You are on page 1of 29

makalah apresiasi sastra anak

PEMBUKA
<!--[if !supportLists]-->A. <!--[endif]-->Latar Belakang

Istilah apresiasi berasal dari bahasa Inggris "apresiation" yang berarti penghargaan, penilaian, pengertian. Bentuk itu berasal dari kata kerja "ti appreciate" yang berarti menghargai, menilai, mengerti dalam bahasa Indonesia menjadi mengapresiasi. Dengan demikian, yang dimaksud dengan apresiasi sastra adalah penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra, baik yang berbentuk puisi maupun prosa atau suatu kegiatan menggauli sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Di sekolah dasar, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasikan karya sastra. Menurut Huck (1987 : 630-623) bahwa pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada siswa yang akan berkontribusi pada 4 tujuan, yakni pencarian kesenangan pada buku, menginterprestasikan bacaan sastra, mengembangkan kesadaran bersastra, dan mengembangkan apresiasi. Pembelajaran sastra di SD adalah pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan. Jenis sastra anak meliputi prosa, puisi, dan drama. Jenis prosa dan puisi dalam sastra anak sangat menonjol. Berdasarkan kehadiran tokoh utamanya, sastra anak dapat dibedakan atas tiga hal, yaitu sastra anak yang mengetengahkan tokoh utama benda mati, sastra anak yang mengetengahkan tokoh utamanya makhluk hidup selain manusia,dan sastra anak yang menghadirkan tokoh utama yang berasal dari manusia itu sendiri. Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosinya.
<!--[if !supportLists]-->B. <!--[endif]-->Rumusan Masalah <!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Apakah definisi apresiasi sastra? <!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Apakah tujuan dan manfaat apresiasi sastra? <!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Apakah yang dimaksud dengan apresiasi sastra anak-anak secara

reseptif?
<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Apakah yang dimaksud dengan apresiasi sastra anak-anak secara

produktif?

PEMBAHASAN
<!--[if !supportLists]-->A. <!--[endif]-->Definisi Apresiasi Sastra

Istilah apresiasi berasal dari bahasa Inggris "apresiation" yang berarti penghargaan,penilaian,pengertian. Bentuk itu berasal dari kata kerja " ti appreciate" yang berarti menghargai, menilai,mengerti dalam bahasa indonesia menjadi mengapresiasi. Dengan demikian, yang dimaksud dengan apresiasi sastra adalah penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra, baik yang berbentuk puisi maupun prosa, atau suatu kegiatan menggauli sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Untuk pengertian sastra anak, yaitu : <!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Sastra anak-anak adalah sastra yang ditulis oleh pengarang yang usianya remaja atau dewasa, isi dan bahasanya mencerminkan corak kehidupan dan kepribadian anak.

<!--[if !supportLists]-->2.

<!--[endif]-->Sastra anak-anak adalah sastra yang ditulis oleh pengarang yang usianya

masih tergolong anak-anak, yang isi dan bahasanya mencerminkan corak kehidupan dan kepribadian anak. Dengan demikian, sastra anak-anak dapat dikatakan bahwa suatu karya sastra yang bahasa dan isinya sesuai perkembangan usia dan kehidupan anak, baik ditulis oleh pengarang yang sudah dewasa, remaja atau oleh anak-anak itu sendiri. Karya sastra yang dimaksud bukan hanya yang berbentuk puisi dan prosa, melainkan juga bentuk drama. Pengertian apresiasi sastra anak-anak merupakan serangkaian kegiatan bermain dengan sastra anakanak sehingga muncul pengertian, ketepatan dan ketelitian pemahaman, kepekaan perasaan dan penghargaan yang baik dalam diri anak terhadap sastra anak-anak.
<!--[if !supportLists]-->B. <!--[endif]-->Tujuan dan Manfaat Apresiasi Sastra

Manfaat apresiasi sastra, diantaranya : <!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Melatih keempat keterampilan berbahasa, yakni mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. <!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Menambah pengetahuan tentang pengalaman hidup manusia seperti adat istiadat, agama, kebudayaan, dsb. <!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Membantu mengembangkan pribadi <!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Membantu pembentukan watak <!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Memberi kenyamanan <!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Meluaskan dimensi kehidupan dengan pengalaman baru (Wardani 1981) Selain itu, manfaat lain dari apresiasi sastra, diantaranya : <!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Nilai personal Memberi kesenangan, mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman yang dapat terhayati, mengembangkan pandangan ke arah persoalan kemanusiaan, menyajikan pengalaman yang bersifat emosional. <!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Nilai pendidikan Membantu perkembangan bahasa, meningkatkan kelancaran-kemahiran membaca, meningkatkan keterampilan menulis, mengembangkan kepekaan terhadap sastra (Huck 1987).
<!--[if !supportLists]-->C. <!--[endif]-->Apresiasi Sastra Anak-anak Secara Reseptif

Apresiasi sastra anak-anak secara reseptif adalah penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra anak-anak, baik yang berbentuk puisi maupun prosa yang dapat dilakukan dengan cara membaca, mendengarkan dan menyaksikan pementasan drama. Ada beberapa pendekatan yang dapat diterapkan dalam mengapresiasi sastra anak-anak secara reseptif, diantaranya sebagai berikut: <!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Pendekatan Emotif Pendekatan emotif merupakan pendekatan yang mengarahkan pembaca untuk mampu menemukan dan menikmati nilai keindahan (estetis) dalam suatu karya sastra tertentu, baik dari segi bentuk maupun dari segi isi. Menurut Aminuddin (2004:42) mengemukakan bahwa pendekatan emotif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Ajukan emosi itu berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan dengan isi atau gagasan yang lucu atau menarik. <!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Pendekatan Didaktis Pendekatan didaktis mengantar pembaca untuk memperoleh berbagai amanat, petuah, nasihat, pandangan keagamaan yang sarat dengan nilai-nilai yang dapat memperkaya kehidupan rohaniah pembaca. Aminuddin (2004: 47) mengemukakan bahwa pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan, evaluatif maupun sikap itu dalam hal ini akan mampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun agamis sehingga akan mampu memperkaya kehidupan rohaniah pembaca. <!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Pendekatan Analitis Aminuddin (2004: 44) mengemukakan bahwa pendekatan analitis merupakan pendekatan yang berupaya membantu pembaca memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan, sikap pengarang, unsur intrinsik dan hubungan antara elemen itu sehingga dapat membentuk keselarasan dan kesatuan dalam rangka terbentuknya totalitas bentuk dan maknanya. Namun demikian, penerapan pendekatan analitis dalam pembelajaran sastra di SD tidaklah berarti harus selengkap seperti yang dipaparkan diatas. Dianggap telah memadai, jika telah dapat mengungkapakan unsur-unsur yang membangun karya sastra yang dibaca, dan dapat menunjukkan hubungan antarunsur yang saling mendukung atau saling bertentangan, serta mampu memaparkan pesan-pesan yang dapat memperkaya pengalaman rohaniah.

Aminudin (2004) mengemukakan bahwa unsur dalam prosa atau cerita fiksi adalah tema, latar, alur, penokohan dan titik pandang, dan gaya.
<!--[if !supportLists]-->D. <!--[endif]-->Apresiasi Sastra Anak-anak Secara Produktif

Apresiasi produktif adalah apresiasi karya sastra yang menekankan pada proses kreatif dan penciptaan. Dalam hubungannya dalam apresiasi produktif, pengapresiasi dituntun menghasilkan karya sastra yang dapat berupa puisi, prosa, drama, pementasan karya sastra, dan esai. Ada beberapa pendekatan yang dapat diterapkan dalam mengapresiasi sastra anak-anak secara produktif, diantaranya sebagai berikut: <!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Pendekatan Parafrastis Parafrase merupakan salah satu keterampilan yang dapat meningkatkan apresiasi sastra siswa. Melalui parafrase, siswa berlatih mengubah bentuk karya sastra tertentu menjadi bentuk karya sastra yang lain tanpa mengubah tema atau gagasan pokoknya. Aminudin (2004) menjelaskan bahwa parafrase adalah strategi pemahaman makna suatu bentuk karya sastra dengan cara mengungkapkan kembali karya pengarang tertentu dengan menggunakan kata-kata yang berbeda dengan kata-kata yang digunakan pengarang. Di samping itu, Aminudin (2004) mengemukakan bahwa pendekatan parafrastis pada dasarnya beranjak dari prinsip bahwa: <!--[if !supportLists]-->a) <!--[endif]-->Pengubahan bentuk karya sastra tertentu kedalam bentuk sastra yang lain akan semakin meningkatkan keluasan dan ketajaman pemahaman pembaca yang bersangkutan. <!--[if !supportLists]-->b) <!--[endif]-->Gagasan tertentu dapat dikemukakan dalam bentuk yang berbeda. <!--[if !supportLists]-->c) <!--[endif]-->Simbol yang konotatif dapat diganti dengan kata yang lebih konkret dan mudah dipahami. <!--[if !supportLists]-->d) <!--[endif]-->Pengungkapan yang eliptis dapat ditambah sehingga semakin lengkap dan mudah dimengerti. I.G.P Antara (1985) mengemukakan bahwa teknik memparafrasekan puisi menjadi prosa dapat dilakukan dengan berbagai cara,yaitu teknik larik, teknik bait, dan teknik global. [if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Pendekatan Analitis Pendekatan Analitis merupakan pendekatan yang mengarahkan pembaca untuk memahami unsurunsur intrinsik yang membangun suatu karya sastra tertentu dan hubungan antarunsur yang satu dengan lainnya sebagai suatu kesatuan yang utuh (Aminuddin,2004). Menurut I.A Richard (dalam Situmorang, 1980) ada dua hal pokok yang membangun puisi, yaitu hakikat puisi dan metode puisi. Hakikat puisi meliputi tema, rasa, nada, dan amanat, sedang metode puisi meliputi diksi, gaya bahasa, kata konkret, gaya bayang, irama dan rima. Hubungan keduanya erat, oleh Karigan (1989) seperti hubungan jiwa dan tubuh. Sehingga hakikat puisi dapat disebut sebagai unsur batiniah dan metode puisi dapat disebut sebagai unsur lahiriah puisi. <!--[if !supportLists]-->a) <!--[endif]-->Unsur Lahiriah (Metode Puisi) <!--[if !supportLists]-->1) <!--[endif]-->Diksi Diksi merupakan kemampuan memilih kata demi kata secara tepat menurut tempatnya yang sesuai dalam suatu jalinan kata yang harmonis dan artistik sehingga sejalan dengan maksud puisinya, baik secara denotatif maupun konotatif. <!--[if !supportLists]-->2) <!--[endif]-->Gaya bahasa Gaya bahasa ialah gaya tertentu yang digunakan penyair untuk menciptakan kesan tertentu, daya bayang dan nilai keindahan. <!--[if !supportLists]-->3) <!--[endif]-->Kata konkret Kata konkret ialah pemakaian kata-kata yang dapat mewakili suatu pengertian secara konkret dengan memilih kata yang khusus, bukan yang umum, misal: <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Anak itu bersimpuh di kaki ibundanya. (kata khusus) <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Anak itu duduk lalu memeluk kaki ibundanya. (kata umum) <!--[if !supportLists]-->4) <!--[endif]-->Daya bayang (imagery) Daya bayang adalah kemampuan penyair mendskripsikan atau melukiskan suatu benda atau peristiwa sehingga seolah-olah pembaca menyaksikan benda atau mengalami peristiwa seperti yang disaksikan atau dialami penyair tersebut. <!--[if !supportLists]-->5) <!--[endif]-->Irama dan rima Irama adalah berkaitan dengan kera lembutnya suara (tekanan), panjang pendeknya suara (tempo), dan tinggi rendahnya suara (nada), perhentian sejenak (jeda) dan lainnya. Rima adalah persamaan bunyi awal, akhir, awal-akhir.
<!--[if !supportLists]-->b) <!--[endif]-->Unsur Batiniah Puisi <!--[if !supportLists]-->1) <!--[endif]-->Tema

Tema ialah pokok persoalan yang mendasari dan menjiwai setiap larik puisi. <!--[if !supportLists]-->2) <!--[endif]-->Rasa Rasa ialah sikap pandang penyair terhadap pokok persoalan atau tema tertentu. <!--[if !supportLists]-->3) <!--[endif]-->Nada Nada ialah sikap bahasa penyair tehadap penikmat karyanya. <!--[if !supportLists]-->4) <!--[endif]-->Amanat Amanat ialah pesan, nasihat, petuah, yang disampaikan oleh penyair dalam karyanya baik secara langsung atau tak langsung.

PENUTUP
<!--[if !supportLists]-->A. <!--[endif]-->Kesimpulan <!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Pengertian apresiasi sastra anak-anak merupakan serangkaian kegiatan

bermain dengan sastra anak-anak sehingga muncul pengertian, ketepatan dan ketelitian pemahaman, kepekaan perasaan dan penghargaan yang baik dalam diri anak terhadap sastra anak-anak. <!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Manfaat apresiasi sastra, diantaranya : <!--[if !supportLists]-->a) <!--[endif]-->melatih keempat keterampilan berbahasa, yakni mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis <!--[if !supportLists]-->b) <!--[endif]--> menambah pengetahuan tentang pengalaman hidup manusia seperti adat istiadat, agama, kebudayaan, dsb. <!--[if !supportLists]-->c) <!--[endif]-->membantu mengembangkan pribadi <!--[if !supportLists]-->d) <!--[endif]-->membantu pembentukan watak <!--[if !supportLists]-->e) <!--[endif]-->memberi kenyamanan <!--[if !supportLists]-->f) <!--[endif]-->meluaskan dimensi kehidupan dengan pengalaman baru (Wardani 1981) <!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Apresiasi sastra anak-anak secara reseptif adalah penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra anak-anak, baik yang berbentuk puisi maupun prosa yang dapat dilakukan dengan cara membaca, mendengarkan dan menyaksikan pementasan drama. Pendekatan yang dapat diterapkan dalam mengapresiasi sastra anak-anak secara reseptif diantaranya adalah pendekatan Emotif, pendekatan Didaktis, pendekatan Analitis. <!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Apresiasi produktif adalah apresiasi karya sastra yang menekankan pada proses kreatif dan penciptaan. Dalam hubungannya dalam apresiasi produktif, pengapresiasi dituntun menghasilkan karya sastra yang dapat berupa puisi, prosa, drama, pementasan karya sastra, dan esai. Pendekatan yang dapat diterapkan dalam mengapresiasi sastra anak-anak secara produktif diantaranya adalah pendekatan Parafrastis dan pendekatan Analitis.
<!--[if !supportLists]-->B. <!--[endif]-->Saran

Penulis berharap pendidik dapat menggunakan dan menghasilkan sebuah apesiasi karya sastra anakanak secara reseptif dan produktif agar anak-anak mendapatkan pembelajaran tentang sastra sesuai dengan porsinya dan lebih meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas anak dalam dunia sastra.

DAFTAR PUSTAKA
Zuchdi, D. dan Budiasih. 1999. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Semarang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Haryadi dan Zamzami. 1997. Peningkatan Keterampilan Berbahasa Indonesia. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Faisal, M. dkk. 2009. Kajian Bahasa Indonesia SD. Semarang: Departemen Pendidikan Nasional.
Diposkan oleh puji rokhayanti di 05:43

Hakikat Sastra Anak


Maret 18, 2009 Dadan Wahidin Disekolah Dasar, Pembelajaran Sastra dimaksudkan Untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasikan karya sastra. Menurut Huck (1987 : 630-623) bahwa pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada siswa yang akan berkontribusi pada 4 tujuan, yakni : 1. Pencarian kesenangan Pada buku

Menginterprestasikan bacaan sastra 2. Mengembangkan kesadaran bersastra 3. Mengembangkan apresiasi Pembelajaran sastra di SD adalah Pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan. Jenis sastra anak meliputi prosa, puisi, dan drama. Jenis prosa dan puisi dalam sastra anak sangat menonjol. Berdasarkan kehadiran tokoh utamanya, sastra anak dapat dibedakan atas tiga hal, yaitu : (1) sastra anak yang mengetengahkan tokoh utama benda mati, (2) sastra anak yang mengetengahkan tokoh utamanya makhluk hidup selain manusia, (3) sastra anak yang menghadirkan tokoh utama yang berasal dari manusia itu sendiri. Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosinya. Kegiatan Belajar 2 Apresiasi Sastra Anak 1. Apresiasi berarti : (a) kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan budaya; (b) penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; dan (c) kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah. Sehubungan dengan materi pembelajaran sastra anak ini, pengertian apresiasi yang kita maksudkan di sini adalah pengertian pertama dan kedua, yaitu (a) kesadaran kita terhadap nilai-nilai seni dan budaya (sastra anak), dan (b) penilaian atau penghargaan kita terhadap sesuatu (sastra anak). 1. Ada tiga batasan apresiasi sastra anak, yaitu (a) Apresiasi sastra anak adalah penghargaan (terhadap karya sastra anak) yang didasarkan pada pemahaman; (b) Apresiasi sastra anak adalah penghargaan atas karya sastra anak sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilainilai yang terkandung dalam karya sastra anak; dan (c) Apresiasi sastra anak adalah kegiatan menggauli cipta sastra anak dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra anak. 1. Dalam melaksanakan apresiasi sastra anak itu kita dapat melakukan beberapa kegiatan, antara lain : (a) kegiatan apresiasi langsung, yaitu membaca sastra anak, mendengar sastra anak ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan menonton pertunjukan sastra anak dipentaskan; (b) kegiatan apresiasi tidak langsung, yaitu mempelajari teiri sastra, mempelajari kritik dan esai sastra, dan mempelajari sejarah sastra; (c) pendokumentasian sastra anak, dan (d) melatih kegiatan kreatif mencipta sastra atau rekreatif dengan mengungkapkan kembali karya sastra yang dibaca, didengar atau ditontonnya. 1. Ada tiga tingkatan atau langkah dalam apresiasi sastra anak, yaitu : (a) seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam cipta sastra anak, ia terlibat secara emosional, intelektual, dan imajinatif; (b) setelah mengalami hal seperti itu, kemudian daya intelektual seseorang itu bekerja lebih giat menjelajahi medan makna karya sastra yang diapresiasinya; dan (c) seseorang itu menyadari hubungan sastra dengan dunia di luarnya sehingga pemahaman dan penikmatannya dapat dilakukan lebih luas dan mendalam. 1. Setidaknya terdapat lima manfaat bagi kehidupan ketika mengapresiasi sastra anak, yaitu (a) manfaat estetis, (b) manfaat pendidikan, (c) manfaat kepekaan batin atau sosial, (d) manfaat menambah wawasan, dan (e) manfaat pengembangan kejiwaan atau kepribadian. Kegiatan Belajar 3 Pembelajaran Apresiasi Sastra Anak 1. Pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar meliputi tiga tahapan yang harus dilalui seorang guru, yaitu : (a) persiapan pembelajaran, (b) pelaksanaan pembelajaran, dan (c) evaluasi pembelajaran. 1. Tahap persiapan pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar bagi seorang guru dapat menyangkut dengan dirinya, yaitu (a) persiapan fisik, dan (b) persiapan mental. Fisik seorang guru harus sehat jasmaninya, tidak sakit-sakitan. Mentalnya pun harus sehat jiwanya, tidak sakit ingatan. Sementara itu, hal-hal teknis yang perlu dipersiapkan adalah: (a) memilih bahan ajar, (b) menentukan metode pembelajaran, dan

(c) menuliskan persiapan mengajar harian. 1. Bahan ajar harus sesuai dengan anak didik sehingga pertimbangan usia anak didik menjadi pilihan utama. Keberagaman tema, keberagaman pengarang, dan bobot atau mutu karya sastra yang akan dijadikan bahan ajar juga menjadi pertimbangan yang matang. Menentukan metode harus disesuaikan dengan kemampuan guru dan kebutuhan serta kesesuaian dengan keadaan siswa. Menuliskan persiapan mengajar harian merupakan salah satu bentuk keprofesionalan seorang guru. Penulisan PMH itu juga menunjukkan bahwa guru siap secara lahir batin hendak menyampaikan pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar. 2. Pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar dapat dimulai dari kegiatan pra-KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) hingga KBM di kelas. Kegiatan pra-KBM dapat dilakukan dengan memberi salinan atau kopi teks sastra, diberi tugas membaca, menghafalkan, meringkas atau mencatat dan menemukan arti kata-kata sukar yang terdapat dalam teks sastra. KBM di kelas dapat dilakukan dengan memberi tugas membaca sajak, membaca cerita, berdeklamasi atau mendongeng di depan kelas, Setelah itu baru diadakan tanya jawab, menuliskan pendapat, dan berdiskusi bersama merumuskan isi, tema, dan amanat. 3. Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra itu hendaknya mengandung tiga komponen dasar evaluasi, yaitu : (a) kognisi, (b) afeksi, dan (c) keterampilan. Pada umumnya dikenal dua bentuk penilaian, yaitu : (a) penilaian prosedur, yang meliputi penilaian proses belajar dan penilaian hasil belajar, dan (b) instrumen atau alat penilaian, yang meliputi tanya jawab, penugasan, esai tes dan pilihan ganda.

MEMBELAJARKAN DONGENG MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL ALTERNATIF PENINGKATAN APRESIASI SASTRA


Oleh: Rusliy Pendahuluan Dengan hati mendongkol teman saya Mahmud putus asa dan malas masuk kerja. Pasalnya, teman-teman dan pimpinan di tempat ia bekerja kurang memperhatikan dirinya. Padahal, dibandingkan dengan teman yang lain, ia termasuk orang yang paling ulet bekerja dan berjasa. Ia juga yang selama ini melahirkan formula-formula baru yang sering dipakai para pimpinannya untuk pengembangan kantornya. Hal itu wajar, karena selama ia menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi mampu memperoleh nilai IPK tertinggi (cumlaude). Banyak temannya yang merasa salut dan terkagum-kagum atas kecerdasan intelektualnya. Namun mengapa tidak mendapatkan perhatian yang layak dari teman-teman dan pimpinannya? Ternyata isu yang berkembang, teman saya ini tergolong manusia pamer diri dan sombong. Di sisi lain, tiap hari rasanya, kita disuguhi, dicekoki, dan dibombardir berita-berita dari koran, televisi, internet, maupun radio yang melaporkan lenyapnya sopan santun, hilangnya rasa aman, kekejian manusia, dan generasi frustasi. Seorang anak membunuh ayahnya tanpa rasa menyesal, dan seorang ayah memperkosa anak gadisnya sendiri dengan dalih hilaf. Rentetan fakta seperti itu mencerminkan meningkatnya instabilitas emosi, keputusasaan, dan rapuhnya moral dalam keluarga atau masyarakat. Seakanakan perasaan mengalahkan pikiran. Dari kasus tersebut, Suyatno (2005) menyimpulkan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah biasanya (a) menyikapi kritik yang diberikan kepadanya sebagai serangan pribadi bukan sebagai keluhan yang harus dihadapi, (b) gampang mengkritik tetapi kikir memuji, (c) menganggap diri lebih dari diri orang lain atau egoistis, (d) tidak memperhatikan orang di sekitarnya atau lingkungannya, dan (e) marah menjadi bagian manajemen dirinya. Dengan demikian, ternayata kecerdasan intelektual tidak cukup bagi seseorang dalam menjalani hidup ini. Mereka membutuhkan kecerdasan emosial. Salah satu piranti yang dapat digunakan untuk mengasah kecerdasan emosional seseorang adalah pembelajaran dongeng yang sekarang ini dikemas melalui pembelajaran sastra. Di dalam pembelajaran inilah persoalan kemanusiaan, pesoalan budaya dibicarakan. Namun, pembelajaran tersebut sampai saat ini pula mengalami problematika yang cukup kompleks. Di antara persoalannya adalah strategi atau pendekatan

atau metode yang harus digunakan. Problematika Pembelajaran Dongeng Tujuan yang dikemukakan dalam kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah yaitu siswa mempelajari bahasa sebagai alat komunikasi, lebih daripada sekadar pengetahuan tentang bahasa. Pembelajaran bahasa, selain untuk meningkatkan keterampilan berbahasa dan bersastra, juga untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar serta kemampuan memperluas wawasan (Depdiknas, 2003:10). Selanjutnya, dikemukakan bahwa pembelajaran bahasa diarahkan untuk mempertajam perasaan siswa. Siswa tidak hanya diharapkan mampu memahami informasi yang disampaikan secara lugas atau langsung, melainkan juga yang disampaikan secara terselubung atau secara tidak langsung. Siswa tidak hanya pandai bernalar, tetapi juga memiliki kepekaan di dalam interaksi sosial dan dapat menghargai perbedaan baik di dalam hubungan antarindividu maupun di dalam kehidupan bermasyarakat, yang berlatar berbagai budaya dan agama (Depdiknas, 2003:10). Berdasarkan asumsi di atas, sudah selayaknya pelaksanaan pengajaran bahasa dan sastra di sekolah terutama di tingkat Sekolah Menengah Pertama memanfaatkan dan mengoptimalkan pembelajaran dongeng. Diakui atau tidak, pembelajaran dongeng di sekolah dipandang kurang memberikan makna dalam membangkitkan gairah belajar siswa. Di sisi lain, respon peserta didik terhadap pembelajaran dongeng amatlah rendah. Beberapa pendidik atau guru di sekolah (ditemui ketika melakukan pengamatan awal) mengakui hal itu sebagai bentuk hambatan untuk mendekatkan siswa dengan materi dongeng. Sikap semacam ini perlu didiskusikan untuk menemukan keunggulan dan kelemahannya. Di sisi lain, kondisi pembelajaran dongeng di sekolah (berdasarkan pengamatan awal) terdeskripsi sebagai berikut: pertama, belum ditemukan model pembelajaran dongeng yang tepat dan relevan. Hal tersebut terjadi karena pembelajaran dongeng di tingkat Sekolah Menengah Pertama relatif baru. Selama ini guru pengajar lebih banyak dibebani dengan pembelajaran bahasa dan sastra dan segala bentuk model pembelajarannya yang tidak relevan dengan konteks pembelajaran saat ini. Kedua, proses belajar mengajar terutama pembelajaran dongeng tampak monoton. Kondisi ini muncul sebagai akibat ketidakmampuan guru dalam memahami pembelajaran dongeng sekaligus karakter peserta didik. Ketiga, belum ada kolaborasi yang serasi antara guru dengan siswa dalam pembelajaran dongeng. Dalam hal ini guru menggunakan otoritas kekuasaan secara penuh. Peserta didik tidak ditempatkan sebagai mitra dalam proses belajar mengajar, melainkan sebagai objek. Akibatnya, peserta didik merasa tidak tertarik dan menciptakan situasi baru yang menurutnya hal itu benar. Keempat, metode yang digunakan masih konvensional. Hal tersebut disebabkan oleh wawasan guru yang sempit tentang strategi pembelajaran dongeng di sekolah. Terkesan ragu dan bingung dalam memilih serta menentukan metode. Kelima, rendahnya kualitas dan hasil pembelajaran apresiasi dongeng. Hal itu merupakan akibat dari ketidakmenarikan pembelajaran dongeng di sekolah. Peserta didik memandang bahwa pembelajaran dongeng hanya bagian kecil dari pembelajaran yang lain, dan hanya merupakan hiburan semata. Munculnya kondisi pembelajaran demikian, serta sikap apatis terhadap pembelajaran dongeng disebabkan ketidakmampuan mereka memahami hakikat, manfaat dan nilai positif yang terkandung di dalam cerita-cerita dongeng. Dari berbagai kajian banyak diyakini bahwa dongeng terutama cerita rakyat mempunyai nilai lebih daripada sekedar bacaan penghibur saja karena juga bermanfaat bagi perkembangan seorang anak.

Bunanta (1998:52-53) menjelaskan bahwa manfaat yang berkaitan dengan perkembangan holistik berasal dari nilai dalam cerita rakyat yang mengajarkan pada anak bahwa manusia mempunyai rasa cinta, benci, marah, sedih dan gembira, dilahirkan dan mati. Cerita rakyat juga bermanfaat bagi perkembangan emosionalnya karena memberikan suatu dunia fantasi sehingga anak dapat memandang rasa takut dan rasa frustasinya. Di dalam dunia imajiner ini anak berjuang melawan ketidakadilan dan kejahatan serta menjadi pemenangnya. Melalui cerita rakyat anak akan mengalami perkembangan ranah kognitifnya karena cerita rakyat adalah cerminan bermacam-macam kebudayaan yang merefleksikan persamaan dan keunikan setiap kebudayaan. Karena itu, cerita rakyat tidak saja memberi rasa percaya diri dan rasa mampu pada anak, juga memberi pandangan hidup yang berkaitan dengan moralitas. Selain itu, cerita rakyat juga menambah kemampuan berbahasa dan meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra serta mengembangkan kesadaran tentang kebudayaan. Dengan demikian, pembelajaran dongeng di sekolah memiliki peran yang sangat tinggi untuk mengoptimalkan pembelajaran bahasa dan sastra. Dalam Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah standar kompetensi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara implisit mengakomodasi kompetensi yang dimaksud. Hal tersebut dinyatakan dalam Standar Kompetensi : Mampu membaca dan memahami berbagai teks bacaan sastra: membaca dan mendiskusikan isi puisi, membaca dan mengomentari buku cerita anak, membaca dan mengomentari buku kumpulan dongeng, dan membaca dan mendiskudikan isi buku cerita anak dan cerita anak terjemahan (Depdiknas, 2003:25). Itulah sebabnya, berdasarkan standar kompetensi di atas apresiasi dongeng merupakan salah satu media yang efektif untuk meningkatkan apresiasi sastra siswa. Pembelajaran dongeng sebagai salah satu bentuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di tingkat Sekolah Menengah Pertama merupakan formula pembelajaran yang relatif baru. Tidak seluruh pendidik atau pengajar bahasa dan sastra Indonesia memahami bentuk pembelajaran ini. Bahkan cibiran kadangkala muncul, karena pembelajaran dongeng dianggap set-back ke bentuk pembelajaran klasik. Diasumsikan bahwa mengajarkan dongeng sama halnya mengajak diri siswa berpikir dan menghayalkan sesuatu yang sia-sia. Membaca buku-buku dongeng juga dianggap sebagai aktivitas yang mubazir, karena dianggap tidak mengajak manusia berpikir ke depan tetapi membuka lembaran-lembaran lama yang relatif tidak relevan dengan kondisi masa kini dan masa yang akan datang. Padahal menurut Rosidi (1983:91) dongeng-dongeng yang sudah klasik dan yang baru harus mengisi kekosongan yang ada. Indonesia mempunyai khazanah dongeng yang tak tertandingi, tapi belum banyak digarap oleh para puteranya. Bahan-bahan yang ada, masih harus menunggu tangan cekatan yang akan mempergunakannya untuk bacaan anak-anak. Dunia bacaan anakanak bukanlah dunianya sehari-hari saja, melainkan juga meliputi segala yang sudah lampau sampai yang belum datang. Kondisi ini diperparah oleh sistem pembelajaran yang salah. Guru masih menggunakan paradigma lama dan tidak mampu mengkonstruksi paradigma baru. Ia terbiasa bergelut dengan buku-buku paket dan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang tidak relevan dengan kondisi siswa. Cerita atau dongeng-dongeng yang diajarkan hanya berupa kutipan atau sinopsis yang ditempel begitu saja sebagai materi dalam buku paket atau LKS. Lebi-lebih dongeng yang dijadikan sebagai acuan adalah materi dongeng yang belum dikenal oleh siswa dan tidak mengacu pada budaya yang dimiliki siswa, di samping karena faktor-faktor lain yang melahirkan sikap apatis dan minimnya rasa interes siswa. Peserta didik tidak memahami muatan-muatan kultur yang ada dalam dongeng yang disajikan, karena muatan kultur tersebut di luar dirinya dan lingkungannya.

Saatnya, seorang guru atau pendidik terutama di tingkat Sekolah Menengah Pertama berolah pikir untuk melahirkan strategi, pendekatan, metode atau teknik yang jitu dalam pembelajaran dongeng sebagai salah satu sarana atau formulasi peningkatan apresiasi sastra di kalangan remaja atau siswa. Seorang guru tentu harus memahami karakter siswa dan karakter bacaan dongeng yang disuguhkan pada mereka. Sarumpaet (1976:23) menjelaskan rumusan khusus bacaan anak-anak. Menurutnya ada empat titik tolak yang dapat diambil untuk merumuskan secara khusus, salah satu di antaranya adalah bersifat tradisionil yaitu bacaan anak-anak yang tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu kala dalam bentuk mitologi, ceritera-ceritera binatang, dongeng, legenda dan kisah-kisah kepahlawanan yang romantis. Berdasarkan pendapat tersebut maka bacaan yang disajikan merupakan bacaan dalam bentuk dongeng yang disuguhkan secara utuh kepada siswa. Pendapat ini dapat dijadikan acuan utama untuk memilih dan menyeleksi buku-buku dongeng yang akan disampaikan pada peserta didik. Guru perlu memahami bahwa anak- didik lahir dalam wilayah bertradisi. Secara global, tradisi dalam konteks budaya secara umum memiliki karakter yang sama. Akan tetapi, secara khusus karakter budaya dalam bagian-bagian wilayah memiliki perbedaan yang signifikan. Karakter budaya itu hanya dapat dipahami oleh pemiliknya dan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Karena itu, setiap wilayah tentu memiliki bentuk-bentuk kearifan lokal yang mudah dipahami peseta didik. Di sinilah peran guru sangat dibutuhkan dalam menyusun strategi atau pendekatan pembelajaran. Pendekatan kontekstual yang selalu bermuara pada konteks anak didik merupakan salah satu pendekatan yang layak memberi peluang meningkatkan minat baca siswa melalui pembelajaran dongeng. Cerita atau dongeng yang disajikan merupakan dongeng yang dekat dalam kehidupan siswa atau dalam lingkungan bermain siswa. Hal tersebut dipertegas oleh Suharianto bahwa tugas seorang guru sastra (terutama dalam pembelajaran dongeng) adalah merangsang minat baca siswa. Karena itu setiap pengajar sastra harus selalu berupaya agar subjek didiknya gemar membaca. Untuk maksud tersebut dapat dilakukan dengan menunjukkan buku-buku yang baik dan harus dibaca, memberikan komentar ringkas mengenai buku-buku yang pernah dibaca, menceritakan isi ringkas buku-buku yang pernah dibaca, menunjukkan tempat mencari buku-buku tersebut dan sebagainya (Suharianto dalam Jabrohim, 1994:76). Pendapat ini mempertegas betapa strategisnya pembelajaran sastra melalui pembelajaran dongeng untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap karya sastra. Melalui pendekatan kontekstual tersebut juga diharapkan siswa termotivasi untuk membangkitkan ghirah membaca, sehingga memahami nilai-nilai budayanya melalui bacaan tersebut. Dengan adanya korelasi antara muatan bacaan dongeng dengan budaya yang mereka pahami diharapkan tumbuh minat baca secara konstan. Melalui strategi ini pula diharapkan lahir pengembangan minat baca pada buku-buku yang lebih serius. Ditetapkannya buku-buku dongeng sebagai media peningkatan apresiasi sastra ini, diyakini penulis karena buku-buku dongeng memiliki muatan makna yang cukup beragam. Dari segi isi, sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai tersebut bersifat universal dan global. Untuk mencapai pada tingkat pemahaman yang lebih tinggi terhadap muatan dongeng tersebut seorang pembaca mau tidak mau dituntut merujuk pada literature-literature lain. Dari sinilah siswa dapat diajak dan didorong untuk mendekati, menggemari, memahami, menikmati dan mereaksi buku-buku bacaan lain yang lebih serius. Buku dongeng lebih disukai pembaca seusia siswa SD dan SMP. Usia tersebut dapat

dikategorikan sebagai usia remaja. Bunanta berdasarkan hasil penelitiannya menjelaskan bahwa di Indonesia umur rata-rata anak yang menyukai membaca cerita rakyat adalah anak-anak antara umur enam sampai dua belas tahun. Jumlah yang terbesar berkisar antara umur delapan sampai sepuluh tahun (Bunanta, 1998:28). Dengan demikian, usia pembaca yang dimaksud lebih berfokus pada usia anak Sekolah Dasar. Sementara, siswa SMP berkisar antara usia dua belas sampai dengan tiga belas tahun. Kiranya, siswa kelas VII SMP merupakan siswa yang mempunyai usia pembaca yang relatif wajar untuk menyukai, membaca dan menikmati bukubuku dongeng. Pembelajaran Berbasis Kompetensi sebagai Karakter KBK Pembelajaran berbasis kompetensi lahir setelah tuntutan kebutuhan masyarakat semakin mendesak. Adanya berbagai kasus lulusan yang tidak mampu mengembangkan kompetensinya di dunia kerja merupakan awal pemikiran pembelajaran berbasis kompetensi. Zamroni misalnya, menawarkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik. Paradigma ini menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching), (b) pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel, (c) pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri, dan (d) pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan (Zamroni, 2000:8). Pembelajaran berbasis kompetensi lahir dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah kurikulum pendidikan yang menjadikan kompetensi sebagai acuan pencapaian tujuan pendidikan (Nurhadi, dkk. 2004:111). Dengan demikian, pembelajaran ini lebih memperhatikan kompetensi peserta didik. Itulah sebabnya, menurut Endraswara (2003:19) seorang guru dalam pembelajaran kompetensi ini harus memperhatikan beberapa hal seperti (a) mengurangi metode ceramah di depan murid, (b) memberi tugas-tugas yang berbeda antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Lebih lanjut Endraswara menjelaskan di bawah ini. Secara umum, pembelajaran berbasis kompetensi akan terkondisikan sebagai berikut: pertama, pengajaran berkonteks diskusi kelompok. Pada saat ini, peserta didik diberi kebebasan bertanya, menjawab, dan berbicara sepuas-puasnya asalkan relevan. Kedua, pengajar bukan sumber utama belajar. Pengajar tidak memiliki otoritas kaku, bahwa pendapatnya yang paling benar. Ketiga, pengajaran tidak lagi satu arah dan tidak menyampaikan doktrin-doktrin. Dari tiga suasana kondusif tersebut, tampak bahwa pembelajaran kompetensi menginginkan konteks pengajaran yang partisipatori (Endraswara, 2003:23-24). Dengan demikian, pembelajaran kompetensi dalam praktiknya menitikberatkan pada ketercapaian kompetensi masing-masing peserta didik, dan tidak menitikberatkan pada ketercapaian materi. Kurikulum 2004 (KBK) yang selama ini banyak diterapkan di sekolah lanjutan memiliki karakter yang serupa. Sementara pembelajaran dongeng terwadahi di dalamnya. Itulah sebabnya, seorang guru dituntut mampu mencermati kompetensi yang dimiliki masing-masing peserta didik. Pembelajaran Kontekstual sebagai Salah Satu Model Pembelajaran Berbasis Kompetensi Pembelajaran kontekstual dijiwai oleh pendekatan kontekstual. Pendekatan ini menitikberatkan

pada kebermaknaan konteks. Kebermaknaan tersebut diperoleh melalui konteks diri siswa dan lingkungannya, sehingga tampak lebih menyenangkan. Blanchard (2001:9) mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual pada hakikatnya adalah konsepsi pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan pembelajaran yang memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Hal tersebut dipertegas oleh Nur (2001:2) bahwa pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam-sekolah dan luar-sekolah agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia-nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan. Karena itu, pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep yang mengaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks di mana materi tersebut digunakan, serta berhubungan dengan bagaimana seseorang belajar atau gaya siswa belajar. Konteks memberikan arti, relevansi dan manfaat penuh terhadap belajar (Depdiknas, 2002:8). Nurhadi dkk (2004:15) memperjelas bahwa yang dimaksud konteks terdapat sembilan konteks belajar yang melingkupi siswa, yaitu konteks tujuan, konteks isi, konteks sumber, konteks target siswa, konteks guru, konteks metode, konteks hasil, konteks kematangan, dan konteks lingkungan. Dengan demikian pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual ini berupaya menciptakan kondisi pembelajaran alamiah. Siswa diajak mengingat, memahami dan mendalami pengalaman realitasnya dalam konteks yang sebenarnya. Kondisi yang diciptakan merupakan kondisi yang menggembirakan. Belajar penuh makna dan menyenangkan. Hal itu pula yang dikemukakan De Porter dan Hernacki (2002:9) bahwa belajar dapat dan harus menyenangkan. Selanjutnya, terdapat delapan komponen sistem pembelajaran kontekstual yang harus diperhatikan. Komponen-komponen tersebut meliputi (a) menciptakan hubungan penuh makna, (b) perbuatan didasarkan pada perilaku yang berarti (significant), (c) belajar mandiri, (d) bekerja sama, (e) kritis dan berpikir kreatif, (f) menghargai individu, (g) mencapai standard tertinggi, dan (h) menggunakan penilaian autentik (Johnson, 2002:24). Searah dengan pendapat di atas, Depdiknas (2002:12-14) mengemukakan beberapa hal yang harus ditekankan dalam pendekatan pengajaran kontekstual yaitu: (1) belajar berbasis masalah (problem-based learning) yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari mata pelajaran; (2) pengajaran autentik (authentic instruction) yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan nyata;

(3) belajar berbasis inquiri (Inquiry-Based Learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna; (4) belajar berbasis proyek atau tugas terstruktur (Project-Based Learning) yang membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif di mana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topic mata pelajaran dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengkonstruk (membentuk) pembelajarannya dan mengkulminasikannya dalam produk nyata; (5) belajar berbasis kerja (Work-Based Learning) yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di dalam tempat kerja. Jadi dalam hal ini tempat kerja atau sejenisnya dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa; (6) belajar jasa-layanan (Service Learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa-layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut, jadi menekankan hubungan antara pengalaman jasa-layanan dan pembelajaran akademis; dan (7) belajar kooperatif (Cooperative Learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk berkejasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan. CORD (Center for Research and Development) dalam Ardiana (2001:13-15) mengemukakan lima macam strategi dalam pembelajaran kontekstual yang disebut sebagai startegi REACT yaitu : (1) Relating Yang dimaksud dengan konsep ini adalah bahwa belajar itu harus dihubungkan dengan konteks pengalaman manusia. (2) Experiencing Experiencing atau mengalami merupakan belajar dalam konteks eksplorasi, penemuan, inkuiri merupakan jantung pembelajaran kontekstual. (3) Applying Menerapkan konsep dan informasi dalam konteks yang berguna sering memproyeksikan siswa ke arah masa depan yang diharapkan atau ke tempat kerja yang mungkin tidak akrab. (4) Cooperating Cooperating adalah belajar dalam konteks peragihan, dalam konteks saling berbagi pengalaman, penanggapan dan pengkomunikasian dengan pembelajar lain. Ini merupakan strategi pembelajaran utama dalam pembelajaran kontekstual. (5) Transferring Belajar dapat dilakukan dengan memanfaatkan pengetahuan yang sudah dimiliki dalam situasi

yang baru. Proses belajar semacam ini disebut mentransfer pengalaman atau pengetahuan. Endraswara (2003:58) menganggap pendekatan kontekstual dalam pembelajaran sastra (termasuk pula pembelajaran dongeng) cukup strategis, karena menghendaki (a) terhayati fakta yang dipelajari, karya sastra benar-benar dimiliki dari aspek kejiwaan bukan verbalistik, (b) permasalahan yang akan dipelajari harus jelas, terarah, rinci, (c) pragmatika materi harus mengacu pada kebermanfaatan secara konkret, dan memerlukan belajar kooperatif dan mandiri. Itulah sebabnya, proses pengajaran kontekstual yang mendukung Kurikulum Berbasis Kompetensi sekurang-kurangnya tetap memperhatikan dua hal. Pertama, konteks pengajaran sastra selalu memberdayakan lingkungan. Mampu memafaatkan lingkungan peserta didik seoptimal mungkin. Karena itu, apa yang ada di sekeliling mereka harus dibangun dan dipergunakan sebagai rujukan pengajaran sastra. Kedua, pengajaran sastra (termasuk pula pembelajaran dongeng) mestinya berlangsung dalam suasana menyenangkan (Endraswara, 2003:60). Berdasakan pendapat di atas, maka siswa dapat belajar secara paling baik dalam konteks, sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, dalam sesuatu yang terkait dengan kebutuhannya. Belajar terbaik dapat dilakukan dengan mengerjakan pekerjaan itu sendiri dalam proses penyelaman ke dunia nyata secara terus menerus, menggunakan umpan balik, perenungan, evaluasi dan penyelaman kembali. Dengan demikian pendapat-pendapat di atas merupakan teori yang cukup valid sebagai sandaran strategi pembelajaran dongeng dalam upaya meningkatkan apresiasi sastra. Membelajarkan Dongeng dalam Pembelajaran Sastra Dongeng dapat diistilahkan dengan cerita rakyat klasik yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat tertentu. Danandjaya (1991:83) memberi batasan tentang dongeng yaitu cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun juga melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral) atau bahkan sindiran. Macculoch dalam Bunanta (1998:22) mendefinisikan cerita rakyat merupakan bentuk tertua dari sastra romantik dan imaginatif, fiksi tak tertulis dari manusia masa lampau dan manusia primitif di semua belahan dunia. Selanjutnya Danandjaya membagi jenis-jenis dongeng ke dalam empat golongan besar, yaitu (a) dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan binatang liar. Binatang-binatang itu dalam cerita jenis ini dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia, (b) dongeng biasa adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang, (c) lelucon dan anekdot adalah dongeng-dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati, sehingga menimbulkan ketawa bagi yang mendengarkan maupun yang menceritakan, dan (d) dongeng-dongeng berumus adalah dongeng-dongeng yang mempunya subbentuk seperti dongeng bertimbun banyak, dongeng untuk mempermainkan orang, dan dongeng yang tidak mempunyai akhir (Danandjaya, 1991:86). Bettelheim dalam Bunanta (1998:22) juga menjelaskan bahwa dalam banyak hal dari seluruh bentuk sastra anak-anak, tak ada yang memperkaya dan memuaskan, baik anak maupun orang dewasa, selain cerita rakyat. Meskipun cerita rakyat hanya sedikit mengajarkan keadaan kehidupan masa kini, dari cerita rakyat dalam batas pemahaman anak, lebih banyak dapat dipelajari inti masalah umat manusia dan pemecahan yang tepat dari keadaan yang sukar dibandingkan cerita lain. Dongeng untuk anak-anak tentu disesuaikan dengan karakter bacaan anak-anak. Sarumpaet 1976 (23) menentukan karakter bacaan anak-anak sebagai rumusan khusus yaitu:

(a) tradisionil; bacaan anak-anak adalah yang tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu kala dalam bentuk mitologi, cerita-cerita binatang, dongeng, legenda dan kisah-kisah kepahlawanan yang romantis; (b) idealistis; bacaan anak-anak harus bersifat patut dan universal, dalam arti didasarkan pada bahan-bahan terbaik yang diambil dari zaman yang telah lalu dan karya-karya penulis terbaik masa kini; (c) populer; bacaan anak-anak adalah bacaan yang bersifat menghibur, sesuatu yang menyenangkan anak-anak; (d) teoretis; bacaan anak-anak adalah bacaan yang dikonsumsi anak-anak dengan bimbingan dan pengarahan anggota-anggotan dewasa suatu masyarakat, sedang penulisannya juga dilakukan oleh orang-orang dewasa. Dengan demikian, dongeng sebagai cerita anak-anak memiliki karakter dan ciri khusus, di samping juga memiliki fungsi dan nilai yang cukup bermakna dalam mengembangkan kepribadian dan perilaku anak. Sementara itu, membelajarkan dongeng pada dasarnya merupakan salah satu upaya meningkatkan apresiasi siswa. Istilah apresiasi menurut Aminuddin (2002:34) berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti mengindahkan atau menghargai. Dalam konteks yang lebih luas, istilah apresiasi menurut Gove dalam Aminuddin (2002:34) mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Dengan demikian, apresiasi dongeng merupakan bentuk penghargaan terhadap karya-karya yang berupa dongeng. Penghargaan terhadap dongeng memiliki makna pemahaman yang abstrak. Penghargaan dapat diwujudkan melalui ranah mengenali, menikmati dan memahami. Tjahjono (2000:11) mengupas ketiga ranah tersebut. Ranah mengenali yang paling sederhana adalah membaca dongeng. Tanpa aktivitas semacam itu mustahil mampu mengenali dongeng. Menikmati merupakan kegiatan jiwa, aktivitas rohani. Dalam langkah ini berusaha mencerna makna sebuah dongeng. Penikmatan yang berhasil akan membawa pada situasi memahami sebuah karya dongeng. Penikmatan terhadap karya dongeng tersebut tidak serta-merta diperoleh. Pembiasaan mengapresiasi dongeng melalui mendengarkan, membaca, menulis dan berbicara merupakan alternatif strategi yang paling jitu. Persoalannya, pembelajaran dongeng sampai saat ini tidaklah berdiri sendiri sebagai mata pelajaran. Pembelajaran dongeng dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk SMP merupakan bagian kecil dalam blok pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Itulah sebabnya, peningkatan apresiasi dongeng siswa hanya dapat diupayakan melalui pembelajaran sastra. Pembelajaran Dongeng sebagai Sarana Pengembangan Minat Baca Teori-teori tentang minat baca relatif kering. Amat sedikit buku-buku yang mengupas tentang hal tersebut. Padahal tuntutan membaca merupakan kebutuhan yang tidak sewajarnya diabaikan. Tentu berbeda antara seseorang yang memilki minat baca tinggi dengan mereka yang memiliki minat baca rendah. Nurhadi (1987:14) mengemukakan bahwa seseorang yang mempunyai minat dan perhatian yang tinggi terhadap bacaan tertentu, dapat dipastikan akan memperoleh pemahaman yang lebih baik

terhadap topik tersebut. Demikian pula penelitian hubungan antara tujuan membaca dan perubahan gerak mata pada waktu membaca. Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa minat baca akan menentukan sikap dan kualitas seseorang. Berdasarkan hasil pengamatan, perhatian dan minat baca seseorang ikut menentukan seseorang mampu berproduksi dalam bentuk lisan maupun tulisan. Terkait dengan hal tersebut minat baca seseorang sesungguhnya dapat dirangsang dan ditumbuhkan, baik melalui dukungan internal maupun dukungan eksternal. Khusus pemupukan kegiatan membaca di lingkungan siswa, Suharianto dalam Jabrohim (1994:77) menjelaskan bahwa memupuk dan memelihara kebiasaan membaca dapat dilakukan dengan (i) menyuruh subjek didik untuk membuat catatan mengenai buku-buku yang pernah dibacanya; yang mencakup judul, nama pengarang, tahun penerbitan, nama penerbit, tanggal dibaca, sinopsis ceritanya dan sebagainya, (ii) memeriksa dengan tertib semua catatan subjek didik, dan (iii) menyediakan buku latihan khusus untuk kegiatan tersebut. Untuk hal di atas, perlu diperhatikan penentuan bahan bacaan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah (i) bahan harus valid, (ii) bermanfaat, (iii) sesuai dengan kemampuan subjek didik, (iv) sesuai dengan perkembangan jiwa subjek didik, dan (vi) menarik (Suharianto dalam Jabrohim, 1994:77). Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa minat baca dapat ditumbuhkan, ditingkatkan dan dikembangkan. Peningkatan minat baca ini dapat didalami dan diukur melalui minat baca anak terhadap dongeng. Implementasi Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Dongeng Permasalahan pokok dalam kajian ini adalah rendahnya apresiasi siswa terhadap pembelajaran dongeng. Dengan demikian perlu upaya untuk meningkatkan pembelajaran tersebut. Peningkatan tersebut akan tampak dari respon siswa terhadap pembelajaran dongeng. Untuk melakukan upaya peningkatan ini, kiranya pendekatan kontekstual merupakan alternatif yang tepat untuk dijadikan landasan utama. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual merupakan segala bentuk aktivitas akademik yang dihubungkan dengan dunia nyata siswa. Itulah sebabnya, pembelajaran dongeng berbasis pendekatan kontekstual dilaksanakan dengan melihat konteksnya. Merujuk pada pendapat Nurhadi, dkk (2004:15) ada sembilan konteks belajar yang melingkupi siswa yaitu konteks tujuan, konteks isi, konteks sumber, konteks target siswa, konteks guru, konteks metode, konteks hasil, konteks kematangan, dan konteks lingkungan. Penerapan teori tersebut dijelaskan sebagai berikut (1) konteks tujuan; dalam hal ini tujuan apa yang ingin dicapai melalui pembelajaran dongeng. Tentu tujuan utama adalah siswa memahami dan menerapkan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita dongeng, (2) konteks isi; hal ini berkaitan dengan materi yang digunakan dalam proses belajar-mengajar. Materi yang dipilih relevan dengan konteks kehidupan siswa atau budaya yang dimiliki siswa, (3) konteks sumber; sumber belajar mana yang dapat dimanfaatkan? Dalam pembelajaran dongeng seorang pewaris dongeng merupakan sumber utama yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya pemahaman siswa terhadap dongeng dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, (4) konteks target siswa; konteks ini berkaitan dengan siapa yang akan belajar. Karakteristik siswa menjadi hal utama yang harus dipikirkan untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran dongeng. Dalam hal ini, etnis siswa dan pewaris budaya patut dipertimbangan, (5) konteks guru; mempertimbangkan

potensi dan profesionalitas seorang pengajar dalam mengajarkan dongeng, sekaligus memahami nilai-nilai budaya yang terkadung di dalamnya, (6) konteks metode; mempertimbangkan strategi yang relevan untuk meningkatkan apresiasi dongeng siswa. Itulah sebabnya, siswa belajar dengan baik jika mereka belajar secara aktif, holistik dan guru menggunakan pendekatan yang memungkinkan siswa menggunakannya dalam praktik. Siswa perlu sering menggunakan strategi belajar kooperatif sehingga mereka dapat meraih hasil belajar tinggi melalui percakapan yang substansial. Dengan strategi ini siswa mendiskusikan nilai-nilai yang terkandung dalam dongeng, (7) konteks hasil; hasil belajar siswa diukur dengan penjajagan terhadap kemampuannya mengkorelasikan perilaku dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam dongeng dengan budaya yang dimiliki masyarakat dalam kehidupan nyata. Kinerja yang diharapkan dari siswa harus diartikulasikan secara baik dan diindikasikan dalam silabus untuk siswa maupun guru, (8) konteks kematangan; mempertimbangkan usia siswa untuk melaksanakan pembelajaran dongeng dengan berbasis pendekatan kontekstual, (9) konteks lingkungan; dalam hal ini lingkungan belajar harus dikenali oleh siswa. Untuk peningkatan apresiasi dongeng, lingkungan yang representatif adalah lingkungan yang relevan dengan jenis etnis siswa atau masyarakat yang hidup di lingkungan tersebut. Berdasarkan hal di atas, maka peningkatan apresiasi dongeng dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Pembelajaran tentang dongeng ini diimplementasikan melalui pembelajaran sastra. Hal tersebut sesuai dengan rujukan pengajaran yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi atau Kurikulum 2004 di SMP dan MTs. Itulah sebabnya, di dalam penyelenggaraan pembelajaran dongeng terutama dalam upaya meningkatkan apresiasi dongeng siswa ini pada dasarnya untuk membantu melahirkan dan meningkatkan empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Empat keterampilan berbahasa tersebut secara ekspilisit termuat di dalam pembelajaran sastra (Kurikulum 2004 SMP dan MTs). Sedangkan model pembelajaran kontekstual berbasis pada pembelajaran alamiah dan kehidupan nyata. Pembelajaran tersebut dapat dilaksanakan dengan aktivitas sebagaimana di bawah ini. 1) Memilih naskah dongeng yang relevan Dongeng memiliki banyak ragam. Karena itu, seorang guru dituntut memiliki kemampuan dan kepekaan untuk memilih, menemukan dan menggunakan naskah dongeng secara selektif. Memilih dongeng membutuhkan kecermatan. Beberapa hal penting menurut Endraswara (2003:270) dalam memilih dongeng adalah (a) tuntutan keinginan peserta didik, (b) kondisi peserta didik dan lingkungan sekitar, serta (c) nilai atau pesan dongeng. Dengan demikian, konteks budaya terutama yang relevan dengan budaya peserta didik akan lebih bermakna dalam pembelajaran dongeng. 2) Menggunakan model Penggunaaan model menjadi amat penting, ketika pembelajaran kontekstual harus diimplementasikan dalam pembelajaran dongeng. Guru yang tidak memiliki bakat mendongeng dapat membawa model pendongeng di depan peserta didik. Keuntungan yang diperoleh, dapat mengeleminasi kejenuhan atau kebosanan peserta didik dalam belajar. Hadirnya pendongeng (orang lain) di kelas akan membawa keunikan dan akan melahirkan kemenarikan peserta didik. Lebih-lebih ketika model yang dibawa ke kelas adalah pewaris atau ahli di bidang tersebut. Peserta didik berhadapan langsung dengan pewarisnya atau yang ahli di bidangnya, sekaligus mendapatkan informasi secara otentik. Melalui penggunaan model ini pula peserta didik memiliki pemahaman budaya yang orisinal dari pewarisnya. Dimungkinkan akan lahir keakraban, kejujuran, keyakinan, dan nilai-nilai positif lainnya.

3) Pemeranan Peserta Didik Pelibatan peserta didik dalam aktivitas belajar akan meningkatkan rasa percaya diri mereka. Pelibatan ini merupakan bentuk apresiasi seorang guru terhadap kompetensi yang dimiliki masing-masing peserta didik. Pemeranan peserta didik merupakan salah satu pelibatan mereka dalam proses belajar menagajar. Hal itu dapat dilakukan dengan diawali pemberian tugas pada peserta didik untuk memodifikasi naskah dongeng yang dibaca atau disimak menjadi skenario cerita atau naskah drama (fragmen). Aktivitas ini dilakukan berkelompok. Karena itu, strategi pembelajaran kooperatif akan terimplementasi di dalam pemeranan peserta didik tersebut. Hasil modifikasi naskah dongeng, kemudian dapat digunakan untuk bermain peran. Masingmasing anggota kelompok mengambil peran memposisikan diri sesuai dengan peran tokoh yang ada dalam naskah. Lantas, masing-masing kelompok bermain peran di depan kelompok yang lain. Dapat dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas. Di sisi lain, pemeranan dapat dilakukan secara individual. Berdasarkan naskah dongeng yang dibaca atau dongeng yang disimak, peserta didik diminta meceritakan kembali atau mendongeng di depan peserta didik yang lain. Pemahaman terhadap naskah pada aktivitas ini harus mendalam, kendati kelemahan yang paling tampak adalah keterbatasan waktu. Tidak mungkin seluruh peserta didik dapat ditampilkan dan diberi kesempatan. Karena itu, butuh waktu yang cukup luas dan panjang untuk mengoptimalkan peran peserta didik dalam prose belajar mengajar tersebut. Membelajarkan dongeng melalui pendekatan kontekstual di dalam kajian ini sangat dimungkinkan melahirkan dan meningkatkan kemampuan apresiasi siswa terhadap karya-karya sastra yang lain. Ketertarikan siswa terhadap dongeng merupakan awal untuk melahirkan minat baca siswa terhadap karya-karya sastra . Jika kegiatan tersebut dapat dioptimalkan, maka akan lahir dan mengkonstruksi sebuah nilai. Entah, nilai cinta kasih, nilai kebersamaan, nilai kekeluargaan, nilai sosial, dan nilai-nilai yang lain. Dengan demikian, bersumber pada model pembelajaran kontekstual, lahirnya nilai dalam pembelajaran dongeng menekankan pada terbentuknya perilaku siswa yang berbudaya yang relevan dengan warisan budaya leluhur. Dengan model pembelajaran ini diyakini mampu membentuk keperibadian yang kuat dan ideal serta melahirkan budi pekerti yang agung. PENUTUP Rasanya tidak mungkin kita terus-menerus dalam kegamangan di dalam kondisi yang dianggap telah mapan. Biasanya kemapanan inilah yang kadangkala membuat para pendidik kita enggan melakukan perubahan. Tetapi ini harus kita mulai. Dongeng tentang leluhur kita telah bertebaran di mana-mana, nilai yang dikandungnyapun amat tinggi. Kita bahkan tidak mengerti dan tidak paham bahwa aktivitas leluhur kita selalu mengedepankan sisi kreativitas kemanusiaan (humanisme). Sementara dalam era sekarang kita cenderung mendekonstruksi nilai-nilai agung tersebut. Tentu generasi kita tidak boleh dibiarkan menghancurkan. Saatnya kita melakukan sesuatu untuk mempertahankannnya. Yang paling efektif bagaimana mengoptimalkan peran pendidikan dengan segala bentuk atau model pembelajarannya. Pendekatan kontekstual merupakan alternatif pembelajaran yang berbasis pada kompetensi dan konteks peserta didik yang akan mendekatkan diri siswa dengan lingkungannya dan nilai-nilai budaya yang dimiliki. Dengan upaya tersebut, apresiasi peserta didik terhadap dongeng, khususnya terhadap karya sastra akan lebih meningkat dan bermakna.

DAFTAR PUSTAKA Ardiana, Leo Idra. 2001. Perangkat Pembelajaran Kontekstual Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas I Sekolah Lanjutan Tingkatan Pertama Rencana Pembelajaran: Laporan Penelitian. Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya. Blanchard, Allan. 2001. Contextual Teaching and Learning, B.ES.T. Bunanta, Murti. 1998. Problematika Penulisan Cerita Rakyat. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas. 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Buku 5 Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas. DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2002. Quantum Learning. Bandung: Kaifa. Endraswara, Suwardi. 2003. Membaca, Menulis, Mengajarkan Sastra: Sastra Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: Kota Kembang. Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc. Nurhadi. 1987. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung-Malang: Sinar Baru-YA3. Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: UM Press. Nur, Mohamad. 2001. Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual. Makalah Tidak Dipublikasikan. Rosidi, Ajip. 1983. Pembinaan Minat Baca, Bahasa dan Sastera. Surabaya: Bina Ilmu Sarumpaet, Riris K. 1976. Bacaan Anak-anak. Jakarta: Pustaka Jaya. Suharianto, S. 1994. Metode Pengajaran Sastra: Selayang Pandang, dalam Pengajaran Sastra. Jabrohim (Ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar-FPBS IKIP Muhammadiyah Yogyakarta. Suyatno. 2005. Metode Kontekstual sebagai Alternatif Pemecahan Problematika Pembelajaran Sastra. Makalah Tidak Dipublikasikan. Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Tentang Penulis RUSLIY, lahir di Pulau Masalembu 10 Agustus 1971. Saat ini tercatat sebagai staf pengajar dan Pembantu Ketua Bidang Akademik STKIP PGRI Sumenep. Akhir-akhir ini lebih menekuni bidang penelitian kebahasaan dan kesasatraan, folklore serta kependidikan. Beberapa penelitian yang dilaksanakan secara kolaboratif adalah Pemetaan bahasa Madura, Karakteristik Cerita Rakyat Jawa Timur (sebagai pengolah data), Potret Perempuan Pengarang dalam Karya Sastra Indonesia Mutakhir, Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi di Sumenep, Model

Pemberdayaan Masyarakat Sumenep dalam Otonomi Pendidikan (dalam proses penyelesaian). Satu-satunya karya yang pernah diterbitkan adalah kumpulan puisi dalam antologi bersama Kampung Indonesia Pasca Kerusuhan (maaf tidak terbit lagi). Pria yang punya cita-cita hanya kawin satu kali ini juga sedang menempuh pendidikan Program Pascasarja (S2) di Unesa Surabaya (proses penyelesaian tesis). Penelitian yang sedang dipersiapkan untuk tesis adalah Peningkatan Apresiasi Dongeng Melalui Pendekatan Kontekstual.

NILAI-NILAI MORAL DALAM LEGENDA ASAL MULA BANYUWANGI KARYA TIRA IKRANEGARA Apresiasi Cerita Rakyat oleh : Sugeng Rianto BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Cerita rakyat Nusantara adalah hasil budaya bangsa yang tak ternilai harganya. Di dalamnya terkandung suri teladan, nilai falsafah, nilai pendidikan, nilai moral, nilai etika, dan masih banyak lagi hal-hal positif yang amat penting ditanamkan ke dalam jiwa anak semenjak usia dini. Salah satu bentuk dongeng yang amat digemari anak adalah dongeng yang diangkat dari cerita rakyat. Cerita rakyat yang disampaikan kepada anak-anak dalam bentuk mendongeng, biasanya berupa cerita pilihan yang amat berguna bagi pembentukan budi pekerti anak serta mampu menimbulkan motivasi bagi anak untuk belajar tentang makna kehidupan. Melalui dongeng yang diangkat dari cerita rakyat, anak belajar tentang makna suatu pengabdian, pengorbanan, kesetiaan, perjuangan, kepahlawanan; anak bisa belajar membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk/jahat, sifat jujur dan bohong, watak setia dan khianat, semangat yang gigih/ulet dan yang malas, pribadi yang pandai dan yang bodoh/pandir, yang berbakti dan yang durhaka, pemimpin yang adil bijaksana dan yang pemimpin yang tamak; anak diajarkan tentang rasa setia kawan, yang pada gilirannya akan menumbuhkan rasa saling menghormati, dan rasa saling menghormati itulah yang nantinya menjadi bekal untuk bersatu padu dalam ikatan kebangsaan yang kuat yaitu sebagai bangsa Indonesia. Nusantara yang kaya raya akan budaya, banyak menyimpan ribuan cerita rakyat yang menarik untuk diketahui, diajarkan, dan diteladani. Kesemuanya terhampar bak ratna mutu manikam yang menjadi aset kebanggaan setiap daerah di Indonesia. Wujud kekayaan bangsa Indonesia semenjak dahulu kala di antaranya adalah dongeng yang tumbuh berkembang sebagai cerita rakyat, yang pada awalnya sebagai sastra tutur/lisan dan mengangkat idiom budaya daerah, kekayaan budaya Indonesia. Seiring perkembangan teknologi yang semakin canggih di era globalisasi dewasa ini, banyak orang tua yang karena kesibukannya tidak sempat mendongengkan cerita kepada putra-putrinya. Nilai-nilai warisan leluhur sebagai kebanggaan budaya yang adiluhung milik bangsa Indonesia dikhawatirkan akan semakin tergeser oleh budaya mancanegara yang kini kian merebak digemari oleh hampir mayoritas anak-anak Indonesia. Anak-anak lebih menggemari dongeng dan cerita fantasi seperti Putri Cinderella, Putri Salju, Pinokio, Spiderman, Mickey Mouse, Popeye, Sin Chan dan lain-lain yang kesemuanya berasal dari impor, daripada legenda seperti Joko Tarub, Ande-Ande Lumut, Hikayat Si Kancil, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, dan sebagainya. Ketertinggalan kita dalam cara pengemasan produk budaya seperti film animasi (film kartun) dan film fantasi lainnya untuk mengangkat harkat budaya milik bangsa sendiri, hendaknya tidak menyurutkan langkah kita untuk tetap melestarikan sastra lisan yang berupa mendongeng. Terpanggil oleh adanya fenomena budaya seperti tersebut di atas, peneliti bertekad mengangkat topik penelitian yang mengambil judul Nilai-nilai Moral Dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi KaryaTira Ikranegara. 1.2 Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah Mengingat luasnya masalah yang bisa dikaji dalam penelitian tentang karya sastra lama yakni dongeng yang berupa legenda, maka penulis membatasi pada permasalahan sebagai berikut: (1) Kejujuran antar manusia, (2) Kebersatuan dalam hidup, (3) Kesetiaan dan cinta kasih. 1.2.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah, rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi : (1) Bagaimanakah bentuk kejujuran antar manusia dalam legenda Asal Mula Banyuwangi dari Jawa Timur ini? (2) Bagaimanakah bentuk kebersatuan hidup dalam legenda Asal Mula Banyuwangi dari Jawa Timur ini?

(3) Bagaimanakah bentuk kesetiaan dan cinta kasih dalam legenda Asal Mula Banyuwangi dari Jawa Timur ini? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara objektif tentang nilai-nilai moral dalam dongeng yang berupa legenda Asal Mula Banyuwangi susunan Tira Ikranegara. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah deskripsi secara objektif tentang nilai-nilai moral dalam legenda Asal Mula Banyuwangi, yang meliputi: (1) Kejujuran antar manusia yang terdapat dalam legenda Asal Mula Banyuwangi dari Jawa Timur karya Tira Ikranegara. (2) Kebersatuan dalam hidup yang terdapat dalam legenda Asal Mula Banyuwangi dari Jawa Timur karya Tira Ikranegara. (3) Kesetiaan dan cinta kasih yang terdapat dalam legenda Asal Mula Banyuwangi dari Jawa Timur karya Tira Ikranegara. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti a) Sebagai bekal pengalaman di bidang penelitian yang berhubungan dengan analisis nilai-nilai moral dalam legenda. b) Mengetahui gambaran secara obyektif tentang nilai-nilai moral yang terkandung dalam legenda Asal Mula Banyuwangi susunanTira Ikranegara. 2. Bagi Penelitian Selanjutnya a) Sebagai dasar penelitian lebih lanjut di masa mendatang. b) Sebagai bahan yang perlu dikaji kebenarannya tentang teori yang disusun oleh peneliti agar sesuai dengan hasil penelitian yang diharapkan. 3. Bagi Pengajaran Bahasa Indonesia Dengan hasil penelitian ini agar dapat meningkatkan kemampuan apresiasi siswa dalam menganalisis nilainilai moral dalam suatu karya sastra lama yaitu dongeng yang berupa legenda. 1.6 Asumsi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan bertolak dari asumsi sebagai berikut: (1) Karya sastra termasuk prosa lama berupa dongeng dalam bentuk legenda merupakan sarana yang berfungsi menanamkan nilai-nilai kehidupan manusia termasuk nilai-nilai moral. (2) Nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra termasuk sebagai konsumsi cerita anak-anak, oleh pengarang dilakukan dengan cara langsung berupa ajaran yang secara implisit dapat dipahami berdasarkan sikap hidup pikiran dan perasaan tokoh baik dalam bentuk monolog, dialog, maupun deskripsi peristiwa dalam cerita. 1.7 Penegasan Istilah Beberapa istilah ditegaskan dalam penelitian ini dengan maksud agar diperoleh kesamaan persepsi terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam judul penelitian. (1) Nilai, adalah sesuatu penghargaan atas kualitas terhadap sesuatu yang dapat dijadikan penentu seseorang dalam bertingkah laku. Nilai ini bersifat abstrak. (2) Nilai moral, adalah suatu nilai yang mendasari ajaran tentang baik buruk yang diterima umum berkaitan dengan perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, akhlak, susila, adat dalam pengembangan hidup dengan cara dan tujuan yang benar. (3) Legenda adalah jenis dongeng yang isinya berhubungan dengan kejadian-kejadian alam atau terjadi di suatu tempat, dengan dibumbui khayalan, tetapi dibuat seakan-akan benar-benar terjadi. (4) Cerita adalah tuturan baik lisan atau tulisan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu peristiwa. (5) Mendeskripsikan adalah memaparkan atau menggambarkan secara verbal dengan uraian yang jelas dan objektif. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dongeng Dongeng adalah cerita yang bersifat khayal (Depdiknas, 2005: 30). Dongeng menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) (Badudu, 1996:355) adalah cerita yang dikarang-karang saja karena banyak hal di dalamnya yang tidak masuk akal atau tudak dapat ditemukan dalam kenyataan hidup sehari-hari misal orang yang bisa terbang, dapat menghilang, dapatmenjelma ke dalam tubuh yang lain, binatang yang dapat berkatakata. Mendongeng merupakan kegiatan menceritakan atau menuturkan dongeng, yaitu menceritakan dongeng secara lisan, baik berdasarkan teks dongeng atau tidak. (Depdiknas, 2005: 29) 2.2 Macam-macam Dongeng Dongeng menurut sejarah asal muasal cerita dalam sastra Indonesia meliputi beberapa jenis (Effendy, 1984:51-54) antara lain : 1. Mite, menurut pengertian Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu, 1996:903) adalah hikayat tentang dewa-dewa seperti Hikayat Mahabharata, Hikayat Sang Boma. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1995:660) adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib,

dan umumnya ditokohi oleh dewa. Mite merupakan dongeng yang isinya berhubungan dengan kehidupan dewa-dewi, roh halus, dan sebagainya yang timbulnya berkaitan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme di kalangan masyarakat lama. Contoh : Cerita tentang Nyi Roro Kidul, Harimau Jadi-jadian, dan sebagainya. 2. Legenda, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu, 1996:788) adalah cerita atau dongeng yang dengan dicari-cari dihubungkan dengan kenyataan di alam; misal Gunung Tangkubanperahu (dihubungkan dengan dongeng Sangkuriang dan Dayang Sumbi). Contoh lain misalnya : Asal-muasal Surabaya, Asal Usul Danau Toba, dan lain-lain. Legenda termasuk jenis dongeng yang isinya berhubungan dengan kejadian-kejadian alam atau terjadi di suatu tempat, dengan dibumbui khayalan, tetapi dibuat seakan-akan benar-benar terjadi. Misalnya : Malin Kundang, Batu Menangis, Tangkuban Perahu, Asal Mula Surabaya, dan sebagainya. 3. Fabel, menurut pengertian Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu, 1996:402) adalah cerita yang tokohtokoh pelakunya adalah binatang yang berpikir dan bertindak sebagaimana manusia dan menggambarkan watak serta budi manusia. Fabel merupakan bentuk dongeng yang isinya berhubungan dengan dunia binatang. Kehidupan binatang diceritakan bisa berbicara, berbuat, dan bertingkah laku seperti manusia. Isi fabel pada umumnya bersifat didaktis, karena memberi pelajaran moral dan nilai kesusilaan serta perilaku yang baik kepada manusia. Termasuk dalam fabel adalah cerita si Kancil (di Indonesia), Serigala (di Belanda), Kelinci (di Campa). Oleh sebab itu, fabel merupakan dongeng yang universal. 4. Sage, adalah dongeng yang isinya mempunyai unsur sejarah. Tokoh-tokoh ceritanya pernah disebut-sebut dalam sejarah, namun unsur khayalnya lebih ditonjolkan daripada kenyataannya. Contoh : Joko Tingkir, Ciung Wanara, Hang Tuah, dan sebagainya. 4. Parabel atau Cerita Ibarat adalah dongeng yang isinya bersifat mendidik, diceritakan tokoh-tokohnya yang pantas diteladani maupun tokoh-tokoh yang tidak boleh ditiru. Cerita disusun untuk menyampaikan ajaran agama, menanamkan nilai moral dan kebenaran. Contoh : Cerita Damarwulan, Cerita Malin Kundang, Sangkuriang, induk Padi, dan sebagainya. 2.3 Pengertian Prosa Fiksi Prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3) media penyampai isi berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen fiksional sehingga menjadi suatu wacana. Pengarang dalam memaparkan isi karya fiksi bisa lewat (1) penjelasan atau komentar, (2) dialog maupun monolog, dan (3) lakuan atau action (Aminuddin, 2004:66). 2.4 Apresiasi Karya Sastra Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti mengindahkan atau menghargai. S. Effendi dalam (Aminuddin, 2004:35) mengungkapkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Boulton (dalam Aminuddin, 2004:37) beranggapan bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberi kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai macam problema kehidupan ini. Aminuddin (2004:38) lebih menegaskan bahwa cipta sastra sebenarnya mengandung berbagai macam unsur yang sangat kompleks, yaitu (1) unsur keindahan; (2) unsur kontemplatif hasil perenungan terhadap nilai-nilai keagamaan, filsafat, politik, dan berbagai macam kompleksitas kehidupan; (3) media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana; serta (4) unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan karakteristik cipta sastra sebagai suatu teks. Bekal awal yang harus dimiliki seorang calon apresiator adalah (1) kepekaan emosi sehingga mampu memahami unsur-unsur keindahan di dalam cipta sastra, (2) wawasan pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman atas kehidupan dan kemanusiaan, (3) pemahaman aspek kebahasaan, dan (4) kepekaan terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang berhubungan dengan telaah teori sastra (Aminuddin, 2004:38). 2.5 Fungsi Dongeng Bagi Anak-anak Manfaat dongeng adalah memberi hiburan, mengajarkan kebenaran, dan memberikan keteladanan (Depdiknas, 2005: 31). Hibana S. Rakhman dalam bukunya Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, dalam (Depdiknas, 2005: 31) menyebutkan manfaat dongeng bagi anak adalah (1) mengembangkan fantasi, (2) mengasah kecerdasan emosional, (3) menumbuhkan minat baca, (4) membangun kedekatan dan keharmonisan, dan (5) menjadi media pembelajaran. 2.6 Pengertian Nilai Nilai merupakan realitas abstrak. Nilai, bisa kita rasakan dalam diri kita masing-masing sebagai daya pendorong dan sebagai prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup. Sehingga nilai menduduki tempat terpenting dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu tingkat demi menjunjung tinggi suatu nilai yang diyakini, sementara orang lebih siap mengorbankan hidupnya daripada harus mengorbankan nilai, Ambroise (dalam Kaswardi, 1993:17). 2.6.1 Nilai Moral dalam Kehidupan Sosial Manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dalam menjalani kehidupan ini tentu membutuhkan suatu tuntunan atau pegangan hidup agar selamat dan tidak tersesat. Manusia sebagai makhluk bermoral dan berbudaya, untuk memperoleh nilai-nilai moral bisa didapatkan dari ajaran agama, pendidikan, dan lingkungan baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial. Nilai moral berhubungan dengan perilaku (akhlak)

manusia kepada Tuhan dalam konteks bahawa manusia sebagai insan makhluk Tuhan, dan tingkah laku manusia dalam interaksi sosial dalam kerangka bahwa manusia sebagai makhluk sosial. Nilai-nilai moral menjadi dasar yang menuntun tujuan dan tingkah laku dalam kehidupan sosial. Dalam berinteraksi sosial, manusia dituntut harus memenuhi segala kebutuhan hidup dengan cara yang benar serta untuk tujuan yang benar pula. Nilai-nilai dalam kehidupan moral manusia bisa mencakup: (1) kejujuran antar manusia, Simorangkir, Fachruddin, dan Mulder (dalam Surtijah, 2006:14-15); (2) kebersatuan dalam hidup, Mulder dan Magnis Suseno (dalam Surtijah, 2006:15-16); (3) kesetiaan dan cinta kasih Mulder (dalam Surtijah, 2006:16), (4) Kebenaran akhirnya akan mencuat; dan (5) ketabahan berbuah kebajikan, Poedjawiyatna (dalam Susrtijah, 2006:17). 2.6.2 Peranan Guru Dalam Pembentukan Sikap Siswa Penanaman nilai-nilai moral di sekolah dipengaruhi oleh sikap dan tindakan guru terhadap murid atau sebaliknya. Peranan guru di sekolah sebagai figur dalam kedudukannya sebagai orang dewasa, sebagai pengajar dan pendidik harus bisa menunjukkan perilaku yang layak sesuai harapan masyarakat. Bila murid diharapkan menghormati sesamanya, maka guru harus memberi contoh dengan menghargai murid sebagai pribadi yang utuh. Guru harus menempatkan posisi murid bukan sebagai obyek semata-mata yang harus selalu bersikap diam dan taat, melainkan sebagai pribadi yang memiliki hak dan nilai sama seperti guru, Gauthy (dalam Kaswardi, 1993:116). Mengacu pada teori Piaget tentang kemandirian merupakan tujuan pendidikan, Constance Kamii (dalam Kaswardi, 1993:56-58) membagi dalam tiga bagian meliputi: (1) kemandirian moral, (2) kemandirian intelektual, dan (3) kemandirian dalam mencapai tujuan pendidikan. Dalam konteks kemandirian moral, mandiri diartikan sebagai diperintah oleh dirinya sendiri, yang oleh Piaget (1948) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa semakin seseorang mampu memerintah dirinya sendiri, semakin ia kurang diperintah oleh orang lain. Hakekat kemandirian adalah kemampuan anak membuat keputusan bagi diri sendiri. Tetapi kemandirian tidak identik dengan kebebasan mutlak. Kemandirian berarti memperhitungkan semua faktor yang relevan dalam enentukan arah tindakan yang terbaik bagi semua yang berkepentingan, demikian teori Piaget yang disunting Kamii (dalam Kaswardi, 1993:59-60). 2.7 Pendidikan Nilai dan Sastra Jakob Sumardjo (dalam Kaswardi, 1993:147-153) menekankan pentingnya penanaman nilai dalam dunia pendidikan melalui membaca karya sastra, karena sebuah karya sastra juga berfungsi mendayagunakan nilai. Muatan nilai-nilai yang dikandung dalam sastra, kadang ada karya sastra yang mempertegas nilai-nilai yang umum dianut oleh masyarakat zamannya. Karya demikian bersifat didaktik. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian Dalam suatu penelitian ilmiah, metodologi menempati peranan yang sangat penting sesuai dengan obyek penelitian. Yang dimaksudkan dengan metodologi di sini adalah kerangka teoritis yang dipergunakan oleh penulis untuk menganalisa, mengerjakan, atau mengatasi masalah yang dihadapi itu. Kerangka teoritis atau kerangka ilmiah merupakan metode-metode ilmiah yang akan diterapkan dalam pelaksanaan tugas itu (Keraf, 2001:310). 3.2 Metode Penelitian Metode penelitian (research methods) adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti dalam merancang, melaksanakan, mengolah data, dan menarik kesimpulan berkenaan dengan masalah penelitian tertentu (Sukmadinata, 2006:317). Penelitian ini berjudul Nilai-nilai Moral dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara. Pendekatan yang digunakan melalui metode deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena-fenomena, peristiwa, aktivitas sosial secara alamiah (Sukmadinata, 2006:319). Penggunaan metode ini bertujuan untuk menggambarkan peristiwa secara objektif dengan cara mengungkapkan nilai-nilai moral yang dipaparkan secara monolog, dialog, dan narasi tokoh cerita dalam dongeng yang berbentuk legenda Asal Mula Banyuwangi susunan Tira Ikranegara. 3.3 Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, karena seluruh kegiatan yang dilakukan dan hasil yang diharapkan dari penelitian ini didasarkan pada paradigma penelitian kualitatif. Freeman dan Long (dalam Surtijah, 2006:19) mengemukakan paradigma yang dimaksud di antaranya: (1) berorientesi pada proses, (2) datanya berupa verbal/paparan bahasa, (3) hasil temuan tidak untuk digeneralisasikan sehingga tidak bisa diberlakukan untuk karya orang lain, (4) peneliti memiliki peran sebagai instrumen utama, sehingga hasil penelitian sangat ditentukan oleh kedalaman pengetahuan dan pengalaman peneliti. Penelitian ini mengkaji nilai moral dalam dongeng yang menyangkut pemikiran serta nilai normatif yang berhubungan dengan hidup manusia sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan, maka pendekatan yang dipakai adalah pendekatan moral. 3.4 Sumber Data Sumber data penelitian ini adalah legenda Asal Mula Banyuwangi. Sumber data penelitian merupakan suatu

teks atau wacana sastra yang memiliki berbagai unit tekstual. Unit-init tekstual yang dimaksud adalah bagian terkecil dari keseluruhan isi cerita yang diambil sebagai korpus data yang diteliti. Pertimbangan ditulisnya legenda Asal Mula Banyuwangi, karena cerita tersebut mengandung nilai-nilai yang berguna bagi anak-anak. Dengan demikian sebagai karya sastra, maka eksistensi cerita rakyat karya 3.5 Obyek Penelitian Obyek penelitian ini diambil dari legenda berjudul Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara terbit tahun 2005. Berbentuk tekstual yang berisi tentang nilai-nilai moral yang diambil secara langsung dari karya sastra tersebut. Kutipan tekstual selanjutnya dianalisis nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Adapun nilainilai moral yang dijadikan obyek penelitian ini antara lain : (1) kejujuran sesama manusia, (2) kebersatuan dalam hidup, dan (3) kesetiaan dan cinta kasih. 3.6 Teknik Penelitian 3.6.1 Teknik Pengumpulan data Teknik yang digunakan untuk pengeumpulan data adalah menggunakan teknik tekstual, yaitu analisis atau telaah terhadap teks dan penafsirannya, yang diambil dalam bentuk korpus data disebut juga observasi tidak langsung. Peneliti tidak turun lapangan, tetapi memanfaatkan dokumen tertulis. Legenda Asal Mula Banyuwangi yang dikaji dalam penelitian ini merupakan obyek, yang berupa karya sastra. Langkah-langkah operasionalnya adalah sebagai berikut (1) membaca karya sastra; (2) mengklasifikasikan nilai-nilai moral yang terdapat dalam cerita tersebut. 3.6.2 Teknik Analisis Data Analisis data menurut Patton (dalam Surtijah, 2006:22) adalah mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola katagori dan satuan uraian sehingga ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh data. Pendekatan yang digunakan adalah melalui kajian nilai moral sehingga lebih banyak mengandalkan interpretasi atau penafsiran dari paparan data penelitian. Dalam menganalisis data penelitian, peneliti menggunakan skenario berupa tahapan teknik analisis data meliputi: (1) mengumpulkan data-data yang mengandung nilai-nilai moral; (2) mengklasifikasikan data dengan memilah-milah sesuai kriteria; (3) menginterpretasikan data, yaitu data dikelompokkan dengan memberi penafsiran yang sesuai dengan permasalahan penelitian; (4) pengkatagorian data, melalui telaah ulang paparan cerita secara intensif dan observatif agar diperoleh gambaran yang utuh; dan (5) mendeskripsikan hasil analisis secara verbal sebagai suatu hasil analisis. 3.6.3 Kehadiran Peneliti Peneliti sebagai instrumen utama menggunakan spesifikasi data (kisi-kisi instrumen) dalam mengambil dan mengolah data seperti yang disusun berikut ini. Tabel 3.1 Spesifikasi Data Nomor Variabel yang diteliti Indikator Kriteria 1. Nilai-nilai Moral a. Kejujuran sesama manusia b. Kebersatuan dalam hidup c. Kesetiaan dan cinta kasih a.a Menghormati orang lain a.bTidak mementingkan diri sendiri a.c Bekerja sama b.a Saling menerima b.b Mengatasi perbedaan sehingga tercipta kehidupan harmonis b.c Sadar dan bersedia meringankan beban orang lain c.a Rela berkorban c.b Suka menolong 3.5 Prosedur Penelitian 3.5.1 Tahap Persiapan (a) Penyusunan rancangan penelitian Dimulai dari merumuskan tujuan penelitian, merumuskan gambaran operasional kerja secara sistematis, membuat desain dengan membuat pedoman kerja hingga menemukan kemantapan desain penelitian. (b) Studi Pustaka Dilakukan untuk memperoleh landasan yeng relevan dengan penelitian. 3.5.2 Tahap Pelaksanaan Dilakukan dengan beberapa tahapan, meliputi:

(a) Pengumpulan Data, yaitu mengumpulkan seluruh data dalam dongeng berupa legenda Asal Mula Banyuwangi, dengan cara: (1) kodifikasi korpus data dan deskripsi data, (2) interpretasi data, (3) rekapitulasi temuan, dan (4) deskripsi kualitatif temuan. (b) Analisis Data, dengan menganalisis tokoh berdasarkan tahapan kerja : (1) mengklasifikasi data, dan (2) mendeskripsikan secara kualitatif temuan dalam legenda Asal Mula Banyuwangi susunan Tira Ikranegara. 3.5.3 Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian ini merupakan tahap akhir setelah penelitian selesai dilaksanakan. Tahap penyelesaian ini meliputi beberapa kegiatan yaitu : (a) penyusunan dan penulisan laporan, (b) mengkonsultasikan laporan kepada dosen pembimbing, (c) pengetikan laporan setelah dilakukan revisi, (d) penggandaan laporan kemudian diajukan kepada tim dosen penguji. BAB IV DESKRIPSI HASIL ANALISIS 4.1 Pengantar Sebagaimana yang menjadi tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terdapat dalam dongeng berupa legenda Asal Mula Banyuwangi, maka pada bab IV ini dikemukakan hasil analisis data penelitian yang merupakan jawaban dari rumusan permasalahan penelitian ini. berkaitan dengan hal tersebut, ada tiga hal yang dideskripsikan dalam bab ini, yaitu (1) Kejujuran antar manusia yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara, (2) Kebersatuan dalam hidup yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara, dan (3) Kesetiaan dan cinta kasih yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara. Ketiga hal tersebut akan dideskripsikan, namun sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu ringkasan cerita (Sinopsis) legenda Asal Mula Banyuwangi sebagaimana yang berikut ini. 4.2 Ringkasan Cerita Legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara Legenda Asal Mula Banyuwangi tidak terlepas dari latar historis yaitu tentang sejarah kekuasaan kerajaan Blambangan yang menggulingkan kerajaan Klungkung di pulau Dewata, Bali, dalam rangka ekspansi (memperluas) wilayah kekuasaan kerajaan Blambangan di bawah pimpinan Prabu Menak Prakosa, yang konon masih keturunan dari Prabu Menak Jingga. Dewi Supraba dan kakandanya yaitu Raden Bagus Tantra adalah dua putra-putri Baginda Raja Klungkung, bersama senopati Cokorde Rai diperintahkan oleh baginda raja agar segera meninggalkan istana, menyingkir bersembunyi, menjelang kedatangan serangan dari kerajaan Blambangan. Syahdan, kerajaan Klungkung bisa digulingkan oleh pasukan di bawah pimpinan langsung Prabu Menak Prakosa yang berhasil menewaskan Baginda Raja Klungkung. Klungkung dikuasai Blambangan dan dijadikan kadipaten di bawah pimpinan panglima perang Rogojampi yang diangkat oleh Prabu Menak Prakosa sebagai Adipati Klungkung, karena jasanya membantu upaya penaklukan tersebut. Adipati Rogojampi segera memerintahkan anak buahnya mencari keberadaan keturunan raja Klungkung yaitu Dewi Supraba dan Raden Bagus Tantra ke seluruh pelosok pulau Bali agar menyerahkan diri, dengan menjanjikan bahwa Dewi Supraba akan dipersitri serta akan dijadikan garwa permaisuri kadipaten dan kakandanya akan diangkat sebagai patih di kadipaten Klungkung. Namun upaya ini tidak pernah berhasil karena kedua pelarian ini bagaikan lenyap di telan bumi pulau Dewata. Raden Banterang adalah putra mahkota kerajaan Blambangan. Ia memiliki perangai buruk yaitu suka mentang-mentang sebagai putra mahkota, suka menghukum dengan semena-mena orang yang berbuat salah, dan suka mengambil keputusan tergesa-gesa tanpa pertimbangan yang masak. Termasuk pengambilan keputusan untuk memperistri Dewi Surati yang sebenarnya adalah Dewi Supraba yang menyamar menjadi gadis desa biasa saat pelarian oleh kejaran pasukan Blambangan, dan hendak diperkosa oleh dua orang perampok di tepian sebuah sungai. Beruntung Dewi Surati tergolong wanita yang tahu membalas budi dan tidak memiliki sifat pendendam. Meskipun terhadap suaminya sendiri, yaitu putra musuh Ramandanya yaitu Raden Banterang, Dewi Surati tetap setia karena merasa telah ditolong oleh Raden Banterang, dan masalah dendam itu urusan lain dan ia tidak memiliki sifat pendendam itu, karena saat penyerbuan ke kerajaan ayahandanya yaitu kerajaan Klungkung, Raden Banterang tidak ikut serta. Awal menikmati masa pernikahan mereka, Dewi Surati diperlakukan istimewa dan mendapat perhatian yang lebih dari istana. Namun setelah sekian tahun belum memberi keturunan, hanya Prabu Menak Prakosa yang masih tetap menyayanginya. Ibunda permaisuri tidak demikian, termasuk suaminya sendiri yang justru sering meninggalkannya dengan berburu dan berguru ilmu kanoragan dan ilmu kesaktian. Hingga suatu ketika, saat Dewi Surati sendirian, ia kedatangan kakaknya yaitu Bagus Tantra yang datang dengan menyamar menjadi pengemis. Kedatangan Bagus Tantra tidak lain adalah menghasut Dewi Surati agar bersedia membuat kekacauan dengan membunuh suaminya, Raden Banterang, bahkan mertuanya sendiri yaitu Prabu Menak Prakosa dengan tujuan merebut kekuasaan kembali kerajaan Klungkung dengan cara subversi sekaligus suksesi di pusat pemerintahan, yakni kerajaan Blambangan. Hal ini ditolak oleh Dewi Surati, karena ia menyadari bahwa dirinya sudah ditolong saat hidupnya terlunta-lunta. Dengan keris pusaka peninggalan mendiang Ramandanya yaitu Baginda Raja Klungkung yang diletakkan di bawah bantal tempat tidur Dewi Surati, adiknya sendiri, Bagus Tantra yang masih dalam penyamarannya, berganti menghasut Raden Banterang dengan membuka rahasia jati diri adiknya bahkan mengatakan jika Dewi Surati berencana membunuh Raden Banterang, juga Prabu Menak Prakosa akan dibunuhnya pula.

Keris pusaka kerajaan Klungkung yang dipersiapkan di bawah bantal tempat tidurnya sebagai bukti jika Raden Banterang tidak percaya. Raden Banterang yang memang berperangai buruk suka gegabah dalam mengambil keputusan, segera termakan hasutan si pengemis. Sepulangnya dari berburu, ia langsung menghardik dan menuduh istrinya. Dewi Surati kendatipun sudah berusaha meyakinkan dengan bersumpah masih tetap setia kepada suaminya, Raden Banterang, dan tidak sedikitpun terbersit keinginan berkhianat apalagi membalas dendam, namun Raden Banterang sudah tertutup mata hatinya. Di tepi sungai yang dulu ia menolongnya, Raden Banterang membawa Dewi Surati sambil menunjukkan sebilah keris pusaka kerajaan Klungkung kepada Dewi Surati sembari minta kepastian siapa jati diri sebenarnya istrinya itu. Dewi Surati yang terbelalak tidak mengerti, segera menyadari jika kakaknya sendiri, Bagus Tantralah yang telah menghasut suaminya. Maka, saat suaminya minta bukti pengakuan dan kesetiaan darinya, ia menolak keris pusaka itu agar tidak terkotori oleh darahnya. Dewi Surati punya cara lain yaitu segera menceburkan diri ke dalam derasnya arus sungai, sembari sebelumnya berdoa kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan bersumpah kepada suaminya bahwa jika air sungai yang menelan dirinya nanti berbau wangi itu pertanda dirinya istri yang setia, tetapi jika sebaliknya berbau busuk pertanda dirinya istri yang salah dan khianat. Tiba-tiba, air sungai yang menelan lenyap tubuh Dewi Surati segera beraroma wangi sesaat setelah Dewi Surati menceburkan diri. Raden Banterang terkesiap seraya berteriak Banyuwangi. Setelah itu Raden Banterang menyadari dan menyesali diri, karena kecerobohannya sehingga istrinya yang setia dan tidak pernah berkhianat menjadi korban. Tempat dan sungai itulah, yang kelak dikemudian hari terkenal dengan sebutan kota Banyuwangi. 4.3 Deskripsi Kejujuran sesama manusia yang tercermin dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi Kejujuran bisa diartikan kesesuaian antara ucapan dan perbuatan atau tingkah laku seseorang. Orang akan menjadi bermartabat karena sikap kejujurannya, sebaliknya orang akan dilecehkan dan tak berharga karena ketidakjujurannya, baik di mata manusia apalagi di hadapan Tuhan. Bantuk kejujuran antarmanusia yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara, serta bukti temuan data tekstual dideskripsikan berikut ini. Dewi Surati adalah wanita yang memiliki sifat jujur dan setia kepada suami. Meskipun ia diperistri oleh Putra Mahkota dari kerajaan yang menumbangkan kekuasaan Ramandanya yaitu raja Klungkung, Dewi Surati tidak mau membalas dendam. Ia menilai bahwa suaminya tidak ikut dalam penyerbuan itu. Ia merasa harus membalas budi terhadap suaminya saat ia hidup terlunta-lunta dan nyaris diperkosa oleh dua perampok yang berhasil dibinasakan oleh Raden Banterang yang kini menjadi suaminya. Dewi Surati bersikeras tidak mau mengkhianati suaminya, meskipun musuh bebuyutan keluarganya, bahkan walaupun kerajaan ayahandanya digulingkan oleh pihak suaminya. Pertemuan dengan Kakandanya sendiri, Bagus Tantra yang menyamar menjadi pengemis dan menghasutnya agar membunuh suaminya, Dewi Surati tetap bersikap jujur tidak mau membunuh suaminya karena merasa bahwa kejujuran juga terkait dengan membalas budi kebaikan. Permasalahan musuh, Dewi Surati menganggap suaminya, Raden Banterang tidak ikut andil dalam eskpansi wilayah dengan penggulingan kekuasaan kerajaan Klungkung, kerajaan ayahandanya. Temuan data tekstual sebagaimana disalin berikut ini. Jangan berkata demikian Kakanda Bagus Tantra, aku masih tetap adikmu seperti dulu, sahut Dewi Surati yang tak lain adalah Dewi Supraba. Aku menyamar sebagai Dewi Surati untuk menghindari kejaran musuh! Ya, tapi akhirnya kau menjadi istri musuh kita!, potong Bagus Tantra dengan sengit. Suamiku tidak ikut dalam penyerbuan ke pulau Bali. Musuh kita hanya Prabu Menak Prakosa! Dewi Supraba membela diri. Sama saja! Suamimu toh putra Prabu Menak Prakosa! Berarti dia juga musuh kita! sahut Bagus Tantra. Aku dan paman Cokorde rai sedang menyusun kekuatan untuk merebut kembali kerajaan Klungkung. Tapi kau enak-enakan hidup bersama musuh. Kalau kau masih ingin kuakui sebagai adikku, kau harus mau membantuku! Kakanda, aku harus membantu apa? Kau harus membantu kekacauan di istana Blambangan. Kau bisa membunuh suamimu atau membunuh Prabu Menak Prakosa. Sehingga seluruh prajurit akan memusatkan perhatian ke istana. Adipati Ragajampi mungkin akan pulang ke Blambangan untuk berduka cita. Pada saat itulah aku dan Paman Cokorde rai akan bergerak merebut kekuasaan di Klungkung! Dewi Supraba ngeri sekali mendengar rencana kakaknya. Tanpa sadar dia berteriak, Tidaaak! Tidak mungkin aku dapat melakukannya. Aku telah ditolong suamiku ketika aku terlunta-lunta dan hendak diperkosa oleh dua orang perampok! (hal. 46) 4.4 Deskripsi Kebersatuan dalam hidup yang tercermin dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi Ada pepatah yang menjadi panutan banyak orang yang mengatakan bahwa : bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Agaknya pomeo semacam ini tertanam dengan baik dan menjadi esensi setiap petuah atau nasehat yang mungkin perlu diambil hikmahnya secara turun temurun bagi setiap generasi. Aspek kebersatuan dalam hidup juga tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi, yaitu ada beberapa temuan sebagai hasil analisis seperti dipaparkan berikut ini. 1. Setelah kerajaan Klungkung bisa ditaklukkan, Prabu Menak Prakosa memenuhi janjinya dengan mengangkat Ragajampi (senopati perangnya) sebagai Adipati Klungkung di bawah kekuasaan Blambangan. Adipati Ragajampi segera memboyong keluarganya ke Klungkung bahkan agar bisa merangkul masyarakat agar tidak mendendam serta bisa diajak bersatu, Adipati Ragajampi memerintahkan anak-anak dan istrinya untuk mempelajari adat-istiadat masyarakat Bali, baik menyangkut bahasa, seni tari maupun seni musiknya.

Bahkan untuk menunjukkan Itikad baiknya, pasukannya diperintahkan agar mencari Dewi Supraba dan Raden Bagus Tantra yaitu kedua putra kerajaan Klungkung yang melarikan diri bersama panglima Cokorde Rai saat penaklukan Klungkung. Kepada dewi Supraba dijanjikan akan diperistri, dan kepada Bagus Tantra hendak diangkat menjadi Patih Kadipaten Klungkung. (Simpulan analisis hal. 20) 2. Sepulang Raden Banterang dari usaha melacak Pendekar Tanpa Nama yang akhirnya bertemu, duel adu kesaktian sampai ia bisa dikalahkan sehingga kemudian ia mengakui sebagai semacam gurunya, di perjalanan pulang ke kerajaan Blambangan, Raden Banterang menolong Dewi Surati, yang notabene adalah Dewi Supraba yang dalam pelariannya menyamar sebagai gadis desa biasa. Ia ditolong saat hendak diperkosa oleh dua penjahat di sebuah sungai. Dua penjahat bisa dibinasakan, dan Dewi Surati selamat bahkan bersedia diajak menghadap ke Ramandanya yaitu Prabu Menak Prakosa untuk diperkenalkan sekaligus dimintakan restu sebagai istrinya. Hal ini sebagai bukti kebersatuan dalam hidup, yang bisa dilihat pada data tekstual berikut. Prabu Menak Prakosa dan permaisuri memang sudah lama ingin melihat putra satu-satunya berumah tangga, maka ketika Raden Banterang pulang dengan membawa seorang gadis cantik, sang Prabu langsung menyetujuinya. Demikianlah, akhirnya dilangsungkanlah pernikahan antara Raden Banterang dan Dewi Surati dengan upacara yang megah. (hal. 41) 4.5 Deskripsi Kesetiaan dan cinta kasih yang tercermin dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi Penjelasan tentang bentuk kesetiaan dan wujud cinta kasih yang terdapat dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara bisa dilihat pada diri tokoh utama dari cerita legenda ini yaitu Dewi Surati. Kesetiaan Dewi Surati terhadap suaminya yaitu Raden Banterang atas tuduhan suaminya bahwa ia dianggap akan berkhianat bahkan akan mengadakan makar dan akan membalas dendam dengan merencanakan pembunuhan terhadap Raden Banterang dengan bukti diketemukannya keris pusaka yang berciri khas sebagai pusaka kerajaan Klungkung yang berada di bawah bantal tempat tidur mereka berdua. Tuduhan ini dianggap menyakitkan dan perlu pembuktian, maka ketika dirinya diajak ke tepi sungai besar bertebing terjal oleh Raden Banterang, sungai tempatnya dahulu dirinya diselamatkan oleh suaminya tersebut, Dewi Surati membuktikan bahwa dirinya tidak berkhianat, tidak akan mengadakan makar, dan tidak akan membalas dendam meskipun sekitar dua minggu sebelumnya ia bertemu kakandanya yaitu Raden Bagus Tantra yang masih hidup dalam pelarian atau persembunyiannya dan menyamar sebagai pengemis serta menganjurkan kepada Dewi Surati agar membunuh suaminya, yang juga musuh bebuyutan mendiang ayahanda dan ibundanya. Kesetiaan dan cinta kasih kepada suaminya, ia buktikan dengan rela berkorban menceburkan diri ke dalam sungai, seraya sebelumnya bersumpah bahwa jika air sungai berbau wangi itu pertanda dirinya tidak seperti apa yang dituduhkan, dan jika sebaliknya maka dirinya seperti apa yang dituduhkan suaminya. Deskripsi data tekstual tentang hal ini bisa dilihat sebagai berikut. Kemudian Dewi Surati berkata kepada suaminya, Saksikanlah Kakanda saya akan mencebur ke sungai itu. Bila nanti sungai itu berbau wangi, itu tandanya saya istrimu yang setia. Tetapi bila berbau busuk itu tandanya saya istri yang bersalah dan berkhianat selamat tinggal Kakanda! (hal. 54) Ternyata kesetiaan dan cinta kasih Dewi Surati terhadap suaminya terbukti. Hal ini bisa dilihat pada data tekstual kelanjutannya. Byur! air bergolak ketika Dewi Surati menceburkan diri ke sungai. Tubuhnya tenggelam dan tak pernah muncul lagi. Raden Banterang terpaku berdiri di tempatnya. Sesaat kemudian tercium bau harum dari air sungai. Banyuwangi teriak Raden Banterang. Banyuwangi artinya air berbau harum sangat wangi. Kini tahulah Raden Banterang bahwa istrinya itu sesungguhnya tidak bersalah. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Raden Banterang menyesali kecerobohannya. Tapi seribu penyesalan tak akan pernah mengembalikan Dewi Surati yang cantik jelita, lemah lembut dan baik hati. Tempat kediaman itu kemudian dinamakan Banyuwangi. Di jaman modern ini kota Banyuwangi berkembang menjadi kota yang ramai. (hal. 54) BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Setelah menganalisis hasil penelitian, pada bab ini dipaparkan kesimpulan pembahasan tentang nilai-nilai moral yang tercermin dalam legenda yang berjudul Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara. Kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu (1) gambaran bentuk kejujuran sesama manusia yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara, (2) gambaran bentuk kebersatuan dalam hidup yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara, dan (3) gambaran bentuk kesetiaan dan cinta kasih yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara. Masing-masing nilai tersebut dijelaskan berikut ini. 1. Kejujuran sesama manusia dalam legenda Asal Mula Banyuwangi dapat diartikan sebagai sikap saling menghormati terhadap sesama manusia, tidak pandang bulu dalam perilaku dan perbuatan, selalu menghargai hak milik orang lain dengan ikut serta menjaganya agar tidak diganggu orang lain, dan selalu

berusaha membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Kejujuran adalah juga suatu sikap menjauhkan diri dari pengkhianatan, sebagaimana sikap Dewi Surati saat dihasut oleh Kakandanya sendiri yaitu Bagus Tantra agar bersedia membunuh Raden Banterang yaitu suaminya sendiri, namun Dewi Surati tetap tidak bersedia. Ia bisa melepaskan perasaan dendam, dan menatap masa depan bersama suaminya dengan hidup penuh kejujuran sesama manusia. 2. Kebersatuan dalam hidup yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi mengandung arti bahwa manusia harus selalu mengasihi sesama manusia lainnya tanpa pandang bulu; tidak memiliki rasa kebencian, kedengkian, apalagi permusuhan; selalu menunjukkan rasa kebersamaan dan merasa kehilangan jika terpisahkan dari mereka; merasa bahwa dalam hidup dan kehidupan ini selalu terdapat saling ketergantungan antara satu dengan lainnya dengan kalimat lain: orang tidak mungkin bisa hidup sendiri tanpa keterlibatan yang lain. Hal kebersatuan dalam hidup ini disimpulkan dari sikap Dewi Surati yang bersedia diperistri oleh Raden Banterang setelah ia ditolong dari upaya pemerkosaan yang dilakukan dua penjahat. 3. Kesetiaan dan cinta kasih seperti yang tercermin dalam legenda Asal Mula Banyuwangi memiliki makna yang sangat dalam, yaitu bahwa orang akan berharga di mata sesama karena kesetiaannya. Istri akan lebih berharga di mata suamu karena kesetiaannya. Pemimpin dan rakyatnya rela menyabung nyawa bertempur mempertaruhkan harta-benda jiwa-raga karena kesetiaan kepada negerinya. Bahkan seorang istri, seperti Dewi Surati terhadap suaminya Raden Banterang, untuk menunjukkan kesetiaan dan bukti pengabdiannya kepada suami, ia rela mengorbankan diri tiada lain untuk membuktikan cinta kasih yang sejati. Kesetiaan dan cinta kasih ibarat dua sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, ibarat sekeping uang logam yang tidak mungkin terpisahkan. Lebih jauh, esensi yang menjadi inti tema dongeng berupa legenda Asal Mula Banyuwangi ini adalah Kesetiaan dan Cinta Kasih seorang istri yang rela mengorbankan diri sebagai bukti bahwa kesetiaan dan cinta kasihnya kepada sang suami tetap suci dan tak pernah ternoda. Dari ketiga gambaran di atas dapat ditarik kesimpulan yang bisa dijadikan pelajaran sebagai hikmah kehidupan dari Legenda Asal Mula Banyuwangi adalah bahwa hendaknya sebelum bertindak sebaiknya berpikir dan mempertimbangkan baik-baik dan secara seksama, karena penyesalan yang timbul kemudian tidak akan berguna. 5.2 Saran-saran Sehubungan dengan hasil penelitian tersebut, berikut ini beberapa saran diharapkan dapat memberi kontribusi serta dijadikan bahan pertimbangan berkaitan pengajaran keterampilan berbahasa dan bersastra Indonesia. 1. Pembelajaran mengapresiasi karya sastra termasuk dongeng dalam bentuk legenda merupakan salah satu aspek yang dapat memperbaiki akhlak manusia agar tertanam rasa saling percaya, saling mengasihi, saling tolong-menolong dan saling menghormati antar sesama manusia. 2. Nilai falsafah yang tercermin dalam kandungan suatu karya sastra selalu bersifat abadi. Oleh sebab itu, tiada batasan untuk mengkaji, mempelajari, dan mengambil suri teladan dari setiap hasil karya sastra yang bernilai tinggi. Esensi filosofi bagi kehidupan ini senantiasa tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas, selalu bersifat universal. Artinya, bagi setiap kaum, bagi setiap jaman, nasehat kehidupan adalah suatu kebutuhan agar manusia menjadi lebih berguna dan hidup menjadi lebih bermakna. DAFTAR RUJUKAN Abdul Rani, Supratman. 2004. Intisari Sastra Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia. Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Badudu, J.S. dkk.1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Depdikbud. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas. 2005. Materi Pelatihan Terintegrasi. Bahasa dan Sastra Indonesia.Pengembangan Kemampuan Menulis Sastra. Buku 3. Jakarta: Direktorat PLP Dirjendikdasmen Depdiknas. Effendy, M.Roeslan. 1984. Selayang Pandang Kesusastraan Indonesia. Surabaya: PT Bina Ilmu. IKIP Malang. 1996. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian. Malang: Satgas OPP Bagian Proyek OPF. IKIP Malang. Ikranegara, Tira. 2005. Asal Mula Banyuwangi. Surabaya: Karya Agung. Kaswardi, EM.K.1993. Bunga Rampai Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Grasindo. Keraf, Gorys. 2001. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Flores: Nusa Indah. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Surtijah, Makrina. 2006. Nilai-nilai Moral Dalam Dongeng Cindelaras dari Cerita Panji. Skripsi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPISH IKIP Budi Utomo Malang. Malang: IKIP Budi Utomo Malang. Pengantar: NILAI-NILAI MORAL DALAM LEGENDA ASAL MULA BANYUWANGI KARYA TIRA IKRANEGARA Dongeng (termasuk cerita anak atau cernak) sebagai salah satu bentuk karya sastra termasuk dalam katagori sastra klasik yang bisa disebut sebagai sastra lama atau sastra tradisional, adalah karya sastra yang tercipta dan berkembang sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke dalam sastra. Dalam ukuran waktu, sastra klasik (Nusantara) dibatasi sebagai sastra yang berkembang sebelum tahun 1920-an, yakni rentang waktu

sebelum lahirnya tren sastra Angkatan Balai Pustaka (Abdul Rani, 2004:21). Dongeng bisa diartikan sebagai ceritera khayalan yang mengisahkan kejadian luar biasa. Ceritera yang dikisahkan biasanya tentang dewa, peri, putri cantik, pangeran yang gagah dan tampan, resi sakti, orang miskin yang mendadak kaya raya, orang menderita yang tiba-tiba beruntung, binatang yang dapat berbicara bagaikan manusia, dan sebagainya. Bentuk dongeng bermacam-macam, di antaranya mite, sage, fabel, legenda, cerita pelipur lara, dan cerita perumpamaan (Abdul Rani, 2004:36). ABSTRAK -. Nilai-Nilai Moral Dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi Karya Tira Ikranegara. Skripsi, Kata-kata Kunci : Nilai, moral, legenda. Salah satu bentuk dongeng yang amat digemari anak adalah dongeng berupa legenda yang diangkat dari cerita rakyat sebagai kekayaan budaya bangsa warisan para pendahulu kita yang di dalamnya terkandung suri teladan, nilai falsafah, nilai pendidikan, nilai moral, nilai etika, dan masih banyak lagi hal-hal positif yang amat penting ditanamkan ke dalam jiwa anak semenjak usia dini. Legenda yang disampaikan kepada anakanak biasanya berupa cerita pilihan yang amat berguna bagi pembentukan budi pekerti anak serta mampu menimbulkan motivasi bagi anak untuk belajar tentang makna kehidupan. Melalui cerita legenda, anak belajar tentang makna suatu pengabdian, pengorbanan, kesetiaan, dan sejenisnya, yang pada gilirannya akan menumbuhkan rasa saling menghormati, yang nantinya sebagai bekal untuk bersatu padu dalam ikatan kebangsaan yang kuat yaitu sebagai bangsa Indonesia. Penelitian ini berjudul Nilai-Nilai Moral Dalam Legenda Asal Mula Banyuwangi Karya Tira Ikranegara. Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi tentang: (1). bentuk kejujuran antar manusia dalam legenda Asal Mula Banyuwangi, (2) bentuk kebersatuan hidup dalam legenda Asal Mula Banyuwangi, dan (3) bentuk kesetiaan dan cinta kasih dalam legenda Asal Mula Banyuwangi. Sehingga yang menjadi sumber data sebagai kajian tekstual penelitian ini adalah buku seri cerita rakyat berupa Legenda Asal Mula Banyuwangi Karya Tira Ikranegara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang dilakukan melalui studi dokumentasi, yaitu penelitian yang mendeskripsikan nilai-nilai moral yang tercermin dalam legenda asal Mula Banyuwangi karya Tira Ikranegara. Berdasarkan analisis data penelitian dapatlah dideskripsikan bahwa nilai moral yang berkaitan dengan kejujuran, kebersatuan dalam hidup, serta kesetiaan dan cinta kasih tercermin pada sikap dan perilaku Dewi Surati yang menjadi tokoh utama dalam legenda ini yang tidak mau berkhianat kepada suaminya yang sebenarnya adalah putra raja yang menghancurkan ayahandanya. Meskipun fitnah terhadap dirinya bermula justru dari kakaknya sendiri yang masih berupaya membalas dendam. Bahkan wujud kesetiaan dan cinta kasih Dewi Surati terhadap sang suami yang termakan hasutan, dibuktikan dengan kerelaan pengorbanannya sendiri sehingga air sungai yang menelan dirinya berbau wangi. Banyuwangi. Saran yang dianjurkan berkaitan hasil penelitian ini adalah agar pembelajaran sastra melalui kajian tekstual terhadap cerita rakyat seperti dongeng dalam bentuk legenda dapat diajarkan dengan sebaik-baiknya kepada siswa dalam menggairahkan kegiatan apresiasi sastra Indonesia, di samping bentuk-bentuk karya sastra yang lain. -Penulis-

Mengasah Imajinasi Anak dengan Dongeng


Jumat, 24 Juli 2009 17:58 Adi Baskoro

in Share 0
SocButtons v1.4

Dongeng tidak saja memberikan hiburan bagi anak-anak. Melalui dongeng anak bisa juga meningkatkan apresiasi terhadap sastra dan seni serta mengolah imajinasi. Selain itu lewat dongeng anak bisa mengenal nilai-nilai moral dan hati nurani yang terselip di balik pesan cerita. Dongeng tidak saja memberikan hiburan bagi anak-anak. Melalui dongeng anak bisa juga meningkatkan apresiasi terhadap sastra dan seni serta mengolah imajinasi. Selain itu lewat dongeng anak bisa mengenal nilai-nilai moral dan hati nurani yang terselip di balik pesan cerita. Disadari atau tidak dongeng bisa merasang anak belajar dan bisa tergugah menjadi gemar membaca dan mencintai buku. Bahkan tidak sedikit anak cerdas yang minat bacanya

dimulai dari menyimak buku-buku fiksi dan dongeng. Dari sisi bahasa, melalui dongeng pun anak dikenalkan pada berbagai ragam kosakata. Pengayaan pada kosakata pun secara otomatis akan menambah perbendaharaan kata anak. Sebenarnya masih banyak lagi manfaat dari suguhan dongeng untuk anak. Seperti yang disebutkan dalam pembukaan buku 101 Cerita Nusantara. Diantaranya, lewat dongeng, rasa empati anak Anda pada para tokoh dalam cerita bisa terbangun. Selain itu lewat dongeng, kecerdasan emosional, spiritual, dan kepekaan sosial anak bisa terasah. Buku 101 Cerita Nusantara mencoba mengumpulkan kembali ingatan orang tua akan kekayaan cerita-cerita yang tersebar di bumi Indonesia. Timun Mas dari Jogjakarta, Si Lebai Malang dan Maling Kundang dari Sumatera Barat, Si Pitung Jago Betawi, Pangeran Naga dan Buaya dari Kalimantan Tengah, serta masih banyak lagi dongeng bisa Anda temukan dalam buku ini. Buku penuh warna dengan ilustrasi gambar yang memikat ini akan mendampingi aneka kisah yang berupa fabel, legenda, epos, mitos, dan sejarah. Semua kisah-kisah ini bisa Anda sampaikan pada buah hati Anda sebagai pengantar tidur dan untuk membangun kedekatan dengan anak. Dalam setiap dongeng dalam buku yang disusun oleh Tim Optima ini selalu diakhiri dengan pesan moral, sehingga anak akan lebih mudah mengenali apa pesan yang terkandung dalam kisah. Perjumpaan dengan aneka karakter manusia dan binatang dalam dongeng pun sangat mengasyikkan. Sebab halhal di luar akal sehat seperti keajaiban alam dan mukjizat bisa mengasah keyakinan dan imajinasi anak. Tentu saja dengan pesan moral yang mudah ditangkap, misalnya kejadian yang luar biasa itu hanya bisa terjadi atas seizin Tuhan Yang Maha Esa. Sembari membacakan dongeng orang tua bisa kembali mengingat kisah-kisah yang mungkin belum pernah ia jumpai. 101 dongeng dalam buku yang diterbitkan Transmedia ini dituliskan dalam bentuk cerita-cerita pendek.

You might also like