You are on page 1of 14

KEDUDUKAN SAHABAT DAN ADALAHNYA

Oleh : Fitri Yanti, S.Sos

A. PENDAHULUAN Hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua mendapat perhatian besar dari kalangan ulama. Hal ini disebabkan oleh kedudukannya sebagai penjelas bagi Alquran al-Karim. Di samping itu, Hadis juga memuat beberapa hukum tersendiri dan menggambarkan corak kehidupan Rasulullah saw., sehingga kedudukannya sangat urgen dalam perkembangan hukum Islam. Salah satu syarat untuk memahami ajaran Islam dengan sempurna adalah pemahaman terhadap Hadis. Periode kedua sejarah perkembangan Hadis, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.1 Para sahabat mempunyai peranan yang istimewa dalam proses periwayatan Hadis. Sahabat adalah titik awal proses periwayatan Hadis, karena mereka lah yang langsung melihat, mendengar atau menyaksikan Rasulullah saw. Sebutan bagi siapa saja yang pernah bertemu atau melihat Nabi Muhammad saw. dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah saw., sehingga secara adat dinamakan sebagai sahabat. Ada pula Ulama yang mempersingkat identitas sahabat itu dengan orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad saw., serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.2 Dilihat dari segi kemulian dan perjumpaan dengan Rasul, derajat semua sahabat sama. Tapi dilihat dari segi kapan mereka masuk Islam, lamanya bersama Nabi, besar pengorbanannya membela Islam, dan ilmu yang dimiliki sahabat itu berbeda-beda peringkatnya. Selain itu, Jumhur Ulama berpendirian bahwa seluruh sahabat bersifat adalah dan terpercaya dalam meriwayatkan Hadis Rasulullah saw. adalah dimaksud di sini harus dipahami dalam rangka periwayatan Hadis.3

1 2

Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), h.79. Nasrun Haroen, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 155. 3 Abuddin Nata, Alquran dan Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), h. 194.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa topik ini perlu dibahas yaitu, pertama, salah satu pokok akidah Islam adah mencintai Rasullah saw. dan sahabatnya sehingga kebersihan hati dan lisan harus di jaga terhadap kebencian kepada para sahabat. Kedua, dengan mengetahui kedudukan dan keadilan sahabat, kaum muslimin meyakini Hadis yang diriwayatkan para sahabat Nabi saw. dan menerapkannya dalam kehidupan sehari - hari Sahabat dikenal sebagai al Adillatussahabah (semua sahabat adil) yaitu yang paling bertaqwa dan memilih sifat wara (menjauhkan diri dari maksiat dan perkara subhat) serta tidak pernah berdusta. Ketiga, fenomena mencaci maki dan melecehkan para sahabat. Contoh dalam hal ini adalah kaum syiah yang mengkafirkan Abu Bakar, Ummahatul mukminin (Aisyah). Hal ini terjadi karena ketidaktahuan mereka tentang sahabat menyangkut al wara wal bara. Permasalahan yang penulis bahas dalam makalah ini antara lain : pengertian sahabat, cara mengetahui sahabat, keadilan sahabat, pandangan Ulama dan argumentasinya tentang keadilan sahabat serta jumlah sahabat yang meriwayatkan Hadis. B. PEMBAHASAN B.1. Pengertian Sahabat Menurut M.Ajjaj al-Khatib, dalam bukunya Al-Sunnah Qabl al-Tadwin sebagaimana yang dikutip oleh Nawir Yuslem dalam bukunya Ulumul Hadis, kata sahabat (Arab: Shahabat), dari segi kebahasaan adalah musytaq (turunan) dari kata shuhbah yang berarti orang yang menemani yang lain, tanpa ada batasan waktu dan jumlah.4 Berdasarkan pengertian inilah para ahli Hadis mengemukakan rumusan mereka tentang sahabat sebagai berikut:
1. Sahabat ialah orang yang bertemu Rasulullah saw., dengan pertemuan yang wajar sewaktu

Rasulullah saw. masih hidup, dalam keadaan Islam dan beriman.5


2. Maksud kata bertemu disini adalah bergaul. Jadi, orang yang tidak dapat melihat

karena buta misalnya Ibn Ummi Maktum tetapi karena bergaul dengan Nabi, maka termasuk sahabat,6 Menurut definisi di atas orang yang telah pernah bergaul dengan Nabi, walaupun ia tidak pernah meriwayatkan Hadis dari beliau, tetapi dikategorikan sahabat. Orang yang pernah bergaul
4 5

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : PT.Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 176. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, Cet. Kedua, 1994), h. 29. 6 Ibid.

dengan Nabi, dalam keadaan Islam dan Iman, kemudian murtad, seperti Abdullah bin Jahasy dan Abdullah bin Khathai, bukan lagi disebut sahabat. Tetapi bila sahabat yang murtad itu kemudian masuk Islam dan beriman kembali, maka masih dapat dikategorikan sebagai sahabat. Hal ini seperti yang dikemukakan Ibnu Hajar al-Asqalani tentang Asyas bin Qais yang pernah murtad, kemudian dikala menghadap kepada Abu Bakar as-Shiddiq sebagai tawanan perang ia menyatakan kembali masuk Islam. Abu Bakar menerima keislamannya itu, bahkan ia mengawinkannya dengan saudara perempuannya.7 Ahmad bin Hanbal mengatakan sahabat Rasul adalah orang yang pernah hidup bersama beliau, sebulan atau sehari, atau sesaat atau hanya melihatnya.
8

Said bin Musayyab, seorang

pemuka tabiin, mengatakan, sahabat adalah orang-orang yang hidup bersama Rasulullah selama satu, dua tahun dan pernah ikut berperang bersamanya satu atau dua kali.9 Menurut Ibnu Hajar al-Haitami, sahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad saw. dan orang itu menjadi mukmin dan hidup bersama beliau baik lama atau sebentar, baik orang tersebut meriwayatkan Hadis atau tidak dari Nabi, atau orang yang pernah melihat beliau sekali atau orang - orang yang tidak pernah melihat beliau karena buta.10 Menurut Ibn al-Shalah (577-643) dalam bukunya Ulum al-Hadist sebagaimana yang dikutip oleh Nawir Yuslem dalam bukunya Ulumul Hadis, mengatakan bahwa yang dimaksud sahabat dikalangan Ulama Hadis adalah setiap muslim yang melihat Rasulullah saw. adalah sahabat.11 Imam Bukhari (194-256) mengatakan bahwa sahabat ialah siapa saja dari umat Islam yang menemani Nabi Muhammad saw. atau melihatnya, maka dia adalah sahabat beliau.12 Yang dimaksud dengan melihat (al-Ruyat) di dalam definisi tersebut adalah bertemu dengan Rasulullah saw. meskipun tidak melihat beliau, sebagaimana halnya Ibn Ummi Maktum, seorang sahabat Rasul yang buta. Ibn Hajar as-Asqalani mendefinisikan sahabat dengan setiap orang yang bertemu dengan Nabi Muhammad saw., beriman dengan beliau dan mati dalam keadaan Islam. 13 Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas disamping masih terdapat rumusanrumusan lainnya yang pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan yang di atas, pada prinsipnya
7 8

Ibid. Ensiklopedia Islam, h. 197. 9 Ibid. 10 Ibid. 11 Yuslem, Ulumul Hadis, h. 176. 12 Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), h. juz. 4, h. 188. 13 Ibn Hajar al-Asqalani, Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), juz I, h. 10.

ada dua unsur yang disepakati oleh para Ulama dalam menetapkan seseorang untuk disebut sebagai sahabat, yaitu: pertama, ia pernah bertemu dengan Rasulullah saw., kedua, pertemuan tersebut terjadi dalam keadaan dia beriman dengan beliau dan meninggal juga dalam keadaan beriman (Islam). Dengan demikian, mereka yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah saw., atau bertemu tetapi tidak dalam keadaan beriman, atau bertemu dalam keadaan beriman tetapi ia meningal tidak dalam keadaan beriman, maka ia tidak dapat disebut sebagai sahabat. 14 B.2. Cara Mengetahui Sahabat Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Kaab ibn Malik, bahwa jumlah sahabat Rasul sangat banyak, tidak dapat dikumpulkan oleh sesuatu kitab. Diwaktu Rasulullah wafat, sahabatnya terdiri 114.000 orang. Ada yang meriwayatkan Hadis dari padanya dan turut berhaji Wada bersamanya. Semuanya mereka melihat Nabi, dan mendengar Hadis beliau di padang Arafah.15 Ada beberapa cara yang dipedomani oleh para Ulama untuk mengetahui seseorang itu adalah sahabat, yaitu : 16
1. Melalui kabar mutawatir yang menyatakan bahwa seseorang itu adalah sahabat. contohnya

adalah status kesahabatan khalifah yang empat (Khulafa al-rasyidin). Dan mereka yang terkenal lainnya, seperti sahabat yang sepuluh dijamin Rasul saw. masuk surga.
2. Melalui kabar masyhur dan mustafid, yaitu kabar yang belum mencapai tingkat mutawatir,

namun meluas dikalangan masyarakat, seperti kabar yang menyatakan kesahabatan Dhammam ibn Tsalabah dan Ukasyah ibn Muhsam. 3. Melalui pemberitaan sahabat lain yang telah dikenal kesahabatannya melalui cara-cara di atas. Contohnya adalah kesahabatan Hamamah ibn al-Dawsi yang diberitakan oleh Abu Musa al-Asyari.
4. Melalui keterangan seorang Tabiin yang tsiqat (terpercaya) yang menerangkan seseorang

itu adalah sahabat.


5. Pengakuan sendiri oleh seorang yang adil bahwa dirinya adalah seorang sahabat.

Pengakuan tersebut hanya dianggap sah dan dapat diterima selama tidak lebih dari seratus
14 15

Yuslem, Ulumul Hadis, h. 179-180. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. XI,1954), h. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Perkembangan Hadist (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Kedua,1973),

271.
16

h. 141.

tahun sejak wafatnya Rasulullah saw. Hal ini berdasarkan pada Hadis Nabi Muhammad saw. yang menyatakan:

) )
Apakah yang kamu lihat pada malammu ini? Maka sesungguhnya sudah berlalu seratus tahun tiadalah yang tinggal dari golongan orang sekarang ini (sahabat) di atas permukaan bumi ini. (HR. Bukhari-Muslim) Abu al-Husain Muslim al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi atau Imam Muslim, seorang ahli Hadis terkenal mengelompokkan sahabat-sahabat Rasulullah saw. ke dalam dua belas peringkat (derajat) berdasarkan peristiwa yang mereka alami atau saksikan. Peringkat pertama adalah as-Sabiqun al-Awwalun (mereka yang pertama kali masuk Islam), dimulai dari Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan seterusnya. Peringkat kedua, mereka yang tergabung ke dalam Daran Nadwah (gedung pertemuan bagi orang-orang quraisy yang pada masa sebelum dan awal Islam), yang ketika Umar mengatakan, keislamannya mereka membawanya menghadap Rasulullah saw., lalu membaiatnya. Peringkat ketiga mereka yang ikut hijrah ke Habsyah (Abessina). Peringkat keempat, mereka yang membaiat Nabi saw. di Aqabah pertama. Peringkat kelima, mereka yang membaiat Nabi saw. di Aqabah kedua. Peringkat keenam, orang-orang Muhajirin yang pertama menemui Nabi ketika beliau tiba di Quba sebelum memasuki kota Madinah pada waktu hijrah. Peringkat ketujuh, mereka yang ikut dalam perang Badar. Peringkat kedelapan, mereka yang berhijrah kesuatu tempat antara Badar dan Hudaibiyah. Peringkat kesembilan, mereka yang tergabung dalam kelompok Baiat ar-Ridwan (Baiat yang dilakukan oleh kaum muslim ketika terjadi gazwah/perjanjian Hudaibiyah). Peringkat kesepuluh, mereka yang ikut hijrah antara Hudaibiyah dan al-Failah (Penakluk Makkah). Peringkat kesebelas, berdasarkan urutan masuk Islam. Peringkat kedua belas, para remaja dan anak-anak yang sempat melihat Rasulullah saw. pada waktu penolakan kota Makkah dan haji wadak serta tempat-tempat lain. Jumlah orang yang mendapat predikat sahabat pada waktu Nabi

Muhammad saw. wafat sekitar 114.000 orang, yakni para pengikut Nabi Muhammad saw. dan secara nyata melihatnya dan memeluk Islam.17 B.3. Adalah Al-Shahabat (Keadilan Sahabat) Al-Adalah menurut bahasa adalah masdar dan kata kerja ( )dan sinonimnya adalah alIstiqomah, yang berarti lurus, menurut pengertian sahabat bersikap lurus di jalan kebenaran dengan menghindarkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Menurut ibnu Samani, keadilan seorang rawi harus memenuhi empat syarat, yaitu : 1. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat 2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun 3. Tidak melakukan perkataan-perkataan mubah yang dapat menggugurkan Iman kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan.
4.

Tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan syara.18 Para Ulama Hadis sepakat menetapkan bahwa seluruh sahabat adalah adil. Yang dimaksud

keadilan mereka di sini adalah dalam konteks ilmu Hadis, yaitu yang terpeliharanya mereka dari kesengajaan melakukan dusta dalam meriwayatkan Hadis, dari melakukan penukaran (pemutarbalikan) Hadis, dan dari perbuatan-perbuatan lain yang menyebabkan tidak diterimanya riwayat mereka.19 Diantara dalil yang dikemukakan Ulama Hadis dalam menetapkan keadilan sahabat adalah :

Surah al-Baqarah ayat 143 :

17 18

Ensiklopedia Islam, h. 198. Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits , (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), h. 11. 19 Yuslem, Ulumul Hadis, h. 182.

Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (al-Baqarah : 143) Surah ali-Imran ayat 110 :


Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Ali-Imran : 110)

Hadis Rasulullah saw.

) )
Artinya: Apakah yang kamu lihat pada malammu ini? Maka sesungguhnya sudah berlalu seratus tahun tiadalah yang tinggal dari golongan orang sekarang ini (sahabat) di atas permukaan bumi ini (HR. Bukhari-Muslim). Ahmad Amin dalam mengkritik adalah sahabat dalam kitabnya Fajr al-Islam halaman 216 mengatakan kebanyakan kritikus Hadis itu menganggap adil semua sahabat, baik secara garis besar maupun secara rinci, sehingga para kritikus itu tidak akan mengenakan keburukan apapun kepada para sahabat, dan tidak ada seorang pun dari sahabat itu yang dinisbatkan kepada

kebohongan. Sedikit saja dari kalangan kritikus itu yang memperlakukan kepada orang-orang lain.20 Untuk menguatkan pendapatnya itu, Amin di halaman yang sama mengemukakan bukti, yang mengutip pendapat al-Ghazali yang mengatakan: dalam pandangan Ulama Salaf dan kebanyakan Umat Khalaf bahwa adalah para sahabat sudah diketahui dengan bukti bahwa Allah swt. menganggap mereka itu adil dan memuji mereka dalam Alquran, ini adalah kepercayaan kami terhadap mereka. Kecuali kalau ada riwayat yang pasti benarnya bahwa mereka itu telah berbuat fasik sedang mereka mengetahui yang dilakukannya. Keadaan yang demikian ini tidak terjadi. Sebab itu, maka tidak perlu lagi tadil terhadap mereka.21 Melanjutkan penjelasannya, Amin mengemukakan anggapan umum yang beredar dikalangan sebagian Hadis dengan menyampaikan pernyataan sebagai berikut: sebagian kritikus menganggap para sahabat ini sama saja dengan orang lain yang harus pula diteliti. Mereka berkata, pada mulanya kondisi para sahabat itu adalah sampai terjadinya peperangan dan perselisihan di antara mereka. Kemudian keadaan jadi berubah, dan darah pun telah mengalir. Maka dari itu, ia haruslah diadakan pembahasan.22 Kemudian Amin mengemukakan suatu pembuktian, seperti yang dinyatakan dalam kitabnya Fajr al-Islam sebagai berikut: dan jelas bahwa para sahabat sendiri pada zaman mereka saling mengeritik (meneliti) di antara sesama mereka, dan memposisikan yang sebagian pada posisi yang lebih tinggi dari sebagian yang lain yang berada di posisi yang diteliti. Telah saya saksikan sebelumnya, bahwa di antara mereka kalau diriwayatkan untuknya suatu Hadis, ia selalu minta kepada pembawa Hadis itu akan pembuktian atas kebenarannya, bahkan ada yang lebih dari itu.23 Sebagai contoh Hadis yang di bawah Abu Hurairah yang berbunyi:


Barang siapa membawa (mengangkat) mayat, maka hendaklah dia berwudhu. Amin mengatakan, bahwa Ibn Abbas tidak mau mengambil Hadis ini, yang berkata, Tidak mengharuskan kita berwudhu karena membawa kayu yang kering. B.4. Pandangan Ulama dan Argumentasinya Tentang Keadilan Sahabat
20 21

Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo: Maktabat al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1975), h. 216. Ibid. 22 Ibid. 23 Ibid.

Kalau kita melihat pujian Nabi Muhammad saw. kepada sahabat-sahabat, begitu juga pujian Allah swt. dibeberapa tempat dalam Alquran, maka tidak boleh kita mesti tetapkan, bahwa sahabat-sahabat semua bersifat adil dalam meriwayatkan Hadis, yakni mereka tidak khianat dan tidak berdusta dalam menyampaikan sabda-sabda dan perjalanan Nabi Muhammad saw. begitu juga khabaran-khabaran yang lain. Tetapi oleh karena mereka itu manusia seperti kita, maka terkadang ada kekeliruan dan kesalahan dalam menyampaikan Hadis atau riwayat. Pendeknya diri sahabat tidak perlu kita periksa, hanya kita perlu periksa Hadis yang meriwayatkan, ceritakan, adakah keliru atau tidak. Cara memeriksanya ialah dengan membanding-bandingkan, atau mencocokkan dengan dalil dalil lain atau keterangan. 24 Tentang penilaian terhadap para sahabat juga terdapat beberapa pendapat. 1. Jumhur Ulama berpendapat, bahwa semua sahabat dipandang adil, baik yang turut campur ke dalam pertentangan-pertentangan antara sahabat dengan sahabat, ataupun tidak.
2. Segolongan Ulama berpendapat, bahwa seorang sahabat itu, tidaklah harus dipandang adil

karena dia dipandang sahabat. Keadaannya harus diteliti diantara mereka ada yang tidak adil.
3. Menurut pendapat segolongan Ulama harus kita teliti keadaan mereka setelah timbul

kekacauan-kekacauan antara sesama mereka. 25 4. Menurut pendapat Muktazilah semua sahabat adil kecuali mereka yang terlibat dalam perang siffin.
5. Menurut pendapat sebagaian kecil Ulama, semua sahabat seperti semua periwayat yang

lain harus diuji adalah-nya. Para sahabat, itu tidak berbeda dengan manusia lainnya dalam hal ketidakmustahilannya berbuat salah dan alfa.26 Ke-adalahan mereka bukan secara umum seperti kaidah pendapat jumhur : as-sahabat kulluhum udul (sahabat semuanya adil), tetapi secara perorangan, karena tingkat pengetahuan, penguasaan terhadap agama dan kemampuan mereka tidak sama. Jadi bila ada sahabat yang meriwayatkan Hadis dari Rasulullah saw., maka adalah-nya harus diteliti untuk menerima atau tidak Hadis tersebut. Sebab, bila pendapat Jumhur Ulama diterima, maka semua Hadis sahih.27
24 25

A.Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadist (Bandung: Diponegoro, Cet. VII, 1996), h. 399. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 11, 1993), h. Ensiklopedia Islam, h. 198. Ibid.

268.
26 27

Sebahagian ulama yang tidak sependapat dengan rumusan yang dibuat oleh Jumhur Ulama di atas. Mereka berpendapat bahwa para sahabat itu sama saja dengan manusia biasa lainnya. Mereka bisa lupa, keliru, dan lain-lain. Tetapi pendapat ini tidak menggunakan rumusan yang oleh Jumhur Ulama di atas, karena yang dimaksud adalah sahabat secara kolektif, bukan perorangan. 28 B.5. Jumlah Sahabat Yang Meriwayatkan Hadis Membatasi jumlah sahabat dengan angka tertentu adalah hal yang sulit, karena kehidupan mereka berada di berbagai negeri dan kawasan. Di samping itu, tidak ada juga catatan yang dengan jelas menyebutkan jumlah mereka pada saat Rasulullah saw. wafat. Namun ada beberapa riwayat yang menyatakan jumlah para sahabat pada peristiwa-peristiwa tertentu, seperti pada haji wada yakni berjumlah tujuh puluh ribu orang. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa jumlah keseluruhan sahabat adalah empat belas ribu orang yang terdiri dari penduduk Mekkah, Madinah, daerah di antara keduanya, dan orang-orang Badui yang ikut serta dalam haji wada.29 Dari seluruh sahabat di atas, hanya ada sedikit sahabat yang meriwayatkan Hadis. Dalam hal periwayatan Hadis, para sahabat Nabi tidaklah sama kedudukannya, terutama dalam kaitannya dengan banyaknya atau jumlah Hadis yang mereka riwayatkan. Diantara mereka ada yang banyak meriwayatkan Hadis, ada yang sedang jumlahnya, dan ada pula yang sedikit. Sahabat-sahabat besar tidak banyak meriwayatkan Hadis seperti : Abu Bakar, Usman, Thalhah, Zubair, Saad ibn Abi Waqqash, Abdur Rahman binAuf, Abu Ubaidah ibn Jarrah, Said ibn Zaid, Ubay ibn Kaab, Saad ibn Ubadah, Ubadah ibn Samit, Usaid ibn Hudair, Muaz ibn Jabal, tidak banyak meriwayatkan Hadis. Sahabat yang banyak menerima Hadis dari Nabi Muhammad saw., tidaklah secara otomatis akan meriwayatkan Hadis yang banyak pula. Hal tersebut karena banyaknya faktor yang dapat menghalanginya dari meriwayatkan Hadis yang telah diterimanya. Umpamanya, Abu Bakar alShiddiq, seorang sahabat yang banyak menerima Hadis dari Nabi saw., Abu Bakar, selain sebagai seorang yang terdahulu memeluk agama Islam, juga sebagai sahabat yang sangat dekat pergaulannya dengan Nabi, sehingga keadaan yang demikian menyebabkan banyak menerima Hadis. Meskipun demikian Abu Bakar bukanlah termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan Hadis, penyebabnya di antaranya adalah:30
28 29

Abuddin Nata, Alquran dan Hadis, h. 194. Ibnu Katsir, al-Bais al-Hasis Syarh Ikhtisar Ulum al-Hadis (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1994), h. Yuslem, Ulumul Hadis, h. 187-188.

180.
30

1. Setelah Nabi wafat, Abu Bakar disibukkan oleh peperangan untuk menumpas kaum murtad dan anti zakat. 2. Pada masa pemerintahannya, Abu Bakar lebih mengutamakan pemeliharaan Alquran. 3. Abu Bakar telah meninggal dunia sebelum ummat menaruh perhatian khusus terhadap Hadis Nabi Muhammad saw. Sahabat-sahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadis, yang jumlahnya lebih dari seribu Hadis disebut al-muktsirun fi al-Hadis, mereka berjumlah tujuh orang, yaitu: 1. Abu Hurairah. Dia meriwayatkan 5.374 Hadis. Diantaranya 325 Hadis disepakati oleh Bukhari-Muslim, 93 diriwayatkan oleh Bukhari sendiri dan 189 Hadis diriwayatkan oleh Muslim. 2. Abdullah Ibn Umar ibn Khaththab. Dia meriwayatkan sejumlah 2.630 Hadis. Dari Hadis tersebut, 170 Hadis disepakati oleh Bukhari dan Muslim, 80 Hadis oleh Bukhari saja, dan 31 Hadis oleh Muslim saja. 3. Anas ibn Malik. Dia meriwayatkan 2.286 Hadis. Diantaranya 168 Hadis desepakati oleh Bukhari dan Muslim, 8 hadis oleh Bukhari saja, dan 70 Hadis oleh Muslim saja. 4. Aisyah binti Abu Bakar. Dia meriwayatkan 2.210 Hadis. Diantaranya 174 Hadis yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, 64 Hadis diriwayatkan oleh Bukhari saja, dan 68 Hadis diriwayatkan oleh Muslim saja.
5. Abdullah ibn Abbas. Dia meriwayatkan 1.660 Hadis. Diantaranya 95 diriwayatkan oleh

Bukhari dan Muslim, 28 Hadis oleh Bukhari saja, dan 49 Hadis oleh Muslim saja 6. Jabir ibn Abdullah. Dia meriwayatkan 1.540 Hadis. Diantaranya 60 Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, 16 Hadis oleh Bukhari saja, dan 126 Hadis oleh Muslim.
7. Abu Said al-Khudri. Dia meriwayatkan 1.170 Hadis. Diantaranya 46 Hadis diriwayatkan

oleh Bukhari dan Muslim, 16 Hadis oleh Bukhari sendiri, dan 52 Hadis oleh Muslim sendiri.31 Tak ada dari kalangan sahabat yang meriwayatkan Hadis lebih dari seribu, selain dari mereka ini. Muhammad ibn Saad dalam Thabaqatnya berkata, sebabnya kurang diterima Hadis dari sahabat-sahabat besar, adalah karena para sahabat-sahabat itu wafat sebelum masyarakat
31

Ibid, h. 188-189.

memerlukan mereka untuk menerima Hadis-hadisnya. Banyaknya riwayat dari Umar dan Ali, karena kedua orang tersebut bertindak sebagai kepala negara, maka banyaklah pertanyaan yang dihadapkan kepada beliau dan banyaklah pula putusan-putusan yang beliau berikan selaku seorang hakim.32 C. KESIMPULAN
1. Kata sahabat (Arab: Shahabat), dari segi kebahasaan adalah musytaq (turunan) dari kata

shuhbah yang berarti orang yang menemani yang lain, tanpa ada batasan waktu dan jumlah. Menurut mayoritas Jumhur Ulama Hadis, seseorang dapat disebut sahabat apabila ia tetap dalam keadaan beriman sampai ia wafat bahkan sekalipun seorang telah mendapat gelar murtad, tetapi ia kembali beriman, ia masih dikatakan sahabat. 2. Para Ulama untuk mengetahui seseorang itu adalah sahabat, yaitu :
a. Melalui kabar mutawatir yang menyatakan bahwa seseorang itu adalah sahabat b. Melalui kabar masyhur dan mustafid.

c. Melalui pemberitaan sahabat lain yang telah dikenal kesahabatannya melalui cara-cara di atas.
d. Melalui keterangan seorang Tabiin yang tsiqat (terpercaya) yang menerangkan

seseorang itu adalah sahabat. e. Pengakuan sendiri oleh seorang yang adil bahwa dirinya adalah seorang sahabat. 3. Para Ulama Hadis sepakat menetapkan bahwa seluruh sahabat adalah adil. Yang dimaksud keadilan mereka di sini adalah dalam konteks ilmu Hadis, yaitu yang terpeliharanya mereka dari kesengajaan melakukan dusta dalam meriwayatkan Hadis, dari melakukan penukaran (pemutarbalikan) Hadis, dan dari perbuatan-perbuatan lain yang menyebabkan tidak diterimanya riwayat mereka.
4. Sahabat-sahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadis, yang jumlahnya lebih dari seribu

Hadis disebut al-muktsirun fi al-hadis, mereka berjumlah tujuh orang, yaitu : -

Abu Hurairah. Dia meriwayatkan 5374 Hadis. Abdullah Ibn Umar ibn Khaththab. Dia meriwayatkan sejumlah 2.630 Hadis. Anas ibn Malik. Dia meriwayatkan 2.286 Hadis. Aisyah binti Abu Bakar. Dia meriwayatkan 2.210 Hadis.
32

143.

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadist (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Kedua, 1973), h.

Abdullah ibn Abbas. Dia meriwayatkan 1.660 Hadis. Jabir ibn Abdullah. Dia meriwayatkan 1.540 Hadis. Abu Said al-Khudri. Dia meriwayatkan 1.170 Hadis. Demikian makalah ini, mohon maaf atas segala kekurangan dan terima kasih atas semua

masukannya terutama dari dosen pembimbing.

DAFTAR PUSTAKA

Asqalani, Ibn Hajar. Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978, juz I. Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. Kairo: Maktabat al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1975. Bukhari. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M, juz. 4. Dewan Redaksi. Ensiklopedia Islam. Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. Kesepuluh, 2002.

Hassan, A.Qadir. Ilmu Mushthalah Hadis. Bandung: Diponegoro, Cet. VII, 1996. Haroen, Munzier. Ushul Fiqih. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997. Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, Cet. Kedua, 1994. Ibn al-Shalah. Ulum al-Hadis. ED. Nur al-Din Atar. Madinah: Al-Maktabat alIlmiyyah, Cet. Kedua, 1972. Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadits. Jakarta : Bumi Aksara, 1997. Nata, Abuddin. Alquran dan Hadis. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996. Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Soebahar, M.Erfan. Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah. Jakarta: Kencana, 2003 Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008. Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, Cet. Pertama, 2001.

You might also like