You are on page 1of 23

TUGAS TEKNIK PENULISAN & PRESENTASI (HSPB 601) Proposal Skripsi Koreksi Suhu Pemadatan antara Kondisi Laboratorium

dengan Lapangan untuk Spesifikasi AC-WC, HRS-WC, AC-BC dan HRSBase Dosen: Dr. H. RUSTAM EFFENDI, MA.Sc.

Oleh: MAWARDI H1A108414 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS TEKNIK S1 TEKNIK SIPIL NON REGULER BANJARMASIN 2010

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Aspal adalah material yang termoplastis, berarti akan menjadi keras atau lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika temperatur bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan temperatur. Apabila suhu campuran aspal yang telah dihampar dan dipadatkan di bawah dari yang telah ditetapkan atau di bawah suhu minimal, maka akan berpengaruh pada ketahanan dan kekuatan aspal.

Ada perbedaan pelaksanaan proses pemadatan antara di laboratorium dengan di lapangan terutama yang menyangkut masalah suhu sehingga perlu diadakan penelitian untuk menentukan pada temperatur berapa sebaiknya campuran aspal dipadatkan sehingga menghasilkan hasil yang baik. Proses penghamparan dan pemadatan yang benar pada temperatur yang tepat akan membuat jalan jadi tidak gampang rusak sebelum umur rencana tercapai.

Dalam penelitian ini, penulis mencoba 4 (empat) bahan yang berbeda sesuai dengan spesifikasi teknis campuran aspal yang telah ditentukan untuk diuji dan hasilnya dianalisis. Dengan adanya studi ini, dapat diketahui besarnya pengaruh perubahan suhu pada saat penghamparan dan pemadatan terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan di lapangan sehingga jalan tidak lagi mengalami kerusakan akibat kesalahan suhu pemadatan campuran aspal.

1.2

Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya pengaruh perubahan suhu pemadatan antara kondisi laboratorium dengan kondisi di lapangan terhadap hasil Marshall untuk Laston lapis aus (AC-WC), Lataston lapis aus (HRS-WC), Laston lapis pengikat (AC-BC), dan Lataston lapis pondasi (HRS-Base).

1.3

Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dalam penulisan ini adalah : 1. Spesifikasi campuran aspal yang dibandingkan adalah Laston lapis aus (AC-WC), Lataston lapis aus (HRS-WC), Laston lapis pengikat (AC-BC), dan Lataston lapis pondasi (HRS-Base). 2. Material atau bahan yang digunakan adalah material lokal yang terdapat di daerah setempat, yaitu : a. Agregat kasar yang digunakan adalah batu pecah Awang Bangkal. b. Agregat halus berupa pasir yang diambil dari Rantau. c. Filler yang digunakan berupa filler dari abu batu Awang Bangkal. 3. Aspal yang digunakan adalah bitumen penetrasi 60/70 dengan perbandingan campuran aspal hanya ditinjau terhadap karakteristik alat Marshall yang penggunaannya mengikuti prosedur SNI-06-2489-1991 atau AASHTO T 245 90.

1.4

Manfaat Penelitian Dengan diadakannya penelitian mengenai faktor koreksi suhu pemadatan antara kondisi laboratorium dengan lapangan untuk Laston lapis aus (AC-WC), Lataston lapis aus (HRS-WC), Laston lapis pengikat (AC-BC), dan Lataston lapis pondasi (HRS-Base) maka dapat menambah masukan dalam pelaksanaan pekerjaan pemadatan di lapangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Landasan Teori Laston (Lapis Aspal Beton) atau Asphaltic Concrete (AC) adalah campuran dengan agregat bergradasi menerus yang dicampur pada suhu minimum 115 oC, dihamparkan dan dipadatkan pada suhu minimum 110 oC. Berfungsi sebagai pendukung lalu lintas, pelindung lapisan di bawahnya dari cuaca dan air, lapisan aus, menyediakan permukaan jalan yang rata dan tidak licin. Bersifat tahan terhadap keausan akibat lalu lintas, kedap air, memiliki nilai struktural, memiliki stabilitas tinggi, dan peka terhadap penyimpangan perencanaan dan pelaksanaan.

Laston (Lapis Aspal Beton) lebih peka terhadap variasi kadar aspal maupun variasi gradasi agregat daripada Lataston (HRS). Aspal beton (AC) sekarang dikembangkan lagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: AC-WC untuk lapis aus atau permukaan, AC-BC untuk lapis pengikat dan AC-Base untuk lapis pondasi dengan ukuran agregat maksimum masing-masing campuran adalah 19 mm, 25,4 mm, dan 37,5 mm.

Lataston (Lapis Tipis Aspal Beton), dikenal dengan nama Hot Roll Sheet (HRS) merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran antara agregat bergradasi timpang, mineral pengisi (filler), dan aspal keras dengan perbandingan tertentu, yang dicampur dan dipadatkan pada suhu minimal 140 oC. Tebal padat antara 2,5-3 cm. Bersifat kedap air, sangat kenyal, awet, dan dianggap tidak memiliki nilai struktural. Lataston terdiri dari dua macam campuran: HRS-WC untuk lapis aus atau permukaan dan HRS-Base untuk lapis pondasi dengan ukuran agregat maksimum masingmasing campuran adalah 19 mm. Lataston lapis pondasi (HRS-Base) mempunyai gradasi yang lebih kasar dari Lataston lapis permukaan (HRS-WC).

2.2

Spesifikasi Teknis 2.2.1 Agregat Umum Agregat batuan didefinisikan secara umum sebagai formasi kulit bumi yang keras dan kenyal yang terdiri dari mineral padat, berupa massa berukuran besar ataupun berupa pragmen-pragmen. Agregat atau batuan merupakan komponen utama dari lapisan perkerasan yaitu mengandung 90% - 95% agregat berdasarkan persentase berat atau 75% - 85% agregat berdasarkan volume. Dengan demikian daya dukung, keawetan dan mutu perkerasan jalan ditentukan juga dari sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain.

Sifat dan kualitas agregat menentukan kemampuannya dalam memikul beban lalu lintas. Agregat dengan kualitas yang baik dibutuhkan untuk lapisan permukaan yang langsung memikul beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan di bawahnya.

Ada 2 syarat utama agregat yang harus diperhatikan dalam campuran Laston, yaitu : 1. Penyerapan air oleh agregat maksimum 3%. 2. Berat jenis (Spesific Gravity) agregat kasar dan halus tidak boleh berbeda dari 0,2.

2.2.2 Agregat Kasar 1. Fraksi agregat kasar untuk rancangan adalah yang tertahan ayakan No.8 (2,36 mm) dan haruslah bersih, keras, awet, dan bebas dari lempung atau bahan yang tidak dikehendaki. 2. Fraksi agregat kasar harus terdiri dari batu pecah atau kerikil pecah dan harus disiapkan dalam ukuran nominal tunggal. Ukuran maksimum agregat adalah ayakan yang lebih besar dari ukuran nominal maksimum. Ukuran nominal ayakan maksimum adalah satu ayakan yang lebih kecil dari ayakan pertama (teratas) dengan bahan tertahan kurang dari 10%.

3. Agregat kasar yang kotor dan berdebu, yang mempunyai partikel lolos ayakan No.200 (0,075 mm) lebih besar dari 1% tidak boleh digunakan.

2.2.3 Agregat Halus 1. Agregat halus dari sumber manapun, yang terdiri dari pasir atau pengayakan batu pecah dari bahan yang lolos ayakan No.8 (2,36 mm).dan tertahan di saringan No.200 (0,075 mm). 2. Fraksi agregat halus pecah mesin dan pasir harus ditumpuk terpisah dari agregat kasar. 3. Pasir boleh atau dapat digunakan dalam campuran aspal. Persentase maksimum yang disarankan untuk Laston (AC) adalah 15%. 4. Agregat halus harus merupakan bahan yang bersih, keras, dan bebas dari lempung atau bahan yang tidak dikehendaki lainnya. Pasir yang kotor dan berdebu, serta mempunyai partikel lolos ayakan No.200 (0,075 mm) maksimum 8%.

2.2.4 Bahan pengisi (filler) untuk campuran aspal 1. Bahan pengisi yang ditambahkan dapat terdiri dari abu batu (crusher dust), debu batu kapur (limestone dust), semen Portland, abu terbang, abu tanur semen atau bahan non-plastic lainnya. Bahan tersebut harus bebas dari bahan yang tidak dikehendaki. 2. Bahan pengisi yang ditambahkan harus kering dan bebas dari gumpalangumpalan dan bila diuji dengan pengayakan cara basah SK SNI M-021994-03, harus mengandung bahan yang lolos ayakan No.200 (75 micron) tidak kurang dari 75% terhadap berat. 3. Bilamana kapur tidak terhidrasi atau terhidrasi sebagian, digunakan sebagai bahan pengisi yang ditambahkan maka proporsi maksimum yang diijinkan adalah 1,0% dari berat total campuran aspal

2.2.5 Gradasi Agregat Gabungan Gradasi agregat gabungan untuk campuran aspal, ditunjukkan dalam persen terhadap berat agregat harus memenuhi batas-batas dan harus berada di luar daerah larangan (restriction zone) yang akan diberikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Gradasi Agregat Untuk Campuran Aspal Ukuran Saringan Inch 1,5 1 3/8 No. 8 No.16 No. 30 No. 200 mm 37,5 25,4 19 12,5 9,5 2,36 1,18 0,6 0,075 35 - 60 6 - 12 15 - 35 2-9 4 - 10 4-8 3-7 100 90 - 100 75 - 85 50 - 72 100 90 - 100 65 - 100 35 - 55 100 90 - 100 Maks. 90 28 - 58 23 - 39 19 - 45 100 90 - 100 Maks. 90 Persen Lolos (%) Lataston (HRS) WC Base WC Laston (AC) BC Base 100 90 - 100 Maks. 90

No. 4 No. 8 No. 16 No. 30 No. 50

4,75 2,36 1,18 0,6 0,3

39,1 25,6 - 31,6 19,1 - 23,1 15,5

34,6 22,3 - 28,3 16,7 - 20,7 13,7

39,5 26,8 - 30,8 18,1 - 24,1 13,6 - 17,6 11,4

Sumber: Sub Dinas Bina Pengembangan Prasarana Transportasi Propinsi Kalimantan Selatan Tahun 2004

Keterangan: Angka yang di-bold adalah daerah larangan (restriction zone).

2.2.6 Aspal Aspal dapat didefinisikan sebagai material yang berwarna hitam atau cokelat tua dan merupakan material yang bersifat termoplastis, yaitu melunak dan menjadi cair jika dipanaskan dan kembali menjadi padat jika didinginkan kembali. Aspal sangat bagus untuk dijadikan sebagai lapis permukaan dalam suatu konstruksi jalan karena memiliki daya rekat yang kuat, kedap air, dan tahan terhadap keawetan. Hidrokarbon adalah bahan dasar utama dari aspal yang umumnya disebut sebagai bitumen, sehingga aspal sering juga disebut bitumen.

Fungsi aspal bagi konstruksi jalan adalah : 1. Menutup permukaan jalan sehingga kedap air. 2. Sebagai bahan pengikat antara agregat atau lapisan-lapisan konstruksi jalan. 3. Menambah stabilitas atau memberikan semacam bantalan antara batuan.

Sesuai dengan fungsi aspal, maka aspal yang digunakan selain harus memenuhi spesifikasi dan persyaratan pemeriksaan laboratorium, dalam pelaksanaannya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. Aspal harus melapisi batuan dengan rapat. 2. Aspal yang digunakan tidak mudah menjadi rapuh. 3. Aspal yang digunakan mempunyai sifat melekat yang baik terhadap batuan yang dilapisi. 4. Aspal yang melapisi batuan tidak mudah peka terhadap perubahan suhu. 5. Aspal harus memberikan lapisan yang elastis pada batuan.

Karena persyaratan ini, maka aspal yang akan digunakan pada konstruksi jalan harus diperiksa terlebih dahulu sifat-sifat dan

karakteristiknya, antara lain: penetrasi, titik nyala dan titik bakar, titik lembek, berat jenis, dan daktilitas. Sifat ini dipakai untuk menentukan sifat

atau mutu bahan aspal yang digunakan di lapisan serta tipe konstruksi yang akan digunakan.

Tabel 2.2 Spesifikasi untuk Aspal Keras dengan penetrasi 60/70 Jenis Pengujian Penetrasi aspal (0,1 mm) Titik lembek (oC) Titik nyala (oC) Daktilitas 25oC (cm) Berat jenis (gram/cm3)
Sumber: Ditjen Praswil (2003)

Aspal Keras Penetrasi 60/70 60 - 79 48 - 58 Min. 200 Min. 100 Min. 1,0

2.2.7 Ketentuan Sifat-sifat Campuran Campuran aspal terdiri dari agregat dan aspal. Filler yang ditambahkan boleh digunakan bilamana diperlukan untuk menjamin sifatsifat campuran memenuhi ketentuan yang disyaratkan Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Ketentuan Sifat-Sifat Campuran


Latasir Sifat-sifat Campuran Kelas A dan B Penyerapan kadar aspal Jumlah tumbukan per bidang Lalu Lintas (LL) Rongga dalam camp. (%) > 1 juta ESA > 0,5 juta ESA & < 1 juta ESA Lalu Lintas (LL) < 0,5 juta ESA Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks. Maks. 2,0 50 x 2 Tidak digunakan untuk LL berat 3,0 6,0 4,0 6,0 75 x 2 4,9 5,9 3,9 4,9 3,0 5,0 Lataston WC Base WC 1,7 112 x 2 Laston BC Base

Rongga dalam Agregat (VMA) (%)

Min.

20

18

16

Lalu Lintas (LL) Rongga terisi aspal (%) > 1 juta ESA > 0,5 juta ESA & < 1 juta ESA Lalu Lintas (LL) < 0,5 juta ESA Stabilitas Marshall (kg)

Min.

Tidak digunakan untuk LL berat 75 200 850 2 3 80 400 800 2 200 500

65

Min.

68

Min. Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks.

1800 3 200 500

Kelelehan (mm)

Marshall Quotient (kg/mm) Stabilitas Marshall Sisa setelah perendaman selama 24 jam, 60 0C Rongga dalam camp. (%) padat membal (refusal) Lalu Lintas (LL) < 0,5 juta ESA Lalu Lintas (LL) > 1 juta ESA > 0,5 juta ESA & < 1 juta ESA

Min.

75 %

Min. Maks. Min. Maks. Min. Maks.

Tidak digunakan untuk LL berat 1 4

3 5 2 5

Sumber: Bahan Kuliah Magister Teknik Manajemen dan Rekayasa Transportasi FT. UNLAM 2005

Untuk metode Bina Marga telah diadakan suatu penyesuaian spesifikasi mengenai penamaan pada campuran aspal antara spesifikasi lama dan spesifikasi baru, perbedaan penamaan tersebut seperti terlihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Perbedaan Penamaan Spesifikasi Lama HRSS Class A & B HRS ATB AC
Sumber: Ditjen Praswil (2003)

Spesifikasi Baru Sand Sheet Class A & B HRS-WC HRS-Base & AC-Base AC-WC & AC-BC

Tabel 2.5 Tebal Nominal Minimum Rancangan Campuran Aspal Jenis Campuran Latasir Kelas A Latasir Kelas B Lataston Lapis Aus Lapis Pondasi Lapis Aus Laston Lapis Pengikat Lapis Pondasi Simbol SS-A SS-B HRS-WC HRS-Base AC-WC AC-BC AC-Base Tebal Nominal Minimum (cm) 1,5 2,0 3,0 3,5 4,0 5,0 6,0

2.3

Karakteristik Marshall Campuran Beraspal Karakteristik campuran yang harus dimiliki oleh campuran aspal beton campuran panas adalah : 1. Stabilitas, yaitu kemampuan suatu campuran aspal menerima beban sampai terjadi kelelehan plastis yang dinyatakan dalam kilogram atau pound. Nilai stabilitas diperoleh dari hasil pembacaan langsung pada alat Marshall Test sewaktu melakukan pengujian Marshall. Nilai yang terbaca tersebut, kemudian dikoreksi dengan faktor koreksi terhadap alat Marshall yang dipakai dan faktor benda uji. 2. Kelelehan (flow), yaitu perubahan bentuk plastis suatu campuran aspal yang terjadi akibat beban sampai batas runtuh yang dinyatakan dalam mm atau 0,01. Nilai flow juga diperoleh dari pembacaan langsung alat Marshall Test sewaktu melakukan pengujian Marshall. 3. Rongga di dalam campuran atau Void in Mixture (VIM), yaitu parameter yang menunjukan volume rongga yang berisi udara di dalam campuran beraspal, dinyatakan dalam % volume. 4. Rongga di dalam agregat atau Void in Mineral Aggregate (VMA), yaitu volume rongga yang terdapat diantara butir-butir agregat dari suatu campuran beraspal yang telah dipadatkan, termasuk di dalamnya adalah rongga udara dan rongga yang terisi aspal efektif, dinyatakan dalam % volume.

5. Rongga terisi aspal atau Void Filled with Bitumen (VFB), yaitu bagian dari volume rongga di dalam aggregate (VMA) yang terisi aspal efektif, dinyatakan dalam % VMA. 6. Marshall Quetiont (MQ), yaitu nilai pendekatan yang hampir menunjukkan nilai kekakuan suatu campuran beraspal dalam menerima beban. Nilai MQ diperoleh dari perbandingan antara stabilitas yang telah dikoreksi terhadap nilai kelelehan (flow), dan dinyatakan dalam satuan kg/mm atau kN/mm.

2.4

Kinerja Campuran Aspal dan Agregat Campuran aspal yang cukup populer digunakan saat ini adalah lapis aspal beton (AC) dan campuran Hot Rolled Asphalt (HRA). Campuran tipe AC menggunakan gradasi menerus (continous graded).

Sifat-sifat penting yang harus dimiliki oleh suatu campuran aspal dan agregat di antaranya adalah : 1. Stabilitas, berhubungan erat dengan kekuatan campuran dan dapat didefinisikan sebagai kekuatan campuran dalam menahan deformasi akibat beban lalu lintas. 2. Fleksibilitas, didefinisikan sebagai kemampuan campuran tersebut menahan lendutan (defleksi) dan momen tanpa timbul retak. Fleksibilitas suatu campuran beraspal dapat dinilai dengan menggunakan ratio antara stabilitas Marshall dan kelelehan (flow), yang dikenal dengan nama Marshall Quotient. Semakin besar rasio Marshall Quotient maka campuran semakin kaku sedangkan semakin rendah Marshall Quotient campuran semakin fleksibel. 3. Durabilitas, berkaitan dengan sifat keawetan suatu campuran dan dapat didefinisikan sebagai ketahanan campuran tersebut terhadap beban lalu lintas dan pengaruh cuaca. Untuk mengukur durabilitas umumnya dilakukan dengan pengujian perendaman Marshall (Marshall Immertion Test) yaitu membandingkan antara kekuatan Marshall (stabilitas) benda uji setelah perendaman dalam air bersuhu 60 oC selama 24 jam dengan stabilitas benda uji semula.

4. Workabilitas, campuran harus mudah dikerjakan yaitu proses pengangkutan dari mixing plant, penghamparan, dan pemadatan. Untuk mencapai kondisi ini perlu diatur viskositas campuran, suhu pencampuran dan metoda pemadatan. 5. Ekonomis, campuran yang direncanakan dengan menggunakan jenis dan kombinasi material yang menghasilkan biaya termurah tetapi memenuhi persyaratan teknis yang telah ditetapkan.

2.4.1 Metode Pencampuran Metode pencampuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Marshall, yaitu suatu metode percobaan laboratorium untuk menentukan jumlah kadar aspal optimum sehingga diperoleh suatu campuran yang sesuai antara agregat dan aspal yang digunakan. Pemeriksaan dengan metode Marshall ini bertujuan untuk mendapat nilai kekuatan (stabilitas) terhadap kelelehan plastis (flow).

Dari pengujian benda uji dengan alat Marshall akan diperoleh datadata sebagai berikut : 1. Stabilitas, yang dinyatakan dalam bilangan bulat yang didapat dari hasil pembacaan dial arloji pada alat Marshall tersebut. 2. Kelelehan plastis (flow), dinyatakan dalam mm atau 0,01 inch yang diperoleh dari hasil pembacaan dial arloji pada alat Marshall. 3. Berat Jenis, yaitu perbandingan antara berat kering benda uji dengan isi benda uji, yang didapatkan dengan rumus :
D E H

Dimana:

D = berat jenis atau density (gr/cm3). E = berat kering benda uji (gr). H = Isi benda uji (cm3).

4. Rongga dalam campuran, dinyatakan dalam bilangan desimal satu angka di belakang koma yang didapat dari persamaan berikut :
VIM 100 Gmm D Gmm

Dimana:

VIM

= rongga udara dalam campuran.

Gmm = berat jenis maksimum campuran.

5. Hasil bagi Marshall (Marshall Quostient), merupakan hasil bagi antara stabilitas dan flow yang didapatkan dengan persamaaan :
MQ M 102N

Dimana:

MQ = Marshall Quotient (kN/mm). M = Stabilitas yang disesuaikan/terkoreksi (kg). N = Nilai kelelehan plastis (mm).

Sebelum mengadakan pencampuran aspal dan agregat untuk membuat benda uji, harus ditentukan dahulu persentasi agregat dan aspal yang akan digunakan. Untuk persentasi aspal bisa bervariasi dari 4% sampai dengan 8%, sehingga nantinya didapatkan kadar aspal optimum. Sedangkan untuk penggabungan gradasi dari semua agregat dengan menggunakan metode resep. Metode resep adalah metode penggabungan agregat dengan mengambil nilai ideal spesifikasi yang merupakan nilai tengah dari spesifikasi yang disyaratkan.

2.4.2 Marshall Test Pemeriksaan terhadap campuran dilakukan dengan Marshall Test yang bertujuan untuk menentukan ketahanan (stability) dan kelelehan (flow) dari campuran aspal dan agregat. Prosedur percobaan Marshall Test yang dilakukan mengikuti SNI-06-2489-1991.

Konsep uji Marshall dikembangkan oleh Bruce Marshall. Dua sifat campuran ditentukan dengan uji Marshall adalah beban maksimum benda uji yang diterima sebelum hancur, dinamakan stabilitas Marshall dan besarnya deformasi benda uji sebelum keruntuhan terjadi, dinamakan Marshall flow. Perbandingan stabilitas terhadap flow dinamakan Marshall Quotient (SHELL,1990).

Metode uji Marshall menggunakan standar benda uji dengan tinggi 64 mm dan diameter 102 mm. Benda uji dipersiapkan dengan menggunakan prosedur tertentu baik untuk pemanasan, pencampuran maupun untuk pemadatan campuran aspal. Stabilitas benda uji adalah kemampuan maksimum benda uji yang dihasilkan pada suhu 60o dan diuji dengan alat tertentu. Nilai flow adalah pergerakan total atau regangan yang terjadi dalam benda uji antara kondisi tanpa beban dan beban maksimum selama pengujian stabilitas (Aspalt Institute,1993).

2.4.3 Immersion Test Immersion Test adalah test perendaman yang dilakukan terhadap benda uji pada kondisi aspal optimum di dalam air bersuhu 60 oC selama 24 jam, sering juga disebut dengan test stabilitas sisa. Immersion Test dilakukan setelah didapat kadar aspal optimum dalam variasi campuran. Kadar aspal optimum inilah yang digunakan untuk membuat benda uji, dimana persyaratan stabilitas sisa setelah perendaman selama 24 jam pada suhu 60 oC dapat dilihat pada tabel 2.3.

BAB III METODOLOGI


3.1 Studi Literatur Studi literatur adalah mengumpulkan dan mempelajari segala sumber pustaka dan mencari landasan teori yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan baik melalui buku, makalah, dan bahan-bahan lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan menunjukkan jalan pemecahan penelitian yaitu mengenai hasil Marshall Test untuk Laston lapis aus (AC-WC), Lataston lapis aus (HRS-WC), Laston lapis pengikat (AC-BC), dan Lataston lapis pondasi (HRS-Base).

3.2

Percobaan Laboratorium dan Perhitungan Percobaan laboratorium adalah dengan melakukan percobaan langsung terhadap material atau bahan yang digunakan dan uji kekuatan terhadap campuran yang dipakai. Langkah-langkah penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.1. Adapun percobaan-percobaan yang dilakukan antara lain :

3.2.1 Pemeriksaan Terhadap Aspal: 1. Pemeriksaan penetrasi, yang dimaksudkan untuk menentukan penetrasi bahan-bahan bitumen keras atau lembek dengan memasukkan jarum penetrasi ukuran tertentu ke dalam bitumen pada suhu tertentu. Prosedur pemeriksaan mengikuti SNI-06-2456-1991. 2. Pemeriksaan titik lembek, bertujuan untuk menentukan titik lembek aspal dengan suhu berkisar antara 30 oC sampai 200 oC. Prosedur pemeriksaan mengikuti AASHTO T-53-81. 3. Pemeriksaan titik nyala dan titik bakar, dimaksudkan untuk menentukan titik nyala (suhu pada saat terlihat nyala singkat pada suatu titik di atas permukaan aspal) dan titik bakar (suhu pada saat terlihat nyala sekurangkurangnya 5 detik pada suhu di atas permukaan aspal) dari semua jenis hasil minyak bumi kecuali minyak bakar dan bahan lainnya yang

mempunyai titik nyala open cup kurang dari 79 oC. Prosedur pemeriksaan mengikuti AASHTO T-48-81. 4. Pemeriksaan berat jenis aspal, yang dimaksudkan untuk mengetahui berat jenis aspal keras. Berat jenis aspal adalah perbandingan antara berat aspal dan berat air suling dengan isi yang sama pada suhu tertentu (25 oC atau 15,6 oC). Prosedur pemeriksaan mengikuti AASHTO T-228-79.

3.2.2 Pemeriksaan Terhadap Agregat: 1. Pemeriksaan analisa saringan agregat, dimaksudkan untuk menentukan pembagian butir (gradasi) agregat halus dan agregat kasar dengan menggunakan saringan. Prosedur percobaan mengikuti SNI-03-19681990. 2. Pemerikasaan kekerasan atau keausan, yang dimaksudkan untuk menentukan ketahanan agregat kasar terhadap keausan dengan menggunakan mesin Los Angeles. Prosedur percobaan mengikuti SNI-03-24171991. 3. Pemeriksaan kelekatan agregat terhadap aspal, bertujuan untuk

menentukan kelekatan agregat terhadap aspal yaitu prosentase luas permukaan batuan yang tertutup aspal terhadap keseluruhan luas permukaan. Prosedur percobaan mengikuti SNI-03-2439-1991. 4. Pemeriksaan berat jenis dan penyerapan agregat kasar, dimaksudkan untuk menentukan nilai berat jenis (bulk), berat jenis kering permukaan jenuh (saturace surface dry) dan berat jenis semu (apparent) dan penyerapan agregat kasar. Prosedur percobaan mengikuti AASHTO T-8574. 5. Pemeriksaan berat jenis dan penyerapan agregat halus, dimaksudkan untuk menentukan nilai berat jenis (bulk), berat jenis kering permukaan jenuh (saturace surface dry) dan berat jenis semu (apparent) dan penyerapan agregat halus. Prosedur percobaan mengikuti AASHTO T-8474.

3.2.3 Pemeriksaan Terhadap Campuran: Pemeriksaan terhadap campuran dilakukan dengan Marshall Test. Percobaan ini bertujuan untuk menentukan ketahanan (stabilitas) dan kelelehan (flow) dari campuran aspal dan agregat. Prosedur percobaan Marshall Test mengikuti SNI-06-2489-1991.

Untuk mendapatkan kadar aspal optimum akan disiapkan 132 benda uji dengan 4 variasi kadar aspal masing-masing 11 buah benda uji. Setiap benda uji dilakukan tiga kali percobaan. Desain campuran berdasarkan kriteria Bina Marga. Agregat dikeringkan dengan berat tetap pada 105 oC sampai 110 oC dan dipisahkan dengan ayakan dalam keadaan kering di dalam fraksi-fraksi yang diinginkan, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2.1.

Tujuh puluh lima kali tumbukan dikerjakan untuk masing-masing sisi benda uji dengan palu pemadat. Volume material ditempatkan dalam cetakan yang cukup untuk menghasilkan sebuah benda uji. Benda uji setelah dikeluarkan dengan alat extrudder. Dua puluh empat jam setelah pemadatan benda uji ditimbang pada kondisi kering, di air, dan pada kondisi kering permukaan jenuh (SSD) untuk menentukan kepadatan rongga udara (void). Benda uji ditempatkan selama 30 menit dalam bak perendaman (waterbath) pada suhu 60 oC. Pengukuran stabilitas dan flow segera dikerjakan setelah benda uji dikeluarkan dari waterbath dengan menempatkan benda uji pada alat uji, kemudian dites dengan alat Marshall. Stabilitas diukur dari suatu proving ring yang dikalibrasi dan angka koreksi dari tebal benda uji dan deformasi. Misalnya, flow diukur dengan dial gauge.

Percobaan dan perhitungan yang dilakukan adalah terhadap materialmaterial yang digunakan dalam campuran aspal, yaitu: agregat kasar, agregat halus, filler, dan aspal. Setelah itu, dibuat beberapa sampel campuran aspal dengan menggunakan spesifikasi lama dan spesifikasi baru. Kemudian

percobaan yang dilakukan terhadap campuran aspal adalah dengan tes Marshall yang dimaksudkan untuk menentukan ketahanan dan kekuatan (stability) terhadap kelelehan plastis (flow) dari campuran aspal. Tes Marshall akan dilakukan pada masing-masing sample yang kemudian dibandingkan hasilnya.

3.3

Material yang Digunakan Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Aspal atau bitumen dengan penetrasi 60/70. 2. Agregat kasar berupa batu pecah Awang Bangkal. 3. Agregat halus yang digunakan adalah pasir Rantau. 4. Filler yang digunakan berupa filler dari abu batu Awang Bangkal.

3.4

Jumlah Benda Uji Untuk contoh campuran aspal dibuat sebanyak 132 buah dengan rincian : 1. Tiga puluh tiga buah sampel untuk Laston lapis aus (AC-WC). 2. Tiga puluh tiga buah sampel untuk Lataston lapis aus (HRS-WC). 3. Tiga puluh tiga buah sampel untuk Laston lapis pengikat (AC-BC). 4. Tiga puluh tiga buah sampel untuk Lataston lapis pondasi (HRS-Base). Adapun suhu pemadatan sekitar 60 oC - 110 oC dengan 3 buah sampel tiap kenaikan suhu 5 oC.

START
Persiapan & Penyediaan Material Pengujian Bahan Campuran

Pengujian Agregat Analisa saringan Keausan/Abrasi Kelekatan agregat Berat jenis dan penyerapan Kadar lumpur

Pengujian Aspal Penetrasi Titik lembek Titik nyala dan titik bakar Berat jenis Daktilitas

Tidak

Spesifikasi
Perancangan Campuran AC-WC, HRS-WC, AC-BC, HRS-Base

Spesifikasi

Tidak

Ya

Ya

Pembuatan Benda Uji Marshall Test Kadar Aspal Optimum

Immersion Test Pembahasan Kesimpulan & Saran

END Gambar 3.1 Diagram Penelitian

BAB IV PENUTUP
5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Hasil pengujian agregat kasar (batu pecah Awang Bangkal), agregat halus (pasir Rantau), filler (abu batu Awang Bangkal), dan bitumen dengan penetrasi 60/70 menunjukkan bahwa semuanya telah memenuhi persyaratan yang ada pada spesifikasi. 2. Hasil pengujian Marshall terhadap campuran HRS-WC, HRS-Base, AC-WC, dan AC-BC pada kadar aspal optimum secara keseluruhan telah memenuhi spesifikasi, baik stability, flow, VIM, VMA, VFB, maupun MQ. 3. Saat pemadatan untuk HRS-WC, stabilitas minimum yang disyaratkan sebesar 800 kg akan dicapai pada suhu 140 oC. Apabila terjadi penurunan suhu di bawah suhu tersebut, maka akan terjadi penurunan nilai stabilitas sebesar Y = 8,3691.X 365,85. 4. Saat pemadatan untuk HRS-Base, stabilitas minimum yang disyaratkan sebesar 800 kg akan dicapai pada suhu 136 0C. Apabila terjadi penurunan suhu di bawah suhu tersebut, maka akan terjadi penurunan nilai stabilitas sebesar Y = 7,8881.X - 273,94. 5. Saat pemadatan untuk AC-WC, stabilitas minimum yang disyaratkan sebesar 800 kg akan dicapai pada suhu 122 oC. Apabila terjadi penurunan suhu di bawah suhu tersebut, maka akan terjadi penurunan nilai stabilitas sebesar Y = 10,875.X 525,28. 6. Saat pemadatan untuk AC-BC, stabilitas minimum yang disyaratkan sebesar 800 kg akan dicapai pada suhu 121 oC. Apabila terjadi penurunan suhu di bawah suhu tersebut, maka akan terjadi penurunan nilai stabilitas sebesar Y = 10,582.X 477,5.

5.2

Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penulis memberikan saransaran sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dari penelitian ini terutama dalam pelaksanaannya di lapangan karena masih ada persyaratan lain dalam spesifikasi baru yang tidak dapat dilaksanakan di laboratorium. 2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan adanya penelitian lain yang serupa tapi dengan menggunakan komposisi agregat yang berbeda dan material yang berbeda pula.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2003). Spesifikasi Seksi 6.3 Campuran Aspal Panas. Kalimantan Selatan: Direktur Jenderal Prasarana Wilayah.

Hendarsin, Shirley. L. (2000). Perencanaan Teknik Jalan Raya. Bandung: Politeknik Negeri Bandung Jurusan Teknik Sipil.

Hifni, M. (1991). Metode Statistika. Malang: Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.

Marga, Bina. (1983). Petunjuk Pelaksanaan Lapis Perkerasan. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga.

Marga, Bina. (1995). Campuran Aspal Panas. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Marga.

Marga, Bina. (2001). Spesifikasi Volume 3, Seksi 6.3 Campuran Aspal Panas. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Marga.

Sukirman, S. (1999). Perkerasan Lentur Jalan Raya. Bandung: Nova.

You might also like