Professional Documents
Culture Documents
PERANANNYA
SEBAGAI PENYEBAR BIJI
Oleh:
Ruhyat Partasasmita
361020121 – BIO
E-mail: ruhyatp@bdg.centrin.net.id
Abstrak
Kawasan hutan tropika memiliki komunitas yang kompek dari hewan dan
tumbuhannya. Sebagai contoh, macam-macam bentuk interaksi antara hewan
vertebrata pemakan buah dan spesies-spesies tumbuhan buah ditemukan pada
kawasan tersebut (Levey et al. 1994, Herrera, 1989). Hewan-hewan pemakan
buah dan penyebaran biji tumbuhan yang dimakannya telah banyak dikaji dan
dipublikasikan khsususnya penyebaran oleh mamalia, yang secara khusus telah
dikonsentrasikan pada hewan kelompok primata dan kelelawar pemakan buah
(Lambert 1998; 1999; 2000; 2001, Lambert & Garber 1998, Garber & Lambert
1998, Oliveira-Filho & Galetti 1996, Jordano, 2000), fruit-eating bat (Galetti &
Morellato 1994) and sun bear (McConkey & Galetti, 1999), sedangkan kajian
mengenai penyebaran biji oleh burung sangat sedikit sekali dan hanya
terkonsentrasi pada satu familia, sebagai contoh familia Pycnonotidae (Fukui,
1995). Demikian pula dengan komponen aspek-aspek ekologi dari burung
pemakan buah tersebut.
Penyebaran biji merupakan suatu proses kunci dalam dinamika populasi
vegetasi alami dan pemulihan vegetasi setelah mengalami perubahan baik
karena pengaruh alam itu sendiri maupun dampak kerusakan karena kegiatan
manusia (Corlett, 2001), sebagai contoh karena penebangan hutan yang tidak
terkendali yang mengakibatkan terbukanya lahan yang luas, dan tidak dikelola
dengan baik pasca penebanganya. Peningkatan kerusakan hutan dan
fragmentasi habitat menyebabkan banyak spesies hewan termasuk burung-
burung pemakan buah harus bermigrasi temporal untuk menjaga kelulusan
hidunya. Perubahan komposisi komponen habitat berupa jenis-jenis tumbuhan
yang berimplikasi langsung perubahan ketersediaan sumberdaya buah, akan
merubah pula komposisi burung-burung yang memanfaatkanya yang sekaligus
akan merubah jenis burung yang mendiami habitat tersebut. Apabila banyak
berpindah dari habitat yang mengalami perusakan tersebut adalah hewan
pemakan buah, maka akan berdampak terhadap keterbatasan penyebaran biji
buah yang dihasilkan oleh tumbuhan, hal ini pula yang menyebabkan masalah
yang sangat serius untuk suksesi secara alami (Corlett, 1998). Suksesi hutan
dengan campur tangan manusia melalui usaha reboisasi sangat membutuhkan
biaya yang sangat besar, dan sampai sekarang belum ada usaha reboisasi yang
berhasil untuk menghutankan kembali hutan yang telah ditebang habis.
Hubungan keberadaan burung pemakan buah pada habitat tropika
merupakan topik khusus yang sangat menarik untuk dikaji sebab pada
beberapa abad terakhir pengaruh manusia telah banyak menurunkan kekayaan
avifauna, tetapi disisi lain kekayaan flora berlimpah, yang merupakan suatu
model yang nyata di masa sekarang dan yang akan datang di sebagian besar
daerah tropika. Kehilangan agen penyebar biji akan menjadi masalah yang
penting yang mengancam keanekaragaman vegetasi sebagai akibat perusakan
hutan dalam waktu yang sangat panjang. Kebanyakan burung hutan yang
sangat tergantung pada ketersediaan buah yang merupakan bagian penting dai
komponen makanannya. Ketersediaan buah di hutan sangat rentan sekali
berubah dalam produkltivitasnya apabila terjadi deforestasi dan pembalakan
(Leighton 1982), dan mempengaruhi perubahan phenologi tumbuhan.
Pemulihan kerusakan vegetasi secara nyata membutuhkan bantuan
agen-agen penyebar biji, yang mana dapat dilakukan oleh burung-burung.
Dengan kata lain, burung-burung telah diketahui sebagai agen penyebar biji
untuk vegetasi hutan ( Karr et al., 1992). Untuk contoh, jenis-jenis tumbuhan di
semak belukar dan hutan sekunder di Hongkong sebagian besar disebarkan
oleh burung (Corlett, 1996). Oleh karena itu, preferensi buah pada burung-
burung pemakan buah secara positif mempengaruhi regenerasi komunitas-
komunitas tumbuh-tumbuhan di hutan (Herrera et al 1994). Sebagai tambahan,
phenologi produksi buah juga dapat sangat mempengaruhi komposisi burung
(Herrera, 1988). Penyebaran biji merupakan tahap terakhir dalam siklus
reproduksi tumbuhan, tetapi juga merupakan tahap awal dalam proses
pebaharuan dan “recruitment” populasi tumbuhan.
II. IDENTIFIKASI MASALAH
III. ANALISIS
perilak u m ak an
-peng g unaan
m ak anan
Daerah -selek si buah
Kerusak an hutan j elaj ah
Hutan
- sistem Penyebaran
perlandang an sekunder bij i
berindah
- penebang an hutan Kem am puan
-k ebak aran hutan perk ecam bahan
Tum buhan (g erm ination)
buah
Phenolog i Pref erensi
tum buhan buah &
buah pem indahan
buah
Kesediaan
buah
Sem ak
IV DISKUSI
a. a. phenologi
Pola-pola phenologi tumbuhan buah di daerah tropik bervariasi dan
kompleks. Ketersediaan buah maksimum di daerah temperate cenderung terjadi
di musim dingin (bulan November-Januari), bertepatan dengan gelombang dari
bagian burung pemakan buah migran dari Palaearctic (Corlett, 1998). Untuk
kebanyakan Asia tropik, musiman turun hujan, merupakan faktor ecologi yang
utama dari pada temperatur. Keteraturan siklus tahunan masih jelas pada
tingkat komunitas, tetapi suatu keanekaragaman lebih besar pada pola-pola
secara phenologi dan lebih bervariasi dalam tahunan daripada bagian utara
lainnya. Ketersediaan buah secara maksimum tampak kurang mencolok
(Borges, 1993 dalam Corlett, 1998). Tetapi untuk beberapa jenis tumbuhan
tertentu tampak sangat mencolok ketersediaannya antara musim kemarau
dengan musim hujan (Partasasmita, 1998)
Dalam hubungannya musiman bagian tengah tropika Asia (kebanyakan
dari Sumatra, kalimantan dan semenanjung malaysia), tidak ada regulasi musim
panas dan musim dingin yang menyingkronkan dengan phenologi tumbuhan,
walaupun hampir seluruh studi-studi mendeteksi disiklus tahunan di tingkat
komunitas. Sebagai akibatnya hewan-hewan frugivory apabila tidak tersedia
makanan yang cukup makan mencari jenis tumbuhan yang lain. Burung
frugivory dalam Asia tropik tidak menurut musim, harus mempunyai makanan
yang sangat flesibel atau mencari makan dalam daerah yang sangat luas
(Leighton dan Leighton, 1983). Bagaimanapun, tidak seluruh spesies buah
mempunyai phenologi berbuah supra-annual. Berbuah dengan kontinyu pada
tingkat individu adalah sangat jarang, terjadi diantara pioneer, tetapi kurang
lebih siklus regulasi tahunan atau dua tahunan adalah tidak umum, seperti
beberapa kali berbuah dalam satu tahun, dengan individu tumbuhan
menyinkronkan atau tidak pada tingkat populasi.
b. b. Warna
Beberapa burung mempunyai penglihatan tetrakromatik dan dapat
membedakan permukaan warna dalam kisaran ultraviolet (300-400 nm) dari
spektrumPenglihatan trikromatik tipe manusia tampak dibatas untuk primata,
meliputi kemungkinan seluruh monyek dunia lama dan apes. Seluruh mamalia
lainnya tampak dichromat atau jika nokturnal buta warna. Ini diduga bahwa
trikromat dalam primata berevolusi sebagai suatu adaptasi untuk frugivory,
membuat lebih mudah mendeteksi buah-buahan yang berlatar belakang daun-
daunan (Osario dan Vorobyev, 1996 dalam Corlett, 1998, Schmidt, 2002).
Buah-buahan yang pada umumnya dikonsumsi oleh burung adalah yang
cenderung masih muda seperti biji gandum, jagung dan padi, sedangkan
sebagaian besar burung pemakan buah mengkonsumsi buah yang hampir
matang atau matang, dimakan ketika hitam kemudian sering dideskripsikan
seperti merah atau oranye dalam literatur. Paling banyak buah matang, buah-
buahan berdaging adalah hitam atau merah (Corlett, 1996). Bagaimanapun,
proporsi coklat, kuning dan buah-buah hijau mungkin lebih rendah daripada
pada kondisi matang. Hewan mamalia memakan buah-buah tersebut adalah
khususnya warna yang lebih pucat daripada buah-buahan yang diambil
kebanyakan oleh burung (Leighton dan Leighton, 1983). Hal senada ditemukan
oleh Suryadi (1994) bahwa warna makanan burung rangkong lebih dominan
merah dan ungu, demikian pula dengan kelompok burung colombidae
(Partasasmita dkk, 2001; 2002). Demikian pula dengan Schmidt (2002)
menemukan bahwa warna yang dipilih burung lebih banyak buah berwarna
merah oleh pada burung isap madu hijau dan isap madu paruh pendek baik
pada yang muda mauun yang dewasa .
d. d. Kimia buah
Menurut Corlett (1996), komponen utama dari karakteristik 153 spesies
buah di Hong Kong (30% dari total tumbuhan buah berdaging) didominasi oleh
suatu kecenderungan dari buah-buahan berbiji tunggal yang tipis, lapisan
daging buah yang kaya lemak sampai buah-buahan berbiji banyak dengan
banyak mengandung air, daging buah kaya gula. Burung-burung mengkonsumsi
tipe buah dalam kisaran yang luas, kecuali yang terlalu besar untuk ditelan dan
terlalu keras untuk di patuk sedikit-sedikit. Analisis kandungan gula dalam 58
spesies buah menunjukkan bahwa burung-burung pemakan buah
mengkonsumsi paling banyak buah mengandung banyak hexosa sementara
mamalia memakan speseis yang kaya hexosa dan sukrosa (Ko et al., 1998
dalam Corlett, 1998).
Tidak ada bukti bahwa distribusi bimodal dari karakter-karakter yang
dinyatakan secara tidak langsung oleh pembagian dari tipe buah kedalam kaya
gula dan kaya lemak di dalam literatur frugivory daerah oriental (Leighton dan
Leighton, 1993), metabolit sekunder membantu lebih dari satu fungsi adaptasi
dalam buah berdaging matang dukungan untuk beberapa hipotesis ekslusif
pemilihan buah berdaging oleh burung (Cipollini, 2001).
Buah ara (Ficus spp.) kadang-kadang diperlakukan sebagai tipe buah
yang berbeda, dengan kandungan serat yang tinggi dan nilai nutrisi yang rendah
(Raemaekers, 1984 dalam Corlett, 1998). Delapan daging buah tanpa biji, hasil
analisis spesies ara di Hong Kong mempunyai kisaran yang sama dari
kandungan nutrisi sampai buah-buah kaya gula yang lainnya: berdasarkan
massa kering, 45-71 total larutan kabohidrat, 9-25% serat, 2-11% protein dan 1-
6% lemak (Corlett, 1996). Kemampuan beberapa burung frugivory untuk hidup
hampir sepenuhnya pada ara seperti merpati hijau dan rangkong) diduga
bahwa mereka tercukupi secara nutrisi (Kinnaird dkk, 1992) dan ada bukti
bahwa mereka adalah suatu sumber yang baik khususnya dari kalsium.
Preferensi dan penyebaran biji
a. Preferensi
Setiap organisme untuk melangsungkan kehidupannya memerlukan
makanan, dan setiap makanan yang dimakan oleh hewan dapat ditinjau dari
dua aspek yaitu aspek kualitatif dan kuantitatif. Aspek kuantitatif mencakup
kelimpahannya di habitat dan aspek kualitatif meliputi ukuran, warna,
palatabilitas, nilai gizi dan daya cernanya (Krebs dan Davis, 1978).
Preferensi terhadap jenis makanan tertentu diduga dipengaruhi oleh
warna, berat dan besar ukuran makanan, produktivitas jenis makanan, dan
kandungan nutrisi makanan tersebut. Demikian pula bagi bangsa burung, berat
dan ukuran tubuh serta bentuk paruh dan sistem pencernaannya merupakan
faktor-faktor yang berperan menentukan pola hidup dan jenis makanannya
(Wiens, 1992). Burung akan lebih memilih makanan yang bernilai gizi paling
tinggi per satuan waktu penanganan. Kelimpahan yang tinggi dari jenis pakan
yang kurang disukai tidak akan berpengaruh, kecuali apabila kelimpahan jenis
pakan yang lebih disukai sangat rendah (Huntingford, 1984).
Hubungan antara jenis-jenis makanan yang dikonsumsi berbagai jenis
burung dengan ketersediaannya di lingkungan dapat memperlihatkan fenomena
beralih preferensi (“switching of preference”). Misalnya, apabila ketersediaan
suatu jenis makanan di lingkungan rendah, maka jenis makanan itu
penggunaannya juga relatif rendah (tidak menampakkan preferensi), tetapi
apabila ketersediaannya meningkat, maka hewan akan memperlihatkan
preferensi yang tinggi terhadap jenis makanan tersebut (Smith, 1990).
b. Penyebaran biji
Banyak jenis tumbuhan di hutan tropis bergantung kepada jenis burung
pemakan biji dalam penyebaran biji-bijinya. Hilangnyanya jenis burung ini
karena pengaruh terfragmentasinya hutan, akan berpengaruh terhadap jangka
waktu yang lama bagi banyak jenis-jenis pohon (Howe dan smallwood, 1982;
Terbor, 1986 dalam Muchtar, 1997). Jenis-jenis yang membantu penyerbukan
dan penyebaran biji beberapa jenis tanaman tertentu, antara lain jenis-jenis
burung madu (Nectarinidae), burung jantung (Nectarinidae), burung-burung dari
suku Anatidae, Columbidae, Turdidae, Corvidae dan Sittidae (Welty dan
Baptista, 1988).
Di hutan sekunder dan shrubland, hampir 200 spesies tumbuhan berbiji
dan 80% mempunyai buah segar, dimana 85% dari tumbuhan tersebut
didistribusikan oleh burung (Corlett, 1996), antara lain Lantana camara, Sapium
discolor, Litsea sp, Ficus sp, Kelapa sawit (Partasasmita, 1998), benalu-
benaluan, (Reid, 1990). Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa spesies
burung yang menjadi agen antara lain Zoopterops, Lonchura, Streptopelia,
Pycnonotus, Dicaeum, Megalaima, Ducula, Psittacula (Partasasmita, 1998;
Partasasmita dkk, 2002), dan rangkong (Partasasmita dan Adriantoro, 2000).
Kepadatan burung frugivora dan pergerakannya sering dihubungkan
secara dekat dengan kelimpahan buah–buahan lokal (Levey,1988). Perubahan
musiman dalam persediaan buah–buahan mempengaruhi aktivitas burung.
Pada saat persediaaan buah menurun, burung pemakan buah Redcapped
Manakin (Pipra mentalis) berhenti berkembang biak, menghabiskan waktu untuk
mengumpulkan makanan dan memakan lebih banyak serangga
(Worthington,1982). Burung ini juga bergerak sepanjang hutan untuk mencari
tempat dimana terdapat buah yang melimpah (Martin dan Karr,1986; Levey,
1988). Akhirnya, migrasi altitudinal dari burung Manakin ini dan jenis burung
pemakan buah lainnya bergantung pada perubahan musiman persediaan buah
– buahan. Morfologi dan tingkah laku burung tergantung pada penampakan,
persediaan dan distribusi buah–buahan di pohon dan semak dan kualitas
nutrisinya.
Tujuh puluh persen spesies tanaman di Selandia Baru kemungkinan
dibantu penyebarannya oleh burung. Kepunahan pada burung akhir–akhir ini
mengancam masa depan tanaman yang penyebarannya bergantung pada
burung, hal ini memperlihatkan hubungan yang dekat antara burung pemakan
buah–buahan dan tanaman yang buahnya dimakan oleh burung - burung tadi.
Beberapa spesies burung dapat dibuktikan bahwa buah yang dimakan biji yang
dibuang dapat tumbuh kembali, seperti jenis burung Kasuari, dan kelompok
burung Zospterops, sedangkan kebanyakan jenis burung pemakan buah yang
lainnya sengat sedikit informasi mengenai nasib biji yang dimakanannya.
V. V. PENUTUP