You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Makhluk hidup dalam hal ini seekor hewan harus mampu mempertahankan dirinya dari berbagai serangan organisme asing kedalam tubuh yang tidak dikehendaki, antara lain berbagai macam virus, bakteri dan pathogen lain yang berpotensi membahayakan dan dapat ditemukan di udara, dalam makanan, dan di dalam air. Manusia dan hewan juga harus menangani sel tubuh abnormal yang pada beberapa kasus dapat berkembang menjadi kanker. Tiga garis pertahanan yang saling bekerja sama untuk menghadapi semua ancaman tersebut telah di evolusikan pada hewan. Dua diantaranya bersifat nonspesifik, yaitu tidak membedakan satu agen infeksi dengan agen infeksi lainnya yang bersifat eksternal yang terdiri atas jaringan epithelium yang menutupi dan melapisi tubuh kita, dan bersifat internal dimana hal tersebut di picu oleh adanya sinyal kimiawi dan melibatkan sel-sel fagosit serta protein antimikroba untuk menyerang mikroba yang masuk melewati rintangan tubuh bagian luar. Garis pertahanan ketiga yaitu system imun yang bekerja secara bersamaan dengan garis pertahanan kedua, dan merespon secara spesifik. Berdasarkan hal tersebut, makalah ini disusun untuk bisa memahami lebih jauh bagaimana system imun bekerja didalam tubuh hewan. 1.2 Masalah Bagaimanakah sejarah perkembangan immunologi? Apakah yang dimaksud dengan sistem imun ? Bagaimanakah struktur,fungsi, dan proses pada sistem kekebalan tubuh manusia ? Bagaimanakah kaitan antara struktur, fungsi dan proses pada system kekebalan tubuh manusia ? Apa sajakah jenis-jenis kekebalan tubuh yang ada pada manusia ? Apa sajakah kelainan / gangguan yang dapat terjadi pada system kekebalan tubuh manusia ? 1.3 Tujuan Mengetahui sejarah perkembangan immunologi.

Mengetahui definisi tentang sistem kekebalan tubuh (imun). Mengetahui struktur, fungsi, dan proses pada system kekebalan tubuh manusia. Mengaitkan struktur, fungsi, dan proses pada system kekebalan tubuh manusia. Memahami jenis-jenis kekebalan tubuh Mengidentifikasi jenis gangguan / kelainan yang dapat terjadi pada system kekebalan tubuh manusia

1.4 Manfaat Sebagai sumber informasi yang sangat berguna dalam menambah pengetahuan dan wawasan ( aspek teoritis ) Sebagai sumber informasi yang sangat penting untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari ( aspek praktis )

BAB II DASAR-DASAR IMMUNOLOGI 2.1 Sejarah perkembangn Immunologi. Disiplin ilmu imunologi muncul karena adanya observasi secara individual akibat adanya penyakit infeksi, dan selanjutnya individu yang telah sembuh dari sakit ternyata terlindungi dari penyakit yang sama jenisnya. Dalam bahasa Latin immunis diartikan sebagai bebas penyakit, sedangkan dalam Bahasa Inggris immunity artinya terlindungi dari penyakit infeksi. Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya 430 tahun sebelum masehi seorang Peloponnesian dari Athena menulis bahwa perawat tidak dapat terkena penyakit plaque karena kebal. Selanjutnya phenomena ini dipakai dalam kedokteran sebagai model pencegahan penyakit yg efektif. Induksi imunitas pertama kali dilakukan di China dan Turki dengan cara memberikan krusta kering dari pustula smallpox melalui inhalasi ke nostril, atau memasukan potongan kecil kedalam kulit. Teknik ini dikenal dengan Variolation. Tahun 1798 Lady Mary Wortley Montagu melakukan observasi, dan ternyata teknik variolation sangat positif dan selanjutnya diterapkan sendiri pada anaknya. Pada tahun 1798 penyakit yang tidak ganas dikenal cowpox, cairan pustula dari sapi diberikan kepada seorang anak laki-laki berumur 8 tahun. Lalu secara intensif anak tersebut diinfeksi dengan smallpox, dan ternyata smallpox tersebut tidak dapat berkembang. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan bukan hasil penelitian tapi ethical implications. Perpaduan antara observasi secara individu yang digabung dengan pengalaman Jenner, maka muncula major advance immunology yang telah mengembangkan induksi imunitas dengan menggunakan kuman cholera oleh Luis Pasteur. Luis Pateur berhasil mengkultur bakteri cholera dan menginjeksikan pada ayam. Setelah liburan, ayam diinjeksi dengan bakteri Cholera yang lama, kemudian ayam tersebut menjadi sakit. Selanjutnya penelitian tersebut diulangi dengan menggunakan bakteri cholera yang fresh dari kultur, ternyata ayam tidak sakit, maka muncullah istilah attenuated strain vaccine.

Vaksin dalam bahasa latin yaitu vacca yang artinya sapi yang diadopsi dari Jenner yang menginokulasi cowpox pada anak, Pasteur tahun 1881 mengembangkan vaksin antrax dengan cara memanaskan kemudian diinjeksikan pada kambing, lalu diuji tantang pada kambing yg tidak divaksin mati, sedang kambing yg divaksin tetap hidup. Tahun 1885 Pasteur memberikan vaksin pada joseph meister dengan rabid dog. Penemuan Imunitas Humoral Vaksin telah dikembangkan oleh Pasteur tapi tidak tahu apa yang terjadi Emil Von Behring dan Shibasaburo Kitasato th 1890 pertama kali menemukan mekanisme imunitas dalam bentuk serum (cairan nonseluler yang didapat setelah darah membeku). Hal ini didapat dari hewan yang diinfeksi dengan deptheria serumnya kemudian diberikan pada hewan yg tidak diimunisasi. Serum dpt menetralisasi toxin, presipitasi toxin dan mengalutinasi kuman.

Imunitas Humoral dan Seluler


Th 1950 Bruce Glick Missisipi University, USA. Telah mengidentifikasi

bahwa lymphocyte yang bertanggung jawab terhadap respons imun humoral dan seluler.
Lymphocyte T derivat dari thymus yang memediasi sel imun dan

lymphocyte B derivat dari bursa fabricius yang bertanggung jawab terhadap imunitas humoral. Kedua imunitas ini ternyata saling menguntungkan.

Nobel Prizes di Bidang Imunologi

Tahun 1901 1905

Penerima Emil V. Behring Robert Koch

Negara Germany Germany

Peneliti Serum antitoxin Cellular immunity to TBC

1908 1913 1919 1930 1951 1957 1972 1977 1980

Elie Metchnikoff Paul Erlich Charles Richet Jules Bordet Karl Landsteiner Max Theiler Daniel Bovet Rodney R. Porter Gerald M Edelman Rosalyn R. Yalow George Snell Jean Dausset Baruj Benacerraf

Rusia Germany Franze Belgium USA South Africa Swiss UK USA USA USA France USA

Phagocyte dan antitoxins immunity Anaphylaxis Complement mediated bacteriolyssis Human blood group Vaksin yellow fever Antihistamin Chemical structur antibodies Radioimmunoassay Major histocompatability complex

2.2 Pengertian Sistem Kekebalan Tubuh (Imunitas).

Sistem imun adalah semua mekanisme yang

digunakan badan untuk

mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila ke dalam tubuh masuk suatu zat yang oleh sel at au jaringan tadi dianggap asing, yaitu yang disebut antigen. Sistem imun dapat membedakan zat asing (non-self) dari zat yang berasal dari tubuh sendiri (self). Dari beberapa keadaan patologik, sistem imun ini tidak dapat membedakan self dan non-self sehingga sel-sel dalam sistem imun membentuk zat anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri yang disebut autoantibodi. Bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik. Pendapat lain juga menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan system imun adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja,1996). Adapun Definisi spesifik Imunitas adalah reaksi untuk melawan substansi asing yang masuk ke dalam tubuh seperti mikroorganisme (bakteri, virus, parasit) dan molekul besar (protein, polisakharida). Reaksi yang terjadi meliputi reaksi seluler dan molekul.

Tugas dasar sistem imunitas tersebut antara lain adalah membedakan dirinya sendiri (seluruh sel di dalam tubuh) dengan pendatang asing (bakteri, virus, toksik, jamur, serta jaringan asing). Menghadapi pendatang asing tadi, sistem imunitas harus membentuk sel khusus melalui sel darah putih, untuk mengeliminasi pendatang asing tersebut. Karena manusia berinteraksi dengan lingkungan sekitar, sistem imunitas mampu beradaptasi dengan kondisi sehari-hari. Itu sebabnya, orang Indonesia yang lingkungan hidupnya tak terlalu bersih tidak banyak mengalami gangguan kesehatan, meski sering mengonsumsi jajanan yang kurang higienis. Sementara, penduduk di negeri-negeri Barat, yang terbiasa berada di lingkungan yang serba bersih, dengan mudah terserang diare bila mengonsumsi makanan yang kurang higienis. 2.2 Kekebalan Nonspesifik (Kekebalan tubuh bawaan / Kekebalan tubuh alami) Respon imun nonspesifik umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity) yaitu respon zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar pada zat tersebut, sedangkan respon imun spesifik merupakan respon didapat (acquired) yang timbul terhadap antigen tertentu, terhadap bagian tubuh mana yang terpapar sebelumnya. Perbedaan utama terhadap kedua jenis respon imun itu adalah dalam hal spesifisitas dan pembentukan memory terhadap antigen tertentu pada respon imun spesifik yang tidak terdapat pada respon imun nonspesifik. Namun telah dibuktikan pula bahwa kedua jenis respon di atas saling meningkat kan efektifitas dan bahwa respon imun yang terjadi sebenarnya merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen lain yang terdapat di dalam sistem imun. Interaksi tersebut berlangsung bersama-sama sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu aktivasi biologik yang seirama dan serasi. Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi mikroorganisme, oleh karena itu dapat memberikan respon langsung terhadap antigen, sedangkan sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya. Respon imun nonspesifik. Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya antigen, misalnya antigen bakteri, adalah menghancurkan bakteri bersangkutan secara nonspesifik dengan proses fagositosis. Dalam hal ini leukosit yang termasuk fagosit memegang peranan yang sangat penting, khususnya makrofag

demikian pula neutrifil dan monosit. Supaya dapat terjadi fagositosis sel-sel fagosit tersebut harus berada dalam jarak dekat dengan partikel bakteri, atau lebih tepat lagi bahwa partikel tersebut harus melekat pada permukaan fagosit . Untuk mencapai hal ini maka fagosit harus bergerak menuju sasaran. Hal ini dimungkinkan berkat dilepaskannya zat atau mediator tertentu yang disebut faktor leukotaktik atau kemotaktik yang berasal dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh neutrofil atau makrofag yang sebelumnya telah berada di lokasi bakteri atau yang dilepaskan oleh komplemen. Selain faktor kemotaktik yang menarik fagosit menuju antigen sasaran, untuk proses fagositosis selanjutnya bakteri perlu mengalami opsonisasi terlebih dahulu. Ini berarti bahwa bakteri terlebih dahulu dilapisi oleh immunoglobulin atau komplemen (C3b), agar supaya lebih mudah ditangkap oleh fagosit. Selanjutnya partikel bakteri masuk ke dalam sel dengan cara endositosis dan oleh pembentukan fagosom yang terperangkap dalam kantung fagosom seolah-olah ditelan untuk kemudian dihancurkan, baik dengan proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat keasaman yang ada dalam fagosit atau penghancuran oleh lisozim dan gangguan metabolisme bakteri. Kekebalan tubuh nonspesifik adalah bagian dari tubuh kita yang telah ada sejak kita lahir. Ciri-cirinya: Sistem ini tidak selektif,artinya semua benda asing yang masuk ke dalam tubuh akan diserang dan dihancurkan tanpa seleksi, Tidak memiliki kemampuan untuk mengingat infeksi yan terjadi sebelumnya, Eksposur menyebabkan respon maksimal segera. Sistem ini memiliki komponen-komponen yang mampu menangkal benda masuk ke dalam tubuh, yakni(Anwar, 2009): 2.2.1 Rintangan Mekanis Rintangan mekanis merupakan system pertahanan tubuh yang pertama dan umumnya terletak di bagian permukaan tubuh. Terdiri atas :

1. Kulit :Terdiri dari lapisan tanduk yang tidak mudah ditembus oleh benda asing kecuali jika kulit dalam keadaan terluka.Asam lemak dan keringat yang dihailkan oleh kelenjar di kulit juga akan mencegah benda asing masuk ke dalam tubuh. 2. Selaput Lendir : Merupakan hasil sekresi dari sel yang terdapat di sepanjang saluran pernapasan dan saluran pencernaan.Pada saluran pernapaan,Selaput lendir berfungi dalam menangkap bakteri / benda asing yang masuk ke dalam tubuh melalui saluran

pernapasan.Contoh : Selaput lender pada hidung. Selaput lender pada saluran pencernaan berfungsi sebagai rintangan yang melindungi sel diluar system pencernaan. 3. Rambut-rambut halus : Sebagian besar terdapat pada saluran pernapasan. Contoh : di hidung,rambut-rambut halus berfungsi sebagai penyaring udara yang masuk melalui hidung. Fungsi organ-organ menurun sejalan dengan peningkatan usia manusia. Organ kurang efisien dibandingkan saat usia muda, contohnya timus yang menghasilkan hormon terutama selama pubertas. Pada lansia, sebagian besar kelenjar timus tidak berfungsi. Tetapi ketika limfosit terpapar pada hormon timus, maka sistem imun meningkat sewaktu-waktu. Sekresi hormon termasuk hormon pertumbuhan dan melatonin menurun pada usia tua dan mungkin dihubungkan dengan sistem imun (Fatmah, 2006).

2.2.1

Rintangan Kimiawi 1. Hasil Sekresi :berperan untuk membunuh benda asing dengan menggunakan zat kimia dan enzim. 2. Bakteri yang terdapat di permukaan tubuh ( bakteri nonpatogen ) : Berfungsi untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen yang akan masuk ke dalam tubuh.
3. Sel Darah Putih : merupakan sistem pertahanan tubuh kedua. Apabila benda asing

berhasil melewati sistem pertahanan pertama dan masuk ke dalam tubuh,maka sel darah putih akan mencegah benda asing masuk lebih jauh lagi ke dalam tubuh. Sel darah putih akan menghancurkan setipa benda asing yang masuk ke dalam tubuh dengan cara fagositosis. Mekanisme fagositosis (Anwar, 2009) : 1) Mikroba menempel ke fagosit. 2) Fagosit membentuk pseudopodium yang menelan mikroba 3) Vesikula fagositik bersatu sengan lisosom 4) Mikroba dibunuh oleh enzim dalam fagolisosom 5) Sisa-sisa mikroba dikeluarkan lewat eksotisosis

4. Sel Natural Killer :Merupakan sel pertahanan yang mampu melisis dan membunuh

sel-sel kanker serta sel tubuh yang terinfeksi virus sebelum diaktifkannya sistem kekebalan adaptif. Sel ini membunuh dengan cara menyerang membran sel target dan melepaskan senyawa kimia preforin.
5. Protein Komplemen : merupakan protein darah yang berfungsi membantu sistem

pertahanan sel darah putih.Protein komplemen membantu sistem kekebalan tubuh dengan cara(Anwar, 2009) : a) Menghasilkan opsonin ,kemotoksin, dan kinin. Opsonin untuk mempermudah terjadinya fagositosis. Kemotoksin berfungsi sebagai penarik sel darah putih menuju ke infeksi , sedangkan kinin untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. b) Berperan dalam proses penghancuran membrane sel mikroorganisme yang menyerang tubuh. c) Menstimulasi sel darah putih agar menjadi lebih aktif. 6. Interferon : Sel yang berperan dalam mensekresikan sekumpulan protein saat tubuh kita terserang virus. Interferon akan bertindak sebagai antivirus dan bereaksi sengan sel yang belum terinfeksi oleh virus. Interferon juga dapat merangsang limfosit untuk mengahncurkan dan membunuh sel-sel yang terinfeksi virus. 2.3 Kekebalan tubuh spesifik ( kekebalan adaptif/Kekebalan tubuh buatan ) Kekebalan tubuh spesifik adalah sistem kekebalan yang diaktifkan oleh kekebalan tubuh nonspesifik dan merupakan sistem pertahanan tubuh yang ketiga. Ciri-cirinya: Bersifat selektif terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Sistem reaksi ini tidak memiliki reaksi yang sama terhadap semua jenis benda asing, memiliki kemampuan untuk mengingat infeksi sebelumnya, Melibatkan pembentukan sel-sel tertentu dan zat kimia ( antibody ), Perlambatan, waktu antara eksposur dan respon maksimal. Menurut Anwar (2009) komponen yang terlibat dalam kekebalan tubuh spesifik adalah: (1) Antigen : Merupakan zat kimia asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat merangsang terbentuknya antibody.Antigen memiliki struktur tiga dimensi sengan dua atau lebih determinant site. Determinant site

merupakan bagian dari antigen yang dapat melekat pada bagian sisi pengikatan pada antibody.Antigen dapat berupa protein ,sel bakteri,atau zat kimia yang dikeluarkan mikroorganisme. Jenis jenis antigen: (1) Heteroantigen: antigen yang berasal dari spesies lain (2) Isoantigen: Antigen dari spesies sama tetapi struktur genetiknya berbeda (3) Autoantigen: Antigen yang berasal dari tubuh itu sendiri. (4) Hapten : Merupakan suatu determinant site yang lepas dari struktur antigen. Hapten hanya dapat berikatan dengan antibody apabila disuntikkan ke dalam tubuh. (5) Antibodi ( Imunoglobulin / Ig) : merupakan zat kimia( protein plasma ) yang dapat mengidentifikasi antigen. Antibodi dihasilkan oleh sel limfosit B. Ketika sel limfosit B mengidentifikasi antigen,dengan cepat sel akan bereplikasi untuk menghasilkan sejumlah besar sel plasma.Sel plasma lalu akan menghasilkan antibody dan melepaskanya ke dalam cairan tubuh. Sel limfosit B juga menghasilkan sel memori B, dengan struktur yang sama dengan sel limfositB,dan dapt hidup lebih lama daripada sel plasma. Antibodi merupakan protein-protein yang terbentuk sebagai respon terhadap antigen yang masuk ke tubuh, yang bereaksi secara spesifik dengan antigen tersebut. Konfigurasi molekul antigen-antibodi sedemikian rupa sehingga hanya antibodi yang timbul sebagai respon terhadap suatu antigen tertentu saja yang cocok dengan permukaan antigen itu sekaligus bereaksi dengannya (Roitt, 1990). Antibody adalah bahan larut digolongkan dalam protein yang disebut globulin dan sekarang dikenal sebagai immunoglobulin. Dua cirinya yang penting adalah spesifitas dan aktivitas biologik (Baratawidjaja, 1996). Antibody Poliklonal: Antibodi dihasilkan di dalam tubuh secara alami yang dibentuk merupakan klon dari sel-sel limfosit dan umum. Antibodi monoclonal : Antibodi yang dibentuk di luar tubuh melalui fusi sel. Merupakan hasil pengklonan satu sel hibridoma. Berfungsi untuk mendiagnois penyakit kanker dan hepatisis. Antibodi memiliki struktur

seperti huruf Y dengan dua lengan dan satu kaki.Lengan tersebut dinamakan antigen binding site,yakni tempat melekatnya antigen.Molekul antibody dapat dikelompokkan menjadi lima kelas yakni, IgG, IgA, IgM, IgD, IgE. Immunoglobulin (Ig) dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Bila serum protein tersebut dipisahkan dengan cara elektroforesis, maka immunoglobulin ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin gama, meskipun ada beberapa immunoglobulin yang juga ditemukan dalam fraksi globulin alafa dan beta (Soewolo, 2005). Apabila kuman/zat asing yang masuk tidak dapat ditangkal oleh sistem kekebalan tubuh tidak spesifik maka diperlukan sitem kekebalan dengan tingkat yang lebih tinggi atau sistem kekebalan spesifik. ada 2 jenis kekebalan spesifik, yaitukekebalan selular (sel limfosit T) dan kekebalan humoral (sel limfosit B yang memproduksi antibodi). Kekebalan ini hanya berperan pada kuman/zat asing yang sudah dikenal, artinya jenis kuman/zat asing tersebut sudah pernah atau lebih dari satu kali masuk ke dalam tubuh manusia (Munasir, 2010). Antigen yang menghasilkan respon kekebalan humoral umumnya merupakan protein dan komponen permukaan polisakarida berbagai mikroba, jaringan cangkokan yang tidak kompatibel, dan sel-sel darah yang tidak difungsikan. Selain itu sebagian diantara kita, protein bahan asing seperti racun lebah atau serbuk sari bertindak sebagi antigen yang merangsang respon humoral alergi atau hipersensitivitas (Campbell, 2004). Sel-sel Sistem Imun Spesifik Limfosit yang terdiri dari sel T dan sel B, merupakan kunci pengontrol sistem imun. Sel-sel tersebut dapat mengenal benda asing dan membedakannya dari sel jaringan sendiri. Biasanya sel limfosit hanya memberikan reaksi terhadap benda asing, tetapi tidak terhadap sel sendiri. Kemampuan mengenal limfosit tersebut disebabkan oleh adanya reseptor pada permukaan sel. Pada permukaan sel T dan sel B ditemukan pula reseptor untuk fraksi Fc suatu antibodi yang mungkin berperanan dalam mengatur respon limfosit. Satu sel limfosit hanya membentuk reseptor untuk satu jenis antigen sehingga sel tersebut hanya dapat mengenal antigen yang sejenis saja.

Sel T Pada neonatus, timus merupakan salah satu tempat proliferasi sel. Diduga 90% timosit yang gagal memperoleh reseptor yang diperlukan untuk berfungsi akan dihancurkan. Sel T merupakan 65-80% dari semua limfosit dalam sirkulasi. Di bawah mikroskop biasa, sel T tidak dapat dibedakan dari sel B. Karakteristik Sel T
1. Sel T tidak mengeluarkan antibodi. Sel sel ini harus berkontak langsung

dengan sasaran suatu proses yang dikenal sebagai immunitas yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immunity, imunitas seluler). 2. Bersifat klonal dan sangat spesifik antigen. Di membran plasmanya, setiap Sel T memiliki protein-protein reseptor unik. 3. Sel T diaktifkan oleh antigen asing apabila antigen tersebut disajikan di permukaan suatu sel yang juga membawa penanda identitas individu yang bersangkutan, yaitu, baik antigen asing maupun antigen diri harus terdapat di permukaan sel sebelum sel T dapat mengikuti keduanya. 4. Tidak semua turunan sel T yang teraktivasi menjadi sel T efektor. Sebagian kecil tetap dorman, berfungsi sebagai cadangan sel T pengingat yang siap merespon secara lebih cepat dan kuat apabila antigen asing tersebut muncul kembali di sel tubuh. 5. Selama pematangan di timus, sel T mengenal antigen asing dalam kombinasi dengan antigen jaringan individu itu sendiri, suatu pelajaran yang diwariskan ke semua turunan sel T berikutnya 6. Diperlukan waktu beberapa hari setelah pajanan antigen tertentu sebelum sel T teraktivasi besiap untuk melancarkan serangan imun seluler. Subpopulasi sel T

Ketika sel T terpajan ke kombinasi antigen spesifik, sel-sel dari sel klon sel T komplementer berproliferisai dan berdiferensiasi selama beberapa hari, menghasilkan sejumlah besar sel T teraktivasi yang melaksanakan berbagai respons imunitas seluler. Terdapat tiga subpopulasi sel T, tergantung pada peran mereka setelah diaktifkan oleh antigen.

1. Sel T sitotoksik Sel T yang menghancurkan sel penjamu yang memiliki antigen asing, misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker, dan sel cangkokan. 2. Sel T penolong Sel T yang meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi sel plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan (supresor) yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag. 3. Sel T penekan T yang menekan produksi antibodi sel B dan aktivitas sel T sitotoksik dan penolong. Sebagian besar dari milyaran Sel T diperkirakan tergolong dalam subpopulasi penolong dan penekan, yang tidak secara langsung ikut serta dalam destruksi patogen secara imunologik. Kedua subpopulasi tersebut disebut sel T regulatorik, karena mereka memodulasi aktivitas sel B dan Sel T sitotoksik serta aktivitas mereka sendiri dan aktivitas makrofag. Pajanan terhadap antigen sering mengaktifkan baik sel B maupun sel T secara stimulan. Seperti sel T regulatorik yang dapat mempermudah atau menekan sekresi antibodi sel B, antibodi juga dapat meningkatkan atau menghambat kemampuan sel-sel T sitotoksik menghancurkan sel korban, bergantung pada keadaan. Sebagain besar efek yang ditimbulkan limfosit pada sel-sel imun lain ( limfosit lain dan makrofag) diperantarai melalui sekresi zat-zat perantara kimiawi. Semua zat kimiawi selain antibodi yang disekresikan secara kolektif oleh limfosit disebut limfokin, yang sebagian besar diproduksi oleh limfosit T. Limfokin tidak berinteraksi secara langsung dengan antigen yang menyebabkan prduksi limfokin tersebut. 1. Sel T Sitotoksik Sasaran sel T sitotoksik yang paling sering adalah sel yang sudah terinfeksi virus. Sel T sitotoksik dari klon yang spesifik untuk virus tersebut mengenali dan berikatan dengan antigen virus dan antigen diri di permukaan sel yang terinfeksi. Setelah diaktivasi oleh antigen virus, sel T sitotoksik menghancurkan sel korban dengan mengeluarkan zat-zat kimiawi yang melisiskan sel sebelum replikasi virus dapat dimulai.

Salah satu cara yang digunakan sel T sitotoksik dan sel natural killer untuk menghancurkan sel sasaran adalah dengan mengeluarkan moleku-molekul perofin, yang menembus membran permukaan sel sasaran dan menyatu untuk membentuk saluran seperti pori-pori. Teknik mematikan sel dengan membuat lubang di membran ini serupa dengan metode yang diterapkan oleh membrane attack complex pada jenjang komplemen. Virus yang keluar setelah sel dirusak kemudian secara langsung dihancurkan di cairan ekstrasel oleh sel-sel fagositik, antibodi netralisasi, dan sistem komplemen. Sementara itu Sel T sitotoksik, yang tidak mengalami cidera selama proses ini, dapat menyerang sel lain yang terinfeksi. Sel-sel sehat disekitarnya menggantikan sel yang hilang melalui proses pembelahan sel. Biasanya untuk menghentikan infeksi virus tidak banyak sel yang harus dihancurkan. Namun, apabila virus memiliki kesempatan untuk memperbanyak diri, dengan virus-virus turunan itu meninggalkan sel dan semua menyebar ke sel-sel lain, banyak sel yang harus dikorbankan oleh mekanisme pertahanan sel T sitotoksik, sehingga dapat terjadi malfungsi serius. 1. 2. Sel T Penolong Sel T penolong meningkatkan banyak aspek respons imun, terutama melalui sekresi limfokin. Berikut ini adalah sebagian dari zat-zat perantara kimiawi yang paling dikenal yang dihasilkan oleh Sel T ini: 1. Sel T penolong menghasilkan faktor pertumbuhan sel B yang meningkatkan kemampuan klon sel B aktif menghasilkan antibodi. Sekresi antibodi sangat menurun jika tidak terdapat sel T penolong, walaupun sel T itu sendiri tidak menghasilkan antibodi. 2. Sel T penolong juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T, yang juga dikenal sebagai interleukin 2 (IL-2) untuk meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik, sel T penekan, dan bahkan sel T penolong lain yang responsif terhadap antigen yang masuk. 3. Sebagian zat kimia yang dihasilkan oleh sel T berfungsi sebagai kemotaksin untuk menarik lebih banyak neutrofil dan calon makrofag ke tempat invasi. 4. Setelah makrofag ditarik ke daerah invasi, sel T penolong mengeluarkan macrophagemigration inhibition factor, suatu limfokin penting lain, yang menahan sel-sel fagositik besar ini tetap di lokasi invasi. Akibatnya terjadi penumpukan makrofag dalam jumlah besar di daerah

yang terinfeksi. Faktor ini juga meningkatkan daya fagositik makrofag-makrofag tersebut. Apa yang disebut angry macrophage ini memiliki daya destruktif yang lebih besar. Sel T penolong adalah jenis sel T yang paling banyak, menyusun sekitar 60-80% dari sel T yang beredar dalam darah. Karena peran penting sel ini dalam menyalakan semua kekuatan llimfosi dan makrofag, sel T penolong dapat dianggap sebagai tombol utama sistem imun. 3. Sel T Penekan Pengetahuan mengenai sel T penekan jauh lebih sedikit dibandingkan subpopulasi lainnya. Selsel ini tampaknya berfungsi membatasi reaksi imun melalui mekanisme check and balance dengan limfosit yang lain. Sementara sel B, sel Sitotoksik, dan sel T penolong meningkatkan aktivitas imun satu sama lain, sel T penekan membatasi respons semua sel imun lain. Melalui metode umpan balik negatif, sel T penolong mendorong sel T penekan beraksi. Sel T penekan pada gilirannya, menghambat sel T penolong dan sel-sel lain yang untuk bertugas dipengaruhi oleh sel T penolong. Efek inhibisi oleh sel T penekan membantu mencegah reaksi imun berlebihan yang dapat membahayakan tubuh. Peningkatan jumlah sel T penekan sebagai respons terhadap infeksi virus biasanya berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan proliferasi sel T sitotoksik dan sel T penolong, sehingga sel T penekan membantu menghentikan respons imun setelah respons tersebut melaksanakan fungsinya. Sel B Sel B berkembang dalam bursa fabricius yang timbuldari epitel kloaka. Pada manusia belum didapatkan hal yang analog dengan bursa tersebut dan pematangan terjadi di sumsum tulang atau di tempat yang belum diketahui. Setelah matang sel B bergerak ke alat-alat seperti limpa, kelenjar limfoid atau tonsil.

Sel B ditemukan dalam hati fetus dan sumsum tulang dan belum mempunyai imunoglobulin permukaan atau petanda. Perkembangan sel B dalam sumsum tulang adalah antigen independent tetapi perkembangan selanjutnya memerlukan rangsangan dari antigen. Sel B

dalam istirahat berukuran kecil dengan sedikit sekali sitoplasma. Bila diaktifkan berkembang menjadi limfoblas. Beberapa diantaranya menjadi matang atau sel plasma yang tidak memiliki Ig pada permukaannya, tetapi mampu memproduksi antibodi bebas. Beberapa limfoblast berkembang menjadi sel T memori. Atas pengaruh antigen melalui sel T, sel B berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mampu membentuk Ig dengan spesifitas yang sama, sebagian sel yang dibentuk akan kembali ke dalam fase istirahat, sel B yang matang sebagai sel B memori yang dapat memberikan respon imun yang lebih cepat. Sel B merupakan 5-15% dari jumlah seluruh limfosit dalam sirkulasi. Fungsi utamanya adalah membentuk antibodi. Sel B ditandai dengan adanya imunoglobulin yang dibentuk didalam sel dan kemudian dilepas, tetapi sebagian menempel pada permukaan sel yang selanjutnya berfungsi sebagai reseptor antigen. Kebanyakan sel B perifer mengandung IgM dan IgD dan hanya beberapa sel yang mengandung IgG, IgA, dan IgE pada permukaan tersebut yang dapat ditemukan dengan teknik imunofluoresen

BAB III Kesimpulan

Disiplin ilmu imunologi muncul karena adanya observasi secara individual akibat adanya penyakit infeksi, dan selanjutnya individu yang telah sembuh dari sakit ternyata terlindungi dari penyakit yang sama jenisnya. vaksin. Sehingga pada akhirnya muncullah

Pada tubuh hewan terdapat dua sistem imun yaitu, sistem imun non spesifik dan system imun spesifik. Imun Nonspesifik (Innate Immunity) meliputi ; Monosit, Basofil, Eosinofil, Polimorfonuklear (PMN), Makrofage, Dendrit sel, Langerhans sel, Komplemen Imun Spesifik (Adaptive Immunity) meliputi ; Sel T yang merupakan kekebalan seluler (Th, Th1, Th2, ADCC, CTL) dan Sel B yang merupakan kekebalan humoral (IgA, IgG, IgM, IgE dan IgD).

Daftar Pustaka Baratawidjaja, garna Karen. 1996. Imunologi Dasar. Jakarta : UI Press. Campbell, Neil A. dkk. 2004 .Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Jakarta: Erlangga Fatmah, 2006. Respons Imunitas Yang Rendah Pada Tubuh Manusia Usia Lanjut. Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyaraka. Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia.VOL. 10, NO. 1, JUNI 2006: 47-53. Diakses pada hari Rabu tanggal 23 juni 2010. Roitt, IM. 1990. Pokok-pokok Ilmu Kekebalan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Soewolo, 2005. Pengantar Fisiologi Manusia. Malang: UMM Press. Munasir, Z. dan Kurnia, N. 2010. Bedah ASI. Jakarta:IDAI Cabang DKI Jakarta.

You might also like