You are on page 1of 9

Tema Judul Essai

: Guru sebagai penebar ajaran Islam yang cinta damai : Sudahi Kata END antara Guru dan Murid

Menjadi Guru yang jujur memang membuat sakit hati, Walaupun banyak mencetak generasi menjadi para menteri *Mutiara Jiwa* Di atas adalah sepenggal kalimat mutiara yang pernah di tayangan di salah satu stasiun televisi swasta. Kalimat mutiara tersebut memang sangat sederhana, tetapi sarat akan nasihat dan pesan moral. Saya tidak ingin terlalu membanggakan kalimat mutiara tersebut, hanya karena saat ini profesi saya adalah seorang guru. Tepatnya guru Agama Islam, yang notabenenya paham akan mata pelajaran yang saya pegang serta tak jarang selalu menjadi sorotan baik oleh para guru sesama profesi apalagi oleh anak didik saya. Hakikatnya, menjadi guru bukanlah hal yang paling saya incar selama ini. Meskipun pada kenyataannya, menjadi guru adalah sebuah komitmen yang sudah saya setujui dalam rangka mendakwahkan ilmu yang saya punya dengan sebaikbaiknya. Terlepas dari pandangan masyarakat tentang profesi guru, bukanlah menjadi iming-iming yang meracuni saya. Seperti halnya, bahwa pendapat kuno mengatakan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Hal itu sudah menjadi lebel yang senantiasa dielu-elukan untuk jabatan sebagai seorang guru. Namun, mengingat zaman yang tak selamanya kuno, lebel tersebut sudah digantikan bahwa guru bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa. Sebab, profesi guru untuk zaman sekarang adalah salah satu profesi yang sangat diincar. Mengingat

kesejahteraan guru yang terus ditingkatkan. Tak jarang, para mafia tikus got Negara pun dilakoni oleh seorang guru. Jika membicarakan masalah kesejahteraan guru, tak dapat saya sangkal jika guru saat ini telah mendapatkan hal yang dapat dikatakan sudah sangat layak. Ibarat kata pepatah, bagai mendapat durian runtuh. Ya, seorang guru kini telah memiliki tunjangan yang mampu mensejahterakan diri dan keluarganya di luar gaji pokok yang cukup memadai. Alhamdulillah. Di samping itu, tak ada salahnya juga jika banyak orang yang mungkin mencemooh guru sebagai oknum negara santai. Bagi masyarakat awam khususnya, terlalu merendahkan seorang guru dan terlebih terlalu mudah mengomentari kinerja guru. Tak heran, jika ada salah seorang peserta didik yang gagal dalam masalah studinya, maka yang akan menjadi kambing hitam sejatinya adalah guru yang dianggap lalai tidak becus mengajar dan lebih sakitnya, dianggap hanya memakan gaji buta sebagai seorang guru. Benarkah demikian tindak tanduk seorang guru menurut pandangan minoritas masyarakat ? Entahlah. Saya pun masih ragu untuk menegaskan jawaban. Alasannya, bukan karena saya ingin membela profesi saya bukan pula takut kalau hal tersebut adalah hal yang ada pada diri saya. Naudzubillah. Setidaknya, semua orang memiliki kewenangan untuk berpendapat. Bahkan, lewat seorang peserta didik, saya sering melakukan sharing untuk mengetahui bagaimana pendapat mereka tentang cara mendidik dan mengajar seorang guru? Mengapa tak jarang juga peserta didik begitu membenci sang guru atau pun sebaliknya? Tak heran pula, acap kali terjadi senggolan-senggolan tak sedap antara guru dan murid.

Belum lagi sikap para orang tua yang mudah mengintimidasi guru. Menyalahkan guru. Bahkan mampu menuntut seorang guru atas sikap guru yang dianggapnya tidak sesuai atau mungkin hanya bersifat sesuatu yang sepele. Contohnya, pada saat saya masih menjadi tenaga honor di sebuah sekolah menengah pertama di Kota Batam. Pernah terjadi kasus yang cukup memilukan dan sanggup membuat pihak sekolah menjadi kelimpungan. Lewat cerita yang saya telusuri saat itu, ada seorang wali murid yang melaporkan salah seorang teman saya seprofesi ke salah satu stasiun radio (Batam FM) karena tidak terima atas tindakan sang guru yang membuat anaknya telah menjadi korban kekerasan. Saat itu juga, nama sekolah kami langsung tersebar luas dan menjadi buah bibir masyarakat. Cukup membuat malu terlebih guru yang namanya disebut oleh sang wali murid sebagai pelakunya. Hal yang terjadi sebenarnya sepele, saat itu sang guru sedang memeriksa tugas rumah yang telah diberikan kepada seluruh murid, termasuk anak dari wali murid yang mengadukan sang guru tersebut. Tetapi, ternyata si anak tersebut tidak membuat tugas rumah dan tak dapat memberi alasan mengapa ia tidak mengerjakan tugas rumah tersebut dengan tutur kata sopan yang seharusnya ia tunjukkan sebagai seorang murid. Alhasil, sang guru yang kebetulan sedang sakit gigi pun terpancing emosinya akibat sikap murid tersebut yang dianggapnya tidak mengerti sopan santu. Dengan tangan memegang penggaris besi, tangan sang murid dipukuli hingga menyisakan luka kecil yang tidak begitu parah, mengingat ia adalah murid laki-laki. Seolah tidak menerima perlakuan dari sang guru, dengan cepat pula si murid mengadukan hal tersebut kepada orang tuanya seolah-olah bahwa ia telah dianiya oleh sang guru. Maka gegerlah sekolah oleh tindakan orang tuanya.

Menurut Anda, benarkah sang guru yang bersalah ? Atau memang si muridlah yang benar ? Jika menurut saya, tidak ada yang benar atau pun yang disalahkan. Semua itu terjadi akibat lengsernya beberapa item tentang hak dan kewajiban seorang pendidik dan peserta didik. Bagi peserta didik, mengerjakan tugas rumah adalah kewajiban. Pun berkata sopan santun kepada guru yang sudah menjadi orang tua kedua selama ia menuntut ilmu di sekolah. Jika hal itu di abaikan, maka sang guru punya hak untuk memberi hukuman kepada peserta didik sebagai pengingat bahwa tindakan yang telah ia lakukan adalah salah. Sedang, bagi pendidik, mengedepankan kekerasan dan emosi, meski kondisi yang memaksanya untuk berlaku demikian juga tidak bisa untuk dibenarkan. Sebab, guru bukanlah pelatih kemilitiren yang mengedepankan kekerasan dalam membentuk mental disiplin. Apalagi, kewajiban guru adalah memberi didikan dan contoh yang baik, bukan kekerasan dan contoh yang tak patut dilakukan oleh seorang pendidik termasuk dalam memberikan hukuman yang ia pantas diterima oleh peserta didik. Terlepas dari semuanya, pendidik dan peserta didik adalah manusia biasa. Tempat bernaungnya salah yang sudah tentu memiliki ego masing-masing. Terlebih lagi, jika peserta didik yang sedang dihadapi adalah anak-anak di usia labil, dimana mereka terlalu mudah untuk meledak-ledak dan terlalu ekstrim ingin menunjukkan inilah saya. Selaku guru, kita memang dituntut untuk mampu menghadapi kemungkinan-kemungkinan seperti itu. Sehingga secara tidak langsung, murid cenderung tidak mau disalahkan meskipun dengan jelas ia memang bersalah. Tidak ingin di buat malu apalagi di depan teman-teman seusianya. Makanya, jika saat di tegur pun mereka masih saja mencoba berkilah, atau mungkin balas membentak, memasang raut wajah sinis

atau langsung ke luar kelas tanpa permisi ke pada guru yang sedang berada di kelas. Bisa jadi, itulah cara mereka untuk membenarkan diri mereka. Lain halnya, jika guru terus-terusan mengandalkan kekerasan dalam mendidik dan mudah melampiaskan emosinya, yang ada hanyalah perselisihan yang terus terbangun antara guru dan murid. Maka jangan salahkan, jika pada akhirnya guru menjadi cuek bebek terhadap beberapa anak yang menurutnya susah di atur dan pembangkang. Bukan karena guru tidak ingin terus mendidik si murid, tetapi guru takut jika salah bertindak, nantinya ia justru menjadi bulanbulanan wali murid yang begitu mudah menyalahkan guru disamping adanya kesalahan dari anaknya sendiri yang menyebabkan konflik antara guru dan murid tersebut terjadi. Itu sepenggal cerita yang saya dapatkan dari seorang murid yang pernah saya didik mengenai konflik antara guru dan murid yang bukan menjadi rahasia pribadi lagi Mungkin lain lagi ceritanya jika ternyata yang menjadi korban kekerasan adalah sang guru yang dianiaya oleh muridnya sendiri atau mungkin dicelakai oleh muridnya sendiri. Tentu akan terdengar nyanyian-nyanyian sumbang yang lain yang menyatakan bahwa guru dan murid sudah tak mengenal kata berdamai lagi. Hakikatnya, peristiwa tersebut telah menjadi bumbu sampingan dalam ramuan dunia pendidikan yang mempertemukan antara guru dan murid. Hingga ada salah seorang anak didik saya yang bertanya dengan pertanyaa sederhana tapi cukup membuat hati tergelitik dan nyelekit. Pak, apa Islam tidak pernah mengajarkan kepada setiap orang tentang kata damai? Kok antara murid ama guru bisa saling nggak akur Saya langsung tersenyum mendengar pertanyaan sederhana itu. Sepertinya ada protes kecil yang ia tohokkan kepada saya sebagai guru. Mengingat yang

memiliki pemikiran dewasa adalah saya sebagai gurunya, sedang jika saya tak mampu menciptakan damai antara pihak guru dan murid, maka ingin ia nyatakan jangan salahkan murid yang menyontoh apa yang telah dilakukan guru. Bukannya, ada guyonan Guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari? Secara logika, saya yakin murid saya tersebut sudah tahu akan jawaban dari yang ia tanyakan tersebut. Tetapi, yang menjadi pembeda adalah ia ingin sedikit menyentil saya sebagai gurunya dan mempertegas bahwa saya mungkin sebagai guru belum punya peran nyata di matanya. Hal itu sah-sah saja. Bukankah kita butuh anak didik yang mau berinteraksi dengan pendidiknya dalam membahas hal-hal yang ia anggap perlu untu diperjelas? Ya, itu memang wajar. Secara sabar tanpa melotot sedikit pun saya jelaskan padanya. Tidak ada istilah Non damai dalam kamus Islam. Hal itu sudah menjadi keputusan mutlak yang termaktub rapi di dalam kitab-Nya. Hanya saja, para pelakon dan penikmat kitab-Nya tersebut, tahu atau pun bersikap tidak mau tahu sebenarnya tidak bisa memungkiri bahwa damai adalah kebutuhan yang senantiasa di cari. Sebagai pendidik pun, saya tentu jelas mendapat contoh tauladan langsung dari sang Nabi Muhammad bahwa tak ada kata kekerasan dalam Islam. Apapun alasannya, damai bukan cuma sekedar kata tetapi hak dan hal yang selalu diperjuangkan. Lalu bagaimana bisa kita merasa bahwa kata damai harus dikondisikan? Misalnya, adanya senggolan antara guru dan murid, tak jarang melahirkan kata Tak Damai antara guru dan murid. Seolah-olah hal itu sudah menjadi trend terkini yang di anut oleh ego masing-masing. Sang guru tak ingin di lecehkan oleh si murid, akhirnya mencari alternatif dengan bersikap tak peduli terhadap perkembangan si murid sebagai bentuk anti-damai terhadap si murid. Pun

sebaliknya, si murid tak kalah ekstrim, menjadikan guru sebagai bulan-bulanan kekesalannya atas perilaku yang ia anggap tak pantas ia dapatkan, kendati hal itu wajar akibat kesalahan yang ia lakukan. Alhasil, yang menjadi mimpi nyata untuk kita semua hanyalah kata END antara guru dan murid. Bahkan, setiap penyelesaian pun terkesan adanya sikatsikut yang merancukan perdamaian antara guru dan murid. Tak heran, jika akhirnya, suatu saat kaki murid mampu bertumpu di atas kepala guru akibat salahnya pendidikan dan penyelesaian yang seharusnya mampu di atasi sedari dini. Mengingat guru adalah contoh bagi si murid, maka ada sesuatu yang perlu di sempurnakan sesegera mungkin. Memang, guru tak perlu untuk di junjung setinggi derajat raja hanya karena ilmunya yang bermanfaat sebagai bekal, tapi tak berarti pula untuk di anggap remeh karena lebelnya yang hanya sebatas pahlawan tanpa tanda jasa. Mesti adanya keseimbangan dan komunikasi ulang yang harus dilakukan antara guru dan murid. Tak mesti harus diselesaikan oleh seorang guru konseling, namun oleh semua guru. Tak ada alasan yang bisa dibenarkan jika adanya kata END antara guru dan murid. Mungkinkah, pertalian tak sedarah memang harus benar-benar di putus dengan kata tidak damai ? TIDAK !!! Islam tak pernah menyeruakkan prasangka demikian. Meski mereka, bukanlah anak-anak yang terlahir dari rahim suci yang di jaga selama Sembilan bulan oleh kita sendiri, bukan berarti mereka tak punya hak untuk mendapat perlakuan damai layaknya seorang anak kandung kita sendiri. Bukan berarti kita dengan sesuka hati menyulut kata perang akibat kesalahan yang mereka lakukan. Tapi, sebagai anak didik pun tentu harus tahu akan dirinya sendiri. Guru memang bukan orang tua kandung yang memberikan penghidupan layak

sebagaimana mestinya. Guru hanya manusia awam yang mencoba mengemban tugas Negara dan agama demi kelangsungan pendidikan. Saling instropeksi diri memang perlu. Namun, mengingat semakin dewasa seseorang maka makin besar pula tingkat tanggung jawabnya, maka guru memang harus memutar otak untuk menyuguhkan kalimat damai sesuai perintah Islam antara ia dan muridnya. Bukan sebagai tameng wajah dan sumber pujian, tapi mutlak kepeduliannya terhadap perkembangan si anak dan kemajuab dunia pendidikan. Rasa kesal, letih, gondok, dan lain sebagainya memang tak jarang memicu kemarahan guru terhadap murid, Tetapi, bukannya profesi sebagai guru sudah menjadi pilihan kita sebagai jalan mengamalkan ilmu dan mencari pintu untuk amal jariyah kelak? Sudahi kata END antara guru dan murid. Simpan saja penggaris atau penghapus papan yang bisa membuat geger kelas akibat selipan emosi yang muncul dari sisi kemanusiaan kita. Atau coba kita kendalikan kembali kata-kata kasar yang terkesan memojokkan si murid. Pun, ceramah yang terlalu berlebihan tanpa memikirkan hakikat pikiran anak didik kita yang belum sepenuhnya mampu mencerna nasihat kita. Tanggung jawab menciptakan damai antara diri kita sendiri sebagai guru dan murid, memang tidak langsung terlihat hasilnya. Butuh proses kontinyu yang mesti kita istiqomahkan agar murid yang kita didik mampu memahami unsur damai yang kita sadur dari Islam. Bahwa permasalahan tak mesti menghindari kata damai. Setidaknya, harus kita pahami, bahwa profesi kita telah menjadi satu perwakilan untuk menjadi subjek yang harusnya mampu menebarkan kalimatkalimat damai khususnya kepada murid anak didik yang kita harap mampu melanjutkan estapet positif damai yang telah kita tularkan. Bukan justru

sebaliknya. Siap atau tidak ini sudah menjadi kewajiban kita sebagai contoh. Yakin dan tawakal tak pelak sudah menjadi senjata ampuh untuk mengatasi gubrakan-gubrakan yang tak pernah kita bayangkan. Halnya, tersulutnya kata tak damai antara kubu guru dan murid. Ayat alquran mampu mejadi bayan yang bisa kita suarakan kepada muridmurid kita. Maks 3000kata Min 1500kata

You might also like