You are on page 1of 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Pengeluaran Pemerintah Dalam konsep ekonomi makro, perekonomian tidak hanya terdiri dari konsumen dan produsen yang dikenal dengan perekonomian 2 sektor seperti yang dikemukakan dalam teori ekonomi klasik. Menurut ekonomi klasik, pelaku ekonomi terdiri dari 2 sektor saja, yaitu produsen (I) dan rumah tangga masyarakat (C). Dari penjumlahan kedua pelaku tersebutlah (C+I) adanya ekonomi (Y). Tetapi setelah terjadinya depresi ekonomi yang besar (great depression) tahun 1929, oleh J.M. Keynes diperkenalkan konsep ekonomi 3 sektor dengan menambahkan variabel pengeluaran pemerintah (government expenditure/G) dalam kegiatan ekonomi, sehingga ekonomi merupakan identitas dari Y = C + I + G. Pengeluaran atau konsumsi pemerintah merupakan anggaran belanja pemerintah untuk melaksanakan pengeluarannya dalam rangka pembelian barang-barang dan jasa yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan menjalankan organisasi kepemerintahan. Di Indonesia, dalam pengeluaran pemerintah terdapat dua kategori pengeluaran, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pembangunan itu misalnya

membangun jalan, membangun sekolah dan lain sebagainya. Sedangkan pengeluaran rutin meliputi pengeluaran untuk membayar gaji pegawai pemerintah dan lainnya dalam rangka membiayai organisasi pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk melakukan pengeluaran tersebut disebut dengan kebijakan fiskal (fiscal policy). Menurut Amir (2007), kebijakan pemerintah dalam bidang anggaran atau fiskal merupakan kebijakan yang menyangkut tiga hal, yaitu: 1. Kebijakan yang menyangkut pembelian atau pengeluaran pemerintah atas barang dan jasa; 2. Kebijakan yang menyangkut perpajakan;

12

3. Kebijakan pembayaran transfer: tunjangan sosial, tunjangan keamanan, tunjangan veteran dan tunjangan pengangguran. Dengan adanya, anggaran yang dikeluarkan pemerintah, maka setidaknya ada beberapa fungsi dari kebijakan belanja negara tersebut yaitu sebagai berikut: (Amir, 2007) 1. Fungsi alokasi Fungsi alokasi merupakan fungsi pemerintah dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi yang tersedia dalam masyarakat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berupa barang dan jasa umum (public goods and services) agar tersedia dengan baik dan merata. 2. Fungsi distribusi Fungsi distribusi merupakan fungsi pemerintah dalam mendistribusikan pendapatan nasional dan hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata kepada seluruh rakyat. 3. Fungsi stabilisasi Fungsi stabilisasi merupakan fungsi pemerintah dalam mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat kebutuhan pokok yang stabil serta tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai. 4. Fungsi dinamisatif Fungsi dinamisatif merupakan fungsi pemerintah untuk menggerakkan proses pembangunan ekonomi agar cepat tumbuh, berkembang dan maju. Pengeluaran atau belanja pemerintah yang akan dilakukan dalam suatu periode tertentu tergantung pada banyak faktor, yang penting diantaranya: (1) proyeksi jumlah pajak yang diterima; (2) tujuan-tujuan ekonomi yang ingin dicapai; dan (3) pertimbangan politik dan keamanan (Sukirno, 2004). Secara teoritik, kebijakan/politik anggaran (budget policy) dapat dibedakan menjadi anggaran tidak berimbang dan anggaran berimbang. Hasil yang dicapai dari kebijakan/politik anggaran merupakan interasi (resultan) dari dampak pajak dan pengeluran pemerintah terhadap output keseimbangan (Rahardja dan Manurung, 2005). Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap

13

perubahan

pendapatan

keseimbangan

adalah: .

Sedangkan

pengaruh pajak terhadap pendapatan adalah:

Anggaran tidak berimbang dapat dibedakan lagi menjadi anggaran defisit (defist budget) dan anggaran surplus (surplus budget). Anggaran defisit memang direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran pemerintah

direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah (T < G atau G > T). Politik anggaran defisit biasanya ditempuh bila pemerintah ingin menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila perekonomian berada dalam kondisi resesi. Dengan asumsi kondisi awal anggaran pemerintah adalah anggaran berimbang (G = T), bila pemerintah menempuh anggaran defisit maka G > T, dimana G 0 dan T 0. Karena G > 0 dan G > T, maka jika pemerintah menempuh kebijakan/politik anggaran defisit, pemerintah dianggap memilih kebijakan fiskal ekspansif. Kebalikan dari anggaran defisit, dalam anggaran surplus pemerintah merencanakan penerimaan lebih besar dari pengeluaran (T > G atau G < T). Dapat juga dikatakan pemerintah menempuh kebijakan/politik anggaran surplus bila C < T, di mana G dan T 0. Karena itu, kebijakan/politik anggaran surplus sering diidentikkan dengan kebijakan fiskal kontraktif. Selain itu, pemerintah dikatakan menempuh kebijakan/politik

anggaran berimbang bila pengeluaran direncanakan akan sama dengan penerimaan (G = T dan atau = T) G . Tidak ada ketentuan pokok dalam

kondisi ekonomi seperti apa kebijakan/politik anggaran berimbang ditempuh. Namun bila pemerintah memilih kebijakan/politik anggaran berimbang, dua hal utama yang ingin dicapai adalah peningkatan disiplin dan kepastian anggaran. Karena G = T, maka pegaruh anggaran berimbang terhadap keseimbangan ekonomi adalah Y karena G . Oleh karena G = T, maka: , atau . Y karena T

14

= 1. T, atau Y=1. G, yang berarti Y=T=G 2.2 Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dengan diterapkannya UU. No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah setiap daerah di Indonesia baik provinsi maupun kabupaten/kota diberikan kewenangan dalam melaksanakan pemerintahannya, sehingga lebih leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Namun demikian, pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfataan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi. Seiring dengan prinsip tersebut, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antardaerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antardaerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimbangan antardaerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antardaerah dengan pemerintah pusat, artinya harus mampu

15

memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya NKRI dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Membaca uraian tersebut, maka rumusan definitif desentralisasi dan otonomi daerah dalam UU. No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dalam kewenangan yang dimiliki daerah, melekat pula kewenangan dan sekaligus tanggung jawab untuk secara proaktif mengupayakan kebijakan penanggulangan kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung.

Tanggung jawab demikian sebenarnya merupakan konsekuensi dari salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah yakni menciptakan system layanan publik yang lebih baik, efektif dan efisien, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Oleh karena itu, penanggulangan kemiskinan seharusnya tidak lagi menjadi tanggung jawanb dan dilakukan oleh pemerintah pusat semata. Dilihat dari perspektif tersebut, pelaksanaan otonomi daerah memiliki potensi positif terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kemiskinan. Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perumusan kebijakan publik juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk bersifat transparan dan akuntabel dalam menjalankan tata kelola kepemerintahan. Beberapa faktor lain yang dapat menjadikan pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan adalah: (Rozi, 2007) 1. Dana Alokasi Umum (DAU) diberikan kepada pemerintah daerah dalam bentuk block grant, sehingga pemerintah daerah memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menggunakan dana tersebut sesuai dengan kepentingan dan prioritas daerah, termasuk kepentingan dalam menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain, saat ini pemerintah daerah dapat bertindak

16

lebih tanggap dan pro-aktif dalam penanggulangan kemiskinan tanpa harus menunggu instruksi dari pemerintah di atasnya. Hal ini penting dikemukakan karena dalam formula pembagian DAU juga tercakup variabel jumlah penduduk miskin. 2. Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan biaya lebih murah. Bila iklim usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Beberapa kota/kabupaten yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap merupakan ilustrasi dan starting point untuk menuju proses perijinan yang lebih cepat, transparan dan murah. 3. Daerah yang kaya dengan sumberdaya alam memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan kemiskinan. Kabupaten Kutai misalnya, memberikan dana milyaran rupiah untuk pembangunan desa. Jika dana-dana ini digunakan untuk kegiatankegiatan yang bersifat pro terhadap orang miskin, ada harapan besar proporsi jumlah orang miskin di kabupaten tersebut akan cepat menurun (Saefudin, 2005).

2.3 Desentralisasi Fiskal Salah satu permasalahan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah terletak pada realitas penerimaan asli daerah (PAD). Terkait dengan keuangan daerah, dalam UU. No. 32/2004 disebutkan: perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan

penyelenggaraan dokonsentrasi dan tugas pembantuan.

17

Sebagai gambaran, berikut ini sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, antara lain meliputi: 1. Pendapatan Asli Daerah a. Hasil pajak daerah b. Hasil retribusi daerah c. Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, antara lain hasil penjualan asset daerah dan jasa giro. 2. Dana Perimbangan a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus 3. Pinjaman Daerah a. Pinjaman Dalam Negeri 1) Pemerintah pusat 2) Lembaga keuangan bank 3) Lembaga keuangan bukan bank 4) Masyarakat (penerbitan obligasi daerah) b. Pinjaman Luar Negeri 1) Pinjaman bilateral 2) Pinjaman multilateral. 4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah a. Hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah

Kabupaten/Kota lainnya. b. Penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Semangat otonomi daerah yang disertai dengan desentralisasi fiskal didasari juga oleh keinginan yang kuat untuk meningkatkan pemerataan pendapatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan adanya desentralisasi fiskal diharapkan nantinya pemerintah daerah akan lebih efektif dan mampu untuk memenuhi pelayanan publik yang dibutuhkan, pembangunan sarana dan

18

perekonomian akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat (Pakasi, 2005). Menurut Tadjoeddin (2005), dalam desentralisasi fiskal, transfer dana dari pemerintah pusat kepada daerah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Pada dasarnya transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan dan bantuan. Adapun tujuan transfer ini adalah pemerataan vertikal dan pemerataan horizontal, mengatasi efek pelayanan publik, mengarahkan prioritas dan melakukan eksperimen dengan ide-ide baru, stabilitas dan kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum (SPM) di setiap daerah. Pemerataan vertical (Vertical Equalization Transfer) Pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber

penerimaan (pajak) utama Negara. Pemerintah daerah hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak yang berbasis lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaannya relatif kurang signifikan. Kondisi tersebut akhirnya menimbulkan ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (Tadjoeddin, 2005). Pemerataan Horizontal (Horizontal Equalization Transfer) Keseimbangan antara kebutuhan pendapatan dan kemampuan untuk menghasilkan pendapatan juga memiliki dimensi horizontal. Artinya, dengan transfer yang sama seharusnya juga menghasilkan penerimaan yang sama antardaerah. Sidik (2002) mengemukakan bahwa kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan sangat bervariasi, tergantung kondisi daerah yang bersangkutan, seperti memiliki kekayaan alam atau tidak, intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau tidak, tingkat kemiskinan, penduduk lanjut usia dan lain sebagainya. Transfer fiskal antara berbagai tingkat pemerintahan merupakan inti (core) dari suatu hubungan fiskal antartingkat pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa transfer fiskal memiliki peran yang penting dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi. Hubungan antara desentralisasi

19

dengan kemiskinan dijelaskan dengan kerangka konseptual yang dikemukakan oleh Braun dan Grote dalam Usman (2005) seperti yang ditunjukkan dalam gambar di bawah ini.
Participation/Empowerment Government

Desentralisasi politik, administrasi, fiskal

Pengurangan Kemiskinan

Public Service/investment, priotities/efficiency/targeting

Sumber: Usman (2005) Gambar 1. Hubungan Desentralisasi dengan Kemiskinan

Pada gambar di atas ditunjukkan kaitan antara desentralisasi dengan berbagai bentuknya (desentralisasi politik, administrasi dan fiskal) dengan pengurangan kemiskinan, yang terjadi melalui dua jalur, yaitu: (1) desentralisasi partisipasi/pemberdayaan/tata kelola pengurangan

kemiskinan; dan (2) desentralisasi pelayanan publik/investasi yang lebih memihak penduduk miskin pengurangan kemiskinan. Jalur 1 menunjukkan bahwa desentralisasi memungkinkan masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan dan dengan demikian meningkatkan transparansi dan predictability dari pengambilan keputusan. Studi Braun dan Grote dalam Rozi (2007) juga membuktikan bagaimana desentralisasi dengan berbagai bentuknya dapat menyebabkan penurunan pada kemiskinan. Studi yang dilakukan dengan menggunakan analisis regresi multivarian menemukan bahwa desentralisasi politik yang diukur/diproksi dari election tiers, desentralisasi administratif yang diukur dari size of population, desentralisasi fiskal yang diukur share of subnational expenditure, semuanya berdampak terhadap penurunan kemiskinan. Namun mereka kembali menekankan pentingnya melihat ketiga bentuk desentralisasi

20

tersebut secara bersama-sama (simultaneously) dan urutan (sequencing), yang mana yang memainkan peranan penting. Desentralisasi politik dan administratif menurut mereka sebaiknya dilakukan mendahului desentralisasi fiskal. Dengan kata lain, untuk mewujudkan desentralisasi fiskal yang lebih efektif dan memihak kaum miskin, maka desentralisasi politik dan administratif merupakan prakondisi yang harus dipenuhi, dan desentralisasi fiskal tidak dapat secara otomatis membawa pada pengeluaran yang lebih memihak pada pengeluaran yang lebih memihak kaum miskin. Dalam upaya untuk lebih mengefektifkan peranan desentralisasi fiskal via transfer fiskal antartingkat pemerintahan dalam pengurangan kemiskinan, Rao, et al (1998) menekankan perlunya dilakukan peninjauan kembali (reorienting) dalam pengaturan fiskal antartingkat pemerintahan untuk menjamin penyediaan layanan publik yang lebih responsif untuk mempercepat peningkatan standar konsumsi dari kaum miskin dan sekaligus untuk merespons preferensi yang beragam dari berbagai daerah atau wilayah. Efektifitas pemerintahan desentralisasi (decentralized government) di dalam penyediaan layanan publik yang efisien dapat ditingkatkan dengan melakukan reorientasi dalam pengaturan fiskal antartingkat pemerintahan untuk menyediakan insentif dan meningkatkan akuntabilitas. Salah satu cara untuk menjamin insentif dan akuntabilitas di dalam penyediaan layanan publik adalah melalui pengaitan (linking) peningkatan penerimaan dengan keputusan pengeluaran dari pemerintah daerah pada batas-batas tertentu (at the margin). Selain studi Braun dan Grote dalam Rozi (2007), Usman (2005) juga melakukan penelitian dan menemukan bahwa otonomi daerah via

desentralisasi fiskal memiliki arah yang positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian, khususnya tingkat kemiskinan. Hasil simulasi model pada pengeluaran pemerintah pada sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan serta sektor perumahan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi, pemerataan pendapatan dan penurunan tingkat kemiskinan. Dari ketiga pengeluaran

21

tersebut, peningkatan pengeluaran untuk sektor pertanian memberikan pengaruh yang paling besar. Usman, Siregar dan Sinaga dalam Arifin (2006) mengemukakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan. Studi Rozi (2007) juga menemukan bahwa otonomi daerah dengan desentralisasi fiskalnya di Provinsi Riau mampu meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah serta penurunan tingkat kemiskinan. Kebijakan yang menyentuh langsung rakyat miskin seperti pembukaan lapangan kerja untuk menarik tenaga kerja, peningkatan upah, bantuan dan subsidi yang diberikan kepada penduduk miskin langsung maupun tidak langsung berpengaruh signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan daerah, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Hasil penelitian Hernawan dan Dudi (2007) juga menemukan bahwa desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap pemerataan keuangan dan kinerja pembangunan daerah. Namun demikian, sejumlah hasil penelitian yang terkait dengan dampak otonomi daerah via desentralisasi fiskalnya masih bervariasi. Studi Lewis (2001) misalnya, menemukan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) yang menjadi sumber utama pendapatan daerah pada umumnya sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, sehingga anggaran untuk pembangunan menjadi kecil. Siregar (2001) juga mengemukakan bahwa bagi banyak daerah, pengeluaran untuk pembangunan tahun anggaran 2001 (setelah otonomi daerah/desentralisasi) lebih rendah dari pos pengeluaran yang sama untuk tahun anggaran 2000 (setelah desentralisasi). Paralel, studi yang dilakukan Elmi (2005) juga menemukan bahwa selama pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tahun 2004-2008 pengalokasian dana APBD oleh Pemda Kalimantan Selatan belum fokus pada kegiatan penanggulangan kemiskinan penduduk karena sebagian besar dana tersebut dialokasikan untuk membiayai kegiatan birokrasi di daerah. Studi Nanga (2006) menemukan bahwa transfer fiskal di Indonesia memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan

22

kemiskinan. Wilopo dan Budiono (2007) juga menemukan bahwa meski terdapat peningkatan pendapatan daerah dan kebijakan anggaran berimbang yang dialokasikan oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota) di Jawa Timur pada periode 2002-2004, tidak secara otomatis terdapat pemerataan dalam pelayanan publik di Jawa Timur.

2.4 Indikator Pembangunan Hingga saat ini, pandangan banyak ahli ekonomi pembangunan terhadap pembangunan ekonomi masih diwarnai oleh dikotomi antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Masih adanya kontroversi antara mana yang lebih dahulu untuk dilakukan dan dicapai, pertumbuhan ekonomi atau pemerataan pembangunan. Kontroversi tersebut muncul disebabkan karena penerapan strategi pembangunan ekonomi yang mengacu pada pertumbuhan (growth) dan pemerataan (equity) belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Istilah pembangunan seringkali digunakan dalam hal yang sama dengan pengembangan. Sehingga istilah pembangunan dan pengembangan (development) dapat saling dipertukarkan. Namun berbagai kalangan di Indonesia cenderung menggunakan secara khusus istilah pengembangan untuk beberapa hal yang spesifik. Meski demikian, sebenarnya secara umum kedua istilah tersebut diartikan secara tidak berbeda untuk proses-proses yang selama ini secara universal dimaksudkan sebagai pembangunan atau development (Rustiadi, 2007). Menurut Todaro (2003) pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi, dan institusional demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. Karena itu, proses pembangunan di semua masyarakat paling tidak harus memiliki tiga tujuan inti, yaitu: pertama, peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan. Kedua, peningkatan standar hidup

23

yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan. Ketiga, perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan. Mengacu pada berbagai definisi pembangunan di atas, maka para ekonom merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan. Dudleey Seer dalam Todaro (2003) merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan sebagai berikut: (a) tingkat ketimpangan pendapatan; (b) penurunan jumlah kemiskinan; dan (c) penurunan tingkat pengangguran. Ketiga ukuran keberhasilan di atas jika disimak lebih dalam adalah menuju satu sasaran akhir yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Meningkatnya kesejahteraan masyarakat berarti menurunnya kemiskinan (Amir, 2007). Selain itu, PBB juga telah merumuskan indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan itu disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs), yang terdiri dari delapan indikator capaian pembangunan, yakni: (a) penghapusan kemiskinan; (b) pendidikan untuk semua; (c) persamaan gender; (d) perlawanan terhadap penyakit menular; (d) penurunan angka kematian anak; (e) peningkatan kesehatan ibu; (f) pelestarian lingkungan hidup; (g) membangun kerjasama global (www.undp.or.id). Secara regional atau

kewilayahan, para pakar pembangunan di tahun 70-an telah berhasil merumuskan tingkat pencapaian pembangunan dari tujuan yang ditetapkan dari suatu wilayah sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

24

Tabel 1. Indikator-Indikator Pembangunan


Basis/Pendekatan Pertumbuhan, efisiensi Kelompok produktivitas dan Indikator-Indikator Pendapatan wilayah a. PDRB b. PDRB Perkapita c. Pertumbuhan PDRB 2. Kelayakan finansial dan ekonomi a. NVP b. BC Ratio c. IRR d. BEP 3. Spesialisasi, keunggulan komparatif dan kompetitif; LQ dan Shiff Share 4. Produksi-produksi utama: migas 1. Distribusi Pendapatan: Gini Ratio 2. Ketenagakerjaan: pengangguran terbuka, pengangguran terselubung, setengah pengangguran 3. Kemiskinan: good-service ratio, persentase konsumsi makanan, garis kemiskinan (pendapatan setara beras, dll) 4. Regional balance: spatial balance, central balance, dan capital balance Dimensi lingkungan, dimensi ekonomi dan dimensi sosial Pengetahuan, skill, etos kerja kompetensi, pendapatan, kesehatan, HDI dan IPM Degradasi Skalogram, aksesibilitas terhadap fasilitas Organisasi sosial, aturan adat/budaya 1.

Tujuan Pembangunan Pemerataan, Keberimbangan Keadilan (equity) dan

Keberlanjutan (sustainability) 1. Sumber daya manusia

Sumber daya

2. 3.

Proses Pembangunan

Sumber daya alam Sumber daya buatan/sarana dan prasaranan 4. Sumberdaya sosial Input, Implementasi, Output, Outcome, Benefit, Impact

Input dasar (SDM, SDA, Infrastruktur, SDS), Input antara

Sumber: Rustiadi (2007)

Paradigma pembangunan baru diarahkan pada terjadinya pemerataan, pertumbuhan dan keberlanjutan dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan bahwa sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi (Rustiadi, 2007).

2.5 Pengembangan Wilayah Di Indonesia berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti wilayah, kawasan, daerah, regional, area, ruang, dan istilahistilah sejenis banyak digunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang

25

berbeda-beda. Secara teoritik, tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah. Semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region) (Rustiadi, 2006). Selanjutnya, dalam UU. No. 26/2007 dinyatakan bahwa wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau fungsional. Pada praktiknya, pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintah dan administrasi pembangunan. Menurut Akil (2003) dalam Rustiadi (2006), pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, bahkan menghambat pembangunan itu sendiri. Dalam konteks ini, mulai dirasakan perlunya pendekatan yang meninjau kota-desa kawasan produktif serta prasarana pendukungnya sebagai satu kawasan wilayah. Dalam hubungan ini, kegiatan ekonomi kota dan desa (sub-urban) adalah saling tergantung dalam konteks perubahan penduduk jangka pandang dan tenaga kerja. Keterkaitan pembangunan perkotaan dan perdesaan begitu penting di mana keterkaitan ini diekspresikan dalam bentuk fisik, sosial, ekonomi, politik dan ideologi yang sekaligus untuk mengatasi adanya ketidakseimbangan pembangunan di perkotaan dan perdesaan. Menurut Shukla (2003) dalam Rustiadi (2006), melihat adanya keterkaitan dan ketidakseimbangan pengembangan wilayah tersebut

diperlukan adanya perencanaan wilayah (regional planning). Melalui perencanaan wilayah ini dapat dicapai dua tujuan yaitu pembangunan dan berkelanjutan dengan: 1. Perencanaan wilayah akan membantu pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada, sumberdaya fisik serta teknologi; 2. Perencanaan wilayah akan membantu pembuatan perencanaan di mana akan mengisi kebutuhan local;

26

3. Perencanaan wilayah membantu mengurangi pembangunan yang kurang berimbang antar dan dalam wilayah. Untuk menghindari masalah-masalah pembangunan, perlu kiranya dilakukan perencanaan pembangunan yang berimbang secara spasial karena secara makro hal ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Menurut Rustiadi (2006), pengembangan wilayah harus mengandung prinsip-prinsip: (1) mengedepankan peranserta masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan dari pada sebagai pelaksana. (2) menekankan aspek proses dibandingkan pendekatan-pendekatan yang menghasilkan produk-produk perencanaan berupa master plan dan sejenisnya. Pembangunan daerah di era otonomi daerah perlu dilaksanakan dengan pendekatan pengembangan wilayah yang terkoordinasi dan terintegrasi, bukan lagi pendekatan sektoral sebagaimana dilakukan pada masa lalu. Sejak diberlakukannya UU. No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan wilayah-wilayah. Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dibanding pendekatan sektoral. Pendekatan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antarsektoral, antarspasial (keruangan), serta antarpelaku pembangunan di dalam dan antardaerah.

2.6 Konsep Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Hasil suatu kegiatan pembangunan dapat dinilai dengan berbagai cara dan tolok ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun pendekatan nonekonomi. Pengukuran atau penilaian dengan pendekatan ekonomi pada umumnya menggunakan tingkat pendapatan sebagai tolok ukur. Tolok ukur pendapatan yang dimaksud antara lain pendapatan per kapita, distribusi pendapatan dan jumlah penduduk miskin atau tingkat kemiskinan (Todaro, 2003).

27

Namun pada akhirnya, penerapan tolok ukur pembangunan yang murni bersifat ekonomis tersebut, agar lebih akurat dan bermanfaat harus didukung pula oleh indikator-indikator sosial (sosial indicators) nonekonomis. Contoh indikator sosial itu antara lain adalah tingkat melek hurup, tingkat pendidikan, kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan kebutuhan akan perumahan dan sebagainya (Todaro, 2003).

2.6.1 Definisi Pembangunan Manusia dan Pengukurannya


UNDP (United Nation Development Programme) mendefenisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimated end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai

sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal pokok yang perlu diperhatikan adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan,

pemberdayaan (UNDP, 1995). Secara ringkas empat hal pokok tersebut mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Produktivitas

Penduduk harus dimampukan untuk meningkatkan produktivitas dan berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan dan nafkah. Pembangunan ekonomi, dengan demikian merupakan himpunan bagian dari model pembangunan manusia.
2. Pemerataan

Penduduk

harus memiliki kesempatan/peluang

yang sama untuk

mendapatkan akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial. Semua hambatan yang memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut harus dihapus, sehingga mereka dapat mengambil menfaat dari kesempatan yang ada dan berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat meningkatkan kualitas hidup.

28

3. Kesinambungan

Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan tidak hanya untuk generasi-generasi sekarang, tetapi juga gernerasi yang akan datang. Semua sumber daya fisik, manusia, dan lingkungan selalu diperbaharui.
4. Pemberdayaan

Penduduk harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan proses yang akan menentukan (bentuk/arah) kehidupan mereka, serta untuk

berpartisipasi dan mengambil manfaat dari proses pembangunan. Sebenarnya paradigma pembangunan manusia tidak berhenti sampai disana. Pilihan-pilihan tambahan yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat luas seperti kebebasan politik, ekonomi dan sosial, sampai kesempatan untuk menjadi kreatif dan produktif, dan menikmati kehidupa yang sesuai dengan harkat pribadi dan jasmani hak-hak azasi manusia merupakan bagian dari paradigm tersebut. Dengan demikian, paradigma pembangunan manusia memiliki dua sisi. Sisi pertama berupa informasi kapabilitas manusia seperti perbaikan taraf kesehatan, pendidikan dan keterampilan. Sisi lainnya adalah pemanfaatan kapabilitas mereka untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif, kultural, sosial dan politik. Jika kedua sisi itu didak seimbang maka hasilnya adalah frustasi masyarakat. Konsep pembangunan manusia dalam pengertian di atas jauh lebih baik dari pada teori-teori pembangunan ekonomi yang konvensional termasuk model pertumbuhan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia (SDM), pendekatan kesejateraan dan pendekatan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Model pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan produksi nasional (GNP). Pembangunan manusia teruatama sebagai input dari proses produksi (sebagai suatu sarana bukan tujuan). Pendekatan

kesejahteraan melihat manusia sebagai agen perubahan dalam pembangunan. Pendekatan kebutuhan dasar memfokuskan pada penyediaan barang dan jasa kebutuhan hidup.

29

Untuk dapat membuat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) maka UNDP mensponsori sebuah proyek tahun 1989 yang dilaksanakan oleh tim ekonomi dan pembangunan. Tim tersebut menciptakan kemampuan dasar. Kemampuan dasar itu adalah umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang yang dikuantifikasikan dalam umur harapan hidup saat lahir atau sering disebut Angka Harapan Hidup/AHH (eo). Pengetahuan

dikuantifikasikan dalam kemampuan baca tulis/ angka melek huruf dan ratarata lama bersekolah. Daya beli dikuantifikasikan terhadap kemampuan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak. Nilai IPM suatu negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara atau wilayah itu telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa kecuali), dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu. Karena hanya mencakup tiga komponen, maka IPM harus dilihat sebagai penyederhanaan dari realitas yang kompleks dari luasnya dimensi pembangunan manusia. Oleh karena itu, pesan dasar IPM perlu dilengkapi dengan kajian dan analisis yang dapat mengungkapkan dimensi-dimensi pembangunan manusia yang penting lainnya (yang tidak seluruhnya dapat diukur) seperti kebebasan politik, kesinambungan lingkungan, kemerataan antar generasi.

2.6.2 Metode Perhitungan dan Komponen-Komponen IPM Komponen IPM disusun dari tiga komponen yaitu lamanya hidup diukur dengan harapan hidup pada saat lahir, tingkat pendidikan diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa (dengan bobot dua per tiga) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot sepertiga), dan tingkat kehidupan yang layak yang diukur dengan pengeluaran perkapita yang

30

telah disesuaikan (PPP rupiah), indeks ini merupakan rata-rata sederhana dari ketiga komponen tersebut diatas: IPM = 1/3 (Indeks X 1 + Indeks X 2 + Indeks X 3 ) Dimana: X1 X2 X3 = Lamanya hidup = Tingkat pendidikan = Tingkat kehidupan yang layak Indeks X (I,J) = (X (I,J) -X (i-min) )/(X (I,J) -X (i-max) ) Melihat persamaan di atas, komponen IPM terdiri dari: 1. Lamanya Hidup (Longevity) Lamanya hidup adalah kehidupan untuk bertahan lebih lama diukur dengan indikator harapan hidup pada saat lahir (life expectancy at birth) (e0), angka e0 yang disajikan pada laporan ini merupakan ekstrapolasi dari angka e0 pada akhir tahun 1992 dan akhir tahun 2008 yang merupakan penyesuaian dari angka kematian bayi (infant mortality rate) dalam periode yang sama. 2. Tingkat Pendidikan Dalam perhitungan IPM, komponen tingkat pendidikan diukur dari dua indikator, yaitu: angka melek huruf (Lit) dan rata-rata lama sekolah (MYS). Angka melek huruf adalah persentase dari pendidik usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis dalam huruf latin atau huruf lainnya. Rata-rata lama sekolah, yaitu rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani atau sedang menjalani. Indikator ini dihitung dari variabel pendidikan yang tertinggi yang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang diduduki. 3. Standar Hidup Standar hidup dalam perhitungan IPM didekati dari pengeluaran riil per kapita yang telah disesuaikan.

31

2.7 Konsep Pelayanan Publik Terdapat sejumlah definisi mengenai pelayanan publik. Lonsdale dan Enyedia misalnya, mengartikan service sebagai assiting or benefiting individuals trough making useful things available to them. Sedangkan public service diberi makna sebagai someting made available to the whole of population, and it involves things which people can not normally provide for themselves i.e people must act collectivelly. (Lonsdale dan Enyedia, dalam Prasojo, 2006). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelayanan publik merupakan suatu upaya membantu atau memberi manfaat kepada publik melalui penyediaan barang dan atau jasa yang diperlukan oleh mereka Lonsdale dan Enyedia, dalam Prasojo, 2006). Sementara itu, Jusuf SK (2006) memberikan definisi pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan kewajiban aparatur negara sebagai abdi masyarakat. Menurutnya, pelayanan publik dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1. Kelompok Pelayanan Administratif, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik. 2. Kelompok Pelayanan Barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik. 3. Kelompok Pelayanan Jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan bebagai jasa yang dibutuhkan oleh publik. Misalnya pendidikan, kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos dan sebagainya. Masih menurut Jusuf SK (2006), dari berbagai kelompok pelayanan publik diatas, kelompok pelayanan jasa dapat dibagi ke dalam dua bagian besar yakni (1) pelayanan yang bersifat massal seperti transportasi, pusatpusat kesehatan, penyediaan lembaga-lembaga pendidikan dan pemeliharaan keamanan; (2) pelayanan yang bersifat individual, seperti pelayanan dalam membuat identitas penduduk, surat izin mengendarai, memeriksa kesehatan dan sebagainya. Merujuk pada definisi di atas, yang dimaksud pelayanan publik adalah semua barang dan jasa publik (public goods and services) yang diatur dan

32

diselenggarakan oleh pemerintah dalam rangka membedakan dengan barang dan jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta meskipun pengaturannya dilakukan oleh pemerintah (Prasojo, 2006). Dalam UU. No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Membaca definisi di atas, maka pelayanan barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. Mengingat sektor publik sangat terkait dengan keberadaan pemerintah, maka pelayanan publik juga daat disamakan dengan terminologi pelayanan pemerintah (government service) yang diartikan sebagai pemberian pelayanan oleh agen pemerintah melalui pegawainya (the delivery of a service by a government agency using its own employees) (Lonsdale dan Enyedia, dalam Prasojo, 2006). Pemahaman tentang ciri-ciri pelayanan publik yang baik sangat bermanfaat bagi aparatur pemerintah untuk mempersiapkan sarana pelayanan dan program serta strategi yang akan diterapkan. Hal ini mengingat biaya yang diperlukan dalam penyiapan infrastruktur pelayanan tidaklah kecil. Kebutuhan pelayanan publik dipengaruhi oleh 3 (tiga) variabel utama (Bulkin, 1997): 1. Jumlah penduduk yang dilayani, semakin besar akan semakin besar pula infrastruktur yang dibutuhkan. 2. Luas wilayah, yang ditempati penduduk, semakin luas dan tersebarnya perkotaan, semakin besar pula jumlah infrastruktur publik yang disediakan. 3. Pendapatan per kapita, permintaan akan jasa pelayanan umum bersifat elastis terhadap pendapatan (income elastis), seiring dengan meningkatnya

33

pendapatan penduduk cenderung membutuhkan tingkat pelayanan publik perkotaan yang lebih baik, baik kualitas maupun kuantitas. Disebabkan penyelenggaraan pelayanan publik disediakan oleh pemerintah, maka penting untuk diketahui indikator yang biasa digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu: (1) produktivitas; (2) kualitas layanan; (3) responsifitas; (4) responsibilitas, dan (5) akuntabilitas (Dwiyanto, 1995 dalam Dwiyanto, 2002). Lebih khusus, Kumorotomo dalam Dwiyanto, (2002) menggunan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik, antara lain: (1) efisiensi; (2) efektifitas; (3) keadilan; dan (4) daya tanggap. Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mengalokasikan anggaran yang ada, memanfaatkan faktorfaktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomi. Efektifitas menyangkut apakah tujuan dari pelayanan publik tersebut tercapai. Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi pelayanan publik serta fungsi agen pembangunan. Keadilan mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep ketercukupan dan kepantasan. Keduanya mempersoalkan apakah tingkat efektifitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat terpenuhi. Sementara daya tanggap berkaitan dengan kemampuan organisasi pelayanan publik untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat, daya tanggap ini menunjuk pada keselasaran antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dalam UU. No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik, kriteria standar untuk mengukur kinerja pelayanan publik adalah (1) berkualitas; (2) cepat; (3) mudah; (4) terjangkau; dan (5) terukur. Beberapa pelayanan barang/publik yang saat ini menjadi fokus perhatian adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Bidang ini dianggap

34

krusial dalam upaya mendorong kapabilitas manusia (human capital) dan oleh karena itu pemerintah di negara-negara berkembang terus berupaya untuk meningkatkan anggaran terhadap kedua bidang ini. (Morrison, 2002). Studi yang menarik dilakukan oleh Burchi (2006) menemukan bahwa pendidikan berkontribusi terhadap upaya perlawanan terhadap kerentanan pangan di wilayah perdesaan di negara-negara berkembang dan dengan demikian merupakan kunci ketahanan pangan wilayah tersebut. Studi Suryadarma dan Surhayadi (2009) menemukan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan dasar (SMP) terbukti nyata secara statistik berefek negatif terhadap kemiskinan. Studi Bank Dunia (World Bank) (2007) menemukan bahwa: pertama, anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 17,2 persen telah menempatkan Indonesia sejajar dengan negara berkembang lainnya, juga negara-negara anggota OECD. Akan tetapi, tingkat pengeluaran di Indonesia tersebut masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya di kawasan Asia Timur. Kedua, Penafsiran saat ini tentang ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan 20 persen untuk anggaran pendidikan, khususnya dengan mengeluarkan gaji guru sebagai komponen 20 persen dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan sesuatu yang tidak realistis dan pada saat yang sama akan menimbulkan masalah. Jika ingin mencapai angka 20 persen untuk anggaran pendidikan, dengan definisi saat ini, pemerintah pusat perlu menaikkan tingkat pengeluaran yang ada sekarang menjadi lebih dari dua kali lipat dan menggunakan kenaikan anggaran itu untuk pengeluaran bukan gaji, sementara itu pengeluaran daerah secara keseluruhan untuk sektor pendidikan (termasuk gaji) perlu ditingkatkan setidaknya menjadi 45 persen dari total pengeluaran. Ketiga, Ada perbedaan yang cukup besar di bidang akses pendidikan dan mutu pendidikan di berbagai wilayah Indonesia. Penentuan target sumbersumber daya tambahan yang efektif diperlukan untuk menyediakan dana yang memadai di kabupaten/kota dan provinsi yang masih tertinggal agar dapat setara dengan daerah lain. Keempat, Indonesia kini memiliki kelebihan jumlah

35

guru di tingkat sekolah dasar dan di wilayah perkotaan, sementara untuk daerah-daerah terpencil masih terjadi kekurangan jumlah guru yang cukup besar. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, sejumlah studi telah dilakukan untuk mengkaji pelaksanaan pelayanan publik. Studi-studi tersebut tentu berpijak pada asumsi desentralisasi administratif yang menjadi salah satu kerangka otonomi daerah adalah mendekatkan masyarakat dengan pemerintah setempat. Asumsi ini menekankan bahwa dengan desentralisasi administratif, maka kebijakan pelayanan publik yang sebelum masa otonomi berada di tangan pemerintah pusat kini berada di tangan pemerintah daerah. Tanggung jawab pemerintah daerah bukan hanya menyediakan standar pelayanan minimum (SPM), tetapi juga menyediakan anggaran dalam pos APBD untuk pelayanan publik (desentralisasi fiskal). Namun demikian, hasil studi yang terkait dengan pelaksanaan pelayanan publik di era otonomi daerah belum menunjukkan kinerja yang memuskan. Terkait dengan hal tersebut, studi Toyamah, et al (2002) menemukan bahwa setelah pelaksanaan otonomi daerah pelayanan di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur belum berubah, namun kondisi sarana dan prasarana pendukung pelayanan cenderung memburuk. Bappenas dan UNDP (2008) juga menemukan banyak daerah belum secara optimal menyediakan pelayanan dasar (basic service) kepada masyarakat sehingga berimplikasi pada ketimpangan tingkat kesejahteraan nonpendapatan (nonmoneter) di daerah. Studi ini menunjukkan, secara umum kinerja pelayanan publik di Daerah Otonom Baru (DOB) cenderung menurun. Masalah yang dihadapi dalam pelayanan publik ialah (i) tidak efektifnya penggunaan dana, terkait dengan kebutuhan dana yang tidak seimbang dengan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama, (ii) ketersediaan tenaga pelayanan pada masyarakat karena perkembangan ekonomi dan fasilitas yang terbatas, dan (iii) masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik publik yang diberikan.

36

Studi yang dilakukan World Bank (2009) juga menemukan bahwa hampir 25% kondisi infrastruktur pendidikan di sejumlah daerah sangat rendah. Studi World Bank juga menunjukkan, ada perbedaan mencolok antara capaian jenjang pendidikan penduduk di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan, dengan perbedaan rata-rata sebesar 2,5 tahun (World Bank, 2006).

2.8 Konsep Persepsi Menurut Asngari (1984) persepsi adalah pemahaman atau pandangan seseorang tentang segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Sementara Thoha (1999) menyatakan, persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik melalui penglihatan, pendengaran, perasaan dan penciuman. Persepsi adalah pengalaman tentang obyek dan hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan stimulasi inderawi. Hubungan sensasi dan persepsi adalah jelas bahwa sensasi bagian dari persepsi. Walaupun begitu menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi (perhatian), ekspektasi, motivasi dan memori. Persepsi seperti juga sensasi ditentukan oleh faktor-faktor personal dan situasional (Rahmat, 2000). Tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi, Krech dan Crutchfield (Asngari, 1984) menyatakan bahwa ada dua golongan variabel yang mempengaruhi persepsi yaitu (1) variabel struktural yaitu faktor yang terkandung dalam rangsangan fisik dan proses neurofisikologi dan (2) variabel fungsional yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat seperti kebutuhan, suasana hati, pengalaman masa lalu dan sifat-siat individual lainnya.

2.9 Kerangka Pikir Penelitian Desentralisasi sebagaimana telah diatur dalam UU. No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU. No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah menjadi memiliki dua aspek penting, yaitu

37

desentralisasi administratif dan desentralisasi keuangan/fiskal. Dari segi desentralisasi administratif didasarkan pada argumentasi bahwa pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Asumsinya, semakin dekat hubungan antara pemerintah (region) dengan masyarakat, semakin bisa dipahami kebutuhan masyarakat akan suatu pelayanan. Dari segi desentralisasi keuangan/fiskal, sebagaimana diatur dalam UU. No. 33/2004 adalah desentralisasi keuangan yang merupakan komponen inti dari konsep desentralisasi. Adanya desentralisasi keuangan merupakan konsekuensi dari adanya kewenangan untuk mengelola keuangan secara mandiri, baik yang berasal dari pendapatan asli daerah maupun dari dana perimbangan (DAU). Selain itu, hal fundamental dari desentralisasi keuangan ini adalah kewenangan dalam fungsi alokasi dan distribusi belanja. Hal ini disebabkan manfaat tersebut dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat sebagai kebutuhan dasarnya seperti belanja pertanian, kesehatan, pendidikan, perumahan dan lain sebagainya. Kedua undang-undang ini tidak lain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kemandirian perekonomian daerah. Salah satu indikator meningkatnya kesejahteraan masyarakat adalah mereka dapat dan mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan kata lain, mereka berada di atas garis kemiskinan sebagaimana ditetapkan oleh BPS. Secara teoretik, upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat ditempuh melalui sejumlah pendekatan. Pendekatan neo-klasik menyatakan bahwa peningkatan kesejahteraan dapat dilakukan dengan cara penciptaan lapangan pekerjaan di kalangan penduduk. Namun demikian, syarat yang harus dipenuhi agar terciptanya permintaan terhadap tenaga kerja adalah adanya investasi. Hal ini ditujukan agar terjadi pertumbuhan (growth). Sebab dalam teori dinyatakan bahwa setiap 1 (satu) persen pertumbuhan akan

meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja sebesar empat ratus ribu orang. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi 1 persen, akan mengurangi pengangguran sebesar empat ratus ribu orang.

38

Selanjutnya, ketersediaan lapangan pekerjaan menjadikan masyarakat memiliki peluang untuk memperoleh pekerjaan yang pada gilirannya akan memperoleh pendapatan. Secara makroekonomi, agregasi pendapatan yang terjadi menyebabkan meningkatnya pendapatan per kapita. Dampak ikutan dari peningkatan pendapatan per kapita ini akan meningkatkan tingkat harapan hidup, meningkatnya kesempatan memperoleh pendidikan dan pada akhirnya akan meningkatkan kelayakan hidup masyarakat. Meningkatnya tingkat harapan hidup, meningkatnya kesempatan masyarakat memperoleh pendidikan dan meningkatnya kelayakan hidup secara otomatis akan meningkatkan IPM. Sementara indikator kemandirian perekonomian daerah adalah daerah yang bersangkutan mampu memenuhi kebutuhan perekonomian daerah, termasuk pendanaan keuangan tanpa terlalu tergantung dengan pemerintah pusat. Indikator lain dari kemandirian ekonomi tersebut adalah adanya kinerja keuangan yang baik dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Sebab, kinerja keuangan tidak saja mencerminkan arah dan pencapaian kebijakan fiskal dalam mendorong pembangunan daerah secara umum, tetapi juga

menggambarkan sejauh mana tugas dan kewajiban yang diemban oleh pemerintah daerah yang bersangkutan dalam konteks desentralisasi dapat dilaksanakan. Kinerja keuangan pemerintah daerah dapat diketahui dengan melihat ketergantungan fiskalnya. Derajat ketergantungan fiskal adalah suatu derajat yang mengukur sejauh mana pemerintah daerah dapat memenuhi kebutuhan fiskalnya untuk membiayai pembangunan, baik melalui alokasi dana perimbangan dari pusat maupun pendapatan asli daerah (PAD). Penjelasan UU. No.33/2004 mengatakan bahwa fungsi DAU adalah sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal dan sebagai wujud fungsi distribusi keuangan pemerintah. Namun di dalam komponen DAU sendiri terdapat alokasi dasar yang merupakan gaji Pegawai Negeri Sipil di Daerah (PNSD) yang merupakan tanggung jawab pemerintah pusat secara umum. Dalam struktur keuangan negara khususnya Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD), alokasi anggaran pengeluaran terdiri dari dua

39

yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran publik. Pengeluaran rutin bersifat konsumtif sedangkan pengeluaran publik bersifat investasi. Pengeluaran publik yang bersifat investasi itulah terdapat komponen anggaran yang bersentuhan langsung dengan masyarakat miskin. Dengan demikian, jika pemerintah daerah memberikan porsi anggaran pada pengeluaran untuk publik, maka tentu akan mendorong pada keberhasilan upaya penanggulangan masyarakat miskin. Dampak lanjutannya adalah, menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah/wilayah yang lebih progresif dan berkelanjutan. Salah satu bentuk kongkrit dari alokasi pengeluaran publik adalah pengeluaran untuk pelayanan publik, seperti pendidikan. Sejalan dengan adanya otonomi, sangat memungkinkan bagi daerah yang bersangkutan untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik di bidang pendidikan, baik di tingkat dasar maupun lanjutan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 disebutkan, permasalahan bidang pendidikan di Indonesia antara lain mencakup: fasilitas pelayanan pendidikan, khususnya untuk jenjang pendidikan menengah pertama dan yang lebih tinggi yang belum tersedia secara merata; serta ketersediaan pendidik yang belum memadai, baik secara kuantitas maupun kualitas. Pemerintah daerah harus menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam mendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sen dalam Todaro (2003) menyatakan bahawa pendidikan merupakan faktor penting dalam upaya mengurangi kemiskinan. Sebab, pendidikan merupakan hal yang fundamental untuk membentuk kapabilitas manusia. Pendidikan memainkan peran kunci dalam membentuk kemampuan masyarakat untuk menyerap pengetahuan, wawasan dan teknologi modern untuk mengembangkan kapasitas dan kompetensi. Oleh karena itu, pendidikan juga dapat dilihat sebagai komponen pertumbuhan dan pembangunan yang vital.

40
1. 2. 3. 4. 5. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat Percepatan pembangunan perekonomian daerah LKLK Percepatan pengelolaan potensi daerah Perbaikan kinerja keuangan daerah Pengeluaran pembangunan/publik /investasi

untuk kesejahteraan masyarakat


OTONOMI DAERAH
Sisi Penerimaan (PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, LainLain Pendapatan Daerah Yang Sah)

Desentralisasi Fiskal (UU. No.33/2004)

Peningkatan Kinerja Keuangan Daerah

Pengeluaran Rutin

Sisi Pengeluaran
Kewenangan pengelolaan keuangan secara mandiri

Peningkatan Kapasitas Keuangan


Peningkatan Alokasi Belanja Publik

Pengeluaran Pembangunan

Kemandirian Ekonomi

Pertanian dan nonpertanian

Infrastruktur

Sosial & Pelayanan Publik

Pelayanan Publik Bid. Pendidikan

Peningkatan Investasi di Daerah

Meningkatnya tingkat harapan hidup

Peningkatan Output Ket:

Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi

Penciptaan Lapangan Pekerjaan

Peningkatan Pendapatan Per Kapita/PDRB

Kehidupan yang layak Meningkatnya partisipasi sekolah

Peningkatan IPM

hubungan rincian hubungan kausatif

Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian

You might also like