You are on page 1of 10

KEANEKARAGAMAN JENIS JAMUR MAKROSKOPIS PADA TIGA TIPE HABITAT YANG BERBEDA DI CAGAR ALAM DAN TAMAN WISATA

PANIIS UJUNG KULON

PROPOSAL KULIAH KERJA LAPANGAN

Oleh :

Fitra Awaludin Bimo Handiko S.T Fandi Lastanto Mohammad Thohir Ratna Wati

(093112620150002) (093112620150006) (093112620150008) (093112620150013) (093112620150025)

FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA 2012

LEMBAR PENGESAHAN

Judul

KEANEKARAGAMAN

JENIS

JAMUR

MAKROSKOPIS PADA TIGA TIPE HABITAT YANG BERBEDA DI CAGAR ALAM DAN TAMAN WISATA PANIIS UJUNG KULON Nama Kelompok Anggota kelompok : : JAMUR Fitra Awaludin Bimo Handiko S.T Fandi Lastanto Mohammad Thohir Ratna Wati (093112620150002) (093112620150006) (093112620150008) (093112620150013) (093112620150025)

MENYETUJUI

Pembimbing

Koordinator Penelitian

Dra. Noverita, M. Si

Drs. Tatang Mitra Setia, M.Si

Ketua KKL

Drs. Ikhsan Matondang, M.Si

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Jamur merupakan organisme eukariotik yang tidak memiliki kloroplas dan tersusun dari banyak sel yang dikenal dengan istilah miselium. Miselium merupakan bentuk susunan jamur yang berupa jaringan dari benang-benang halus jamur yang disebut hifa dan akhirnya membentuk suatu badan buah. Dinding sel jamur tersusun oleh zat kitin dan selulosa. Dalam memenuhi kebutuhan nutriennya, jamur bersifat heterotrof dengan mengekskresikan enzim-enzim ekstraseluler ke lingkungan dan menyerap nutrient melalui dinding selnya. Dalam siklus hidupnya jamur melakukan reproduksi seksual dan aseksual. (Sudjadi dkk., 2004). Keberadaan jamur sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yang menjadi syarat tumbuhnya jamur, dan terkadang menjadi faktor pembatas jamur untuk tumbuh. Jamur dapat tumbuh pada kisaran suhu yang luas, seperti jamur saprofit dengan suhu optimum 22-30 0C, dan jamur patogenik dengan suhu 30-32 0C (Pelezar & Chan 1986). Sementara menurut Sharma (1989), suhu minimum pertumbuhan jamur adalah 2-50C, suhu optimum 22-270C, dan suhu maksimum 34400C. Kisaran kelembaban relatif jamur untuk tumbuh berkisar antara 22-28% untuk kelembaban substrat dan 80%-90% untuk kelembaban udara. Di alam kadar pH umumnya dijumpai pada kisaran 5-9, sementara jamur memerlukan kondisi pH netral untuk tumbuh, sebab pH berpengaruh pada sistim enzim jamur (Ronald dkk., 2000). Jamur dapat dilihat dan dikenal dengan mudah terutama di tempat-tempat yang lembab, misalnya pada serasah, dan tumbuhan (Gandjar dkk., 2006). Syarat tumbuh jamur lainnya yang paling penting adalah air. Air berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur karena air merupakan syarat dasar utama tumbuhnya jamur (Svrcek, 1975). Dalam lingkungan alaminya jamur dapat tumbuh subur pada tempat-tempat yang mengandung sumber karbohidrat baik yang terurai maupun yang berbentuk molekul besar seperti selulosa, lignin, dan sisa material lain (Chang

dan Quino, 1982 dalam Uker, 1991). Di hutan berbagai tipe substrat dapat ditempati oleh jenis-jenis jamur tertentu, sehingga dalam satu tipe hutan akan dihuni oleh beragam jenis jamur. Jamur dapat hidup dan menempati berbagai tipe substrat mulai dari tanah, air, kayu-kayu yang mengalami pelapukan, serasah-serasah, kotoran hewan dan sebagainya. Suatu spesies jamur biasanya memiliki kekhususan baik terhadap substrat tempat tumbuhnya, maupun terhadap kondisi lingkungan tertentu. Perbedaan subsrat biasanya akan menyebabkan berbeda pula jenis jamur yang tumbuh, begitu pula perbedaan kondisi lingkungan, seperti kelembaban udara, kelembaban tanah, suhu, keasaman (pH) tanah, intensitas cahaya akan dapat menimbulkan perbedaan jenis jamur yang dapat dijumpai. (Ronald, 2000). Di hutan jamur berperan penting dalam ekosistem karena jamur merupakan agen dekomposer bersama dengan organisme lain seperti bakteri, aktinomycetes, rayap dan sebagainya dalam melakukan degradasi terhadap penumpukkan berbagai material didalam hutan. Dengan adanya proses perombakan material ini telah membantu menjaga keseimbangan ekosistem dimana hasil perombakan material organik dapat dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan dan organisme tanah lainnya (Ronald, 2000). Sementara dalam kehidupan manusia jamur juga memiliki potensi sebagai bahan pangan. Beberapa jamur yang tumbuh di dalam hutan juga dikonsumsi karena memiliki nutrisi yang baik bagi manusia, seperti Pleurotus, Auricularia, dan lentinus (Yuniasmara, 1999). Cagar alam dan Taman Wisata alam Paniis Ujung Kulon merupakan kawasan dengan komposisi flora yang heterogen. Sedangkan hutan yang menyusun kawasan ini termasuk dalam hutan hujan tropis. Pada kawasan Cagar Alam ini 85% terdiri dari hutan dan selebihnya merupakan daerah pemukiman penduduk juga pantai. Ditinjau dari kondisi kawasan yang mendukung, memungkinkan akan ditemukan berbagai jenis jamur makroskopis, hal ini disebabkan hutan merupakan salah satu tipe habitat yang dapat ditumbuhi oleh jamur karena hutan dapat menyediakan kondisi-kondisi yang mungkin disukai oleh jamur. Penelitian tentang jamur di kawasan Cagar alam dan Taman Wisata alam Paniis Ujung Kulon dan kawasan sekitarnya sudah pernah dilakukan oleh Tim KKL pada tahun 2005 yang beranggotakan Crienandini P. S., Sriyani Puji L., dan Dwi hadiyansyah dengan

judul Inventarisasi Jamur Makroskopik di Hutan Kampung Paniis, Desa Taman Jaya Ujung Kulon, Banten . Hanya saja penelitian tersebut dibatasi 2 jalur, yakni jalur curug dan cipanas. Pada penelitian tersebut hasil yang didapat yaitu 32 jenis jamur dengan 8 suku seperti Polyporaceae, Ganodermataceae, Tricholomataceae, Schyzophylaceae, Auriculariaceae, Tremellaceae, Coriolaceae, dan coprinaceae. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menambah informasi mengenai inventarisasi keanekaragaman pada kawasan Cagar alam dan Taman Wisata alam Paniis Ujung Kulon dan kawasan sekitarnya, khususnya daerah Pesisirpantai, Perkebunan dan pada kawasan hutan. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis jamur makroskopis yang ada berdasarkan tipe habitat yang ada, yaitu pada perkebunan, pesisir pantai, dan hutan di Cagar alam dan Taman Wisata alam Paniis Ujung Kulon. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah; Terdapat perbedaan keanekaragaman jenis dan komposisi jenis jamur pada tiap-tiap tipe habitat yang berbeda di kawasan perkebunan, pesisir pantai, dan hutan Cagar alam dan Taman Wisata alam Paniis Ujung Kulon.

ATAU
Paniis merupakan daerah yang terletak pada daerah perbatasan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Sementara Taman Nasional Ujung Kulon sendiri memiliki tiga tipe ekosistem yakni ekosistem pesisir, ekosistem rawa, dan ekosistem daratan. Inventarisasi keanekaragaman spesies di kawasan tersebut belum tersorot secara detail, khususnya keanekaragaman jamur. Hutan merupakan salah satu tipe habitat yang dapat ditempati oleh jamur karena hutan dapat menyediakan kondisi-kondisi yang mungkin disukai oleh jamur, salah satunya adalah kawasan hutan di Paniis dan sekitarnya. Keberadaan jamur di hutan dan kawasan sekitar sangat erat hubungannya dengan kondisi lingkungan hutan tempat hidup mereka. Daerah Paniis yang mempunyai tiga tipe ekosistem diduga akan berpengaruh pada faktor eksternal dan kondisi habitat, sehingga secara

tidak langsung akan berpengaruh pada iklim mikro pada kawasan Taman Nasional dan sekitarnya . Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk me-review kembali inventarisasi keanekaragaman jamur makroskopis yang ada di hutan pada kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon dan sekitar pemukiman masyarakat pada kawasan tersebut berdasarkan hasil penelitian KKL oleh Crienandini P. S., Sriyani Puji L., dan Dwi hadiyansyah pada tahun 2005 dengan judul Inventarisasi Jamur Makroskopik di Hutan Kampung Paniis, Desa Taman Jaya Ujung Kulon, Banten . Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah; Terdapat peningkatan jumlah jamur makroskopik yang ada pada kawasan konservasi Taman Nasional Ujung Kulon dan sekitar pemukiman masyarakat.

BAB II

METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga hari dilakukan pada tanggal 16-23 Mei 2012 pada kawasan Cagar alam dan Taman Wisata alam Paniis Ujung Kulon dan kawasan sekitarnya. B. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabulasi data, alat tulis, papan jalan, kertas koran, label, botol sampel, pH meter, hygrometer, altimeter, thermometer, karton hitam dan putih, kantong plastic/mica, box Bunsen, beaker glass, jarum inokulasi, cawan petri, pinset dan kamera digital. Bahan yang digunakan adalah Alkohol 70 %, formalin 4 %, kapas, akuadestilata, medium PDA dan laktofenol. C. Cara Kerja 1. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel Penentuan lokasi pengambilan sample dipilih di tiga tempat, yaitu di perkebunan, pesisir pantai, dan hutan di Cagar alam dan Taman Wisata alam Paniis Ujung Kulon yang dianggap mewakili kawasan tersebut. 2. Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode searching yaitu dengan menelusuri dan mencari jamur disekitar jalur yang dilewati dengan lebar observasi jalur yang dibatasi sekitar 10m. Sampel jamur yang ditemukan di lokasi penelitian diamati dan dicatat beberapa karakter morfologi (lampiran 1), lampiran tersebut mencatat ciri-ciri morfologi seperti bentuk tudung, lamella, dan bagian lainnya, serta diambil gambarnya. Setelah itu masing-masing sampel diambil preparat sporanya guna menbantu identifikasi sampel lebih lanjut, kemudian sampel di awetkan di dalam botol yang diisi cairan pengawet guna untuk identifikasi di laboratorium. Sampel-sampel jamur yang ditemukan selanjutnya di identifikasi

dengan menggunakan buku identifikasi, dan data-data spesies jamur yang diperoleh beserta data lingkungan kemudian ditabulasikan dalam daftar guna pembahasan lebih lanjut. 3. Pengukuran faktor lingkungan Pengukuran faktor lingkungan meliputi suhu (thermometer), pH tanah (pH meter), dan kelembaban udara (hygrometer). Pengambilan data faktor lingkungan ini diambil dari pagi hari sampai selesai pengambilan sampel. Faktor lingkungan dicatat pada lembar tabulasi tabel 1 (lampiran 2) 4. Identifikasi sampel Sampel yang di dapat akan diidentifikasi di laboratorium dengan bantuan buku identifikasi jamur dengan judul Introductory mycology, 4th eds karangan Alexopaolus and Mims, dan Guide to Mushrooms karangan Pacioni. Sampel yang didapat akan diidentifikasi sampai tingkat jenis. D. Analisis Data 1. Keanekaragaman dan keseragaman Untuk mengetahui indeks keanekaragaman jenis jamur digunakan rumus Shannon-Winner (Magurran, 1987) : H = - Pi. Ln Pi Keterangan : H = indeks keanekaragaman jenis Pi = ni/N ni = jumlah individu masing-masing spesies N = jumlah total individu yang ditentukan pada setiap habitat

2. Komposisi

Untuk mengetahui tingkat kesamaan komposisi jenis antar tipe habitat dihitung menggunakan Indeks kesamaan Similaritas Sorensen (Brower dan Zar, 1990) dengan rumus : IS = 2c x 100 %

a+b Keterangan : IS = indeks similaritas c = jumlah jenis yang sama pada daerah a dan b a = jumlah jenis pada daerah A b = jumlah jenis pada daerah B 3. Frekuensi Frekuensi untuk mengetahui tingkat perjumpaan dari masing-masing jumlah jenis jamur pada tiga habitat dihitung menggunakan rumus : (Michael, 1994) Frekuensi = Jumlah Unit contoh spesies ditemukan x 100% Jumlah semua unit contoh Keterangan : Kelompok Frekuensi : Aksidental 0-25% Assesori 25-50% Konstan 50-75% Absolute > 75%

4. Pengelompokan potensi jamur

Potensi jamur yang ditemukan dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu potensi jamur untuk pangan, bahan obat dan ganda (pangan dan obat) pada tiap kawasan berdasarkan diskusi dengan masyarakat, literatur dan dengan memperhatikan kondisi disekitar jamur yang ditemukan, seperti ada atau tidaknya serangga.

DAFTAR PUSTAKA

Alexopoulus CJ, Mims CW, Blackwell M. Introductory Mycology. 4 th edition. John Willey and Sons. New York. 1996. Brower JE, Jerrold H. Zar dan Carl N. Von Ende. Field and Laboratory Methods for General Ecology. WM. C. Brown Publisher. Dubuque. 1990. Gandjar I, dkk. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 2006. Magurran AE. Ecology diversity and its Measurements. Princeton University Press. New Jersey. 1987. Pacioni, Giovani. Guide to Mushroom. Simon and Schuster Inc. New York. 1999 Ronald W. dkk., 2000. Inventarisasi Jamur Makroskopis (cendawan) dan Potensinya Bagi Masyarakat di Desa Napacilin Kb. Musi Rawas di Kawasan TNKS Sumatera Selatan dalam hasil penelitian taman nasional kerini Seblat tahun 1999-2000. Dephut. Saptiningsih, Endang, dkk. Refrensi Jenis-jenis Fungi Makroskopis dan Habitatnya di Kawasan Cagar Alam Pangandaran. 1990. Suriawiria HU. Pengantar Untuk Mengenal dan Menanam Jamur. Papas Sinar Pinanti. Jakarta. 1986.

You might also like