Professional Documents
Culture Documents
Governance”
Pendahuluan :
“Power Tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely”(adagium politik).
Membicarakan kekuasaan merupakan hal yang sangat menarik dan selalu aktual. Hal ini
disebabkan karena kekuasaan merupakan titik awal dari sebuah nasib perjalanan
peradaban manusia. Kekuasaan merupakan suatu fenomena yang mempunyai daya tarik
dan pesona yang luar biasa. Siapapun akan sangat mudah tergoda untuk tidak hanya
berkuasa, tetapi lebih dari itu ia akan mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya.
Sedemikian mempesonanya kekuasaan sehingga dalam tataran apa saja kekuasaan tidak
akan diserahkan oleh pemilik kekuasaan tanpa melalui perebutan atau kompetisi. Selain
mempesona kekuasaan juga mempunyai daya rusak yang luar biasa dasyat. Kekuatan
daya rusak kekuasaan melampaui nilai-nilai yang terkandung dalam ikatan-ikatan etnis,
ras, ikatan persaudaraan, agama dan lainnya. Transformasi dan kompetisi memperebutkan
kekuasaan tanpa disertai norma, aturan, etik; nilai-nilai dalam ikatan-ikatan itu seakan
tidak berdaya menjinakan kekuasaan. Daya rusak kekuasaan telah lama diungkap dalam
suatu adagium ilmu politik, “Power Tends to corrupt, absolute power tends to corrupt
absolutely”.
Oleh karena itu apapun bentuk kekuasaan diperlukan suatu kekuatan penyeimbang dan
kontrol yang tiada henti melalui bangunan komunikasi publik yang kuat agar kekuasaan
sesuai dengan amanah yang diberikan (tercipta good governance).
Berbagai kegiatan komunikasi dan sharing masalah publik diruang publik yang
dilakukan, pada dasarnya merupakan media belajar bersama untuk :
Pertama, membuka wawasan bersama bahwa ada isu-isu di tingkat publik yang harus
dibahas bersama, hal ini karena isu ini akan berpengaruh terhadap warga baik di tingkat
individu, keluarga, maupun komunitas. Kebijakan anggaran misalnya secara langsung
tidak langsung akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat tingkat individu dan
keluarga. Selain itu, media ini juga merupakan wahana untuk belajar memahami
persoalan publik dan berargumentasi mengenai masalah tersebut secara rasional.
Kedua, melalui berbagai pertemuan dan berbagai media diharapkan suara warga dapat
(people voicing) terdengar dan dapat diakomodasi oleh penentu kebijakan ditingkat
formal (DPR/DPD/DPRD dan pemerintah).[9]
Keempat, membantu mengagregasi kepentingan ditingkat warga. Dalam hal ini dapat
dilakukan dengan memfasilitasi terbentuknya organisasi rakyat yang anggotanya
memiliki minat dan kepentingan yang sejenis. Dengan terbentuknya organisasi rakyat
diharapkan ada wahana-wahana bagi warga untuk saling berkomunikasi, saling belajar,
dan berkontribusi dalam pembangunan kota bagi volunteer.
Kelima, dengan terbentuknya organisasi warga yang memiliki pemahaman dan kesadaran
yang mendalam mengenai isu pelayanan publik, maka diharapkan posisi tawar
masyarakat terhadap lembaga representasi dan pemerintah dalam menentukan kebijakan
publik menjadi meningkat.[10]
Ada beberapa hal positif yang dapat dipetik dari pengembangan komunikasi publik
dengan pola di atas, yaitu :
1. Berbagai saluran komunikasi yang ada dapat dijadikan wahana belajar bersama.
Dengan proses belajar ini diharapkan kesadaran masyarakat terhadap proses pelayanan
publik yang transparan, akuntabel dan partisipatif dapat meningkat.
2. Dari berbagai dialog dengan warga dan respon terhadap informasi yang diberikan
melalui buletin, koran, dan radio ternyata kesadaran masyarakat terhadap persoalan
publik sangat tinggi. Ini merupakan modal dasar untuk dapat menata dan meningkatkan
pelayanan umum.
3. Dari berbagai pertemuan warga, beberapa warga telah membentuk organisasi rakyat
yang memiliki kepedulian terhadap anggaran dan pelayanan publik. Organisasi rakyat ini
merupakan modal dasar bagi warga untuk terlebih dalam penetapan agenda kebijakan
publik atau sebagai pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakan publik.[11]
Selain berbagai pelajaran penting yang harus terus didorong, pengalaman membangun
komunikasi dengan masyarakat juga menyisakan beberapa kendala yang harus segera
ditangani :
1. Masih terjadinya ketidakseimbangan informasi terutama antara masyarakat sipil
dengan pejabat penyelenggara pelayanan publik. Ini merupakan dampak dari masih
terkendalanya akses masyarakat terhadap informasi publik. Untuk itu perlu
dikembangkan sistem komunikasi yang memungkinkan masyarakat dapat mengakses
informasi dengan bebas hambatan. Akses informasi bebas hambatan ini penting untuk
meningkatkan kualitas komunikasi. Peningkatan kualitas komunikasi ini akan berdampak
terhadap peningkatan kinerja pelayanan publik.
2. Masih terjadinya paralel discourse antara masyarakat disatu sisi dan pejabat publik
serta perwakilan rakyat disisi yang lain. Masyarakat sibuk dengan konsep dan
perencanaan berdasarkan aspirasinya, di sisi yang lain pemerintah dan perwakilan rakyat
sibuk dengan konsep dan aspirasi yang lain. Tampaknya perlu adanya mekanisme
kelembagaan/prosedural yang dapat menghubungkan aspirasi dan partisipasi masyarakat
dengan lembaga formal politik.
3. Masih adanya problem legitimasi bagi organisasi rakyat yang bergerak dalam
mengagregasi kepentingan publik. Masalah ini sebenarnya dapat diatasi jika lembaga
formal politik lebih berorientasi pada rasionalitas dalam menilai kualitas gagasan
ketimbang kekuatan sebagai konstituen. Tetapi dalam konteks demokrasi yang prosedural
(apalagi pendekatan prosedural ini tampaknya dijadikan satu-satunya pendekatan yang
digunakan oleh lembaga formal politik), maka nampaknya perlu dipikirkan sistem
legitimasi yang dapat mempresentasikan rakyat ditingkat teritorial.
4. Adalah hak warga untuk menyalurkan aspirasi dan atau bergabung dalam organisasi
politik. Dan adalah wajar bila masyarakat yang beragam dapat dipilah dalam berbagai
aspirasi dan organisasi politik. Ada dua sisi politik yaitu pengembangan nilai dan
perebutan kekuasaan. Dalam pengembangan wacana publik di tingkat teritorial maka
adalah baik untuk saling bertukar ilai-nilai politik. Yang jadi masalah adalah manakala
dalam dialog itu yang dipertukarkan bukan orientasi politik melainkan orientasi
kekuasaan.***
[1] Makalah dipresentasikan pada Latihan Kader II Tingkat Nasional HMI Cab. Ciamis
tanggal 26 Desember 2004. Makalah ini banyak terinspirasi dari pengalaman penulis
ketika menjadi Badan Pengawas SAWARUNG, yaitu sebuah lembaga yang terdiri dari
LPM Perguruan Tinggi di Bandung dan LSM yang terfokus pada kajian Good
Governance.
[2] Penulis adalah Litbang HMI Cab. Ciamis 1998 dan Wakil Sekretaris Umum BADKO
HMI Jawa Barat 1999/2001. Sekarang mengajar di Lingkungan Kampus Darussalam
Ciamis Jawa Barat.
[3] Pembahasan Pemilahan pendekatan dalam demokrasi dapat dilihat dalam Jean
Baecher, Democracy an analytical Survey, UNESCO 1995 dan Affan Gaffar, Politik
Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar 1999.
[4] Tokoh penting pendekatan demokrasi representatif dikenal dengan “democracy
Schumpetarian”.
[6] Beberapa gagasan penting mengenai garis demarkasi antara sistem pemerintahan dan
ruang publik, berbagai isu dan kelompok kepentingan di ruang publik, bagaimana isu di
ruang publik merembes dalam sistem tata pemerintahan formal, serta peran ruang publik
dan merancang agenda dan mengontrol pemerintahan, dapat dilihat Jurgen Habermas,
Structural Transformation of The Public Sphere, 1989.
[7] Gagasan bahwa masyarakat sipil sering disebut dengan istilah single group isu yang
sangat responsif terhadap perubahan dan karenannya harus dilibatkan dalam pengambilan
kebijakan publik sebagai bagian dari upaya democratizing democracy dapat dirujuk
dalam Anthony Giddens, Runway World How Globalization is Reshaping Our Lives,
1999.
[8] Mengutif dari Suhirman : M. Gottdiener :The Decline Of Urban Politics :Political
Theory and The Crisis Of The Local State, 1987.
[9] Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan lembaga baru dalam sistem kenegaraan
kita. DPD dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu setiap propinsi memiliki jatah 4
orang anggota. Tugas utama lembaga ini adalah mendorong percepatan pembangunan
dan otonomi daerah. Walaupun lembaga ini kelihatannya masih berekperimen di dalam
melaksanakan kinerjanya.
[10] Lihat Suhirman : Mengembangkan Komunikasi Publik di Kota Bandung Refleksi
Pengalaman BIGS, 2002.
[11] Ibid, hal : 5.