You are on page 1of 9

Membangun Komunikasi Publik Yang Kuat : “Menciptakan Good

Governance”

Membangun Komunikasi Publik Yang Kuat : “Menciptakan Good Governance”[1]


Oleh : Sumadi[2]

Pendahuluan :
“Power Tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely”(adagium politik).
Membicarakan kekuasaan merupakan hal yang sangat menarik dan selalu aktual. Hal ini
disebabkan karena kekuasaan merupakan titik awal dari sebuah nasib perjalanan
peradaban manusia. Kekuasaan merupakan suatu fenomena yang mempunyai daya tarik
dan pesona yang luar biasa. Siapapun akan sangat mudah tergoda untuk tidak hanya
berkuasa, tetapi lebih dari itu ia akan mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya.
Sedemikian mempesonanya kekuasaan sehingga dalam tataran apa saja kekuasaan tidak
akan diserahkan oleh pemilik kekuasaan tanpa melalui perebutan atau kompetisi. Selain
mempesona kekuasaan juga mempunyai daya rusak yang luar biasa dasyat. Kekuatan
daya rusak kekuasaan melampaui nilai-nilai yang terkandung dalam ikatan-ikatan etnis,
ras, ikatan persaudaraan, agama dan lainnya. Transformasi dan kompetisi memperebutkan
kekuasaan tanpa disertai norma, aturan, etik; nilai-nilai dalam ikatan-ikatan itu seakan
tidak berdaya menjinakan kekuasaan. Daya rusak kekuasaan telah lama diungkap dalam
suatu adagium ilmu politik, “Power Tends to corrupt, absolute power tends to corrupt
absolutely”.
Oleh karena itu apapun bentuk kekuasaan diperlukan suatu kekuatan penyeimbang dan
kontrol yang tiada henti melalui bangunan komunikasi publik yang kuat agar kekuasaan
sesuai dengan amanah yang diberikan (tercipta good governance).

A. Makna dan Hakekat Good Governance

Paradigma “Good Governance” menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan


pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata hanya disandarkan
pada pemerintah (Governance) atau negara (State) saja, melainkan juga harus melibatkan
seluruh elemen, baik yang ada dalam intern birokrasi maupun di masyarakat. Paradigma
ini merupakan perubahan dari paradigma lama, yakni Rule Government” yang dirasa
sudah tidak sejalan lagi proses perubahan sosio-politis dan tuntutan civil-society yang
kian menguat.
Dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik (Good Govermance) menuntut setiap
pejabat publik baik politis maupun birokrasi, wajib bertanggung jawab dan
mempertanggungjawabkan kepada publik segala sikap, perilaku, dan kebijakannya dalam
melaksanakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan yang diberikan kepadanya. Agar pata
pejabat publik dapat melaksanakan akuntabilitas kinerja mereka dalam memberikan
layanan pub;lik sesuai dengan apa yang menjadi keinginan dan harapan publik, kontrol
efektif terhadap mereka merupakan suatu keharusan. Kontrol yang bersifat internal
maupun eksternal harus dikelola dengan baik dan profesional, agar tindakan yang
menyimpang dari etika administrasi negara (Mal-administrasi) dan peraturan perundang-
undangan dapat ditemukan dan dilakukan tindakan koreksi secepatnya. Sehingga
akuntabilitas kinerja mereka dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan
yang diberikan kepadanya dapat memenuhi tuntutan dan harapan publik. Hal yang lebih
penting adalah penyelenggaraan "“Good Governance"”dapat segera bisa diwujudkan
(Joko Widodo, 2001 : iv).
Pemerintahan itu sendiri, menurut Prof Ryaas Rasyid, pada hakekatnya adalah pelayanan
kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk
melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota
masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan
bersama.
Kepemerintahan yang “Good Governance) sebagaimana dikemukakan di atas menuntut
keterlibatan seluruh elemen yang ada dalam masyarakat, segera bisa diwujudkan
manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah.
Pemerintah yang didekatkan dengan yang diperintah berarti Desentralisasi dan Otonomi
Daerah. Mafhum mukhalafahnya pemerintahan yang jauh dari yang diperintah (rakyat)
maka itulah Sentralisasi. Sebuah sistem yang sangat dihindari dalam perseptif Good
Governance. Itu yang pernah terjadi pada era orde baru.
Pemerintah yang didekatkan dengan yang diperintah (rakyat) akan dapat mengenali apa
yang menjadi kebutuhan, permasalahan, keinginan dan kepentingan serta aspirasi rakyat
secara baik dan benar, karenanya kebijakan yang dibuat akan dapat mencerminkan apa
yang menjadi kepentingan dan aspirasi rakyat yang dilayaninya, Sharpe, sebagaimana
diulas Joko Widodo menggambarkan “Local government is better able than central
government to respond the change in demmand, to experiment and to anticipate future
changes. It provedes a form of government in which people from non producer group can
more easily participte”. (Pemerintah lokal lebih mampu daripada pemerintah pusat dalam
merespon perubahan tuntutan, melakukan eksperimen dan mengantisipasi perubahan-
perubahan pada masa mendatang. Pemerintah lokal memberikan bentuk pemerintah
dalam mna rakyat dari kelompok-kelompok non produser dapat lebih mudah
berpartisipasi). (Ibid :2).
Apa yang diungkap Sharpe diatas dapat dipahami karena kebijakan yang menyandarkan
pada kondisi lokal akan dapat lebih mencerminkan apa yang menjadi tuntutan dan
keinginan serta aspirasi masyarakat lokasl. Hal ini disebabkan pula, mereka lebih intens
melakukan kontak (hubungan) dengan masyarakat lokal sehingga mereka mengetahui apa
yang menjadi masalah, tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat lokal dan
membawanya ke dalam proses pembuatan kebijakan. Pemilihan pemimpin daerah seperti
Bupati atau Gubernur yang sudah tidak bergantung kepada pusat, merupakan contoh
mudah yang mulai kita rasakan meski belum sepenuhnya terwujud. Artinya jika pusat
masih memaksakan kehendak, maka daerah akan berani melakukan perlawanan yang
keras.
Good Governance menurut Lembaga Administrasi Negera mengandung dua pengertian
sekaligus sebagai orientasinya. Pertama, nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan
rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan
keadilan sosial, Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien
dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Sedangkan United Nations Development Programme / UNDP (1997:19) merumuskan
karakteristik Good Governance sebagai berikut :
1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui sistem keterwakilan. Partisipasi seperti ini dibangun atas
dasar kebebasan bersosiasi serta berpartisipasi secara konstruktif
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu,
terutama hukum untuk HAM
3. Transparency. Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi. Informasi harus dapat
dipahami dan dapat dimonitor
4. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani
setiap “Stakeholders”.
5. Consensus Orientation. Good Governance menjadi perantara kepentingan yang
berbeda utnuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas
6. Equity. Semua warga negara mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau
menjaga kesejahteraan mereka
7. Effectiveness and efficiency. Proses-proes dan lembaga-lembaga sebaik mungkin
menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber
yang tersedia
8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan
masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga
“Stakeholders”
9. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good
governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa
yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
Syaukani HR, Affan Gaffar dan Ryaas Rasyid (2003 :20-30) mencoba merumuskan
argumentasi mengapa orang memilih desentralisasi / otonomi sebagai pilar menuju
terwujudnya good governance. Argumentasi itu adalah :
1. Efisiensi-efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Organisasi negara merupakan
sebuah entitas yang sangat besar. Pengelolaan berbagai dimensi kehidupan harus
dilakukan dengan “Pembagian tugas” serta :Pembagian kewenangan”. Sebab, disamping
pemerintah memiliki fungsi distributif juga memiliki fungsi ektraktif yakni memobilisasi
sumber daya keuangan dalam rangka membiayai aktifitas penyelenggaraan negara. Oleh
karena itu, tidaklah mungkun hal itu dapat dilakukan secara sentralistik, karena akan
berimplikasi negatif, yaitu pemerintahan negara menjadi tidak efisien.
2. Pendidikan Politik. Dengan adanya pemerintahan daerah maka hal itu akan
menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik baik dalam
rangka memilih atau dipilih untuk suatu jabatan politik. Apalagi tidak mempunyai
peluang di tingkat nasional
3. Pemerintahan Daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. Adalah tidak
mungkin seseotang untuk muncul begitu saja menjadi politisi berkaliber nasional ataupun
internasional. Umumnya mereka melalui tahapan dan jenjang peling bawah.
4. Stabilitas Politik. Dalam sistem sentralistik, daerah sering merasa menjadi “sapi
perahan”. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Maka sering timbul gejolak. Padahal, dalam
terma politik, stabilitas politik nasional berawal dari stabilutas politik lokal
5. Kesetaraan politik (Political equality). Dengan sistem desentralisasi, maka kesetaraan
politik diantara berbagai komponen masyarakat akan terwujud. Masyarakat lokal akan
mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam politik seperti dalam pemilihan kepala
daerah
Akuntabilitas Publik. Masyarakat daerah akan mendapat peluang besar untuk mengontrol
pemimpinnya dan penyelenggara pemerintahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik.

B. Membangun Komunikasi Publik Dalam menciptakan Good Governance

1. Pentingnya Mendengarkan Suara Publik


Folk Populi Folk dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan begitu bunyi adagium yang
menekankan betapa pentingnya kita mendengar suara rakyat dalam pengambilan
keputusan publik. Suara rakyat merupakan inti dari demokrasi yang telah kita sepakati
sebagai sistem pemerintahan kita. Kualitas suara rakyat mencerminkan kualitas kita
dalam berdemokrasi. Sebagai konsekwensinya, maka kita harus memperkuat demokrasi
dengan banyak mendengar suara rakyat. Memperbanyak alternatif pilihan, dan belajar
bersama untuk mengutarakan pilihan secara rasional dan bertanggung jawab.
Dalam ilmu politik, ada dua pendekatan terhadap demokrasi : pendekatan normatif dan
pendekatan empirik[3]. Pendekatan normatif, menekankan pada ide dasar dari demokrasi
yaitu kedaulatan ada di tangan rakyat dan oleh karenanya pemerintah diselenggarakan
dari, oleh, dan untuk rakyat. Sedangkan pedekatan empirik mendekatkan pada
perwujudan demokrasi dalam kehidupan politik. Secara empirik kita sulit menerangkan
kedaulatan rakyat secara utuh. Selain beragam dan seringkali saling bertentangan, suara
rakyat juga sulit dihimpun untuk penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Untuk itu
perlu ada lembaga perwakilan, yang anggota-anggotanya dipilih dari partai politik
sebagai agregasi dari berbagai kepentingan.
Dengan demikian secara empirik demokrasi merupakan rangkaian prosedur dimana
rakyat memilih dan mendukung orang yang mewakili partai/kelompok kepentingan
tertentu di lembaga perwakilan atau pemerintahan. Dengan pendekatan seperti ini, maka
pendekatan empirik dalam demokrasi sering disebut dengan pendekatan demokrasi secara
prosedural (procedural democracy) atau pendekatan representatif (representative
democracy).[4]
Meskipun secara empirik keyataan ini sudah dibantah, tetapi pendekatan ini masih
menyisakan beberapa kelemahan. Sejauhmana orang yang dipilih dapat
merepresentasikan kehendak masyarakat luas? Sejauhmana kita mengetahui bahwa orang
yang dipilih dan didudukkan dalam lembaga perwakilan dan pemerintahan menjalankan
mandat pemilihnya? Bagaimana bentuk dan mekanisme pertanggungjawaban orang yang
dipilih terhadap pemilihnya? Siapa yang menanggung akibat kesalahan keputusan dari
wakil yang dipilih? Bagaimana jika orang yang dipilih mengkhianati mandatnya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak dapat dijawab secara memuaskan oleh pendekatan
secara demokrasi prosedural. Artinya apapun sistem dan prosedur pemilihan yang
dirancang untuk menjalankan demokrasi perwakilan mempunyai potensi untuk
mendistorsi demokrasi dalam pengertiannya yang hakiki.[5]
Untuk menutupi kelemahan demokrasi prosedural, maka beberapa ahli ilmu politik dan
aktivis masyarakat sipil mengintrodusir gagasan demokrasi akar rumput (grassroots
democracy). Inti dari gagasan ini adalah bahwa dalam pemberian mandat terhadap orang
yang dipilihnya untuk duduk di lembaga perwakilan dan pemerintahan, bukan berarti hak
politik rakyat hilang. Pemberian mandat bersifat parsial, yaitu mendudukkan wakilnya
untuk membahas dan memutuskan urusan publik di lembaga formal kenegaraan.
Sedangkan hak politik sebagai hak azasi manusia tetap melekat pada setiap individu yang
bersangkutan. Untuk itu adalah hak setiap warga negara untuk menjadi ruang publik dari
intervensi negara, mengagregasikan persoalan dan berbagai kepentingan publik di ruang
publik, merancang agenda publik, dan terus menerus mengawasi lembaga perwakilan dan
pemerintah agar bekerja sesuai mandat yang diberikan.[6]
Selain sebagai hak, partisipasi publik di tingkat akar rumput juga dapat menjawab
beberapa kelemahan demokrasi perwakilan.
Pertama, perubahan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat saat ini berlangsung sangat
cepat sehingga tidak mungkin dapat dijawab hanya dengan institusi formal negara.
Kelompok masyarakat sipil dan dunia bisnis justeru terbukti lebih responsif terhadap
perubahan. Karena itu tidak mungkin bagi lembaga formal pemerintahan untuk
meninggalkan masyarakat sipil dan masyarakat bisnis dalam pengambilan keputusan.
Karena itu komunikasi dan pelibatan masyarakat sipil dan sektor bisnis merupakan
langkah penting untuk democratizing democracy (mendemokrasikan lembaga formal
yang dipilih secara demokratis.[7]
Kedua, demokrasi akar rumput lebih menjamin terwujudnya kebijakan yang memihak
orang miskin dan karenanya lebih menjamin terwujudnya keadilan sosial. Karena itu
pendekatan grassroots democracy juga dikenal dengan istilah pro-poor democracy.
Logikanya adalah dengan memformulasikan kebijakan sejak dari bawah, melibatkan
banyak konstituen, dan kontrol yang massif dari masyarakat sipil maka berbagai
kepentingan terutama dari masyarakat bawah-yang secara ekonomi menduduki strata
terendah-akan terakomodasi.
Kita perlu mendorong organisasi rakyat untuk menjadi kekuatan pengimbang dari
birokrasi negara. Hal ini disebabkan selama 32 tahun masa pemerintah rezim Orde baru
dan belum terlihatnya tanda-tanda perbaikan dari reformasi yang kita gagas sejak tahun
1998, masyarakat Indonesia ada dalam tantangan sistem negara-meminjam istilah O
‘Donnel, Mohtar Mas’ud, dan A.S Hikam – birokratis dan korporatis. Dalam tatanan ini
seluruh kekuatan masyarakat ada dalam kontrol negara. Melalui kontrol yang sistemis
terhadap kekuatan masyarakat sampai kearus bawah, negara tampil sebagai kekuatan
politik yang tidak hanya relatif mandiri berhadapan dengan faksi-faksi elit pendukungnya
serta masyarakat sipil, tetapi ia telah menjadi kekuatan dominan yang mampu mengatasi
keduanya. Dalam ungkapan lain negara memainkan peran sentral dan selalu
mengoptimalkan kapabilitas yang dimiliki untuk mengatur hubungan sosial, menekan
masyarakat, dan memiliki hak prerogratif untuk mengelola sumber daya. Negara dalam
sistem birokratif otoriter dan korporatis menginvasi organisasi sosial formal maupun non
formal sehingga masyarakat memiliki derajat homogenitas yang tinggi. Dalam ungkapan
yang lebih ekstrem birokrasi negara menjadi predator yang memangsa segala kekuatan
sosial di masyarakat. Kekuatan dan kemandirian masyarakt pun lumpuh. Untuk
mengimbangi kekuatan birokrasi negara kita memerlukan organisasi rakyat yang mandiri,
cerdas, dan berorientasi pada kepentingan publik.
Sistem tata pengelolaaan bersama/tata pemerintahan (governance) yang berpusat rakyat
(society center) merupakan pilihan yang harus ditempuh untuk menjamin keberlanjutan
pembangunan dan keadilan sosial.[8] Pilihan ini mengandung konsekwensi harus
semakin menguatnya peran masyarakat disatu sisi dan disisi yang lain birokrasi harus
mengambil peran yang berbeda dari peran selama ini yaitu sebagai penetu dan penyedia
barang publik. Penguatan masyarakat tidak dapat tumbuh dengan sendirinya melainkan
harus didorong melalui proses belajar bersama. Komunikasi dan sharing dalam
membahas persoalan publik merupakan media untuk proses belajar bersama tersebut .
2. Apa yang ingin dicapai dari mendengar suara publik?

Berbagai kegiatan komunikasi dan sharing masalah publik diruang publik yang
dilakukan, pada dasarnya merupakan media belajar bersama untuk :

Pertama, membuka wawasan bersama bahwa ada isu-isu di tingkat publik yang harus
dibahas bersama, hal ini karena isu ini akan berpengaruh terhadap warga baik di tingkat
individu, keluarga, maupun komunitas. Kebijakan anggaran misalnya secara langsung
tidak langsung akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat tingkat individu dan
keluarga. Selain itu, media ini juga merupakan wahana untuk belajar memahami
persoalan publik dan berargumentasi mengenai masalah tersebut secara rasional.

Kedua, melalui berbagai pertemuan dan berbagai media diharapkan suara warga dapat
(people voicing) terdengar dan dapat diakomodasi oleh penentu kebijakan ditingkat
formal (DPR/DPD/DPRD dan pemerintah).[9]

Ketiga, memahami keterbatasan institusi penyelenggaraan negara dalam mensuplay


kebutuhan dasar dan kebutuhan terhadap barang publik. Oleh karena itu dalam berbagai
forum komunikasi diarahkan untuk mencari alternatif kebutuhan secara swadaya baik
pada tingkat individu, komunitas, maupun kelompok.

Keempat, membantu mengagregasi kepentingan ditingkat warga. Dalam hal ini dapat
dilakukan dengan memfasilitasi terbentuknya organisasi rakyat yang anggotanya
memiliki minat dan kepentingan yang sejenis. Dengan terbentuknya organisasi rakyat
diharapkan ada wahana-wahana bagi warga untuk saling berkomunikasi, saling belajar,
dan berkontribusi dalam pembangunan kota bagi volunteer.

Kelima, dengan terbentuknya organisasi warga yang memiliki pemahaman dan kesadaran
yang mendalam mengenai isu pelayanan publik, maka diharapkan posisi tawar
masyarakat terhadap lembaga representasi dan pemerintah dalam menentukan kebijakan
publik menjadi meningkat.[10]

3. Apa saluran komunikasi publik yang digunakan?


Berbagai wahana yang dapat dibangun oleh Mahasiswa untuk membuat saluran
komunikasi publik adalah sebagai berikut :
1. Focus Group Discussion, lokakarya, saresehan, dan pelatihan. Merupakan wahana
tatap muka. Karena itu forum ini sangat efektif untuk menggali masalah di tingkat
empirik, tukar gagasan, dan membangun kehensifitas kelompok. Dalam forum ini juga
masyarakat dapat belajar mengkompromikan berbagai perbedaan pandangan terhadap isu
yang dibahas pada dasarnya forum ini sangat baik terutama untuk membentuk agenda di
tingkat grassroots.Kekurangan dari kegiatan ini adalah perlu dukungan dana yang cukup
mahal.
2. Kuesioner kartu penilaian adalah wahana untuk menggali informasi mengenai tingkat
kepuasan warga terhadap pelayanan publik. Media ini juga dapat membantu warga untuk
dapat memformulasi permasalahan yang dihadapi dan menyuarakan ekspektasinya
terhadap pelayanan publik.
3. Pembentukan organisasi rakyat baik di tingkat teritorial maupun fungsional sangat
penting untuk mendorong masyarakat sipil yang kuat. Melalui media organisasi rakyat
dapat mengagregasikan dan menyuarakan kepentingannya terhadap lembaga perwakilan
dan pemerintah.
4. Penerbitan buletin dan buku. Buletin dan buku merupakan informasi yang dapat
dirujuk oleh organisasi masyarakat dalam berargumentasi dengan penyelenggara
pelayanana publik. Karena itu buletin dan buku yang diterbitkan dapat dijadikan kajian
empirik yang lebih berorientasi pada elaborasi dan analisis data.
5. Radio dan koran. Media ini bersifat independen dan berorientasi pada kebutuhan
pembaca dan pendengar. Untuk itu, agar dapat memanfaatkan media ini maka kita harus
dapat mengolah ‘hot issue’ untuk dapat disajikan menjadi informasi yang menarik.
Pemahaman terhadap flow berita dan visi media mengenai informasi yang dibutuhkan
pendengar dan pembaca merupakan syarat penting untuk dapat memanfaatkan media ini.

4. Pelajaran apa yang didapat?

Ada beberapa hal positif yang dapat dipetik dari pengembangan komunikasi publik
dengan pola di atas, yaitu :
1. Berbagai saluran komunikasi yang ada dapat dijadikan wahana belajar bersama.
Dengan proses belajar ini diharapkan kesadaran masyarakat terhadap proses pelayanan
publik yang transparan, akuntabel dan partisipatif dapat meningkat.
2. Dari berbagai dialog dengan warga dan respon terhadap informasi yang diberikan
melalui buletin, koran, dan radio ternyata kesadaran masyarakat terhadap persoalan
publik sangat tinggi. Ini merupakan modal dasar untuk dapat menata dan meningkatkan
pelayanan umum.
3. Dari berbagai pertemuan warga, beberapa warga telah membentuk organisasi rakyat
yang memiliki kepedulian terhadap anggaran dan pelayanan publik. Organisasi rakyat ini
merupakan modal dasar bagi warga untuk terlebih dalam penetapan agenda kebijakan
publik atau sebagai pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakan publik.[11]

Selain berbagai pelajaran penting yang harus terus didorong, pengalaman membangun
komunikasi dengan masyarakat juga menyisakan beberapa kendala yang harus segera
ditangani :
1. Masih terjadinya ketidakseimbangan informasi terutama antara masyarakat sipil
dengan pejabat penyelenggara pelayanan publik. Ini merupakan dampak dari masih
terkendalanya akses masyarakat terhadap informasi publik. Untuk itu perlu
dikembangkan sistem komunikasi yang memungkinkan masyarakat dapat mengakses
informasi dengan bebas hambatan. Akses informasi bebas hambatan ini penting untuk
meningkatkan kualitas komunikasi. Peningkatan kualitas komunikasi ini akan berdampak
terhadap peningkatan kinerja pelayanan publik.
2. Masih terjadinya paralel discourse antara masyarakat disatu sisi dan pejabat publik
serta perwakilan rakyat disisi yang lain. Masyarakat sibuk dengan konsep dan
perencanaan berdasarkan aspirasinya, di sisi yang lain pemerintah dan perwakilan rakyat
sibuk dengan konsep dan aspirasi yang lain. Tampaknya perlu adanya mekanisme
kelembagaan/prosedural yang dapat menghubungkan aspirasi dan partisipasi masyarakat
dengan lembaga formal politik.
3. Masih adanya problem legitimasi bagi organisasi rakyat yang bergerak dalam
mengagregasi kepentingan publik. Masalah ini sebenarnya dapat diatasi jika lembaga
formal politik lebih berorientasi pada rasionalitas dalam menilai kualitas gagasan
ketimbang kekuatan sebagai konstituen. Tetapi dalam konteks demokrasi yang prosedural
(apalagi pendekatan prosedural ini tampaknya dijadikan satu-satunya pendekatan yang
digunakan oleh lembaga formal politik), maka nampaknya perlu dipikirkan sistem
legitimasi yang dapat mempresentasikan rakyat ditingkat teritorial.
4. Adalah hak warga untuk menyalurkan aspirasi dan atau bergabung dalam organisasi
politik. Dan adalah wajar bila masyarakat yang beragam dapat dipilah dalam berbagai
aspirasi dan organisasi politik. Ada dua sisi politik yaitu pengembangan nilai dan
perebutan kekuasaan. Dalam pengembangan wacana publik di tingkat teritorial maka
adalah baik untuk saling bertukar ilai-nilai politik. Yang jadi masalah adalah manakala
dalam dialog itu yang dipertukarkan bukan orientasi politik melainkan orientasi
kekuasaan.***

[1] Makalah dipresentasikan pada Latihan Kader II Tingkat Nasional HMI Cab. Ciamis
tanggal 26 Desember 2004. Makalah ini banyak terinspirasi dari pengalaman penulis
ketika menjadi Badan Pengawas SAWARUNG, yaitu sebuah lembaga yang terdiri dari
LPM Perguruan Tinggi di Bandung dan LSM yang terfokus pada kajian Good
Governance.
[2] Penulis adalah Litbang HMI Cab. Ciamis 1998 dan Wakil Sekretaris Umum BADKO
HMI Jawa Barat 1999/2001. Sekarang mengajar di Lingkungan Kampus Darussalam
Ciamis Jawa Barat.
[3] Pembahasan Pemilahan pendekatan dalam demokrasi dapat dilihat dalam Jean
Baecher, Democracy an analytical Survey, UNESCO 1995 dan Affan Gaffar, Politik
Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar 1999.
[4] Tokoh penting pendekatan demokrasi representatif dikenal dengan “democracy
Schumpetarian”.
[6] Beberapa gagasan penting mengenai garis demarkasi antara sistem pemerintahan dan
ruang publik, berbagai isu dan kelompok kepentingan di ruang publik, bagaimana isu di
ruang publik merembes dalam sistem tata pemerintahan formal, serta peran ruang publik
dan merancang agenda dan mengontrol pemerintahan, dapat dilihat Jurgen Habermas,
Structural Transformation of The Public Sphere, 1989.
[7] Gagasan bahwa masyarakat sipil sering disebut dengan istilah single group isu yang
sangat responsif terhadap perubahan dan karenannya harus dilibatkan dalam pengambilan
kebijakan publik sebagai bagian dari upaya democratizing democracy dapat dirujuk
dalam Anthony Giddens, Runway World How Globalization is Reshaping Our Lives,
1999.
[8] Mengutif dari Suhirman : M. Gottdiener :The Decline Of Urban Politics :Political
Theory and The Crisis Of The Local State, 1987.
[9] Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan lembaga baru dalam sistem kenegaraan
kita. DPD dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu setiap propinsi memiliki jatah 4
orang anggota. Tugas utama lembaga ini adalah mendorong percepatan pembangunan
dan otonomi daerah. Walaupun lembaga ini kelihatannya masih berekperimen di dalam
melaksanakan kinerjanya.
[10] Lihat Suhirman : Mengembangkan Komunikasi Publik di Kota Bandung Refleksi
Pengalaman BIGS, 2002.
[11] Ibid, hal : 5.

You might also like