You are on page 1of 11

ZONA EKONOMI EKSLUSIF (ZEE)

Munculnya hukum laut yang bersifat internasional melalui Konvensi Hukum Laut Internasional pada tanggal 30 April 1982 yang dilakukan oleh PBB melalui Konferensi PBB III tentang Hukum Laut di New York dan ditanda tangani selanjutnya oleh 118 negara di Montego Bay, Jamaika pada 10 Desember 1982 menghadirkan beberapa manfaat yang dirasakan oleh masyarakat internasional lainnya. Adapun manfaat yang dirasakan yaitu: a. Menghilangkan penafsiran dari masing-masing Negara tentang masalah kelautan. b. Menghilangkan bentuk-bentuk peraturan yang semata-mata untuk kepentingan Negara tertentu. c. Timbulnya keseragaman dalam peraturan masalah kelautan dengan pedoman pada hukum internasional yang berlaku umum. d. Bagi Negara pemakai fasilitas lautan dapat berpegang pada pedoman hukum internasional yang ada. e. Timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban baru. Sebagaimana tertuang dalam UU No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Corvantion On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) bahwa ditinjau dari isinya dapat dirincikan sebagai berikut: a. Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuan di laut lepas dan hak lintas damai laut internasional. b. Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai lebar laut territorial menjadi maksimum 12 mil laut dengan criteria landas kontinen. c. Sebagian merupakan rejim-rejim hukum baru mengenai hukum baru, seperti asas Negara kepulauan, zona ekonomi eksklusif dan penambangan di dasar laut internasional. Lahirnya UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia merupakan realisasi yuridis perluasan wilayah laut utamanya yang menyangkut keadaan ekonomi dalam pengelolaan, pengawasan dan pelestariannya, sehingga upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan cara memanfaatkan sumber daya alam laut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Negara Indonesia sebagai Negara kepulauan dengan bentangan wilayahnya yang berukuran 2/3 merupakan wilayah lautan, merupakan kondisi yang sangat mendukung dan menunjang seluruh potensi bahari bangsa Indonseia dalam mengupayakannya. Dengan direalisasikannya wilayah ZEEI sejauh 200 mil laut, maka membawa konsekuensi perubahan pada peta wilayah Indonesia dan aspek lainnya, yaitu: a. Menambah luas wilayah Indonesia kurang lebih 1,5 juta mil persegi. b. Menambah intensifnya pengawasan wilayah laut secara preventif maupun represif terhadap pelanggaran wilayah dalam arti terjadinya pencurian hasil sumber daya alam hayati, khusunya ikan maupun penyalahgunaan atas kelonggaran yang diberikan. c. Berupaya mendapatkan perluasan kemampuan dalam menunjang potensi alam yang harus diusahakan dan diimbangi keadaanya.

d. Berupaya melakukan pencegahan terhadapa kegiatan-kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran laut bahkan sampai mempengaruhi ekosistem laut. ZEEI yang pengaturannya telah dituangkan dalam UU No.5 Tahun 1983 ini merupakan rejim hukum internasional tentang ZEEI yang telah dikembangkan oleh masyarakat internasional dimaksudkan untuk: a. Melindungi Negara pantai dari bahaya kemungkinan dihabiskan sumber daya alam hayati di dekat pantainya oleh kegiatan Negara-negara lain dalam mengelola perikanan berdasarkan rejim perairan laut bebas. b. Melindungi kepentingan-kepentingan Negara panatai di bidang pelestarian linkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan dengan upaya memanfaatkan sumber daya alam di zona tersebut. Indonesia sebagai Negara pantai dalam melaksanakan hak berdaulat dan hak-hak lainnya, yuridiksi dan kewajiban-kewajiban yang melekat dalam kegiatan pengelolaan berpijak pada UU no.5 Tahun 1983. Adapun hak-hak daripada Negara Indonesia yaitu: a. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pengelolaan dan berupaya untuk melindungi, melestarikan sumber daya alam yaitu mejaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut. b. Hak untuk melaksanakan penegakan hukum yang dilakaukan oleh aparat yang menangani secara langsung, dalam upaya untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan perdamaian. c. Hak untuk melaksanakan hot pursuit terhadap kapal-kapal asing yang melakaukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan ZEEI. d. Hak eksklusif untuk membangun, mengizinkan dan mengatur pembangunan, pengoperasian dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunbangunannya. e. Hak untuk menentukan kegiatan ilmiah berupa penelitian-penelitian dengan diterima/tidaknya permohonan yang diajukan pada pemerintah. Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh Negara Indonesia akibat dari pengaturan UU No.5 Tahun 1983 yaitu: a. Menghormati hak-hak Negara lain dalam melakukan pelayaran maupun penerbangan, yang merupakan kebebasan dari Negara-negara dalam melintasi wilayah dimaksud, dan kebebasan dalam melakukan pemasangan kabel-kabel, pipapipa di bawah laut. b. Dalam pengelolaan salah satu jenis sumber daya alam yang terdapat di ZEEI, seperti halnya ikan. Kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk menetukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch), sehingga diketahui secara pasti berapa jumlah tangkapan secara keseluruhan dan kemampuan Negara Indonesia mengusahakan lingkungan dan tangkapannya. Dalam hal ini juga memberikan kesempatan pada perikanan asing untuk memanfaatkan dari sisa jumlah tangkapan.

Di dalam UU No. 5 Tahun 1983, juga disebutkan tentang ketentuan pidana berdasarkan empat asas Hukum Pidana Indonesia, yaitu: a. b. c. d. Asas territorial atau asas wilayah. Asas nasional aktif atau personalitas. Asas nasional pasif atau asas perlindungan. Asas universal.

Dalam UU No.5 Tahun 1983 tersebut hanya 2 pasal yang mengatur tentang pidana yaitu pasal 16 dan 17. Apabila disimak pasal demi pasal bahwa ancaman hukuman yang diberikan berupa hukuman denda, misalnya dalam pasal 16 diungkapkan bahwa adanya tindakan-tindakan yang bertentangan dengan izin dari pemerintah Indonesia atau persetujuan internasional dengan pemerintah Republik Indonesia dalam hal: a. Melakukan eksplorasi dan atau eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan pembangkitan tenaga air, arus dan angin atau; b. Melakukan kegiatan penelitian ilmiah kelautan, dan; c. Syarat-syarat yang perlu diperhatikan dalam membuat atau menggunakan pulaupulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan lainnya; diancam dengan pidana setingi-tingginya Rp. 225.000.000,00 dengan hukuman tambahan berupa perampasan terhadap hasil kegiatan yang telah diperoleh, kapal dan alat perlengkapan lainnya yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut.

LANDAS KONTINEN (CONTINENTAL SHELF)

Landas kontinen merupakan konsepsi yang relative baru dalam hukum laut internasional. Pada hakekatnya rezim landas kontinen lahir melalui pernyatan-pernyataan unilateral dan kadangkadang melalui jalan konvensional. Selanjutnya Konferensi Jenewa 1958 membuat ketentuanketentuan mengenai dasar laut tersebut yang kemudian disempurnakan dalm Konvensi. Lalu setelah tahun 1958 tersebut, banyak negarayang megeluarkan undang-undang mlandas kontinen dan membuat perjajnjian-perjanjian yang didasarkan atas ketenuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Jenewa tersebut. Adapun definisi landas kontinen menurut Konvensi Jenewa yaitu pada pasal 1 yang menyatakan bahwa: a. Dasar dan lapisan tanah di bawah laut yag berbatasan dengan pantai tetapi berada di luat daerah laut wilayah sampai kedalaman 200 meter atau daerah yang lebih dalam lagi di mana dalam airnya memungkinkan eksploitasi sumber-sumber lama daerah tersebut; b. Dasar dan lapisan tanah dibawah laut seperti di atas yang berbatasan dengan pantai kepulauan. Pengertian diatas berbeda dengan pengertian landas kontinen menurut ilmu geologis, yaitu suatu plate-forme atau daerah dasar laut yang terletak antara dasar air rendah dan titik dimana dasar laut menurun secara tajam, dan di mana mulai daerah dasar laut baru yang kita sebut dengan lereng kontinen. Biasanya penurunan dasar laut secara tajam ini terjadi pada kedalamn sekitar 200 meter, walaupun kadang-kadang juga terjadi pada kedalamn lain misalnya 500 meter atau 50 meter, walaupun hal ini jarang sekali terjadi. Masa-masa setelah Konferensi Jenewa 1958, di mana status hukum landas kontinen mulai jelas, Negara-negara pada umumnya menyatakan kedaulatannya atas landas kontinen mereka dengan menentukan sekaligus apa-apa saja hak yang dimiliki mereka serta cara-cara pelaksanaan hakhak tersebut. Secara keseluruhan, undang-undang nasional berbagia Negara menentukan cara-cara eksploitasi dan eksplorasi landas kontinen masing-masing Negara. Secara hukum, ketentuanketentuan tersebut merupakan pelaksanaan prinsip kedaulatan Negara-negara pantai terhadap landas kontinennya yang telah diakui hukum internasional. Permasalahan dari Konvensi Jenewa 1958 terutama Konvensi tentang Landas Kontinen yaitu lebih banyak didasarkan atas konsiderasi politico-yuridik tanpa memberikan cukup perhatian terhadap aspek-aspek teknis dengan cepat telah ditinggalkan perkembangan tekonologi. Misalnya sekarang ini minyak telah dapta digali di kedalaman lebih dari 200 meter bahkan sudah sampai pada kedalam 1000 meter. Sekiranya ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Jenewa tetap berlaku yaitu Negara pantai dapat melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan mineral di kedalaman 200 meter atau lebih maka keadaan ini hanya akan menguntungkan Negara-negara pantai maju saja karena teknologinya sedangkan Negara-negara pantai lainnya akan dirugikan. Oleh karena ketentuan dalam konvensi ini kabur, maka timbullah usaha-usaha untuk menyempurnakan pasal 1 konvensi tentang Landas Kontinen tersebut agar penguasaan terhadap

landas masing-masing Negara pantai dilakukan seadil mungkin. Demikianlah, pasal 76 KOnvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 telah menyempurnakan ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen tersebut. Jadi, sesuai ketentuan-ketentuan pasal 76 Konvensi tahun 1982 maka lebar landas kontinen adalah sebagai berikut: a. Negara-negara yang pinggiran luar tepi kontinennya kurang dari 200 mil, lebar landas kontinen Negara tersebut diperbolehkan sejauh 200 mil. b. Negara-negara yang pinggiran luar tepi kontinennya lebih besar dari 200 mil dari garis pangkal dapat memperoleh landas kontinen sejauh pinggiran luar tepi kontinen. Muncul sebuah masalah yaitu ketika batas-batas landas kontinen suatu Negara berhadapan atau berdampingan dengan Negara lain yang jarak kedua pantainya kurang dari 200 mil laut. Dalam situasi yang seperti ini, maka prinsip pasal 76 konvensi Hukum Laut tidak dapat diberlakukan. Situasi tentang Negara yang berhadapan atau berdampingan merupakan masalah delitimasi yang diatur oleh pasal 83 Konvensi Hukum Laut. Pasal ini secara khusus mengatur bahwa penetapan garis batas landas kontinen antara Negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagai mana tercantum dalam pasal 38 Satuta Mahkamah Internasional untuk mencapai suatu penyelesaian adil. Pasal ini pada dasarnya hanya bersifat procedural yaitu mewajibkan setiap Negara yang berhadapan dan berdampingan untuk membuat perjanjian batas maritime. Berbeda dengan Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi Jenewa 1985 tentang masalah ini lebih bersifat substantive. Pada pasal 6 Konvensi Jenewa ini meletakkan prinsip bahwa garis batas landas kontinen antarnegara yang berhadapan atau berdampingan adalah garis tengah kecuali jika ada situasi-sitausi tertentu. Oleh karena untuk mengamankan dan melindungi kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, maka Indonesia mengeluarkan sebuah produk undang-undang pada tanggal 6 Januari 1973 yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Undang-undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia dalam pasal 3nya juga menyatakan prinsip penetapan batas garis landas kontinen dengan Negara-negara lain dengan cara perundingan. Prinsip ini sudah dilaksanakn lama sebelum keluarnya undang-undang tersebut dan di bawah ini adala Persetujuan-persetujuan garis batas landas kontinen Indonesia yang sampai sekarang dibuat dengan Negara-negara tetangga: a. Persetujuan RI Malaysia tentang Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan; ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 27 Oktober 1969, mulai berlaku 7 November 1969. b. Persetujuan RI Thailand tentang Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka (bagian utara) dan Laut Andaman; ditandatangani di Bangkok tanggal 7 Desember 1971, mulai berlaku 7 April 1972. c. Persetujuan RI Malaysia - Thailand tentang penetapan Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka (bagian utara); ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 21 Desember 1971, mulai berlaku 16 Juli 1973.

d. Persetujuan RI Australia tentang penetapan Garis Batas Dasar Laut tertentu (Laut Arafuru dan Daerah Utara Irian Jaya Papua Nugini); ditandatangani di Canberra tanggal 18 Mei 1971, mulai berlaku tanggal 8 November 1973. e. Persetujuan RI Australia tentang penetapan Garis Batas daerah-daerah laut tertentu (Selatan Pulau Tanimbar dan Pulau Timor); ditandatangani di Jakarta tanggal 9 Oktober. f. Persetujuan RI India tentang penetapan Garis Batas Landas Kontinen antara kedua Negara. Ditandatangani di Jakarta 8 Agustus 1974. g. Persetujuan RI India tentang Garis Batas Landas Kontinen ditandatangani tanggal 14 Januari 1977 New Delhi, mulai berlaku 15 Agustus 1977. h. Persetujuan antara RI Thailand tentang penetapan Garis Landas Kontinen antar kedua Negara di Laut Andaman. Ditandatangani di Jakarta 11 Desember 1975 dan mulai berlaku tanggal 18 Februari 1978. i. Persetujuan antara RI, India dan Thailand tentang penetapan Trijunction Point dan penetapan Batas-batas antara ketiga Negara di Laut Andaman. Ditandatangani di New Delhi tanggal 22 Juni 1978; mulai berlaku tanggal 2 Maret 1979. j. Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Australia tentang penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas-Batas dasar laut tertentu; ditandatangani di Perth, pada tanggal 14 Maret 1997; mulai berlaku setelah pertukaran Piagam Ratifikasi. k. Persetujuan Batas Landas Kontinen Indonesia Vietnam di sebelah Utara Pulau Natuna di Laut Cina Selatan. Ditandatangani tanggal 26 Juni 2003 di Vietnam. Belum diratifikasi. Indonesia masih harus membuat perjanjian-perjanjian batas landas kontinen denga Negara-negara tetangga lainnya seperti dengan Malaysia di Laut Sulawesi, pasca putusan Mahkamah Internasional tentang pulau-pulau sipadan dan Ligitan 17 Desember 2002, dengan Philipina di sebelah Utara Sulawesi, dengan Pulau di bagian Samudera Pasifik dan dengan Timor Leste.

LAUT LEPAS

Sudah merupakan suatu ketentuan yang berasal dari hukum kebiasaan bahwa permukaan laut dibagi atas beberapa zona dan yang paling jauh dari pantai dinamakan laut lepas.sedangkan pasal 86 konvensi PBB tentang hukum laut menyatakan bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut territorial atau dalam perairan pedalaman suatu Negara, atau dalam perairan kepulauan suatu Negara kepulauan. Jadi, sesuai definisi ini, laut lepas terletak jauh dari pantai yaitu bagian luar zona ekonomi eksklusif. Penelitian mengenai laut lepas ini kita bagi atas 3 bagian, yaitu: 1. Prinsip kebebasan di laut lepas. Secara umum dan secara dan sesuai pasal 87 konvensi PBB tentang Hukum Laut, kebebasan di laut lepas berarti bahwa laut lepas dapat digunakan oleh Negara manapun. Menurutnya, kebebasan-kebebasan tersebut antara lain: a. Kebebasan berlayar; b. Kebebasan penerbangan; c. Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dengan mematuhi ketentuan-ketentuan Bab VI Konvensi; d. Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional dengan tunduk pada bab VI; e. Kebebasan menangkap ikan dengan tunduk pada persyaratan yang tercantum dalam sub. Bab II; f. Kebebasan riset ilmiah, dengan tunduk pada bab VI dan XIII. Kalau prinsip kebebasan di laut lepas pada umumnya sudah diterima oleh masyarakat internasional, di samping itu masih terdapat keraguan atas dasar dari prinsip itu sendiri. Pada hakekatnya dasar ini erat sekali hubungannya dengan natur yuridik laut lepas. Ada beberapa teori yang dikemukakan mengenai natur yuridik laut lepas ini, antara lain: a. Res Nullius Sebagai res nullius, laut lepas aadalah bebas karena tidak ada yang memiliknya. Tetapi, teori ini mempunyai akibat yang negative. Bila laut bukan merupakan milik suatu Negara, maka kebebasan yang terdapat di laut lepas tersebut dapat mempunyai akibat-akibat yang ekstrim. Bagaimanapun juga, tidak satu negarapun dapat menduduki laut, berbuat sekehendak hatinya di laut dan seperti apa yang disebutkan pasal 87 Konvensi Hukum Laut 1982, kebebasan di laut lepas malah dilakukan atas syarat-syarat tertentu. b. Res Communis Ini berarti bahwa laut adalah milik bersama, karena itu Negara-negara bebas menggunakannya. Kalau laut milik bersama, maka logikanya adalah laut lepas itu berada di bawah kedaultan bersama negar-negara dan diatur melalui pengelolaan internasional. Adapun hal yang terbaik yaitu menganggap laut lepas sebagai suatu domaine public internasional. Yang diutamakan disini adalah sifat kegunaan

laut tersebut untuk kepentingan bersama masyarakat internasional. Jadi, laut lepas itu tidak dpat dimilki oleh siapapun tetapi dapat digunakan bersama untuk kepentingan anggota-anggota masyarakat internasional. 2. Status Hukum Kapal-kapal di Laut Lepas Sebaiknya, sebelum mempelajri status hukum kapal-kapal di laut lepas, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu kapal-kapal mana saja yang berlayar di laut lepas, yaitu: a. Kapal Publik Yang dimaksud dengan kapal-kapal public yaitu kapal-kapal yang digunakan untuk keperluan dinas pemerintah dan bukan untuk tujuan swasta. Sebagai contoh; kapal-kapal perang, kapal-kapal public non-militer dan kapalkapal organisasi-organisasi internasional. b. Kapal Swasta Yang dimaksud dengan kapal-kapal swasta yaitu kapal-kapal yang tujuan penggunaannya untuk tujuan komersial. Sebagai contoh yaitu kapal-kapal perusahaan tepung Bogasari Indonesia. Di laut lepas, semua kapal-kapal tunduk sepenuhnya pada peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Negara bendera. Suatu kapal yang memakai bendera suatu Negara harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif Negara itu di laut lepas. Hal ini merupakan ketentuan dari pasal 92 Konvensi Hukum Laut. Untuk membenarkan wewenang Negara bendera ini, para ahli mencoba menghubungkannya dengan wewenang territorial. Untuk tujuan ini, kapal dianggap sebagai floating portion of the flag state yaitu bagian terapung wilayah Negara bendera. Wewenang Negara bendera ini disebut juga sebagai wewenang penuh. Bagi kapal-kapal perang tidak ada persoalan dalam pembuktian kebangsaan, cukup menampakkan benderanya saja. Sedangkan untuk kapal-kapal public atau kapalkapal swasta lainnya, penunjukkan bendera saja tidak cukup, harus ditambah dengan adanya bukti-bukti lain sebagaimana yang diminta konvensi atau lebih dikenal dengan papiers de bord yaitu antara lain; Mengenai kapal dan anak buah, misalnya: kebangsaan, identitas kapal surat jalan, livre de bord; Mengenai muatan kapal, misalnya: manifest, connaissement, dan lainlainnya.

Mengenai kekebalan kapal perang di laut lepas, pasal 95 konvensi hukum laut menyatakan bahwa kapal perang laut lepas memiliki kekebalan penuh dari yuridiksi Negara manapun selain Negara bendara. Jadi, kapal-kapal perang hanya tunduk pada wewenang negaranya dan sama sekali bebas dari kekuasaan Negara-negara asing. Sebaliknya bagi kapal-kapal swasta, wewenang Negara bendara tidak absolute lagi tetapi telah menjadi relative.

3. Pengawasan di laut lepas Pengawasan yang dilakukan oleh kapal-kapal perang di laut lepas dibagi atas 2 bagian yaitu: a. Pengawasan umum Pengasawan umum ini terdiri dari pengawasan biasa, inspeksi dan bahkan tindakan kekerasan yang bertujuan untuk menjamin keamanan umum lalu lintas laut. Sehingga berdasarkan wewenang absolute suatu Negara bendera, maka kapal-kapal public hanya tunduk pada kapal-kapal perang negaranya. Sebaliknya, kapal-kapal perang semua Negara mempunyai wewenang terhadap kapal-kapal swasta Negara-negara lain. b. Pengawasan khusus Pengawasan ini ada bermacam-macam antara lain; Pemberantasan perdagangan budak belian Pemberantasan bajak laut Pengawasan penangkapan ikan Pengawasan untuk melindungi kabel-kabel dan pipa bawah laut Pemberantasan pencemaran laut Pengawasan untuk kepentingan sendiri Negara-negara.

ABSTRAK

Pentingnya laut dalam hubungan antarbangsa menyebabkan pentingnya pula artinya hukum laut internasional. Tujuan hukum ini adalah untuk mengatur kegunaan rangkap dari laut, yaitu sebagai jalan raya dan sebagai sumber kekayaan serta sebagai sumber tenaga. Karena laut hanya dapat dimanfaatkan dengan kendaraan-kendaraan khusus, yaitu kapal-kapal, hukum laut pun harus menetapkan pula status kapal-kapal tersebut. Di samping itu pula, hukum laut juga harus mengatur kompetisi antara Negara-negara dalam mencari dan menggunakan kekayaan yang diberikan laut, terutama sekali antara Negara-negara maju dan Negara-negara berkembang. Adapun hal-hal yang diatur oleh hukum laut ini salah satunya meliputi Zona Ekonomi Eksklusif, Laut Lepas dan Landas Kontinen. Objek-objek dari hukum laut ini nantinya akan dijelaskan secara garis besar yang mana memungkinkan untuk dibaca secara efektif. Zona Ekonomi Eksklusif yaitu suatu rezim dimana hukum zona ekonomi tersebut didefinisikan sebagai suatu kedaulatan permanen atas semua sumber biologis dan mineral milik Negara-negara pantai. Lebar dari Zona Ekonomi Eksklusif ini mencapai 200 mil dari pesisir pantai yang dihitung ketika air laut sedang masa surut. Definisi landas kontinen berdasarkan berdasarkan Konvensi Jenewa yaitu dasar dan lapisan tanah di bawah laut yag berbatasan dengan pantai tetapi berada di luat daerah laut wilayah sampai kedalaman 200 meter atau daerah yang lebih dalam lagi di mana dalam airnya memungkinkan eksploitasi sumber-sumber lama daerah tersebut. Laut lepas merupakan daerah laut yang berada di luar dari zona ekonomi eksklusif yang mana merupakan sebuah lautan yang bebas dan milik masyarakat internasional bersama. Penelitian mengenai laut lepas ini kita bagi atas 3 bagian, yaitu; (1) Prinsip kebebasan di laut lepas; (2) Status hukum kapal-kapal di laut lepas; (3) Pengawasan di laut lepas.

KESIMPULAN

Kedaulatan laut merupakan sebuah hal yang sangat sensitive dalam masalah luasnya wilayah suatu Negara. Inisiatif masayarakat internasional dalam membuat sebuah aturan baku tentang kedaulatan sebuah Negara di daerah perairannya menjadi sebuah karya yang hebat walaupun didalmnya masih ada kekurangan-kekurangan di dalam pengaturannya sehingga banyak dari Negaranegara masih bermasalah tentang luasnya wilayahnya. Indonesia merupakan sebuah Negara dengan jumlah pulaunya mencapai belasan ribu pulau yang telah dinamai maupun yang belum. Mengingat Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang di kelilingi oleh perairan, maka hukum laut internasional ini sangat mempengaruhi luas wilayah Indonesia itu sendiri lantaran di dalam hukum laut internsional itu telah diatur pengukuran wilayahwilayah laut. Karena bentuk dari wilayah laut tersebut menyebabkan Indonesia kerap terkena masalahmasalah yang berbau perampasan wilayah oleh Negara-negara tetangga. Hal itu juga disebabkan karena Indonesia sendiri memiliki SDM yang kurang dan juga ketidakpedulian terhadap pulau-pulau yang berada dekat dengan wilayah Negara tetangga. Diharapkan nantinya Negara Indonesia dapat melakukan penjagaan terhadap pulau-pulau yang berada di pinggir Negara tetangga dengan lebih baik dan meningkatkan sumber daya manusianya agar dapat mensosialisasikan masalah-masalah yang berhubungan dengan wilayah laut Indonesia khususnya.

You might also like