You are on page 1of 93

TINJAUAN ATAS PERHITUNGAN DAN PENYETORAN BEA MASUK, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 DALAM

RANGKA IMPOR OBAT HEWAN OLEH PT. TEKAD MANDIRI CITRA

SKRIPSI MINOR

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Proyek Akhir dan Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan Pada Program Pendidikan Tiga Tahun Program Studi Komputerisasi Akuntansi, Konsentrasi Komputer Keuangan dan Perpajakan PKN LPKIA Bandung

Disusun Oleh:

AHMAD FAUZAN
NRP: 5306094

POLITEKNIK KOMPUTER NIAGA LPKIA


TERAKREDITASI BAN PT BANDUNG 2009

TINJAUAN ATAS PERHITUNGAN DAN PENYETORAN BEA MASUK, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 DALAM RANGKA IMPOR OBAT HEWAN OLEH PT. TEKAD MANDIRI CITRA

SKRIPSI MINOR

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Proyek Akhir dan Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan Pada Program Pendidikan Tiga Tahun Program Studi Komputerisasi Akuntansi, Konsentrasi Komputer Keuangan dan Perpajakan

Disusun Oleh:

AHMAD FAUZAN
NRP: 5306094

Menyetujui, Pembimbing Studi

Mengetahui, Wakil Ketua Program

Wajib Ginting, S.E., MBA. Ak.

Drs. Muhtarudin, MM.

LEMBAR PENGESAHAN

Penguji Sidang Proyek Akhir

Program Diploma Tiga Program Studi Komputerisasi Akuntansi Konsentrasi Komputer Keuangan dan Perpajakan Politeknik Komputer Niaga LPKIA Bandung

Pada tanggal: 4 Oktober 2009 Diperiksa dan Disetujui oleh Penguji Proyek Akhir yang berjudul TINJAUAN ATAS PERHITUNGAN DAN PENYETORAN BEA MASUK, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 DALAM RANGKA IMPOR OBAT HEWAN OLEH PT. TEKAD MANDIRI CITRA

Penguji I

Penguji II

Drs. H. Darya Setia Nugraha, M.Si.

Fitri Sukmawati, S.E.

ABSTRAK Ahmad Fauzan, NRP. 5306094, Tinjauan Atas Perhitungan Dan Penyetoran Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Dalam Rangka Impor Obat Hewan Oleh PT. Tekad Mandiri Citra, dibawah bimbingan Bapak Wajib Ginting, SE., MBA.Ak. Permasalahan pada penelitian tugas akhir ini adalah mengenai Tinjauan Atas Perhitungan Dan Penyetoran Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Dalam Rangka Impor Obat Hewan Oleh PT. Tekad Mandiri Citra. Latar belakang permasalahan pada penelitian tugas akhir ini adalah kegiatan impor yang dilakukan PT. Tekad Mandiri Citra menimbulkan tanggung jawab membayar pajak untuk disetorkan ke kas negara melalui bank yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tuangkan penelitian tugas akhir ini dalam judul Tinjauan Atas Perhitungan Dan Penyetoran Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Dalam Rangka Impor Obat Hewan Oleh PT. Tekad Mandiri Citra. Metode penelitian yang dipakai adalah metode deskriptif, sedangkan teknik pengolahan data yaitu dengan melakukan tinjauan langsung kepengurusan pelaksanaan impor, interview, serta melakukan riset kepustakaan. Adapun pembahasan penelitian ini bahwa pelaksanaan impor dilakukan dengan mengacu pada prosedur impor agar dapat dilakukan dengan lancar dan tepat waktu tanpa ada hambatan dari pihak internal, kepengurusan dokumen-dokumen yang dibutuhkan dan digunakan dalam proses impor harus lengkap dan tepat waktu, dan biaya-biaya terutang yang menjadi tanggungan termasuk Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 dibayar dengan menyetorkannya melalui bank yang tersedia di tempat kepengurusan kepabeanan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan kegiatan impor oleh PT. Tekad Mandiri Citra (PT. TMC) dilaksanakan dengan baik karena selalu mengikuti prosedur impor yang berlaku. Selain itu PT. TMC menggunakan jasa PPJK (Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan) yang telah terdaftar di Departemen Keuangan untuk membantu mengurus kepabeanan barang yang diimpornya. Dari setiap impor yang biasanya dilakukan setiap dua bulan sekali dapat disimpulkan PT. TMC rata-rata membeli barang impor dari Interchemie Belanda sejumlah 20 sampai 30 jenis obat hewan dengan total harga US$. 40,000 dan membayar biaya pajak serta menyetorkannya ke kas negara yaitu Bea Masuk 5% dari Nilai CIF, ditambah PPN dan PPh Pasal 22 masing-masing 10% dan 2,5% dari DPP, sehingga total biaya pajak yang disetorkan sekitar Rp 50.000.000,00. Setelah dilakukan penelitian dan analisis pembahasan data dapat disarankan pada pihak PT. TMC untuk meningkatkan komunikasi dalam masalah konfirmasi jumlah pemesanan dan jumlah barang yang dikirim, agar tidak timbul masalah yang disebut notul (perusahaan dianggap kurang dalam membayar pajak) karena terdapat kelebihan jumlah barang sehingga PT. TMC harus menyelesaikan masalah administrasi yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

KATA PENGANTAR Assalamuailaikum Wr. Wb. Alhamdulillah hirobbil alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT, karena atas petunjuk, rahmat, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi Minor ini dengan judul TINJAUAN ATAS PERHITUNGAN DAN PENYETORAN BEA MASUK, PAJAK

PERTAMBAHAN NILAI, DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 DALAM RANGKA IMPOR OBAT HEWAN OLEH PT. TEKAD MANDIRI CITRA. Walaupun telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun Skripsi Minor ini, penulis menyadari di dalam melaksanakan penulisan Skripsi Minor ini masih terdapat kekurangan, baik dalam teknik penyusunan, bahasa dalam materi yang disajikan, dan pengalaman penulis. Namun demikian penulis berharap Skripsi Minor ini dapat memberi sumbangan yang positif bagi penulis khususnya dan pihak-pihak yang lain mengenai pajak dalam rangka impor. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas semua bantuan dan dukungan kepada: 1. Bapak Kiki Sadeli Satibi, Drs., Direktur PKN-LPKIA Bandung 2. Bapak Muhtarudin, Drs., MM., Ketua Program Studi Komputerisasi Akuntansi. 3. Bapak Wajib Ginting, SE., MBA.Ak., Dosen Pembimbing yang telah banyak mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran dengan penuh kesabaran untuk membimbing dalam penyelesaian penyusunan Skripsi Minor ini. 4. Para dosen PKN-LPKIA, khususnya di Konsentrasi Komputer Keuangan Perpajakan, terima kasih atas semua ilmu yang telah diberikan kepada Penulis.

5. Bapak Drh. Gowinda Sibit, Direktur Utama PT. Tekad Mandiri Citra. 6. Bapak Drh. Sugiyono, Technical Manager PT. Tekad Mandiri Citra yang telah membimbing dan memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis dalam menyusun Skripsi Minor ini. 7. Seluruh Staff di PT. Tekad Mandiri Citra. 8. Kedua Orang Tua tercinta, yang telah memberikan doa, perhatian, semangat, dukungan, dan dorongan kepada penulis. 9. Kakak-Adikku tersayang, Mas Falah, Teh Yuli, Mas Syamsul, Mas Aziz, Burhan, terima kasih atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis baik moril maupun materil. 10. Teman-teman seperjuangan, Agung, Riki Kodok, Yudhi, Anton, Rizal, Idha, Ruly, Amie, Shinta, Febri, Haldi, Tedi, dan teman-teman 3 KU lainnya di kampus LPKIA. 11. Sahabat-sahabatku, Belly, Azay DLM, Nico, Zack, Benk, Jelly, Nuki, Mput, Julio, Onie, Azay RKJ, Ovie, Putri, Rere, Band Scumbags, Band Forensik, Band Carousel, dan Band D.L.Memories. 12. Semua pihak yang telah membantu Penulis dalam penyusunan Skripsi Minor ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlimpah bagi orang-orang yang telah membantu penulis dengan segala kesabaran dan keikhlasannya dalam penyusunan laporan tugas akhir ini.

Akhirnya penulis berharap semoga laporan tugas akhir ini berguna bagi penulis maupun bagi orang banyak. Amin. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandung, Agutus 2009

Penulis

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK.............i KATA PENGANTAR..ii

DAFTAR ISI.v DAFTAR GAMBAR....vii DAFTAR LAMPIRAN.viii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah.1 1.2. Identifikasi Masalah....4 1.3. Tujuan Penulisan.....4 1.4. Kerangka Pemikiran................5 1.5. Teknik Pengumpulan Data..6 BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Konsep Dasar Perpajakan............8 2.1.1. Pengertian Pajak................8 2.1.2. Fungsi Pajak..9 2.1.3. Sistem Pemungutan Pajak.11 2.1.4. Timbul dan Berakhirnya Utang Pajak...............13 2.2. Bea Masuk..13 2.2.1. Dasar Hukum Bea Masuk.............14 2.2.2. Pengertian Bea Masuk..14 2.2.3. Tarif Bea Masuk...........14 2.3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Atas Barang Mewah (PPn BM)..15 2.3.1. Dasar Hukum PPN dan PPn BM..16 2.3.2. Pengertian PPN dan PPn BM...........17 2.3.3. Subyek dan Obyek Pajak Pertambahan Nilai...19 2.3.4. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak..21 2.3.5. Mekanisme Pengenaan PPN.24 2.3.6. Tarif PPN dan PPn BM.............25 2.3.7. Cara Perhitungan PPN dan PPn BM.............26 2.3.8. Mekanisme Kredit Pajak...31 2.3.9. Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan...32 2.4. Pajak Penghasilan Pasal 22.33 2.4.1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22.33 2.4.2. Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22..34 2.4.3. Obyek Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22..35 2.4.4. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22..39 2.4.5. Cara Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 22..........40 2.5. Pajak Atas Impor.40 2.5.1. Prosedur Impor..41 2.5.2. Saat dan Tempat Terutang Pajak Impor............43 2.5.3. Perhitungan PPN dan PPh Pasal 22 Atas Impor....47 2.5.4. Tata Cara Penyetoran PPN dan PPh Pasal 22 Atas Impor.............49 BAB III POKOK BAHASAN 3.1. Tinjauan Singkat Perusahaan..50

3.1.1. Sejarah Singkat Perusahaan..50 3.1.2. Struktur Organisasi51 3.1.3. Uraian Kerja Terkait..52 3.2. Inti Bahasan.57 3.2.1. Pelaksanaan Impor di PT. TMC57 3.2.2. Perhitungan Pajak Atas Impor...........63 3.2.3. Pelaksanaan Pembayaran Pajak Atas Impor..65 3.2.4. Dokumen-Dokumen Yang Digunakan..65 3.2.5. Sarana Yang Digunakan71 BAB IV ANALISIS PERMASALAHAN 4.1. Analisis Prosedur Pelaksanaan Impor..72 4.2. Analisis Perhitungan Pajak Atas Impor....74 4.3. Analisis Penyetoran Pajak Atas Impor.75 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan...77 5.2. Saran.79 DAFTAR PUSTAKA.81 LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR Halaman

3.1. Struktur Organisasi PT. Tekad Mandiri Citra.52 3.2. Prosedur Impor sampai pembayaran PIB.58 3.3. Prosedur Impor saat pengurusan kepabeanan..60 3.4. Prosedur Kasi P2 (Pencegahan dan Penindakan)..62

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Format Kartu Bimbingan Lampiran 2 : Proforma Invoice Lampiran 3 : Arrival Notice Lampiran 4 : Bukti Permohonan Pengiriman Uang Lampiran 5 : Original Invioce Lampiran 6 : PIB (Pemberitahuan Impor Barang) Lampiran 7 : Bill of Lading Lampiran 8 : Tanda Izin Usaha Perusahaan Obat Hewan Lampiran 9 : Penetapan Nomor Pendaftaran Tetap Obat Hewan Lampiran 10: Surat Tanda Terima Dokumen Lampiran 11: Angka Pengenal Impor Umum (API-U) Lampiran 12: Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (SSPCP) Lampiran 13: Data Kehadiran Peserta Praktik Kerja

BAB I PENDAHULUAN

11. Latar Belakang Masalah Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk bersamasama secara langsung melaksanakan kewajiban perpajakan guna pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah Undang-undang Perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi juga merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem pemungutan Self Assessment System yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Di samping fungsi penerimaan, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar

merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal. Salah satu kegiatan yang dikenakan pajak adalah atas kegiatan impor Barang Kena Pajak. Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses impor umumnya adalah tindakan memasukan barang atau komoditas dari negara lain ke dalam negeri. Impor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima. Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka kegiatan impor antara lain Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) bila barang yang diimpor tergolong barang mewah. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa di dalam Daerah Pabean oleh Orang Pribadi atau Badan. Yang dimaksud Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. PPN tergolong sebagai pajak yang obyektif, karena penekanannya mula-mula kepada obyeknya terlebih dahulu, baru kemudian kepada subyeknya. Siapapun subyeknya (masyarakat yang mampu maupun yang kurang mampu), akan dikenakan PPN selama mereka mengonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.

Sedangkan PPh Pasal 22 Impor adalah pajak penghasilan yang dikenakan pada saat dilaksanakannya impor barang dari luar Daerah Pabean ke dalam wilayah Pabean. Tarif PPh Pasal 22 Impor adalah 2,5% dari Nilai Impor untuk perusahaan yang memiliki API (Angka Pengenal Importir), sedangkan tarif 7,5% dari Nilai Impor untuk perusahaan yang tidak memiliki API. PT. TEKAD MANDIRI CITRA (PT. TMC) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang produsen dan distributor obat hewan. Dalam satu tahun, biasanya PT. TMC setiap dua bulan sekali melakukan kegiatan impor obat hewan dari perusahaan produsen obat hewan Interchemie Werken De Addelar BV, Belanda. Dalam melaksanakan kegiatan impor tersebut PT. TMC bertanggung jawab untuk membayar pajak dalam rangka impor sebagai bukti bahwa PT. TMC adalah perusahaan yang taat pajak. Dalam melakukan kegiatan impor terdapat beberapa hambatan yang dialami oleh PT. TMC yang dapat menggangu kelancaran dalam proses impor tersebut, seperti masalah pengajuan surat izin impor yang terkadang tidak dapat selesai tepat waktu sehingga pelaksanaan impor tertunda, keterlambatan penyerahan dokumendokumen yang diperlukan sehingga memerlukan waktu yang lebih lama dalam proses inklaring atau penyelesaian kepabean atas barang yang diimpor, atau terdapat perbedaan data hasil pemeriksaan antara pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan fisik sehingga menimbulkan tambahan biaya dan waktu dalam penyelesaian kepabeanan selanjutnya sampai dikeluarkannya SPPB oleh Bea Cukai. Melihat dari latar belakang masalah mengenai permasalahan yang terdapat

di perusahaan tersebut, maka penulis tertarik untuk mengambil judul TINJAUAN ATAS PERHITUNGAN DAN PENYETORAN BEA MASUK, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 DALAM RANGKA IMPOR OBAT HEWAN OLEH PT. TEKAD MANDIRI CITRA.

12. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dalam Skripsi Minor ini penulis melakukan pembatasan Pokok Permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana prosedur produk impor di PT. TMC. 2. Bagaimana prosedur perhitungan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangka impor di PT. TMC. 3. Bagaimana prosedur penyetoran Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangka impor di PT. TMC.

13. Tujuan Penulisan Sebagaimana maksud dari pengidentifikasian masalah di atas, maka penulis menyusun Skripsi Minor ini dengan bertujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui prosedur produk impor di PT. TMC. 2. Untuk mengetahui prosedur perhitungan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penghasilan Pasal

22 dalam rangka impor di PT. TMC. 3. Untuk mengetahui prosedur penyetoran Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangka impor di PT. TMC.

14. Kerangka Pemikiran Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa di dalam Daerah Pabean oleh orang pribadi atau badan. Pada dasarnya PPN dikenakan karena mengkonsumsi Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean. Maka di dalam kegiatan mengimpor barang terdapat tujuan mengonsumsi barang di dalam daerah pabean, artinya barang tersebut akan dijual untuk dikonsumsi di negara sendiri, sehingga dikenakan PPN. Sedangkan dalam setiap pelaksanaan kegiatan impor, siapapun yang melakukannya akan dikenai Pajak Penghasilan Pasal 22 impor. Di dalam perusahaan terdapat fungsi kerja yang mengurus pajak dalam rangka impor dimana fungsi kerja tersebut juga merupakan fungsi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan impor. Sesuai dengan sistem pemungutan Self Assessment System yang diterapkan di Indonesia, importir sebagai Wajib Pajak mempunyai hak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak terutangnya sendiri, sehingga diperlukan pelaksanaan perhitungan,

penyetoran, dan pelaporan pajak dalam rangka impor yang baik agar tidak terjadi kesalahan ataupun penyimpangan dalam pengenaan pajak sesungguhnya. Data yang diperlukan dikumpulkan dari sumber hasil pengolahan data

kegiatan impor di PT. TMC 3 yang terdiri dari 3 (tiga) aspek, yaitu prosedur impor, perhitungan pajak atas impor, dan penyetoran pajak atas impor dengan mengacu pada teori prosedur impor yang diambil dari Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 453/KMK.04/2002 tentang Tatalaksana Kepabeanan Di Bidang Impor, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 sehingga akan diketahui hal-hal apa saja yang bermasalah dari ketiga aspek tersebut. Selanjutnya aspek yang bermasalah tersebut dicarikan solusi sehingga dapat dihasilkan kebutuhan informasi yang selama ini terjadi dan diperlukan bagi manajemen yang bersangkutan, jika memang bersumber dari ketiga aspek ini. Kerangka pemikiran atas masalah yang akan dikaji serta pemecahannya dapat dilihat melalui skema berikut:

15. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data dari perusahaan tempat praktik kerja penulis

melakukan beberapa teknik yang digunakan dalam pengumpulannya, diantaranya: 1. Observasi Untuk mendapatkan data dalam penyusunan Skripsi Minor ini penulis melakukan observasi langsung dengan mengamati dan melakukan kegiatan-kegiatan kerja di bagian yang bersangkutan dalam perusahaan dan mengamati mekanisme kegiatan kerjanya.

2. Wawancara Selama melakukan pratik kerja, penulis melakukan wawancara dengan pembimbing dari perusahaan untuk mengetahui semua data yang dibutuhkan agar dapat lebih dimengerti.

3. Studi Perpustakaan Penulis melakukan studi perpustakaan untuk mendapatkan data tentang pengertian-pengertian suatu istilah dan landasan teori dari masalah yang dibahas.

4. Studi Dokumentasi Penulis juga mendapatkan data dengan melakukan analisis terhadap dokumentasi-dokumentasi yang berhubungan dan digunakan dalam kegiatan usaha di PT. TMC. BAB II TINJAUAN TEORITIS

21. Konsep Dasar Perpajakan Membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi juga merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak berada pada masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem pemungutan Self Assessment System yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Dalam tinjauan teoritis ini dijelaskan teori-teori mengenai jenis pajak yang dikenakan berkaitan dengan kegiatan impor barang kena pajak di Indonesia.

2.11. Pengertian Pajak Pengertian Pajak dapat diambil dari beberapa definisi para ahli dalam bidang perpajakan. Beberapa definisinya antara lain definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. yang dikutip oleh Prof. Dr. Mardiasmo dalam bukunya yang berjudul PERPAJAKAN, yaitu: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (2008, 1) Selanjutnya pajak dapat diartikan dari definisi pajak lainnya yang penulis dapatkan dari salah satu sumber internet, yaitu menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R adalah sebagai berikut: Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib

dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan. (2008, 2) Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur: 1. Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan undang-undang. Pajak yang dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan

pelaksanaannya. 3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

2.12. Fungsi Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal tersebut maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 1. Fungsi Anggaran (Budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugastugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara

membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. 2. Fungsi Mengatur (Regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. 3. Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain

dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, serta penggunaan pajak yang efektif dan efisien. 4. Fungsi Redistribusi Pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

2.13. Sistem Pemungutan Pajak Dalam pemungutan pajak terdapat beberapa sistem pemungutan, yaitu: 1. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. b. Wajib Pajak bersifat pasif. c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

2. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya

pajak yang terutang. Ciri-cirinya: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak Sendiri. b. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

3. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya yaitu wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.

2.14. Timbul dan Berakhirnya Utang Pajak Ada 2 (dua) ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak: 1. Ajaran Formil Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official Assessment System.

2. Ajaran Materiil Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang.

Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada Self Assessment System.

Sedangkan berakhirnya utang pajak dapat disebabkan beberapa hal, yaitu antara lain pembayaran pajak, kompensasi, daluwarsa, pembebasan dan penghapusan.

22. Bea Masuk Importir bertanggung jawab atas Bea Masuk barang yang diimpor melalui sistem menghitung dan membayar sendiri Bea Masuk yang terutang. Bea Masuk dilunasi selambat-lambatnya pada saat barang akan dikeluarkan dari kawasan pabean (kecuali impor yang biayanya ditangguhkan atau dibebaskan).

2.2.1. Dasar Hukum Bea Masuk Dasar hukum Bea Masuk yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) tentang kepabeanan. Selain itu juga terdapat dalam Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 114/PMK.04/2007 tentang nilai tukar mata uang yang digunakan untuk penghitungan dan pembayaran

Bea Masuk.

2.2.2. Pengertian Bea Masuk Bea masuk adalah bea yang dikenakan atas barang yang dimasukkan ke dalam Daerah Pabean dan diperlakukan sebagai barang impor, oleh karenanya terutang bea masuk. Bea Masuk ditetapkan dengan menggunakan Dasar Penghitungan Bea Masuk (DPBM) yang ditetapkan oleh peraturan Menteri Keuangan yang tujuannya adalah untuk kepastian penghitungan dan memperlancar pengajuan pemberitahuan pabean oleh importir.

2.2.3. Tarif Bea Masuk Berdasarkan kutipan keputusan Menteri Keuangan No.149/KMK.05/1996 tanggal 31 Juli 1996, Bea Masuk dihitung berdasarkan tarif Bea Masuk dikalikan dengan Nilai Pabean barang impor yang bersangkutan. Nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk dan pajak dalam rangka impor adalah Nilai Pabean dengan kondisi Cost, Insurance, dan Freight (CIF). Sedangkan untuk tarif penghitungan Bea Masuk didasarkan pada ketentuan tentang klasifikasi barang dan besarnya tarif Bea Masuk atas barang impor. Bea Masuk disetorkan dalam mata uang Rupiah. Besarnya Nilai Pabean dalam Rupiah diperoleh dari perkalian antara Nilai Pabean dalam valuta asing dengan Nilai Dasar Penghitungan Bea Masuk (NDPBM) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pelaksanaan pembayaran Bea Masuk dan pungutan negara lainnya dalam rangka impor dibayar melalui Bank Devisa atau kantor DJBC.

Untuk melakukan penghitungan Bea Masuk, digunakan nilai tukar yang ditetapkan secara berkala dengan Keputusan Menteri yang berlaku saat dilakukannya pembayaran dan/atau diserahkannya jaminan Bea Masuk atau pada saat pendaftaran pemberitahuan pabean di kantor pelayanan Bea dan Cukai dalam hal mendapatkan pembebasan Bea Masuk atau pembayaran berkala. Dalam hal nilai tukar dari mata uang asing tidak tercantum dalam Keputusan Menteri, maka nilai tukar yang digunakan sebagai NDPBM adalah nilai tukar spot harian valuta asing yang bersangkutan di pasar internasional terhadap Dollar Amerika Serikat yang berlaku pada penutupan hari kerja sebelumnya.

23. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Apabila dilihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari Pajak Penjualan. Alasan penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak. Pajak Penjualan mempunyai beberapa kelemahan, yaitu antara lain: adanya pajak berganda, sermacam-macam tarif sehingga menimbulkan kesulitan pelaksanaannya, penyelundupan. Sedangkan di lain sisi Pajak Pertambahan Nilai mempunyai kelebihan, antara lain: tidak mendorong ekspor, dan belum dapat mengatasi

1. Menghilangkan pajak berganda. 2. Menggunakan tarif tunggal, sehingga memudahkan pelaksanaan. 3. Netral dalam persaingan dalam negeri. 4. Netral dalam perdagangan internasional. 5. Netral dalam pola konsumsi. 6. Dapat mendorong ekspor.

2.3.1. Dasar Hukum PPN dan PPnBM Undang-undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. Dan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000. 2.3.2. Pengertian PPN dan PPn BM Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) terdapat di dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 18 Tahun 2000, yaitu: 1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa di dalam Daerah Pabean oleh Orang Pribadi atau Badan. (2008, 273) Yang dimaksud Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara

diatasnya. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undangundang PPN. Tarif PPN impor adalah tunggal yaitu sebesar 10%. PPN tergolong sebagai pajak yang obyektif, karena penekanannya mula-mula kepada obyeknya terlebih dahulu, baru kemudian kepada subyeknya. Siapapun subyeknya (masyarakat yang mampu maupun yang kurang mampu), akan dikenakan PPN selama mereka mengonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.

2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) PPn BM merupakan pungutan tambahan di samping PPN. PPn BM hanya dikenakan 1 (satu) kali pada waktu penyerahan BKP yang Tergolong Mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor. Pengertian umum dari Pajak Masukan tidak dikenal pada PPn BM. Oleh karena itu, PPn BM yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan PPn BM yang terutang. (2008, 282) Dengan demikian prinsip pemungutan PPn BM hanya 1 (satu) kali, yaitu pada saat penyerahan oleh pabrikan atau produsen BKP yang Tergolong Mewah, atau impor BKP yang Tergolong Mewah. Dengan pertimbangan bahwa perlu adanya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi, perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang Tergolong Mewah, perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil tradisional, dan perlu untuk mengamankan penerimaan negara, maka atas penyerahan BKP yang Tergolong Mewah oleh produsen atau impor BKP yang Tergolong Mewah, disamping

dikenakan PPN juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM). PPnBM dikenakan atas penyerahan BKP yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan BKP yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, dan impor BKP yang Tergolong Mewah oleh siapapun. Batasan suatu barang termasuk BKP yang Tergolong Mewah adalah: a. Bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok, b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi, d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status, e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta menggangu ketertiban masyarakat, seperti minuman

beralkohol.

2.3.3. Subyek dan Obyek Pajak Pertambahan Nilai Dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya, yaitu: 1. Subjek Pajak Pertambahan Nilai PPN tergolong sebagai pajak yang obyektif, karena

penekanannya mula-mula kepada objeknya terlebih dahulu, baru kemudian kepada subyeknya. Siapapun subyeknya (masyarakat yang mampu maupun yang kurang mampu), akan dikenakan PPN selama mereka mengonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Salah satu subyek Pajak Pertambahan Nilai adalah Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, melakukan usaha jasa, dan memanfaatkan barang tidak berwujud / jasa dari luar Daerah Pabean. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP/JKP yang dikenakan pajak berdasarkan Undangundang PPN, tidak termasuk pengusaha kecil kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP) antara lain untuk: a. Memungut PPN dengan menggunakan faktur. b. Menghitung dan memperhitungkan kredit pajak. c. Menyetorkan PPN apabila terjadi kurang bayar. d. Melaporkan PPN dalam SPT Masa PPN 1107.

2. Obyek Pajak Pertambahan Nilai PPN dikenakan atas:

a. Penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah: 1) Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP; 2) Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud; 3) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; 4) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. b. Impor BKP; c. Penyerahan JKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah: 1) Jasa yang diserahkan merupakan JKP; 2) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; 3) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaanya. d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak; g. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya

digunakan sendiri atau digunakan pihak lain; h. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

2.3.4. Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak Dalam pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pemungutan berdasarkan dari jenis barang atau jasa yang bersangkutan. Berikut ini penjelasan mengenai Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). 1. Barang Kena Pajak (BKP) Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN. (2008, 274) Semua barang pada prinsipnya merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 itu sendiri. Barang Kena Pajak tersebut terdiri dari barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan barang tidak berwujud (merek dagang, paten, hak cipta, dll). Yang diatur secara rinci oleh Undang-Undang PPN adalah barang-barang yang tidak dikenakan PPN (negatif list), yaitu di Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Dengan demikian, secara otomatis barang-barang lainnya merupakan Barang Kena Pajak (BKP).

2. Pengecualian BKP

Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali undangundang menetapkan sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompokkelompok barang sebagai berikut: a. Barang hasil pertambangan, penggalian, dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, seperti: minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara, biji besi, biji timah, biji emas, biji tembaga, biji nikel, dan biji perak, serta biji bauksit. b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium. c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering. d. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi, dan lainnya).

3. Jasa Kena Pajak (JKP) Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan

suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak sedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN 1984.

4. Pengecualian JKP Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut: a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik. b. Jasa di bidang pelayanan sosial. c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko. d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi. e. Jasa di bidang keagamaan. f. Jasa di bidang pendidikan.

2.3.5. Mekanisme Pengenaan PPN Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 menganut metode kredit pajak (credit method) serta metode faktur pajak (invoice method). Dalam metode ini PPN dikenakan atas penyerahan BKP atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN dipungut secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Unsur

pengenaan pajak berganda atau pengenaan pajak atas pajak dapat dihindari dengan diterapkannya mekanisme pengkreditan pajak masukan (metode kredit pajak). Untuk melakukan pengkreditan pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak. Mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Pada saat membeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi pembeli, PPN yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak di muka dan disebut dengan Pajak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan berupa faktur pajak. 2. Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak. 3. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim) jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, seilisihnya harus disetorkan ke kas negara. 4. Apabila dalam suatu masa pajak jumlah Pajak Keluaran lebih kecil daripada jumlah Pajak Masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak selanjutnya. 5. Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).

2.3.6. Tarif PPN dan PPn BM Tarif yang digunakan sebagai dasar dalam pemungutan PPN dan PPn BM adalah sebagai berikut: 1. Tarif PPN Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Tarif PPN dapat diubah serendah-rendahnya 5% dan setinggi-tingginya 15%. Sedangkan Tarif PPN atas ekpor BKP adalah 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) bukan berarti pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi Pajak Masukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor dapat dikreditkan. Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, dengan Peraturan Pemerintah tarif PPN dapat diubah serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setingi-tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.

2. Tarif PPn BM Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), dengan Peraturan Pemerintah, dapat ditetapkan dalam beberapa pengelompokan tarif, yaitu tarif paling rendah sebesar 10% (sepuluh persen) dan tarif paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Tarif PPn BM yang berlaku saat ini adalah 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, dan 75%. Tarif PPn BM dikelompokan menjadi kelompok berupa kendaraan bermotor dan

kelompok selain kendaraan bermotor.

2.3.7. Cara Perhitungan PPN dan PPn BM Menghitung PPN dan PPn BM dilakukan dengan menggunakan tarif yang berlaku sesuai dengan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 18 Tahun 2000 sebagai dasar perhitungan. Namun perlu diketahui juga Dasar Pengenaan Pajak dari barang atau jasa yang bersangkutan agar dapat diketahui berapa pajak terutang sesungguhnya. 1. Dasar Pengenaan Pajak Untuk menghitung besarnya PPN dan PPn BM yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Yang menjadi DPP adalah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, Nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Dalam hal impor, digunakan NDPBM sebagai nilai tukar yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan bea masuk. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini (UU PPN 1984) dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-

undang ini (UU PPN 1984) dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor BKP, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang PPN 1984. Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. Penerapan DPP diatur dalam berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang sebagaimana berikut: a. Untuk penyerahan atau penjualan BKP, yang menjadi DPP adalah jumlah harga jual. b. Untuk penyerahan JKP, yang menjadi DPP adalah penggantian. c. Untuk impor, yang menjadi DPP adalah nilai impor. d. Untuk ekspor, yang menjadi DPP adalah nilai ekspor. e. Atas kegiatan membangun sendiri bangunan permanen dengan luas 200 m2 atau lebih, yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, DPP-nya adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun (tidak termasuk harga perolehan tanah). f. Untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah

Pabean, DPP-nya adalah sebesar jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKP atau JKP tersebut. g. Untuk pemakaian sendiri maupun pemberian cuma-cuma, DPP-nya adalah harga jual dikurangi laba kotor. h. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar, DPP-nya adalah perkiraan harga jual rata-rata. i. Dalam hal penyerahan film cerita, DPP-nya adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film. j. Untuk persediaan BKP maupun aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, DPP-nya adalah harga pasar wajar. k. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau pariwisata maupun jasa pengiriman paket, DPP-nya adalah 10% (sepuluh persen) dari

jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. l. Untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas, DPP-nya adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. m. Untuk penyerahan jasa anjak piutang, DPP-nya adalah 5% (lima persen) dari jumlah seluruh imbalan.

2. Cara Perhitungan PPN Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut:

PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak Contoh: a. Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai BKP kepada Pengusaha Kena Pajak B dengan Harga Jual Rp 50.000.000,00. Maka PPN yang terutang: 10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00 PPN sebesar Rp 5.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A. Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak B, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan.

b. Seseorang mengimpor BKP dari luar Daerah Paeban dengan Nilai Impor Rp 75.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yaitu: 10% x Rp 75.000.000,00 = Rp 7.500.000,00

3. Cara Perhitungan PPn BM Cara menghitung PPn BM adalah sebagai berikut: PPn BM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak Contoh: a. PKP ABC sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual Rp 25.000.000,00. Barang tersebut merupakan BKP

yang Tergolong Mewah dengan tarif PPn BM sebesar 40%. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai berikut: PPN PPn BM = 10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 = 40% x Rp 25.000.000,00 = Rp 10.000.000,00

2.3.8. Mekanisme Kredit Pajak Pembeli BKP, penerima JKP, pengimpor BKP, pihak yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan JKP dari luar Daerah Pabean wajib membayar PPN dan berhak menerima bukti pungutan pajak berupa Faktur Pajak. PPN yang sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli BKP, atau penerima JKP, atau pengimpor BKP, atau pihak yang memanfaatkan JKP dari luar Daerah Pabean yang berstatus PKP. Pajak Masukan yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan dilakukan pemeriksaan. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan atau JKP dikreditkan dengan Pajak Keluaran dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak di mana Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.

Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetorkan oleh PKP ke Kas Negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluarannya, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat diminta kembali (Restitusi) atau dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.

2.3.9. Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran. Akan tetapi tidak semua Pajak Masukan dapat dikreditkan. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan bagi pengeluran untuk: 1. Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. 2. Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. 3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan kombi, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan. 4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP. 5. Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutan pajaknya berupa

Faktur Pajak Sederhana. 6. Perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) UU PPN, yang biasanya disebut Faktur Pajak cacat. 7. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahan dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. 8. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak. 9. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan. 10. Berkenaan dengan: a. Penyerahan kendaraan bermotor bekas. b. Penyerahan jasa dilakukan oleh pengusaha biro pariwisata. c. Jasa pengiriman paket. d. Jasa anjak piutang. e. Kegiatan membangun sendiri.

24. Pajak Penghasilan Pasal 22 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 termasuk ke dalam salah satu jenis pungutan impor. Dalam setiap kegiatan impor, siapa saja yang melakukannya akan terutang PPh Pasal 22 impor yang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat

pembayaran Bea Masuk.

2.41. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 Menurut Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 merupakan pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik pusat maupun daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, atau badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

2.42. Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah: 1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas barang impor. 2. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan

Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Pemerintah

Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang. 3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang yang dananya dari belanja negara dan atau belanja daerah, kecuali badan-badan tersebut pada butir 4. 4. Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN. 5. Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri. 6. Pertamina serta badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas, atas penjualan hasil produksinya. 7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang

ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.

2.43. Obyek Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Yang merupakan objek pemungutan PPh Pasal 22 adalah: 1. Impor barang. 2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Pemerintah Daerah. 3. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang dananya dari belanja negara dan atau belanja dearah. 4. Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif. 5. Penjualan hasil produksi yang dilakukan Pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas. 6. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan dari pedagang pengumpul.

Sedangkan yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah: 1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan. Pengecualian ini harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. 2. Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk: a. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik. b. Barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia. c. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan. d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum. e. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. f. Barang untuk keperluan khusus tuna netra dan penyandang cacat lainnya. g. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah. h. Barang pindahan. i. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut,

pelintas batas, dan ditujukan untuk kepentingan umum. j. Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara. k. Barang dan bahan yang digunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara. l. Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN). m. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama. n. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, dan kapal angkutan penyebrangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional. o. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional. p. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang

diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia. q. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia. 3. Dalam hal impor sementara, jika pada waktu impornya nyatanyata dimaksudkan untuk diekspor kembali. 4. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecahpecah. 5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum / PDAM, dan benda-benda pos. 6. Atas impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor. Pengecualian ini harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. 7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Nasional (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. 8. Impor kembali, meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai.

9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh BULOG.

2.44. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas kegiatan impor barang adalah sebagai berikut: 1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), tarif pemungutannya sebesar 2,5% dari nilai impor. PPh Pasal 22 = 2,5% x Nilai Impor

2. Yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), tarif pemungutannya sebesar 7,5% dari nilai impor. PPh Pasal 22 = 7,5% x Nilai Impor

3. Yang tidak dikuasai (apabila telah 30 hari barang tidak diproses lebih lanjut atau tidak diambil dari gudang di pelabuhan tempat datangnya barang), tarif pemungutannya sebesar 7,5% dari harga jual lelang. PPh Pasal 22 = 7,5% x Nilai Impor 2.45. Cara Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 22 Berikut ini contoh cara menghitung PPh Pasal 22 Impor: PT. NETRAL, memiliki nomor API melakukan impor barang berupa komputer dari Amerika Serikat dengan perincian sebagai berikut:

Harga Komputer (cost) Asuransi (insurance) Biaya Angkut (freight) Harga Pabean Pungutan: - Bea Masuk 20% - Bea Masuk Tambahan 10% NILAI IMPOR

US$ 20,000.00 US$ 1,000.00 US$ 4,000.00 US$ 25,000.00

US$ 5,000.00 US$ 2,500.00 US$ 32,500.00

Apabila pada tanggal impor (sesuai dokumen impor: Pemberitahuan Impor Barang) nilai kurs US$ 1.00 = Rp 10.000,00, maka: 1. Dasar Pengenaan PPh Pasal 22: US$ 32,500.00 x Rp 10.000,00 = Rp 325.000.000,00 2. PPh Pasal 22 yang harus dipungut: Rp 325.000.000,00 x 2,5% = Rp 8.125.000,00

25. Pajak Atas Impor Indonesia mengenakan pajak atas kegiatan impor, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) bila barang yang diimpor tergolong barang mewah.. Di dalam kegiatan mengimpor barang terdapat tujuan mengonsumsi barang di dalam daerah pabean, artinya barang tersebut akan dijual untuk dikonsumsi di

negara sendiri, sehingga dikenakan PPN. Sedangkan dalam setiap pelaksanaan kegiatan impor, siapapun yang melakukannya akan dikenai Pajak Penghasilan Pasal 22 impor. Sebelum menentukan PPN dan PPh Pasal 22 impor dalam rangka impor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, terlebih dahulu harus diketahui DPP (Dasar Pengenaan Pajak) untuk ditentukan Bea Masuk terlebih dahulu dari barang yang diimpor agar dapat diketahui dasar pengenaan pajaknya. Dalam kegiatan impor yang menjadi DPP adalah Nilai Impor. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam Perundang-undangan kepabeanan untuk impor BKP tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang PPN.

2.51. Prosedur Impor Prosedur impor secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pihak Importir dan pihak Eksportir mengadakan perjanjian untuk mengimpor barang dengan membuat Sales Contract. 2. Setelah ada kesepakatan, pihak Eksportir akan menyiapkan barang yang akan diimpor dan mempersiapkan dokumendokumen yang bersangkutan seperti Commercial Invoice, Packing List, Certificate of Origin, dan Polis Assurance, lalu mengirim dokumen-dokumen tersebut yang kepada pihak Importir.

3. Bila Importir telah menerima dokumen-dokumen tersebut dan berjanji untuk membayar, maka Ekportir akan mengirim barang yang akan diekspor beserta dengan dokumen yang bersangkutan dan juga Bill of Lading (B/L) atau Air Waybill sebagai bukti bahwa barang telah dikirim. 4. Saat Importir menerima Arrival Notice dari barang yang diimpor bahwa barang tersebut telah sampai, lalu disiapkan dokumen impor yang meliputi Commercial Invoice, Packing List, Certificate of Origin, Polis Assurance, B/L atau Air Waybill, NPWP, API, SRP (Surat Registrasi Pabean), dan dokumen lainnya jika ada, tuangkan data-data tersebut dalam PIB. Setelah selesai, lalu mencetak SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak lainnya) dan memenuhi kewajiban dengan membayar Bea Masuk, PPN, PPh Pasal 22, dan biaya lainnya atas kegiatan impor yang dilakukan dengan membayar biaya-biaya tersebut melalui Bank cabang tempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 5. Setelah mendapat nomor pembayaran dari Bank,

dikomunikasikan PIB tersebut melalui media elektronik yaitu pengiriman menggunakan transfer modem importir dengan beacukai. Tunggu respon dari bea cukai, respon bisa Jalur Merah atau Jalur Hijau.

6. Jalur merah adalah respon yang memberikan informasi bahwa barang impor harus dilakukan pemeriksaan fisik, dengan terbitnya surat pemberitahuan jalur merah (SPJM). Dokumen impor wajib dikumpulkan dulu ke Kantor Pelayanan Bea Cukai untuk menelitian administratif atau lainnya dan untuk

mempersiapkan pemeriksaan fisik barang (pembongkaran barang). Setelah proses ini selesai baru akan terbitlah SPPB. 7. Jalur hijau adalah respon yang memberikan surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB) artinya barang dapat langsung di keluarkan dari kawasan pabean / pelabuhan dengan

menggunakan SPPB tersebut. Adapun untuk dokumen impornya diberikan waktu sampai 3hari kerja untuk mengumpulkannya di Kantor Pelayanan Bea Cukai. 8. Setelah barang tersebut dinyatakan sesuai, maka Importir baru bisa menebus dan mengambil barang tersebut dari gudang di Pelabuhan / Bandara. 9. Selanjutnya barang dapat diproses lebih lanjut sampai ke importir. Selama dalam pengurusan kewajiban-kewajiban tersebut, barang impor yang telah sampai akan disimpan di gudang dengan mendapat biaya sewa gudang yang tarifnya dihitung per hari.

2.52. Saat dan Tempat Terutang Pajak Impor

Pajak dalam rangka impor terutang pada saat, penyerahan BKP atau JKP, Impor BKP, pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, ekspor BKP, pembayaran, dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, dan saat lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Secara lebih terperinci, saat terutangnya pajak adalah sebagai berikut: 1. Terutangnya Pajak atas penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat BKP tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat BKP tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan. 2. Terutangnya Pajak atas penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli. 3. Terutangnya Pajak atas penyerahan BKP tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini: a. Saat harga penyerahan BKP tidak berwujud dinyatakan sebagai piutang oleh Pengusaha Kena Pajak;

b. Saat harga penyerahan BKP tidak berwujud ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak; c. Saat harga penyerahan BKP tidak berwujud diterima pembayarannya, baik sebagian atau seluruhnya oleh Pengusaha Kena Pajak; atau d. Saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal saat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai huruf c tidak diketahui. 4. Terutangnya Pajak atas penyerahan JKP, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. 5. Terutangnya Pajak atas impor BKP, terjadi pada saat BKP tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean. 6. Terutangnya Pajak atas ekspor BKP, terjadi pada saat BKP dikeluarkan dari Daerah Pabean. 7. Terutangnya Pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan atau persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat: a. Ditandatanganinya akte pembubaran oleh Notaris; b. Berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar; c. Tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perseroan

dibubarkan; atau d. Diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada. 8. Terutangnya Pajak atas penyerahan BKP dalam rangka perubahan bentuk usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas BKP tersebut, terjadi pada saat yang disepakati atau ditetapkan sesuai Hasil Rapat Umum Pemegang Saham yang tertuang dalam perjanjian perubahan bentuk usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan tersebut.

Tempat terutangnya pajak dalam rangka impor adalah sebagai berikut: 1. Untuk Penyerahan BKP/JKP: a. Tempat tinggal. b. Tempat kedudukan. c. Tempat kegiatan usaha. Jika mempunyai lebih dari satu tempat usaha, atas permohonan Pengusaha Kena Pajak dapat ditetapkan salah satu tempat usaha sebagai tempat pajak terutang. Yang menentukan adalah: tempat administrasi penjualan. 2. Untuk impor, ditempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah

Pabean dan dipungut melalui DJBC. 3. Untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar Daerah Pabean, di tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak. 4. Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya atau oleh bukan PKP, di tempat bangunan tersebut didirikan. 5. Tempat lain yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Dalam rangka impor, tempat terutangnya PPN Impor dan PPh Pasal 22 Impor adalah di tempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean. Pajak dapat dibayarkan melalui Bank cabang tempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Bukti pembayaran dan penyetoran pajak dalam rangka impor berupa SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak) sebagai bukti bahwa pajak telah dibayar agar BKP dapat diproses lebih lanjut sampai ke importir.

2.53. Perhitungan PPN dan PPh Pasal 22 Atas Impor Tarif PPN impor adalah tunggal yaitu sebesar 10%. PPN Impor dikenakan 10% dari Nilai Impor. Nilai Impor yang dimaksud adalah CIF (Cost, Insurance, and Freight) dan Import Duty (Bea Masuk). PPN Impor = 10% x (CIF + Import Duty)

Sedangkan PPh Pasal 22 Impor dikenakan 2,5% (bagi yang memiliki API) dari nilai CIF dan Import Duty. PPh Pasal 22 = 2,5% x (CIF + Import Duty)

Berikut ini contoh perhitungan PPN dan PPh Pasal 22 atas impor: PT. WINNER melakukan impor barang dari China, dengan rincian sebagai berikut: Nilai barang yang diimpor (Cost) Insurance Freight CIF = USD 3,500.00 = USD 100.00 = USD 250.00 USD 3,850.00

Import Duty / Bea Masuk

= USD 150.00

Maka PPN dan PPh Pasal 22 yang terutang adalah: PPN = 10% x (USD 3,850.00 + USD 150.00) = USD 400.00 PPh Pasal 22 = 2,5% x (USD 3,850.00 + USD 150.00) = USD 100.00 Pajak tersebut harus disetorkan saat barang yang diimpor masuk ke dalam Daerah Pabean di Bank cabang tempat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan

satuan Rupiah (Rp) yang disesuaikan dengan NDPBM (Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk) atau Nilai Kurs yang berlaku.

2.54. Tata Cara Penyetoran PPN dan PPh Pasal 22 Impor Dalam hal terjadi impor Barang Kena Pajak, dimana pihak yang melakukan impor akan membayar PPN dan PPh Pasal 22 Impor bersamaan dengan pembayaran biaya kepabeanan lainnya secara langsung ke kas negara pada saat barang yang diimpor masuk ke dalam Daerah Pabean melalui Bank Devisa di pelabuhan atau bandara tempat diturunkannya barang dari kapal laut atau kapal udara dengan bukti pembayaran pajak berupa SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak) sebagai bagian dari persyaratan untuk menebus Barang Kena Pajak yang diimpornya. PPN, dan PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda / dibebaskan harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Impor.

BAB III POKOK BAHASAN

31. Tinjauan Singkat Perusahaan Dalam tinjauan singkat perusahaan ini penulis menjelaskan mengenai sejarah perusahaan, struktur organisasi, dan uraian unit kerja terkait dalam menjalankan segala kegiatan usaha dan aktivitas di PT. TMC yang menjadi bahasan permasalahan dalam penulisan skripsi minor ini.

3.11.Sejarah Singkat Perusahaan PT. TEKAD MANDIRI CITRA atau dikenal dengan PT. TMC didirikan pada 3 Juli 1999 yang berkedudukan di Taman Cibaduyut Indah Blok E No.193 Bandung. Di saat situasi perekonomian secara umum di Indonesia masih dilanda krisis, dengan didorong pemikiran bahwa seorang profesional tidak boleh berpangku tangan, maka dari lubuk nurani munculah sebuah tekad bahwa dengan membentuk sebuah kelompok profesional diyakini bisa menyemangati kegiatan usaha di Indonesia pada umumnya, serta memberi problem solving bagi pengusaha peternakan pada khususnya. Mereka adalah 3 orang dokter hewan profesional, yaitu Drh. Gowinda Sibit, Drh. Sugiyono, dan Drh. Juli yang mendirikan PT. TMC

dengan dibantu oleh beberapa orang yang menanamkan sahamnya di PT. TMC. PT. TMC sampai saat ini telah memiliki 8 kantor cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Diantaranya adalah di Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Bogor, Tangerang, Ciamis, Sukabumi, dan Blitar. Wilayah pemasaran terdapat di seluruh Indonesia, dengan 25 orang sebagai tim marketing. Rantai distributor untuk wilayah pemasaran Sumatera dilayani oleh kantor pemasaran yang berkedudukan di Jakarta, dan untuk wilayah pemasaran Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Bagian Timur lainnya dilayani oleh kantor pemasaran yang berkedudukan di Surabaya Pada tanggal 9 Oktober 2003, PT. TMC mengadakan perjanjian kerjasama dengan perusahaan produsen obat-obatan hewan di Belanda, Interchemie Warken De Adelaar bv untuk menjadi distributor produk Interchemie Holland. Di saat itu, PT. TMC mulai melakukan kegiatan impor obat hewan hingga sekarang. PT. TMC merupakan perusahaan yang bergerak di bidang obat-obatan hewan ternak. PT. TMC adalah produsen yang merangkap distributor obat hewan tersebut. Dengan kedudukan saat ini kantor pusat di Jl. Kawaluyaan No. 20A Bandung dan pabrik di Jl. Mekar Raya Kv. No.9 Kawasan Industri Gedebage Bandung.

3.12.Struktur Organisasi Bentuk struktur organisasi yang digunakan oleh PT. TMC yaitu berbentuk line dan staff, maksudnya kekuasaan mengalir dari puncak pimpinan sampai kepada unit organisasi yang berada dibawahnya. Pada halaman berikut ini, penulis sajikan struktur organisasi yang digunakan perusahaan selama penulis melaksanakan

kegiatan praktek kerja lapangan.

Gambar 3.1 Struktur Organisasi PT. Tekad Mandiri Citra

3.13.Uraian Kerja Terkait 1. Direktur Utama Membawahi langsung Bagian E.D.P dan Bagian H.R.D. Disamping itu dalam pelaksanaan impor, Direktur Utama adalah bagian yang menyetujui Sales Proposal dan Purchase Order. 2. Bagian Keuangan Merancang dan menetapkan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan, dan juga mencatat setiap transaksi yang terjadi dalam proses impor. 3. Bagian Teknis a. Membuat Purchase Order.

b. Mengajukan Purchase Order ke Departemen Peternakan agar disetujui mengimpor obat hewan. c. Menghubungi PPJK untuk mengurus kepabeanan atas barang yang diimpor. d. Mengurus dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses impor. 4. Bagian Registrasi a. Membuat Rekomendasi Impor atau Surat Keterangan Pemasukan Barang yang dikirim ke Departemen Pertanian. b. Mengajukan dan mengurus registrasi suatu produk agar mendapat nomor registrasi dari Departemen Pertanian. 3. Bagian Produk a. Merancang, mengembangkan menetapkan, sistem dan pengadaan,

pergudangan dan distribusi obat-obatan. b. Merancang, menetapkan dan

mengembangkan sistem pengadaan obatobatan. c. Merancang, menetapkan dan

mengembangkan kegiatan dukungan strategis dan dukungan umum (SDM, keuangan dan sarana).

d. Merancang, menetapkan dan mengendalikan target kinerja operasi dan mutu bisnis serta peningkatan sistem operasi dan sistem mutu. e. Mengakses dukungan-dukungan yang

diperlukan untuk pencapaian sasaran dan program kerja.

4. Bagian Produksi a. Menyusun dan menetapkan

strategi dan kebijakan produksi, baik perencanaan jangka pendek maupun perencanaan jangka

panjang serta mengelola data dan sistem pelaporannya. b. Menyusun dan menetapkan

standar kualitas, spesifikasi dan desain produk. c. Mengelola product development dalam rangka mengembangkan strategi dan kebijakan produksi, standar kualitas, spesifikasi dan desain produk sesuai kebutuhan perusahaan.

d. Mengendalikan kebijakan

stategi

dan standar

produksi,

kualitas, spesifikasi dan desain produk. e. Menyusun rencana kerja anggaran dan pendapatan di Bagian

Produksi. f. Melaksanakan pengadaan barang dan jasa yang terkait dengan obatobatan. g. Melakukan koordinasi dengan

unit terkait di perusahaan dalam hal desain dan kebutuhan

produksi serta produk lainnya yang terkait. h. Melakukan pengadaan obat-

obatan dan perlengkapan obatobatan lainnya bekerja sama

dengan mitra kerja. i. Mengidentifikasi pengembangan bagiannya. j. Mengelola sumber daya di bagian kebutuhan SDM di

produksi.

5. Bagian Marketing a. Merencanakan dan menetapkan kebijakan pemasaran dan promosi serta memberikan konsultasi untuk aktivitas pemasaran dan promosi Unit Usaha. b. Melakukan aktivitas bauran pemasaran, penelitian pasar, intelijen pasar dan analisis pesaing serta pengembangan pasar. c. Menyusun rencana kerja anggaran biaya dan pendapatan di bagian Marketing. d. Mengendalikan dan mengevaluasi pelaksanaan program pemasaran. e. Melakukan koordinasi dengan unit terkait di perusahaan dalam pemasaran. f. Melakukan kerja sama dan pembinaan dengan mitra kerja yang terkait dengan program pemasaran. g. Mengelola dan membina pelanggan, dan agen. h. Mengembangkan dan menjaga hubungan yang harmonis dengan media internal dan eksternal dalam implementasi kebijakan maupun penanganan permasalahan yang dihadapi. i. Mengelola database mengenai produksi dan pemasaran bekerja sama dengan bagian terkait. j. Mengidentifikasi kebutuhan pengembagan SDM di bagiannya.

k. Mengelola sumber daya di bagian pemasaran.

6. Bagian Umum a. Membangun dan

mengembangkan organisasi, perencanaan strategis prosedur sistem SDM, dan sesuai

dengan kebutuhan. b. Membangun dan

mengembangkan SDM kebutuhan. c. Mengembangkan sistem SDM. d. Mengelola, mengendalikan dan mengembangkan potensi dan potensi sesuai

pelayanan SDM. e. Membangun dan

mengembangkan sistem keuangan akuntansi sesuai

dengan kebutuhan. f. Mengelola mengendalikan sistem keuangan sistem pelaporannya. g. Menyusun rencana kerja anggaran akuntansi dan dan

biaya di Bagian Umum. h. Menyusun kompilasi anggaran tahunan untuk anggaran pendapatan biaya. dan penetapan

i. Merencanakan, mengadakan, mengelola dan

mengembangkan sarana menyusun kebutuhan sarana dan melaksanakan pengendaliannya, pemeliharaan serta pemanfaatan sarana. j. Melakukan kegiatan dukungan di bidang hukum (ligitasi dan non ligitasi) terkait yang dengan serta

bisnis obat-obatan. k. Mengidentifikasi kebutuhan pengembangan SDM di

bagiannya. l. Mengelola sumber daya di Bagian

Umum.

32. Inti Bahasan Dalam inti bahasan ini penulis menjelaskan tentang tata pelaksanaan impor dari mulai perencanaannya, perhitungan pajak atas impor, dokumen-dokumen yang digunakan, sarana yang digunakan dalam pelaksanaan impor, sampai pelaksanaan pembayaran pajak dalam rangka impor yang dilakukan oleh PT. TMC.

3.21.Pelaksanaan Impor di PT. TMC Proses pelaksanaan impor obat-obatan yang dilakukan oleh PT. TMC dimulai dari pembuatan Prognose / Sales Proposal tahunan oleh PT. TMC pada setiap awal tahun. Sales Proposal merupakan rencana pembelian impor, yang dalam bahasan ini yaitu impor obat-obatan dari perusahaan Interchemie di Belanda. Saat akan melakukan pembelian impor tersebut terlebih dahulu harus dibuat Proforma Invoice (faktur sementara) untuk pengajuan impor yang telah direncanakan. Lalu dilakukan pembahasan Proforma Invoice tersebut oleh Bagian Teknis, Bagian Produksi, Bagian Marketing, dan Direktur Utama. Apabila sesuai maka selanjutnya dibuat Purchase Order oleh Bagian Teknis yang disetujui dan ditandatangani oleh Direktur Utama. Bila tidak sesuai, maka akan dilakukan revisi

terhadap Proforma Invoice yang diajukan. Contoh Proforma Invoice terlampir pada Lampiran 2.

Prosedur impor tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini: Gambar 3.2 Prosedur Impor sampai pembayaran PIB

Selanjutnya, PT. TMC mengirim Purchase Order ke pricipal (Interchemie) agar pricipal menyiapkan barang yang dipesan dan membuat dokumen-dokumen bersangkutan yang akan dikirim ke PT. TMC. Sementara itu, di PT. TMC oleh Bagian Registrasi membuat Surat Rekomendasi Impor yang diajukan ke Departemen Pertanian untuk mendapatkan Surat Keterangan Rekomendasi Impor atau Surat Keterangan Pemasukan Barang. Setelah proses penyiapan barang selama 2 sampai 3 minggu, pricipal mengirim barang lewat laut atau udara. Apabila langsung dikirim sampai pelabuhan, membutuhkan waktu 3 minggu untuk sampai ke pelabuhan. Lalu dibuat Arrival Notice oleh PPJK 1 hari sebelum kapal datang. Apabila barang dikirim melalui transit Singapura, membutuhkan waktu 4 minggu karena dilakukan bongkar dan pindah kapal. Bila tidak perlu pindah kapal hanya dibutuhkan waktu 3 minggu. Terlampir contoh Arrival Notice pada Lampiran 3. Setelah kapal datang, diperlukan waktu 3 sampai 4 hari untuk proses bongkar ke gudang. Pembongkaran dan pengecekan barang di gudang disertai surat rekomendasi dilakukan bila barang dikirim dalam satu kontainer dengan barang

yang diimpor oleh importir lain (Less Than Container Load). Namun apabila Barang dikirim dalam satu kontainer (Full Than Container Load) tidak perlu dilakukan pembongkaran barang, tetapi hanya dilakukan pengecekan barang. Terdapat kelebihan dan kekurangan dalam penetuan metode pengisian barang dalam kontainer. Bila barang dimasukkan dalam metode Less Than Container Load (LCL), yaitu dalam satu kontainer diisi penuh oleh barang dari beberapa pihak yang menggunakan kontainer tersebut, maka biaya jasa kontainer yang harus dibayar lebih mahal, harus memberi uang jasa dimuka kepada PPJK, proses inklaring sampai 15 hari, atau bisa paling lama selama 35 hari. Namun bila barang dikirim dalam metode Full Than Container Load (FCL), yaitu satu kontainer penuh oleh barang dari satu pihak, maka biaya yang dibayarkan lebih murah, yaitu sekitar Rp 5.000.000,- karena tidak ada biaya bongkar ke gudang dari warehouse. Selanjutnya proses pengurusan kepabeanan saat barang sampai di pelabuhan dapat dilihat dari gambar sebagai berikut: Gambar 3.3 Prosedur Impor saat pengurusan kepabeanan

Setelah 1 hari barang disimpan di gudang, dilakukan pembayaran biaya PIB sebagai biaya atas impor seperti Bea Masuk, PPN, dan PPh Pasal 22 oleh PPJK beserta penyerahan Surat Keterangan Rekomendasi Impor dan dokumen-dokumen lainnya yang tertera dalam Surat Tanda Terima Dokumen yang terlampir di Lampiran 10 dari PT. TMC dengan mendapat bukti setoran pajak SPPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak lainnya). Pembayaran yang dilakukan oleh PPJK

yaitu dengan menulis HS. Code barang bersangkutan ke dalam aplikasi dari Bea Cukai, maka selanjutnya dapat diketahui berapa Bea Masuk, PPN, dan PPh Pasal 22 yang harus dibayar. Bila nilai pajak yang terutang di atas Rp 50.000.000,- maka pajak akan dibayarkan oleh pihak PT. TMC dengan menggunakan cek. Pengambilan DO (Delivery Order) gudang dilakukan 1 hari setelah pembayaran PIB. Lalu memasukkan data PIB ke Bea Cukai untuk ditentukan Pemberitahuan Jalur Merah (PJM) oleh PPD (Pejabat Pemeriksa Dokumen). Selanjutnya PPD menunjuk PFPD (Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen) untuk melakukan pengecekan fisik barang. Lalu setelah 2 sampai 3 hari dibuat Berita Acara atau Laporan Hasil Pemeriksaan dan Berita Acara Pemeriksaan Fisik Barang Impor. Setelah Berita Acara dibuat, 2 hari setelahnya diserahkan ke PPD. Bila hasil pemeriksaan sesuai, maka dikeluarkan SPPB (Surat

Pemberitahuan Pengeluaran Barang) oleh Bea Cukai dan barang dapat keluar 1 hari setelah dikeluarkan SPPB. Tapi bila hasil tidak sesuai, ditentukan Kasi P2 (Pencegahan dan Penindakan) dan ditunjuk Pelaksana P2 untuk dilakukan pencegahan oleh Pelaksana P2 dengan cara penyegelan dan P2 membuat Berita Acara ke PPD. Setelah dikeluarkan SPPB, PPJK mengajukan Surat Pembukaan Segel ke Kasi P2 untuk dibuat Surat Tugas Pembukaan Segel. Lalu petugas yang ditunjuk melakukan pembukaan segel dan membuat Berita Acara yang ditandatangani oleh Kepala Hanggar. Setelah proses pengeluaran SPPB, maka barang dapat keluar dan langsung diambil atau dikirim ke TMCs Factory.

Proses tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini:

Gambar 3.4 Prosedur Kasi P2 (Pencegahan dan Penindakan)

Untuk pembayaran barang ke dari PT. TMC ke Interchemie dilakukan dengan menggunakan metode Telegraphic Transfer. Metode yang digunakan ini yaitu sebagai alat pembayaran yang dilakukan kepada eksportir sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Dengan cara mengirimkan sejumlah uang melalui transfer dengan menggunakan kurs Rupiah atau kurs Dollar sesuai dengan vallas yang berlaku di negara importir. Bukti transfer terlampir di Lampiran 4. Prosedur pembayaran dengan metode Telegraphic Transfer yaitu pertama, importir mengajukan pembukaan Telegraphic Transfer pada bank pembuka yang ditujukan kepada eksportir. Kemudian bank pembuka yang bersangkutan membuka telegraphic transfer kepada bank koresponden di tempat eksportir. Setelah itu, bank koresponden meneruskan telegraphic transfer kepada eksportir. Eksportir menyiapkan dan mengapalkan barang-barang yang akan dikirimkan, dan disertai dokumen-dokumen yang diperlukan ke importir. Importir melakukan pembayaran sesuai dengan perjanjian yang tertera yaitu 50% dalam jangka waktu 120 hari dari tanggal yang tertera dalam Original Invoice dan kemudian 50% sisanya dibayarkan dalam jangka waktu 150 hari dari tanggal yang tertera dalam Original Invoice.

3.22.Perhitungan Pajak Atas Impor Dalam menghitung pajak dalam rangka impor terdapat beberapa hal yang

harus diketahui terlebih dahulu, diantaranya adalah Nilai Invoice (Cost), Biaya Perjalanan (Freight), Asuransi (Insurance), tarif Bea Masuk, tarif PPN, tarif PPh Pasal 22, dan NDPBM (Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk) yang berlaku. Setelah diketahui hal-hal tersebut maka selanjutnya dapat dilakukan perhitungan pajak atas impor. Perhitungan pajak atas impor, yaitu diantaranya adalah PPN dan PPh Pasal 22 dapat dilakukan dengan langsung menghitung berdasarkan tarif yang bersangkutan. Tarif tersebut dikalikan dengan DPP (Dasar Pengenaan Pajak) berdasarkan jenis dan jumlah barang yang diimpor. Dalam hal impor ini yang menjadi DPP adalah jumlah dari Cost, Insurance, dan Freight. Berikut ini rumus yang berlaku untuk impor: Bea Masuk PPN impor = (Cost + Insurance + Freight) x Tarif Bea Masuk = ((Cost + Insurance + Freight) + Bea Masuk) x 10%

PPh Pasal 22 = ((Cost + Insurance + Freight) + Bea Masuk) x 2,5% (memiliki API) Berikut ini contoh perhitungan pajak atas impor yang dilakukan PT. TMC: PT. TMC mengimpor barang berupa obat hewan dari Belanda dengan Nilai Invioce USD. 33,892.15. tanpa biaya Freight dan Insurance. Bea Masuk berdasarkan pedoman HS Code yaitu 5%, dengan tarif PPN yang berlaku sebesar 10% dan PPh Pasal 22 impor 2,5% karena telah memiliki API. NDPBM yang berlaku saat impor yaitu Rp 9.094,80. Dilakukan perhitungan sebagai berikut: Bea Masuk PPN = USD.(33,892.15 + 0 + 0) x 5% = USD. 1,701.82 = USD.((33,892.15 + 0 + 0) + 1,701.82) x 10% = USD. 3,559.39

PPh Pasal 22 = USD.((33,892.15 + 0 + 0) + 1,701.82) x 2,5% = USD. 889.85 Setelah diketahui, maka selanjutnya pajak atas impor tersebut disetorkan dalam satuan Rupiah yang disesuaikan dengan NDPBM yang berlaku saat impor. Bea Masuk PPN = USD. 1,701.82 x Rp 9.094,80 = USD. 3,559.39 x Rp 9.094,80 = Rp 15.477.677,00 = Rp 32.371.985,00 = Rp 8.092.987,00 Rp 55.942.649,00

PPh Pasal 22 = USD. 889.85 x Rp 9.094,80 Total pajak dalam rangka impor

Setelah itu dapat diketahui tepat atau tidaknya pajak yang terutang berdasarkan jenis dan jumlah barang yang diimpor karena semua biaya-biaya administrasi termasuk pajak dalam rangka impor tidak dapat dijadikan sebagai pajak pengeluaran yang dapat ditarik kembali jika terjadi lebih bayar.

3.23.Pelaksanaan Penyetoran Pajak Atas Impor Dalam pelaksanaan penyetoran pajak atas impor, penyetoran dilakukan oleh pihak PPJK yang dipilih PT. TMC untuk membantu dalam penyelesaian administrasi impor barang, saat dan tempat terutangnya pajak yaitu pada saat barang masuk ke dalam Daerah Pabean atau tiba di pelabuhan melalui bank yang ditunjuk oleh Bea Cukai yang tersedia di pelabuhan dengan mendapat bukti setoran pajak SPPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak lainnya) yang selanjutnya langsung disetorkan ke PT. TMC sebagai bukti bahwa pihak PPJK telah membayar biaya-biaya tersebut. Pembayaran biaya administrasi PIB seperti Bea Masuk, PPN, dan PPh Pasal 22 dilakukan bersamaan dengan penyerahan Surat Keterangan Rekomendasi Impor dan dokumen-dokumen lainnya dari PT. TMC.

3.24.Dokumen-Dokumen yang Digunakan Dokumen-dokumen yang digunakan oleh PT. TMC dalam menunjang kelancaran dan juga merupakan syarat pelaksanaan impor yaitu antara lain:

1. Delivery Order (D.O.) Dokumen ini dikeluarkan antara lain oleh bank sebagai perintah (order) kepada gudang yang menguasakannya untuk menyerahkan barang-barang yang disimpan di gudang tersebut atas nama bank kepada yang memegang atau pihak yang disebut dalam D.O. Biasanya D.O. tersebut dikeluarkan oleh bank pada saat barang-barang dimasukkan dalam gudang dan diserahkan kepada pembeli (importir) atau dikapalkan kembali D.O. juga dapat sebagai surat jalan yang dikeluarkan oleh Bea Cukai untuk mengeluarkan barang-barang dari pelabuhan. 2. Original Invoice Merupakan nota keaslian tentang keterangan barang-barang yang dijual dan harga dari barang-barang tersebut. Dalam Original Invoice yang dibuat oleh pihak principal ditulis apa saja jenis barang yang diekspor beserta tanggal pembuatan, nomor invoice, nomor order, dan nomor packing list. Contoh Original Invoice terlampir dalam Lampiran 5.

3. Packing List Dokumen ini dibuat oleh eksportir yang menerangkan uraian dari barang-barang yang dipak, dibungkus/diikat dalam peti dan sebagainya dan biasanya diperlukan oleh pejabat-pejabat bea cukai untuk memudahkan pemeriksaan seketika dan pemeriksaan yang mendalam atas isi dari suatu pengepakan. Termasuk dalam uraian barang-barang tersebut adalah jenis bahan pembungkus/pengepakan dan cara pengepakannya. Nama dan uraian barang harus sama dengan Proforma Invoice. 4. Manufacturing Certificate of Analysis Manufacturing Certificate of Analysis adalah Surat pernyataan yang dibuat oleh principal / eksportir yang menyatakan bahwa barang tersebut hasil produksinya dan membawa merk dagangannya (trade mark). Dalam setiap kegiatan ekspor selalu dibuat Manufacturing Certificate of Analysis tentang barang apa saja yang diekspor. 5. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) Yaitu surat pernyataan yang dibuat untuk pemberitahuan impor barang. Surat ini dapat dijadikan sebagai faktur pajak standar karena didalamnya memiliki data-data yang dapat dianggap sebagai faktur pajak standar. Terlampir contoh PIB dalam Lampiran 6. 6. Bill of Lading (B/L) / Air Waybill Bill of Lading (B/L) biasanya digunakan untuk pengangkutan dengan menggunakan kapal laut. B/L merupakan dokumen pengapalan

yang paling penting karena mempunyai sifat jaminan atau pengamanan. Asli B/L menunjukan hak pemilikan atas barang-barang dan tanpa B/L tersebut seseorang atau orang lain yang ditunjuk tidak dapat menerima barang-barang yang disebutkan di dalam B/L dari maskapai pelayaran. Contoh dari Bill of Lading terlampir dalam Lampiran 7. Sedangkan Air Waybill digunakan bila pengangkutan barang dengan menggunakan kapal udara. 7. Surat Keterangan Rekomendasi Impor Surat yang dibuat oleh importir yang menyatakan izin kepada Departemen Kesehatan Republik Indonesia bahwa importir tersebut akan mengimpor barang-barang yang disebutkan di dalam surat keterangan tersebut. Dalam setiap melakukan kegiatan impor harus terlebih dahulu mengajukan Surat Keterangan Rekomendasi Impor ini kepada Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 8. Penetapan Obat Hewan Surat pernyataan yang dibuat untuk menyatakan obat hewan yang akan diimpor sudah ditetapkan nomor pendaftarannya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, sehingga produk yang tertera dalam Penetapan Nomor Pendaftaran Tetap Obat Hewan ini dapat dan legal untuk diimpor oleh yang bersangkutan. Surat ini dibuat oleh Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan. Terlampir contoh surat Penetapan Nomor Pendaftaran Obat Hewan dalam Nomor Pendaftaran Tetap

Lampiran 9. 9. Tanda Izin Hewan Surat pernyataan yang dibuat sebagai bukti izin perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha impor yang mengimpor khusus obat-obat hewan. Surat ini dibuat oleh Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Surat tanda izin usaha ini diberikan sebagai penetapan importir obat hewan berdasarkan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Izin ini berlaku selama perusahaan tersebut melaksanakan kegiatannya, dengan ketentuan izin usaha dapat dicabut apabila terjadi hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 Surat Keputusan Menteri Pertanian No.324/Kpts/TN.120/1994. Contoh surat ini terlampir dalam Lampiran 8. 10. HS Code HS (Harmony System) Code adalah kode untuk Usaha Perusahaan Obat

mengelompokkan jenis komoditi impor yang nantinya akan menentukan tarif yang akan digunakan dalam penentuan Import Duty (Bea Masuk). Daftar penamaan sistematik ini disusun oleh Customs Cooperation Council (Dewan Pabean Dunia) untuk pengklasifikasian dan penomoran barang dalam perdagangan international. Nomor seri HS Code setiap jenis produk dapat dilihat dalam PIB lembar lanjutan di Lampiran 6. 11. Insurance Certificate Sertifikat asuransi merupakan surat keterangan yang

menjelaskan bahwa terhadap barang-barang tertentu telah dilakukan penutupan asuransinya dalam bentuk open policy, yaitu tidak dapat diberikan oleh si tertanggung sebagai bukti penutupan asuransi barangbarang tertentu oleh karena open policy tersebut diperlukannya untuk pengapalan-pengapalan berikutnya. 12. Angka Pengenal Importir Angka Pengenal Importir (API) merupakan tanda pengenal yang harus dimiliki oleh setiap importir atau perusahaan yang melakukan perdagangan impor. API diberlakukan untuk menghindari

penyalahgunaan kegiatan impor dan berbagai tindakan menyimpang lainnya. Untuk itu API sudah mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1984 berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1460/KP/XII/84 yang mengalami penyempurnaan dengan keluarnya Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 373/KP/XI/88. Terlampir API yang dimiliki oleh PT. TMC dalam Lampiran 11. 13. Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (SSPCP) SPPCP adalah Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak dalam rangka impor yang digunakan sebagai bukti bahwa importir telah menyetorkan pajak yang terutang. Pembayaran penerimaan negara dilakukan oleh Wajib Bayar dengan menggunakan SSPCP dan dilampiri dengan dokumen dasar pembayaran. SSPCP dibuat dalam rangkap 4(empat) dengan peruntukan: Lembar ke-1 untuk Wajib Bayar, Lembar

ke-2 untuk KPPN dan diteruskan ke Kantor Bea dan Cukai, Lembar ke3 untuk Kantor Bea dan Cukai, dan Lembar ke-4 untuk Bank Devisa Persepsi. Contoh SPPCP terlampir di Lampiran 12.

3.25.Sarana yang Digunakan Sarana yang digunakan PT. TMC sebagai importir dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi yang salah satunya yaitu membayar Bea Masuk, PPN, dan PPh Pasal 22 impor, serta kewajiban lainnya adalah dengan menggunakan jasa Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) yang terdaftar di Departemen Keuangan. PPJK merupakan perusahaan yang bertindak menyediakan jasa pengurusan tentang formalitas kepabeanan dalam hal-hal yang terkait di dalamnya. PPJK yang dipilih adalah PPJK yang telah memiliki ijin atau pengesahan dari Kantor Bea dan Cukai setempat. PPJK mengurus pajak bea masuk sehingga padanya dikenakan jaminan bahwa PPJK telah bertanggung jawab untuk melunasi pajak bea masuk berdasarkan kuasa dari perusahaan atau perorangan selaku importir.

BAB IV ANALISIS PERMASALAHAN

Dalam analisis permasalahan ini penulis akan menjelaskan permasalahanpermasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan praktek kerja yang dilakukan di PT. Tekad Mandiri Citra. Selain itu juga terdapat kendala-kendala dalam pelaksanaan impor yang dapat diketahui dari tinjauan penulis terhadap proses pelaksananaan impor tersebut.

41. Analisis Prosedur Pelaksanaan Impor Dalam pelaksanaan impor yang dilakukan oleh PT. TMC dalam rangka pembelian obat-obatan hewan dari perusahaan Interchemie Werken De Adelaar bv di Belanda dilakukan dengan bantuan PPJK (Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan) dalam mengurus kepabeanan yang termasuk kewajiban pembayaran biaya-biaya administrasi sehubungan dengan impor. Dengan bantuan jasa PPJK, PT. TMC dapat melakukan pembelian impor dengan mudah dan praktis atas bantuan PPJK. Namun disamping itu, PT. TMC harus menambah biaya dalam

pelaksanaan impor tersebut dengan membayar jasa yang dilakukan oleh PPJK. Sehingga mempengaruhi harga jual obat-obatan tersebut yang akan dipasarkan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan harga beli obat-obatan tersebut. Walaupun menggunakan jasa PPJK harus menambah biaya dalam proses impor, namun PT. TMC tetap memilih untuk mempercayakan PPJK dalam kepengurusan kepabeanan dan administrasi atas impor dengan alasan apabila mengurus sendiri masalah kepabeanan harus memerlukan lebih banyak waktu, tenaga, dan uang karena harus mendapat izin terlebih dahulu dari Bea dan Cukai dalam kepengurusan pabean. PT. TMC selama ini telah memilih PPJK yang dipercaya dapat membantu dalam proses impor barang agar dapat dilaksanakan dengan cepat, lancar, dan tepat waktu. PPJK yang selama ini bekerjasama dengan PT. TMC dalam proses impor adalah PT. Bina Satria Sejati apabila barang dikirim melalui laut dan PT. Tirta Indra Kencana apabila barang dikirim lewat udara. PPJK ini yang telah mendapat izin dari Bea dan Cukai dalam kepengurusan kepabeanan sebagai salah satu syarat menjadi perusahaan jasa kepabeanan. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan impor yang dilakukan oleh PT. TMC yaitu masalah dalam pembuatan surat izin impor sebagai syarat dapat dilakukannya impor yang kadang memerlukan waktu yang lama hingga 3 (tiga) minggu yang biasanya selesai dalam waktu 9 hari. Bila belum mendapatkan surat izin impor, maka impor tidak dapat dilaksanakan sedangkan kebutuhan persediaan barang harus tetap terpenuhi. Namun PT. TMC telah melakukan antisipasi dengan mengajukan surat izin impor tersebut ke Departemen Kesehatan 1 (satu) bulan

sebelum dilaksanakan impor. Selain itu kendala yang dihadapi yaitu apabila terjadi perbedaan data dari hasil pemeriksaan dokumen dan fisik, maka ditentukan Kasi P2 (Pencegahan dan Penindakan) yang dilakukan oleh Bea Cukai sebelum dikeluarkan SPPB (Surat Pemberitahuan Pengeluaran Barang) yang memerlukan waktu lebih lama yaitu sekitar 20 (dua puluh) hari dari waktu normal yang memerlukan waktu hanya 1 (satu) hari dalam pengeluaran SPPB 42. Analisis Perhitungan Pajak Atas Impor Perhitungan pajak atas impor yang dilakukan oleh PT. TMC adalah untuk memastikan tepat atau tidaknya biaya-biaya yang tertulis di PIB yang termasuk pembayaran PPN dan PPh Pasal 22 impor yang akan disetorkan dalam proses impor. Walaupun kecil kemungkinan terjadinya kesalahan yang dilakukan oleh pihak bank dalam menetapkan pajak yang harus ditanggung oleh importir, namun PT. TMC perlu menghitung berapa pajak sesungguhnya berdasarkan DPP dari jenis dan jumlah barang yang dapat dilihat di PIB karena akan dicatat dalam catatan keuangan perusahaan sebagai pengeluaran kas, bukan sebagai pajak keluaran yang apabila terjadi kesalahan seperti kelebihan bayar dapat ditarik kembali dengan restitusi. Kendala yang dihadapi oleh PT. TMC dalam perhitungan pajak dalam rangka impor yaitu terdapat perbedaan hasil dari perhitungan untuk

membandingkan tepat atau tidaknya pajak terutang yang harus disetorkan. Perbedaan tersebut karena dari pihak Interchemie sebagai eksportir mengirim barang berupa sample obat baru atau barang-barang promosi produk yang Bea Masuk-nya diatas 5% atau lebih besar dari Bea Masuk barang berupa obat hewan

dipesan yang Bea Masuk-nya 5% yang mempengaruhi jumlah Nilai Impor sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas impor, sehingga PT. TMC harus mengeluarkan biaya yang lebih besar dalam kewajiban pembayaran pajak atas impor tersebut.

43. Analisis Penyetoran Pajak Atas Impor PT. TMC dalam melakukan penyetoran pajak yang terutang atas impor dengan menyerahkan kepada PPJK. Karena peran PPJK dalam membantu importir dalam kepengurusan kepabeanan juga termasuk yaitu melakukan penyetoran pajak atas impor. Dengan diberi surat kuasa oleh importir dalam mengurus kepabeanan, PPJK telah mendapat hak dan kewajiban penuh dalam penyelesaian masalah kepabeanan karena ada jasa yang nantinya dibayarkan kepada PPJK karena perannya dalam mengurus kepabeanan tersebut. Namun, apabila nilai pajak yang terutang atas suatu impor yang dilakukan oleh PT. TMC tersebut, maka pembayaran pajak akan dilakukan oleh pihak dari PT. TMC yaitu bagian teknis dengan menggunakan alat pembayaran berupa cek. Untuk pajak yang telah disetorkan ke kas negara, bank akan menyerahkan tanda bukti pembayaran beserta SSPCP yang selanjutnya langsung diserahkan ke PT. TMC oleh PPJK bila pihak importir telah membayar semua kewajiban biaya yang harus dibayarkan. Dari setiap impor yang biasanya dilakukan setiap dua bulan sekali tersebut dapat disimpulkan PT. TMC rata-rata membeli barang impor berupa obat-obatan hewan dari Interchemie Belanda seharga US$. 40,000 dengan

membayar biaya pajak dan menyetorkannya ke kas negara yaitu sekitar 17,5% dari Nilai CIF yaitu sekitar Rp 50.000.000,00 dalam setiap mengimpor barang. Kendala yang dihadapi dalam penyetoran pajak dalam rangka impor ini yaitu terdapat batas waktu dalam kepengurusan kepabeanan dan pembayaran biaya pajak barang yang diimpor. Bila tidak menyetorkan pajak tersebut dalam waktu yang ditentukan maka barang impor yang telah masuk ke dalam daerah pabean dan sampai di pelabuhan akan dikelompokkan kedalam barang yang akan dilelang dengan tarif PPh Pasal 22 sebesar 7,5% dari Nilai Impor karena tidak dilakukan penyelesaian kepabeanan. Selain itu bila terjadi kelebihan jumlah barang dalam sejumlah barang yang diimpor oleh PT. TMC atau pihak eksportir mengirim barang sample untuk PT. TMC, maka bisa jadi bermasalah dalam penyelesaian kepabeanan barang tersebut. PT. TMC akan mendapat denda berupa Notul, yaitu karena perusahaan dianggap kurang dalam membayar pajak. Sehingga PT. TMC harus mengeluarkan jumlah biaya yang besar dan juga akan menambah waktu proses inklaring barang tersebut di pelabuhan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

51. Kesimpulan Setelah penulis melakukan praktik kerja di PT. Tekad Mandiri Citra (PT. TMC) dengan meninjau perhitungan dan penyetoran Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangka impor obat hewan dari perusahaan Interchemie di Belanda, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa PT. TMC melaksanakan kegiatan impor dan melakukan penyetoran pajak dalam rangka impor dengan baik karena selalu mengacu kepada tata cara prosedur impor berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

84/KMK.04/2002 Tentang Tata Laksana Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara Dalam Rangka Impor dan Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai Buatan Dalam Negeri. PT. TMC dalam melakukan pembelian impor yaitu didasarkan pada jumlah stok barang yang tersedia agar tidak terjadi kekosongan barang apabila ada pesanan dari pelanggan. Selain itu juga pembelian impor dilakukan apabila ada pesanan

produk obat hewan tertentu dari pelanggan. Dalam kesimpulan ini penulis menyimpulkan bahwa proses kegiatan impor, perhitungan dan penyetoran Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangka impor adalah sebagai berikut:

1. Prosedur Pelaksanaan Impor Dalam setiap melaksanakan pembelian impor, PT. TMC selalu mengikuti prosedur impor dengan baik, sehingga kemungkinan terjadinya hambatan internal dalam pelaksanaan impor sangat jarang terjadi. Hambatan dalam proses impor terdapat pada saat pengajuan surat izin impor yang terkadang terlambat dibuatkan oleh Dinas Kesehatan dan pada saat dilakukan pemeriksaan dokumen dan fisik dari barang yang diimpor terdapat perbedaan data yang menyebabkan dilakukannya Kasi P2 (Pencegahan dan Penindakan) atas perbedaan data tersebut sebelum dikeluarkan SPPB oleh Bea Cukai. Selain itu juga dokumen yang diperlukan dalam pelaksanaan impor terkadang terjadi keterlambatan penyerahan sehingga dapat menghambat proses inklaring kepabeanan barang yang diimpor. Namun dalam melakukan pengelompokan dan pengarsipan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam pelaksanaan impor tersebut dilakukan dengan baik. 2. Perhitungan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Dalam Rangka Impor Perhitungan dilakukan saat PT. TMC menerima PIB dari PPJK, lalu dilakukan pengamatan untuk membandingkan data-data yang tertulis dalam PIB

dengan Original Invoice, setelah itu dilakukan perhitungan biaya pajak atas impor yang timbul yang selanjutnya akan disetorkan ke bank yang tersedia di tempat penyelesaian kepabeanan. Pajak yang timbul dan harus disetorkan dalam kegiatan impor obat hewan yang dilakukan oleh PT. TMC yaitu Bea Masuk dengan tarif berdasarkan HS Code jenis obat-obatan hewan yaitu 5% dari CIF, Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari Nilai Impor (CIF + Bea Masuk) sebagai DPP dan Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan tarif 2,5% dari Nilai Impor karena PT. TMC memiliki API. 3. Penyetoran Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Dalam Rangka Impor PT. TMC melakukan penyetoran pajak atas impor yang terdiri dari Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang terutang pada saat 1 (satu) hari setelah menerima PIB dari PPJK. PT. TMC menyetorkan pajak terutang tersebut langsung ke kas negara melalui bank devisa yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tersedia di pelabuhan atau bandara tempat penyelesaian kepabeanan barang yang diimpornya. Dalam pelaksanaan penyetoran pajak dilakukan dengan penyertaan beberapa dokumen yang digunakan pada saat impor tersebut. Dokumen tersebut dikirim melalui fax kepada pihak PPJK yang akan mengurus pembayaran tersebut. Dan selanjutnya PPJK akan mengirim bukti penyetoran pajak berupa SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak) ke PT. TMCsebagai bukti bahwa biaya tersebut telah dibayar.

52. Saran

Selama dalam pelaksanaan praktik kerja dan penyusunan skripsi minor ini terdapat beberapa hal yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan kegiatan impor yang dilakukan oleh PT. TMC, namun sejauh ini semua hambatan itu dapat diatasi dengan baik. Dalam saran ini yang dapat penulis sarankan kepada PT. TMC selaku importir yaitu: 1. Prosedur Pelaksanaan Impor Komunikasi dengan pihak Interchemie dan PPJK yang perlu dilakukan dengan lebih baik, sehingga tidak akan timbul hambatan dalam pelaksanaan proses penyelesaian kepabeanan barang yang diimpor maupun dalam proses pengiriman barang sampai ke PT. TMC. 2. Perhitungan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Dalam Rangka Impor Dalam setiap pelaksanaan impor, sebaiknya sering dilakukan perhitungan pajak yang terutang sebelum disetorkan ke kas negara. Karena apabila terjadi kelebihan bayar akibat tidak sesuainya jumlah barang yang tertera dalam Original Invoice dengan barang yang dikirim, maka kelebihan tersebut tidak dapat ditarik kembali. 3. Penyetoran Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Dalam Rangka Impor Apabila jumlah barang yang dikirim melebihi atau berbeda dari jumlah barang yang dipesan yang tertulis dalam Original Invoice maka akan timbul masalah dalam penyelesaian inklaring barang impor di pelabuhan. Atau bila Interchemie mengirim barang sample ke PT. TMC, maka pihak PT. TMC yang

harus menanggung semua biaya kepabeanan termasuk pembayaran Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, komunikasi antara PT. TMC dengan Interchemie pun perlu ditingkatkan. Sehingga dalam pengiriman barang terdapat konfirmasi lebih lanjut antara PT. TMC dengan Interchemie.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amir M.S. 1999. EKSPOR IMPOR TEORI DAN PENERAPANNYA. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. 2. Amir M.S. 2000. PEDOMAN DAN ISTILAH PERDAGANGAN INTERNASIONAL. Jakarta: Bhratara.. PENTING

3. Djuanda, Gustian, S.E., M.M. dan Irwansyah Lubis, S.E., M.S. 2006. PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI & PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 4. Fitriandi, Primandita, Tejo Birowo, dan Yuda Aryanto. 2009. KOMPILASI UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN. Jakarta: Salemba 4. 5. http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak 6. Hutomo, Y.B. Sigit, Drs. M.BAcc, Akt. 2009. PAJAK PENGHASILAN, KONSEP DAN APLIKASI. Yogyakarta: Universitas Atmajaya. 7. Mardiasmo, Prof. Dr. MBA., Ak. 2008. PERPAJAKAN. Yogyakarta: Andi. 8. Muljono, Djoko. 2007. PPh DAN PPN UNTUK BERBAGAI KEGIATAN USAHA. Yogyakarta: Andi. 9. Muljono, Djoko. 2008. KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN. Yogyakarta: Andi. 10. Sukardji, Untung. 2009. PEMUNGUT PPN. Jakarta: Rajawali Pers.

You might also like