You are on page 1of 8

A. Pengertian Multikultural Kata Multikultural memiliki arti sebagai kebudayaan.

Secara epistimologis, multikultural dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), danisme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masng-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus dipersamakan atau setidaktidaknya, tidak dipertentangkan antara konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli lainnya. Karena mulitkulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebuayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Parsudi Suparlan melihat bahwa dalam perspektif tersebut, kebudayaan adalah sebagai pedoman bagi kehdupan manusia. Yang juga harus diperhatikan bersama menyangkut kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu bekerja melalui pranata-pranata sosial. Sebagai sebuah idea tau ideologi,

multikulturalisme terserap ke dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehdupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kehidupan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan. Multikultur dari sebagaian orang blum sepenuhnya dipahami sebagai suatu yang diberiakan sebagai takdir Allah. Al-Quran menyatakan dengan jelas: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-lakidan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13). Ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah menciptakan manusia dari dua hal yang berbeda yakni laki-laki dan perempuan. Dari keberadaan tersebut dapat melahirkan keturunan yang, berbeda-beda pula. Keberadaan menjadikan manusia mampu membentuk suku-suku menjadi bangsa-bangsa yang berbeda.

Multikulturalisme telah merupakan wacana bagi para akademisi maupun praktisi dalam berbagai bidang kehidpan di Indonesia dewasa ini. Demikian pula telah muncul pendapat mengenai cara-cara pemecahan konflik horizontal yang nyaris memecahkan bangsa indonesia dewasa ini dari sudut kebudayaan dan bukan melalui cara-cara kekerasan ataupun cara-cara lain yang tidak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang beragam. Dalam kaitannya dengan masalah mltikulturalisme, Madar Hilmy berpandangan, bahwa bagi bangsa Indonesia, adanya keragaman budaya merupakan kenyataan sosial yang sudah niscaya. Meski demikian, hal itu tidak secara otomatis diiringi penerimaan yang positif pula. Bahkan, banyak fakta yang justru menunjukkan fenomena yang sebalinya: keragaman budaya telah memberi sumbangan terbesar bagi munculnya ketegangan dan konflik. Sehinggga, tak pelak modal sosial (social capital) itu justru menjadi kontra produktif bagi penciptaan tatanan kehidupan berbangsa yang damai, harmoni dan toleran. Untuk itu, diperlukan upaya untuk menumbuh kembangkan kesadaran multikulturalisme agar potensi positif yang terkandung dalam keragaman tersebut dapat teraktualisasi secara benar dan tepat. Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun kesadaran multikulturalisme dimaksud. Karena, dalam tataran ideal, pendidikan seharusnya bisa berperan sebagai juru bicara bagi terciptanya fundamen kehdupan multikultural yang terbebas dari kooptasi negara. Hal itu dapat berlangsung apabila ada perubahan paradigma dalam pendidikan, yakni dimulai dari penyeragaman menuju identitas tunggal, lalu ke arah pengakuan dan penghargaan keragaman identitas dalam kerangka penciptaan harmonisasi kehidupan. Sebenarnya Indonesia memiliki track record yang tidak terlalu jelek dalam pengelolaan keanekaragaman sosial budaya. Sejarah kehidupan kehidupan bangsa Indonesia selalu diwarnai oleh sikap toleransi dan asimilasi.Kedatangan unsur-unsur baru dalam kehidupan masyarakat hampir tidak menemui gesekan sosial yang berarti. Masyarakat tidak sekedar mudah beradaptasi terhadap nilai- nilai baru itu, tetapi juga berhasil mengadopsinya dalam struktur sosial budaya mereka. Hal ini dibuktikan, misalnya, oleh kenyataan sejarah betapa masyarakat Jawa sangat mudah menggabungkan dua atau lebih sistem nilai yang berbeda yang kemudian turut membentuk dan mengolah peradaban Jawa Sehingga tidaklah mengherankan bila candi Hindu dan Budha berdiri saling berdampingan, dan raja-raja Jawa disebut sebagai Siswa Budha sebagai wujud dari representasi dialog dua peradaban Hind Budha.Kehidupan toleransi semacam ini telah

berlangsung di Jawa selama kurang lebih satu millenium sebelum kemudian nilai-nilai Islam turut mewarna kehidupan sosio-kultural masyarakat Jawa pada abad ke-14. Kesadaran akan adanya keberagaman budaya disebut sebagai kehidupan multikultural. Akan tetapi tentu tidak cukup hanya sampai disitu. Bahwa suatu kemestian agar setiap kesadaran akan adanya keberagaman, mesti ditingkatkan lagi menjadi apresiasi dan dielaborasi secara positif. Pemahaman ini yang disebut sebagai multikulturalisme. Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peranyang besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme dinimaka prinsip bhineka tunggal ika seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud.

Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dapat tercapai. Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam

membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakatyang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar. Sebagai energi positif, multikultural dipahami sebagai rahmat, mengingat di satu sisi Allah telah menciptakan manusia dengan fisik and spiritual yang berbeda. Keberadaan tersebut dapat dijadikan sebagai pelengkap satu sama lain. Modal kelengkapan karakteristik tersebut seakan menjadikan kekuatan untuk meniadakan kekurangan/kelemahan manusia. Dengan demikian, kelemahan dan kekurangan akan ditukar dengan kekuatan dan keunggulan. Untuk membangun kekuatan dan keunggulan tersebut, diperlukan upaya sistematis dan konstruktif melalui jalur yang dapat mengakomodir berbagai kebutuhan. Hanya saja, beberapa tahun dalam hitungan sejarah, masyarakat Indonesia terlewat asyik memobilisi rmasyarakat. Maklum saja, mengingat pasca perjuangan melawan penjajah masyarakat dibuat serba sama, meskipun sebenarnya kompak dan bersatu tidak selamanya identik dengan kesamaan. Kalau serba sama tetap dipertahankan, dikhawatirkan akan menghilangkan nilai alamiah yang dimiliki manusia yang memang serba berbeda. Serba berbeda memang tidak selamanya menghadapi

perilaku yang serba beda pula. Hal yang menjadi pangkal tolak tersebut adalah bagaimana dengan keberbedaan tersebut dapat dijunjung tinggi oleh masing-masing, sehingga tidak lagi keberbedaan menjadi bara api antar kelompok masyarakat.

B. Multikultural menurut Al-Quran

Kita perlu kembali merenungkan berbagai ajaran yang telah disampaikan Allah melalui para Rasul-Nya, yang terdapat dalam kitab Suci Al Quran. Kita hendaknya mampu mengoptimalkan peran agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al quran, misalnya, memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara sesama manusia. Pertama, Al Quran menyatakan bahwa dulu manusia adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan ) maka Allah mengutus para Nabi, sebagi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus, (QS Al Baqarah: 213). Dengan ayat ini, AlQuran menegaskan konsep kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulamya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu hakekat kebenaran menurut vested interest nya. Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menganut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena Allah menetapkan jalan dan pedoman hidup yang berbeda-beda untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisiahan dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan berbagai kebaikan. Al Quran menyebutkan : .. Untuk tiap-tiap manusia diantara kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja. Tetapi Allah

hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. Sehingga dari kedua ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa betapapun perbuatan yang terjadi pada manusia di bumi ini, namun hakekat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan berubah. Yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan dan Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan universal adalah kelanjutan dan eksisitensialisme dari perjanjian primordial itu dalam hidup di dunia ini. Selain itu, kita juga harus membutuhkan sebuah artikulasi atau penjabaran suatu visi dari dalam yang baru tentang manusia. Sekarang menjadi suatu keharusan bahwa semua agama harus mengambil bagian. Sekurang-kurangnya untuk sebagian dari sebuah visi dari dalam, sebuah konsep manusia mengenai dirinya sendiri, sesama, bahkan dengan orang yang menyatakan dirinya tidak beragama. Dalam pencarian itu mungkin sangat penting bagi umat beragama untuk melihat kepada pribadi-pribadi terkemuka yang dimilikinya dan peninggalan kolektifnya di massa lampau.

C. Kesalehan Multikultural

Kehidupan sosial yang sudah mengglobal telah melahirkan efek sosiologis maupun psikologis terhadap kehidupan masyarakat. Problematika yang kompleks menghantui manusia abad modern ini dengan berbagai ketimpangan yang seolah diakibatkan kemajuan yang dicapai manusia itu sendiri. Tersebutlah kesenjangan ekonomi, ketimpangan antara yang menguasai dan dikuasai, konflik sosial

yangberkepanjangan, marjinalisasi kaum perempuan dan banyak lagi. Permasalahan tersebut seolah tambah rumit dengan dampak globalisasi yang menghantui khususnya dunia ketiga. Dunia yang kita huni ini seiring dengan kemajuan yang diraihnya, ternyata membawa dampak lain yakni ancaman atas kehidupan itu sendiri. Tentunya hal ini mengancam kehidupan beragama, yang mana selama ini menjadi petunjuk soluif terhadap segala permasalahan yang dihadapi manusia. Kini dengan arus dunia yang begitu cepat serta kehidupan sosial yang multikultural, menambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi manusia. Seolah hidup dihantui dengan persoalan tiada henti. Agama pada titik ini diposisikan sebagai rujukan. Ada yang kembali merenungi

hakekat agama dalam religiusitaanya sendiri, ada juga yang menjadikannya acuan untuk memfilterisasi diri dari cobaan tersebut. Namun nampaknya hanya sedikit yang menyadari, bahwa dalam posisi ini yang seharusnya disadari adalah bagaimana menumbuhkan keshalehan dalam keberagamanaan tersebut dalam dimensi kebersamaan. Artinya dunia dengan kemajemukannya membutuhkan religiusitas yang memahami akan keberagaman, baik multikultural agama, etnis maupun budaya. Maka dari itu untuk menyadari bahwa dunia ini membutuhkan kesadaran manusia untuk menyadari akan keberadaan yang lainnya (the others). Keshalehan dimaknainya tidak hanya semata religius dalam ibadah yang menghubungkannya langung dengan pencipta. Tetapi bagaimana kesalehan tersebut juga dapan dimaknai dalam dimensi kebersamaan. Yakni upaya konkrit untuk memberikan solusi terhadap ketimpangan ekonomi, konflik sosil, permasalahan perempuan, hingga masalah kebangsaan dan perdamaian global. Misi kemanusiaan menjadi tolak ukur yang sangat penting bagi penulis, untuk mengukur kadar kesalehan seseorang. Karena itu misi dakwah mulai dikembangkan ke arah fungsi-fungsi kemanusiaan dengan tujuan menunjukkan kebagusan ajaran Islam. Sementara konversi keagamaan diletakkan pada proses alami selain diserahkan pada otoritas takdir. Muncul tafsir baru hubungan sosial komunitas Muslim dengan beragam etnis, bangsa dan kepemelukan agama yang bisa diletakkan dalam perspektif multikulturalisnme. Kesalehan seseorang perlu termanifest dalam kehidupan sosial kemanusiaannya. Tidak cukup seseorang dikatakan religius hanya dilihat dari hal-hal yang profan. Praktik kesalehan merupakan pembuktian kepedulian bagi yang menderita akibat kelaparan, ketakutan, dan ancaman teror. Inilah makna hakiki kesucian ruh sebagai akar penciptaan manusia. Tujuan kesalehan agar umat manusia bebas dari berhala duniawi ketika keberagamaan bukan sekedar ritus yang hanya penting bagi Tuhan Yang Mahasuci, tetapi bagi sesama di luar batas kepemelukan agama, etnisitas, dan ideologi politik. Untuk menghadapi tantangan global multikultural, diperlukan strategi-strategi yang jitu agar kesalehan multikulturan dapat tercapai, strategi-strategi tersebut antara lain dengan cara dakwah dan pendidikan multikultural. Dimana kemajemukan dimaknai dalam dimensi kebersamaan dalam keberagaman.

Pendidikan sebagai lembaga yang memiliki posisi strategis di masyarakat semestinya memberikan andil dalam proses penyadaran masyarakat terhactap isu-isu multikultural ini. Sebab pendidikan merupakan salah satu kekuatan penggerak terjadinya perubahan pada suatu sistem sosial. Pendidikan menjadi tidak memiliki fungsi apa-apa ketika dia berlangsung dalam dunianya sendiri dengan tidak memperhatikan tingkat kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Secara mikro memang pendidikan berfungsi untuk memberikan pencerdasan dan wawasan kepada individu dan kelompok anak didinya, tetapi dalam skala makro, dunia pendidikan merupakan institusi sosial yang berfungsi memberikan nilai-nilai tertentu dalam pendewasaan masyarakat menuju sistem sosial yang baru yang sesuai dengan arah perubahan zaman. Karenanya, pendidikan dan kebudayaan, dalam sesungguhnya tidak dapat dipisahkan. Karena, sejatinya merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai pendidikan adalah mengantarkan anak didik untuk bisa hidup di tengah dan bersama masyarakat guna memelihara dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya tempat mereka lahir dan tumbuh. Untuk itu, agar masyarakat dapat menghargai keragaman etnis, budaya dan agama, maka perlu dibutuhkan beberapa syarat: Pertama, secara teologis filosofis diperlukan kesadaran dan keyakinan bahwa setiap individu dan etnis itu unik, namun dalam keunikannya masing-masing memiliki kebenaran dan kebaikan universal, hanya saja terbungkus dalam wadah budaya, bahasa, dan agama yang beragam dan bersifat lokal. Kedua, secara psikologis memerlukan pengondisian agar seseorang memiliki sikap inklusif dan positif terhadap orang lain yang berbeda. Ketiga, desain kurikulum pendidikan dan kultur sekolah harus dirancang sedemikian rupa sehingga anak didik mengalami langsung makna keragaman kultural. Dengan demikian multkultural tidak akan tumbuh jika tidak ditopang kualitas pendidikan yang bagus. Sehingga, di masyarakat Indonesia yang tidak menemukan makna multikultural di sekolah, maka saat ini menjadi penting, sebab globalisasi akan menuntut kesadaran masyarakat ke arah itu. Sudah saatnya dunia pendidikan saat ini menjadi semacam miniatur dari sebuah keragaman budaya yang berkembang di masyarakat. Cara ini, selain bentuk kesadaran terhadap fakta zaman, juga sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah yang sejak lama menjadikan pendidikan sebagai alat pemuas nafsu duniawi, dengan menyeragamkan kurikulum sekaligus menapikan keragaman budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Pengertian Multikultural. http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2203877pengertian-multikultural/ Kesalehan Spiritual dan kesalehan Sosial. http://armansyarifmks.blogspot.com/2010/12/kesalehan-spritual-dan-kesalehan-sosial.html Religius di antara Multikultural. http://alikhlas.wordpress.com/2007/02/25/religiusitas-ditengah-multikulturalisme/#more-17 Ber-Islam Di Era Multikulturalisme. http://lkassurabaya.blogspot.com/2007/07/ber-islam-diera-multikulturalisme.html Makalah Multikulturalisme. http://my.opera.com/Putra%20Pratama/blog/show.dml/2743875 Multikulturalisme. http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme Menggagas Kesalehan Multikultural. http://mesintik.multiply.com/journal/item/1?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

You might also like