You are on page 1of 6

advokasi hak asasi manusia ADVOKASI HAK ASASI MANUSIA KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat

Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga Makaah Advokasi Hak Asasi Manusia ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu meskipun dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada di dalamnya. Melalui Makaah Advokasi Hak Asasi Manusia ini dapat membantu mahasiswa khususnya mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial untuk mempelajari HAM melalui fakta-fakta di lingkungan sekitar. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Halili, S.Pd selaku pengampu mata kuliah Pendidikan Hak Asasi Manusia. Atas kebijakannya mampu mendorong mahasiswa untuk lebih giat, rajin dan tekun dalam pengerjaan tugas-tugas. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam proses penyusunan kliping ini. Penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan dari semua pihak, sehingga ke depannya penulis dapat menyempurnakannya dan menjadikannya lebih baik. Amien. Yogyakarta, Oktober 2010 Penulis BAB I ( PENDAHULUAN)

1.

A.

LATAR BELAKANG

Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998. Selama ini Hak Asasi Manusia menjadi topic yang hangat di dunia internasional. Hak Asasi Manusia tak luput dari advokasi (pembelaan) hak asasi manusia. Advokasi hak asasi manusia itu sendiri adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh ahli hukum dan atau lembaga bantuan hukum dalam bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, serta pendampingan baik di dalam dan di luar pengadilan yang bertujuan untuk menyelesaikan kasus-kasus hak asasi manusia. Oleh karena itu advokasi dan hak-hak korban pelanggaran HAM perlu ditegakkan dan diperjuangkan, seperti halnya yang dilakukan oleh Suciwati, istri Ketua KONTRAS almarhum Munir, yang meninggal akibat diracun. Di Indonesia sendiri penegakkan terhadap hak-hak korban pelanggaran HAM masih belum begitu diperhatikan. Contoh korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang kasus hukumnya berhenti adalah kasus TKI kita yang mengalami penganiayaan dan kematian tak wajar, begitu pula dengan kasus Semanggi, dan pembunuhan terduga PKI di pemerintahan Soeharto. Dalam berbagai kasus seperti halnya yang terjadi di negara kita ini secara kontinyu dan tak pernah selesai-selesai meskipun undang-undang tentan HAM sudah ada dan jelas adanya. BAB II ( PEMBAHASAN)

1.

A. HAK-HAK KORBAN PELANGGARAN HAM

Pasal 35 ayat 1 Undang-undang No. 26 tahun 2000 menyatakan bahwa korban pelanggaran HAM yang berat atau ahli waris dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Ayat (2) menyatakan bahwa kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Ayat (3) menyatakan bahwa ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peeraturan Pemerintah. Dalam penjelasan pasal tersebut kompensasi diartikan sebagai ganti rugi yang diberikan oleh Negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian yang sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya. Restitusi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga yang ganti rugi ini dapat berup pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian dana untuk tindakan tertentu. Sedangkan rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lainnya. Peraturan pemerintah yang mengatur tentang pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat adalah PP No.3 Tahun 2002. PP ini lebih banyak mengatur tentang mekanisme pemberian kompensasi restitusi dan rehabilitasi setelah adanya putusan mengenai restitusi, kompensasi dan rehabilitast dalam amar putusan. PP ini tidak hanya sebagai pelaksana dari ketentuan pasal 35 Undang-Undang No.26 Tahun 2000. Tidak ada peraturan secara kusus sebagaimana pengajuan tentang ketentuan kopensasi, rehabilitasi dan restitusi terhadap korban pelanggaran ham berat dapat dimintakan ke pengadilan. Untuk mengetahui mekanisme tentang pengajuan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi harus me;ihat kpada ketentuan yang ada pada

KUHAP. Dalam KUHAP terhadap mekanisme tentang ganti kerugian dan rehabilitasi. Ganti kerugian bias dimintakan oleh tersangka, terdakwa dalam kaitannya dalam proses pemeriksaan dan pengadilan yang tidak sah kepada aparat penegak hukum dan juga oleh korban atas kerugian yang diderita oleh pelaku. Sedangkan ketentuan mengenai rehabilitasi adalah berkenaan dengan hak-hak terdakwa. Dari pengerian ini mekanisme untuk ganti rugi kepada korban oleh pelaku. Mekanisme pengajuan ganti kerugian dalam KUHAP ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan pengajuan perdata setelah perkara pidananya diputus atau menggabungkan antara pengajuan ganti kerugian dengan pokok perkaranya. Mekanisme pertama tidak dapat dilakukan dalam konteks kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam pelanggaran HAM berat ini karena harus ada putusan dari pengadilan HAM berat ini. Mekanisme kedua yaitu penggabungan, dan dapat dilakukan dalam konteks restitusi untuk pelanggaran HAM berat ini. Mekanisme penggabungan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi diatur dalam pasal 98 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua siding atsa permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti kerugian pada perkara pidana itu. Cara untuk pemulihan kerugian korban dapat digabungkan dalam perkara pidana dengan permintaan perhatian penuntut umum agar hakim dapat mencantumkan dalam dictum putusan pidana. Dalam pasal 98 ayat(2) KUHAP saksi korban dapat mengajukan Petitum tersendiri secara lisan maupun tulisan dalam persidangan sebelum hakim menjatuhkan putusannya. Tentang pengajuan kompensasi dan rehabilitasi pleh korban dalam kasus pellanggaran HAM berat tidak diatur secara berat. Mekanisme pengajuan yang paling mungkin dilakukan adalah pengajuan permintaan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi uang akan diajukan oleh jaksa bersamaan dengan tuntutan dakwaan. Dengan demikian persoalan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tentu korban akan sangat bergantung pada perhatian jaksa atas masalah pemenuhan hak-hak korban. B. ADVOKASI HAM (TEKNIK ADVOKASI HAM & JENIS ADVOKASI NONLITIGASI 1.Pengertian Advokasi Hak Asasi Manusia Advokasi adalah usaha sistimatis secara bertahap (inkremental) dan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi profesi untuk menyuarakan aspirasi anggota, serta usaha mempengaruhi pembuat kebijakan publik untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada kelompok tersebut, sekaligus mengawal penerapan kebijakan agar berjalan efektif. Sedangkan advokasi hukum adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh ahli hukum dan atau lembaga bantuan hukum dalam bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, serta pendampingan baik di dalam dan di luar pengadilan yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang bedimensi hukum. Jadi, advokasi Hak Asasi Manusia adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh ahli hukum dan atau lembaga bantuan hukum dalam bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, serta pendampingan baik di dalam dan di luar pengadilan yang bertujuan untuk menyelesaikan kasus-kasus hak asasi manusia. 2.Tujuan Advokasi Hak Asasi Manusia Secara umum tujuan advokasi adalah untuk mewujudkan berbagai hak dan kebutuhan fundamental suatu kelompok masyarakat yang oleh karena keterbatasannya untuk memperoleh akses di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, mengalami hambatan secara struktural akibat tidak adanya kebijakan publik yang bepihak kepada mereka. Tujuan advokasi hak asasi manusia yakni:

Menyadarkan dan mengupayakan hak dan kewajiban yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai peraturan derivasinya; Menegakkan perlindungan hak asasi manusia sebagai bagian dari upaya menegakkan prinsip negara hukum, Negara kesejahteraan yang bercorak demokratis; Membantu penyelesaian permasalahan hak asasi manusia yang dihadapi dengan cara pendampingan hukum baik yang bersifat non litigasi maupun yang berbentuk litigasi; 3. Teknik Advokasi Hak Asasi Manusia Perspektif Korban

1.

Advokasi Litigasi

Litigasi dapat diartikan sebagai keseluruhan proses yang mengalihkan suatu kasus atau permasalahan ke pengadilan. Hasil akhir suatu sengketa di pengadilan, tidak ditentukan oleh para pihak yang berposisi sebagai penggugat dan tergugat, tetapi diputuskan oleh hakim melalui penerapan hukum serta menentukan sedapat mungkin bentuk penghukuman, seperti penjatuhan perintah pembayaran ganti rugi dan kewajiban memulihkan keadaan seperti semula sebelum terjadi sengketa. Berdasarkan konsepsi yang demikian ini, banyak orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata. Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas. Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa Inggris dapat bermakna macam-macam. Advocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan perubahan secara terorganisir dan sistematis.

Advokasi Non Litigasi

Di samping melalui Litigasi, juga dikenal Alternatif penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan yang lazim disebut Non Litigasi. Alternatif penyelesaian sengketa Non Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradlan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hokum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensif) dan kurng tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistis (formalistic) dan terlampau teknis (technically). Dalam pasal (1) angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultsi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

1.

4.

Jenis-jenis Advokasi Nonligitasi

Konsultasi

Dalam Blacks Law Dictionary dijelaskan bahwa konsultasi merupakan tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan klien, dengan pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan klien tersebut. Konsultan hanyalah memberikan pendapat hukum, sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun ada kalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.

Negosiasi dan Perdamaian

Menurut Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, pada dasarya para pihak berhak untuk menyelsaikan sendiri sengket yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui para pihak. Negosiasi mirip dengan perdamaian yang diatur dalam pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, di mana perdamaian itu adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan mana harus dibuat secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namun ada beberapa hal yang membedakan, yaitu: Pada negosiasi diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa. pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa. Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Mediasi

Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) Undang Undang Nomor 39 tahun 1999, atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atu lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah pinal dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilakasanakan dalam waktu lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran. Mediator dapat dibedakan: 1. 2. mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak mediator yang ditujuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak. Konsiliasi dan perdamaian

Seperti pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di atas, konsiliasipun tidak dirumuskan secara jelas dalam Undang Undang nomor 30 tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses legitasi, melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.8)

Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase

Pasal 52 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari pengertian tentang Lembaga Arbitrase yang di berikan dalam Pasal 1 angka 8 Undang Undang nomor 30 tahun 1999: Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.

Arbitrase

Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam Pasal 615 s/d 651 Reglement of de Rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui artibrase tetap dipebolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan. Menurut pasal 1 angka 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar Pengadilan Umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:

Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjain tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) atau Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut pasal 5 ayat 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu ayat 5 (2) nya memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854. Dalam penjelasan umum Undang Undang nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah: 1. 2. 3. 4. 5. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif para pihak dapat memilih arbiter yang menurut pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

Prinsip Dasar Tentang Advokat (1990) Prinsip-prinsip Dasar tentang peran Advokat(1990) disahkan oleh kongres PBB kedelapan tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap pelaku kejahatan, Havana,kuba 27 Agustus-7 September1990. Akses kepada Advokat dan pelayanan hukum. 1) Semua orang berhak untuk minta bantuan seorang advokat mengenai pilihan mereka untuk melindungi dan menetapkan hak-hak mereka dan untuk melindungi mereka semua dalam proses pengadilan pidana. 2) Pemerintah harus memastikan bahwa prosedur yang efisien.mekanisme yang responsif untuk akses yang efektif dan setara kepada Advokat disediakan kepada semua orang di wilayahnya dan tunduk kepada yurisdiksinya,pembedaan dalam hal apapun,seperti misalnya diskriminasi yang berdasar pada ras,warna kulit,asal usul etnis,jenis kelamin,agama,pandangan politik atau lain-lain,asal usul kebangsaan atau sosial ,kekayaan,kelahiran,status ekonomi atau lainnya.

3) Pemerintah harus memastikan tersedianya dana dan sumber daya lainnya yang cukup untuk pelayanan hukum bagi orang-orang miskin dana, kepada orang-orang lain yang kurang beruntung. Perhimpunan advocat profesional harus bekerjasama dalam organisasi dan penyediaan pelayanan, fasilitas dan sumber daya lainnya. 4) Pemerintah dan perhimpunan advokat profesional akan menajukan program untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka berdasarkan hukumdan peranan penting advokat dalam melindungi kebebasan-kebebasan fundamental mereka. Perhatian khusus harus ditunjukan kepada bantuan kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang kurang mampu sehingga memungkinkan mereka untuk menyatakan hak-hak mereka dan untuk minta bantuan advokat. 5) Pemerintah-pemerintah harus menjamin bahwa aparat yang berwenang akan memberitahukan hak terdakwa untuk didampingi advokat pada saat ditangkap atau di tahan atau apabila di tuduh dengan pelanggaran pidana. 6) Orang yang tidak mempunyai advokat,dalam hal bagaimana juga dimana kepentingan keadilan membutuhka, berhak untuk mempunyai seseorang advokat yang mempunyai pengalaman dan kompetisi yang sesuai dengan staf pelanggaran yang ditugaskan kepada mereka untuk memberikan bantuan hukum secara efektif, tanpa bayaran oleh mereka kalau mereka kekurangan saran yang cukup untuk membayar pelayanan tersebut. 7) Pemerintah-pemerintah seelanjutnya harus memastikan bahwa semua orang yang ditangkap atau ditahan, dengan atau tanpa tujuan pidana harus mempunyai akses dengan segera kepada seorang advokat dan dalam keadaan apapun tidak lebih lambat dari 48 jam dari waktu penangkapan atau penahanan 8) Semua orang yang di tangkap, ditahan atau di penjarakan harus diberi kesempatan, waktu dan fasilitas yang cukup untuk di kunjungi oleh advokatnya untuk berkomunikasi dan berkonsultasi tanpa penyadapan atau penyensan dalam kerahasiaan sepenuhnya. Konsultasi tersebut dapat diawasi, tapi tidak boleh didengar oleh para pejabat penegak hukum. Kualifikasi dan Latihan. 9) Pemerintah, perhimpunan advokat provesional dan lembaga pendidikan harus memastikan bahwa para advokat mendapat pendidikan dan latihan yang layak dan memperolrh kesadaran mengenai cita-cita dan kewajiban etis advokat dan HAM serta kebebasan dasar yang di akui oleh kukum nasional dan internasional. 10) Pemerintah, perhimpunan advokat profesional dan lembaga pendidikan harus menjamin bahwa tidak ada diskriminasi terhadap seseorang berkenaan dengan pemasukan atau kelanjutan praktek dalam rangka profesi hukum atau dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, asal usul etnis, agama, pandangan politik atau lain-lainnya,asal usul kebangsaan atau sosial , kekayaan, kelahiran, setatus ekonomi, atau lainnya kecuali adanya suatu persyaratan, bahwa seorang advokat haruslah warga negara dari negara yang bersangkutan, harus tidak diangkat diskriminasi. 11) Di negara-negara dimana ada kelompok, masyarakat atau daerah yang kebutuhannya akan pelayanan hukum tidak terpenuhi, terutama dimana kelompok-kelompok tersebut mempunyai kebudayaan, tradisi, atau bahasa yang berbeda atau telah menjadi korban diskriminasi di masa lalu.Pemerintah, perhimpunan advokat profesional dan lembaga pendidikan harus mengambil tindakan khusus untuk memberi kesempatan kepada para calon dari kelompok-kelompok ini untuk memasuki profesi hukum dan harus memastikan bahwa mereka menerima latihan yang memadai bagi kebutuhan kelompok mereka.kewajiban dan tanggung jawab mempertahankan. Kewajiban dan tanggung jawab. 12) Para advokat setiap saat harus mempertahankan kehormatan dan martabat profesi mereka sebagai bagian yang amat penting dari pelaksanaan keadilan. 13) Kewajiban para advokat terhadap klien-klien mereka harus mencakup: a) Memberi nasehat kepada para klien mengenai hak dan kewajiban hukum mereka dan mengenai fungsi dan sistem hukum sejauh bahwa hal itu relevan dengan berfungsinya sistem hukum dan sejauh bahwa hal itu berkaitan dengan hak dan kewajiban hukum para klien. b) Membantu para klien dengan setiap cara yang tepat dan mengambil tindakan hukum untuk melindungi kepentingannya. c) Membantu para klien di depan pengadilan, majelis atau pejabat pemerintah dimana sesuai dari profesi hukum dan dengan mengingat prinsip-prinsip ini 14) para advokat dalam melindungi hak klien-klien mereka dan dalam memajukan kepentingan keadilan, akan berusaha untuk menjunjung tinggi HAM dan kenenasan dasar yang di akui oleh hukum nasional atau internasional dan setiap saat akan bertindak bebas dan tekun sesuai dengan hukum dan standar serta etika profesi yang diakui. 15) Para advokat harus selalu menghormati dengan loyal kepentingan para klien . Jaminan-jaminan untuk berfungsinya para advokat. 16) Pemerintah-pemerintah harus menjamin para advokat a) Dapat melaksanakan semua fungsi profesional mereka tanpa intimidasi hambatan, gangguan atau bcampur tangan yang tidak selayaknya. b) Dapat bepergian dan berkonsultasi dengan klien mereka secara bebas di negara mereka sendiri dan luar negri. c) Tidak akan mengalami, atau diancam dengan penuntutan atau sanksi administratif, ekonomi,lainnya untuk setiap tindakan yang diambil sesuai dengankewajiban standar dan etika profesional. 17) Apabila keselamatan para advokat terancam sebagai akibat dari pelaksanaan fungsiny, mereka harus mendapat penjagaan secukupnya oleh para penguasa. 18) Para advokat harus tidak diidentifikasi dengan klien atau perkara klien mereka sebagai akibat dari pelaksanaan fungsi mereka. 19) Tidak ada pengadilan atau pejabat pemerintah dimana hak untuk memberi nasehat hukum di akui dihadapan nya yang akan menolak untuk mengakui hak nseseorang advokat untuk hadir dihadapannya untuk kliennya kecuali kalau advokat itu telah didiskualifikasi sesuai dengan hukum dan kebiasaan nasional dan sesuai dengan prinsip-prinsip ini. 20) Para advokat harus menikmati kekebalan perdata dan pidana untuk pernyataan-pernyataan terkait yang dikemukakan dengan niat baik dalam pembelaan secara tertulis atau lisan atau dalam penampilan profesinya di dalam pengadilan, majelis, atau pejabat hukum atau pemerintah lainnya.

21) Merupakan tugas dari para pejabat yang berwenang untuk memastikan akses para advokat kepada informasi, arsip, dan dokumen yang layak yang memiliki atau dikuasai dalam waktu yang cukup untuk memungkinkan para advokat, memberi bantuan hukum yang efektif kepada kliennya .Akses tersebut harus diberikan sedini mungkin. 22) Pemerintah-pemerintah harus mengakui dan menghormati bahwa semua komunikasi dan konsultasi antara para advokat dan kliennya dalaam rangka hubungan profesi mereka bersifat rahasia. Kebebasan berekspresi dan berserikat. 23) Para advokat seperti warga negara lain berhak atas kebebasan berekspres, mempunyai kepercayaan, berserikat dan berkumpul. Secara mereka harus mempunyai hak untuk ikut serta dalam diskusi umum mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan hukum, pemerintah dan keadilan dan memajukan melindungi HAM dan memasuki atau membentuk organisasi lokal , nasional, atau internasional dan menghadiri rapat-rapatnya tanpa mengalami pembatasan suatu organisasi yang sah.Dalam melaksanakan hak-hak ini, para advokat akan selalu mengendalikan dirinya sesuai dengan hukum dan standar serta etika yang diakui mengenai profesi hukum. Perhimpunan profesional advokat. 24) Para advokat berhak untuk membentuk dan bergabung dengan himpunan profesional yang berdiri sendiri untuk mewakili kepentingan-kepentingannya, memejukan kelanjutan pendidikan dan latihan mereka dan melindungi integritas profesional mereka. Badan eksekutif dari perhimpunan profesi itu dipilih oleh para anggota. 25) Perhimpunan profesional bagi para advokat akan bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan bahwa setiap orang mempunyai akses yang efektif dan serta kepada pelayanan hukum dan bahwa para advokat dapat, tanpa campur tangan yang semestinya untuk memberi nasehat dan membantu klien mereka dengan sesuai hukum standar dan etika provesional yang diakui. Proses persidangan disiplin. 26) Kode perilaku profesional bagi para advokat akan ditetapkan oleh profesi hukum melalui badan yang layak atau dengan perundingan, sesuai dengan hukum dan kebiasaan nasional yang standar dan norma inter nasional yang diakui. 27) Tuduhan atau keluhan yang diajukan terhadap para advokat dalam kapasitas profesinya akan diproses dengan segera dan adil berdasarkan prosedur yang benar. Para adumvokat mempunyai hak atas pemeriksaan yang adil termasuk hak untuk dibantu oleh oleh seseorang advokat yang dipilihnya. 28) Proses persidangan disiplin terhadap advokat akan dibawa di depan komite disiplin tidak memihak yang dibentuk oleh profesi hukum didepan suatu kewenangan yang mandiri berdasarkan undang-undang atau di depan suatu pengadilan, dan tunduk pada suatu tinjauan yudisial mandiri. 29) Semua proses persidangan displiner akan ditentukan sesuai dengan kode perilaku profesional dan standar serta etika yang d diakui lainnnya.

Diposkan oleh hikmah dewi nastiti di

You might also like