You are on page 1of 69

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

LO MODUL 3 BLOK 16 : 1. Anatomi Faal Hidung dan Sinus Paranasal 2. Penyebab nyeri pipi dan rhinorea 3. Rhinitis ( akut, kronik (vasomotor, alergi)) 4. Sinusitis ( maksilaris, frontalis) 5. Pemilihan terapi

1. ANATOMI-FISIOLOGI HIDUNG, SINUS PARANASALIS


ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG ANATOMI HIDUNG

Ada 3 struktur penting dari anatomi hidung, yaitu :

Dorsum Nasi (Batang Hidung) Bagian kaudal dorsum nasi merupakan bagian lunak dari batang hidung yang tersusun oleh kartilago lateralis dan kartilago alaris. Jaringan ikat yang keras menghubungkan antara kulit dengan perikondrium pada kartilago alaris. Bagian kranial dorsum nasi merupakan bagian keras dari batang hidung yang tersusun oleh os nasalis kanan & kiri dan prosesus frontalis ossis maksila.

Septum Nasi

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Fungsi septum nasi antara lain menopang dorsum nasi (batang hidung) dan membagi dua kavum nasi. Bagian anterior septum nasi tersusun oleh tulang rawan yaitu kartilago quadrangularis. Bagian posterior septum nasi tersusun oleh lamina perpendikularis os ethmoidalis dan vomer. Kelainan septum nasi yang paling sering kita temukan adalah deviasi septi.

Kavum Nasi Ada 6 batas kavum nasi, yaitu : 1. Batas medial kavum nasi yaitu septum nasi. 2. Batas lateral kavum nasi yaitu konka nasi superior, meatus nasi superior, konka nasi medius, meatus nasi medius, konka nasi inferior, dan meatus nasi inferior. 3. Batas anterior kavum nasi yaitu nares (introitus kavum nasi). 4. Batas posterior kavum nasi yaitu koane. 5. Batas superior kavum nasi yaitu lamina kribrosa. 6. Batas inferior kavum nasi yaitu palatum durum.

1. Hidung Luar Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke bawah: 1. Pangkal hidung (bridge) 2. Dorsum nasi 3. Puncak hidung 4. Ala nasi 5. Kolumela 6. Lubang hidung (nares anterior) Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh : Superior : os frontal, os nasal, os maksila Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan kartilago alaris minor Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi fleksibel. Perdarahan: 1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna, cabang dari A. Karotis interna) 3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis) Persarafan : 1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis) 2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

2. Kavum Nasi Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas batas kavum nasi : 1. Posterior : berhubungan dengan nasofaring 2. Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan sebagian os vomer 3. Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum. 4. Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela. 5. Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid. Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini. Perdarahan : Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama sama arteri. Persarafan : 1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N. Etmoidalis anterior 2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus. 3. Mukosa Hidung

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah : pangkal hidung, (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung.

FISIOLOGI HIDUNG 1. Sebagai jalan nafas Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. 2. Pengatur kondisi udara (air conditioning) Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara : a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C. 3. Sebagai penyaring dan pelindung Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh : a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi b. Silia c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime. 4. Indra penghirup Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat. 5. Resonansi suara Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau. 6. Proses bicara Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara. 7. Refleks nasal Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASALIS

ANATOMI

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung : sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masingmasing. Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior. Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto rontgen anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid. Fungsi sinus paranasal adalah : Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak. Sebagai pengatur udara (air conditioning). Peringan cranium. Resonansi suara. Membantu produksi mukus.

Sinus Maksilaris Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus maksilaris arcus I.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apexnya pada pars zygomaticus maxillae. Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa. Berhubungan dengan : a. Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata. b. Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar. c. Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.

Sinus Ethmoidalis Terbentuk pada usia fetus bulan IV. Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari 7-15 cellulae, dindingnya tipis. Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung dan mata Berhubungan dengan : a. Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa. Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah cranial (meningitis, encefalitis dsb). b. Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma. c. Nervus Optikus. d. Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.

Sinus Frontalis Sinus ini dapat terbentuk atau tidak. Tidak simetri kanan dan kiri, terletak di os frontalis. Volume pada orang dewasa 7cc. Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media). Berhubungan dengan : a. Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta. b. Orbita, dibatasi oleh tulang compacta. c. Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.

Sinus Sfenoidalis Terbentuk pada fetus usia bulan III.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Terletak pada corpus, alas dan Processus os sfenoidalis. Volume pada orang dewasa 7 cc. Berhubungan dengan : a. Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii. b. Glandula pituitari, chiasma n.opticum. c. Tranctus olfactorius. d. Arteri basillaris brain stem (batang otak)

2. rhinorea
RHINORREA Definisi Rhinorrea Rhinorea merupakan istilah kedokteran yang berarti hidung berair. Rhinorea berasal dari bahasa yunani, yakni rhinos yang berarti hidung, dan rhoia yang berarti suatu aliran sehingga diartikan suatu aliran yang berasal dari hidung. Rhinorea bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu gejala yang jarang berdiri sendiri. Penyebab Rhinorrea Rhinorea dapat disebabkan oleh beberapa kondisi berikut : Adanya infeksi virus dan atau bakteri pada mukosa saluran nafas atas, terutama mukosa hidung. Adanya allergen, terutama allergen inhalant yang mengiritasi mukosa hidung, asap rokok, cuaca dingin, dan sebagainya. Adanya partikel/benda asing seperti biji-bijian, manik-manik pada cavum nasi. Trauma mekanik pada mukosa hidung ataupun trauma pada kepala.

Patomekanisme Rhinorrea Rhinorea secara umum terjadi karena adanya reaksi inflamasi yang terjadi karena adanya infeksi dari virus dan ataupun bakteri, partikel/benda asing, serta trauma pada mukosa hidung. Seperti yang kita ketahui, hal-hal tersebut akan menyebabkan reaksi inflamasi yang mengakibatkan pelepasan mediator-mediator kimiawi. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah, meningkatkan permeabilitas kapiler, dan meningkatkan sekresi dari sel-sel goblet yang terdapat pada mukosa hidung.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Pada rhinorre yang disebabkan oleh allergen, akan terjadi hipersensitifitas tipe 1 yang mana akan mengeluarkan mediator-mediator kimia yang memiliki efek sama seperti reaksi inflamasi, yang pada akhirnya juga meningkatkan sekresi dari sel-sel goblet. Trauma pada kepala akan mengakibatkan rhinorea cairan serebrospinal. Rhinorrea dapat klasifikasikan berdasarkan jenis cairannya, yakni : mucus, seromukus, dan purulent. Berikut beberapa penyakit dengan jenis cairan rhinorea yang dihasilkannya :

3. Rhinitis ( akut, kronik (vasomotor, alergi, dll))


RINITIS Rinitis didefinisikan sebagai peradangan dari membran hidung yang ditandai dengan gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi beberapa gejala berikut : bersin, hidung tersumbat, hidung gatal dan rinore. Mata, telinga, sinus dan tenggorokan juga dapat terlibat. Rinitis alergi merupakan penyebab tersering dari rinitis.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua: Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran mukosa hidung dan sinussinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim semi. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rinitis vasomotor.

RHINITIS AKUT DEFINISI Rhinitis akut adalah radang akut mukosa nasi yang ditandai dengan gejala-gejala rhinorea, obstruksi nasi, bersin-bersin dan disertai gejala umum malaise dan suhu tubuh naik.

ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI Etiologi Etiologi ada 2 jenis mikroorganisme yang menimbulkan rhinitis akut: 1. 2. Virus ditentukan oleh Kruse tahun 1914 Bakteri terutama Haemophylus Influensa, Steptococcus, Pneumococcus, dan sebagainya. Pertama kali terjadi invasi virus yang merusak pertahanan mukosa, kemudian bakteri mengadakan infeksi sekunder. Penularan lewat droplet infeksi dan kontak langsung dengan penderita. Di samping virulensi , faktor predisposisi memegang peranan penting. Predisposisi 1. Faktor luar (enviroment) a. Pengaruh atmosfer yaitu angin, suhu udara, humidity, hujan dan sebagainya. Humudity optimal 45%, terlalu kering misalnya salju. Mukosa kering, terlalu lembab, keringat banyak, beranginangin, kedinginan. Common cold virus hidup lebih baik pada humidity tinggi. b. Ventilasi ruangan kurang yaitu ruangan kecil, tertutup, penuh orang-orang sakit, serumah ketularan.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


c. Debu dan gas. d. Yang terpenting adalah faktor dingin atau perubahan temperatur dari panas ke dingin yang mendadak, karena dingin menimbulkan reflex vasokonstrinsik iskemia jaringan, daya tahan terhadap infeksi menurun. 2 Faktor dalam a. daya tahan tubuh yang menurun - kelelahan, bekerja terlalu keras, belajar sampai larut malam - kurang makanan bergizi - defisiensi vitamin A, C, dan D b. daya tahan lokal cavum nasi - alergi hidung - obstruksi nasi kronis contoh adenoid, septum deviasi 3. Penyakit excanthemata Rhinit akut merupkan gejala prodromal misalnya morbili, variola, varecolla, dan scarlet fever.

PATOLOGI Pada stadium permulaan terjadi vasokonstrinsik yang akan diikuti vasodilatasi, udem dan meningkatnya aktifitas kelenjar seromucious dan goblet sel, kemudian terjadi infiltrasi leukosit dan desguamasi epitel. Secret mula-mula encer, jernih kemudian berubah menjadi kental dan lekat (mukoid) berwarna kuning mengandung nanah dan bakteri (makopurulent). Toksin yang berbentuk terbentuk terserap dalam darah dan lymphe, menimbulkan gejala-gejala umum. Pada stadium resolusi terjadi proliferasi sel epithel yang telah rusak dan mukosa menjadi normal kembali.

GAMBARAN KLINIS 1. Stadium prodromal, pada hari pertama - rasa panas dan kering pada cavum nasi - bersin-bersin - hidung buntu - pilek encer jernih seperti air Pemeriksaan (rhinoscopia anterior/RA) cavum nasi sempit, terdapat secret serous dan mukosa udem dan hyperemi 2. Stadium akut, hari kedua sampai keempat - bersin-bersin berkurang - obstruksi nasi bertambah, akibat obstruksi nasi akut terjadi hyposmia, gangguan gustateris, rasa makanan tidak enak

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


- pilek kental kuning - badan tak enak, sumer-sumer Pemeriksaan cavum nasi lebih sempit, secret mukopurulent. Mukosa lebih udem hyperemis 3. Stadium Penyembuhan (resolusi) hari Kelima sampai ketujuh Gejala-gejala ditas berkurang (udem dan hyperemis berkurang, obstruksi berkurang, secret berkung dan mongering) kadang-kadang rhinitis akut didahului gejala nasopharingitis (disamping itu ada gejala lain menyertai yaitu pharyngitis akut dan laryngitis akut. Sehingga timbul gejala panas, batuk, dan pilek. Tetapi adanya pharyngitis atau laryngitis akut tidak selalu didahului oleh rhinitis akut. Dapat pharyngitis timbul dulu atau laryngitis dulu, jadi manifestasi penyakit dapat dimulai dimana-mana (hidung, pharing, laryng) DIAGNOSA BANDING Rhinitis akut pada stadium prodromal mempunyai gejala yang mirip dengan syndrome alergi yaitu: bersin-bersin, rhinorea dan obstruksi nasi. Perbedaannya: Rhinitis Akut Waktu dan gejala 1-2 hari (prodromal) Lama Syndrome alergi berminggu-minggu, bulan, tahun,

semusim. Berulang-ulang: pagi sakit, siang sembuh, besoknya kumat lagi Sifat secret Gejala Umum Alergen Mengental sesudah 3-4 hari Ada (panas, Malaise) Tidak ada Encer terus Tidak ada Ada (anamnesa, skin tes pada rhinitis allergen)

TERAPI 1. Lokal Tetes hidung sel HCl Ephedrin 1% dalam glucose 5% tau P.Z berfungsi melebarkan cavum nasi, meatus dan propilaksis terhadap sinusitis 2. Umum a. Hindari tubuh kedinginan - mandi air hangat - makan hangat - pakaian hangat, jangan terbuka - tidur memakai selimut - jangan berangin-angin/kipas angin

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


- lantai dingin memakai sandal b. Systemik dengan acetosal - sebagai analgetik dan antipiretik - mempunyai efek Cortison anti radang menghilangkan odema, cara kerja merangsang cortex adrenalis memproduksi cortisone - keuntungan lain dapat dipakai untuk pencegahan segera, minum asetosal sesudah

kedinginan/kehujanan yaitu setengah jam sesudah kedinginan, sesudah 2 jam tidak ada efek lagi. - asetosal dapat menghangatkan badan karena menimbulkan vasodilatasi perifer

PROPILAKSIS 1. hindari kontak dengan penderita 2. meningkatkan daya tahan tubuh dengan hindari kelelahan dan diet bergizi 3. hidari dingin dengan minum asetosal 4. rumah sakit dengan sinar ultra violet membunuh virus KOMPLIKASI 1. Otitis media akut 2. Sinusitis paranasalis 3. Infeksi traktus respiratorius bagian bawah seperti laring, tracho bronchitis, pneumonia 4. Akibat tidak langsung pada penyakit-penyakti lain yaitu jangung dan asma bronchial

PROGNOSA Rhinitis akut merupakan self limiting disease umumnya sembuh dalam 7 -10 hari. Tapi dapat lebih lama 3 minggu bila ada pharingitis, laryngitis atau komplikasi lain.

A. Rinitis Akut Rintis Akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Penyakit ini sering ditemukan, dan merupakan manifestasi dari rinitis simpleks (common cold), influensa, beberapa penyakit eksantem (seperti morbilli, varisela, pertusis), dan beberapa penyakit infeksi spesifik.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Juga penyakit ini dapat timbul sebagai reaksi sekunder akibat iritasi lokal atau trauma.

1. Rinitis Simpleks (Pilek, Selesma, Common Cold, Coryza) a. Definisi Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia.

Sinonim Rinitis akut adalah Acute Nasal Catarrh; Acute Coryza; Cold in the Head. Acute viral nasopharyngitis, atau Acute Coryza, biasanya dikenal sebagai common cold, adalah sangat tinggi penularannya, penyakit infeksi virus dari sistem pernapasan atas, terutama semata disebabkan oleh picornavirus atau coronavirus. Rinitis akut merupakan infeksi saluran napas atas terutama hidung, umumnya disebabkan oleh virus. Sebagian besar yang mencakup virus, meliputi rhinovirus, Respiratory syncytial viruses (RSV), virus parainfluenza, virus influenza, dan adenovirus. b. Etiologi Penyebabnya ialah beberapa jenis virus dan yang paling penting ialah Rhinovirus. Virus-virus lainnya adalah Myxovirus, virus Coxsackle dan virus ECHO. Rhinovirus, dikenal ada lebih dari 100 serotipe, adalah penyebab commond cold pada orang dewasa; sekitar 20 40 % kasus commond cold disebabkan virus ini, terutama pada musim gugur. Sedangkan Coronavirus, seperti 229E, OC43 dan B814 merupakan penyebab sekitar 10 15 % dari commond cold dan influenza sebagai penyebab sekitar 10 15 % dari commond cold pada orang dewasa; virus ini menonjol pada musim dingin dan awal musim semi, pada saat prevalensi rhinovirus rendah.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Virus saluran pernafasan lain juga diketahui dapat menyebabkan commond cold pada orang dewasa. Pada bayi dan anak-anak, virus parainfluenza, Respiratory syncytial viruses (RSV), influenza, adenovirus, enterovirus tertentu dan coronavirus menyebabkan penyakit seperti commond cold. Hampir setengah dari commond cold belum diketahui etiologinya. Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit menahun dan lain-lain). c. Epidemiologi Infeksi saluran pernapasan atas adalah penyakit infeksi paling umum antara dewasa yang mempunyai 2 4 kali terinfeksi pernapasan tiap tahun. Anak-anak mungkin punya 6 10 colds dalam 1 tahun (dan sampai 12 kali colds dalam 1 tahun untuk anak-anak sekolah). Pada Amerika Serikat, insiden colds meningkat pada musim gugur dan dingin, dengan infeksi paling terjadi di antara September April. Penyakit yang sering terjadi dapat mempunyai dampak yang besar terhadap ekonomi dunia. Perusahaan asuransi dan jawatan kesehatan pemerintah di seluruh dunia menyajikan angka-angka yang cukup mengesankan. Statistik berupa beberapa ratus juta serangan common cold setiap tahunnya di Amerika Serikat dan laporan serupa di berbagai negara lain, di dapat dengan cara melakukan ekstrapolasi angka absensi di sekolah, angkatan bersenjata, dan industri raksasa kokoh. Namun pada mayoritas yang mengarah pada statistik tersebut, diagnosis common cold dibuat oleh pasien sendiri dan tidak oleh dokter.

Ras. Tidak ada perbedaan ras dengan yang mudah terpengaruh infeksi atau perjalanan penyakit telah dideskripsikan antara perbedaan ras.

Jenis Kelamin. Beberapa laporan menunjukkan seorang laki-laki lebih banyak infeksi pada anak lebih muda kurang dari 3 tahun, yang berpindah ke seorang wanita lebih banyak pada anak tua kurang dari 3 tahun. Adalah terbukti tidak ada perbedaan ukuran infeksi pada orang dewasa.

Usia. Infeksi rhinovirus ialah paling umum pada anak-anak, dengan berkurangnya angka kejadian yang mendekati orang dewasa. Anak merupakan alat transmisi infeksi, biasanya infeksi melalui ke anggota keluarga setelah kontak virus di TK, fasilitas permainan dan sekolah.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Distribusi Penyakit. Tersebar di seluruh dunia, baik bersifat endemis maupun muncul sebagai KLB (kejadian luar biasa). Di daerah beriklim sedang, insidensi penyakit ini meningkat di musim gugur, musim dingin dan musim semi; di daerah tropis, insidensi penyakit tinggi pada musim hujan. Sebagian besar orang, kecuali mereka yang tinggal di daerah dengan jumlah penduduk sedikit dan terisolasi, bisa terserang satu hingga 6 kali setiap tahunnya. Insidensi penyakit tinggi pada anak-anak di bawah 5 tahun dan akan menurun secara bertahap sesuai dengan bertambahnya umur. d. Penularan Diduga melalui kontak langsung atau melalui droplet, yang lebih penting lagi penularan tidak langsung dapat terjadi melalui tangan dan barang-barang yang baru saja terkontaminasi oleh kotoran hidung dan mulut dari orang yang terinfeksi. Rhinovirus, RSV dan kemungkinan virusvirus lainnya ditularkan melalui tangan yang terkontaminasi dan membawa virus ini ke membran mukosa mata dan hidung. e. Patologi Selama langkah awal, selaput lendir ialah kering, merah, dan bengkak, yang menyebabkan sumbatan pada hidung dan mewujudkan sulit bernafas; kondisi ini segera diikuti oleh serous atau pengeluaran mucus serous, yang pada akhirnya mungkin menjadi bernanah. Pemeriksaan mikroskopik terhadap jaringan hidung dan nasofaring menunjukkan edema dan hipersekresi dengan sedikit infiltrasi sel. Dapat ditemukan deskuamasi epitel, khususnya epitel bersilia, seperti yang terjadi pada infeksi influenza. f. Gejala Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas, kering dan gatal didalam hidung. Segera timbul menggigil dan malaise, disertai dengan bersin dan ingus encer. Pada saat ini biasanya tidak disertai demam. Sering terasa nyeri kepala ringan atau perasaan penuh di antara kedua mata. Kemudian akan timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat dan ingus encer, yang biasanya disertai dengan demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.

Penyakit ini akan berkembang pesat dalam waktu 48 jam dan ditandai dengan suara serak, mata berair, ingus encer dan berkurang atau hilangnya penciuman dan pengecapan. Gejala yang paling mengganggu pada pasien ini ialah hidung yang tersumbat. Rasa nyeri yang tidak terlalu berat disekitar dahi, mata dan kadang-kadang pipi, berhubungan dengan pembengkakan mukosa hidung.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Perjalanan penyakit common cold dapat bervariasi. Penyakit ini dapat mereda dalam 3-4 hari, tetapi sering terjadi infeksi sekunder oleh bakteri yang mengakibatkan penyakit bertambah 6-8 hari lagi. Jika hal ini terjadi, ingus menjadi berwarna kuning, purulen atau mukopurulen. Sering disertai dengan batuk produktif, karena ingus masuk ke dalam laring. Mukosa sinus ikut terkena dalam reaksi peradangan pada common cold. Selanjutnya akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga sekret menjadi kental dansumbatan di hidung bertambah. Ingus purulen dapat terjadi jika diikuti oleh infeksi sekunder bakteri. Vertigo, tuli sementara dan otitis media dapat terjadi jika tuba eustachius tertutup Bila tidak terdapat komplikasi, gejala kemudian akan berkurang dan penderita akan sembuh sesudah 5 10 hari. Komplikasi yang mungkin ditemukan adalah sinusitis, otitis, media, faringtis, bronkitis dan pneumonia.

g. Diagnosis Banding

Influenza Adenovirus Bronchitis Coxsackievirus Infeksi mononucleosis Rinitis alergi Sinusitis akut Infeksi saluran pernapasan atas Virus parainfluenza Respiratory syncytial virus infection

h. Diagnosis Bersin berulang, dengan gejala catarrhal, dinyatakan diagnosis sangat mudah. Kita ingat, bagaimanapun, bahwa gejala catarrhal yang sama ini adalah antara bukti yang pertama campak dan influenza.

Dari anamnesis dapat ditemukan :


Rasa panas, kering, dan gatal di hidung atau nasofaring Sneezing (bersin) Rhinorrhea (hidung beringus) Hidung tersumbat Mata berair

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Adanya demam dan nyeri kepala ringan

Pemeriksaan fisik terhadap pasien pada hari-hari pertama menunjukkan mukosa hidung yang hiperemis tetapi tidak terlalu membengkak. Pada jam-jam pertama mukosa menjadi kering dan kadang-kadang seperti mengkilat. Kemudian mukosa menjadi edem dan mengeluarkan ingus yang encer atau mukoid. Pada keadaan ini mukosa pucat, sembab dan basah menyerupai keadaan alergi. Dianggap alergi bila pada pewarnaan sekret hidung ditemukan banyak eosinofil. Sering tampak kemerahan dan ekskoriasi pada nares anterior.

i. Terapi Tidak ada terapi yang spesifik untuk rinitis simpleks. Di samping istirahat diberikan obat-obatan simtomatis, seperti analgetik, antipretik dan obat dekongestan. Antibiotik hanya diberikan bila terdapat komplikasi.

Dekongestan oral mengurangi sekret hidung yang banyak, membuat pasien merasa lebih nyaman, namun tidak menyembuhkan. Tetes hidung efedrin 1 % sangat menolong, bila hidung tersumbat. Oleh karena lisozim dinonaktifkan dalam suasana basa, maka setiap obat hidung harus mempunyai pH asam untuk mencegah terjadinya aktivitas silia dan lisozim. Pemberian obat simtomatik oral sangat efektif dengan diberikan 4 jam sekali, suatu kapsul yang terdiri dari :

Efedrin sulfat Pentobarbital

0,015 g 0,015 g

Asam asetil salisilat* 0,300 g

*dapat digantikan dengan 300 mg Asetaminofen.

Preparat analgetik-antipiretik dapat meringankan gejala, dimana antipiretik terpilih adalah asetaminofen. j. Pencegahan Tidak ada vaksin efektif melawan colds, dan infeksi tidak mempertimbangkan imunitas. Pencegahan tergantung kepada :

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Lebih sering mencuci tangan, terutama sebelum menyentuh wajah. Memperkecil kontak dengan orang-orang yang telah terinfeksi Tidak berbagi sapu tangan, alat makan, atau gelas minum. Menutup mulut ketika batuk dan bersin

k. Komplikasi Komplikasinya yaitu dapat mengantarkan ke opportunistic coinfections atau superinfections seperti bronkitis akut, bronkiolitis, croup, pneumonia, sinusitis, dan otitis media. Orang-orang dengan penyakit paru-paru kronik seperti asma dan COPD adalah lebih rentan terjadi. Colds mungkin menyebabkan eksaserbasi akut dari asma, emfisema atau bronkitis kronik.

B. Rinitis Kronis Yang termasuk dalam rinitis kronis adalah rinitis hipertrofi, rinitis sika (sicca) dan rintis spesifik. Meskipun penyebabnya bukan radang, kadang-kadang rinitis alergi, rinitis vasomotor dan rinitis medikamentosa dimasukkan juga dalam rinitis kronis.

1. Rinitis Hipertrofi a. Definisi Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinus, atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor. Proses infeksi dan iritasi yang kronis akan dapat menyebabkan hipertrofi konka nasalis. Septum deviasi juga dapat menyebabkan penyakit ini secara kontralateral. Gejala utama rinitis hipertrofi adalah hidung tersumbat. Keadaan ini memerlukan tindakan koreksi karena pengobatan dengan medikamentosa saja sering tidak memberi hasil yang memuaskan. Tindakan yang paling ringan seperti kauter sampai pemakaian laser dapat dilakukan untuk mengatasi keluhan hidung tersumbat akibat hipertrofi konka. b. Gejala Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen dan sering ada keluhan nyeri kepala. Pada pemeriksaan akan ditemukan konka yang hipertrofi, terutama konka inferior. Permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Akibatnya saluran udara sangat sempit. Sekret mukopurulen yang banyak biasanya ditemukan di antara konka inferior dan septum, dan di dasar rongga hidung. c. Terapi Harus dicari faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya rinitis hipertrofi dan kemudian memberikan pengobatan yang sesuai. Beberapa teknik operasi yang dapat digunakan adalah: Kauterisasi Konka Dengan Zat Kimia Kauterisasi konka dengan zat kimia adalah teknik yang paling sederhana. Zat kimia yang biasanya digunakan adalah nitras argenti atau asam triklor asetat. Bahan kimia ini dioleskan sepanjang konka yang mengalami hipertrofi. Conchotomy Inferior Total Letakkan gunting konka dengan satu mata pisau di bawah konka dan yang lain diatasnya, lepaskan jaringan tulang dan jaringan lunak konka. Elektrokauter dapat dilakukan pada sisi pemotongan untuk menghentikan perdarahan, diikuti dengan tampon hidung. Keuntungan utama teknik ini adalah ditujukan pada hipertrofi tulang maupun mukosa sepanjang konka. Kerugiannya adalah risiko perdarahan dan krusta pasca operasi

Conchotomy Inferior Parsial Diletakkan elevator di bawah konka kemudian patahkan ke medial, lalu letakkan klem lurus sepanjang permukaan anterior inferior konka yang akan dibuang. Klem dibiarkan dulu sedikitnya satu menit untuk hemostatis dan memungkinkan penilaian konka yang hipertrofi untuk reseksi. Gunakan gunting konka untuk mengeksisi jaringan tulang dan jaringan lunak sepanjang batas anterior inferior konka. Elektrokauter dapat dilakukan pada sisi pemotongan untuk hemostatis. Keuntungan dengan cara ini adalah pembuangan langsung tulang dan mukosa yang hipertrofi. Kerugiannya adalah perdarahan serta terbentuknya krusta. Reseksi parsial konka inferior dengan endoskopi adalah cara terbaik untuk memperbaiki obstruksi hidung akibat hipertrofi konka inferior.

Turbinoplasti Inferior Gunakan elevator untuk mematahkan dan menggerakkankonka inferior. Lalu dibuat insisi sepanjang ujung anterior konka pada insersi lateral, kemudian diperpanjang ke bawah sampai setengah panjang anterior konka. Buat sebuah liang dengan elevator Freer sepanjang tulang konka ke arah posterior sejauh mungkin kemudian eksisi tulang konka dengan menggunakan senar. Gulung flap mukoperiosteal yang tersisa dari medial ke

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


lateral untuk membentuk konka baru dan letakkan tampon yang dilepaskan setelah 24 jam.

Tujuan teknik ini adalah mengangkat tulang tetapi menyisakan bagian medial dan beberapa permukaan lateral mukosa. Keuntungan teknik ini adalah risiko perdarahan dan krusta lebih sedikit daripada teknik bedah reseksi lainnya. Prosedur ini menyisakan sebagian mukosa konka dan lebih ditujukan pada obstruksi konka bagian posterior. Reseksi Submukosa Insisi sepanjang permukaan inferior konka, kemudian elevasi bagian medial dan lateral flap mukoperiosteal ke arah superior dan inferior untuk mendapatkan tulang konka. Lalu reseksi bagian tulang dari sepertiga anterior konka. Variasi instrumen seperti gunting, takahashi forceps, rongeurs dapat digunakan, dan buang sisa-sisa fraktur pada posterior. Turunkan kembali flap mukoperiosteum, kemudian tampon dapat diletakkan untuk fiksasi flap selama fase penyembuhan.

Pelepasan konka bagian tulang memungkinkan konka inferior mengarah ke lateral secara alami. Keuntungan teknik ini adalah risiko perdarahan dan krusta lebih sedikit daripada teknik bedah reseksi lainnya serta menyisakan sebagian mukosa konka. Kerugiannya adalah sulit dilakukan dan tidak ditujukan untuk konka bagian posterior bila obstruksi. Diatermi Submukosa Diatermi submukosa konka inferior mulai populer sejak 1989, walaupun sudah pernah dilaporkan pada tahun 1987. Diyakini bahwa arus koagulatif menghasilkan nekrosis jaringan dan fibrosis yang terjadi menyebabkan penyusutan dari jaringan lunak konka. Keuntungannya adalah penyembuhan biasanya lebih cepat dan banyak ahli menggunakan diatermi submukosa sebagai pilihan karena komplikasi yang relatif sedikit. Di samping itu dapat dilakukan dengan anestesi lokal, peralatan tidak mahal dan aman, namun tidak efektif untuk jangka panjang. Outfracture Lateral Letakkan elevator Freer atau Boise di bawah konka kemudian tulang konka dipatahkan ke arah atas dan medial. Lalu elevator diletakkan di atas permukaan medial konka dan diberikan tekanan untuk mematahkan konka ke arah luar. Dipastikan bahwa fraktur tulang konka di seluruh panjangnya. Tampon biasanya tidak dibutuhkan tapi dapat berguna untuk mempertahankan konka ke lateral.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Tindakan ini mengurangi ukuran konka dan volume rongga hidung menjadi lebih luas. Keuntungan cara ini adalah komplikasi seperti perdarahan lebih sedikit serta lebih sedikit krusta pasca operasi. Kerugiannya adalah tidak ditujukan pada hipertrofi mukosa konka, serta perbaikan aliran udara hidung hanya sementara bila hanya prosedur ini yang dilakukan. Bila dilakukan dengan teknik lain yang mengurangi hipertrofi mukosa, dapat diperoleh pengurangan obstruksi rongga hidung yang lebih efektif. Pematahan Multipel Tulang Konka Submukosa Teknik operasi pematahan multipel tulang konka submukosal ini merupakan modifikasi dari simple out-fracture konka. Dengan cara ini mukosa tidak dilukai, dan dilakukan lateralisasi tulang konka, sehingga terbentuk jaringan ikat submukosa, dan setelah osteoklas bekerja, diharapkan fragmen tulang yang dipatahkan semakin mengecil. Operasi dapat dilakukan dalam narkosis atau dapat juga dengan anestesi lokal. Persiapan operasi dengan pemberian vasokonstriksi lokal sangat membantu yaitu dengan pemasangan tampon hidung dengan lidokain 2% dan adrenalin 1:200.000. Untuk mengurangi perdarahan pada awal tindakan dilakukan infiltrasi submukosa konka dengan campuran larutan adrenalin 1:200.000 pada bagian anterior konka sampai menyentuh tulang konka. Dilakukan insisi tegak lurus pada

daerah tusukan infiltrasi lebih kurang 0,5 cm agar respatorium dapat dimasukkan. Bebaskan permukaan medial tulang konka dari jaringan lunak dengan menggunakan respatorium konka sampai ke posterior. Pematahan tulang konka secara berulang dimulai dari bagian posterior maju setiap 0,5 cm ke arah anterior sehingga terdapat 6-8 fragmen patah tulang konka.

Perdarahan yang terjadi biasanya tidak banyak dan dipasang tampon anterior untuk dipertahankan 3 hari. Keuntungan teknik operasi ini ialah caranya mudah, waktu operasi singkat dan penyulit saat operasi serta dampak pasca operasi sangat minimal. Kerugian teknik ini memerlukan kehati-hatian pada waktu melepas tulang konka dengan jaringan lunak konka agar tidak robek karena dilakukan dengan metode buta. Elektrokauter Elektrokauter dapat dilakukan dengan kontak linear mukosa atau submukosa.4,11 Untuk kauter permukaan, elektrode kabel atau jarum dapat digunakan. Kauter submukosa dapat dilakukan dengan elektrode unipolar atau bipolar yang menginduksi fibrosis dan kontraktur yang menghasilkan pengurangan volume. Teknik unipolar menyebabkan koagulasi jaringan di sekeliling elektrode, sedangkan teknik bipolar menghasilkan

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


koagulasi nekrosis di antara jarum elektrode. Pada teknik bipolar, masukkan ujung kauter konka bipolar ke dalam konka anterior inferior lalu berikan arus.

Pada teknik unipolar, masukkan jarum spinal 22 sepanjang tepi konka anterior inferior lalu berikan arus, biasanya dengan unit elektrokauter Bovie. Hindari kontak dengan ala, kolumela atau septum, yang dapat menyebabkan luka jaringan perifer. Hindari pula kontak langsung dan kauterisasi tulang konka karena dapat menyebabkan nekrosis tulang. Keuntungan cara ini risiko perdarahan rendah sedangakan kerugiannya adalah krusta pada tempat insersi kauter dan sering terjadi edema konka pada minggu pertama pasca operasi. Ablasi Frekuensi Radio Ablasi frekuensi radio menghasilkan perubahan ionik pada jaringan dan menginduksi nekrosis jaringan. Fibrosis submukosa yang dihasilkan melengketkan mukosa ke periosteum konka, mengurangi aliran darah ke konka. Kontraktur yang terjadi menyebabkan reduksi volume konka inferior tanpa kerusakan pada mukosa diatasnya. Suhu target dapat diatur pada 60-90oC untuk menghindarkan kerusakan jaringan sekitar. Sebelum operasi berikan lidokain 4% topikal sepanjang konka, dan kemudian disuntikkan lidokain 1-2%. Injeksi lidokain dengan epinefrin (1:100.000) juga dapat dipakai. Ujung probe dimasukkan ke bagian anterior dan sepanjang pertengahan konka. Jumlah energi yang diberikan pada konka inferior bervariasi. Generator frekuensi radio memungkinkan pengaturan suhu target, besar arus, lama pemberian arus, dan total energi yang diberikan. Pemberian sampai sebesar 900 Joule per konka (pada dua lokasi probe yang berbeda pada konka) telah dilaporkan tanpa menyebabkan nekrosis mukosa.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Keuntungan teknik ini adalah mempertahankan mukosa, mengurangi risiko perdarahan dan pembentukan krusta pasca operasi. Prosedur ini juga dapat dilakukan dengan anestesi lokal di klinik dan dapat diulangi bila hasil yang optimal belum diperoleh. Cryosurgery Cryosurgery menyebabkan pembentukan kristal es intraselular, menghasilkan denaturasi protein inti dan membran sel. Hal ini menyebabkan destruksi membran sel, trombosis pembuluh darah, iskemia jaringan, dan destruksi jaringan. Peralatan yang digunakan adalah unit cryosurgery nitrous oxide. Letakkan cryoprobe pada permukaan konka dan turunkan suhu serta bekukan permukaan kontak. Suhu yang digunakan antara -45 sampai 85oC. Lindungi alanasi, kolumela dan septum dari kontak dengan ujung probe untuk menghindari kerusakan jaringan tersebut.

Keuntungan teknik ini adalah dapat dilakukan dengan anestesi lokal pada klinik. Sedangkan kerugiannya adalah penyembuhan yang lama sehingga membutuhkan waktu sampai 6 minggu. Laser conchotomy Laser conchotomy yang digunakan adalah laser CO2, Nd: YAG (neodymium: yttriumaluminium-garnet) dan dioda.Jaringan divaporisasi sepanjang sampai bagian anterior inferior konka.4 Teknik laser CO2 melibatkan penggunaan beberapa titik laser (densitas energi laser 6.100 Joule/cm2 per lesi) pada puncak konka di bawah mikroskop operasi. Pada prosedur laser Nd:YAG, radiasi tenaga rendah (densitas Power microdebrider). Power microdebrider merupakan metode yang aman, sederhana dan efektif untuk penatalaksanaan rinitis hipertrofi kronis. Teknik ini terutama berguna sebagai tambahan pada septoplasti endoskopi atau sinosurgery, dan merupakan pilihan

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


bedah dengan teknik invasif minimal. Namun, studi lebih lanjut dengan desain prospektif dibutuhkan untuk memperkuat bukti yang telah ada. Coblation Prosedur ini menggunakan Coblation-Channeling untuk sekaligus membuang dan menyusutkan jaringan submukosa. Teknik ini menciptakan kanal dengan mengablasi jaringan. Untuk penyusutan jaringan, lesi nekrotik submukosa diciptakan di sekitar kanal tersebut. Terapi ganda ini menyebabkan pengurangan obstruksi hidung yang segera.

Pasca operatif bila dilakukan reseksi tulang atau mukosa, tampon pasca operasi harus diberikan, yang biasanya dilepaskan dalam 24 jam pasca operasi. Perdarahan pascaoperatif biasanya dapat diatasi dengan dekongestan topikal, bahan hemostatik seperti surgical, atau tampon hidung. Perdarahan yang menetap mungkin membutuhkan operasi ulang dan mungkin juga dibutuhkan endoskopi. Penatalaksanaan Lanjutan beritahukan pasien untuk menghindari mengangkat beban berat atau aktivitas berat selama beberapa minggu setelah operasi (biasanya 2-3 minggu). Selama itu pasien juga harus menghindari obat-obatan dengan efek antikoagulasi. Cuci hidung dengan NaCl harus digunakan untuk meminimalkan kekeringan hidung dan krusta pasca operasi. Hal ini harus dilanjutkan sampai mukosa sembuh sempurna, kemudian pengobatan lanjutan seperti glukokortikoid topikal dapat dilanjutkan. d. Komplikasi Pasca Operasi Perdarahan Komplikasi ini adalah yang paling sering terjadi dengan insidensi sebesar 1% sampai 2%. Umumnya perdarahan berhenti secara spontan dalam beberapa hari. Dapat pula terjadi perdarahan berat yang membutuhkan transfusi, dengan insidens sebesar kurang dari 1%. Perdarahan ditangani dengan cara yang sama dengan penanganan epistaksis. Bila setelah beberapa lama perdarahan belum berhenti, sumber perdarahan harus dicari. Tampon yang ada harus dikeluarkan dari hidung dan klot darah diisap, lalu diberikan nasal dekongestan topikal dengan menggunakan kapas.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Jaringan parut Pembentukan synechia dari konka inferior sampai ke septum atau konka media jarang terjadi pasca turbinektomi. Namun dapat juga terjadi bila mukosa septum terkelupas di dekat tepi konka setelah reseksi. Akan terjadi clot darah diantaranya yang kemudian akan membentuk synechia. Kemungkinan pembentukan synechia sulit diprediksi, namun dapat dicegah bila dilakukan monitoring yang tepat pasca operasi. Bila synechia sudah terbentuk, penanganan tergantung pada gejala yang timbul. Umumnya jaringan parut ini perlu dibuang, namun dengan hanya menginsisi synechia saja kurang efisien. Hampir semua kasus membutuhkan eksisi dari kedua permukaan mukosa.

2. Rinitis Sika Pada rinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian depan septum dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit atau tidak ada. Pasien biasanya mengeluh adanya iritasi atau rasa kering di hidung yang kadang-kadang disertai dengan epistaksis. Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di lingkugan yang berdebu, panas dan kering. Juga ditemukan pada pasien yang menderita anemia, pemium alkohl dan gizi buruk. Pengobatan tergantung pada penyebabnya. Dapat diberikan pengobatan lokal, berupa obat cuci hidung.

3. Rinitis Spesifik Rinitis karena infeksi spesifik antara lain rinitis difteri, rinitis atrofi, rinitis sifilis, rinitis tuberkulosis, rinitis karena jamur dan lain-lain.

RINITIS ATROFI Rinitis atropi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan yang buruk. Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, silia menghilang, lapisan submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau atrofi. Etiologi Banyak teori mengenai etiologi dan patogenesis rinitis atrofi dikemukakan, antara lain:

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


1. Infeksi oleh kuman spesifik. Yang sering ditemukan adalah spesies Klebsiela, terutama Klebsiela ozaena. Kuman lainnya yang juga seing ditemukan adalah Stafilokokus, Streptokokus dan pseudomonas aeruginosa. 2. Defisiensi FE. 3. Defisiensi vitamin A. 4. Sinusitis kronik. 5. Kelainan hormonal. 6. Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun. Gejala dan tanda klinis Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental berwarna hijau, asa kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung merasa tersumbat. Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan kusta berwarna hijau. Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsi konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal. Pengobatan Oleh karena etiologinya multifaktoral, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif atau kalau tidak dapat menolong dilakukan pembedahan. Pengobatan konservatif. Diberikan anti-biotika berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman,dengan dosis yang adekuat. Lama pengobatan bervariasi tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa sekret purulen kehijauan. Untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat proses infeksi serta sekret purulen dan krusta, dapat dipakai obat cuci hidung. Larutan yang digunakan adalah larutan garam hipertonik. Larutan tersebut harus diencerkan dengan perbandingan 1 sendok makan larutan dicampur 9 sendok makan air hangat. Larutan dihirup (dimasukkan) ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat atau yang masuk melalui nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan 2 kali sehari. Jika sukar mendapatkan larutan di atas dapat dilakukan pencucian rongga hidung dengan 100 cc air hangat yang dicampur dengan 1 sendok makan (15cc) larutan Betadin, atau larutan garam dapur setengah sendok teh dicampur segelas air hangat. Dapat diberikan vitamin A 3x50.000 unit dan preparat Fe selama 2 minggu. Pengobatan operatif. Jika dengan pengobatan konservatif tidak ada perbaikan, maka dilakukan operasi. Teknik operasi antara lain operasi penutupan lubang hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan ini diharapkan akan mengurangi turbulensi

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


udara dan pengeringan sekret, inflamasi mukosa berkurang, sehingga mukosa akan kembali normal. Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana selama 2 tahun. Untuk menutup koana dipakai flap palatum. Akhir-akhir ini bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) sering dilakukan pada kasus rinitis atrofi. Dengan melakukan pengangkatan sekat-sekat tulang yang mengalami osteomielitis, diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi ventilasi dan drainase sinus kembali normal, sehingga terjadi regenerasi mukosa.

RHINITIS INFEKSI RINITIS DIFTERI Penyakit ini disebabkan oleh Corynecbacterium diphteriae, dapat terjadi primer pada hidung atau sekunder dari tenggorok, dapat ditemukan dalam keadaan akut atau kronik. Dugaan adanya rinitis difteri harus dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan, karena cakupan program imunisasi yang semakin meningkat. Gejala rinitis difteri akut ialah demam, toksemia, terdapat limfadenitis dan mungkin ada paralisis otot pernapasan. Pada hidung ada sekret yang bercampur darah, mungkin ditemukan pseudimembran putih yang mudah berdarah dan ada krusta coklat di nares anterior dan rongga hidung. Jika perjalanan penyakitnya menjadi kronik, gejala biasanya lebih ringan dan mungkin dapat sembuh sendiri, tetapi dalam keadaan kronik, masih dapat menulari. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung. Sebagai terapi diberikan ADS, penisilin lokal dan intramuskuler. Pasien harus diisolasi sampai hasil pemeriksaan kuman negatif.

RINITIS JAMUR Dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat invasif atau non-invasif dapat menyerupai rinolith dengan inflamasi mukosa yang lebih berat. Rinolith ini sebenarnya adalah bola jamur (fungus ball). Biasanya tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang. Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propria. Jika terjadi invasi jamur pada submukosa dapat mengakibatkan perforasi septum atau hidung pelana. Jamur sebagai penyebab dapat dilihat dengan pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan sediaan langsung atau kultur jamur, misalnya Aspergillus , Candida, Histoplasma, Fussarium dan Mucor. Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya sekret mukopurulen, mungkin terlihat mukus atau perforasi pada septum disertai dengan jaringan nekrotik berwarna kehitaman (black eschar). Untuk rinitis jamur non-invasif, terapinya adalah mengangkat seluruh bola jamur. Pemberian obat jamur sistemik maupun topikal tidak diperlukan. Terapi untuk rinitis jamur invasif adalah mengeradikasi agen

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


penyebabnya dengan pemberian anti jamur oral dan topikal. Cuci hidung dan pembersihan hidung secara rutin dilakukan untuk mengangkat krusta. Bagian yang terinfeksi dapat pula diolesi dengan gentian violet. Untuk infeksi jamur invasif, kadang-kadang diperlukan debridement seluruh jaringan yang nekrotik dan tidak sehat. Kalau jaringan nekrotik sangat luas, dapat terjadi destruksi yang memerlukan tindakan rekonstruksi.

RINITIS TUBERKULOSA Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner. Seiring dengan peningkatan kasus tuberkulosis (new emerging disease) yang berhubungan dengan kasus HIV-AIDS, penyakit ini harus diwaspadai keberadaannya. Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksaan klinis terdapat sekret mukopurulen dan krusta, sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret hidung. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sel datia Langhans dan limfositosis. Pengobatannya diberikan OAT dan obat cuci hidung.

RINITIS SIFILIS Penyakit ini sudah jarang ditemukan. Penyebab rinitis sifilis adalah kuman Trepanoma pallidum. Pada rinitis sifilis yang primer dan sekunder gejalanya serupa dengan rinitis akut lainnya, hanya mungkin dapat terlihat adanya bercak/bintik pada mukosa. Pada rinitis sifilis tersier dapat ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama mengenai septum nasi dan dapat mengakibatkan perforasi septum. Pada pemeriksaan klinis didapatkan sekret mukopurulen yang berbau dan krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsi. Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan secara rutin.

INFEKSI HIDUNG KRONIS

JAMUR Aspergilosis. Infeksi yang disebabkan salah satu dari enam spesies Aspergillus; aspergilosis seringkali terjadi sebagai paru kronik. Namun dapat pula terjadi sebagai infeksi granulomatosa kronik pada sinius paranasalis, hidung, telinga tengah dan liang telinga. Pada pasien yang tidak berdaya atau

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


mengalami imunosuppresi, dapat terjadi infeksi hidung atau sinus akut. Secret mukopurulent khas berwarna hijau kecoklatan. Karena oganisme dapat merupakan bagian dari flora normal orofaring,maka pengambilan sample jaringan harus dalam keadaan yang steril agar biakan dapat mempunyai nilai diagnostic. Aspergilosis kronik, non-invasif diobati dengan debridement dan anti jamur topical.pada bentuk yang akut, dan mengancam nyawa, terapi terpilihadalah debridement dan anti jamur sistemik termasuk amfoterisin-B. Mukormikosis. Mukormikosis adalah infeksi oportunistik yang ganas, disebabkan oleh anggota Ordo Mucorales, terutama Rhizopus oryzae yang ditemukan ditanah, rabuk, buah-buahan dan makanan berkanji. Keadaan dimana organism ini menjadi patogenik pada manusia (jarang) yaitu pada penderita asidosis diabetic, atau yang lebih jarang pada kondisi tidak berdaya atau imunosupresi lainnya. Inhalasi mikroorganisme menyebabkan inkokulasi pada konka nasalis dan atau sinus etmoidalis, selanjutnya menyebar sepanjang pembuluh darah kedaerah retro orbita dan serebrum. Pasien datang dengan nyeri kepala, demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinus paranasalis, dan secret hidung yang pekat, gelap dan berdarah.sindroma ini dicirikan oleh suatu konka yag khas berwarna hitam atau merah bata. Hifa tidak bersekat dapat terlihat dengan mikroskop. Pengobatan terdiri dari pemberian segera amfoterisin-B intravena atau bahkan intratekal, debridement jaringan nekrotik, dan penanganan kondisi primernya. Kandida. Candida, bersama dengan histoplasmosis, coxidiodomikosis, sporotrikosis,

serokosporamikosis dan blastomikosis jarang menyerang hidung.

BAKTERI Keterlibatan hidung pada penyakit-penyakit berikut ini sebagai bagian dari penyakit-penyakit sistemik. Tuberculosis. Meskipun tuberculosis primer pada hidung jarang di amerika serikat, namun keterlibatan hidung kadang-kadang dapat ditemukan pada pasien dengan tuberculosis paru aktif. Diagnosis dimulai dengan radiogram dada. Jika negative, dapat dilakukan sediaan apus dan biakan dari sputum dan secret hidung yang ikut dibiopsi. Jika specimen-specimen ini positif atau Mycobacterium tubercolosis, maka suatu rangkaian pengobatan anti tuberculosis yang tepat harus diberikan. Lepra. Lebih umum di Negara-negara tropis, namun ditemukan pula di amerika serikat, terutama di texas, Hawaii, California, lucianna, florida dan ney York. Dengan perkembanganyang mirip rhinoscleroma, hidung dapat merupakan tempat infeksi primer atau menjadi bagian dari penyakit sistemik. Gejala awal berupa sumbatan, pembentukan krusta dan perdarahan krusta. Saluran pernafasan atas lebih sering terlibat dalam bentuk lepromatousa daripada bentuk tuberculoid atau bentuk dimorfus dari lepra. Mycobacterium leprae selalu melibatkan hidung sebelum menyebar ke faring dan laring. Rhynoscleroma. Rhinoscleroma adalah penyakit granulomatosa hidung yang endemic di eropa selatan dan tengah dan beberapa daerah asia. Walaupun sebelumnya jarang ditemukan di amerika serikat,

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


namun insidens rhynoscleroma telah meningkat di daerah barat dan barat daya. Gangguan yang disebabkan oleh Klebsiella rhynoslceromatosis, ini terutama melibatkan hidung namun kemudian dapat meluas ke daerah pernafasanatas termasuk laring. Penyakit berjalan lambat, dimulai sebagai rekasi radang akut dini dengan rhynorea purulent yang berbau busuk. Selanjutnya terbentuk krusta hidung dan nodulanodula keras, tumbuh lambat dan tidak peka, yang akhirnya dapat menyumbat hidung. Hidung bawah dan bibir atas menjadi menonjol bila tidak diobati, menimbulkan deformitas yang luas. Diagnosis berdasarkan perjalanan klinis dan pemeriksaan patologi specimen yang memperlihatkan sel Mikulicz yang khas dan bakteri berbentuk batang dalam sitoplasma. Juga ditemukan granuloma dan fibrosis.perlu diberikan terapi antibiotic. Tindakan bedah hanya diindikasikan untuk memperbaiki jaringan parut berat yang terbentuk.

RHINITIS CHRONICA-ATROFICANS NON FOETIDA

Ada dua jenis yaitu

1. Foetida (Ozaena) 2. Non Foetida

Penyebabnya diduga karena cavum nasi terlalu lebar/luas, misalnya setelah 1. conchotomi yang berlebihan misalnya R.H 2. Exrractie polyp, pada polyp yang sangat besar atau multiple/banyak 3. Radiasi Perbedaan dengan ozaea ialah pada penyakit ini tidak ada gejala anosmia dan secret tidak berbau.

RHINITIS CHRONICA ATROFICANS OZENA

ETIOLOGI Sampai saat ini belum diketahui

FAKTOR PREDISPOSISI 1. Infeksi Coccobacillus ozaenae dan Klebsiella ozaenae 2. Herediter 3. Malnutrisi/avitaminosis A 4. gangguan horamonal pada wanita muda 5. Deficiensy Fe Saaat ini factor-faktor ini dianggap tidak berdiri sendiri-sendiri, tapi bersama-sama menimbulkan dan menyebabkan penyakit ini.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


PATOLOGI Histology rhinitis chronica atroficans ini ditandai adanya endarteritis dan periateritis arterioles lumen menebal obliterasi/menutup atrofi mukosa concha nasi, kelenjar dan saraf.

INSIDENS Banyak ditemukan pada wanita muda/pubertas. Wanita laki-laki 5:1

GEJALA DAN TANDA 1. keluhan utama hawa nafas berbau (foetor nasi) yang dirasakan oleh orang-orang sekitarny, sedangkan penderita sendiri tidak membau. Sebab ada anosmia. 2. hidung buntu (obstruksi nasi) karena banyak crustae (secret yang kering) dalam cavum nasi dan gangguan aliran udara (aerodinamika/aerodynamic) 3. faring (tenggorok) terasa kering. R.A cavum nasi tampai luas oleh karena atrofi mukosa cavum nasi mukosa tampak licin, sekre kental, crustae kering hijau kehitaman. Bau busuk karena pembusuka protein dalam secret/krustae.

DIAGNOSA BANDING Perlu dibedakan dengan sinusitis maksilaris chronica karena sama-sama ada feoteo nasi, tetapi pada sinusitis maksilaris chronica biasanya unilateral, choncae nasi oedem dan hyperemi, cavum nasi justru sempit.

TERAPI Karena penyebabkan belum jelas, maka pengobatan ditujukan pada faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab 1. INH 1 x 400 mg 2. Vitamin A 150.000 -200.000 U 3. Estrogen 4. Preparat Fe

RHINITIS DIPHTHERICA

DEFINISI Radang akut yang spesifik mukosa cavum nasi dengan coryne bacterium diphtherica, khas ditandai dengan pembentukan pseudomembran

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


ETIOLOGI Di sebabkan Corynebacterium diphteriae, dapat terjadi primer pada hidunga atau sekunder dari tenggorok, dapat ditemukan dalam keadaan akut atau kronik.

GAMBARAN KLINIK Keluhan: Pilek campur darah (secret hemoragis) Demam Toksemia Limfanedinitis Kadan terdapat paralisis otot pernapasan Pemeriksaan: pseudomembran dalam mukosa cavum nasi melekat pada mukosa (tampak pada concha inferior, septum bagian depan, dasar cavum nasi bagian depan) bila dilepas mudah berdarah. Kadang-kadang berbau busuk (nekrosis mukosa)

Diagnosa Pasti Hapusan secret hidung (nose swab) dikultur untuk mengetahui jenis bakteri

DIAGNOSA BANDING 1. Corpus alicnum cavum nasi secret hidung hemoragis biasanya unilateral 2. ADS 20.000 IU 3. Dermatitis Vestibulum nasi/kebiasaan anak korek-korek hidung.

TERAPI 1. Isolasi 2. Antibiotik penicillin procain 300.000 sampai 600.000 IU selama 10 hari.

KOMPLIKASI DAN PROGNOSA Prognosa umumnya baik karena lymphe cavum nasi sedikti sehingga toksin tidak menyebar (komplikasi dan gejala umum tidak ada) Kerugian : Dapat menyebar ke nasofaring-faring-laring (periksa faring tiap hari) karena gejala

ringan, tidak berobat, tidak mau masuk rumah sakit (isolasi) berbahaya menular pada orang lain.

RINITIS ALERGI

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


PENDAHULUAN Rinitis alergi adalah peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi peradangan yang diperantarai IgE, ditandai dengan obstruksi hidung, sekret hidung cair, bersin-bersin, dan gatal pada hidung dan mata. Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10 25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir. Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi 40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas hidup, bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi, rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat keparahan rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup seseorang. Diagnosis rinitis alergi melibatkan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang cermat, lokal dan sistemik khususnya saluran nafas bawah.

DEFINISI Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(1)

KLASIFIKASI Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial) Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya. Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu 2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu 2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas(1,7)

ETIOLOGI

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Penyebab rinitis alergi berbeda-beda bergantung pada apakah gejalanya musiman, perenial, ataupun sporadik/episodik. Beberapa pasien sensitif pada alergen multipel, dan mungkin mendapat rinitis alergi perenial dengan eksaserbasi musiman. Ketika alergi makanan dapat menyebabkan rinitis, khususnya pada anak-anak, hal tersebut ternyata jarang menyebabkan rinitis alergi karena tidak adanya gejala kulit dan gastrointestinal. Untuk rinitis alergi musiman, pencetusnya biasanya serbuksari (pollen) dan spora jamur. Sedangkan untuk rinitis alergi perenial pencetusnya bulu binatang, kecoa, tikus, tungau, kasur kapuk, selimut, karpet, sofa, tumpukan baju dan buku-buku. Alergen inhalan selalu menjadi penyebab. Serbuksari dari pohon dan rumput, spora jamur, debu rumah, debris dari serangga atau tungau rumah adalah penyebab yang sering. Alergi makanan jarang menjadi penyebab yang penting. Predisposisi genetik memainkan bagian penting. Kemungkinan berkembangnya alergi pada anak-anak adalah masingmasing 20% dan 47%, jika satu atau kedua orang tua menderita alergi.

PATOFISIOLOGI Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu : 1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif seperti histamin. 2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.(1,3)

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Kompleks antigen yang telah diproses dipresentasikan pada sel T helper (Th0). APC melepaskan sitokin seperti IL1 yang akan mengaktifkan Th0 ubtuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan mediator yang tersensitisasi. Bila

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin.(1) Rinitis Alergi melibatkan membran mukosa hidung, mata, tuba eustachii, telinga tengah, sinus dan faring. Hidung selalu terlibat, dan organ-organ lain dipengaruhi secara individual. Peradangan dari mukosa membran ditandai dengan interaksi kompleks mediator inflamasi namun pada akhirnya dicetuskan oleh IgE yang diperantarai oleh respon protein ekstrinsik.(6) Kecenderungan munculnya alergi, atau diperantarai IgE, reaksi-reaksi pada alergen ekstrinsik (protein yang mampu menimbulkan reaksi alergi) memiliki komponen genetik. Pada individu yang rentan, terpapar pada protein asing tertentu mengarah pada sensitisasi alergi, yang ditandai dengan pembentukan IgE spesifik untuk melawan protein-protein tersebut. IgE khusus ini menyelubungi permukaan sel mast, yang muncul pada mukosa hidung. Ketika protein spesifik (misal biji serbuksari khusus) terhirup ke dalam hidung, protein dapat berikatan dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan pelepasan segera dan lambat dari sejumlah mediator. Mediator-mediator yang dilepaskan segera termasuk histamin, triptase, kimase, kinin dan heparin. Sel mast dengan cepat mensitesis mediator-mediator lain, termasuk leukotrien dan prostaglandin D2. Mediator-mediator ini, melalui interaksi beragam, pada akhirnya menimbulkan gejala rinore (termasuk hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal, kemerahan, menangis, pembengkakan, tekanan telinga dan post nasal drip). Kelenjar mukosa dirangsang, menyebabkan peningkatan sekresi. Permeabilitas vaskuler meningkat, menimbulkan eksudasi plasma. Terjadi vasodilatasi yang menyebabkan kongesti dan tekanan. Persarafan sensoris terangsang yang menyebabkan bersin dan gatal. Semua hal tersebut dapat muncul dalam hitungan menit; karenanya reaksi ini dikenal dengan fase reaksi awal atau segera Setelah 4-8 jam, mediator-mediator ini, melalui kompetisi interaksi kompleks, menyebabkan pengambilan sel-sel peradangan lain ke mukosa, seperti neutrofil, eosinofil, limfosit dan makrofag. Hasil pada peradangan lanjut, disebut respon fase lambat. Gejala-gejala pada respon fase lambat mirip dengan gejala pada respon fase awal, namun bersin dan gatal berkurang, rasa tersumbat bertambah dan produksi mukus mulai muncul. Respon fase lambat ini dapat bertahan selama beberapa jam sampai beberapa hari. Sebagai ringkasan, pada rinitis alergi, antigen merangsang epitel respirasi hidung yang sensitif, dan merangsang produksi antibodi yaitu IgE. Sintesis IgE terjadi dalam jaringan limfoid dan dihasilkan oleh sel plasma. Interaksi antibodi IgE dan antigen ini terjadi pada sel mast dan menyebabkan pelepasan mediator farmakologi yang menimbulkan dilatasi vaskular, sekresi kelenjar dan kontraksi otot polos. Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan lesu, dapat muncul dari respon peradangan. Gejala-gejala ini sering menambah perburukan kualitas hidup. Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas :

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel, bulu binatang. 2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang. 3. Alergen injektan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa. 4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

GEJALA KLINIK Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Seorang anak dengan rinitis alergi perenial dapat memperlihatkan semua ciri-ciri bernafas mellaui mulut yang lama yang terlihat sebagai hiperplasia adenoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara.(1,3,7) Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.(6,8,9,10) DIAGNOSIS(1,7) Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan : Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Pemeriksaan rinoskopi anterior Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. 1. Pemeriksaan naso endoskopi 2. Pemeriksaan sitologi hidung Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil 5 sel/lap mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. Hitung eosinofil dalam darah tepi Dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked Immuno Sorbent Assay) Uji kulit Untuk mencari alergen penyebab secara invivo. Jenisnya skin end-point tetration/SET (uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri), prick test (uji cukit), scratch test (uji gores), challenge test (diet eliminasi dan provokasi) khusus untuk alergi makanan (ingestan alergen) dan provocative neutralization test atau intracutaneus provocative food test (IPFT) untuk alergi makanan (ingestan alergen) PENATALAKSANAAN(1,3,7) 1. Hindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Keduanya merupakan terapi paling ideal. Eliminasi untuk alergen ingestan (alergi makanan) 2. Simtomatis. Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik, kortikosteroid dan sodium kromoglikat. 3. Operatif. Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior yang mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. 4. Imunoterapi. Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat dikompromi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga meningkatkan titer antibodi IgG spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi. Desensitisasi dan hiposensitisasi membentuk

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan.(1,3,7)

KOMPLIKASI 1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung. 2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. 3. Sinusitis paranasal. 4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama khususnya pada anakanak. 5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar mendapat asma bronkial.(1,3,7,8)

PROGNOSIS Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya pada anakanak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang menjadi kurang sensitif pada alergen.(9)

RHINITIS ALERGI 1. Definisi Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,1986).

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E.

2. Etiologi Berdasarkan cara masuknya alergen penyebab rhinitis alergi ini yaitu : a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan. Seperti tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatanh, rerumputan, serta jamur.

b. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna. Seperti makanan,misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, kepiting, dan kacang-kacangan. c. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan. Misalnya penisilin dan sengatan lebah. d. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa. Misalnya bahan komestik dan perhiasan.

3. Klasifikasi a. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) Rhinitis ini hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu dikenal dengan rinokonjungtivitis.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Hal ini disebabkan gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi). b. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan (pada orang dewasa) dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah dan diluar rumah. Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergen yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi WHO Initiative ARIA tahun 2001, yaitu : a. Berdasarkan sifat berlangsungnya : Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 minggu. Persisten/menetap, bila gejala lebih dari 4 minggu. b. Berdasarkan ukuran tingkat berat ringannya penyakit : Ringan, bila tidak ditemukannya gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lainnya yang mengganggu. Sedang-berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

4. Patofisiologi Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi antara lain : a. Respon primer

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen. Reaksi ini bersifat bon spesifik. Bila antigen tidak berhasil seluruhnya dihilangkan reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. b. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan yaitu sistem imunitas seluler atau hormonal atau keduannya dibangkitkan. Bila antigen berhasil dieliminasi maka reaksi selesai. Namun bila antigen masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik maka reaksi ini berlanjtu menjadi respon tertier. c. Respon tertier Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap tergantung daya eliminasi antigen oleh tubuh.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu : 1. Reaksi anafilaksis 2. Reaksi sitotoksik 3. Reaksi kompleks imun 4. Reaksi tuberculin

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi atau tahap alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu : Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) Reaksi ini berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya. Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai APC akan menagkap allergen yang menempel dipermukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptide MHC kelas IIyang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian APC akan melepaskan sitokin seperti IL 1 yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4,IL 5, dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan memproduksi immunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah masuk menuju jaringan dan diikat oleh reseptor IgE dipermukaan sel manosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadilah degranulasi mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yaitu histamine. Selain histamine dikeluarkan jufga mediator lainya seperti Leukotrien D4, Prostaglandin D2, Leukotrien C4, bradikinin, dan berbagai sitokin.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Selain itu menyebabkan kelenjar mucus dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.

Pada RAFC, sel mastosit akan melepaskan molekul kemotatik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Repon ini akan tetap berjalan dengan gejala yang akan berlangsung dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) Reaksi ini berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan berlangsung sampai 24-48 jam. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4, Il 5, dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor, dan ICAM 1 pada secret hidung.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase iniselain factor spesifik, iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

5. Gambaran Histologik Secara nikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukannya infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Gambaran tersebut terdapat pada saat serangan. Diluar keadaaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi secara terus menerus sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel yaitu proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa sehingga tampak mukosa hidung menebal. 6. Diagnosa a. Anamnesa Anamnesa sangatlah penting. Hamper 50% diagnose dapat ditegakan dari anamnesa saja. Gejala khas dari rhinitis alergi ini adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang pada RAFL. Gejala lain adalah keluar rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidug dan mata gatal, kadang disertai dengan banyak air mata yang keluar. b. Pemeriksaan Fisik Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Pemeriksaan nasoendoskopi bias dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lainnya pada anak yaitu terdapat bayangan gelap di daerah bawah mata karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung (allergic shiner).

Selain itu akan tampak anak menggosok-gosok hidungnya dengan punggung tangan dikarenakan gatal (allergic salute). Keadaan menggosok hidung ini kelamaan akan mengakibatkan timbul garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah (allergic crease). Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi sehingga menyebabkan

gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). c. Pemeriksaan Penunjang

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


In vitro Hitung eosinofil dalam darah tepi yang dapat meningkat atau normal. Begitu pula dilakukan pemeriksaan IgE yang sering kali menunjukan nilai normal kecuali bila ada tanda alergi lebih dari satu macam penyakit. Pemeriksaan berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.

Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukan kemungkinan alergi inhalan. Namun jika basofil > 5 sel / ppl mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN akan menunjukan adanya infeksi bakteri. In vivo Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukil kulit, uji intrakutan yang tunggal atau berseri ( SET / Skin End-point Titration). SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Untuk alergi makanan, uji kulit yang dilakukan yaitu Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai gold standar yaitu dengan diet eliminasi dan provokasi

7. Penatalaksanaan a. Terapi ideal yaitu dengan menghindari kontak dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya dan eliminasi. b. Medikamentosa Antihistamin yang digunakan yaitu antagonis histamine H-1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Antihistamin dibagi menjadi 2 golongan yaitu : i. Golongan antihistamin generasi 1 Bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok obat ini yaitu difenhidramin, prometasin dan klorferinamin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. ii. Golongan antihistamin generasi 2 Bersifat lifopobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Selain itu bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek kolinergik, antiadrenergik, dan efek pada SSP minimal. Golongan ini dibagi menjadi 2 kelompok yaitu : Kelompok pertama, astemisol dan terfenadin yang punya efek kardiotoksik. Kelompok kedua, loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


c. Operatif Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25%. d. Imunoterapi Dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 cara yang dilakukan yaitu intradermal dan sublingual

8. Komplikasi Komplikasi rhinitis alergi yang sering antara lain : a. Polip Hidung Beberapa penelitian mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu factor penyebab terbentuknya Polip hidung dan kekambuhan polip hidung. b. Otitis Media Efusi yang sangat residif, terutama pada anak-anak. c. Sinusitis Paranasal \ RINITIS VASOMOTOR

Gangguan vasomotor hidung ialah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang tdisebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimaptis. Kelainan ini mempunyai gejala mirip dengan rhinitis alergi. Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan fungsi vasomotor. Oleh karena itu kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh, atau vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, atau juga non specific allergic rhinitis. Saraf otonom mokosa hidung berasal dari n. vidianus yang mengandung serat saraf simpatis dan serat saraf parasimpatis. Rangsangan pada saraf parasimpatis menyebabkan dilatasi pembuluh dalam konka serta meningkatkan permeabilitas kapiler dan sekresi kelenjar. Sedangkan rangsangan pada serat saraf simpatis menyebabkan efek sebaliknya. Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belum diketahui dengan pasti, tetapi hipotalamus bertindak sebagai penerima impuls eferen, termasuk rangsangan emosional dari pusat yang lebih tinggi. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti eomsi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Pada pasien rhinitis vasomotor, mekanisme pengaturan ini hiperaktif dan cenderung saraf parasimpatis lebih aktif.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor 1. Oabt-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazine, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal. 2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang. 3. Fator endokrin, seperti kehamilan, pubertas, pemakaian pil kontrasepsi dan hipotiroidisme. 4. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang.

PATOFISIOLOGI Beberapa hipotesis telah dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi rinitis vasomotor : 1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom) Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2, menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-transmiter nonadrenalin dan neuropeptida Y yang menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai "siklus nasi". Dengan adanya siklus ini, seseorang akan mampu untuk dapat bernafas dengan tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya. Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju ganglion sfenopalatina superior menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk n.Vidianus, kemudian menginervasi pembuluh darahdan terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmiter asetilkolin dan vasoaktif intestinal paptida yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung. Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belumlah diketahui dengan pasti, tetapi mungkin hipotalamus bertindak sebagai pusat penerima impuls eferen, teermasuk rangsangan emosional dari pusat yang lebih tinggi. Dalam keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih dominan. Rhinitis vasomotor diduga sebagai akibat dari ketidakseimbangan impuls saraf otonom dimukosa hidung yang berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis. 2. Neuropeptida Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensori serabut C di hidung. Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan peningkatan pelepasan neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-related protein

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar. Keadaan ini menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hiper-reaktifitas hidung. 3. Nitrik Oksida Kadar nitrik oksida (NO)yang tinggi dan persisten dilapisan epitel hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan non spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub epitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment refleks vaskular dan kelenjar mukosa hidung. 4. Trauma Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan/atau neuropeptida.

GEJALA KLINIS Untuk memahami gejala yang timbul pada rhinitis vasomotor perlu diketahui apa yang dimaksud siklus nasi, yaitu kemampuan untuk dapat bernafas dengan tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya

Gejala yang didapat pada rhinitis vasomotor adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Selaian itu terdapat rinorea yang mucus atau serus, kadang-kadang agak banyak. Keluhan ini jarang disertai dengan bersin, dan tidak terdapat rasa gatal di mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan, yaitu : 1. Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topical 2. Golongan rhinorea (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik topikal.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


3. Golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor oral. Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinorea. Oleh karena golongan rinorea mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk menegakkan diagnosanya.

DIAGNOSA Dalam anamnesis dicari faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor, dan disingkirkan kemungkinan rhinitis alergi. Pada pemerikasaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau berwarna merah tua (karakteristik), tetapi dapat pula pucat. Hal ini dapat dibedakan dengan rhinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol (tidak rata). Pada rongga hidung terdapat secret mukoid, biasanya sedikit. Tetapi pada golongan rinorea sekret yang ditemukan ialah serosa dan banyak jumlahnya. Pemerikasaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi. Kadangkadang ditemukan eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes kulit biasanya ngatif. Bila pada tes ini hasilnya positif, biasanya hanya kebetulan.

TERAPI Pengobatan pada rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung pada faktor penyebab dan gejala yang menonjol.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam: 1. Menghindari penyebab 2. Pengobatan simtomatis, dengan obat-obatan dekongestan oral, diatermi, kauterisasi konka yang hipetrofi dengan memakai larutan AgNO3 25% atau triklorasetat pekat. Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal, misalnya budesonid, dua kali sehari dengan dosis 100-200 mikrogram sehari. Dosisi dapat ditingkatkan sampai 400 mikrogra sehari. Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Saat ini terdapat kortikosteroid topikal baru dalam larutan aqua seperti flutikason propionate dengan pemakaian cukup 1x / hari dengan dosis 200 mcg. 3. Operasi, dengan cara bedah-beku, elektrokauter atau konkotomi konka inferior. 4. Neurektomi n. vidianus , yaitu pemotongan n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi ini tidak mudah, dapat menimbulkan komplikasi seperti sinusitis, diplopia, buta, gangguan lakrimalis, neuralgia, atau anastesi infra orbita dan anestesi palatum

RINITIS MEDIKAMENTOSA 1. Definisi Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan respons normal vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal (obat tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Istilah rhinitis mendikamentosa ini pertama kali dikenalkan oleh Lake pada tahun 1946. Rhinitis medikamentosa dikenal juga dengan rebound atau rhinitis kimia karena menggambarkan kongesti mukosa hidung yang diakibatkan penggunaan vasokontriksi topikal yang berlebihan. Obat-obatan lain yang bisa mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah antagonis -adrenoreseptor oral, inhibitor fosfodiester, kontrasepsi pil, dan antihipertensi. Tetapi mekanisme terjadinya kongesti antara vasokontriktor hidung dengan obat-obat di atas berbeda sehingga istilah rhinitis medikamentosa hanya untuk rhinitis yang disebabkan oleh penggunaan vasokontiktor topikal sedangkan yang disebabkan oleh obat-obat oral dinamakan rhinitis yang dicetuskan oleh obat (drug induced rhinitis). Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan sehingga dalam penggunaan vasokontriktor topikal harus berhati-hati. Vasokontriktor hidung diisolasi pertama kali pada tahun 1887 dari ma-huang yaitu tanaman yang mengandung ephedrine dan digunakan sebagai vasokontriktor topikal pada mukosa hidung dalam bentuk inhalasi, minyak, semprot dan tetes. Vasokontriktor topikal yang digunakan sebaiknya yang isotonik dengan sekret yang normal, pH antara 6,3 sampai 6,5 serta

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


pemakaiannya tidak lebih dari satu minggu sehingga rhinitis medikamentosa dapat dicegah. 2. Etiologi Drug abuse (pemakaian obat topikal hidung yg lama dan berlebihan). 3. Patofisiologi Mukosa hidung adalah organ yang peka rangsang. Pemakaian obat topikal yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) dan menyebabkan obstruksi. Dengan adanya gejala ini, pasien cenderung akan menggunakan vasokonstriktor lebih banyak lagi, dan hal serupa akan timbul kembali dan semakin menjadi. Sehingga lama kelamaan akan terjadi penambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret yang berlebihan. 4. Diagnosis a. Anamnesa hidung tersumbat terus-menerus dan berair b. Pemeriksaan Rhinoskopi anterior : konka edema (hipertrofi), sekret hidung yang berlebihan

Tes adrenalin : negatif (edema konka tidak berkurang)

5. Penatalaksanaan a. Hentikan pemakaian obat tetes /semprot hidung b. Untuk mengatasi sumbatan hidung berulang (rebound congestion) berikan kortikosteroid secara tappering off dengan penurunan dosis sebanyak 5mg/hari c. Dekongestan oral : pseudoefedrine

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

d. Operatif bila tidak ada perbaikan selama 3 minggu : cauterisasi konka inferior, conchotomi concha inferior

4. Sinusitis ( maksilaris, frontalis)


PENYAKIT SINUS PARANASALIS PENYAKIT RADANG SINUS Sinusitis Infeksiosa Pandangan Umum Prinsip utama dalam menangani infeksi sinus adalah menyadari bahwa hidung dan sinus paranasalis hanyalah sebagian dari system pernafasan total. Penyakit yang menyerang bronkus dan paruparu dapat juga menyerang hidung dan sinus paranasalis. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan proses infeksi, seluruh saluran napas dengan perluasan anatomi harus dianggap sebagai suatu kesatuan. Infeksi mula-mula dapat menyerang seluruh system pernafasan, namun dalam derajat yang berbeda-beda, dan perubahan patologik dan kondisi klinis yang ditimbulkannya, tergantung pada predominasi infeksi pada daerah tertentu, sehingga timbul sinusitis, laryngitis, pneumonitis dan seterusnya. Hubungan antara saluran pernafasan atas dan bawah menyebabkan apa yang disebut sebagai sindrom sinobronkial. Penting untuk diingat bahwa, masing-masing sinus berkembang pada masa kanak-kanak, remaja, dan kemudian sinus tersebut menjadi rentan infeksi. Sinus maksilaris dan etmoidalis sudah terbentuk sejak lahir, dan biasanya hanya kedua sinus ini terlibat dalam sinusitis pada masa kanak-kanak. Sinus frontalis mulai berkembang dari sinus etmoidalis anterior pada usia sekitar 8 tahun dan menjadi penting secara klinis menjelang usia 12 tahun, terus berkembang hingga usia 25 tahun. Sinusitis frontalis akut biasanya terjadi pada dewasa muda. Pada sekitar 20 persen populasi, sinus frontalis tidak ditemukan atau rudimenter, dan karenanya tidak mempunyai makna klinis. Sinus spenoidalis mulai mengalami

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


pneumatisasi sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau awal dua puluhan. Berbagai faktor fisik, kimia, saraf, hormonal dan emosional dapat mempengaruhi mukosa hidung, dengan demikian juga mukosa sinus. Secara umum, sinusitis kronik lebih lazim pada iklim yang dingin dan basah. Defisiensi gizi, kelemahan, tubuh yang tidak bugar, dan berbagai penyakit sistemik umum perlu dipertimbangkan dalam etiologi sinusitis. Perubahan dalam factor lingkungan, misalnya panas, dingin, kelembapan, kekeringan, asap rokok, merupakan factor predisposisi infeksi. Perlu juga ditambahkan factor predisposisi terhadap infeksi sebelumnya, misalnya common cold. Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur. 1. Virus Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas; virus yang sering menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang sinus. Karena mukosa sinus merupakan kelanjutan dari mukosa hidung, dan penyakit yang menyerang hidung dapat juga menyerang sinus. 2. Bakteri Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus menciptakan suatu lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini, sering kali melibatkan lebih dari satu bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama dengan otitis media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun adalah : Streptococus pneumonia, Haemophilus influenza, bakteri anaerob, Branhamella catarralis, Streptococcus alfa, staphylococcus aureus dan streptococcus pyrogenes. Selama satu fase akut sinusitis kronik dapat disebabkan oleh bakteri yang sama dengan sinusitis akut. Namun, sinusitis kronik biasanya berkaitan dengan drainase yang tidak adekuat maupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung opportunistic, dimana proporsi terbesar merupakan bakteri anaerob.

SINUSITIS AKUT 1. Sinusitis Maksilaris Sinusitis maksilaris akut, biasanya menyusul suatu infeksi saluran napas atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, deviasi septum nasi merupakan factor predisposisi local yang paling sering ditemukan. Deformitas rahang-wajah, terutama palatoskisis, dapat menimbulkan masalah pada anak. Anak-anak cenderung menderita infeksi nasofaring atau sinus kronik dengan angka insidens yang lebih tinggi. Sedangkan gangguan geligi bertanggung jawab atas sekitar 10% infeksi maksilaris akut.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Gejala Demam, malaise, dan nyeri kepala yang tidak jelas. Yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Keluarnya secret mukopurulen dari hidung, dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif nonproduktif seringkali ada.

Diagnosis 1. Pemeriksaan Fisik : Adanya pus dalam hidung, yang asalnya dari meatus media. Atau pus mukopurulen dari nasofaring. Sinus maksilaris terasa nyeri saat di perkusi atau palpasi Transiluminasi berkurang, karena sinus terisi cairan

Sinusitis maksilaris dengan pus yang keluar dekat konka media dan masuk kedalam meatus media

Gambaran Radiologi :

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Awal : berupa penebalan mukosa sinus, selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap, akibat mukosa yang membengkak hebat atau akumulasi cairan yang mengisi sinus dan terbentuknya airfluid level pada foto tegak sinus maksilaris.

Gambaran radiografi sinus maksilaris menunjukkan air fluid level karena infeksi akut dan kronik sinus maksilaris

Gambaran Ct-scan sinus maksilaris dan etmoidalis menunjukkan opasitas karena infeksi

Pemeriksaan Laboratorium : Hitung darah lengkap Apusan hidung , yang diambil dari sinus maksilaris atau dari bagian posterior hidung dan nasofaring.

Penatalaksanaan : Antibiotic spectrum luas : amoksisilin, ampisilin, eritromisin plus sulfonamide, sefalosporin, sefuroksim dan trimetropin plus sulfonamide. Dekongestan : pseudoefedrin, tetes hidung (fenilefrin), oksimetazoline. Analgetik dan antipiretik ( parasetamol ) Kompres hangat pada wajah Pasien biasanya akan memperlihatkan tanda-tanda perbaikan dalam dua hari dan proses penyakitnya akan menyembuh dalam 10 hari. Kegagalan penyembuhan pada suatu terapi aktif mungkin menunjukkan organism tidak peka lagi terhadap antibiotic, atau antibiotic gagal mencapai

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


lokasi infeksi. Pada keadaan ini, ostium sinus mengalami edematosa sehingga drainase sinus terhambat dan terbentuk suatu abses. Dan harus dilakukan drainase / irigasi segera. Dengan irigasi antrum, melalui insersi trokar di bawah konka inferior, setelah sebelumnya dilakukan kokainisiasi membrane mukosa. Jalur alternative adalah melalui pendekatan sublabial dimana jarum ditusukkan lewat celah bukalis gusi menembus fosa insisiva. Kemudian larutan salin hangat dialirkan ke dalam antrum maksilaris melalui jalur ini, dan pus didorong keluar melalui ostium alami.

Sinusitis maksilaris dengan asal Geligi Bentuk Penyakit geligi-maksilaris yang kusus bertanggung jawab pada 10% kasus sinusitis yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar pertama, dimana sepotong kecil tulang diantara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat. Infeksi gigi lainnya seperti abses apical atau penyakit periodontal dapat menimbulkan kondisi serupa. Gambaran bakteriostatik sinusitis berasal dari geligi , didominasi oleh infeksi bakteri gram negative. Karena itulah infeksi ini menyebabkan pus yang berbau busuk dan akibatnya tibul bau busuk dari hidung. Prinsip terapi adalah pemberian antibiotic, irigasi sinus dan koreksi gangguan geligi.

Faktor predisposisi lokal Yang menyebabkan sinusitis maksilaris akut adalah suatu benda asing dalam hidung dan deviasi septum nasi. Penganggkatan benda asing merupakan keharusan, dan koreksi bedah septum nasi yang berdeviasi dilakukan setelah fase akut sembuh sempurna. Karena sinusitis dapat terjadi setelah pemasangan tampon hidung untuk menggatasi epistaksis, maka diperlukan antibiotic profilaksis pada setiap pemasangan tampon hidung. Fraktur wajah dapat menggangu drainase fisiologis normal dari sinus dan menyebabkan infeksi. Barotrauma menyebabkan edema mukosa dan oklusi ostium sinus, sehingga terjadi akumulasi secret sinus yang diikuti infeksi.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Sinusitis Maksilaris Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul suatu infeksi saluran nafas atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum merupakan predisposisinya. Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada perkusi dan palpasi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif nonproduktif seringkali ada. Pemeriksaan fisik didapatkan adanya pus dalam hidung, biasanya dari meatus media, atau pus dalam nasofaring sinus maksilaris terasa nyeri pada perkusi dan palpasi.

Transiluminasi berkurang bila sinus penuh cairan. Gambaran radiologik berupa penebalan mukosa, diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat, atau akibat akumulasi cairan. Terbentuk gambaran air-fluid lefel yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto tegak sinus maksilaris. Oleh karena itu, radiogram sinus harus dibuat dalam posisi telentang dan possi tegak.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Suatu biakan dari bagian posterior hidung atau nasofaring akan jauh lebih akurat daripada anterior, namun secara tehnis sulit diambil.

Sinusitis maksilaris akut umumnya diterapi dengan antibiotik spektrum luas seperti amoksisilin, ampisilin atau eritromisin plus sulfonamid, dengan alternatif lain berupa amoksisilin/klavulanat,sefaklor, serufoksim, dan trimetoprim plus sulfonamid. Dekongestan seperti pseudoefedrin juga bermanfaat, dan tetes hidung poten seperti fenilefrin (neoSynephrine) atau oksimetazolin dapat dgunakan selama beberapa hari pertama infeksi namun kemudian harus dihentikan. Kompres hangat pada wajah dan analgetik seperti aspirin dan asetaminofen dapat meringankan gejala. Pasien biasanya memperlihatkan tanda-tanda perbaikan dalam 2 hari, dan proses penyakit biasanya menyembuh dalam 10 hari, kendatipun konfirmasi radiologik dalam hal kesembuhan total memerlukan waktu 2 minggu atau lebih.

Kegagalan penyembuhan dengan suatu terapi aktif mungkin menunjukkan organisme tidak lagi peka terhadap antibiotik atau antibiotik tersebut gagal mencapa lokulasi infeksi. Pada kasus demikian, ostium sinus dapat sedemikan edematous sehingga drainase sinua terhambat dan terbentuk suatu abses sejati.

Bila demikian, terdapat suatu indikasi irigasi antrum segera. Jalur insersi trokar pada irigasi antrum maksilaris biasanya di bawah konka inferior, setelah sebelumnya dilakukan kokinisasi membran mukosa. Jalur alternatif adalah melalui pendekatan sublabial dimana jarum ditusukkan lewat celah bukalis menembus fosa insisiva. Kemudian larutan salin hangat dialirkan ke dalam antrum maksilaris melalui jalur ini, dan pus akan didorong keluar melalui ostium alami.

Sinusitis Etmoidalis Sinus etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara mata serta sakit kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri bila pinggiran hidung di tekan, berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.

Pada dewasa, seringkali bersama-sama dengan sinus maksilaris, serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan. Gejala berupa nyeri dan nyeri tekan diantara kedua mata dan di atas jembatan hidung, drainase dan sumbatan hidung. Pada anak, dinding alteral labirin etmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Pengobatan sinusitis etmoidalis berupa pemberian antibiotik sistemik, dekongestan hidung, dan obat semprot atau tetes vasokonstriktor topikal. Ancaman terjadinya komplikasi atau perbaikan yang tidak memadai merupakan indikasi untuk etmoidektomi. Dekongestan dalam bentuk tetes hidung atau obat semprot hidung hanya boleh dipakai selama waktu yang terbatas (karena pemakaian jangka panjang bisa menyebabkan penyumbatan dan pembengkakan pada saluran hidung). Untuk mengurangi penyumbatan, pembengkakan dan peradangan bisa diberikan obat semprot hidung yang mengandung steroid. Sinusitis kronis Diberikan antibiotik dan dekongestan. Untuk mengurangi peradangan biasanya diberikan obat semprot hidung yang mengandung steroid. Jika penyakitnya berat, bisa diberikan steroid per-oral (melalui mulut).

Sinusitis Frontalis Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis anterior. Faktor predisposisi infeksi sinus frontalis akut adalah sama dengan faktor untuk infeksi sinus lainnya. Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh, dan mungkin terdapat pembengkakan supraorbita. Tanda patognomonik adalah nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi di daerah sinusitis. Transiluminasi dapat terganggu, dan radiogram sinus memastikan adanya penebalan periosteum atau kekeruhan sinus menyeluruh atau suatu air fluid lefel. Pengobatan berupa pemberian antibiotik yang tepat, dekongsetan, dan tetes hidung vasokonstriktor. Kegagalan penyembuhan segera atau timbulnya komplikasi memerlukan drainase sinus frontalis dengan teknik trepanasi.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Sinusitis Sfenoidalis Sinusitis sfenoidalis akut terisolasi amat jarang. Sinusitis ini dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.

SINUSITIS KRONIK

Perdefenisi, sinusitis kronik berlangsung selama beberapa bulan atau tahun. Gambaran patologik sinusitis kronik adalah kompleks dan irreversible. Mukosa umumnya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami deskwamasi, regenerasi, mataplasia, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi. Pembentukan mkroabses, dan jaringan granulasi bersama-sama dengan pembentukan jaringan parut. Kegagalan mengobati sinusitis akut atau berulang secara adekuat akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibat terjadinya kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan oleh karena itu menciptakan predisposisi infeksi. Sumbatan drainase dapat pula ditimbulkan perubahan struktur ostium sinus, atau oleh lesi dalam rongga hidung misalnya hipertrofi adenoid, tumor hidung dan nasofaring, atau suatu septum deviasi. Akan tetapi, faktor predisposisi nasal yang paling lazim adalah poliposisi nasal yang timbul pada rinitis alergika, polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat total ostium sinus. Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang. Gejala sinusitis kronik tidak jelas. Selama eksaserbasi akut, gejala mirip dengan sinusitis akut; namun diluar masa itu gejala berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


mukopurulen. Kadang-kadang terdapat nyeri kepala. Hidung biasanya sedikit tersumbat, dan ada gejalagejala faktor predisposisi, seperti rinitis alergika yang menetap dan keluhan yang menonjol. Batuk kronik dan laringitis ringan seringkali menyertai sinusitis kronik. Pengobatan harus berupa terapi infeksi dan faktor-faktor penyebab infeksi secara berbarengan. Disamping terapi obat-obatan yang memadai dengan antibioik dan dekongestan, juga perlu diperhatikan predisposisi kelainan obstruksi dan tiap alergi yang mungkin ada. Tindakan bedah sederhana pada sinus maksilaris kronik adalah membuat suatu lubang drainase yang memadai. Prosedur yang paling lazim adalah nasoantrostomi atau pembentukan fenestra nasoantral. Sinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada sinusitis kronik, sumber infeksi berulang cenderung berupa suatu daerah stenotik, biasanya infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis. Karena inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan dalam ruangan sempit ini, akibatnya terjadi gangguan transpor mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus. Infeksi kemudian menyebar ke sinus yang berdekatan. Karena silia sinus maksilaris menyapu ke arah ostium alami bahkan setelah suatu lubang dibuat pada meatus inferior, maka tindakan untuk memperbesar stium alami dan mengangkat jaringan anatomik yang cacat atau dengan radang menetap pada batas dasar membolehkan dengan tehnik ini, menguntungkan dalam hal dapat mengembalikan fungsi bersihan (clearence) mukosiliar normal. Keuntungan lain adalah perbaikan diagnosis, visualisasi operasi lebih jelas dan hanya sedikit mengubah anatomi normal. Kemampuan diagnostik yang lebih baik dengan endoskopi fungsional diperbesar dengan (ct scan), yang telah terbukti sebagai aset sejati dalam penilaian penyakit sinus kronik.

KOMPLIKASI SINUSITIS 1. Komplikasi orbita Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun sinus frontalis dan maksilaris juga terlertak di dekat orbita dan dapat pula menimbulkan infeksi isi orbita. Terdapat lima tahapan : a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini sering ditemukan pada anak karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus etmiodalis seringkali merekah pada kelompok umur ini. b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus bellum terbentuk.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul diantara periorbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

dan dinding tulang orbita

d. Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gersk otot ekstraokular mata yang terserang dan kemosis konjunctiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.

e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran

bakteri

melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus dimana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septik. Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari oftamoplegia, kemosis konjunctiva, gangguan penglihatan yang berat, kelemahan pasien dan tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf kranial II,III,IV, dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Pengobatan komplikasi orbita dari sinusitis berupa pemberian antibiotik intravena dosis tinggi dan pendekatan bedah khusus untuk membebaskan pus dari rongga abses . 2. Mukokel Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, etmoidalis, dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf di dekatnya.

Piokel adalah mukokel terinfeksi. Gejala piokel hampi sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Eksporasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan berpenyakit serta memastikan suatu drainase yang baik, atau obliterasi sinus merupakan prinsip-prinsip terapi. 3. Komplikasi Intrakranial Meningitis akut. Infeksi dari sinus paransalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem etmoidalis.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Abses dura. Adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium, seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga pasien mungkin hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik lain. Abses subdural adalah kumpulan pus di antara dura mater dan araknois atau permukaan otak. Gejala-gejala kondisi ini serupa dengan abses dura yaitu nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi dengan tanda-tanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah ke dalam ruang subaraknoid.

Abses otak. Setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi. Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung.

Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan araknoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea koteks serebri. Kontaminasi substansi otak dapat terjadi pada puncak suatu sinusitis supuratif yang berat, dan proses pembentukan abses otak berlanjut sekalipun penyakit pada sinus telah memasuiki tahap resolusi normal.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Oleh karena itu, kemungkinan terbentuknya abses otak perlu dipertimbangkan pada semua kasus sinusitis frontalis, etmoidalis, dan sfenoidalis supuratiif akut yang berat, yang ada fase akut dicirikan oleh sushu yang meningkat tajam dan menggigil sebagai sifat infeksi intravena.

4. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal Penyebab tersering osteomielitis dan subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila berbentuk abses subpriosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup.

POLIP HIDUNG DEFINISI Polip Hidung adalah suatu pertumbuhan dari selaput lendir hidung yang bersifat jinak. PENYEBAB Penyebab terjadinya polip tidak diketahui, tetapi beberapa polip tumbuh karena adanya pembengkakan akibat infeksi.

Polip sering ditemukan pada penderita: Rinitis alergika Asma Sinusitis kronis Fibrosis kistik.

GEJALA Polip biasanya tumbuh di daerah dimana selaput lendir membengkak akibat penimbunan cairan, seperti daerah di sekitar lubang sinus pada rongga hidung. Ketika baru terbentuk, sebuah polip tampak seperti air mata dan jika telah matang, bentuknya menyerupai buah anggur yang berwarna keabu-abuan. Polip menyebabkan penyumbatan hidung, karena itu penderita seringkali mengeluhkan adanya penurunan fungsi indera penciuman.Karena indera perasa berhubungan dengan indera penciuman, maka

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


penderita juga bisa mengalami penurunan fungsi indera perasa dan penciuman. Polip hidung juga bisa menyebabkan penyumbatan pada drainase lendir dari sinus ke hidung. Penyumbatan ini menyebabkan tertimbunnya lendir di dalam sinus. Lendir yang terlalu lama berada di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan akhirnya terjadi sinusitis. Penderita anak-anak sering bersuara sengau dan bernafas melalui mulutnya.

DIAGNOSA Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

PENGOBATAN Obat semprot hidung yang mengandung corticosteroid kadang bisa memperkecil ukuran polip atau bahkan menghilangkan polip. Pembedahan dilakukan jika: Polip menghalangi saluran pernafasan Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus Polip berhubungan dengan tumor. Polip cenderung tumbuh kembali jika penyebabnya (alergi maupun infeksi) tidak

terkontrol.Pemakaian obat semprot hidung yang mengandung corticosteroid bisa memperlambat atau mencegah kekambuhan. Tetapi jika kekambuhan ini sifatnya berat, sebaiknya dilakukan pembedahan untuk memperbaiki drainase sinus dan membuang bahan-bahan yang terinfeksi. Bila anda mengalami hidung tersumbat yang menetap dan semakin lama semakin berat ditambah dengan ingus yang selalu menetes serta gangguan fungsi penciuman, kemungkinan besar anda menderita polip hidung. Polip hidung terjadi karena munculnya jaringan lunak pada rongga hidung yang berwarna putih atau keabuan. Jaringan ini bisa diamati langsung dengan mata telanjang setelah lubang hidung diperbesar dengan alat spekulum hidung. Polip hidung biasanya menyerang orang dewasa yang kemungkinan disebabkan oleh karena reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung yang berlangsung lama. Beberapa faktor lain yang meningkatkan kemungkinan terkena polip hidung antara lain sinusitis (radang sinus) yang menahun, iritasi, sumbatan hidung oleh karena kelainan anatomi dan adanya pembesaran pada konka. Prinsip pengobatan dari polip hidung yaitu mengatasi polipnya dan menghindari penyebab atau faktor faktor yang mendorong terjadinya polip. Bila polip kecil dilakukan pengobatan dengan obat obatan oral dan penyemprotan dengan obat semprot hidung. Namun bila polip besar dan tidak dimungkinan dengan pengobatan oral atau semprot maka harus dilakukan operasi pengangkatan polip.

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,


Sayangnya bila faktor yang menyebabkan terjadinya polip tidak teratasi maka polip hidung ini rawan untuk kambuh kembali demikian berulang ulang. Oleh sebab itu sangat diharapkan kepatuhan pasien untuk menghindari hal hal yang menyebabkan alergi yang bisa menjurus untuk terjadinya polip hidung.

You might also like