You are on page 1of 9

Lidia Nafratilofa/1006823375 Ekstensi 2010

LTM PBL 1

Seks bebas pada remaja

Seks bebas atau dalam bahasa populernya disebut extra-marital intercouse atau kinky-seks merupakan bentuk pembebasan seks yang di pandang tidak wajar. Tidak terkecuali bukan saja oleh agama dan negara, tetapi juga oleh fiisafat. Ironinya perilaku itu nyatanya cenderung disukai oleh anak muda, terutama kalangan remaja yang secara biopsikologis sedang tumbuh menuju proses pematangan. Pada tahap ini remaja biasanya lemah, yakni lemah dalam penggunaan nilai-nilai, norma dan kepercayaan, atau dalam perspektif Freudian disebut super ego, maka kecenderungan yang ada mereka lebih suka bertindak ceroboh, trial dan error. Hanya sekedar memenuhi tabiat aktualisasi diri yang berlebihan, ia rela mengorbankan moralitasnya untuk memenuhi kehendak mendapatkan pujian dari kelompok referensinya. (Amirucin, et al. 1997) 1. REMAJA

Remaja atau Adolesens merupakan periode perkembangan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasanya antara usia 13 dan 20 tahun. Istilah adolesens biasanya menunjukkan maturasi psikologis individu, ketika pubertas menunjukkan titik dimana reproduksi mungkin dapat terjadi. Perubahan hormonal pubertas mengakibatkan perubahan penampilan pada remaja, dan perkembangan mental mengakibatkan kemampuan untuk menghipotesisi dan berhadapan dengan abtraksi. Remaja juga merupakan individu yang berkembang dari saat pertama kali ia menunjukan tandatanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menuju dewasa, dan individu yang mengalami peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menjadi suatu kemandirian. (Fundamental of Nursing. 1997, Sarwono. 2003 dalam journal Proviate).

1.1

Tahap perkembangan remaja

Masa remaja merupakan suatu masa peralihan dari dunia anak ke dunia dewasa yang dimulai dengan tejadinya kematangan dari kelenjar kelenjar kelamin yakni menarche (haid pertama) pada wanita dan kelenjar mani pada laki laki. ( Gunarsa, singgih. 2008) Menurut tahap perkembangan, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap yaitu : 1.1.1 Masa remaja awal (12-15 tahun), dengan ciri khas antara lain: lebih dekat dengan teman sebaya, ingin bebas, dan lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak. 1.1.2 Masa remaja tengah (15-18 tahun), dengan ciri khas antara lain: mencari identitas diri, timbulnya keinginan untuk kencan, mempunyai rasa cinta yang mendalam, mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, dan berkhayal tentang aktifitas seks. 1.1.3 Masa remaja akhir (18-21 tahun), dengan ciri khas antara lain: Pengungkapan identitas diri, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta, dan mampu berpikir abstrak.

1.2

Perkembangan fisik Pada masa remaja, pertumbuhan fisik berlangsung sangat pesat.

Dalam perkembangan seksualitas remaja, ditandai dengan dua ciri yaitu, ciriciri seks primer dan ciri-ciri seks sekunder. Berikut ini adalah uraian lebih lanjut mengenai kedua hal tersebut 1.2.1 Ciri-ciri seks primer Dalam modul kesehatan reproduksi remaja (Depkes, 2002) disebutkan bahwa ciri-ciri seks primer pada remaja adalah: untuk remaja laki laki, remaja laki-laki sudah bisa melakukan fungsi reproduksi bila telah mengalami mimpi basah. Mimpi basah biasanya terjadi pada remaja laki-laki usia antara 10-15 tahun.. sedangkan pada remaja perempuan sudah mengalami menarche (menstruasi), menstruasi adalah peristiwa keluarnya cairan darah dari alat kelamin perempuan berupa luruhnya lapisan dinding dalam rahim yang banyak mengandung darah. 1.2.2 Ciri-ciri seks sekunder Menurut Sarwono (2003), Ciri-ciri seks sekunder pada masa remaja laki laki yaitu berupa, bahu melebar, pinggul menyempit, pertumbuhan rambut disekitar alat kelamin, ketiak, dada, tangan, dan kaki, kulit menjadi lebih kasar dan tebal, serta produksi keringat menjadi lebih banyak. Sedangkan pada Remaja perempuan ditandai Pinggul lebar, bulat, dan membesar, puting susu membesar dan menonjol, serta berkembangnya kelenjar susu, payudara menjadi lebih besar dan lebih bulat. Kulit menjadi lebih kasar, lebih tebal, agak pucat, lubang poripori bertambah besar, kelenjar lemak dan kelenjar keringat menjadi lebih aktif, otot semakin besar dan semakin kuat, terutama pada pertengahan dan menjelang akhir masa puber, sehingga memberikan bentuk pada bahu, lengan, dan tungkai. Serta suara menjadi lebih penuh dan semakin merdu.

1.3 Perkembangan psikososial Teori psikososial tradisional menganggap bahwa krisis perkembangan pada masa remaja menghasilkan terbentuknya identitas (Erikson, dalam Pediatric Nursing 2001). Pada masa remaja, mereka mulai melihat dirinya sebagai individu yang berbeda, unik dan terpisah dari setiap individu yang lain. Periode remaja awal dimulai sejak pubertas dan perkembangan fisik serta emosianal relatif tidak stabil. Pada saat ini remaja dihadapkan pada berbagai macam krisis. Remaja pada tahap awal harus mampu memecahkan masalah tentang hubungan dengan teman sebaya sebelum mampu menjawab pertanyaan tentang hubungan dengan teman sebaya sebelum mampu menjawab pertanyaan tentang siapa diri mereka dalam kaitannya dengan keluarga dan masyarakat. Berikut adalah uraian lebih lanjut mengenai krisis yang dihadapi remaja. 1.3.1 Identitas kelompok Selama tahap remaja awal, tekanan untuk memiliki suatu kelompok semakin kuat. Remaja menganggap bahwa memiliki kelompok adalah hal yang penting karena mereka merasa menjadi bagian dari kelompok dan kelompok dapat memberi mereka status. Menjadi bagian dari orang banyak membantu remaja menguraikan perbedaan antara mereka dan orang tuanya. Mereka berpakaian seperti teman-teman kelompoknya berpakaian, dan merias wajah serta menata rambutnya sesuai dengan kriteria kelompok, yang membedakan mereka dari generasi orang tua mereka. Bahasa, musik dan tarian menunjukkan budaya yang eksklusif bagi remaja.. 1.3.2 Identitas individual Pencarian identitas individu merupakan bagian dari proses identifikasi yang sedang berlangsung. Kesadaran terhadap tubuh merupakan bagian dari

kasadaran diri, dan kadang-kadang remaja akan melakukan proses asimilasi diri. Pada tahap pencarian identitas ini, remaja mempertimbangkan hubungan yang mereka kembangkan antara diri mereka sendiri dengan orang lain dimasa lalu, seperti halnya arah dan tujuan yang mereka harap mampu dilakukan dimasa yang akan datang. 1.3.3 Identitas peran seksual Masa remaja merupakan waktu untuk konsolidasi identitas peran seksual. Selama masa remaja awal, kelompok teman sebaya mulai mengkomunikasikan beberapa pengharapan terhadap hubungan heteroseksual dan bersamaan dengan kemajuan perkembangan, remaja diharapkan pada pengharapan terhadap perilaku peran seksual yang matang baik dari teman sebaya maupun orang tua. 1.3.4 Emosionalitas Status emosional remaja masih terombang-ambing, antara perilaku yang sudah matang dengan perilaku seperti anak-anak. Selama satu menit mereka sangat gembira dan antusias, dimenit selanjutnya mereka merasa tertekan dan menarik diri. Akibat emosi yang mudah berubah ini, remaja sering dijuluki sebagai orang yang tidak stabil, tidak konsisten, dan tidak dapat diterka. Masalah yang kecil dapat menyebabkan pergolakan emosional dan bergantung pada interpretasi remaja, dapat menjadi sesuatu yang besar. Remaja lebih mampu mengendalikan emosinya pada masa remaja akhir. Mereka mampu menghadapi masalah dengan lebih tenang dan rasional, dan walaupun masih mengalami periode depresi, perasaan mereka lebih kuat dan mulai menunjukan emosi yang lebih matang pada masa remaja akhir. Sementara remaja awal bereaksi cepat dan emosional, remaja akhir dapat

mengendalikan emosinya sampai waktu dan tempat untuk mengekspresikan dirinya dapat diterima dimasyarakat.

1.4

Perkembangan perilaku seksual Perkembangan fisik termasuk organ seksual yaitu terjadinya kematangan serta peningkatan kadar hormon reproduksi atau hormon seks baik pada lakilaki maupun pada perempuan yang akan menyebabkan perubahan perilaku seksual remaja secara keseluruhan. Pada kehidupan psikologis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai pengaruh kuat dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Terjadinya peningkatan perhatian remaja terhadap lawan jenis sangat dipengaruhi oleh faktor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas (Santrock, 2003).

2. PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA Sarwono (2003), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan sendiri, dengan lawan jenis maupun sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama. Stuart dan Sundeen (1999), perilaku seksual yang sehat dan adaptif dilakukan ditempat pribadi dalam ikatan yang sah menurut hukum. Sedangkan perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing (Mutadin, 2002). Irawati (2002) remaja

melakukan berbagai macam perilaku seksual beresiko yang terdiri atas tahapantahapan tertentu yaitu dimulai dari berpegangan tangan, cium kering, cium basah, berpelukan, memegang atau meraba bagian sensitif, petting, oral sex, dan

bersenggama (sexual intercourse). Perilaku seksual pranikah pada remaja ini pada akhirnya dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan remaja itu sendiri

2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks bebas pada Remaja Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 450 sampel tentang perilaku seksual remaja berusia 14-24 tahun mengungkapkan 64% remaja mengakui secara sadar bahwa melakukan hubungan seks sebelum menikah melanggar nilai dan moral agama. Sedangkan 31% menyatakan bahwa melakukan hubungan seks sebelum menikah adalah biasa atau sudah wajar dilakukan tidak melanggar nilai dan moral agama. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemahaman agama berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah remaja (Media Indonesia, 27 Januari 2005). Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah seks pranikah sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa (Syafrudin, 2008). Beberapa kajian menunjukkan bahwa remaja sangat membutuhkan informasi mengenai persoalan seksual dan reproduksi. Remaja seringkali memperoleh informasi yang tidak akurat mengenai seks dari teman-teman mereka, bukan dari petugas kesehatan, guru atau orang tua (Saifuddin dan Hidayana, 1999). Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap perilaku reproduksi remaja diantaranya adalah faktor keluarga. Remaja yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah banyak diantara berasal dari keluarga yang bercerai atau pernah cerai, keluarga dengan banyak konflik dan perpecahan (Kinnaird, 2003). Hubungan orang-tua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian anak sebaliknya. Orang tua yang sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga, dan anak akan

melarikan diri dari keluarga. Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena perceraian, kematian, dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang, dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak (Rohmahwati, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja paling tinggi hubungan antara orang tua dengan remaja, diikuti karena tekanan teman sebaya, religiusitas, dan eksposur media pornografi (Soetjiningsih, 2006). Beberapa faktor lain yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja adalah perubahan hormonal, penundaan usia perkawinan, penyebaran informasi melalui media massa, tabu-larangan, normanorma di masyarakat, serta pergaulan yang makin bebas antara laki-laki dan perempuan (Sarwono, 2003).

2.2 Dampak Perilaku Seks bebas pada Remaja Perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada remaja, diantaranya sebagai berikut : a. Dampak psikologis Dampak psikologis dari perilaku seksual pranikah pada remaja diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa. b. Dampak Fisiologis Dampak fisiologis dari perilaku seksual pranikah tersebut diantaranya dapat menimbulkan kehamilan tidak diinginkan dan aborsi. c. Dampak sosial Dampak sosial yang timbul akibat perilaku seksual yang dilakukan sebelum saatnya antara lain dikucilkan, putus sekolah pada remaja perempuan yang hamil, dan perubahan peran menjadi ibu. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut (Sarwono, 2003).

d. Dampak fisik Dampak fisik lainnya sendiri menurut Sarwono (2003) adalah berkembangnya penyakit menular seksual di kalangan remaja, dengan frekuensi penderita penyakit menular seksual (PMS) yang tertinggi antara usia 15-24 tahun. Infeksi penyakit menular seksual dapat menyebabkan kemandulan dan rasa sakit kronis serta meningkatkan risiko terkena PMS dan HIV/AIDS. SUMBER Elizabeth et al. 2006. Jurnal Proviate. Jakarta : Fakultas Psikologi universitas tarumanegara Muscari,2001. Pediatric Nursing. Philadelphia: Lippincott Santrock, 2003. Psychology. New york: Hill

You might also like