You are on page 1of 7

Tashawwur

18 November 2010 oleh Ahmad Fadhil Ahmad Fadhil Terjemahan dari Mabhats Tashawwurat, dalam Manahij al-Bahts Inda Mufakkiri al-Islam wa Naqd al-Muslimin li al-Manthiq al-Arithathalisi, Ali Sami an-Nasysyar, Kairo: Dar alFikr al-Arabi, cet.I, 1367 H/1947 M, h. 25-33. Sebagaimana yang telah saya jelaskan, logika para komentator Muslim terbagi menjadi dua bagian: tasawwur dan tashdiq. Para ahli logika mengatakan bahwa melalui definisi kita memperoleh tashawwur dan melalui qiyas kita memperoleh tashdiq. Dengan demikian, pembahasan tashawwur yang paling penting adalah definisi dan pembahasan tashdiq yang paling penting adalah qiyas. Sekarang kita akan membahas tashawwur. Bahasan ini terbagi menjadi tiga bagian: 1. Bahasan tentang lafaz dari segi kaitannya dengan makna. 2. Bahasan tentang makna. 3. Bahasan tentang definisi. Dalam mengkaji ketiga bahasan tersebut, secara khusus saya akan berusaha menjelaskan masalah-masalah sebagai berikut: 1. Unsur yang ditambahkan oleh para komentator muslim, karena mereka telah menambahkan sejumlah bahasan khususnya bahasan linguistik yang tidak kita dapati padanannya di dalam logika Aristoteles maupun logika para komentator Yunani. 2. Unsur-unsur logika Stoicisme yang masuk ke dalam ligka para komentator muslim yang bersama dengan logika Aristoteles membentuk logika mereka sendiri. 3. Pengaruh sejumlah bahasan tashawwur terhadap bahasan linguistik dan ushul yang sangat jelas dalam bagian pertama bahasan tashawwur yaitu bahasan tentang lafaz. Bahasan tentang lafaz Hubungan bahasan ini dengan pembahasan logika secara umum dan pembahasan tashawwur secara khusus berasal dari konsep bahwa tashawwur sebagaimana dipahami oleh ahli logika adalah pengetahuan tentang unit (mufrad) dan

unit tersebut tak lain daripada lafaz. Karena dipengaruhi konsep ini, para filsuf Muslim mengkaji lafaz secara luas, meskipun Aristoteles sendiri tidak membahasnya, dengan alasan bahwa mereka tidakmembahas lafaz itu sendiri, melainkan membahas lafaz dari segi kaitannya dengan makna. Konsep ini mendominasi semua komentator muslim, seperti apda Ibnu sina dan al-Ghazali seta para ahli logika generasi belakangan. Bahkan, Abu al-Barakat al-Baghdadi yang menyadari bahwa pembahasan ini tidak berasal dari Aristoteles sehingga dia mengingkarinya sebagai pembahasan logika, dia pun mengawali buku logikanya yang berjudul al-Mutabar dengan bahasan-bahasan tentang lafaz seperti halnya buku-buku logika yang lain. Pembahasan lafaz di kalangan ahli logika muslim terbagi menjadi lima bagian: 1. Indikasi lafaz terhadap makna. 2. Lafaz yang bermakna umum dan bermakna khusus. 3. Mufrad dan murakkab. 4. Lafaz itu sendiri. 5. Relasi lafaz dengan makna. 1. Indikasi lafaz terhadap makna Seluruh komentator muslim, baik dari kalangan pengikut aliran Stoicisme ataupun Peripatetisme generasi pertama ataupun generasi belakangan, menempatkan bahasan ini di awal buku mereka, kecuali sedikit ahli logika seperti Abu Shalat ad-Dani dalam Taqwm adz-Dzihn. Secara ringkas bahasan ini adalah sebagai berikut. Indikasi lafaz terhadap makna dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, dilalah muthabaqah, yaitu indikasi lafaz terhadap seluruh makna yang dibuat untuknya, seperti indikasi lafaz rumah untuk gabungan dinding dan atap. Keuda, dilalah tadhammun, yaitu indikasi lafaz terhadap sebagian makna yang terkandung padanya, seperti indikasi lafaz rumah untuk dinding saja atau atap saja. Ketika, dilalah iltizam, yaitu indikasi lafaz terhadap sesuatu yang identik dengannya tetapi berada di luar dirinya, seperti indikasi kata makhluk terhadap Khalik. Suhrawardi menyebut dilalah muthabaqah dengan dilalah qashd, dilalah tadhammun dengan dilalah hithah, dan dilalah iltizam dengan dilalah tathafful. Para ahli logika muslim, khususnya generasi belakangan, telah memperluas kajian ini, tapi yang paling penting untuk kita ketahui sekarang adalah apakah sumber yang dipakai oleh mereka untuk sistematika tersebut?

Jelas bahwa logika Aristoteles tidak mengenal sistematika ini, begitu juga logika para komentator Yunani. Dengan demikian, kita memiliki tiga kemungkinan. Pertama, para pemikir muslim membuat sendiri sistematika ini dikarenakan pengaruh linguistik. Kedua, mereka mengambil kajian ini dari Stoicisme, apalagi kita telah emngetahui bahwa mazhab ini telah mengenal ini dilalah dan madlul, sehingga mungkin saja konsep indikasi para pemikir muslim matang disebabkan oleh kajian Stoicis tersebut, meskipun kita tidak dapat memastikan masalah ini. Ketiga, inilah kemungkinan yang paling kuat, yaitu para pemikir muslim mengetahui bahasan indikasi dari kaum Stoicis tapi mereka sendiri memiliki konsep lain tentang bahasan ini. Buktinya, sejumlah ahli logika membuat bahasan tentang makna indikasi dan perbedaannya menurut para ahli logika dan para ahli tata bahasa. Indikasi menurut para ahli logika adalah eksistensi sesuatu yang persepsi tentangnya mengharuskan persepsi sesuatu yang lain, dan indikasi logis tersebut terbagi menjadi indikasi terhadap makna yang sebenarnya (muthabaqah), indikasi terhadap sebagian makna (tadhammun), dan indikasi terhadap sesuatu yang identik dengan maknanya (iltizam). Sedangka para ahli tata bahasa memiliki definisi lain tentang indikasi yang berbeda dengan definisi para ahli logika, yaitu pemahaman makna dari lafaz yang digunakan untuk makna tersebut, jika makna itu merupakan objek lafaz maka itu dilalah muthabaqah, jika makna itu merupakan objek dari sebagian lafaz maka itu dilalah tadhammun, dan jika makna itu di luar lafaz maka itu dilalah iltizam. Menurut para ahli tata bahasa Arab, indikasi-indikasi tersebut tidak dapat bersatu dalam satu penggunaan seperti diperbolehkan oleh para ahli logika. Dari sini jelas bahwa masalah ini telah dibahas dari dua segi yang berbeda, para pemikir Islam memiliki konsep yang khusus tentangnya, dan kemungkinan besar konsep indikasi logis masuk kepada para komentator muslim dari logika Stoicisme. 2. Lafaz dari segi keumuman dan kekhususan maknanya Dari segi keumuman dan kekhususan makna, lafaz terbagi menjadi dua, yaitu kulli dan juzi. Juzi adalah lafaz yang persepsi tentangnya mencegah terjadinya syirkah di dalamnya, sedangkan kulli adalah lafaz yang persepsi tentangnya tidak mencegah terjadinya syirkah di dalamnya. Bahasan ini memperngaruhi para ahli ushul generasi belakangan dalam masalah khusus (khash) dan umum (am), seperti kita lihat dengan jelas di dalam buku al-Amidi, Ibnu al-Hajib, al-Bahari, dan az-Zarkasyi. Sistematika lafaz menjadi partikular dan universal berasal dari Aristoteles dan para ahli logika muslim mengikuti sistematika ini. Akan tetapi, sejumlah ahli ushul mengutarakan sejumlah problem linguistik yang tidak dibahas oleh Aristoteles. Problem yang paling penting adalah masuknya alif dan lam kepada isim mufrad, apakah itu membuatnya bermakna istighraq dan umum, seperti jika kita mengatakan, al-insan khayr min al-hayawan (manusia lebih baik daripada binatang) atau ar-rajul khair min almarah mengharuskannya bermakna istighraq, melainkan kita ketahui keumumannya

karena ada qarinah yang menetapkan keumuman tersebut, yaitu pengutamaan kemanusiaan daripada kebinatangan dan kelaki-lakian daripada keperempuanan? Para ahli ushul sepakat akan hal tersebut. Tapi, para hali logika berpendapat bahwa sekadar lafaz universal menghharuskannya bermakna istighraq tanpa membutuhkan qarinah tambahan. Penyebab perbedaan tersebut adalah masalah yang sangat halus, yaitu bahwa para ahli ushul berpendapat bahwa isim mufradseperti al-insan ar-rajultidak mengharuskan makna istigraq karena ia dibuat untuk entitas-entitas personal, sehingga ia adalah bentuk dari entitas-entitas personal tersebut. Dengan demikian, ia adalah lafaz partikular selama belum ada sifat atau qarinah yang mengangkatnya ke posisi umum. Sementara itu, para hali logika menganggap lafaz al-insan sebagai model (mitsal) yang abstark bagi manusia partikular atau gabungan sifat yang diberikan kepada manusia, sehingga dia adalah lafaz universal dengan sendirinya. 3. Lafaz dari segi mufrad dan murakkab Lafaz mufrad adalah lafaz yang bagiannya tidak menunjukkan bagian maknanya, sedangkan lafalz murakkab adalah lafal yang bagiannya menunjukkan bagian maknanya. Para pemikir muslim mendapatkan kategorisasi ini dari Aristoteles, tapi emreka tidak berhenti pada ide ini saja. Para ahli logika muslim generasi belakangan menganggap bagian lafaz dari segi ini ada tiga bagian: mufrad, murakkab, dan muallaf. Perbedaan antara murakkab dan muallaf adalah dari segi bahwa lafaz murakkab adalah lafaz yang bagiannya menunjukkan kepada suatu makna yang bukan merupakan bagian dari maknanya, sedangkan lafaz muallaf adalah lafaz yang bagiannya tidak menunjukkan kepada bagian maknanya. Lafaz murakkab terbagi menjadi murakkab idhafi seperti ghulam zaid, murakkab taqyidi seperti hayawan nathiq, dan murakkab isnadi seperti zaid qaim. Sedangkan lafaz mufrad terbagi menjadi ism, fil, dan harf. Jelas ini merupakan pembahasan linguistik murni yang didasarkan para pemikir muslim kepada keyakinan mereka akan adanya hubungan yang sangat erat antara logika dengan bahasa. Hal ini menghasilkan pemikiran logis-linguistik yang sangat teliti. 4. Lafaz itu sendiri Bahasan ini sangat berkaitan dengan bahasa terdahulu, yaitu pembagian lafaz mufrad menjadi isim, fil, dan harf. Ibnu Sina tidak menyebutkan pembagian ini pada bab tashawwur bukunya asy-Syif dan Manthiq al-Masyriqiyn, melainkan menggabungkannya dengan kajian ibarah pada buku yang pertama, tapi menggabungkannya dengan kajian tashawwur pada an-Najh. Ibnu Sina membahas bagian ini pada bab proposisi dikarenakan proposisi menurut Aristoteles tersusun hanya oleh ketiga unsur tersebut, yaitu ism, fil, dan harf, atau ism, kalimah, dan adah dalam term teknis para ahli logika. Sementara itu, mayoritas ahli logika generasi belakangan membahas pembagian ini pada bab tashawwur, tetapi bahasan mereka tentang subjek ini tidak berbeda dengan bahasan Ibnu Sina, meskipun Ibnu Sina sendir

pada bahasan ini tidak tergantung kepada pembagian Aristoteles, melainkan berusaha membandingkannya secara teliti dengan pembagian jumlah oleh para ahli tata bahasa. Secara ringkas, pembagian lafaz itu sendiri adalah bahwa ism adalah lafaz yang tidak mengindikasikan waktu apa pun dan bagian-bagiannya tidak menunjukkan apa pun. Tidak ada bagian dari lafaz manusia yang dimaksudkan untuk menunjukkan bagian dari maknanya, karena yang dimaksudkan dengan lafaz itu adalah pembatasan untuk keseluruhan maknanya. Kalimah adalah lafaz yang menunjukkan suatu makna dan waktu makna tersebut. Ibnu Sina membedakankalimah menurut para ahli logika dengan fil menurut para ahli bahasa. Menurutnya, tidak mesti setiap fil menurut para ahli bahasa adalah kalimah menurut para hali logika, karena mudhari ghair al-ghaib atau mutakallim dan mukhathab adalah fil menurut para ahli bahasa, namun bukan kalimah menurut para ahli logika, karena mudhari ghair ghaib tersebut adalah murakkab dan murakkab bukan kalimah. Dari pendapat ini kita mengetahui bahwa melalui pembagian tersebut para ahli logika muslim berusaha masuk ke dalam masalah-masalah linguistik murni, dan kajiankajian yang menagndalkan bahasa Yunani mendorong sejumlah ulama Ahlussunnah untuk berpendapat bahwa logika Yunani mengandalkan bahasa Yunani sehingga logika itu adalah logika mereka saja dan tidak dibutuhkan oleh kaum muslimin, karena susunan bahasa Arab berbeda dengan susunan bahasa Yunani. Sanggahan ini memiliki dasar yang sangat kuat dan menunjukkan pemahaman kaum muslimin yang mendalam tentang hubungan antara bahasa Yunani dengan logika Yunani. 5. Relasi lafaz dengan makna Pembahasan ini mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kajian linguistik Arab meskipun pada intinya ia adalah bahasan Aristotelian. Dari segi relasi lafaz dengan makna, lafaz terbagi menjadi mutawathi, musytarak, mutaradif, dan mutazayil. Para pemikir muslim telah memperluas bahasan ini, bukan dalam substansinya, melainkan dengan menciptakan satu bagian baru yang dengan mudah dapat dikembalikan kepada bagian-bagian utama yang disusun oleh Aristoteles tersebut. Itu dari satu segi, dan dari segi lain bahasan ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan bahasan-bahasan ushul. Para ahli ushul telah menulis bahasan-bahasan panjang tentang taraduf dan isytirak. Beberapa ahli menolak adanya taraduf dalam bahasa Arab, dan menyebutkan berbagai derivasi yang berbeda untuk kata-kata mutaradif. Fakhruddin ar-Razi tidak menyetujui pendapat ini dan menyatakan bahwa upaya kaum Derivativisme ini mengada-ada dan tidak dapat diterima oleh akal dan naql. Dia kemudian menjelaskan sebab-sebab adanya taraduf: 1. Memperbanyak posisi (wadh) memperluas wilayah pengungkapan, dan memperbanyak caranya. Ini disebut para ahli bahasa sebagai iftinan.

2. Mempermudah penyampaian maksud dengan salah satu dari dua ungkapan saja pada saat ungkapan itu sama dengan ungkapan yang lain. Sementara argumen orang-orang yang menolak adanya taraduf ada dua: 1. Taraduf mengakibatkan perbedaan pemahaman, karena mungkin saja seseorang mengetahui lafaz tertentu untuk suatu makna sedangkan orang lain mengetahui lafaz lain untuk makna itudan meskipun kedua lafaz itu bermakna sama, masing-masing orang itu tidak mengetahui bahwa lafaz yang lain bermakna sama dengan lafaz yang diketahuinyasehingga keduanya tidak dapat saling memahami. 2. Ism mutaradif mengandung definisi untuk definisi. Ini menyimpang dari prinsip. Salah seorang ulama yang menolak taraduf adalah al-Hakim at-Tirmidzi seorang sufi utamadalam bukunya yang berjudul al-Furq wa Man at-Tarduf. Sejumlah teolog memberikan jalan tengah untuk masalah ini, yaitu dengan mengatakan bahwa lafaz-lafaz mutaradif tak lain daripada lafaz-lafaz yang saling menerangkan satu sama lain, lafaz yang lebih jelas menerangkan lafaz yang lebih samar, sehingga ia tak lain dari semacam definisi, karena definisi adalah mengganti lafaz yang samar dengan lafaz yang lebih jelas. Lafaz musytarak juga mengalami nasib sama dengan lafaz mutaradifkita bolehkan atau tidak, dapatkah kita mencapai maksud dengannya atau tidak, apakah kata qur musytarak antara haidh dengan thuhr, atau untuk salah satunya sajapara ahli ushul berbeda pendapat sangat tajam dalam masalah ini. Dengan demikian, kita dapat menetapkan bahwa masalah mutaradif dan musytarak memiliki dimensi yang sangat penting bagi para ahli ushul. Jelas para ahli ushul Aristotelian, atau orang-orang yang telah menulis premis-premis teologis pada awal bahasan mereka telah terpengaruh oleh logika Aristoteles. Tetapi, itu tidak berarti bahwa sitematika tersebut aneh bagi para pemikir muslim, karena kita tidak dapat mengingkari adanya ism-ism yang mutaradif, musytarak, dan mutazayil dalam suatu bahasa tertentu, hanya saja para ahli ushul Aristotelian memantapkan sistematika tersebut dari Aristoteles. Sampai di sini selesailah bahasan lafaz logika para ahli logika muslim, dan telah jelas dari penjelasan saya bahwa mereka tidak berhenti pada batas unsur-unsur Aristotelianisme, melainkan menambahkannya dengan bahasan-bahasan khusus serta bahasan-bahasan Stoicisme, serta menggabungkan kedua unsur tersebut dengan unsur Aristotelianisme. Gabungan dari semua unsur inilah yang membentuk logika para ahli logika muslim.

05-13 Mei 2003

You might also like