You are on page 1of 36

PERTUMBUHAN PENDUDUK DAN PEMBANGUNAN EKONOMI : PENYEBAB, KONSEKUENSI, DAN KONTROVERSI Masalah Pokok : Pertumbuhan Penduduk dan Kualitas

Hidup Pertumbuhan penduduk yang terjadi di dunia terus mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, dimana sekitar 97% dari pertumbuhan penduduk tersebut berasal dari negara-negara Dunia Ketiga. Pertumbuhan penduduk yang tinggi tersebut belum pernah terjadi sebelumnya. Pertumbuhan penduduk menyebabkan beberapa permasalahan serius bagi kesejahteraan manusia di dunia, antara lain : 1. Mampukan negara-negara Dunia Ketiga meningkatkan taraf hidup

pebduduknya di tengah laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi ? dan seberapa jauhkah laju pertumbuhan penduduk yang tinggi tersebut menghambat upaya-upaya pemerintah Dunia Ketiga dalam pengadaan pelayanan dan fasilitas sosial yang mendasar bagi penduduknya? 2. Apakah yang harus dilakukan oleh negara-negara berkembang untuk mengatasi ledakan pertambahnan angkatan kerja yang sangat besar di masa yang akan datang? 3. Apa saja implikasi dari tingginya laju pertumbuann penduduk di engara berkembang terhadap peluang mereka untuk meringankan penderitaan penduduknya karena adanya kemiskinan absolute? Apakah persediaan pangan dunia dan distribusinya cukup memadai? 4. Apakah negara-negara berkembang mampu memperluas dan meningkatkan kualitas kesehatan serta sistem pendidikan yang ada, sehingga setiap orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan

pendidikan dasar yang memadai? 5. Seberapa jauhkah taraf kehidupan masyarakat menjadi sebuah faktor penting yang membatasi kebebasan para orang tua membatasi besar kecilnya jumlah anggota mereka?

6. Sejauh manakah peningkatan kemakmuran dari negra-negara maju menjdi faktor yang menghambat negara-negara miskin dalam upaya mengatasi lonjakan penduduk ? Kajian Angka : Pertumbuhan Penduduk Di Masa Lampau, Masa Kini, Dan Masa Mendatang Pertumbuhan Penduduk Dunia Sepanjang Sejarah Selama lebih dari dua juta tahun keberadaan manusia di bumi, jumlah penduduk dunia pada waktu itu masih sangat terbatas. Ketika manusia mulai melestarikan bahan pangan melalui pertenaian sejak 12.000 tahun yang lalu, jumlah total penduduk dunia diperkirakan tidak lebih dari 5 juta jiwa (Todaro, 2003). Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini : Tabel 1.1 Taksiran Pertumbuhan Penduduk Dunia Sepanjang Masa
Tahun Taksiran Jumlah Penduduk (dalam Jutaan) Taksiran % kenaikan Tahunan dalam Periode yang diobservasi 5 250 545 728 906 1,171 1,608 2,576 3,698 4,448 5,292 6,090 9,036

10,000 Sebelum Masehi Tahun 1 Masehi 1650 1750 1800 1850 1900 1950 1970 1980 1990 2000 2050 (proyeksi)

0,04 0,04 0,29 0,45 0,53 0,65 0,91 2,09 1,76 1,73 1,48 0,45

Sumber : Michael Todaro, 2003 Dalam tabel tersebut dapat dilihat pertumbuhan penduduk dunia yang sangat cepat selama empat dekade terakhir semenjak tahun 1950, khusunya bila dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk selama kurun waktu 200 tahun

sebelumnya. Pertumbuhan penduduk tersebut pad dasarnya tidak sellau stabil, terdapat peningkatan dan penurunan laju pertumbuhan penduduk sebagai akibat adanya bencana alamdan variasi tingkat pertumbuhan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. pada tahun 1750, laju petumbuhan penduduk meningkat hingga 150 kali lipat, dari 0,002% menjadi 0,3% per tahun. Semenjak tahun 1950-an laju pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan hingga 3 kali lipat hingga menjadi 1% per tahun. Dan kenaikan ini terus berlangsung hingga menjadi 2,35% pada tahun 1970an. Namun pada akhir-akhir ini, laju pertumbuhan penduduk dunia sedikit mereda, namun tetap pada tingkat yang relatif sangat tinggi, yaitu sekitar 1,3% per tahun. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel 1.2 : Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan Penduduk Dunia dan Periode Pelipatan
periode Awal kemunculan manusia dalam catatan sejarah 1650-1750 1850-1900 1930-1950 1960-1980 sekarang Taksiran Laju Pertumbuhan (%)Periode Pelipatan (tahun) 0,002 0,3 0,6 1,0 2,3 1,3 36,000 240 115 72 31 54

Sumber : Michael Todaro , 2003 Dari tabel di atas, dapat dilihat kaitan antara presentase angka kenaikan laju pertambahan penduduk per tahun dan kurun waktu yang diperlukan agar angka tersebut dapat tumbuh dua kali lipat atau doubling time . pada tabel tersebut, dapat dilihat sebelum tahun 1650, dunia membutuhkan waktu 36.000 tahun , untuk melipatgandakan penduduknya, namun sekarang hanya membutuhkan waktu kurang dari 53 tahun untuk menambah jumlah penduduk dunia hingga dua kali lipat. Penyebab terjadinya perubahan trend kependudukan secara mendadak, baik peningkatan maupun penurunan dipengaruhi oleh berbagai bencana yang

menyebabkan hilangnya nyawa sehingga menyebabkan kematian yang berfluktuasi dan meningkat tajam. Namun, semenjak abad ke 20, sebagian besar permasalahan

tersebut telah dapat diatasi oleh kemajuan tekhnologi dan perkembangan ekonomi. Akibatnya tingkat kematian penduduk menurun drastic hingga mencapai titik terendah sepanjang sejarah. Kemajuan teknologi yang telah mampu menurunkan tingkat kematian hingga sangat cepat antara lain kemajuan yang pesat dalam dunia kedokteran dan farmasi atau obat-obat, metode sanitasi modern hingga seluruh penjuru dunia. Secara ringkas, dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan penduduk yang sangat pesat disebabkan karena proses transisi yang sangat cepat pada kependudukan dunia, ditandai dnegan angka kelahiran dan angka kematian yang semula sangat tinggi, hingga menuju tingkat kematian yang rendah tetapi tingkat kelahirannya masih tinggi. Struktur Kependudukan Dunia Distribusi penduduk dunia yang terjadi sangat tidak merata keadannya, hal ini bisa dikarenakan wilayah geografis, tingkat kelahiran dan tingkat kematian, maupun struktur usia. Secara rinci, penjelasan mengenai penyebab distribusi penduduk yang tidak merata tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Sebaran Per Wilayah Geografis Lebih dari tiga perempat penduduk dunia bertempat tinggal di negara-negara berkembang, dan kurang dari seperempatnya tinggal di negara maju. Hal tersebut dapat dilihat dalam gambar 1.1 dan gambar 1.2: Gambar 1.1 Distribusi Penduduk Dunia Menurut Wilayah Tahun 2003

Total Penduduk Tahun 2003


Eropa afrika Amerika Utara Amerika Latin Asia dan Oseania

Sumber : Michael Todaro, 2003


4

Gambar 1.2 Distribusi Penduduk Dunia Menurut Wilayah Tahun 2050

Total Penduduk Tahun 2050


Eropa afrika Amerika Utara Amerika Latin Asia dan Oseania

Sumber : Michael Todaro, 2003 Dari tabel tersebut dapat dilihat tingkat pertumbuhan penduduk yang terjadi sekarang ini pada berbagai kawasan di dunia menunjukkan angka pertumbuhan penduduk yang terdapat di negara-negara berkembang jauh lebih tinggi, yang diperkirakan bahwa distribusi regional menurut wilayah geografisnya, penduduk akan mengalami perubahan yang sangat tinggi ada tahun 2050. Meskipun negara-negara tersebut berasal dari sleuruh benua, termasuk kawasan-kawasan maju maupun kawasan yang masih terbelakang, terdapat sebagian negara yang masih perlu mendapatkan perhatian khusus karena lonjakan jumlah penduduknya yang sangat luar biasa, seperti Nigeria, Pakistan, India, Indonesia, Brazil dan Bangladesh yang memiliki pertambahan penduduk yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan penduduk sebagian besar negara maju.

Tren Tingkat Kelahiran dan Kematian Secara kuantitatif, tingkat pertambahan penduduk dihitung atas dasar persentase kenaikan relatif dari jumlah penduduk netto per tahun yang bersumber dari pertambahan penduduk alami dan migrasi internasional netto. Pertambahan alami adalah selisih antara kelahiran dan kematian suatu negara, sedangkan migrasi

internasional metto adalah selisih antara jumlah penduduk yang beremigrasi dan berimigrasi. Perbedaan laju pertumbuhan penduduk di negara-negara maju dan negara yang sedang berkembang dapat dilihat dari tingkat kelahiran dan tingkat kematian di negara berkembang yang jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kelahiran negara maju. Meskipun demikian, selisih tingkat kematiannya masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan selisih tingkat kelahiran. Namun belakangan ini, mulai muncul tanda-tanda penurunan tingkat kelahiran yang tajam. Tingkat fertilitas yang digunakan yaitu rata-rata jumlah anak yang dimiliki oleh seorang wanita dengan mengasumsikan bahwa tingkat kelahiran saat ini tetap konstan selama asa produktif wanita tersebut.tingkat kelahiran yang semakin menurun juga diimbangi dengan tingkat kematian yang juga mengalami penurunan, hal ini dikarenakan semakin membaiknya kondisi-kondisi kesehatan di seluruh negara dunia ketiga.

Struktur Usia dan Beban Ketergantungan Lebih dari 31% penduduk di negara-negara dunia ketiga terdiri dari anak-anak yang berusia 15tahun, sedangkan negara-negara maju jumlah generasi mudanya hanya 18% dari jumlah total penduduknya. pada negara dengan struktur usia seperti itu, rasio ketergantungan mudanya akan sangat tinggi. Rasio ketergantungan muda adalah perbandingan antara pemuda berusia di bawah 15 tahun yang belum memiliki pendapatan sendiri, dengan orang-orang dewasa yang aktif atau produktif secara ekonomis, yaitu usia 15-64 tahun. Artinya, angkatan kerja di negara-negara berkembang tersebut harus menanggung beban hidup anak-anak yang besarnya hampir dua kali lipat dibandingkan angkatan kerja di negara kaya. Secara umum, dapat dikatakan bahwa semakin cepat laju pertambahan penduduk, maka akan semakin besar proporsi penduduk berusia muda yang belum produktif dalam populasi total, dan semakin berat pula beban tanggungan penduduk yang produktif.

Momentum Pertumbuhan Penduduk yang Tersembunyi Salah satu aspek pertumbuhan penduduk yang paling sulit dipahami adalah kecenderungan untuk terus menerus mengalami peningkatan yang tidak dapat dihentikan walaupun telah mengalami penurunan pesat. Pertambahan penduduk mempunyai kecenderungan untuk terus meningkat, seolah-solah laju pertumbuhan pertumbuhan penduduk tersebut mengandung suatu daya gerak (momentum) internal yang kuat dan tersembunyi. Terdapat dua alasan yang menyebabkan keberadaan daya gerak tersembunyi ini dapat terjadi, antara lain : 1. Tingkat kelahiran tidak mungkin diturunkan dalam wakyu yang relatif singkat. Kekuatan ekonomi, sosial, institusional mempengaruhi tingkat fertilitas yang telah ada dan bertahann selama berbad-abad. 2. Struktur usia penduduk di negara berkembang. Terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara struktur usia penduduk di negara berkembang dan struktur usia penduduk di negara maju yang ditunjukkan melalui piramida. Transisi Demografis Transisi demografis adalah sebuah konsep yang menjelaskan negara-negara yang saat ini tergolong sebagai negara maju sama-sama melewati sejarah populasi modern yang etrdiri dari tiga tahapan besar. Tahapan pertama adalah, negara-negara tersebut selama berabad-abad memiliki laju pertumbuhan penduduk yang stabil atau sangat lambat. Hal ini disebabkan angka kelahiran yang tergolong tinggi, tetapi angka kematiannya juga tinggi. Tahapan kedua berlangsung setelah adanya modernisasi, yang menghasilkan berbagai metode penyediaan pelayanan kesehatan masyarakat yang lebih baik, makanan yang bergizi, pendapatan yang lebih tinggi, dan berbagai perbaikan hidup lainnya, sehingga secara perlahan-lahan usia harapan hidup di negara-negara yang kini maju tersebut mengalami peningkatan, dan tingkat kematian mengalami penurunan yang sangat berarti, tahapan kedua ini menandai proses transisi demografis, yaitu masa transisi

dari keadaan stabil atau laju pertumbuhan yang sangat lambat ke laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat pesat, sebelum akhirnya kembali ke laju pertumbuhan yang kembali mengalami penurunan. Tahapan ketiga akan segera berlangsung dengan munculnya berbagai macam dorongan dan pengaruh yang bersumber dari upaya-upaya modernisasi serta pembangunan yang menyebabkan turunnya tingkat fertilitas. Namun, tingkat kelahiran di negara-negara terbelaknag sekarang ini jauh lebih tinggi daripada tingkat kelahiran yang pernah terjadi pada negara-negara eropa yang sekarang telah maju sebelum revolusi industri. Hal ini disebabkan adanya tradisi kaum wanita di negara-negara Dunia Ketiga untuk menikah pada usia relatif sangat muda, sehingga jumlah pasangan menikah menjadi lebih besar dan periode subur untuk bereproduksi menjadi lebih panjang, dan menyebabkan tingkat kelahiran dan laju pertumbuhan penduduk yang masih tetap tinggi. Sebab-Sebab Tingginya Tingkat Kelahiran Di Negara-Negara Berkembang : Model Malthus Dan Model Rumah Tangga Teori Jebakan Populasi Malthus Thomas Malthus merupakan seorang pendeta yang sekitar 200 tahun yang lalu memberikan sebuah teori tentang hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan pembangunan ekonomi yang masih dipercaya oleh para ahli hingga saat ini.Thomas Malthus merumuskan sebuah konsep tentang pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing return). Adanya kecenderungan universal bahwa jumlah populasi di suatu negara akan meningkat sangat cepat menurut deret ukur atau tingkat geometrik, sementara pertambahan hasil (pangan) hanya akan meningkat sebesar deret hitung atau tingkat aritmetrik. Malthus juga menjelaskan satu-satunya cara untuk mengatasi masalah rendahnya taraf hidup yang sudah sangat parah adalah dengan penanaman kesadaran moral di seluruh penduduk dan kesediaan untuk membatasi jumlah kelahiran.

Malthus juga menjelaskan hubungan antara pertumbuhan pendapatan aggregate dan tingkat pendapatan per kapita. Jika pendapatan aggregate suatu negara meningkat lebih cepat, maka pendapatan per kapita juga akan mengalami peningkatan. Jika pertumbuhan penduduk lebih cepat dari peningkatan pendapatan total, maka tingkat pendapatan per kapita akan mengalami penurunan. Bangsa yang miskin tidak akan pernah berhasil mencapai tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari tingkat subsisten, kecuali bila mereka mengadakan pengendalian prevent awal terhadap pertumbuhan populasinya. Kelemahan-Kelemahan Model Malthus : 1. Model Malthus tidak memperhitungkan peranan dan dampak penting dari kemajuan tekhnologi. 2. Didasarkan pada suatu hipotesis mengenai hubungan-hubungan makro (berskala besar) antara tingkat pertumbuhan penduduk dengan pendapatan per kapita yang ternyata tidak dapat dibuktikan secara empiris. 3. Bertumpu pada variabel ekonomu yang keliru, yaitu pendapatan per kapita sebagai determinan utama pertumbuhan penduduk. Teori Mikroekonomi Fertilitas Rumah Tangga Penentuan tingkat fertilitas keluarga, dalam hal ini adalah tingkat permintaan anak, merupakan bentuk pilihan ekonomi yang rasional bagi konsumen, dengan mengorbankan pilihan lain. Secara matematis, dapat diformulasikan sebagai berikut : Cd = f(Y, Pc , Px , tx ), x = 1 , , n Dimana, Cd merupakan perminttan akan anak, Y adalah pendapatan keluarga, Pc dan Px merupakan biaya opportunity. Anak bagi masyarakat miskin merupakan suatu invetasi ekonomi yang diharapkan dapat menjadi tambahan tenaga kerja maupun sumber financial bagi orang tuanya ketika telah berusia lanjut. Banyak di negara berkembang, alasan yang bersifat

cultural dan psikologis ikut menjadi faktor penentu keputusan rumah tangga akan jumlah anak yang akan dimiliki. Terdapat dua bentuk biaya yang selalu diperhitungkan adalah biaya oportunitas seperti waktu yang dimiliki sang ibu yang digunakan untuk mengurus anak, sehingga mereka kehilangan waktu untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan lain yang produktif. Serta biaya pendidikan anak, apabila orang tua memiliki sedikit anak, maka mereka bisa menyekolahkan anaknya hingga jenjang yang tinggi, dan memungkinkan bagi anak untuk mendapat penghasilan yang tinggi, sehingga kehidupan jangka panjangnya akan lebih terjamin dan kehidupan jangka pendek (mendapat tambahan tenaga kerja bagi keluarga menjadi berkurang). Sedangkan bila memiliki banyak anak, maka orang tua mendapat tambahan tenaga kerja yang berarti, namun kemungkinan untuk menyekolahkan hingga jenjang yang tinggi akan sulit untuk dicapai, sehingga anak hanya menerima pendidikan dasar, dan masa depan anak untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi di masa yang akan datang akan sulit dicapai. Berbagai Implikasi bagi Pembangunan dan Fertilitas Dampak dari suatu kemajuan ekonomi dan sosial dalam menurunkan fertilitas di negara-negara berkembang akan maksimal apabila sebagian besar penduduknya terutama penduduk yang paling miskin juga ikut menikmati hasil-hasil kemajuan tersebut. Pada dasarnya tingkat kelahiran pada penduduk miskin dapat menurun apabila : 1. Taraf pendidikan kaum wanita meningkat sehingga peranan dan status mereka menjadi lebih baik. 2. Kesempatan kerja bagi para wanita di sektor non-pertanian mengalami peningkatan, sehingga biaya oportunitas atas waktu yang biasanya hanya mereka habiskan untuk fungsi tradisional menjadi lebih tinggi. 3. Penghasilan keluarga meningkat karena ada kenaikan upah suami atau istri.

10

4. Tingkat mortalitas bayi menurun karena peningkatan penyediaan berbagai macam pelayanan kesehatan masyarakat dan semakin baik gizi makanan keluarga untuk ibu maupun anak. 5. Sistem jaminan tunjangan hari tua di luar cakupan keluarga telah tercipta dan semakin berkembang. 6. Perluasan kesempatan kerja dalam mendapatkan pendidikan. Konsekuensi- Konsekuensi Tingginya Tingkat Fertilitas : Sejumlah Pendapat Yang Saling Bertentangan. Pertumbuhan Penduduk Bukanlah Masalah Yang Sebenarnya Terdapat tiga aliran pemikiran yang menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk bukan merupakan inti persoalan yang sebenarnya, yaitu : 1. Inti persoalannya bukan pertumbuhan penduduk, tetapi hal-hal atau isu-isu lain. 2. Pertumbuhan penduduk merupakan persoalaan rekaan atau masalah palsu yang sengaja diciptakan oleh badan-badan dan lembaga-lembaga milik negara kaya yang dominan dengan tujuan menjadikan negara-negara berkembang tetap terbelakang dan bergantung pada negara maju. 3. Bagi kebanyakan negara dan kawasan berkembang, pertumbuhan penduduk justru merupakan suatu hal yang dibutuhkan atau diiinginkan. Terdapat masalah lain dibalik pertumbuhan penduduk, yaitu : Keterbelakangan Keterbelakangan menjadi salah satu permasalahan yang sebenanya dalam pertumbuhan penduduk. Untuk mengurangi masalah keterbelakangan, perlu adanya pembangunan. pembangunan akan memberikan kemajuan-kemajuan di bidang ekonomi dan sosial yang nantinya akan mengatur pertumbuhan penduduk dan penyebarannya secara otomatis.

11

Penyusutan Sumber Daya Alam dan Kerusakan Lingkungan Untuk mengatasi masalah ini,negara maju harus mengurangi tingkat konsumsi yang berlebihan, bukan negara berkembang yang harus mengurangi penduduknya. tingginya taraf fertilitas di negara-negara berkembang semata-mata disebabkan oleh taraf hidup yang rendah, yang merupakan akibat dari konsumsi yang berlebihan atas sumber-sumber daya alam dunia langka yang dilakukan oleh negara-negara kaya.

Penyebaran Penduduk Yang menjadi masalah utama adalah penyebaran geografisnya, dimana masih cukup banyak wilayah-wilayah di dunia (Kawasan Afrika sub Sahara) dan daerahdaerah dalam suatu negara yang sangat jarang penduduknya (daerah timur laut dan tepi Amazon di Brazil). Sementara itu, banyak wilayah lainnya yang terlalu padat penduduknya seperti Indonesia, dan beberapa daerah lain di negara berkembang. Sehingga pemerintah hendaknya tidak menjadika penurunan laju pertumbuhan penduduk sebagai prioritas utama, melainkan bagaimana mengatasi urbanisasi antara desa-kota, transmigrasi penduduk dari daerah yang padat penduduk ke daerah yang kurang padat penduduk.

Rendahnya Posisi Dan Status Kaum Wanita Kaum wanita di negara berkembang pada umumnya terlalu banyak menanggung kemiskinan, keterbatasan taraf pendidikan, kelangkaan lapangan kerja yang memadai, serta mobilitas sosial yang minim. Dalam banyak hal, peranan dan status wanita yang rendah, serta terbatasnya akses mereka ke upaya pengendalian kelahiran termanifestasikan dalam tingkat fertilitas yang tinggi. Ledakan penduduk merupakan akibat alamiah dari begitu terbatasnya kesempatan ekonomi yang dimiliki kaum wanita. Seandainya tingkat kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan ekonomis kaum wanita bisa ditingkatkan sejalan dengan peranan dan status mereka dalam keluarga dan masyarakat, atau pemberdayaan kaum wanita.

12

Pelemparan Persoalan Palsu secara Sengaja Laju pertumbuhan di negara-negara dunia ketiga sebagai masalah utama pembangunan adalah suatu rekayasa negative yang dilontarkan oleh negara maju yang ingin menghambat kemajuan pembangunan negara-negara dunia ketiga dalam rangka mempertahankan status quo internasional yang sangat menguntungkan bagi mereka. Negara-negara kaya berusaha memaksa negara-negara miskin untuk menerapkan program-program pengendalian kelahiran secara agresif, padahal kemajuan ekonomi negara-negara yang sekarang telah maju dan kaya tersebut didukung oleh pertumbuhan penduduk yang pesat selama abad ke-19. Pertumbuhan Penduduk Adalah Masalah yang Sebenarnya

Argumentasi Garis Keras: Populasi dan Krisis Global Argumen ini mencoba untuk mengaitkan semua penyakit sosial dan ekonomi dunia dengan pertambahan penduduk sebagai penyebabnya. Pertambahan penduduk yang tidak dibatasi dianggap sebagai penyebab pokok terjadinya kemiskinan, standar hidup yang rendah, kekurangan gizi, kesehatan yang buruk, degradasi lingkungan, dan masalah-masalah sosial lainnya. Langkah terpenting yang harus segera dilakukan pemerintah negara berkembang adalah upaya stabilisasi populasi. Disertai dengan paksaan seperti program sterilisasi dan peraturan formal lainnya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk.

Argumentasi Teoritis: Siklus Populasi-Kemiskinan dan Pentingnya Program Keluarga Berencana. Pertumbuhan penduduk secara cepat menimbulkan berbagai konsekuensi ekonomi yang merugikan, dan hal itu merupakan masalah utama yang dihadapi negara-negara berkembang. Pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat menimbulkan dampak sosial-ekonomi dan psikologis yang melatarbelakangi kondisi

keterbelakangan.Pertumbuhan penduduk juga menghalangi proses terciptanya kehidupan yang lebih baik karena menguras tabungan rumah tangga dan negara.

13

Jumlah penduduk yang terlampau besar akan menguras kas pemerintah yang sudah sangat terbatas untuk menyediakan berbagai pelayanan kesehatan, ekonomi, dan sosial bagi generasi baru. Melonjaknya beban pembiayaan atas anggaran pemerintah ini akan mengurangi kemungkinan dan kemampuan pemerintah meningkatkan taraf hidup generasi dan akhirnya akan mendorong terjadinya transfer kemiskinan kepada generasi mendatang.

Argumen Empiris: Tujuh Konsekuensi Negatif dari Pertumbuhan Penduduk yang Pesat Pertumbuhan ekonomi: Kenaikan jumlah penduduk yang cepat cenderung menurunkan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita. Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan: Pertambahan penduduk yang sangat cepat berdampak negatif terhadap penduduk miskin, terutama yang paling miskin. Pendidikan: Pertumbuhan penduduk yang pesat juga akan menyebabkan distribusi anggaran pendidikan semakin kecil. Kesehatan: Jarak kelahiran yang dekat cenderung menurunkan berat badan bayi dan meningkatkan resiko kematian bayi. Ketersediaan Bahan Pangan: Penyediaan bahan pangan akan semakin sulit jika pertambahan penduduk sangat cepat tidak terkendali. Lingkungan Hidup: Pertumbuhan penduduk yang pesat ikut memacu proses kerusakan dan pengrusakan lingkungan hidup, baik itu berupa penggundulan hutan, pengikisan cadangan bahan bakar kayu, erosi tanah, penyusutan populasi ikan, dan hewan-hewan liar, pencemaran air, pencemaran udara, dan pemadatan daerah hunian di perkotaan. Migrasi Internasional: Ledakan penduduk di negara-negara dunia ketiga memacu terjadinya migrasi internasional sebagai akibat perekonomian di negara-negara berkembang tidak lagi mampu menyediakan lapangan kerja. Namun, masalah migrasi internasional ini lebih berdampak pada negara-negara maju sehingga masalah ini punya muatan politik, terutama di Amerika Utara dan Eropa.

14

Sasaran Dan Tujuan: Menuju Suatu Konsensus Tiga Proporsisi yang merupakan komponen utama dalam gagasan yang menjadi konsensus tersebut: 1. Pertumbuhan penduduk bukan merupakan penyebab utama rendahnya taraf hidup masyarakat, kesenjangan pendapatan yang merupakan masalah poko negara-negara dunia ketiga. 2. Persoalan kependudukan tidak hanya menyangkut jumlah, akan tetapi juga meliputi kualitas hidup dan kesejahteraan materiil. 3. Pertumbuhan penduduk yang cepat memang mendorong timbulnya masalah keterbelakangan dan membuat prospek pembangunan menjadi jauh.

Beberapa Pendekatan Kebijakan Ada tiga bidang kebijakan yang secara langsung dan tidak langsung mempunyai pengaruh penting terhadap kondisi-kondisi kependudukan yang ada sekarang dan yang akan datang, yaitu: 1. Kebijakan-kebijakan umum dan khusus yang diajukan oleh pemerintah negaranegara berkembang untuk mempengaruhi dan bahkan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk serta penyebaran penduduk mereka. 2. Kebijakan-kebijakan umum dan khusus dari negara-negara maju untuk mengurangi konsumsi yang berlebihan atas sumber-sumber daya dunia yang terbatas jumlahnya, serta mendorong distribusi yang lebih merata dan adil atas keuntungan-keuntungan yang dihasilkan kemajuan perekonomian global. 3. Kebijakan-kebijakan umum dan khusus dari negara-negara maju dan badanbadan internasional untuk membantu negara-negara berkembang mencapai target atau sasaran-sasaran kebijakan kependudukan yang tengah mereka upayakan.

15

Apa yang Bisa Dilakukan oleh Negara-negara Berkembang 1. Pemerintahan negara-negara berkembang dapat mempengaruhi masyarakat agar memilih pola keluarga kecil melalui media massa dan proses pendidikan (baik formal maupun informal). 2. Pemerintah dapat melancarkan program-program keluarga berencana dengan dukungan pelayanan kesehatan dan alat kontrasepsi secara besar-besaran. 3. Pemerintah secara terencana dapat memanipulasikan insentif maupun disinsentif ekonomi guna mengurangi jumlah anak per keluarga 4. Pemerintah dapat mencoba memaksa rakyatnya secara langsung agar mereka tidak memiliki banyak anak melalui pemerlakuan undang-undang khusus yang dilengkapi dengan sanksi-sanksi tertentu.

Apa yang Bisa Dilakukan Negara-negara Maju: Sumber Daya, Populasi dan Lingkungan Global Ada dua macam kegiatan nyata dan paling penting yang secara langsung dapat membantu mencapai keberhasilan upaya-upaya penurunan tingkat kelahiran negaranegara berkembang: 1. Penyediaan bantuan-bantuan riset untuk mengembangkan metode dan teknologi pengendalian kelahiran, seperti pil kontrasepsi, intrauterine devices (IUD) modern, penyempurnaan prosedur sterilisasi secara sukarela serta alatalat kontrasepsi lainnya yang efektif terutama bagi penduduk-penduduk di sebagian negara Afrika yang sudah terancam wabah AIDS. 2. Penyediaan bantuan keuangan oleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang dalam rangka melancarkan program-program keluarga

berencana, pengembangan sarana-sarana pendidikan umum, dan kegiatankegiatan penelitian guna merumuskan kebijakan kependudukan nasional yang seefektif mungkin. Kesimpulan Dalam dekade terakhir, angka kelahiran di negara-negara miskin mengalami penurunan yang signifikan. Para Ahli kependudukan kini sibuk menurunkan, paling

16

tidak sampai mencapai angka yang tidak berlebihan. Penurunan ini adalah hasil dari kontribusi yang tidak kecil dari semakin meluasnya ketersediaan program keluarga berencana. Perubahan ini membantu menyiapkan fase selanjutnya bagi kemungkinan suksesnya usaha pembangunan pada tahun-tahun selanjutnya. Hal ini tidak terlepas dari upaya sinergis yang dilakukan oleh negara-negara maju dalam menyediakan bantuan pembangunan yang diperluas, terutama upaya-upaya yang difokuskan pada kebutuhan dan kesempatan untuk mengurangi kemiskinan secara besar-besaran, dimana kemiskinan masih menjadi penyebab terbesar dari angka kelahiran yang tinggi.

STUDI KASUS Populasi, Kemiskinan, Dan Pembangunan: Cina dan India Cina Kebijakan kependudukan Cina dimulai pada tahun 1980 Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah komunis Cina sangat ketat yaitu satu keluarga hanya diperbolehkan memiliki satu anak. Kebijakan ini baru menuai hasil pada pertengahan tahun 1990-an dimana tingkat fertilitas Cina mulai stabil. Dampak negatif dari kebijakan ini adalah adanya wanita yang hilang di Cina sebagai akibat budaya masyarakat Cina yang lebih memilih memiliki anak laki-laki daripada anak perempuan. Terlepas dari dampak negatif dan kerasnya pelaksanakan kebijakan ini pemerintah Cina berhasil menekan laju fertilitas sampai angka 1,9 dan tetap stabil. Kebijakan yang diambil Cina menunjukkan kediktatoran ternyata lebih mampu mengatasi masalah pertumbuhan penduduk lebih efektif daripada sistem demokrasi. India India merupakan negara pertama yang menerapkan program KB nasional tak lama setelah kemerdekaannya pada tahun 1949. Namun program ini relatif tidak efektif. Pada tahun 1975-1977 Perdana Menteri Indira Gandhi menerapkan kebijakan

17

yang lebih ekstrim berupa paksaan sterilisasi kepada masyarakat seperti adanya kamp sterilisasi dan penggunaan sarana paksaan yang membuat program KB justru mendapat reputasi buruk. Meskipun demikian program KB telah semakin luas setelah Indira Gandhi berjanji tidak akan melakukan kembali program KB paksa pada tahun 1980 dan memperoleh dukungan pembatasan anggota keluarga meningkatnya pendapatan pada 200 juta atau lebih kaum kelas menengah India. Kerala merupakan contoh daerah di India yang berhasil dengan sukses menurunkan tingkat fertilitas sampai pada angka 1,7 kelahiran per wanita dan terus bertahan pada angka tersebut, yang secara tidak langsung menyiratkan bahwa terjadi penurunan populasi sedikit demi sedikit setiap tahunnya. Keberhasilan menurunkan tingkat fertilitas di Kerala disebabkan karena proses dialog sosial dan politik telah memainkan peran utamanya dengan baik. Namun, keberhasilan di Kerala ini belum diikuti oleh semua daerah di India yang tingkat fertilitasnya tidak stabil. Meskipun begitu program KB tetap dijalankan dengan mengdepankan dialog-dialog sosial dan politik serta melibatkan media massa dalam mempromosikan KB. Kebijakan menekan tingkat fertilitas di India berlangsung lambat jika dibandingka dengan Cina. Hal ini mungkin terjadi karena sistem politik yang dianut dua negara tersebut berbeda sehingga efek dari kebijakan tersebut juga berbeda.

18

URBANISASI DAN MIGRASI DESA KOTA: TEORI DAN KEBIJAKAN Dilema Migrasi dan Urbanisasi Perpindahan penduduk secara besar besaran menjadi dilema dalam proses pembangunan. Selama beberapa dekade terakhir, di dalam dunia Internasional fenomena perpindahan penduduk secara besar besaran terjadi di berbagai pelosok daerah pedesaan ke kota kota di Afrika, Asia dan Amerika Latin, akibatnya, pada tahun 2050 diperkirakan jumlah penduduk dunia akan mencapai lebih dari 9 miliar dan ledakan atau laju pertumbuhan penduduk yang paling dramatis akan terjadi di kota kota besar di berbagai negara sedang berkembang. Urbanisasi: Kecenderungan dan Proyeksi Urbanisasi dan pendapatan per kapita memiliki hubungan atau kaitan yang positif. Umumnya semakin maju suatu negara, yang diukur dengan pendapatan per kapita, semakin banyak pula jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan, sementara negara yang pendapatan per kapita kecil, merupakan negara yang sebagian besar penduduknya tinggal di daerah pedesaan atau yang tinggal di perkotaan sedikit. Pada kenyataannya, ketika banyak negara yang lebih urban dimana seiring dengan kemajuan pembangunananya, negara negara yang dahulu termasuk dalam kategori negara miskin ternyata dewasa ini jauh lebih urban dibanding negara negara yang dahulunya maju, dengan asumsi tingkat pembangunannya setara dan dengan menggunakan ukuran pendapatan per kapita. Berdasarkan hasil World Development Report 1999/2000 Urbanisasi versus GNP dari tahun 1970 1995 yang diterbitkan oleh World Bank, hasil tersebut menunjukkan bahwa urbanisasi terjadi dimana saja, baik di negara dengan pendapatan tinggi maupun rendah, terlepas dari pertumbuhan yang positif atau negative. Dengan kata lain, urbanisasi dapat terjadi dimana saja di seluruh dunia, meskipun pada laju yang berbeda. Sehingga ada yang perlu dicermati dari urbanisasi yaitu apakah gejala urbanisasi hanya berkorelasi dengan pembangunan ekonomi atau terdapat hubungan sebab akibat di dalamnya?

19

Pada tahun 1950, terdapat 275 juta orang yang tinggal di kota kota di negara negara Dunia Ketiga atau hanya 38% dari 724 juta total penduduk perkotaan di seluruh dunia. Di tahun 2001, PBB memperkirakan meningkat hingga 3 milliar jiwa dan lebih dari dua per tiga di antaranya tinggal di kota kota metropolitan di negara negara sedang berkembang dan di tahun 2025 diperkirakan jumlah penduduk perkotaan di negara negara Dunia Ketiga tersebut mencapai lebih dari 4,1 milliar atau 80% dari total jumlah manusia yang hidup di semua kota di seluruh dunia. Itu berarti daerah daerah di perkotaan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin akan mendapat tambahan pendudukan sebesar 178% atau 1,8 milliar jiwa. Secara umum, tingkat pertumbuhan penduduk kota berkisar antara kurang dari 1% per tahun (di New York dan Tokyo) dan bahkan sampai lebih dari 6% per tahun (di kawasan Afrika seperti Nairobi, Lagos dan Accra), sedangkan di Asia dan Amerika Latin mengalami pertumbuhan penduduk antara 4% - 5% per tahun. Data kependudukan dari lima belas kota terbesar di dunia pada tahun 1995 dan proyeksi untuk tahun 2015 dari proyeksi PBB. Pada tahun 1995 hanya empat dari lima belas kota terbesar dunia yang berada di negara negara maju, yaitu Tokyo, Jepang di peringkat pertama; New York, A.S. di peringkat keempat; Loa Angeles, A.S. di peringkat ketujuh; dan Osaka, Jepang di peringkat keempat belas, dan sebelas negara lainnya berada di negara sedang berkembang. Jakarta, Indonesia, sendiri menempati peringkat kesebelas dengan jumlah penduduk 11,5 juta jiwa di tahun 1995. Pertumbuhan penduduk yang moderat di negara negara maju mengakibatkan laju pertumbuhan penduduknya tidak terlalu pesat dibanding dengan pertumbuhan penduduk di negara negara sedang berkembang. Akibatnya di tahun 2015 diproyeksikan hanya dua kota yang berada di negara maju yang menduduki peringkat lima belas besar kota terbesar dunia dengan perhitungan penduduk, dua ko ta tersebut adalah Tokyo di Jepang pada peringkat pertama atau tetap menduduki posisi pertama dalam lima belas kota terbesar dan New York di Amerika Serikat di posisi sebelas besar atau turun delapan peringkat, dan ketiga belas kota lainnya diproyeksikan berasal dari negara negara sedang berkembang.

20

Perbedaan definisi kawasan metropolitan dapat menjadi penyebab semakin meningkatnya jumlah kota kota besar di Dunia Ketiga. Pada tahun 1975, hanya terdapat lima kota besar di dunia, yaitu New York, A.S.; Mexico City, Meksiko; Sao Paulo, Brazil; Tokyo, Jepang dan Shanghai, China, dan meningkat drastis pada tahun 2000 menjadi sembilan belas kota besar dunia dimana dua diantaranya berada di negara maju,, yaitu New York, A.S. dan Tokyo, Jepang, dan sisanya berada di negara sedang berkembang. Kota besar baru dunia yaitu Los Angeles, AS; Buenos Aires, Argentina; Rio de Janeior, Brasil; Cairo, Mesir; Lagos, Nigeria; Karachi, Pakistan; Beijing, Cina; Osaka, Jepang; Manila, Filipina; Jakarta, Indonesia; Dhaka, Bangladesh; Calcuta, New Delhi dan Bombay, India. Di tahun 2015, PBB memproyeksikan terdapat tambah empat kota besar baru dunia, yaitu Istambul, Turkey; Bangkok, Thailand; Hyderabad, Pakistan; dan Tianjin, Cina. Hal lain yang dapat mendorong semakin meningkatnya jumlah kota besar baru dunia, dimana sebagian besar berasal dari negara negara berkembang, disebabkan oleh pengaruh kenaikan jumlah penduduk di kawasan perkotaan negara negara berkembang yang disebabkan oleh laju urbanisasi yang terus mendekati tingkat yang terjadi di negara negara maju. Kondisi lonjakan jumlah penduduk di daerah perkotaan pada negara negara berkembang dapat bersifat positif atau negative. Lonjakan penduduk di daerah perkotaan akan bersifat positif jika kota tersebut mampu memenuhi penawaran kerja, sehingga tertentu lonjakan penduduk tersebut justru akan membawa manfaat ekonomi seperti terciptanya skala ekonomis raksasa yang memungkinkan

penghematan unit unit biaya untuk penyelenggaraan kegiatan produksi, penyelenggaraan pelayanan dan fasilitas social, sumber tenaga terampil yang besar, dan sebagainya. Dan dapat pula bersifat negative jika pemusatan penduduk yang begitu banyak di daerah perkotaan tidak diimbangi dengan penyediaan perumahan yang layak dan jasa social lainnya serta pemerataan pendapatan maka justru akan menimbulkan masalah baik yang berdimensi ekonomi, lingkungan hidup, maupun yang berdimensi politik, sebab akan muncul biaya biaya sosial yang besar, seperti kriminalitas, pencemaran lingkungan hidup, kemacetan lalu lintas, dan lainnya.

21

Mantan Presiden Bank Dunia, Robert McNamara, menyatakan kekhawatiran dan keprihatinannya atas terus melonjaknya jumlah penduduk di daerah daerah perkotaan di negara dunia ketiga, yaitu: sebesar apa pun manfaat yang dibawa oleh para pendatang baru itu akan Nampak kerdil apabila dibandingkan dengan seluruh biaya atau masalah masalah yang akan ditimbulkannya. Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan yang begitu cepat telah jauh melampaui daya dukung sarana infrastruktur manusia dan fisik yang dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan ekonomi yang efisien berlandaskan stabilitas politik dan tata hubungan social yang mantap. Jangan harap kenyamanan hidup serta keramahtamahan akan terpelihara di kalangan penduduk kota kota. Akibat yang ditimbulkan dengan meluasnya urbanisasi desa kota dan yang bersifat memusat di kota adalah munculnya permukiman kumuh (slum) dan kampung kampung di tengah kota (shantytown) yang serba sesak dan liar, saling berhimpit, jorok dan jauh dari standar kesehatan maupun kenyaman hidup, sebagaimana sesuai dengan pernyataan Robert McNamara, mantan Presiden World Bank. Pada dasarnya pemukiman kumuh dapat muncul di perkotaan tidak sepenuhnya akibat dari lonjakan urbanisasi desa kota, tetapi juga disebabkan oleh pemerintah yang tidak tegas atau keliru dalam merumuskan dan/atau pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam pengembangan daerah perkotaan serta perencanaan tata kota, karena pada kenyataannya hampir 80% -90% perumahan yang ada di perkotaan sekarang ini tergolong illegal atau tidak resmi. Kondisi demikian menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh pemerintah di suatu negara dapat merumuskan kebijakan pembangunan yang memiliki dampak pasti terhadap pertumbuhan kota.

Peranan Kota Sebuah kota terbentuk karena dapat memberikan keunggulan dari segi biaya kepada produsen dan konsumen melalui ekonomi aglomerasi (agglomeration economies). Walter Isard menyebutkan bahwa ekonomi eglomerasi muncul dalam dua bentuk yaitu, ekonomi urbanisasi (urbanization economies), yaitu dampak dampak yang berkaitan dengan pertumbuhan kawasan geografis yang terpusat secara

22

umum, dan ekonomi lokalisasi (localization economies) adalah dampak dampak yang ditimbulkan oleh sektor sektor khusus dalam perekonomian yang berkembang dalam suatu daerah. Ekonomi lokalisasi sering muncul dalam bentuk keterkaitan ke depan (forward linkages) atau keterkaitan ke belakang (backward linkages). Keterkaitan ke depan (forward linkages) merupakan pertambahan tingkat output perekonomian karena peningkatan suatu output sektor produksi melalui jalur penawaran, misalnya, jika terjadi peningkatan output yang diproduksi oleh suatu sektor, sektor tersebut dapat mendistribusikan lebih banyak outputnya ke sektor sektor lainnya untuk digunakan sebagai input oleh sektor lainnya. Selain itu, keterkaitan ke depan juga dapat tercipta ketika biaya transportasi menjadi signifikan, maka penggunaan output industri akan mendapat keuntungan bila memilih lokasi yang lebih dekat ke pasar, sehingga dapat menghemat biaya. Keterkaitan ke belakang (backward linkages) adalah kemampuan suatu sektor mendorong pertumbuhan output sektor lain melalui jalur permintaan input, misalnya, ketika suatu perusahaan yang bergerak di bidang industri tertentu menetapkan suatu lokasi yang sama dengan lokasi tempat banyaknya permintaan lapangan kerja di bidang industri yang sama dengan keterampilan yang sama, maka perusahaan itu dapat mengambil sebagian pekerjanya dari sebagian penduduk di sekitar lokasi tempat perusahaan itu berada. 1. Distrik Industri Distrik industri memainkan peranan penting sebagai klaster (cluster) dalam teori keunggulan komparatif. Salah satu contoh bentuk distrik industri adalah dengan memilih lokasi di mana suatu perusahaan dapat mempelajari kegiatan perusahaan lain yang berada dalam industri yang sama, melalui hubungan formal seperti joint ventures ataupun hubungan informal seperti tips yang diperoleh melalui jamuan atau undangan makan malam ataupun makan siang perusahaan. Keuntngan lain dengan adanya distrik industri adalah adanya spesialisasi yang fleksibel, baik dalam penarikan tenaga kerja ataupun dalam bidang pemasaran sebab dengan adanya distrik industri dari segi pemasaran konsumen telah mengetahui bahwa distrik tersebut adalah lokasi yang tepat untuk mendapatkan pilihan terbaik.

23

Keuntungan kolektif dari keberadaan distrik distrik industri tidak hanya didapat melalui fator lokasi yang cenderung bersifat pasif, namun juga dapat dibuat secara aktif melalui investasi bersama dan berbagai aktivitas promosi dari banyak perusahaan dalam distrik tersebut. Pada dasarnya faktor yang menentukan dinamisme duatu distrik adalah kemampuan perusahaan perusahaan di dalam distrik tersebut untuk menemukan mekanisme dalam melakukan tindakan tindakan kolektif. Sementara pemerintah berperan dalam penyediaan bantuan financial dan berbagai layanan penting dalam memfasilitasi pengembangan klaster. Selain itu, modal sosial juga penting dalam distrik industri, terutama kepercayaan terhadap kelompok dan sejarah bersama dari rindakan kolektif yang sukses dari perusahaan perusahaan yang ada di distrik tersebut. Modal social tidak dapat ditumbuhkan secara paksa sebab modal social biasanya tumbuh secara organik dalam komunitas ekonomi.

Skala Perkotaan yang Efisien Ekonomi lokalisasi akan mencapai efisien jika mencakup industri industri yang memiliki keterkaitan yang dekat, baik keterkaitan ke depan ataupun ke belakang, bukan mencakup seluruh industri yang dimiliki oleh suatu negara dikelompokkan ke dalam satu kota saja. Pengelompokan secara bersama sama ke dalam suatu wilayah tanpa melihat keuntungan produktivitas dan hubungan antar industri justru akan menimbulkan masalah baru, yaitu kemacetan. Kemacetan yang timbul tersebut akan menimbulkan biaya kemacetan, baik fisik maupun non fisik atau biaya langsung atau tidal langsung. Bila aglomerasi industri industri, baik industri yang memiliki hubungan atau keterkaitan dekat atau tidak, dipusatkan di suatu kota, maka kota tersebut menjadi padat dan lahan kota untuk pemukiman semakin sempit, akibatnya harga lahan menjadi mahal. Pada daerah kota yang luas, para pekerja cenderung bertempat tinggal semakin ke pinggir, namun jika lahan kota sempit, maka gedung gedung tinggi akan dibangun, baik untuk perkantoran ataupun hunian seperti apartemen atau kondominium. Munculnya gedung gedung tinggi di wilayah perkotaan sebagai

24

akibat dari aglomerasi industri yang salah menyebabkan biaya infrastruktur bertambah, seperti air, listrik dan sistem pembuangan. Kekuatan kekuatan konsentrasi atau kekuatan sentripetal dari ekonomi akromerasi kota bersifat berbanding terbalik dengan kekuatan penyebaran, atau kekuatan sentrifugal dari disekonomi yang menampilkan biaya yang lebih rendah dengan meningkatnya pemusatan, sebab faktor tahan tidak dapat dipindahkan. Dua teori tentang ukuran kota adalah sebagai berikut: a. Model Hierarki Kota atau Teori Tempat Sentral (Urban Hierarchy Model/ Central Place Theory) Menurut August Losch dan Walter Christaller, pada model ini berbagai pabrik dari industri yang berbeda beda memiliki radius karakteristik pasar yang dihasilkan dari pengaruh tiga faktor, yaitu (1) skala ekonomi dalam produksi, (2) biaya transportasi, dan (3) bagaimana persebaran permintaan terhadap tanah bila dibandingkan dengan tempat yang tersedia. Semakin besar skala ekonomi yang dipakai dan semakin rendah biaya transportas, akan semakin besar radius daerah yang dilayani oleh industri tersebut untuk menekan biaya. Sebaliknya, apabila harga tanah meningkat pesat dalam kota yang terkait, maka akan menghasilkan daerah layanan yang semakin kecil. b. Model Tanah Terdeferensiasi (Differentiated Plane Model) Model ini dikemukakan oleh Weber, Isard, dan Moses, yaitu keterbatasan rute transportasi yang menghubungkan berbagai industri dalam sebuat perekonomian memiliki peranan yang sangat penting. Model ini meramalkan pemusatan sebuah kota saat rute transportasi yang ada terbatas, hal ini disebut internal nodes. Hiaraki dari ukuran kota tergantung pada pola daro nodes dan bauran industri yang ada.

Masalah yang Ditimbulkan Kota Raksasa Pada kasus yang melibatkan negara-negara berkembang, rute-rute transportasi utama sering kali merupakan warisan dari kolonialisme. Pada banyak kasus, ibukota negara akan terletak dekat dengan sisitem ini dan berlokasi dekat dengan pinggiran

25

pantai. Tipe sistem transportasi ini dikenal sebagai sistem hub-and-spoke, yang khususnya terlihat saat ibukota terletak di daerah pedalaman di negara tersebut. Kadangkala, sebuah kota inti tumbuh menjadi terlalu besar sehingga industri yang berlokasi di kota tersebut beroperasi dengan biaya yang tidak lagi minimum. Di negara-negara maju, perkotaan inti lainnya sering kali berkembang dalam daerah metropolitan yang luas, yang menjadikan keseluruhan daerah tersebut dapat terus mendapat keuntungan dari ekonomi aglomerasi dan sekaligus menurunkan sejumlah biaya; atau kota-kota baru dapat saja tumbuh pada daerah-daerah yang benar-benar baru pada negara tersebut. Di negara-negara berkembang, pemerintah kurang terlibat dalam membagi aktivitas perekonomian ke ukuran yang lebih memungkinkan untuk diatur dengan baik, atau walaupun mereka terlibat, keterlibatan ini sering sekali tidak efektif. Sebagai contoh pemerintah mungkin bermaksud menyebarkan industri tanpa

mempertimbangkan sifat-sifat aglomerasi, memerikan insentif bagi industri untuk melakukan penyebaran tetapi tanpa memperhatikan untuk mengelompokkan semua industri yang relevan, sebagaimana yang terjadi di kawasan industri di Pakistan.

Bias terhadap Kota Utama Salah satu pandangan menyimpang yang sering kali menyebabkan permasalahan yang cukup pelik dapat disebut bias terhadap kota utama (firs city bias). Artinya adalah kota terbesar dari negara tersebut, atau kota utama, menerima investasi publik yang sangat besar dan mendorong investasi swasta yang tidak proporsional, dibandingkan dengan kota kedua atau kota-kota lain yang lebih kecil dalam negara tersebut. Sebagai hasilnya, kota utama memiliki jumlah penduduk sangat besar dan tingkat aktivitas perekonomian yang tidak efisien dan tidak proporsional. Secara umum, yang ditimbulkan kota besar kemungkinan berasal dari kombinasi sistem transportasi hub-and-spoke dan penempatan pusat pemerintahan di kota yang paling besar, sehingga menggabungkan dampak dari model hirarki kota dengan dampak dari model tanah terdiferensiasi. Hal ini laulu didukung oleh budaya

26

politik dari pencarian sewa dan kegagalan pasar modal yang membuat pembentukan pusat-pusat kota yang baru menjadi tugas yang tidak dapat dilakukan pasar tersebut. Salah satu pemikiran yang diajukan oleh Paul Krugmen menekankan bahwa dengan kondisi industri subtitusi impor, dengan tingkat proteksi yang tinggi, akan memicu perdagangan internasional yang menurun, mengakibatkan populasi dan aktivitas perekonomian memiliki kecendrungan untuk berpusat di satu kota saja, sebagian besar dengan alasan untuk menghindari biaya transportasi. Sehingga, perusahaan akan memilih untuk menjalankan operasi di kota yang menjadi temapat hidup sebagian besar konsumennya, yang kemudian menarik lebih banyak lagi penduduk untuk datang ke daerah tersebut untuk mencari pekerjaan dan mungkin harga yang lebih murah; pemusatan ini pada gilirannya akan menarik lebih banyak lagi perusahaan dan konsumen dalam sebuah lingkaran sebab-akibat yang terus menerus terjadi. Faktor ekonomi politik pada akhirnya memiliki kontribusi yang penting dalam melahirkan ibu kota raksasa (capital city giantism): adalah lebih menguntungkan bagi perusahaan untuk memilih lokasi di mana mereka mendapatkan akses yang lebih mudah terhadap aparat pemerintahan, misalnya untuk mendapatkan pengistimewaan secara politis dari pihak yang berkuasa yang dapat digunakan untuk mendapatkan harga khusus atau adanya suap agar operasi berjalan. Masalah ibu kota raksasa ini juga dapat dilihat sebagai sebuah bentuk jebakan keterbelakangan (underdevelopment trap), yang dapat saja dihindari secara keseluruhan melalui pemberlakuan kebijakan yang demokratis bersama dengan keseimbangan iklim kompetisi untuk mendapatkan ekspor maupun memenuhi konsumsi domestik. Empat penjelasan yang menuraikan sebab-sebab timbulnya raksasa yaitu produksi untuk pasar domestik yang sarat dengan proteksi dan biaya transportasi yang tinggi; sangat sedikitnya kota-kota kecil yang memadai untuk menjadi loksai alternatif bagi perusahaan yang mencerminkan pola infrastruktur yang sama; lokasi ibu kota di kota terbesar; dan logika politis dari kediktatoran yang tidak stabil-bersifat saling melengkapi dan membantu menjelaskan beberapa keunggulan demokrasi

27

dengan kebijakan ekonomi yang lebih seimbang, termasuk investasi yang lebih terencana di bidang infrastruktur. Sektor Informal di Perkotaan Keberadaan sektor informal (informal sector) yang umumnya tidak terorganisir dan tertata secara khusus melalui peraturan, resminya baru dikenal pada tahun 1970an sesudah diadakannya serangkain observasi di beberapa negara-negara berkembang yang sejumlah besar tenaga kerja perkotaanya tidak memperoleh tempat atau pekerjaan di sektor modern yang formal. Di kota-kota itu, para tenaga kerja pendatang baru yang sangat banyak tersebut harus menciptakan suatu lapangan kerja sendiri atau bekerja pada perusahaan-perusahaan kecil milik keluarga. Sektor informal terus memainkan peran yang penting di negara berkembang, meskipun selama bertahun-tahun diabaikan atau justru dimusuhi. Di banyak negara berkembang, sekitar setengah dari penduduk perkotaan bekerja di sektor informal. Sektor informal ditandai oleh beberapa karateristik unik seperti sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa, berskala kecil, unit-unit produksinya dimiliki secara perorangan atau keluarga, banyak menggunakan tenaga kerja (padat karya), dan teknologi yang dipakai relative sederhana. Sektor ini cenderung beroperasi seperti halnya perusahaan persaingan monopolistik yang bercirikan mudahnya untuk memasuki industri, kapasitas berlebih, dan adanya persaingan menurunkan laba menuju harga rata-rata penawaran tenaga kerja potensial yang baru. Para pekerja yang menciptakan sendiri lapangan kerjanya di sektor informal biasanya tidak memiliki pendidikan formal. Sebagian dari mereka tinggal di pusat permukiman sangat sederhana dan kumuh. Bahkan ada di antara mereka yang lebih sial lagi; mereka tidak memiliki rumah sehingga terpaksa berteduh di bawah kolong jembatan atau emperan toko.

Kebijakan untuk Sektor Informal Perkotaan Sektor informal terkait dengan sektor pedesaan dalam pengertian kawasan atau sektor pedesaan merupakan sumber tenaga kerja miskin yang berlebih, yang kemudian mengisi sektor informal di daerah perkotaan guna menghindari kemiskinan

28

dan pengangguran di desa, walaupun sebenarnya kondisi kerja dan kualitasa hidup di kota belum tentu baik. Selain itu, sektor informal juga terkait erat dengan sektor formal di perkotaan, yaitu sektor formal bergantung pada sektor informal dalam penyediaan input-input produksi dan tenaga kerja murah, sedangkan sektor informal sangat tergantung pada sektor formal dalam kedudukannya sebagai pasar utama dari sebagian besar pendaptan yang mereka terima. Kprihatinan mengenai bias perkotaan berawal dari tulisan yang cukup berpengaruh dari seorang peraih nobel, Sir Arthur Lewis pada tahun 1950an. Lewis memandang bahwa para pekerja sektor tradisional, pedagang kaki lima seperti para penjual Koran, adalah orang-orang yang tidak produktif dan mengalihkan perhatian dari pekerjaan perkotaan yang utama, yaitu industrialisasi. Arti penting dari sektor informal dalam penyediaan sumber pendapatan bagi penduduk miskin tidak perlu disangsikan lagi. Namun, ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan, seperti benar-tidaknya sektor informal itu merupakan bak penampungan sementara bagi orang-orang yang belum masuk ke sektor formal, dengan kata lain, sekedar batu loncatan bagi seseorang untuk menunggu pekerjaan yang lebih layak. Kenyataan-kenyataan yang ada di sekeliling kita nampaknya mendukung gagasan di atas yang menghimbau agar sektor informal itu sebaiknya dilembagakan saja. Lagi pula harus diingat bahwa sektor formal di negara mana pun, khususnya di negra-negara berkembang, output dan daya tampungnya terlalu kecil untuk tenaga kerja yang begitu banyak, terutama yang ada di daerah perkotaan. Menurut perkiraan International Labor Organization (ILO), untuk menampung pertambahan tenaga kerja secara memadai, sektor formal harus tumbuh paling tidak sebesar 10% per tahun. Ada beberapa argument lain yang turut menggarisbawahi pentingnnya promosi sektor informal. Pertama, bukti yang ada menunjukkan bahwa sektor informal mampu menciptakan surplus, di tengah-tengah lingkungan yang kurang bersahabat sekalipun. Kedua, sebagai akibat dari rendahnya intensitas permodalan, sektor informal hanya memerlukan atau menyerap sebagian kecil modal dari jumlah

29

modal yang diperlukan oleh sektor formal untuk memperkerjakan sejumlah tenaga kerja yang sama. Ketiga, sektor informal juga mampu memberikan latihan kerja dan magang dengan biaya yang sangat murah apabila dibandingkan dengan biaya yang dituntut oleh lembaga-lembaga dalam sektor formal. Keempat, sektor informal menciptakan permintaan atas tenaga kerja semi terlatih dan kurang ahli yang jumlahnya secara absolute atau relative terus meningkat dan yang tidak mungkin terserap oleh sektor formal yang hanya mau menerima tenaga kerja terampil. Kelima, sektor informal lebih banyak dan lebih mudah menerapkan teknologi tepat guna serta memanfaatkan segenap sumber daya lokal, sehingga memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih efisien. Keenam, sektor informal memainkan peranan yang sangat penting dalam proses daur ulang limbah atau sampah.

Kaum Wanita dalam Sektor Informal Di sejumlah kawasan di dunia ini, wanita banyak terlibat dalam arus migrasi desa-kota. Mayoritas penduduk di banyak perkotaan terdiri dari kaum wanita. Meskipun secara historis perpindahan kaum wanita selalu dalam rangka mengiringi suami, namun belakangan ini semakin banyak wanita yang merantau sendirian ke kota-kota di Amerika Latin, Asia, dan Afrika, meniggalkan keluarganya di kampong, dalam rangka mencari peluang ekonomi guna meningkatkan status dan taraf hidupnya. Banyak wanita pekerja yang menjalankan usaha secara kecil-kecilan, yang disebut unit usaha mikro (microenterprises), yang memerlukan sedikit sekali modal (terkadang bahkan tanpa modal sama sekali). Produk yang paling sering digeluti adalah makanan buatan sendiri atau barang-barang kerajinan tangan. Sebenarnya kalau dihitung dari jumlah modal yang digunakan, tingkat pengembalian (rate of returns) unit usaha mikro yang oleh kaum wanita sangat tinggi. Hanya saja tenaga dan waktu yang mereka curahkan sangat banyak. Meskipun sejumlah program penyediaan kredit khusus bagi wanita terbukti sangat berhasil, sampai sekarang sumber-sumber kredit yang tersedia bagi mereka masih sangat sedikit. Hampir seluruh kredit yang ada di salurkan melalui lembaga-

30

lembaga resmi atau instansi di sektor formal. Akibatnya, kaum wanita begitu sulit mendapatkan kredit, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Sejauh ini, program yang dijalankan oleh pemerintah untuk meningkatkan pendaptan kelompok penduduk termiskin justru mengabaikan keluarga-keluarga yang paling membutuhkannya. Legalisasi dan promosi ekonomis atas berbagai kegiatan di sektor informal, di mana sebagian besar kaum wanita di perkotaan bekerja, akan melipatgandakan fleksibilitas financial kaum wanita dan sekaligus memacu tingkat produktivitas unitunit usaha mikro yang mereka kelola.

Pengangguran di Perkotaan Di banyak negara berkembang, tingkat penawaran tenaga kerja tersebut jauh melebihi tingkat permintaan yang ada sehingga mengakibatkan tingginya angka pengangguran dan semi pengangguran di daerah-daerah perkotaan. Sebagai contoh, data PBB menunjukkan bahwa gabungan tingkat pengangguran terselubung dan terbuka di tahun 1995 adalh sebesar 28,7% untuk Argentina, lebih dari 30% untuk Filipina, dan 42% di Kamerun. Terakhir, jika kita memfokuskan pada kelompok penduduk berusia 15-24 tahun (yang mayoritas saat ini merupakan migrant), maka tingkat pengangguran in akan melebihi 50% misalnya, sebagaimana yang terjadi di Kolombia, Ethiopia, Indonesia, Meksiko, Aljazair, dan Panama selama decade 1990an.

Migrasi dan Pembangunan Migrasi desa-kota telah meningkat pesat, dan pembangunan di perkotaan memainkan peran yang penting dalam pembangunan ekonomi. Tingkat migrasi desakota di negara-negara berkembang telah jauh melampaui tingkat penciptaan atau penambahan lapangan kerja, sehingga migrasi yang saat ini berlangsung sedemikian deras telah jauh melampaui daya serap sektor-sektor industri maupun jasa-jasa pelayanan sosial yang ada di daerah-daerah perkotaan. Migrasi memperburuk ketidakseimbangan struktural antara desa dan kota secara langsung dalam dua hal. Pertama, di sisi penawaran, migrasi internal secara

31

berlebihan akan meningkatkan jumlah pencari kerja di perkotaan yang melampaui tingkat atau batasan pertumbuhan penduduk, yang sedianya masih dapat didukung oleh segenap kegiatan ekonomi dan jasa-jasa pelayanan yang ada di daerah perkotaan. Kedua, di sisi permintaan, penciptaan kesempatan kerja di daerah perkotaan lebih sulit dan jauh lebih mahal daripada penciptaan lapangan kerja di pedesan, karenakebanyakan jenis pekerjaan sektor-sektor industri di perkotaan membutuhkan aneka input-input komplementer yang sangat banyak jumlah maupun jenisnya. Di samping itu, tekanan kenaikan upah di perkotaan dan tuntutan karyawan untuk mendapatkan aneka tunjangan kesejahteraan, serta tidak tersedianya teknologi produksi tepat guna yang lebih padat karya juga membuat para produsen enggan menambah karyawan karena sekarang peningkatan output sektor modern tidak harus dicapai melalui peningkatan produktivitas atau jumlah pekerja. Namun, dampak negative yang ditimbulkan oleh migrasi terhadap proses pembangunan ternyata lebih luas daripada sekedar memperburuk kondisi maupun tingkat pengangguran di perkotaan, baik itu yang terbuka (penuh) maupun yang terselubung. Dengan demikian, kita harus mengakui bahwa arus migrasi yang jauh melampaui kesempatan kerja yang ada merupakan gejala dan salah satu penyebab utama keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga. Oleh karena itu, pemahaman terhadap penyebab, faktor penentu, dan akibat-akibat dari migrasi internal desa-kota merupakan bekal pokok bagi kita memahami karateristik dan hakekat proses pembangunan, serta untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang paling tepat untuk dapat mempengaruhi proses tersebut dengan cara-cara yang bisa diterima secara sosial. Pola migrasi adalah hal yang kompleks. Jenis migrasi yang paling penting jika ditinjau dari sudut pandang pembangunan jangka panjang adalah migrasi dari desakota (rural-urban migration), namun migrasi dari desa ke desa, kota ke kota, dan bahkan migrasi dari kota ke desa pun terjadi dalam jumlah besar. Migrasi dari desa ke kota adalah yang paling penting karena pangsa jumlah penduduk yang menempati

32

daerah perkotaan terus bertambah meskipun tingkat fertilitas di kota jauh lebih rendah daripada desa, dan perbedaan ini cukup mempengaruhi migrasi dari desa ke kota.

Menuju Teori Ekonomi tentang Migrasi Desa-Kota Pembangunan ekonomi di negara-negara Eropa Barta dan Amerika Serikat berkaitan erat dengan, dan pada kenyataannya didefenisikan sebagai, perpindahan tenaga kerja dari daerah pedesaan ke kota-kota. Karena perekonomian pedesaan didominasi oleh sektor pertanian, sementara perekonomian di daerah perkotaan memusatkan kegiatannya pada industrialisasi, maka kemajuan perekonomian secara keseluruhan di negara-negara maju tersebut dikarateristikkan oleh adanya proses realokasi yang berlangsung secara bertahap dari sektor pertanian ke sektor industri melalui migrasi dari desa ke kota, baik dalam skala internal (domestik) maupun skala internasional. Urbanisasi dan industrialisasi pada dasarnya adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Model historis ini kemudian dianggap sebagai suatu cetak biru atau standar penjelasan yang baru bagi proses pembangunan di negara-negara berkembang, sebagaimana ditegaskan oleh, misalnya, teori perpindahan tenaga kerja yang dirumuskan oleh Arthur Lewis.

Deskripsi Verbal tentang Model Todaro Model Todaro mendasarkan diri pada pemikiran bahwa arus migrasi itu berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara kota dengan desa. Namun, pendapatan yang dipersoalkan di sini bukanlah penghasilan yang aktual, melainkan penghasilan yang diharapkan (expected income). Dalil dasar dalam model ini adalah bahwa para migrant senantiasa mempertimbangkan dan membanding-bandingkan berbagai macam pasar tenaga kerja yang tersedia bagi mereka di sektor pedesaan dan perkotaan, serta kemudian memilih salah satu di antaranya yang dapat memaksimumkan keuntungan yang diharapkan dari migrasi. Pada dasarnya, model Todaro tersebut beranggapan bahwa segenap angkatan kerja, baik yang aktual maupun potensial, senantiasa membandingkan penghasilan

33

yang diharapkan selama kurun waktu tertentu di sektor perkotaan dengan rata-rata tingkat penghasilan yang bisa diperoleh di pedesaan. Model Todaro dan Haris-Todaro relevan dengan negara-negara berkembang meskipun upah yang berlaku tidak ditetapkan oleh kekuatan-kekuatan institusional, seperti peraturan upah minimum. Penelitian teoritis terbaru mengenai migrasi desakota telah menegaskan bahwa kemunculan sektor-sektor modern yang memberikan upah tinggi bersama-sama dengan pengangguran atau sektor tradisional perkotaan seperti yang Nampak dalam model ini. Jadi singkatnya, model migrasi dari Todaro memiliki empat pemikiran dasar sebagai berikut: 1. Migrasi desa-kota diransang terutama oleh berbagai pertimbangan ekonomi yang rasional dan langsung berkaitan dengan keuntungan. 2. Keputusan untuk bermigrasi bergantung pada selisih antara tingkat pendapatan yang diharapkan di kota dan tingkat pendapatan aktual di pedesaan. 3. Kemungkinan mendapatkan pekerjaan di perkotaan berkaitan langsung dengan tingkat lapangan pekerjaan di perkotaan. 4. Laju migrasi desa-kota bisa saja terus berlangsung meskipun telah melebihi laju pertumbuhan kesempatan kerja.

Lima Implikasi Kebijakan Pertama, ketimpangan kesempatan kerja antara kota dan desa harus dikurangi. Karena para migran diasumsikan tanggap terhadap adanya selisih pendaptan maka ketimpangan kesempatan ekonomi antara segenap ssektor perkotaan dan pedesaan harus dikurangi. Kedua, pemecahan masalah pengangguran tidak cukup hanya dengan menciptakan lapangan pekerjaan di kota. Ketiga, pengembangan pendidikan yang berlebihan dapat mengakibatkan migrasi dan pengangguran. Model Todaro juga memiliki implikasi kebijakan yang

34

penting untuk mencegah investasi di bidang pendidikan yang berlebihan, terutama pendidikan tinggi. Keempat, pemberian subsidi upah dan penentuan harga faktor produksi tradisional justru menurunkan produktivitas. Namun, dampak dari kebijakan subsidi upah terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat kota dan desa secara keseluruhan tidak begitu jelas. Hal itu sangat dipengaruhi oleh tingkat pengangguran di daerah perkotaan, besarnya selisih pendapatan yang diharapkan antara kota dan desa, serta besar-kecilnya dorongan untuk melakukan migrasi pada saat lapangan kerja di perkotaan bertambah. Terakhir, program pembangunan desa secara terpadu harus dipicu. Setiap kebijakan yang hanya ditujukan untuk memenuhi sisi permintaan kesempatan kerja di kota, seperti subsidi upah, rekruitmen pegawai lembaga-lembaga pemerintah, penghapusan distorsi harga faktor-faktor produksi, dan penyediaan insentif perpajakan bagi para majikan, dalam jangka panjang ternyata tidak begitu efektif untuk meniadakan atau menanggulangi masalah pengangguran apabila dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan yang khusus dirancanguntuk mengatur secara langsung penawaran tenaga kerja ke wilayah perkotaan.

Rangkuman dan Kesimpulan: Pembentukan Strategi yang Komperhensif bagi Penanggulangan Masalah Migrasi dan Kesempatan Kerja Berdasarkan tren jangka panjang, perbandingan dengan negara maju, dan rangsangan individu yang masih kuat, urbanisasi dan migrasi desa-kota masih akan terus berlangsung dan tidak dapat dihindari. Bias perkotaan memicu migrasi, namun investasi yang berfokus di bidang pertanian cukup meningkatkan produktivitas di daerah pedesaan sehingga memerlukan tenaga kerja yang lebih sedikit; kebanyakan daerah alternatif yang menjadi perluasan kesempatan kerja cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan akibat efek aglomerasi. Kita simpulkan bab ini dengan suatu ikhtisar yang merupakan consensus dari pendapat-pendapat besar ekonom mengenai bentuk strategi yang tepat untuk

35

menanggulangi persoalan migrasi dan kesempatan kerja secara menyeluruh. Adapun strategi komperhensif setidaknya mengandung tujuh elemen utama, yakni: 1. Penciptaan keseimbangan ekonomi yang memadai antara desa dan kota. 2. Perluasan industri-industri kecil yang padat karya. 3. Penghapusan distorsi harga faktor-faktor produksi. 4. Pemilihan teknologi produksi padat karya yang tepat. 5. Pengubahan keterkaitan antara pendidikan dan kesempatan kerja. 6. Pengurangan laju pertumbuhan penduduk. 7. Mendesentralisasikan kewenangan ke kota dank e daerah.

STUDI KASUS Migrasi Desa-Kota dan Urbanisasi di Negara-negara Berkembang: India dan Botswana India Data survei yang dilakukan oleh Banerjee menunjukkan bahwa sejumlah besar pekerja sektor informal yang bermigrasi ke kota tertarik oleh sektor informal, dan wiraniaga. Kenyataannya bahwa hanya minoritas pekerja sektor informal yang terus mencari pekerjaan di sektor informal yang terus mencari pekerjaan di sektor formal telah memberikan bukti lebih lanjut dan jelas bahwa para migran yang datang ke Delhi untuk mengejar pekerjaan di sektor informal. Botswana Para migran dari desa di Botswana umumnya pergi ke lima pusat kota yang lokasinya berdekatan dengan Afrika Selatan. Lucas menemukan bahwa tingkat penghasilan di kota lebih tinggi 68% lebih tinggi untuk laki-laki, perbedaan tersebut menjadi lebih kecil saat faktor pendidikan dan pengalaman diikutsertakan dalam perhitungan. Hasil survei Lucas menegaskan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan yang diharapkan seseorang dan semakin tinggi estimasi probabilitas mendapatkan pekerjaan beralih ke pusat perkotaan, semakin besar kesempatan seseorang akan bermigrasi.

36

You might also like