)

Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadisiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadsiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadsiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadsiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Sumber; Hasil olahan data primer

Berdasarkan analisis masing-masing daerah menunjukkan bahwa Makassar dan Toraja memiliki hubungan langsung yang positif signifikan antar penerapan budaya lokal terhadap perilaku kolegial, suatu perilaku yang profesional diharapkan diterapkan oleh birokrasi yaitu mencapai kinerja yang tinggi dengan memberikan penghargaan terhadap pegawai yang paralel dengan kinerjanya. Sedangkan di Gowa dan Wajo menunjukkan bahwa budaya lokal berhubungan secara negatif terhadap perilaku kolegial. Artinya semakin tinggi diterapkan nilai-nilai budaya lokal pada kedua daerah tersebut semakin rendah terciptanya perilaku kolegial. Hal ini dapat dijelaskan bahwa budaya lokal selama ini yang diterapkan pada Gowa dan Wajo tidak konsisten terhadap nilai-nilai siri dan Werre yang relevan sesuai dengan kebutuhan terbentuknya perilaku kolegial yang menghargai prestasi kerja yang tinggi, tumbuhnya komitmen akan disiplin kerja yang kuat dan tanggungjawab atas pekerjaan dan tugas jabatan secara konsisten. Nilai-nilai budaya lokal yang berkembang pada kedua daerah tersebut lebih kuat membentuk dan memihak kepentingan

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

41

kekeluargaan, kolega dan solidaritas kelompok yang kuat sehingga kurang memberi kontribusi yang kuat terhadap terbentuknya perilku kolegial yang positif. Secara akumulatif, Makassar, Gowa, Wajo dan Toraja memiliki hubungan positif yang signifikan pengaruh budaya lokal terhadap empat pola perilaku birokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa budaya lokal memberi peran dan fungsi yang besar terhadap terbentuk pola perilaku otoktratik, kustodial, suportif dan kolegial. Hasil kajian sebelumnya menunjukkan bahwa pengaruh budaya lokal terhadap birokrasi pemerintah di Sulawesi Selatan sangat berhubungan, dimana nilai budaya etnis Sulawesi Selatan masih relevan dengan sikap dan perilaku seseorang, kelompok dan organisasi pemerintahan. Abdullah (1985) meneliti tentang birokrasi dan pembangunan nasional, studi tentang peranan birokrasi lokal dalam implementasi program-program pembangunan di Sulawesi selatan menemukan bahwa nilai budaya Bugis-Makassar perpengaruh terhadap perilaku birokrasi, seperti nilai kerja dan usaha, dorongan berprestasi, menggunakan waktu yang tepat, lempu atau jujur, tegas dan teguh dalam pendirian, berani, tidak penakut, rendah hati. Abu hamid (1994), Rahim (1992), Munadah (2005), menyimpulkan bahwa birokrasi yang diperankan oleh orang-orang Makassar merupakan sistem sosial budaya yang bertumpu pada penghayatan, pengalaman terhadap nilai Siri dalam suatu sistem sosial panggadakang pada interaksi pelayanan publik. Walaupun birokrat Makassar masih merasa memiliki Siri, akan tetapi peranannya dalam birokrasi pelayanan publik kurang berfungsi lagi. 4. Hubungan Budaya Organisasi Dengan Perilaku Birokrasi Budaya organisasi secara signifikan terbukti berpengaruh terhadap empat pola perilaku birokrasi dan hal ini terjadi pada semua daerah penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku birokrasi pemerintah daerah masih menerapkan perilaku transisional, dimana birokrasi menerapkan perilaku tradisional dengan dengan pola otokratik dan kustodial di satu sisi, dan disisi lain orientasi perilaku telah berubah kearah perilaku modern dengan menerapkan pola perilaku suportif dan perilaku kolegial. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa pengaruh variabel budaya organisasi terbukti secara signifikan membentuk pola perilaku transisional tersebut. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis jalur (path analysis). Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis jalur (path analysis). Analisis jalur dimaksudkan untuk menjelaskan hubungan korelasi antar variabel, dan mengetahui konstribusi masing-masing variabel terhadap variabel lainnya. Seperti yang diuraikan sebelumnya, dalam penelitian ini hipotesis mayor penelitiannya adalah Ada hubungan budaya organisasi terhadap empat perilaku birokrasi. Hipotesis tersebut diturunkan dalam hipotesis minor. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan antara budaya organisasi dengan empat perilaku birokrasi. Hasil uji analisis jalur menunjukkan bahwa budaya organisasi berhubungan terhadap empat perilaku birokrasi pada seluruh daerah penelitian, Makassar, Gowa, Wajo dan Toraja. Hal ini berarti budaya organisasi memberi pengaruh yang kuat terhadap munculnya perilaku otokratik seperti di Makassar (0,780), Gowa (0,659), Wajo (0,929) dan Toraja (0,730). Budaya organisasi berhubungan secara signifikan terhadap perilaku kustodial, Makassar (0,722), Gowa (0,839), Wajo (0,898), dan Toraja (0,439). Hubungan budaya organisasi terhadap perilaku suportif cenderung kuat seperti pada semua daerah, seperti Makassar (0,807), Gowa (0,541), Wajo (0,905) dan Toraja (0,759). Sementara pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku kolegial menunjukkan kecenderungan yang sama dengan tiga pola budaya yang lainnya. Melalui Table 9, secara deskriptif dapat dijelaskan bahwa budaya organisasi --meliputi budaya jaringan, upahan, fragmen, dan budaya komunal-- sangat berpengaruh terhadap empat pola perilaku birokrasi pemerintahan daerah --pola perilaku otokratik, kustodial, suportif dan kolegial. Temuan ini terbukti terhadap empat daerah penelitian --Makassar, Gowa, Wajo dan Toraja-- baik secara langsung maupun tak langsung memiliki hubungan yang signifikan. Temuan ini menggambarkan bahwa ternyata yang menyebabkan perilaku birokrasi pemerintahan daerah transisional adalah pengaruh budaya organisasi. Budaya organisasi menyebabakan timbulnya perilaku tradisional dengan pola otokratik dan kustodial. Disisi lain dengan pengaruh budaya organisasi menyebabkan perilaku birokrasi menerapkan perilaku modern dengan mempraktekkan pola suportif dan kolegial. Transisi perilaku birokrasi akan bergeser kearah perilaku modern

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 42

dengan menerapkan prinsip-prinsip organisasi yang universal mendorong berkembang birokrasi dengan sistem yang terbuka, orientasi terhadap manusia, penyebaran kekuasaan, mengembangkan sikap positif terhadap orang lain, keseimbangan fokus pada kebutuhan pegawai dan organisasi, dan para pemimpin mengembangkan kemitraan dan memberi dukungan terhadap kerja tim (Davis, 1985:224). Berdasarkan hasil uji hubungan melalui analisis jalur diketahui bahwa budaya organisasi -yaitu budaya jaringan, budaya upahan, budaya fragmen (terpotong), dan budaya komunal-berhubungan secara signifikan terhadap empat polan perilaku birokrasi yaitu perilaku otokratik, kustodial, suportif dan perilaku kolegial.
Tabel 9 Hubungan antar variabel Budaya Organisasi Terhadap Perilaku Birokrasi Berdasarkan Daerah Penelitian
Variabel Budaya Organisasi Makassar Perilaku Otokratik: Orientasi kekuasaan dan kewenangan Kepatuhan Ketergantungan pada atasan Pemenuhan kebutuhan pokok Prestasi yang minim Kabupaten/Kota dan Perilaku Birokrasi Gowa Wajo Perilaku Otokratik: Orientasi kekuasaan dan kewenangan Kepatuhan Ketergantungan pada atasan Pemenuhan kebutuhan pokok Prestasi yang minim Perilaku Otokratik: Orientasi kekuasaan dan kewenangan Kepatuhan Ketergantungan pada atasan Pemenuhan kebutuhan pokok Prestasi yang minim Toraja Perilaku Otokratik Orientasi kekuasaan dan kewenangan Kepatuhan Ketergantungan pada atasan Pemenuhan kebutuhan pokok Prestasi yang minim

Budaya Organisasi: Budaya Jaringan Budaya Upahan Budaya Fragmen Budaya Komunal

Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif Perilaku Suportif Keteraturan dalm mengelola sumber daya organisasi Dukungan individu terhadap kinerja Status dan pengakuan dari organisasi Tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadisiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif Perilaku Suportif Keteraturan dalm mengelola sumber daya organisasi Dukungan individu terhadap kinerja Status dan pengakuan dari organisasi Tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai

Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif Perilaku Suportif Keteraturan dalm mengelola sumber daya organisasi Dukungan individu terhadap kinerja Status dan pengakuan dari organisasi Tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai

Perilaku Kustodial Orientasi pada sumber daya ekonomi organisasi Orientasi rasa aman Kerjasama yang pasif Perilaku Suportif Keteraturan dalm mengelola sumber daya organisasi Dukungan individu terhadap kinerja Status dan pengakuan dari organisasi Tumbuhnya dorongan dari hasil prestasi yang dicapai

Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadsiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadsiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Perilaku Kolegial Kemitraan kerja Kerjasama tim Tanggungjawab Swadsiplin Aktualisasi diri Antusiasme dalm berprestasi

Sumber: Hasil olahan data primer

Kontribusi budaya fragmen --suatu budaya indivualistik, mementingkan diri pribadi birokrat daripada kepentingan organisasi-- terhadap perilaku otokratik --perilaku yang berpihak kepada kepetingan diri sendiri, melalui orientasi pemenuhan kebutuhan fisik, kekuasaan, kewenangan dan loyalitas-- menunjukkan kontribusi sangat signifikan.

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

43

Demikian juga halnya tentang budaya jaringan, konstribusinya terhadap terbentuknya perilaku kustodial sangat signifikan. Karakteristik budaya jaringan adalah menonjolkan nilai persahabatan dan kekeluargaan dalam biriokrasi sangat dominan. Organisasi yang cenderung memaksimalkan nilai-nilai kekeluargaan dan persahabatan akan cenderung permisif dan kurang menghargai prestasi dan produktivitas (Davis, 1985). Budaya organisasi yang konservatif dan kompromistik cenderung membiarkan perilaku pejabat publik yang tidak diharapkan (Mariana, 2007:v). Konstribusi budaya organisasi yang bersifat komunal --yaitu memiliki orientasi kinerja dan menghargai persahabatan dan kekeluargaan yang tinggi-- turut memberi konstribusi terhadap terbentuknya perilaku kolegial --suatu perilaku yang menuntut kepada birokrat untuk memiliki tanggungjawab yang kuat, swadisiplin, berkembangnya pola kemitraan dalam bekerja dan tumbuhnya tim kerja yang kuat dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Hasil penelitian Mariana (2007) di Jawa Barat menemukan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap perilaku pejabat publik secara signifikan. Kondisi budaya organisasi pada Pemerintah Jawa Barat dibentuk oleh nilai-nilai dan norma kolektif yang cenderung konservatif dan tidak adaptif terhadap nilai-nilai baru yang berasal dari luar lingkungan birokrasi. Perilaku pejabat publik cenderung mengarah pada perilaku yang tidak diharapkan, seperti orientasi kekuasaan, jabatan, status, kejahatan kerah putih, penyiapan, dan cenderung membiarka. Perilaku otokratik dan perilaku kustodial merupakan perilaku yang tidak diharapkan dalam organisasi modern, karena merugikan kepetingan organisasi dan masyarakat yang dilayani oleh birokrat, termasuk karakteristik perilaku yang terjadi pada organisasi tradisional yang mengandalkan kewenangan, hirarki, kekuasaan, dan bersifat tertutup (Davis, 1985; Hasan, 2004; Mintzberg, 1981). Temuan yang sama juga dikemukakan Kausar (2006) yang meneliti tentang budaya patronklien dalam perilaku birokrasi di daerah, kasus di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung, bahwa terjadi hubungan yang siginifikan antara budaya patron-klien, utamanya memperlemah kinerja birokrasi. Hal ini terjadi karena birokrasi tidak rasional dan tidak netral, hanya mengutamakan birokratnya saja dan mengutamakan kepentingannya sendiri bukan untuk kepentingan masyarakat.

V. Penutup
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang diuraikan di atas, ada beberapa kesimpulan dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Karakteristik birokrat menyebabkan munculnya perilaku birokrasi transisional; dimana dengan pengaruh karakteristik birokrat menyebabkan perilaku birokrasi tradisional dengan pola perilaku otokratik dan custodial. Disisi lain, karakteristik birokrat menyebabkan timbulnya perilaku birokrasi modern dengan pola perilaku suportif dan kolegial. Karakteristik birokrat meliputi kemampuan, sikap kerja dan motivasi. Berdasarkan daerah penelitian, pengaruh karakteristik birokrat terhadap perilaku otokratik hanya terbukti di Kota Makassar. Untuk pengaruh karaktersitik birokrat terhadap perilaku custodial dan perilaku kolegial terjadi pada semua daerah penelitian. Sedangkan pengaruh karakteristik birokrat terhadap perilaku suportif terbukti pada daerah Gowa, Wajo dan Toraja. 2. Sistem birokrasi menyebabkan timbulnya perilaku birokrasi bersifat transisional, disatu sisi perilaku birokrasi masih mempraktekkan perilaku tradisional dengan perilaku otokratik dan perilaku kustodial, disisi lain orientasi perilaku birokrasi berubah kearah modern dengan perilaku suportif dan perilaku kolegial. Berdasarkan analisis masing-masing daerah, sistem birokrasi berhubungan terhadap perilaku otokratik, perilaku kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial pada Kota Makassar, Kabupaten Wajo, dan Toraja. Sedangkan Kabupaten Gowa, sistem birokrasi hanya berhubungan terhadap perilaku kustodial dan perilaku kolegial.

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 44

3. Budaya lokal meliputi siri, pacce dan werre menyebabkan munculnya praktek perilaku birokrasi yang tradisional bersifat otokratik dan custodial dan perilaku modern dengan pola perilaku suportif dan kolegial. Berdasarkan masing-masing daerah penelitian, Makassar, Gowa, Wajo dan Toraja, budaya lokal berhubungan terhadap perilaku otokratik dan kolegial. Budaya lokal terbukti berpengaruh terhadap perilaku kustodial dan terbukti pada daerah Makassar, Gowa dan Toraja. Pengaruh budaya lokal terhadap perilaku suportif hanya terbukti pada daerah Wajo dan Toraja. 4. Budaya Organisasi berhubungan terhadap perilaku otokratik dan perilaku kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial. Berdasarkan konstribusi, faktor budaya komunal memiliki konstribusi yang sangat kuat terhadap terbentuknya perilaku suportif dan perilaku kolegial. Hasil analisis berdasarkan daerah penelitian bahwa budaya organisasi memiliki hubungan terhadap empat pola perilaku, yaitu perilaku otokratik, perilaku kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial. 5. Perilaku birokrasi pemerintah daerah bersifat transisional, yaitu masih tradisional dengan menampilkan perilaku otokratik dan kustodial, dan berorientasi modern dengan menampilkan perilaku suportif dan kolegial. Berdasarkan temuan penelitian, beberapa hal yang dapat disarankan sebagai berikut: Pemerintah Daerah diharapkan menerapkan perilaku suportif dan perilaku kolegial melalui peningkatkan kualitas karakteristik birokrat terutama dari kemampuan, sikap kerja dan motivasi birokrat. 2. Pemerintah Daerah melembagakan penerapan nilai-nilai budaya lokal seperti siri, pacce dan werre secara konsisten dalam membentuk perilaku birokrasi yang berorientasi terhadap perilaku suportif dan perilaku kolegial yang dituntut dalam birokrasi modern. 3. Budaya organisasi yang bersifat komunal dapat dikembangkan untuk mengintegrasikan nilainilai kekeluargaan dan kekerabatan untuk mencapai kinerja yang tinggi sehingga terbentuk perilaku suportif dan perilaku kolegial dalam birokrasi modern. 4. Transformasi perilaku birokrasi tradisional ke perilaku birokrasi modern dapat dilakukan dengan menerapkan secara konsisten prinsip-prinsip akuntabilitas, tranparansi, efisiensi, efektivitas dan pemberdayaan dalam organisasi modern dan kepemerintahan yang baik pada birokrasi pemerintahan daerah. 1.

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

45

Daftar Pustaka
Abdullah, M.S. 1985, Birokrasi dan Pembangunan Nasional, Studi tentang Peranan Birokrasi Lokal dalam Implementasi Program-program Pembangunan di Sulawesi Selatan (Disertasi), Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Albrow, Martin. 1989. Birokrasi, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. Armstrong, Michael and Angela Baron. 1998. Performance Management the New Realities, Institute of Personnel and Development, London. Blau, Peter M., dan Marshall W Meyer. 2000, Birokrasi dalam masyarakat Modern, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Breckler, S.J. 1984. Empirical Validation of Affect, Behavior, and Cognition as Distinct Componen of Attitute, Jurnal of Personality and Social Psychology. Bryant, Caroline., dan Louise G White. 1989. Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang, LP3ES, Jakarta. Cooke, R.A and J.L. Szumal, 1993, Measuring Normatif Beliefs Shared Behavioral Expectations In Organizations: The Reliability and Validity of the Organizational Culture Inventory, Psychologycal Report. Davis, Keith dan John W. Newstrom. 1985. Perilaku dalam Organisasi, Penerbit Erlangga Duncan, W. Jack. 1980. Organizational behavior, Edisi kedua, Boston, Houston mifflin Company, Festinger, L. 1957. Theory of Cognitive Dissonance (Stanford, CA: Standford University Press. Gibson, dkk. 1996. Organisasi: Perilaku, Struktur dan Proses (Jilid I dan II), Binarupa Aksara, Jakarta. Gibson, dkk. 1996. Organisasi: Perilaku, Struktur dan Proses, Binarupa Aksara, (Jilid I dan II), Jakarta. Goffee, R. and G. Jones. 1998. The Character of Corporation: How your Companys Culture can Make or Break Your Business (New York: Harper Business,) Gunawan. 2004. Pengaruh Reformasi Sistem Birokrasi Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Kendari, Disertasi Program Pascasarjana Unoversitas Padjajaran, Bandung. Hackman, J.R. and G.R. Oldham. 1976. Motivation Through the Design of Work: Test of Theory, Organizational Behavior and Human Perforrutnce. Hamid, Abu, dkk. 2003. Siri dan Pesse: Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja Harris, Marvin. 1980. Culture Materialism: The Struggle for a Science of Culture. New York: Vintage Books-Random House Publications. Hofstede, Geert. 1997. Culture and Organizational Sofwere of the Mind, McGraw-Hill, New York, 1997. Irving, P. Gregory; Daniel F. Coleman; Christine L Cooper. 1997. Further Assesments of Three component Model of Occupational Comimitmen: Generalizability and Difference Across Occupation. Journal of Applied Psikologi. Vol.82 no.3.444-452. Jong, Wook Ko, James L. Price & Charles W. Mueller. 1997. Assesment of Meyer-Allens Three Component Model of Organization Commitmen in Korea. Journal of Applied Psikology. Vol.82.n0.6.p961-973. Kausar, A.S. 2006. Budaya Patron-Klien Dalam Perilaku Birokrasi di Daerah. Stusi di Kabupaten Tulang Bawang Propinsi Lampung, Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung. Lubis, H. S.B., dan Martani Huseini. 1987. Teori Organisasi (Suatu Pendekatan Makro), Pusat antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial-Universitas Indonesia, Jakarta.

Dr. Burhanuddin Abubakar, M.Si

| 46

Mariana, Dede. 2007. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Perilaku Pejabat Publik: Studi pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung. Mattulada, Lato. 2005. Satu lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Meyer, John P. & Natalie J. Allen. 1997. Commitment in the work Place. London: Sage Publication. Mintzberg, Henry. Organization Design: Fashion Or Fit? Harvard Business Review, JanuariPebruary. Paranoan, Marang. 1981. Fungsi Tongkonan Dalam Kehidupan Orang Toraja, Universitas Hasanuddin. Parhusip, Bilmar. 2006. Pengaruh Desain Pekerjaan dan Kompetensi terhadap Kepuasan Kerja dan Implikasinya Kepada Kinerja Pegawai. Suatu Survei pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara di Lingkungan Kantor Wilayah XII Direktorat Jenderal Perbendaharaan Bandung Departemen Keuangan. Disertas. Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung. Riggs, Fred W. (ed.). 1994. Administrasi Pembangunan: Sistem Administrasi dan Birokrasi, Rajawali Press, Jakarta. Robbins, Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi (Konsep, Kontroversi, Aplikasi), Prenhalindo, Jakarta. Robbins, Stephen P. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi, (Edisi Kelima), Penerbit Erlangga, Jakarta. Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Organisasi, (Jilid 1 dan 2), PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta. Sahriah, M. 1977. Tongkonan sebagai Lembaga Persatuan Orang Toraja, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Santoso, Priyo Budi. 1995. Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Rajawali Pres, Jakarta. Schein, Edgar H. 1997. Organizational Culture and Leadership, Second Edition, Jossey-Bass Publishers, San Francisco, US. Schultz, Duane P. & Sidney Allen Schultz. 1994. Psikology and Work Today: An Introduction to Industrial and Organizational Psikology. New York. Mac Millan Publishing Company. Siagian, S.P. 1997. Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, Gunung Agung, Jakarta. Sigit, Soehardi. 2003. Perilaku Organisasional (Esensi), Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta. Thoha, Miftah. 1991. Perspektif Perilaku Birokrasi, Rajawali Press, Jakarta. Thoha, Miftah. 2002. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Thoha, Miftah. 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi (Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara (Jilid II), PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Walinono, Hasan. 1979. Tanete: Suatu studi Sosiologi Politik (Disertasi), Ujung Pandang. Weber, Max. 1947. The Theory of Social and Economic Organization, Translated by A.M. Henderson and Talcot Parsons (New York: Oxford University Press. Weber, Max. 2002. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (diterjemahkan oleh Yusup Priyasudiarja), Pustaka Promethea, Surabaya.

Studi Tentang Perilaku Birokrasi Pemerintah Kabupaten-Kota Di Sulawesi Selatan |

47

You might also like