You are on page 1of 13

I.

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan Hadith adalah sumber hukum Islam primer ke- 2 setelah al-Quran. Lebih dari itu, salah satu fungsi Hadith adalah menetapkan hukum-hukum yang tidak diatur dalam al-Quran1. Oleh karena itu, posisi Hadith menjadi urgen bagi umat Islam. Dalam rentang sejarahnya Hadith pada penghujung Islam ternyata dilarang untuk menuliskannya. Tetapi, pada akhir kerasulannya Nabi SAW menyuruhnya. Pada periode selanjutnya, terdapat beberapa pihak yang menyadari akan betapa urgen kedudukan dan posisi hadith. Dibarengi dengan kondisi politik intern umat Islam sedang bergemuruh, di satu sisi pihak-pihak tersebut menggunakan Hadith untuk memecah belah dan menyesatkan umat Islam dari ajaran yang murni. Di sisi lain, guna menjustifikasi sektenya, mereka berani berani membuat Hadith Palsu. Akhirnya, kondisi demikian membawa dampak positif -selain dampak negatif seperti tersebut di atas. Yaitu dengan sadarnya akan betapa urgen kedudukan dan posisi Hadith bagi umat Islam sehingga mereka semangat untuk membukukan Hadith yang dimotori oleh Umar bin Abdul Aziz. Penyebaran Hadith oleh sisa para sahabat yang masih hidup di satu sisi, dan pengkodifikasian Hadits di sisi lain terjadi dalam satu masa. Namun, pada situasi yang lain ketegangan politik intern umat Islam juga berdampak pada masa depan hadit pada masa ini. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya pemalsuan hadith.

Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Cet. XX, (Bandung: PT al-Maarif, 2004), 61

1.2 Masalah/ Topik Bahasan 1. Di mana pusat pembinaan Hadith pada masa Tabiin ? 2. Bagaimana pergolakan politik dan pemalsuan Hadith pada masa Tabiin ? 3. Bagaimana usaha pembukuan Hadith pada masa Tabiin ?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah 1. Mengetahui pusat pembinaan Hadith pada masa Tabiin. 2. Memahami pergolakan politik dan pemalsuan Hadith pada masa Tabiin. 3. memahami usaha pembukuan Hadith pada masa Tabiin.

II. PEMBAHASAN 2.1 Pusat-Pusat Pembinaan Hadis Pada Masa Tabiin Meskipun Nabi SAW melarang menulis hadith pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadith tidak tercampur dengan Al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak

yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya. Masa Tabiin jika dilihat dari babakan ilmu hadith termasuk juga masa Pengkodifikasian Hadith (al-Jamu wa al-Tadwin), yaitu ditandai dengan adanya surat yang dikirim oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada Abu Bakar bin Hazm. Hal ini dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz karena maraknya pemalsuan hadits dan kekhawatiranna orisinalitas hadith Nabi SAW akan lenyap. Periode Tabiin dimulai sejak Pemerintahan umat Islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abi Sufyan2. Pengertian Tabiin adalah orang Islam yang bertemu dengan sahabat, berguru dan belajar kepada sahabat, tetapi tidak bertemu dengan Rasulullah dan tidak pula semasa dengan beliau. Setelah Nabi wafat (11 H/ 632 M), kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khatab (wafat 23 H/644 M), Usman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar -Fazlur Rahman menyebut sahabat senior3. Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayah (Muawiyah bin Abi Sufyan), wilayah kekuasaaan Islam, selain Madinah, Makkah, Basrah, Syam, dan Khurasan, sampai meliputi, Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan pada tahun 93 H meluas sampai ke Spanyol 4. Sejalan dengan pesatnya perluasaan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para sahabat ke daerah- daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadits (Intisyar al-riwayah ila al-amshar)5.
2

Dedy Supriyadi, Sejarah Hukum Islam; Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 81. 3 Mudasir. Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 93. 4 Lihat, Dedy Supriadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 107108. 5 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), 85.

Tercatat

beberapa

kota

sebagai

pusat

pembinaan

dalam

meriwayatkan hadits, sebagai tempat tujuan para tabiin dalam mencari hadith. Kota-kota tersebut ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan Khurasan6. Pusat pembinaan pertama adalah Madinah. Karena di sinilah Rasul SAW. menetap setelah hijrah. Disini pula Rasul SAW. membina

masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri atas Muhajirin dan Anshar, dari berbagai suku atau kabilah, disamping dilidunginya umat-umat non Muslim, seperti Yahudi. Dan para sahabat yang menetap disini diantaranya Khulafa Al-Rasyidin, Abu Hurairah, Siti Aisyah, abdullah ibn Umar dan Abu Said Al-Khudri, dengan menghasilkan para pembesar Tabiin, seperti Said Ibn Al-Musyayyab, Urwah Ibn Zubair, Ibn Shihab Al-Zuhri, Ubaidullah Ibn Utbah Ibn Masud dan Salim Ibn Abdillah Ibn Umar. Diantara para sahabat yang membina hadith di Makkah adalah sebagai berikut Muadz bin Jabal, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman bin Thalhah, dan Uqbah bin Al-Haris. Diantara para tabiin yang muncul dari sini adalah mujahid bin Jabar, Ata bin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan, dan Ikrimah maula Ibnu Abbas7. Diantara para sahabat yang membina hadith di Kufah ialah Ali bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqas, dan Abdullah bin Masud. Diantara para tabiin yang muncul disini ialah Ar-Rabi bin Qasim, Kamal bin Zaid AnNakhai, Said bin Zubair Al-Asadi, Amir bin Sarahil Asy-Syaibi, Ibrahim Ankhai, dan Abu Ishak As-Sabi 8. Diantara para sahabat yang membina hadith di Basrah ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Imran bin Husain, Maqal bin Yasar, Abdurrahman bin Samrah, dan Abu said Al-Anshari. Diantara para tabiin yang muncul disini adalah Hasan Al-Basri, Muhammad bin Sirrin, Ayub

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. ke-4, 2003), 7980. 7 Mudasir. Ilmu, Hal. 94. 8 Mudasir. Ilmu, Hal. 95.

As-sakhyatani, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Aun, Khatadah bin Duamah As-sudusi, dan Hisyam bin Hasan9. Diantara para sahabat yang membina hadith di Syam ialah Abu Ubaidah Al-Jarah, Bilal bin Rabah, Ubadah Bin shamit, Muadz bin Jabal, Saad bin Ubadah, Abu Darda, Surahbil bin Hasanah, Khalid bin Walid, dan Iyad bin Ghanan. Para tabiin yang muncul disini ialah Salim bin Abdillah al-Muharibi, Abu Idris Al-khaulani, Umar bin Hannai10. Diantara para sahabat yang membina hadith di Mesir ialah Amr bin Alas, Uqubah bin Amr, Kharijah bin Huzafah, dan Abdullah bin Al-Haris. Para tabiin yang muncul disini ialah Amr bin Al-Haris, Khair bin Nuaimi Al-Hadrami, Yazid bin Abi Habib, Abdullah bin Jafar dan Abdullah bin Sulaiman Ath-Thawil11 . Diantara para sahabat yang membina hadith di Magrib dan Andalus ialah Masud bin Al-Aswad Al-Balwi, Bilal bin haris bin Asim Al-muzaid. Para tabiin yang muncul d isini adalah Ziyad bin An-Am Al-Muafil, Abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur, Al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifaah bin Rafi dan Muslim bin Yasar12. Diantara para sahabat yang membina hadith di Yaman adalah Muadz bin jabal dan Abu Musa Al-Asyan. Para tabiin yang muncul di sini di antaranya adalah Hammam bin Munabah dan Wahab bin Munabah, Tawus dan Mamar bin Rasid13. Diantara para sahabat yang membina hadith di Khurasan adalah Abdullah bin Qasim Al-Aslami, dan Qasm bin Sabit Al-Anshari, Ali bin Sabit Al-Anshari, Yahya bin Sabih Al-Mugari. Di Yaman, ialah Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn Munabah, Thawus dan Mamar ibn Rasyid.

Mudasir. Ilmu, Hal. 95. Mudasir. Ilmu, Hal. 95. 11 Mudasir. Ilmu, 95. 12 Mudasir. Ilmu, 95. 13 Mudasir. Ilmu, 95.
10

Kemudian di Khurasan, para sahabat yang terjun, antara lain Muhammad ibn Ziyad ibn Tsabit Al-Ansari, dan Yahya ibn Sabih Al-Mugri14.

2.2 Pergelokan Politik dan Pemalsuan Hadith Pergelokan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang shfifin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali ibn Abi Thalib. Akan tetapi akibat cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok (Khawarij, Syiah, Muawiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke dalam ketiga kelompok tersebut). Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadith-hadith palsu ( Maudhu) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawanlawannya. Adapun pengaruh yang berakibat positif, adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadith, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut. Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu Syiah. Khawarij, dan Jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadith-hadith palsu. Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadith palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadith palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan Khawarij dan Jumhur. Tempat mula berkembangnya hadith palsu adalah daerah Irak tempat kaum Syiah berpusat pada waktu itu. Pada abad kedua, pemalsuan hadith bertambah luas dengan munculnya propaganda- propaganda politik untuk menumbangkan rezim
14

Lihat, M. Hasbi ,Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Bulan Bintang, Cet. Ke-11 th. 1993), 75.

Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadith untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu. Pemalsuan hadith mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Umayyah. Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadith yang dalam masa itu banyak terdapat perawiperawi hadith yang lemah diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima. Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadith - hadith palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hadith berikut hadith - hadith yang dibuatnya supaya umat Islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadith - hadith palsu tersebut, yaitu antara lain : 1. Kitab oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdizi(w. tahun 507 H) 2. Kitab oleh Al-Hasan bin Ibrahim Al-Hamdani 3. Kitab oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H) Di samping itu para ulama hadith membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat

menunjukkan bahwa suatu hadith itu palsu. Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadith itu palsu antara lain: 1. Susunan hadith itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadith: "Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. " 2. Isi maksud hadith tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis: "Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. "

3. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadith mutawatir, seperti hadith: "Anak zina itu tidak akan masuk surga. " 4. Hadith tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. : "Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. " (QS. Fatir:
18).

3.3 Pembukuan Hadith Pada Masa Tabiin Dalam Islam, hadith adalah sumber hukum kedua setelah Al Quran, sebagai pendamping Al Quran dalam peran menjadi pedoman hidup manusia. Sehingga, apabila di dalam Al-Quran tidak ditemukan maka harus merujuk kepada hadith Nabi. Hadits berfungsi juga sebagai penjelas Al Quran, berkenaan dengan ayat-ayat Al Quran yang bersifat mujmal atau global. Sehingga hadith lah yang menjelaskan makna umum tersebut secara terperinci dan mudah difahami oleh umat Islam. Hal-hal di atas menjadi alasan mengapa hadith merupakan hal urgen untuk dipelajari oleh kaum muslim. Di samping kebutuhan kita, mempelajari hadith sangat diperlukan dalam rangka menjaga orisinilitas hadith karena fenomena pemalsuan salah satu wahyu dari Allah tersebut. Dengan menggunakan berbagai macam ilmu hadith, maka timbullah berbagai macam nama hadith, yang disepakati oleh para ulama. Munculnya upaya seleksi hadith untuk menyempurnakan pengembangan hadith. Di kala kendali khalifah di pegang oleh Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99 H, dari dinasti Umayyah. Sebagai Amirul Mukminin ia tidak jauh dari ulama, ia menulis sebagian hadith serta memotivasi para ulama agar mereka berani melakukan hal yang sama. Hal yang mendorongnya adalah aktivitas para tabiin ketika itu dan sikap mereka membolehkan ketika tidak ada lagi sebab-sebab untuk melarangnya. Ia melakukan upaya-upaya pemeliharaan hadith karena khawatir hadith akan hilang. Sebab lain yang berpengaruh terhadap jiwa para ulama, yaitu munculnya praktek pemalsuan

hadith yang dilatar belakangi oleh persaingan politik dan perselisihan antar aliran. Pemerintahan di bawah kepemimpinan umar bin Abdul Aziz mengambil langkah tepat dengan memprakarsai penghimpunan hadith secara resmi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkirim surat keseluruh wilayah Islam. Di dalam surat yang ditujukan kepada penduduk Madinah, Umar bin Abdul Aziz berkata, lihatlah hadis Rasulullah SAW., kemudian tulislah karena saya mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan kematian orang yang memilikinya. Dan, dalam surat yang di tujukan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (w. 117 H), seorang pejabat Madinah, ia memerintahkan kirimkan kepadaku hadith Rasulullah Saw. Yang kamu nilai benar dan hadith umrah karena saya mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan kematian orang-orang yang memilikinya. disebutkan dalam satu riwayat bahwa ia memerintahkan Abu Bakar bin Muhammad menuliskan ilmu yang dimiliki oleh Umrah putri Abdurrahman (w. 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad (w. 107 H), dan Abu Bakar menuliskannya untuknya. Dan, janganlah engkau menerima kecuali hadith Nabi Saw. Hendaklah mereka menyebarkan ilmu dan duduk sehinggga ilmu itu diketahui oleh orang yang belum mengetahuinya karena ilmu itu tidak akan binasa. Umar bin Abdul Aziz juga memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri (w. 124 H) dan lain-lainnya menghimpun sunnah-sunnah Rasulullah. Ia tidak merasa cukup dengan memerintahkan orang-orang secara khusus ditugaskan menghimpun hadith. Ia mengirim surat ke berbagai wilayah Islam, mendorong para pejabat di wilayah-wilayah itu agar mereka menumbuhkan sikap berani para ulama dalam mengkaji dan menghidupkan hadith. Ia meminta Abu Bakar bin Hazm (salah seorang ilmuan pada masanya) untuk menghimpun hadith. Sebagaimana di sebutkan oleh sebagian ulama, Umar bin Abdul Aziz, Khulafa ar-Rasyidin yang kelima,

meninggal dunia sebelum melihat tulisan-tulisan yang berhasil di himpun oleh Abu Bakar15. Demikianlah, akhir abad pertama dan awal abad kedua Hijriah merupakan masa penutup sikap pro dan kontra tentang penulisan hadith. Maka di bukukanlah Sunnah Rasulullah SAW. Dalam lembaran, kitab, dan buku. Pada masa seleksi hadith, para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadith s yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, para ulama pada masa ini berhasil memisahkan hadith hadith yang dhaif (lemah) dari yang shahih dan hadith - hadith yang mauquf (periwayatannya berhenti pada sahabat) dan yang maqthu (terputus) dari yang marfu (sanadnya sampai ke Nabi Muhammad SAW), meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih ditemukan terselipnya hadith yang dhaif pada kitab shahih karya mereka16. Periwayatan hadith semakin pesat pada masa tabiin dengan berkembangnya gerakan rihlah ilmiah, yaitu pengembaraan ilmiah yang dilakukan para muhadithin dari satu kota ke kota lain. Tidak lain kota-kota tersebut merupakan pusat pembinaan dalam periwayatan hadith, yang tersebar di seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah. Mereka melakukan itu untuk mengetahui hadith hadith Nabi SAW dari sahabat yang masih hidup dan tersebar di berbagai kota. Pencarian hadith ini dilakukan oleh mereka hanya untuk membuktikan keaslian suatu hadith. Usaha mereka ini menimbulkan suatu kajian hadith yang kemudian berkembang menjadi ulumul hadith 17. Karena luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan, memicu munculnya hadith - hadith palsu meskipun pembukuan tatacara periwayatan telah ditetapkan. Pemalsuan hadith mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
15

Muhammad Ajaj Al-Khatib, As-Sunnah Qablat-Tadwin, (Beirut: Darul Fikr Cet. V Th. 1401-1981 M), 373. 16 Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 92. 17 Agus Solahudin, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 36.

10

Ada beberapa orang yang meriwayatkan hadith cukup banyak, antara lain Abu Hurairah (5374 buah), Abdullah bin Abbas (1660 buah), Jabir Ibn abdillah (1540 buah), Abu Said Al Khudri (1170 buah), Abdullah bin Umar (2630 buah), Anas ibn Malik, dan Aisyah (2276 buah). Nama-nama tokoh hadith dari kalangan tabiin di wilayah Madinah, seperti Said Ibn Al Musyayyab, Urwah ibn Zubair, Ibn Syihab Al Zuhri, Ubaidullah ibn Utbah ibn Masud dan Salim bin Abdillah ibn Umar dan masih banyak lagi tokoh-tokoh hadith dari kalangan tabiin yang berasal dari berbagai wilayah di Daulah Islamiyah18. Ketertarikan cendekiawan muslim dalam mempelajari sumbersumber Islam selalu meningkat dari zaman ke zaman. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya tokoh-tokoh hadith pada masa Tabiin yang mencakup jumlah yang banyak, melebihi periwaya hadith pada masa sahabat. Proses transmisi hadith pun dari masa ke masa mengalami perjalanan waktu yang lama, ruang yang terjal dan kondisi yang rumit. Sebuah perjuangan kaum muslim untuk menggali kebenaran yang bersandar pada ajaran Allah, membutuhkan kesabaran dan keuletan para tokoh disertai banyak masalah-masalah yang menghalangi jalan periwayatan hadith, seperti ketika muncul kejadian pemalsuan hadith untuk kepentingan golongan.

18

Munzier Suparta, Ilmu Hadits, 85-88.

11

III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan Sesudah masa Khulafa al-Rasyidin, para Tabiin melakukan usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadith. Bahkan tatacara periwayatan hadith pun sudah dibakukan. Kegiatan periwayatan hadith pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa al-Rasyidin. Kalangan Tabiin telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadith. Beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam meriwayatkan hadith, sebagai tempat tujuan para tabiin dalam mencari hadith. Kota-kota tersebut ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan Khurasan. Pergolakan politik intern umat Islam yang diawali dengan terjadinya Fitnatu al-Kubra sejak terbunuhnya Utsman bin Affan RA dan berpuncak antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan dalam memperebutkan kepemimpinan Umat Islam mengakibatkan terpecahnya umat Islam menjadi beberapa sekte. Sehingga, masing-masing sekte ini mengklaim paling benar dan menyalahkan sekte yang lain. Ironisnya, demi menjustifikasi kebenaran sektenya mereka membuat hadith-hadith palsu. Di pihak lain, Hadith palsu juga dibuat oleh para zindiq yang mengintimidasi Islam melalui syair-syair Arab. Melihat realitas ini, tampil Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan gagasan brillian mengkodifikasikan semua Hadith yang berasal dari Nabi SAW. Ibnu Syihab al-Zuhri dan Abu Bakar bin Hazm adalah tokoh utama proyek pengkodifikasian Hadith ini. Hal ini dilakukan karena muncul

kekhawatiran orisinalitas Hadith menjadi lenyap mengingat gerakan pemalsuan Hadith gempar dilakukan.

12

DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi, Dedy. 2007. Sejarah Hukum Islam; Dari Kawasan Jazirah Arab Sampai Indonesia, Bandung: Pustaka Setia 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, Mudasir. Ilmu Hadis. 1999. Bandung: Pustaka Setia Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadits. Jakarta : Rajawali Pers 2003. Ilmu Hadis. Cet. ke-4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Hasbi, Ash Shiddieqy M. 1993. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Cet. Ke-11 th. Jakarta: PT Bulan Bintang Al-Khatib, Muhammad Ajaj. Th. 1401-1981 M. As-Sunnah Qablat-Tadwin, Cet. V. Beirut: Darul Fikr Solahudin, 2008. Agus. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Cet. XX. Bandung: PT al-Maarif

13

You might also like