You are on page 1of 9

Menulis Naskah Drama

Feb5 Bermain peran adalah kegiatan memerankan pribadi orang lain berkenaan dengan watak/sikap/tingkah laku, sehingga seolah-olah dapat menjadi orang lain. Untuk dapat diperankan oleh orang lain, perlu dibentuk karakter seorang tokoh yang sesuai dengan imajinasi/bayangan. Pembentukan bayangan/imajinasi tokoh tersebut perlu dijelaskan dalam sebuah karangan yang berbentuk deskripsi. Dalam mendeskripsikan tokoh perlu gambaran secara utuh tokoh yang akan diperankan. Dengan demikian, orang lain yang hendak memerankan tokoh yang telah diciptakan, akan memiliki imajinasi/gambaran yang jelas. Untuk menggambarkan tokoh imajinasi diperlukan beberapa hal yang perlu dituliskan. Misalnya, gambarkan identitas tokoh, seperti nama tokoh, umur, jenis kelamin jabatan/pekerjaannya, tingkat ekonomi, dan lingkungan sosial tempat tinggalnya. Selanjutnya, jelaskan gambaran fisik yang berkenaan dengan ciri-ciri tubuh, seperti cacat jasmani, ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, wajah/raut muka, potongan rambut, baju dan aksesoris yang dikenakan, tinggi/pendek, kurus/gemuk, atau suka senyum/cemberut. Tidak lupa jelaskan juga watak, kesukaan, ambisi, temperamental yang dimiliki tokoh tersebut sehingga tokoh tersebut memiliki karakter yang kuat. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam menulis drama adalah kaidah penulisan naskah drama. Misalnya, petunjuk perilaku tokoh harus ditulis berbeda dengan teks dialog pelaku tersebut agar memudahkan aktor untuk memerankan tokoh tersebut. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan naskah drama adalah sebagai berikut, 1. Struktur dasar sebuah drama terdiri atas tiga bagian: prolog, dialog, dan epilog. a. Prolog merupakan pembukaan atau peristiwa pendahuluam dalam sebuah drama atau sandiwara. Bisa juga, dalam sebuah prolog dikemukakan para pemain, gambaran seting, dan sebagainya. b. Dialog/monolog merupakan media kiasan yang melibatkan tokoh-tokoh drama yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak manusia, problematika yang dihadapi, dan bagaimana manusia dapat menyelesaikan persoalan hidupnya. c. Epilog adalah bagian terakhir dari sebuah drama yang berfungsi untuk menyampaikan intisari cerita atau menafsirkan maksud cerita oleh seorang aktor pada akhir cerita. Dengan kata lain, epilog merupakan peristiwa terakhir yang menyalesaikan peristiwa induk. 2. Dalam sebuah dialog itu sendiri, ada tiga elemen yang tidak boleh dilupakan. Ketiga elemen tersebut adalah tokoh, wawancang/percakapan, dan kramagung. a. Tokoh

adalah pelaku yang mempunyai peran yang lebih dibandingkan pelaku-pelaku lain, sifatnya bisa protagonis atau antagonis. b. Wawancang/Percakapan adalah dialog atau monolog yang harus diucapkan oleh tokoh cerita. c. Kramagung adalah petunjuk perilaku, tindakan, atau perbuatan yang harus dilakukan oleh tokoh. Dalam naskah drama, kramagung dituliskan dalam tanda kurung (biasanya dicetak miring). Seorang tokoh dapat beraksi karena tokoh tersebut memiliki konflik. Konflik dalam pementasan tidak terlepas dari kehadiran tokoh yang bertentangan satu dengan lainnya. Gerakan atau tindakan para tokoh, juga melalui dialog yang diucapkan, dapat membentuk suatu peristiwa. Peristiwa ini berasal dari hal yang biasa sampai konflik yang memuncak. Hal yang patut diperhatikan adalah peristiwa konflik tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui tahapan-tahapan alur. Dalam hal ini, peristiwa yang satu akan mengakibatkan peristiwa yang lain.

Majas/ Gaya Bahasa


Nov23 Majas atau gaya bahasa adalah bahasa kias yang digunakan untuk mempertajam maksud. Majas dibagi menjadi 4 (empat) macam: a. Majas perbandingan b. Majas pertentangan c. Majas pertautan d. Majas perulangan Berikut beberapa contoh majas: 1. Majas Metafora : Gabungan dua hal yang berbeda yang dapat membentuk suatu pengertian baru. Contoh : Sampah masyarakat, raja siang, kambing hitam 2. Majas Alegori : Majas perbandingan yang memperlihatkan suatu perbandingan yang utuh. Contoh : Suami sebagai nahkoda, Istri sebagai juru mudi 3. Majas Personifikasi : Majas yang melukiskan suatu benda dengan memberikan sifat sifat manusia kepada benda, sehingga benda mati seolah-olah hidup. Contoh : Angin berbisik dan ombak berkejar-kejaran

4. Majas Perumpamaan ( Majas Asosiasi ) : Suatu perbandingan dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama. Contoh : Bagaikan pinang dibelah dua 5. Majas Antitesis : Gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berlawanan. Contoh : Air susu dibalas air tuba 6. Majas Hiperbola : Suatu gaya bahasa yang bersifat melebih lebihkan. Contoh : Air matanya menganak sungai 7. Majas Ironi : Gaya bahasa yang bersifat menyindir dengan halus. Contoh: Bagus sekali tulisanmu, sampai sampai tidak bisa dibaca 8. Majas Litotes : Majas yang digunakan untuk mengecilkan kenyataan dengan tujuan untuk merendahkan hati Contoh : Mampirlah ke gubuk saya 9. Majas Sinisme : Majas yang menyatakan sindiran secara langsung. Contoh : Perilakumu membuatku kesa 10. Majas Oksimoron : Majas yang antarbagiannya menyatakan sesuatu yang bertentangan. Contoh : Cinta membuatnya bahagia, tetapi juga membuatnya menangis 11. Majas Metonimia : Majas yang memakai merek suatu barang. Contoh : Ayah ke Jakarta naik garuda Kakak ke sekolah naik honda 12. Majas Alusio : Majas yang mepergunakan peribahasa / kata kata yang artinya diketahui umum. Contoh : Upacara ini mengingatkan aku pada proklamasi kemerdekaan tahun 1945 13. Majas Eufemisme : Majas yang menggunakan kata kata / ungkapan halus / sopan. Contoh : Para tunakarya itu perlu diperhatikan 14. Majas Elipsis : Majas yang manghilangkan suatu unsur kalimat. Contoh : Kami ke rumah nenek ( penghilangan predikat pergi ) 15. Majas Pleonasme : Majas yang menggunakan kata kata secara berlebihan dengan maksud untuk menegaskan arti. Contoh : Mari naik ke atas agar dapat melihat pemandangan 16. Majas Antiklimaks : Majas yang menyatakan sesuatu hal berturut turut yang makin lama makin menurun. Contoh : Para bupati, para camat, dan para kepala desa 17. Majas Klimaks : Majas yang menyatakan beberapa hal berturut turut yang makin lama makin mendebat Contoh : Semua anak anak, remaja, dewasa, orang tua dan kakek 18. Majas Retoris : Majas yang berupa kalimat tanya yang jawabanya sudah diketahui. Contoh : Siapakah yang tidak ingin masuk surga ? 19. Majas Aliterasi : Majas yang memanfaatkan kata kata yang bunyi awalnya sama. Contoh : Inikah Indahnya Impian ? 20. Majas Antanaklasis : Majas yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda. Contoh : Ibu membawa buah tangan, yaitu buah apel merah 21. Majas Repetisi : Majas perulangan kata kata sebagai penegasan. Contoh : Selamat tinggal pacarku, selamat tinggal kekasihku, selamat tinggal pujaanku 22. Majas Paralelisme : Majas perulangan sebagaimana halnya repetisi, disusun dalam baris yang berbeda. Contoh : Hati ini biru Hati ini lagu Hati ini debu

23. Majas Kiasmus : Majas yang berisi perulangan dan sekaligus mengandung inverse. Contoh : Mereka yang kaya merasa miskin, dan yang miskin merasa kaya 24. Majas Antonomasia : Majas yang menyebutkan nama lain terhadap seseorang yang berdasarkan ciri/sifat menonjol yang dimilikinya. Contoh : Si pincang, Si jangkung, Si kribo 25. Majas Tautologi : Majas yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan kata kata yang sama artinya (bersinonim) untuk mempertegas arti. Contoh : Saya khawatir dan was was dengannya 26. Majas Sinekdoke: Majas yang menyebut sebagian untuk keseluruhan (pars pro toto) atau keseluruhan untuk sebagian (totum pro part). Contoh: Dari jauh sudah kelihatan batang hidungnya (pars pro toto). Indonesia menang dalam pertandingan sepak bola itu (totum pro part)

Ragam Bahasa Jurnalistik Cetak dan Radio


Jan20 Ragam Bahasa Jurnalistik Cetak Pengertian Sebagai nomina kata ragam memiliki lima arti : tingkah, ulah; macam, jenis; lagu, musik, langgam; warna, corak; dan laras. Ragam yang berarti laras khusus dipakai dalam bahasa. Sebagai nomina kata laras memiliki dua arti : (tinggi rendah) nada; dan kesesuaian atau kesamaan (KBBI, 1990: 719-720) Ragam bahasa oleh Nababan diartikan sebagai variasi bahasa, baik variasi bentuk maupun variasi maknanya. Poerwodarminto mengartikan ragam bahasa sebagai sedikit-sedikit yang terdapat dalam bahasa. Menurut Anton M. Moeliono, ragam bahasa sebagai variasi yang terdapat dalam bahasa. Menurut Slamet Soewandi, ragam bahasa adalah variasi (dalam) bahasa. Sifat Umum Ragam Bahasa Jurnalistik Perlu diketahui sebelumnya, bahwa yang membedakan ragam bahasa jurnalistik dengan ragam bahasa yang lain adalah dalam cara penggunaannya. Ragam bahasa jurnalistik digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang dialami, diketahui, dan dipikirkan oleh sebagian besar orang ( Slamet Soewandi, 1996 ). Hal-hal itu berupa fakta ( berita ), pendapat (opini ), dan pemberitahuan. Menurut H. Rosihan Anwar, sifat Ragam bahasa jurnalistik terdiri dari: 1. Menggunakan kalimat pendek 2.Menggunakakn bahasa biasa yang mudah dipahami orang

Bahasa adalah alat untuk menyampaikan cipta dan informasi. Bahasa diperlukan dalam komunikasi. Dalam suatu penulisan harus menggunakan bahasa yang betul-betul dapat dimengerti khalayak (audiens). Salah satunya penulis harus komunikatif. 3. Menggunakan bahasa sederhana dan jernih pengutaraannya Khalayak media massa yaitu pembaca surat kabar, pendengar radio, penonton televisi terdiri dari aneka ragam manusia dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang berbeda-beda, dengan minat perhatian, daya tangkap, kebiasaan yang berbeda-beda pula. Maka penulis berusaha menulis sesederhana dan sejernih mungkin. 4. Menggunakan bahasa tanpa kalimat majemuk Dengan menggunaan kalimat majemuk, pengutaraannya pikiran kita sering terpeleset menjadi berbelit-belit dan bertele-tele. Penulis sebaiknya menjauhkan diri dari kesibukan memakai kalimat majemuk karena bisa mengakibatkan tulisannya menjadi woolly alias tidak terang. 5.Mengunakan bahasa dengan kalimat aktif, bukan kalimat pasif Membuat berita menjadi hidup bergaya ialah sebuah persyaratan yang dituntut penulis atau wartawan. Pengunaan kalimat aktif lebih disukai jurnalistik daripada kalimat pasif karena dinggap lebih bergaya. Contoh: : Si Amat dipukul babak belur oleh si Polan. Dari pada kalimat Si Polan memukul si Amat babak belur. 6. Menggunakan bahasa padat dan kuat Penulis atau wartawan muda seringkali suka terhanyut menulis dengan mengulangi makna yang sama dalam bebagai kata. Kata-kata yang dipakai seharusnya efisien dan seperlunya saja. kembang-kembang bahsa harus dihindarkan. Bahasa jurnalistik harus hemat dengan kata-kata. 7. Menggunakan bahasa positif, bukan bahasa negative Penulis di dalam menulis, sedapat mungkin menulis dalam bentuk kalimat positif karena kalimat positif dianggap lebih sopan daripada kalimat negatif. Contoh: Wartawan Sondang Meliala tidak menghendaki penataran wartawan olahraga. Dengan kalimat Wartawan Sondang Meliala menolak penataran wartawan olahraga. Kalimat kedua lebih bersifat positif dibanding dengan perkataan tidak menghendaki, karena tidak bersifat negatif. Menurut Slamet Soewandi, secara umum wacana dengan ragam bahasa jurnalistik memiliki ciri: 1. Singkat Singkat adalah penuturan yang tidak berpanjang-panjangan, bertele-tele 2. Padat Padat adalah mengacu pada arti syarat isinya

3. Sederhana Sederhana adalah tidak berbelit-belit 4. Lancar Lancar adalah penuturan yang tidak tersendat-sendat, melainkan mengalir dengan enak. 5. Jelas Jelas adalah penuturan yang tidak menimbulkan salah tafsir . 6. Lugas Lugas adalah tidak mengada-ada. 7. Menarik Menarik adalah pemberitaan yang membuat pembaca, pendengar atau penonton bosan, atau mengerutkan dahi karena masalahnya berat. 8. Baku Baku adalah penulisan kata dan kalimat, pemilihan dan pembentukan kata, pemilihan danpembentukan kalimat, pemilihan dan pembentukan paragraph menurut kaidah yang berlaku. 9. Netral Netral adalah tidak berpihak atau membedakan tingkatan, jabatan atau kedudukan orang. Menurut Kunjana Rahardi ragam bahasa jurnalistik yaitu: 1. Komunikatif Bahasa jurnalistik tidak berbelit-belit, tidak membunga-bunga, tetapi harus langsung terus langsung pada pokok permasalahannya ( straight to the point). Bahasa jurnalistik harus lugas, sederhana, tepat diksinya dan menarik sifatnya. Dengan demikian bahasanya akan menjadi komunikatif, tidak menimbulkan salah paham dan menimbulkan tafsir ganda. 2. Spesifik Bahasa jurnalistik harus disusun dengan kalimat-kalimat yang singkat-singkat dan pendekpendek. Bentuk kebahasaannya sederhana dan mudah diketahui oleh banyak orang, gampang dimengerti oleh orang awam. Kata-katanya hendaknya bersifat denotative maknanya, sehingga tidak dimungkinkan ada salah tafsir makna yang ganda. 3. Hemat kata

Kebahasaan yang dipakai dalam bahasa jurnalistik hendaknya bercirikan minim karakter kata atau sedikit jumlah huruf-hurufnya. Kalimat-kalimat jurnalistik dibuat simple dan sederhana serta tidak menumpuk-nimpuk gagasannya. 4. Jelas makna Bahasa jurnalistik sedapat mungkin digunakan kata-kata yang bermakna denotatif, kata-kata yang mengandung makna sebenarnya, bukan kata-kata yang bermakna konotatif, kata-kata yang maknanya tidak langsung, kata, kata yang bermakna kiasan. 5. Tidak mubazir dan tidak klise Bentuk mubazir pada kata atau frasa yng sebenarnya dapat dihilangkan dari kalimat yang menjadi wadahnya, dan peniadaan kata-kata tersebut tidak mengubah arti/maknanya. Katakata klise atau stereotype ialah kata-kata yang berciri memenatkan, melelahkan, membosankan, terus hanya begitu-begitu saja, tidak ada inovasi, tidak ada variasi. Ragam Bahasa Jurnalistik Radio Salah satu alat komunikasi yang akrab dengan kita adalah radio. Perbedaan mendasar antara radio dan media cetak adalah dalam hal cara penyampaian pesannya. Media cetak lebih menitikberatkan pada penyampaian pesan melalui cetakan ( video ), sedangkan radio melalui pendengaran ( audio ). Secara garis besar sebenarnya ragam bahasa radio hampir sama dengan ragam bahasa dalam media cetak. Tetapi, radio memiliki suatu gaya tersendiri. Gaya radio sendiri, menurut Drs. Onong Uchjana Effendy, M.A, disebabkan oleh dua faktor : 1. Sifat radio siaran Sifat radio siaran adalah auditif, untuk didengar. Karena hanya untuk didengar, maka isi siaran yang sampai ke telinga pendengar hanya sepintas lalu saja 2. Sifat pendengar radio Pendengar adalah sasaran komunikasi massa media radio. Komunikasi dapat dikatakan efektif , apabila pendengar terpikat perhatiannya, tertarik terus minatnya, mengerti, tergerak hatinya dan melakukan kegiatan apa yang diinginkan si pembicara ( Onong Uchayana Effendy, 1978 ). Ciri Jurnalistik Radio Berdasarkan karakteristik jurnalistik radio yang dipengaruhi faktor siaran dan pendengar, maka radio memiliki ciri khas sebagai berikut : 1. Tidak mengenal kebenaran reserve Hal tersebut memiliki maksud bahwa berita dalam radio itu harus mengandung kebenaran yang tepat dan akurat. Hal ini mutlak karena sekali berita itu disiarkan, tidak mungkin diralat. Kalaupun dapat, perlu diingat sifat radio itu sendiri.

Pendengar mungkin hanya mendengar ralatnya saja, tanpa pernah mendengar apa yang diralat. Atau kebalikannya, pendengar tidak mendengar ralatnya, sehingga berita salah yang diralat dianggap suatu kebenaran. 2. Obyektif Suatu berita yang obyektif tentunya tidak memihak, tidak cacat, dan tidak diwarnai maksudmaksud tertentu. Sehingga hendaknya berita dalam diberikan sebagaimana adanya, tanpa maksud, dan tujuan tertentu. 3. Bersusila Radio ditujukan kepada semua pendengar dengan tidak memandang status sosialnya ( khususnya program berita ). Telah disinggung berulangkali bahwa radio bersifat auditif. Karena sifat radio itu sendiri dan keragaman status sosial pendengarnya, hal ini tentu akan membawa imajinasi yang berbeda pada setiap pendengarnya. Oleh sebab itu, hendaknya kesopanan dalam penuturan perlu dijaga. Ciri Bahasa Jurnalistik Radio Secara garis besar, bahasa jurnalistik radio dan jurnalistik cetak tidak jauh berbeda. Radio menekankan penyampaian pesan secara audio, maka bahasa yang digunakan tentunya disusun dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat menyampaikan pesan secara tepat kepada pendengarnya. Menurut Onong Uchajana Effendy ( 1978 : 91 ), ciri bahasa radio adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Menggunakan kata-kata yang sederhana. Menggunakan kata-kata yang lazim dipakai masyarakat. Menggunakan kata-kata yang sopan. Menggunakan susunan kalimat yang rapih. Menggunakan susunan kalimat yang logis Bahasanya jelas.

Daftar Pustaka Anwar, H. Rosihan, 2004. Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi. Yogyakarta : Media Abadi. Effendy, Onong Uchjana. 1978. Radio Siaran: Teori dan Praktek. Bandung : Penerbit Alumni. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. DepDikBud : Balai Pustaka. Kunjana Rahardi, R. 2006. Asyik Berbahasa Jurnalistik: Kalimat Jurnalistik dan Temali Masalahnya. Yogyakarta : Santusta. Nababan. 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Slamet Soewandi, A.M. 1996. Ragam Bahasa Jurnalistik: Apa, Mengapa, Di mana? dalam Romo Kadarman: Kenangan dan Persembahan. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma.

You might also like