You are on page 1of 102

1

PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB TENTANG POLIGAMI



SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)

Oleh :
RAHMAT HIDAYAT
NIM : 04210012/S-1










PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MALANG
2008


2
MOTTO

G GG G # ## # & && & , ,, , = == = { {{ { / // / 3 33 3 9 99 9 3 33 3 & && & % %% % ` `` ` & && & # ## # ` `` ` 3 33 3` `` ` F FF F 9 99 9 $ $$ $ 9 99 9 ) )) ) _ __ _ 6 66 6 / // /
m mm m ) )) ) 7 77 7 9 99 9 M MM M ) )) ) 9 99 9 ` `` ` 3 33 3 G GG G

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir
(Q.S Ar-Ruum: 21)
1















1
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya (edisi revisi, Semarang: PT.
Kumudasmoro Grafindo Semarang, 1994), 644.


3
PERSEMBAHAN

Alhamdulillah, puji syukur selalu terpanjatkan ke hadirat Allah SWT, dengan segala rahmat dan
hidayah Nya. Shalawat serta salam tak lupa dihaturkan ke haribaan junjungan Nabi besar
Sayyidul Anbiya Muhammad SAW yang telah memperjuangkan agama yang haq.
Kupersembahankan karya tulis ini untuk :
Bapak dan Ibuku tercinta, Bapak Suroso dan Ibu Marfuatun, dorongan dan bait doa yang tak
pernah henti menjadi motivasi semangat dalam hidupku untuk selalu mempersembahkan yang
terbaik Moga Alllah selalu menjaga keduanya di Dunia maupun di Akhirat.
Mbakku Sri Dewi Handayani dan Masku Andi Santoso terima kasih untuk doa dan
supportnya.
Tak lupa buat Dinda Rohma seorang terkasih yang Allah ciptakan untuk menemani dalam
perjalanan hidupku.
Saudara-saudaraku yang selalu menyemangatiku untuk menjadi yang bermanfaat dan dapat
dibanggakan.










4
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Rahmat Hidayat
NIM : 04210012
Alamat : Menanti, Kecamatan Bilah Hulu, Kabupaten Labuhan Batu
Sumatera Utara 21462
Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan
pada Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyah Fakultas Syariah Universitas Islam
Negeri (UIN) Malang, dengan judul:
PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB TENTANG POLIGAMI

adalah hasil karya saya sendiri, bukan duplikasi dari karya orang lain.
Selanjutnya, apabila dikemudian hari ada claim dari pihak lain, bukan menjadi
tanggung jawab Dosen Pembimbing dan atau Pengelola Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, tetapi menjadi tanggung jawab saya sendiri.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan dari
siapapun.

Malang, 24 Oktober 2008
Penulis

Rahmat Hidayat
NIM. 04210012




5
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Pembimbing penulisan skripsi saudara Rahmat Hidayat, NIM 04210012, mahasiswa
Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah membaca,
mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya dan mengoreksi, maka
skripsi yang bersangkutan dengan judul:
PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB TENTANG POLIGAMI


Telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan
diajukan pada majelis dewan penguji.

Malang, 24 Oktober 2008
Pembimbing

H. Isroqunnajah, M.Ag
NIP. 150 278 262





6
PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB TENTANG POLIGAMI

SKRIPSI
Nama : Rahmat Hidayat
NIM : 04210012
Jurusan : Al-Ahwal As-Syakhshiyyah
Fakultas : Syariah
Tanggal, 24 Oktober 2008
Yang mengajukan
Rahmat Hidayat
04210012/S-1
Telah disetujui oleh:
Pembimbing

H. Isroqunnajah, M.Ag
NIP. 150 278 262
Mengetahui
Dekan Fakultas Syariah

Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP. 150 216 425


7
PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji skripsi saudara Rahmat Hidayat, NIM. 04210012, Mahasiswa
Fakultas Syariah angkatan 2004, dengan judul:
PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB TENTANG POLIGAMI

Telah dinyatakan LULUS dan berhak menyandang gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Dewan Penguji:
1. Musleh Herry, S.H, M.Hum (Ketua Penguji) ( )
NIP. 150 294 456

2. H. Isroqunnajah, M.Ag (Sekretaris Penguji) ( )
NIP. 150 278 262

3. Dr. Umi Sumbulah, M.Ag (Penguji Utama) ( )
NIP. 150 289 266


Malang, 29 Oktober 2008
Dekan Fakultas Syariah

Drs. H. Dahlan Tamrin M.Ag.
NIP. 150 216 425


8
KATA PENGANTAR
Dengan pertolongan Allah Swt dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan studi tingkat pertama
dalam jenjang akademis dengan judul PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH
SHIHAB TENTANG POLIGAMI. Shalawat dan salam atas Nabi Muhammad
saw, keluarga dan sahabat, serta ummatnya yang setia sampai hari kiamat.
Penelitian ini tidak mungkin akan terwujud tanpa bantuan banyak pihak. Oleh
karena itu, maka dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan ucapan terima
kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang.
2. Bapak Drs. H. Dahlan Tamrin M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah Universitas
Islam Negeri (UIN) Malang.
3. Bapak H. Isroqunnajah, M.Ag, selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan
tulus ikhlas telah mengorbankan waktu, pikiran serta tenaga dalam membimbing
penulisan dan penyusunan skripsi ini.
4. Segenap dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, yang
telah banyak berperan aktif dalam menyumbangkan ilmu, wawasan dan
pengetahuannya kepada penulis.
5. Bapak dan Ibuku tercinta dan saudaraku mbak Dewi dan mas Andi yang
senantiasa memberikan kasih sayang, dukungan, baik materil maupun spritual
sampai selesainya skripsi ini.


9
6. KH. Marzuki Mustamar dan Seluruh keluarga besar Pondok Pesantren
Sabilurrosyad, Gasek-Sukun Malang.
7. Adinda Rohma dan tujuh cahaya hidupku, semoga Allah menjadikan kami dari
golongan orang yang taqwa.
8. Teman-teman satu angkatan Fakultas Syariah tahun 2004. Hasanuddin Berutu
(Sidikalang), Sulaeman (Cirebon), Ramadha (Nganjuk), Ali Akbar (Makassar),
Tuti (NTB), Solikhah (Pasuruan), Juwartin (Ngantang), Elmi (Kediri), Anis
(Madiun), Wiwin (Pasuruan), Aisyah, Fifin (Pamekasan), Wahyu (Bengkulu),
dan lainnya yang tidak dapat di sebutkan satu persatu.
9. Teman-teman dan Sedulurku, Mas Qowim, Mas Heri, Mas Hanan, Zainuddin,
Kamsay, Zen, Irfan, Amin, teman-teman kamar Sunan Ampel, Hubeb, Syahrul,
Gus fik, Muttaqin Jambi, teman-teman P.P Sabilurrosyad. Teman kontrakan
Slamet Sidoarjo, Fikri, Tabiin, Ridho, Shodiq, Alfu, Agung, Umam, Saudah,
Husna, Adik-adik di FKMM-SUMUT, Fitri, Rizky, Lily, Fahmi, Ronny, Rifa,
Neta, Eva, Ziza, Reza, dan lainnya yang tidak dapat di sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuh hati bahwa penyelesaian tugas akhir ini masih
jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, wawasan dan
pengalaman penulis. Untuk itu penulis sangat berharap semoga dapat bermanfaat
bagi penulis dan bagi orang yang membacanya. Amin ya rabbal alamin.
Malang, 24 Oktober 2008

Penulis


10
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Halaman Motto........................................................................................... i
Halaman Persembahan...............................................................................ii
Halaman Pernyataan................................................................................. iii
Halaman Persetujuan Pembimbing .......................................................... iv
Halaman Pengajuan Skripsi....................................................................... v
Halaman Pengesahan................................................................................. vi
Kata Pengantar..........................................................................................vii
Daftar Isi .................................................................................................... ix
Abstrak....................................................................................................... xi

BAB I. PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar Belakang Masalah....................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................8
C. Tujuan Penelitian ..............................................................................9
D. Manfaat Penelitian ............................................................................9
E. Penelitian Terdahulu .........................................................................9
F. Metode Penelitian............................................................................. 11
1. Jenis Penelitian .......................................................................... 11
2. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 11
3. Sistematika Pembahasan............................................................ 13




11
BAB II. KAJIAN TEORI .......................................................................... 14
A. Pengertian Poligami ......................................................................... 14
B. Sejarah Poligami .............................................................................. 15
1. Poligami Pra-Islam.................................................................... 19
2. Poligami Pada Masa Islam......................................................... 22
C. Poligami Dalam Al-Quran dan Hadits ............................................. 37
D. Poligami Dalam Hukum Yang Berlaku DiIndonesia......................... 41

Bab III. Poligami Dalam Perspektif Muhammad Quraish Shihab.......... 49
A. Biografi Muhammad Quraish Shihab ............................................... 49
B. Poligami Menurut Muhammad Quraish Shihab ................................ 53

Bab IV. Analisa Data ................................................................................. 71

Bab V. Penutup.......................................................................................... 86

Daftar Pustaka
Lampiran









12
Abstrak
Rahmat Hidayat (04210012). Pemikiran Muhammad Quraish Shihab Tentang
Poligami. Fakultas Syariah Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyah Universitas Islam
Negeri Malang (UIN) Malang. Dosen Pembimbing: H. Isroqunnajah, M.Ag.

Kata kunci: Pemikiran, Poligami, Muhammad Quraish Shihab
Poligami sudah muncul sejak dahulu sebelum agama Islam lahir, dimana hal
poligami tersebut sudah dilakukan oleh orang-orang Yunani dahulu, dan poligami
juga dikenal oleh syariat agama-agama sebelum Islam.
Dalam memahami ayat tentang poligami terjadi perbedaan sehingga
menimbulkan pro dan kontra. Perbedaan tersebut terjadi dalam memahami ayat
poligami tersebut. Oleh karena itu perlu ada pemahaman yang lebih mendalam lagi
untuk memahami ayat poligami tersebut, dan juga harus melihat kepada aspek
sejarah pada masa pelaksanaan poligami baik pada masa Rasulullah dan juga
melihat situasi dan kondisi masyarakat, apakah membutuhkan poligami atau tidak,
sehingga dapat menjadi solusi atau sebaliknya.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pemikiran
Muhammad Quraish Shihab tentang poligami dan juga implikasi dari pemikiran
tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian literatur (Library Research). Sumber data
yang digunakan meliputi primer dan sekunder. Dalam pengumpulan data, peneliti
mengumpulkan buku-buku Quraish Shihab yang membahas poligami yang kemudian
memaparkannya. Hasil analisis terhadap permasalahan yang dibahas dipaparkan
secara deskriptif dalam laporan hasil penelitian.
Muhammad Quraish Shihab berpendapat bahwa poligami seperti pintu
darurat yang boleh dibuka dalam keadaan tertentu saja, dan dengan syarat yang tidak
ringan. Sehingga poligami merupakan salah satu alternatif dalam kondisi darurat saja
dan orang yang ingin melakukan poligami haruslah memiliki pengetahuan tentang
kasih sayang, dukungan baik materil maupun spritual sampai selesainya skripsi ini.
poligami dan dapat memenuhi persyaratan dan ketentuan dalam melakukan poligami.




13











BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan hal yang fitrah bagi setiap manusia yang bertujuan
untuk melangsungkan kehidupan. Allah menciptakan makhluk dengan berpasang-
pasangan, dengan naluri makhluk masing-masing memiliki pasangan dan berupaya
bertemu dengan pasangannya.
2
Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surat
adz-Dzariyat: 49 :
2 ` $)=z ` /3=9 `.?

2
M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran, Kalung Permata Buat Anak-anakku (Cet. III, Jakarta:
Lentera Hati, 2007), 2.


14
Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.

Dari sinilah dapat dipahami bahwa setiap manusia sangat mendambakan
setiap pasangannya dan dapat hidup bersama dengan pasangannya tersebut, sehingga
dalam mengarungi kehidupannya tidak merasa sendiri, melainkan ada seseorang
yang menemani dan mendampingi baik suka maupun duka.
Sedangkan di dalam agama Islam pernikahan merupakan suatu ibadah.
Karena tujuan pernikahan itu sendiri untuk menciptakan rasa tenang, bahagia,
sejahterah atau dengan kata lain untuk membentuk sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya yang terdapat dalam al-Quran surat
ar-Rum: 21:
G# & ,={ /39 3& %`& #`3`F9 $9) _ 6/
m ) 79 M )9 `3G

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.

Keadaan tersebut merupakan dambaan setiap pasangan yang melakukan
pernikahan untuk mengarungi kebahagiaan, cinta dan kasih sayang dalam suatu
bingkai keluarga yang itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat terkecil dan
sebuah keluaga diharapkan akan menjadi sumber mata air kebahagian, cinta, dan
kasih sayang seluruh anggota keluarga nantinya.
Namun, terkadang hal itu tidak dapat terwujud yaitu hidup dengan satu
pasangan saja (sepasang suami isteri), hal ini terjadi karena beberapa faktor, seperti


15
salah satu antara suami isteri tersebut tidak mendapatkan suatu kebahagiaan atau
merasa kurang, sehingga membutuhkan dari yang lain. Oleh karena itu dibutuhkan
solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dalam menyelesaikan permasalan
tersebut sudah dikenal sejak dahulu di masyarakat dengan poligami.
Poligini adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini
beberapa (lebih dari satu) isteri dalam waktu yang bersamaan.
Namun, permasalahan poligami tersebut sampai sekarang masih banyak
menimbulkan kontroversi dan mengalami pro dan kontra. Permasalahan poligami
pernah menjadi sorotan publik ketika berpoligaminya dai selebritis, kondang dan
menjadi idola para wanita KH Abdullah Gymnastiar yang lebih terkenal dengan
sebutan AA Gym yang telah menguak kembali polemik lama mengenai eksistensi
poligami dalam Islam.
Menanggapi permasalahan tersebut, terjadi tambah ramainya pesan pendek
melalui handphone (sms) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sehingga
membuat orang nomor satu di Indonesia tersebut serta merta mengadakan sidang
singkat dengan para menterinya, antara lain Menteri Agama, Menteri Pemberdayaan
Perempuan, dan menteri-menteri lain yang terkait. Isi dari sidang singkat tersebut
berupa peninjauan kembali Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan
tersebut.
3

Sikap pro maupun kontra terhadap poligami sebenarnya sangat bergantung
pada latar belakang sosial budaya dalam suatu komunitas dan sejauh mana

3
Titik Triwulan Tutik dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, Telaah Kontekstual Menurut
Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 (Cet. I, Jakarta: Prestasi
Pustakaraya, 2007), 2.


16
pemahaman suatu kelompok masyarakat (bahkan dalam tingkat negara) terhadap
ajaran agama (Islam) mengenai poligami itu sendiri.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, sehingga dapat di
maklumi bila dalam memahami makna di balik hukum Islam khususnya mengenai
poligami terjadi pro dan kontra.
Pada golongan yang pro atau sepakat dengan poligami itu, mereka memahami
bahwa praktik poligami adalah suatu yang di bolehkan didalam al-Quran
sebagaimana termaktup dalam Q.S an-Nisa: 3 tersebut, dan juga melihat bolehnya
poligami tersebut di pandang dari sisi atau sudut pandang bahwa praktik poligami
tersebut dalam rangka untuk menyelesaikan suatu problem yang terjadi di dalam
keluarga secara khusus maupun masyarakat secara umum yang mana dalam praktik
poligami tersebut dapat mendapatkan maslahah.
Sedangkan pada golongan yang kontra atau tidak sepakat dengan poligami
mengutarakan dengan berbagai pendapatnya, karena hal itu merupakan penindasan
terhadap kaum wanita. Dan mereka juga berdalil pada al-Quran yang terdapat dalam
surat an-Nisa: 3, bahwa asas yang berlaku dalam agama Islam adalah monogami, hal
tersebut terlihat pada akhir ayat tersebut dimana apabila para suami takut tidak
berlaku adil maka seyogyanya melakukan monogami (menikah tidak lebih hanya
satu isteri saja). Dan juga yang terdapat dalam al-Quran surat an-Nisa: 129, ayat
tersebut mengutarakan bahwa suami tidak mungkin dapat berlaku berlaku adil,
sehingga tidak mungkin dapat melakukan praktik poligami. Dari sinilah dapat
dipahami bahwa pada dasarnya ajaran agama Islam dalam hal pernikahan berasaskan
kepada asas monogami.


17
Dalam menyikapi poligami, harus dilihat dari berbagai sisi. Tidak bisa hanya
memandang dari keuntungan dari pihak suami yang melakukan poligami.
Dalil yang bisa digunakan untuk mempersoalkan poligami, yaitu berbagai
kewajiban yang ditetapkan oleh Islam untuk orang yang berpoligami. Kewajiban
yang paling pokok adalah bisa berlaku adil kepada isteri-isterinya dan bisa
memberikan nafkah kepada mereka. Jika tidak memenuhi kewajiban, maka ancaman
akhiratnya sangat berat. Oleh karena itu, jika kira-kira tidak bisa memenuhi berbagai
tanggung jawab dan kewajibannya, maka jangan coba-coba melakukan poligami.
Dalil tentang berpoligami dalam agama Islam sangatlah kuat, tidak diragukan
lagi, mulai dari al-Quran, hadits maupun pernyataan ulama-ulama salaf. Tetapi,
kemudian poligami menjadi isu yang selalu memancing reaksi di Indonesia yang
mana mayoritas penduduknya muslim.
Masalah poligami ini hanyalah pertarungan opini, sehingga menimbulkan pro
dan kontra. Namun, jika kedua belah pihak yang pro dan kontra tersebut sama-sama
jernih dalam bersikap dan berpandangan, maka poligami bisa menjadi solusi
ekonomi, solusi moral dan juga kesucian diri, baik laki-laki maupun perempuan. Bila
seluruh lelaki yang ekonominya mapan mendapat rekomendasi kawin dua dari
isterinya, maka minimal hal itu akan mengurangi angka pelacuran karena alasan
ekonomi.
4
Namun, juga dibarengi dengan syarat-syarat dan ketentuan yang telah di
tentukan, sehingga poligami benar-benar dapat menjadi solusi di tengah masyarakat
dan tidak ada yang merasa dirugikan atas praktik poligami tersebut.

4
Ahmad Dairobi, Poligami dan Kekuatan Opini Perempuan, Buletin Sidogiri, edisi 13, tahun ke II,
Dzul Hijjah 1427 H, hal 14.


18
Dan yang menjadikan perbedaan sehingga menimbulkan pro dan kontra
tersebut adalah terkait dalam memahami, memaknai dan menafsiri ayat poligami itu
sendiri, sehingga terjadi perbedaan dibanyak kalangan. Perbedaan tersebut
dipengaruhi oleh banyak faktor, ada yang setuju dan ada juga yang menentang,
dalam pertentangan tersebut didukung dengan argumen-argumen yang menguatkan
pendapatnya, yang sama-sama menggunakan dalil Al-Quran dan Hadits, yang
membedakannya adalah dalam memahami, memaknai dan menafsiri ayat poligami
tersebut, dengan perbedaan tersebut menghasilkan pemikiran yang berbeda dan
berimplikasi pada hukum yang dihasilkan yang kemudian menjadi bervariasi pula
terkait dengan pelaksanaan hukumnya.
Oleh karena itulah, sampai saat sekarang ini poligami masih menimbulkan
polemik bagi banyak kalangan. Karena poligami atau mempunyai lebih dari satu
isteri itu, terdapat didalam Al-quran, seperti yang terdapat dalam Q.S An-Nisa: 3
) z & #)? G9# #s3$ $ >$ 39 $9# _W ]=O
/' * `Fz & #9? n & $ M3= 3`& 79 & & #9`?
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.



Dan juga pada al-Quran surat an-Nisa: 129
9 #`F`@ & #9? / $9# 9 Fm #=? 2 9#
$'G )=9$. ) #s=`? #)G? * !# %. # $m


19
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pemikiran terhadap satu ayat hukum dalam Al-Quran selalu berimbas pada
pembentukan implikasi hukumnya. Itu tak lain karena pemikiran tersebut yang
diwujudkan dalam satu karya pemahaman, pemaknaan, dan juga penafsiran itu
sesungguhnya merupakan satu bagian dari usaha untuk mendekatkan teks dengan
realitas kontemporer. Oleh karena itu diperlukan pemahaman, pemaknaan dan
penafsiran yang teliti untuk dapat menjelaskan petunjuk-petunjuk dan pesan-pesan
Al-Quaan.
5
Bahkan M.Quraish Shihab dalam bukunya membumikan Al-Quran
menjelaskan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran, melalui penafsiran-
penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat.
Sekaligus penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak
pemikiran mereka.
6
Demikian juga dengan pemikiran terhadap ayat-ayat hukum.
Satu pemikiran dengan pemikiran lainnya tidak mustahil berbeda pendapat, karena
hal itu dipengaruhi oleh lingkungan dimana dan kapan ia hidup. Pemikiran terhadap
satu ayat hukum selalu berimbas pula pada perubahan-perubahan dalam pelaksanaan
hukum itu sendiri. Pemikiran terhadap satu ayat hukum juga tidak sepi dari
pengaruh-pengaruh luar teks sebagai pangkal pemikiran.
Demikian juga dengan Muhammad Quraish Shihab yang akan diteliti ini.
Quraish Shihab adalah seorang ulama dan cendekiawan muslim dan juga sebagai
mufassir yang cukup terkenal dengan kitab tafsirnya Al-Mishbah.

5
M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), 108.
6
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1995), 83.


20
Pemikiran beliau dalam memahami, memaknai dan menafsiri ayat-ayat
hukum dalam Al-Quran patut di perhatikan karena beliau di kenal luas di
masyarakat yang pastinya berdampak luas pula dalam pemikiran hukum Islam.
Penelitian ini bermaksud melihat pemikiran Muhammad Quraish Shihab
dalam memahami ayat tentang poligami dalam Al-Quran yang dikaitkan dengan
konteks sejarah dan realita masa kini.
Oleh karena itulah, kami tertarik menelaah dan menganalisis pemikiran
Quraish Shihab dalam masalah poligami, yaitu bagaimana beliau memahami terkait
tentang ayat-ayat poligami. Dalam hal ini peneliti menelaah pemikiran Quraish
Shihab tentang poligami, peneliti dalam menelaah pemikiran Quraish Shihab tersebut
dengan menelaah dari buku-buku dan juga hasil penafsiran Quraish Shihab tentang
ayat poligami yang terdapat dalam tafsir Al-Mishbah. Dari hasil pemikiran Quraish
Shihab tersebut dapat ditarik suatu pemahaman dalam masalah poligami, sehingga
dapat ditarik suatu implikasi hukum dari pemikiran tersebut.

B. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah yang penulis ungkapkan di
atas, maka akan timbul permasalahan yang banyak. Dan agar lebih fokus, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah yang terkait dengan
pemikiran dari Muhammad Quraish Shihab terkait masalah poligami. Oleh sebab itu,
yang termasuk permasalahan disini adalah:
1. Bagaimana Pemikiran Quraish Shihab tentang poligami?
2. Bagaimana Implikasi Hukum Dari Pemikiran Tersebut?



21
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan diatas, maka disini terdapat beberapa tujuan
yang ingin dicapai oleh peneliti, yaitu: untuk mengetahui pemikiran Quraish Shihab
tentang poligami, dan implikasi hukum dari pemikiran Quraish Shihab tersebut.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Teoritis
a. Untuk memperkaya khasanah keilmuan dalam hal masalah poligami.
b. Untuk memberikan kontribusi keilmuan bagi Fakultas Syariah UIN Malang
tentang poligami.
2. Praktis
Dapat dijadikan sumber wacana bagi setiap pembaca dalam hal poligami.
Sehingga dapat memberikan masukan dan wawasan terkait dengan poligami.

E. Penelitian Terdahulu
Untuk mengetahui lebih jelas tentang penelitian ini, kiranya penting untuk
mengetahui penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini baik secara teori
maupun kontribusi keilmuan. Penelitian yang dilakukan oleh:
Jumhairiyah, pada tahun 2001 dengan judul Konsepsi dan Aplikasi Adil
Sebagai Salah Satu Syarat Poligami (Studi Kasus Pada Perizinan Poligami
diPengadilan Agama Malang dan Persepsi Adil Menurut Para Isteri). Dalam
penelitin ini, penulis memaparkan bahwa secara konsep syarat adil sebagai salah satu
syarat poligami yang terdapat dalam permohonan izin poligami di Pengadilan Agama


22
Malang yang mengacu pada semua aspek bidang perkawinan yang diatur dalam
Undang-undang No 1 tahun 1974. Sedangkan konsep adil dalam poligami menurut
para isteri adalah lancarnya materi, penggiliran yang tepat, nafkah dan kasih sayang.
Islami Rahayu, pada tahun 2003 dengan judul Poligami Sebagai Salah Satu
Alternatif Mengangkat Derajat Kaum Wanita (Studi Komparatif Terhadap
Pandangan Ulama Dalam Hukum Islam dan Undang-undang No 1 tahun
1974). Dalam penelitian ini, penulis membagi kepada dua kelompok ulama yang
setuju dengan poligami dan kelompok yang tidak setuju terhadap poligami. Dimana
kekuatan argumenasi kelompok yang setuju dan kelompok yang tidak setuju
terhadap poligami hal tersebut terletak pada kemashlahatan dan kemudharatan dagi
wanitan dan kesanggupan untuk berlaku adil diantara isteri-isterinya. Sedangkan
tingkat relevansinya terletak pada tingkat harga diri, kehormatan, dan derajat kaum
wanita itu sendiri.
Masfida Eri Mahani, pada tahun 2004 dengan judul Pandangan Hakim
Terhadap Pernyataan Berlaku Adil Dalam Poligami (Studi Kasus di Pengadilan
Agama Malang). Dalam penelitian ini, penulis menyatakan bahwa pernyataan
berlaku adil dalam poligami menurut beberapa hakim sangat bervariasi, dari hasil
wawancara penulis dengan empat hakim hanya ada satu hakim yang menyatakan
bahwa pernyataan adil dalam poligami merupakan keharusan atau prasyarat untuk
dapat diterimanya izin poligami. Lain halnya pendapat hakim yang lainnya yang
menyatakan bahwa tanpa pernyataan adil poligami dapat berlangsung.
Noer Aini Rachman, pada tahun 2007 dengan judul Poligami Dalam
Pandangan Ulama ( Studi Pada pengasuh Pondok Pesantren di Kecamatan
Kraksaan Kabupaten Probolinggo). Dalam penelitian ini, penulis dalam hal ini


23
meneliti terkait dengan pandangan ulama atau kiai yang bermonogami dan yang
berpoligami terhadap praktek poligami. Dimana kesemuanya dari kiai menyetujui
praktik poligami karena menurut para kiai ada dasar hukum dan telah dipraktekkan
pada masa Rasulullah SAW.
Dari beberapa penelitian diatas, bahwa penelitian ini belum pernah diteliti
tentang pemikiran hukum Quraish Shihab dan juga implikasi hukumnya. Dalam hal
ini menelaah dari buku-buku Quraish Shihab yang membahas tentang poligami, dan
penelitian ini merupakan penelitian literatur atau kajian pustaka.

F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat kepustakaan murni (Library Research), deskriptif
analitis dengan metode pendekatan conten analysis, yaitu menggambarkan secara
umum tentang objek yng akan diteliti.
7

Dalam hal ini peneliti memaparkan pemikiran Quraish Shihab terkait dengan
poligami, yang kemudian ditarik suatu implikasi hukum dari pemikirannya.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode pengumpulan
data dengan masalah penelitian yang akan dipecahkan.
8




7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia, 1984), 48.
8
M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Op.Cit., 171.


24
a. Sumber data
Pengelompokan data kepustakaan berdasarkan kekuatan mengikat dari isinya,
adalah:
a. Bahan primer, yakni bahan utama dalam penelitian, yaitu bahan pustaka yang
berisikan tentang pemikiran Quraish shihab terkait poligami. Dalam bahan
primer ini, peneliti membagi lagi menjadi dua, yang menjadi bahan primer adalah
karya Quraish shihab dalam buku Perempuan dan bahan sekunder yaitu
Wawasan Al-Quran, dan tafsir Al-Mishbah yang di jadikan bahan utama dalam
penelitian.
b. Bahan sekunder, yaitu bahan pustaka yamg berisi tentang informasi yang
menjelaskan dan membahas tentang bahan primer.
9
Dalam hal ini buku-buku
atau artikel-artikel dan juga buletin yang mendukung dari bahan primer tersebut.

b. Pengolahan dan Analisa data
Menurut Patton, Analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Ia
membedakannya dengan penafsiran, yaitu dengan memberikan arti yang signifikan
terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan diantara
dimensi-dimensi uraian.
10

Dalam metode ini dilakukan dengan melihat dan menelaah pemikiran dari
Quraish Shihab terkait dengan poligami, serta melihat implikasi hukum dari
pemikirannya.

9
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 103.
10
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 280.


25
G. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih mempermudah dalam memahami isi pembahasan hasil penelitian
yang dalam bentuk skripsi ini, maka dalam pembahasannya peneliti membagi
menjadi lima bab agar tersusun secara sistematis. Dengan perincian sebagai berikut :
Bab satu dalam hal ini penelitian akan memberi gambaran kenapa hal tersebut
harus teliti, dan dalam bab ini berisi latar belakang yang memberi gambaran umum
atas permasalahan yang akan diteliti, rumusan masalah kepada apa yang akan di
teliti, sehingga tidak membuat melebar pembahasan, tujuan dan manfaat penelitian
ini, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan juga dalam pengelolahan data.
Bab dua berisi tentang poligami dalam Islam, yang meliputi pengertian
poligami, sejarah poligami, yang meliputi poligami Pra-Islam, poligami pada masa
Islam, poligami dalam Al-Quran dan Hadits, dan juga poligami ditinjau dari hukum
di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memberikan deskripsi secara umum mengenai
obyek penelitian yang diambil dari berbagai referensi.
Bab III berisi tentang biografi Muhammad Quraish Shihab dan juga poligami
menurut Quraish Shihab. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Quraish Shihab,
dengan memaparkan karyanya, yaitu dalam buku-bukunya yang membahas tentang
poligami.
Pada Bab IV analisis data mengenai pemikiran Quraish Shihab dan Implikasi
hukum dari pemikiran tersebut. Pembahasan ini ditulis sebagai telaah atas
pertanyaan- pertanyaan dalam rumusan masalah.
Bab lima penutup, yang berisi kesimpulan merupakan penjelasan secara
singkat, padat, dan jelas terhadap hasil penelitian. Sehingga mempermudah dalam
memahami dari hasil penelitian ini.


26












BAB II
POLIGAMI DALAM ISLAM

A. Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly atau polus yang berarti
banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi menurut
bahasa poligami adalah suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan
yang lebih dari seorang baik pria maupun wanita. Sedangkan poligami menurut
istilah adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak mengawini beberapa (lebih
dari satu) dalam waktu bersamaan.
11


11
Abuddin Nata, dkk, Insiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, jilid III), 107.


27
Poligami ini dapat digolongkan menjadi tiga bentuk, yaitu:
a. Poligini adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang laki-laki
memiliki atau mengawini beberapa perempuan sebagai isterinya dalam waktu
yang bersamaan.
b. Poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang perempuan
mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan.
c. Perkawinan kelompok merupakan kombinasi poliandri dan poligini.
12


Namun poligami yang berkembang di masyarakat adalah seorang suami yang
mempunyai isteri lebih dari satu. Untuk memudahkan pemahaman pembaca, maka
peneliti disini tetap menggunakan istilah poligami untuk poligini tersebut.

B. Sejarah Poligami
Keberadaan poligami atau menikah lebih dari seorang isteri dalam lintasan
sejarah bukan merupakan masalah baru. Poligami telah ada dalam kehidupan
manusia sejak dahulu kala di antara berbagai kelompok masyarakat di berbagai
kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami jauh sebelum kedatangan Islam,
demikian pula masyarakat lain di sebagian besar kawasan dunia selama masa itu,
termasuk di Indonesia. Para raja dan pembesar kerajaan umumnya memiliki isteri
lebih dari seorang.
13
Poligami ada setiap zaman sebelum Nabi Muhammad, poligami

12
Chandra Sabtia Irawan, Perkawinan Dalam Islam Monogami atau Poligami (Cet. I. Yogyakarta:
An-Naba, 2007), 21.
13
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat.
(Cet.III, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 105.


28
ini juga telah dilakukan oleh orang-orang Yunani yang berkebudayaan tinggi dan
bangsa-bangsa lainnya di dunia.
14

Bila orang menelaah kitab suci agama Yahudi dan Nasrani, maka akan
mendapatkan bahwa poligami telah merupakan jalan hidup yang diterima. Semua
nabi yang disebutkan dalam Talmud, Perjanjian Lama (Bibble), dan Al-Quran,
beristeri lebih dari seorang, seperti Nabi Ibrahim, Nabi daud, Nabi Sulaiman dan
lain-lain.
15

Para ahli ilmu pengetahuan yang mengadakan pembahasan sekitar sebab-
sebab poligami mempunyai beberapa pendapat, antara lain:
1. Poligami timbul sebagai pengaruh dari sifat yang ada pada laki-laki terhadap
wanita.
2. Poligami adalah pengaruh dari faktor seksual yang ada pada laki-laki dan wanita.
3. Poligami adalah pengaruh Undang-undang alam yang amat mempermudah hidup
wanita lebih mudah dari hidup kaum lelaki.
16

1. Sifat yang ada pada laki-laki terhadap wanita
Secara fungsi wanita di ciptakan sebagai pendamping pria (suami), ibu rumah
tangga yang akan melahirkan anak, menyusui, mengasuh dan melayani suami serta
memelihara kesinambungan dalam keluarga, dan pria adalah pemimpin dari kaum
wanita, kepala rumah tangga, pencari nafkah bagi kehidupan dan juga Pembina

14
Yusuf Wibisono, Monogami Atau Poligami, Masalah Sepanjang Masa (Cet. I, Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), 47.
15
Abdul Rahman I Doi, Shariah The Islamic Law, terjemahan, Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi,
Perkawinan Dalam Syariat Islam (Cet. II Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), 46.
16
Syekh Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syariah, alih bahasa Fachruddin dan Nasharuddin,
Aqidah dan Syariat Islam (Cet.I Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984), 195.


29
kehidupan keluarga. Sehingga tidak salah apabila pria adalah pelindung keluarga
(wanita). Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa: 34 yang berbunyi:
`%`9# `% ? $9# $/ !# `/ ? / $/ #)&
9& Ms=9$ MG% Mm ==9 $/ m !# L9# $B
`f# _$9# /# * 6&
#7? = 6 ) !# %. $= #62
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah
Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah
Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Sifat ini yang mendorong laki-laki untuk memiliki sebanyak mungkin wanita.
Sifat itu kalau memang ada dan boleh dijadikan sebab untuk gejala-gejala poligami,
terang pula bahwa itu bukan bertujuan menguasai dan memiliki semata-mata
melainkankan bertujuan memperkenankan panggilan seksual yang ada pada laki-laki.
2. Pengaruh dari faktor seksual yang ada pada laki-laki dan wanita
Wanita secara kodrati diciptakan berbeda dengan pria, baik dari fungsi
maupun fisik. Secara fisik (jasmani) wanita diciptakan dengan sosok lebih lemah,
feminism, dan lmbut budi pekertinya dibanding pria, termasuk di dalamnya sistem
reproduksi biologisnya. Sedangkan pria memiliki postur tubuh yang gentle, perkasa,
berotot, dan kuat. Kondisi biologis demikian berpengaruh terhadap perilaku seksual
mereka.


30
Pengaruh dari faktor seksual yang ada pada laki-laki dan wanita tersebut
menuntut senantiasa adanya kekuatan dan kesediaan untuk itu. Dalam pada itu, pada
wanita terjadi di mana kesediaannya sama sekali tidak ada, seperti dalam masa haid,
mengandung, melahirkan dan nifas. Juga kesediaan masa penerimaan wanita lebih
pendek dari pada masa kesediaan laki-laki. Masa kesediaan wanita habis sampai
wanita berhenti haid, sedangkan kesediaan laki-laki mengingat kesehatan dan
kekuatan badannya sampai kepada umur 40 atau 50 tahun. Bahkan hasil medis
menentukan, bahwa seorang laki-laki memiliki kekuatan seksual selama dalam
kondisi sehat. Artinya, bagi laki-laki kesediaan seksual tidak mengenal batas umur
asalkan kondisi tubuhnya sehat. Hal ini akan mengancam kesehatan dan susila laki-
laki jika tidak di salurkan.
Berdasarkan demikian, bahwa poligami untuk memelihara kesucian dan
kesopanan adalah suatu yang baik, asal sanggup mengendalikan hati untuk adil
antara isteri.
3. Pengaruh Undang-undang alam yang amat mempermudah hidup wanita lebih
mudah dari hidup kaum lelaki
Undang-undang alam menentukan kekejaman alam terhadap laki-laki yang
menyebabkan tingkat angka kematian di kalangan laki-laki lebih tinggi dari pada
dikalangan perempuan. Kalau tidak ada sebab-sebabnya selain peperangan yang
selalu dikobarkan diseluruh pelosok dunia, itu saja sudah cukup kiranya untuk
membuktikan kekejaman alam terhadap laki-laki. Apalagi kalau dipikirkan bahaya
peperangan yang menyikat jiwa laki-laki dan mengakibatkan kebanyakan penduduk
terdiri anak-anak, orang tua, dan wanita. Tambah lagi menghadang kesulitan
perjuangan hidup yang meminta korban nyawa, terutama di lapisan yang melakukan


31
pekerjaan di antara besi dan api, di dasar lautan, di tengah-tengah ombak dan
gelombang serta pekerjaan lain yang banyak menimbulkan resiko korban jiwa bagi
laki-laki.
Itulah sebab-sebab sosial, biologis, dan norma menurut pendapat para sarjana
dan ahli-ahli penyelidik. Sebab-sebab itu dirumuskan oleh karenanya poligami
mendapatkan kedududukan kuat dalam pergaulan di zaman dahulu.
Dan poligami pada dasarnya merupakan kodrati yang dimiliki oleh manusia
(lelaki) yang keberadaannya sudah ada sejak peradaban manusia itu sendiri.
17

1. Poligami Pra-Islam
Praktek poligami sudah dilakukan sejak sebelum agama Islam lahir, hal itu
terlihat sudah dipaktikkan oleh masyarakat sejak dahulu, dan juga agama Yahudi dan
Nasrani tidak melarang poligami, hal itu terdapat dalam Talmud, Perjanjian Lama
(Bibble), dan Al-Quran, bahwa Nabi-nabi terdahulu juga beristeri lebih dari seorang,
seperti Nabi Ibrahim, Nabi daud, Nabi Sulaiman dan lain-lain.
Namun, praktik poligami sebelum Islam dilakukan tanpa batas. Bahkan
diArab sebelum Islam juga telah dipraktikkan poligami yang tanpa batas tersebut.
Bentuk poligami ini di kenal pula oleh orang-orang Medes, Babilonia, Abbesinia,
dan Persia. Nabi Muhammad saw membolehkan poligami di antara masyarakatnya
karena hal itu telah dipraktekkan juga oleh orang-orang Yunani yang diantaranya
bahkan seorang isteri bukan hanya dapat dipertukarkan tetapi juga bisa diperjual
belikan secara lazim antara mereka.
18


17
Titik Triwulan Tutik dan Trianto, Op.Cit., 62.
18
Titik Triwulan Tutik dan Trianto, Ibid, 57.


32
Bahkan budaya Arab sebelum Islam mengenal institusi pernikahan yang
kurang beradab, dimana tidak saja para laki-laki memilih banyak isteri, bahkan para
perempuan menggauli banyak pria dan menjadikannya suami.
19

Poligami sudah dikenal sejak lama oleh orang-orang Mesir, Perancis,
Asyuria, Babilonia, dan India, sebagaimana diketahui oleh orang-orang Rusia dan
Jerman, sebagian raja-raja Yunani, dan sebagaimana juga yang telah diberitakan oleh
agama Yahudi dan kitab mereka tidak melarang adanya poligami.
Risalah Taurat memberikan kebebasan kepada kaumnya untuk berpoligami
tanpa ada batasan-batasan tertentu, yakni jumlah perempuan yang boleh dinikahi.
Taurat juga menyebutkan beberapa Nabi yang melakukan poligami tanpa
menyebutkan jumlahnya. Taurat menyebutkan, Seorang perempuan dengan
saudara perempuannya tidak boleh dijadikan isteri simpanan untuk membuka
keburukannya dalam hidupnya. Maksud kitab ini adalah tidak pernah ada
pengharaman terhadap poligami, tetapi yang diharamkan apabila seorang laki-laki
menikahi saudara perempuan isterinya.
Kitab Taurat ini juga mengandung berita yang mengatakan bahwa nabi Daud
memiliki 99 isteri dari perempuan merdeka dan 300 isteri dari budak. Sedangkan Isa
bin Ishaq memiliki isteri lebih dari satu, sebagaimana terkandung dalam Taurat,
Maka, Isa pergi ke Ismail untuk memeristeri Mahlah binti Ismail bin Ibrahim,
saudara perempuan Nabayut, atas isteri-isterinya.
Taurat juga menyebutkan bahwa nabi Sulaiman a.s memiliki lebih dari satu
isteri dengan mengatakan: Dia (Sulaiman a.s) memiliki 900 isteri dari perempuan
bebas dan 300 dari budak.

19
Chandra Sabtia Irawan, Op.Cit, 25.


33
Rasulullah bersabda,Sulaiman bin Daud a.s. berkata, Saya akan tidur
dengan isteri-isteri saya sebanyak 99 orang dalam satu malam, yang akan
menghasilkan para penunggang kuda dalam berjihad. Kemudian sahabat Sulaiman
berkata insya Allah. Tetapi nabi Sulaiman tidak mengatakan insya Allah, sehingga
dari semua isterinya itu, tidak ada yang hamil kecuali satu perempuan saja yang
melahirkan seorang anak laki-laki yang cacat kakinya. Orang yang bersama
Rasullah berpendapat apabila Sulaiman a.s mengucapkan insya Allah, maka semua
anaknya akan menjadi penunggang kuda yang mampu berjihad di jalan Allah.
Hadits tersebut menegaskan bahwa nabi Sulaiman melakukan poligami. Jadi
poligami pernah lahir dalam syariat-syariat sebelum Islam. Ketika Allah swt
mengutus Musa a.s maka dia menetapkan poligami tanpa ada batasan jumlah wanita
yang boleh dinikahi. Sehingga Bani Talmud memberikan batasan dalam berpoligami.
Lain halnya dengan dengan Bani Israil yang mengharamkannya dan sebagian mereka
menghalalkannya dengan alasan apabila isterinya sakit, mandul, berkhianat, dan
sebagainya. Menurut Yahudi bahwa Talmud membolehkan poligami tetapi memberi
batasan tertentu.
Dasar poligami telah muncul pada zaman Bani Israil, dan tidak ada undang-
undang regional ataupun syariat yang melarangnya. Dan Yahudi hidup dalam
kelompok masyarakat yang sudah terbiasa dengan poligami sampai akhirnya terdapat
ketetapan gereja yang melarang poligami, untuk menekan kehidupan masyarakat
pada saat itu. Ketetapan tersebut terjadi kurang lebih pada abad sebelas yang
dipublikasikan oleh Dewan Gereja dikota Warmes, Jerman. Pada mulanya ketetapan
ini hanya berlaku bagi orang Yahudi di Jerman dan diutara Perancis. Yang
kemudian menyebar keseluruh umat Yahudi di Eropa. Undang-undang perdata


34
Yahudi telah memtuskan untuk melarang poligami, dan mengharuskan untuk
bersumpah setia ketika mengadakan akad nikah. Apabila seorang laki-laki ingin
menikah dengan perempuan lain lagi, maka dia harus menceraikan isteri pertamanya
dan memberikan semua hak-haknya, kecuali apabila isterinya membolehkan untuk
menikah lagi, dan dengan lapang hati untuk berkeluarga dengan dua isteri dan
berbuat adil antara keduanya. Mereka juga dibolehkan untuk berpoligami, seperti
apabila isterinya mandul.
20

Apabila kita melihat dari penjelasan diatas maka kita akan dapat mengetahui
bahwa praktek poligami sudah terjadi pada zaman Bani Israil yaitu dari golongan
orang-orang Yahudi.
Agama al-Masih, pada dasarnya tidak melarang umatnya untuk berpoligami,
bahkan dalam ajarannya terdapat nash yang membolehkan mereka untuk
berpoligami, sebagaimana yang dikatakan oleh Bulls yang mengatakan, Seharusnya
para uskup tidak hanya memiliki satu isteri saja. Begitu juga dia mengatakan,
Seharusnya penjaga gereja memiliki isteri satu.
21

Dari keterangan diatas bahwa poligami sudah dilakukan atau dipraktikkan
sebelum agama Islam muncul.


2. Poligami Pada Masa Islam
Islam membolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan yang ditetapkan
bagi tuntunan kehidupan. Allah paling mengetahui kemaslahatan hambanya. Allah

20
Karim Hilmi Farhat Ahmad, Taaddu az-Zauzah fi al-Adyan diterjemahkan oleh Munirul Abidin
Farhan, Poligami Berkah atau Musibah (Cet. I, Jakarta: Senayan Publishing, 2007), 6.
21
Karim Hilmi Ahmad, Ibid., 9.


35
mensyariatkan poligami untuk diterima tanpa keraguan demi kebahagian seorang
mukmin didunia dan akhirat. Islam tidak menciptakan aturan poligami dan tidak
mewajibkan poligami terhadap kaum muslimin. Dan hukum dibolehkannya telah
didahului oleh agama-agama lainnya, seperti agama Yahudi dan Nasrani.
Kedatangan Islam memberikan landasan dan dasar yang kuat untuk mengatur
dan serta membatasi keburukan dan kemudharatannya yang terdapat dalam
masyarakat yang melakukan poligami.
Tujuan semua itu adalah untuk memelihara hak-hak wanita, memelihara
kemuliaan mereka yang dahulu terabaikan karena poligami yang tanpa ikatan,
persyaratan, dan jumlah tertentu.
Syariat Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban terhadap laki-laki
muslim dan tidak mewajibkan pihak wanita atau keluarganya menagawinkan
anaknya dengan laki-laki yang telah beristeri satu atau lebih. Syariat memberikan
hak kepada wanita dan keluarganya untuk menerima poligami jika terdapat manfaat
atau maslahat bagi putri mereka, dan mereka berhak menolak jika dikhawatirkan
sebaliknya.
Seorang wanita yang bersedia dimadu membuktikan kerelaan dan
kepuasannya bahwa perkawinannya itu tidak akan mengakibatkan kemudharatan,
mengabaikan haknya, atau merendahkan martabatnya.
Syariat poligami dan pembatasannya terdapat dalam dua ayat firman Allah
berikut ini:
a.Q.S an-Nisa: 3


36
) z & #)? G9# #s3$ $ >$ 39 $9# _W ]=O
/' * `Fz & #9? n & $ M3= 3`& 79 & & #9`?
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.

b.Q.S an-Nisa: 129
9 #`F`@ & #9? / $9# 9 Fm #=? 2 9#
$'G )=9$. ) #s=`? #)G? * !# %. # $m
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Kedua ayat di atas cukup menjelaskan hal-hal yang telah dipahami
Rasulullah, sahabat-sahabatnya, tabiin, dan jumhur ulama muslimin tentang hukum-
hukum berikut ini:
1. Boleh berpoligami paling banyak hingga empat orang isteri.
2. Disyariatkan dapat berbuat adil diantara isteri-isterinya. Barang siapa yang
belum mampu memenuhi ketentuan diatas, dia tidak boleh mengawini wanita
lebih dari satu orang. Seorang laki-laki yang sebenarnya meyakini dirinya
tidak akan mampu berbuat adil, tetapi tetap melakukan poligami, dikatakan
bahwa akad nikahnya sah, tetapi dia telah berbuat dosa.
3. Keadilan yang disyaratkan oleh ayat diatas mencakup keadilan dalam tempat
tinggal, makan, dan minum, serta perlakuan lahir bathin.


37
4. Kemampuan suami dalam hal nafkah kepada isteri kedua dan anak-anaknya.

Ayat kedua ditafsirkan bahwa keadilan yang berkaitan dengan kasih sayang
dan kecenderungan hati tidak mungkin terlaksana. Tetapi, seorang suami tidak boleh
menjauhi isteri pertamanya dan membiarkannya terkatung-katung, tidak
diperlakukan sebagai isteri, dan juga tidak dicerai. Suami harus memperlakukan
isterinya dengan baik agar memperoleh cintanya. Allah tidak menuntut suami atas
kecenderungan hatinya asalkan tidak berlebih-lebihan dan tetap mengindahkan isteri
pertamanya.
22
dan juga poligami dilakukan kalau memang lelaki itu merasa aman
tidak akan terganggu dengan isteri-isterinya. Dia tidak akan melalaikan hak Allah
pada dirinya lantaran isteri-isterinya dan tidak tersibukkan dengan mereka untuk
beribadah kepada Allah.
23

Dalam masalah fisik material, Rasulullah saw sangat adil kepada seluruh
isterinya, tetapi beliau lebih menaruh kecenderungan cintanya kepada Aisyah ra
melebihi isteri-isteri lainnya. Tentang kecenderungan cintanya itu, beliau berdoa
kepada Allah: Ya Allah, ini adalah bagian yang bisa kumiliki, maka janganlah
menuntut aku terhadap apa yang Engkau miliki dan yang tidak aku miliki.
Kalangan yang tidak memahami syariat Islam mengklaim bahwa al-Quran
melarang poligami dalam dua ayat diatas. Menurut mereka, ayat pertama
membolehkan praktik poligami dengan syarat harus ada keadilan di antara isteri-
isterinya, sedangkan ayat kedua menetapkan bahwa keadilan terhadap isteri

22
Musfir Husain aj-Jahrani, Nazharatun fi Taaddudi az-Zaujat diterjemahkan Muh. Suten Ritonga,
Poligami Dari Berbagai Persepsi (Cet. II, Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 41.
23
Abu Abdillah Musthofa al-Adawi, Ahkam an-Nikah wa az-Zifaf, diterjemahkan Aris Munandar dan
Eko Haryono, Tanya Jawab Masalah Nikah Dari A sampai Z (Cet. I; Yogyakarta: Media Hidayah,
2005), 298.


38
merupakan hal yang mustahil. Dengan demikian, praktik poligami harus memenuhi
persyratan-persyaratan yang mustahil dapat dipenuhi sehingga poligami itu dilarang.
Kita lihat bahwa tuduhan itu tidaklah benar karena alasan-alasan di bawah
ini:
1. Bersikap adil yang disyaratkat pada ayat pertama ...maka kawinilah wanita-
wanita lain yang kamu cintai... (Q.S an-Nisa: 3) bukanlah adil yang di
tetapkan sebagai mustahil yang tercantum pada ayat kedua: ...sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu walaupun kamu sangat
ingin berlaku demikian... ( Q.S an-Nisa: 129). Adil pada ayat pertama erat
kaitannya dengan masalah fisik (material) yang terasa, seperti papan,
sandang, pangan, giliran bermalam, dan perlakuan. Adapun adil yang
mustahil direalisasikan oleh manusia adalah keadilan yang berkaitan dengan
masalah immaterial, seperti kecintaan dan kecenderungan hati.
2. Tidak masuk akal jika Allah membolehkan praktik poligami kemudian
dikaitkan dengan persyaratan yang mustahil dapat dilakukan manusia. Jika
Allah menghendaki, untuk melarangnya, pasti Dia akan langsung
melarangnya dengan satu ungkapan kita (lafal) yang tercantum dalam satu
ayat.
3. Nash al-Quran atas pengharaman menghimpun dua isteri yang bersaudara
kandung, seperti dalam ayat berikut ini, Q.S an-Nisa: 23 :
M`m 6= 3G& 3?$/ 6?z& 3G 3G=z
N$/ {# N$/ Mz{# `6F& L9# 3& 6?z&


39
9# M& 3$ `66/ L9# 2f`m
`3$ L9# F=z / * 9 #3? F=z / y$`_
6= `=m `6$/& 9# 67=& & #`f? /
Gz{# ) $ % #= ) !# %. # $m
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi
jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

4. Rasullah saw pernah memerintah para suami yang memiliki isteri lebih dari
empat (diantaranya Qais bin Tsabit beristeri delapan orang dan Naufal bin
Muawiyah beristeri lima orang) untuk menceraikan lebihnya jika praktik
poligami mereka telah keluar dari ketentuan. Hal-hal tersebut merupakan
argumenasi atau dalil yang kuat tentang bolehnya melakukan praktik
poligami.
5. Rasulullah saw pun juga melakukan paktik poligami dan ketika wafat beliau
meninggalkan sembilan orang isteri. Para sahabat dan kaum muslimin pun
melakukan praktik poligami.
24


24
Musfir Husain aj-Jahrani, Op.Cit., 44.


40
Poligami ini juga bukan kewajiban bagi setiap muslim, dalam hal ini sebagian
ulama fuqaha berpendapat bahwa seorang wanita berhak membuat perjanjian dengan
laki-laki yang akan menikahinya bahwa setelah menikah nanti dia tidak akan
dimadu, jika ternyata suami tidak mampu menepati janji, artinya dia ternyata
menikah lagi, isteri berhak mengajukan cerai.
Tidak diragukan bahwa dalam agama Islam menetapkan poligami dengan
kandungan hikmah yang sangat tinggi serta membawa maslahat bagi semua lapisan
masyarakat baik secara langsung ataupun tidak, kemaslahatan tersebut paling tidak,
meliputi tiga hal yaitu:
1. Mengatasi Problem Sosial
Poligami dalam kehidupan masyarakat kita sering dipandang sebagai suatu
problem yang sangat ditakuti kaum wanita. Padahal justru karena tidak
diterapkannya sistem poligami, maka problem terus meningkat dikalangan kaum
wanita. Namun, amat mengherankan karena justru problem ini tidak ditakuti
walaupun telah membuat wanita menderita. Hal itu terjadi karena kurangnya
pemahaman makna dan sasaran poligami serta kurangnya persiapan bagi yang
melakukan poligami. Ada problem sosial yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya
sehingga menuntut agar poligami diterapkan dalam kehidupan masyarakat, yaitu:
Berkurangnya kaum pria akibat perang baik sebab politik maupun agama. Di Eropa
telah terjadi dua kali perang dunia yang telah menelan korban mencapai jutaan kaum
pria. Sehingga masyarakat Eropa dipenuhi dengan kaum wanita yang telah
kehilangan suami dan gadis-gadis yang masih menunggu giliran sampai memasuki
usia lanjut. Karena itu, sangat logis jika organisasi wanita di Eropa seperti jerman
menuntut pemerintah setempat agar poligami diperbolehkan bagi setiap laki-laki


41
yang mampu. Atau dengan kata lain, mereka menuntut agar ditetapkan atas setiap
pria berkewajiban memenuhi keperluan wanita lebih dari satu orang karena setiap
seorang laki-laki diperlukan untuk melindungi lebih dari seorang perempuan.
25

2. Mengatasi Problem Pribadi
Poligami sangat berperan dalam mengatasi problem pribadi yang muncul
dengan beberapa sebab seperti isteri mandul, sementara suami mengharapkan untuk
memiliki keturunan, isteri memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan, suami
yang sering keluar kota atau negeri yang tidak mungkin membawa isteri, dan suami
yang memiliki kekuatan seksual yang tinggi.
Hal ini merupakan pilihan tepat untuk berpoligami dari pada isteri di ceraikan
dan menjadi janda, dalam kondisi seperti inilah yang akan menjadi problem lagi bagi
wanita.
3. Mengatasi Kerusakan Akhlak
Secara umum, laki-laki dan wanita yang berpoligami sesuai dengan syariat
akan diantarkan kepada kehidupan yang istiqamah, dan hidupnya jauh dari kesesatan.
Bagaimanapun, poligami mampu memelihara kebaikan akhlak, memperkuat
hubungan kemasyarakatan, serta menciptakan ketenangan dan keamanan hidup.
Poligami merupakan solusi syariat untuk memelihara manusia agar tidak jatuh
kepada kehidupan yang asusila (melampiaskan hawa nafsunya secara liar).
Allah swt telah mensyariatkan poligami untuk hamba-Nya. Dalam hal ini,
Islam telah mengatur dan membatasi praktik poligami dengan syarat-syarat poligami
dalam tiga faktor berikut ini:
a. Faktor Jumlah

25
Saiful Islam Mubarak, Poligami Antara Pro dan Kontra (Cet. II, Bandung: Syamil, 2007), 20.


42
b. Faktor Nafkah
c. Faktor Keadilan di Antara Para Isteri
a. Faktor Jumlah
Peraturan poligami telah di kenal dan dibolehkan sebelum Islam lahir dan itu
berlaku di kalangan penganut agama-agama lain, seperti Yahudi, Majusi, dan juga
yang lainnya. Agama-agama tersebut membolehkan praktik poligami dengan jumlah
yang tidak terbatas.
Aturan tentang poligami memang sudah dikenal dan berlaku dalam kabilah-
kabilah Arab Jahiliyah tanpa batasan tertentu. Telah dikatakan bahwa ada hadits
yang mengatakan terdapatnya poligami di kalangan orang-orang Arab ketika mereka
memeluk agama Islam dan tanpa pembatasan jumlah. Seperti yang diriwayatkan dari
Ghailan bin Salamah ats Tsaqafi bahwa dirinya memiliki sepuluh orang isteri. Ketika
masuk Islam, Rasulullah saw berkata: Pilih empat orang dan ceraikan yang
lainnya. Dan juga Naufal bin Muawiyah berkata: Tatkala aku masuk Islam, aku
memiliki lima orang isteri. Rasulullah saw berkata: Ceraikanlah yang satu dan
pertahankan yang empat.
Setelah Islam lahir, dasar-dasar dan syarat poligami diatur sedemikian rupa
sehingga jelaslah bahwa jumlah yang di perbolehkan adalah empat orang dan
ditekankan prinsip keadilan di antara para isteri dalam masalah fisik material atau
nafkah bagi isteri dan anak-anaknya.
Pada dasarnya, poligami dibolehkan dalam Islam dan bukan dengan syarat
karena Isteri pertama sakit atau mandul, selama suami mampu memenuhi beban
nafkah kepada isteri dan anak-anaknya.


43
Umar ibnul Khattab telah menawarkan anaknya, hafshah, kepada Abu Bakar
yang telah mempunyai isteri lebih dari seorang dan isteri-isterinya itu tidak dalam
keadaan sakit atau mandul. Namun, Abu Bakar menolak dengan halus tawaran
tersebut, begitu juga dengan Utsman, hingga akhirnya dinikahi oleh Nabi saw.
Dalam hal ini, umat muslim telah sepakat mengatakan bahwa tidak boleh
terjadi poligami untuk lebih dari empat orang wanita walaupun ada beberapa
kalangan ada berbeda, hal ini terkait dengan penafsiran Q.S an-Nisa: 3 tersebut. Dan
terkait pembatasan jumlah hanya empat orang itu, telah terbukti sejak kehidupan
Rasulullah saw sampai dengan sekarang. Adapun mengenai praktik poligami
Rasulullah saw hingga sembilan orang isteri, itu merupakan kekhususan beliau yang
tidak boleh ditiru oleh umatnya.
26

Terkait dengan hikmah yang terkandung dalam pembatasan jumlah empat
orang wanita (tidak kurang dan tidak lebih). Kalangan pakar hanya menduga-duga
penyebab pembatasan jumlah wanita yang boleh dimadu hanya empat orang.
Ada yang berpendapat mungkin disesuaikan dengan adaptasi dari empat
musim, ada yang menyimpulkan jumlah laki-laki satu banding empat, ada yang
berpendapat karena kalangan laki-laki mencoba menghimpun berbagai jenis wanita
pendek, tinggi, kurus, dan gemuk dalam soal bentuk tubuh, ada juga yang karena
menginginkan dari jenis kulit, putih, pirang, hitam manis, dan kuning langsat.
Ada juga berpendapat karena ingin menghimpun wanita yang beragama kuat,
berparas cantik, keturunan bangsawan, dan memiliki harta (empat perkara ini
merupakan hal yang dipandang sebagai pertimbangan laki-laki dalam memilih isteri).
Batasan itupun sesuai dengan situasi bulanan kaum wanita yang meliputi masa haid.

26
Musfir Husain aj-Jahrani, Op.Cit., 54.


44
Jika dia memiliki empat isteri, dia akan mendapati diantara isteri-isterinya satu orang
yang telah suci.
Secara universal, pernyataan tersebut hanyalah intepretasi ijtihadiah dan
pendapat yang bisa benar dan juga bisa tidak. Dan hanya Allah-lah yang Maha Tahu.
b. Faktor Nafkah
Nafkah mencakup makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan alat-alat
rumah tangga yang umum. Laki-laki yang ingin menikah pertama-tama harus mampu
menyediakan biaya untuk menafkahi wanita yang akan dinikahi. Sebagaimana
menurut syariat, jika seorang laki-laki belum memiliki sumber rizki atau penghasilan
untuk menafkahi isteri, dia belum dibolehkan kawin. Hal pertama yang harus
diperhatikan laki-laki dan perempuan dalam berumah tangga adalah pemenuhan
kebutuhan material.
27
Dengan kecukupan materi, maka akan dapat diraih
ketentraman, maka disini letak sasaran nikah mendapat sakinah (ketenangan) karena
terpenuhinya kebutuhan materi.
28

Menurut ijma, hukum memberi nafkaf itu adalah wajib, sebagaimana wasiat
Nabi pada hajjatul wada: Bertakwalah kamu dalam urusan wanita, sesungguhnya
kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah. Dan telah dihalalkan
kepadamu kesucian mereka dengan kalimat Allah. Dan bagimu atas mereka, yaitu
tidak menginjak tempat tidurmu seseorang yang kamu tidak sukai. Jika mereka
berbuat demikian pukullah mereka dengan pukulan yang tidak memberi bekas.

27
Husain Mazhariri, Akhlak dar Khoneh diterjemahkan Abdullah Assegaf, Membangun Surga Dalam
Rumah Tangga (Cet. X, Jakarta: Cahaya, 2006), 247.
28
Umay M. Djafar Shiddieq, Indahnya Keluarga Sakinah Dalam Naungan al-Quran dan as-Sunah
(Cet. I, Jakarta: Zakia Press, 2004), 16.


45
Kewajiban kamu atas mereka bahwa kamu menafkahi mereka dan memberi pakaian
dengan baik.
Pada hadits yang lain Rasulullah saw ditanya tentang kewajiban nafkah suami
terhadap isterinya, beliau menjawab:
Beri makan dia jika kamu makan, beri pakaian dia jika kamu berpakaian,
jangan pukul muka (wajah), jangan menjelek-jelekkan dia, dan jangan menjauhi dia
kecuali di dalam rumah.
29

Dengan demikian, tidak ada ikhtilaf di antara fuqaha tentang kewajiban suami
terhadap isterinya, baik makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan
lainnya.
c. Faktor Keadilan di Antara Para Isteri
Dalam Q.S an-Nisa: 3 merupakan dasar keadilan yang harus ditegakkan.
Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang mampu diwujudkan manusia dalam
kehidupan sehari-harinya, yaitu persamaan diantara isteri-isteri dalam urusan
sandang, pangan, rumah tempat tinggal, dan perlakuan yang layak terhadap mereka
masing-masing. Adapun keadilan dalam urusan yang tidak mampu diwujudkan dan
disamakan seperti cinta atau kecenderungan hati, maka suami tidak dituntut
mewujudkannya. Allah swt berfirman dalam surat al-Baqarah: 286:
#=3` !# $ ) $``
Allah tidak memberati seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya

29
Musfir Husain aj-Jahrani., Op.Cit., 57.


46
Kecintaan terhadap seseorang isteri dan kecenderungan hati padanya
berkenaan dengan surat an-Nisa: 129: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil diantara isteri-isterimu walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian.
Adil yang dituntut pada ayat pertama mencakup adil dalam hal-hal yang
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat dzahir atau nyata.
Rasulullah saw adalah orang yang paling mengetahui tentang agama dan
paling berhasrat melaksanakan keadilan diantara isteri-isterinya, dimana beliau
pernah berdoa: Ya, Allah bagian yang aku miliki dan janganlah Engkau
menyalahkan aku dalam hal yang tidak aku miliki, karena beliau lebih mencintai
Aisyah daripada isteri-isterinya yang lain. Allah swt mengingatkan kita agar hati dan
kecintaan kita tidak terlalu cenderung kepada salah seorang isteri sementara yang
lain dilupakan dan ditelantarkan.
Apabila seorang muslim ingin berpoligami, sedangkan dia yakin bahwa
dirinya tidak mampu menerapkan keadilan diantara isteri-isterinya dalam masalah
kebutuhan materi, maka itu adalah dosa di sisi Allah, dan wajib baginya untuk tidak
kawin lebih dari seorang isteri. Rasulullah bersabda: Apabila ada seorang laki-laki
mempunyai dua orang isteri dan tidak berlaku adil diantara keduanya, maka dia akan
datang pada hari kiamat dengan badannya miring.
Masalah yang berkaitan dengan bermalamnya seorang suami dengan isteri-
isterinya harus jelas, sehingga dari situ akan terdapat jadwal kapan seorang suami
berada di rumah isteri yang satu jika dia memiliki rumah atau di kamar yang khusus.
Pembagian jadwal yang jelas seperti itu harus sama bagi isteri yang sehat, sakit, haid,
atau nifas, karena yang di maksud dengan bermalam beramanya (suami-isteri) itu


47
adalah hiburan dan kesenangan bagi isteri karena seorang suami terhibur oleh
isterinya meskipun tanpa bersetubuh, tetapi juga dengan saling memandang,
berbincang-bincang, pegang memegang, berciuman dan lain sebagainya. Karena hal
tersebut sebagai bentuk adil dalam melayani isteri, baik itu urusan nafkah, tempat
tinggal, pakaian, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriah.
30

Penyamarataan dalam hubungan jima antara isteri yang satu dengan isteri
yang lain tidaklah wajib atas suami. Penyamarataan dalam jima sebaiknya satu hari
satu malam untuk setiap isteri. Boleh juga dilakukan pembagian dengan dua malam
atau tiga malam. Dalam hal ini, menginapnya seorang suami di tempat seorang isteri
tidak boleh lebih dari tiga malam kecuali atas kesepakatan isteri-isteri lainnya.
Jika suatu waktu suami bepergian dan dia memerlukan di temani salah
seorang dari isteri-isterinya, dia berhak untuk memilih salah satu diantara mereka.
Apabila hal itu di tolak oleh isteri-isteri yang lain dan menimbulkan sengketa,
hendaknya suami mengundi di antara mereka untuk menentukan siapa yang akan
menemaninya. Hal seperti itu juga dilakukan oleh Rasulullah saw yaitu dengan cara
undian untuk menemaninya dalam perjalanan. Di dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah ra dikatakan: Bahwasanya Nabi saw bila ingin bepergian,
beliau mengundi di antara para isterinya. Siapa yang terpilih dalam undian itu, dialah
yang akan menemani Nabi saw (HR. Abu Daud).
Jika seorang suami menikah dengan seorang janda, dia di haruskan tinggal
(tidur bersama) isterinya itu selama tiga hari dan jika mengawini seorang gadis
(perawan), dia harus tinggal bersamanya selama tujuh hari. Dalam hal ini, isteri-isteri
yang lama tidak berhak menuntut diperlakukan seperti isteri yang baru (muda).

30
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Cet. II, Jakarta: Kencana, 2006), 129.


48
Demikian ketiga syarat yang ditetapkan syariat Islam dalam hal berpoligami.
Dan juga tidak boleh memadu dua orang yang mahram, yaitu mengawini dua orang
kakak beradik sebagaimana ketetapan dalam kitab Allah swt. Tujuan diharamkannya
menghimpun dua orang bersaudara dalam poligami adalah untuk menjaga hubungan
cinta dan kasih saying diantara anggota keluarga muslim. Bagaimanapun, setiap
isteri senantiasa mengusahakan agar kebaikan suaminya hanya terlimpah kepadanya
sehingga akan tumbuh kebencian dan kecemburuan jika suaminya memberikan
sesuatu kepada orang tua, kakak atau adiknya. Karena itulah Allah melarang para
laki-laki memadu dua wanita kakak beradik. Jika hal itu dilanggar, para isteri akan
saling menghalangi dalam memperoleh kebaikan suami sehingga terputuslah
hubungan cinta dan kasih saying antara mereka yang bersaudara kandung, atau
paling tidak muncul kecemburuan dan persengketaan di antara mereka.
31

Ada beberapa adab yang perlu di pelihara seorang suami dalam bergaul
dengan isteri-isterinya, yaitu antara lain:
1. Persamaan sikap dalam pergaulan sehari-hari.
2. Tidak membeberkan apa yang terjadi antara dia dan salah seorang dari
isterinya di hadapan isteri-isterinya yang lain, termasuk hubungan intim
suami isteri.
3. Jangan menyebut kekurangan atau memuji (yang berlebihan) isteri-isteri
yang lain. Menyebutkan kekurangan akan menyebabkan dia merasa di
hina dan memuji-muji menyebabkan mereka dengki kepadanya.
4. Seorang suami harus memelihara hubungan antaristeri sehingga tidak
terjadi seorang isteri membicarakan kejelekan atau kekurangan isteri yang

31
Musfir Husain aj-Jahrani., Op.Cit., 63.


49
lain di hadapannya. Jika hal tersebut terjadi, dia harus menasehatinya dan
menyebutkan kebaikan isteri yang di bicarakan kejelekannya, khususnya
jika isteri yang bersangkutan tidak hadir.
5. Seorang suami hendaknya mengantisipasi dengan baik ungkapan isteri
yang keliru dan di dorong oleh perasaan cemburu, baik diarahkan
kepadanya atau kepada salah seorang dari isteri-isterinya yang lain
tersebut.

C. Poligami dalam Al-Quran dan Hadits
1. Q.S an-Nisa: 3
) z & #)? G9# #s3$ $ >$ 39 $9# _W ]=O
/' * `Fz & #9? n & $ M3= 3`& 79 & & #9`?
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dari ayat ini apabila dibaca secara harfiah, sangat jelas bahwa ada tekanan
lebih pada perlakuan adil. Dan seharusnya ini tidak ditentukan oleh si suami
sendirian apakah dia bisa memperlakukan para isterinya dengan adil atau tidak.
32

2. Q.S an-Nisa: 127

32
Abu Fikri, Poligami yang tak Melukai Hati (Cet. I, Bandung: Mizan, 2007), 84.


50
7GG` $9# % !# 6G` $ =F` 6= =G39#
G $9# L9# ?? $ =G. 9 6? & s3?
F`9# $!9# & #`)? F=9 `)9$/ $ #=? z
* !# %. / $=
Artinya: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan
kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim
yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk
mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang
masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu
mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu
kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.

3. Q.S an-Nisa: 129
9 #`F`@ & #9? / $9# 9 Fm #=? 2 9#
$'G )=9$. ) #s=`? #)G? * !# %. # $m
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Asbabun Nuzul (sebab turunnya) Q.S an-Nisa: 127
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ada seorang laki-laki, ahli waris
dan wali seorang putri yatim, menggabungkan seluruh harta si yatim itu dengan
hartanya, sampai pada barang yang sekecil-kecilnya. Bahkan sampai-sampai ia mau
menikahinya dan tidak mau menikahkannya dengan orang lain, karena takut harta


51
bendanya terlepas dari tangannya. Wanita yatim itu dilarang menikah sama sekali.
Maka turunlah ayat ini (Q.S an-Nisa: 127) yang menjelaskan bagaimana seharusnya
mengurus anak yatim. Diriwayatkan oleh Bukhari yang bersumber dari Aisyah.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Jabir mempunyai saudara misan
wanita yang rupanya jelek, tapi mempunyai harta warisan dari ayahnya. Jabir sendiri
enggan menikahinya dan juga tidak mau menikahkannya kepada orang lain, karena
takut harta bendanya lepas dari tangannya, dibawa oleh suaminya. Ia bertanya
kepada Rasulullah saw, lalu turunlah ayat ini (Q.S an-Nisa: 127) sebagai pedoman
bagi mereka yang mengurus anak yatim. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang
bersumber dari as-Suddi.
33

Adapun penjelasan tentang surat an-Nisa: 3 terdapat dalam kitab Shahih
Bukhari pada Bab 18: Firman Allah Azza wa Jalla: Dan jika kamu khawatir tidak
dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim... (Q.S an-Nisa: 3).

Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa dia ditanya oleh Urwah mengenai firman
Allah swt: Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak
yatim... (Q.S an-Nisa: 3). Kemudian Aisyah menyatakan kepada Urwah: Wahai

33
Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-quran, (edisi kedua Cet. VIII,
Bandung: Diponegoro, 2006), 173.


52
putra saudara perempuanku! Anak perempuan yatim yang dimaksud dalam ayat
tersebut berada dalam asuhan walinya yang mengurus hartanya, kemudian wali
tersebut terpikat oleh harta dan kecantikan anak yatim itu sehingga dia ingin
mengawininya tanpa berlaku adil dalam memberikan maskawin, yakni hanya
memberinya maskawin sebanding dengan apa yang diberikan kepadanya oleh laki-
laki lain. Dengan adanya kasus tersebut maka wali yang mengasuh perempuan yatim
dilarang mengawininya kecuali jika bisa berlaku adil dan memberinya maskawin
lebih tinggi dari pada apa yang diberikan oleh laki-laki lain pada umumnya. Para
wali yatim tersebut diperintahkan menikahi perempuan-perempuan lain yang baik
bagi mereka (jika mereka khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim
yang ada dalam perwalian mereka). Aisyah ra melanjutkan: Sesudah ayat ini,
orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah saw., maka Allah menurunkan ayat
lagi (yang artinya): Mereka meminta fatwa kepadamu mengenai para wanita. (Q.S
an-Nisa: 127). Adapun lanjutan ayat (yang artinya): ...sedangkan kamu ingin
mengawini mereka... (Q.S an-Nisa: 127) adalah karena kebiasaan wali yang tidak
suka mengawini perempuan yatim dalam perwaliannya yang hartanya hanya sedikit
dan tidak seberapa cantik. Dengan demikian, mereka para wali yang mengurus
perempuan-perempuan yatim yang menyukai harta dan kecantikan mereka di larang
menikahi mereka kecuali dengan adil, karena seandainya yatim-yatim tersebut hanya
berharta sedikit dan tidak cantik tentu wali-wali mereka tidak ingin menikahi
mereka. (HR. Bukhari).
34

Hadits tentang mengundi isteri mana yang akan di ajak pergi

34
Imam az-Zabidi, Mukhtashar Shahih al-Bukhari diterjemahkan Achmad Zaidun, Ringkasan Hadits
Shahih al-Bukhari (Cet. I, Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 849.


53

Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa apabila Nabi saw akan bepergian jauh,
beliau mengundi isteri-isterinya (untuk menentukan isteri yang mana yang akan
diajak pergi). Suatu ketika undian jatuh kepada Aisyah dan Hafshah. Pada malam
hari biasanya Rasulullah saw berjalan bersama Aisyah dan bercakap-cakap
dengannya. Hafshah berkata kepada Aisyah: Ayo kita coba, nanti malam kamu
menaiki ontaku dan aku menaiki ontamu, kemudian kita lihat nanti, apa yang akan
terjadi dengan Nabi saw. Aisyah mengatakan: Ya. Maka Hafshah menaiki onta
Aisyah, lalu pada malam itu Nabi saw mendekati onta Aisyah yang dinaiki oleh
Hafshah lalu beliau mengucapkan salam kepada Aisyah (Nabi saw mengira bahwa
Aisyah berada diatas ontanya sendiri). Nabi saw terus berjalan di samping onta
Aisyah tersebut sehingga mereka semua turun, sementara Aisyah sendiri tertinggal.
Ketika semua orang turun, kaki Aisyah terjepit kayu idzkhir dan berkata: Ya Tuhan!
Perintahkan kalajengking atau ular menggigitku, karena aku tidak kuasa mengatakan
sesuatu kepada Nabi saw.
35
(H.R Bukhari).

D. Poligami dalam Hukum yang Berlaku di Indonesia
Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling
banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan

35
Imam az-Zabidi, Ibid, 920.


54
berbagai macam argumenasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu
dikaitkan dengan ketidakadilan jender. Pada sisi yang lain, poligami dikampanyekan
dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu
alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.
a. Poligami dalam Perspektif UU No. 1 tahun 1974
Kendatipun Undang-undang perkawinan menganut asas monogami seperti
yang terdapat didalam pasal 3 ayat 1 yang menyatakan, Pada dasarnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami.
36
Namun pada bagian yang lain dinyatakan
bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Seperti yang tercantum dalam
UU No 1 tahun 1974 pada pasal 3 ayat 2 yang berbunyi, Pengadilan dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
37
Kebolehan poligami di dalam undang-undang
perkawinan sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya
mencamtumkan alasan-alasan yang membolehkan poligami tersebut.
Dalam pasal 4 pada ayat 2 Undang-undang perkawinan dinyatakan; seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Tampaknya alasan-alasan ini bernuansa fisik kecuali alasan nomor tiga,
terkesan karena suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal dari isterinya,

36
UU No.1 tahun 1974, Lembaran Negara RI tahun 1974 nomor 1.
37
UU No.1 tahun 1974, Ibid.


55
maka alternatifnya adalah poligami. Namun demikian ternyata undang-undang
perkawinan juga memuat syarat-syarat untuk kebolehan poligami. Seperti yang
termuat dalam pasal 5 ayat 1 undang-undang perkawinan, syarat-syarat yang
dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami ialah:
1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka;
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-
anak mereka.
Untuk membedakan persyaratan yang ada dalam pasal 4 dan 5 adalah pasal 4
disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada untuk dapat
mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah Persyaratan kumulatif
dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.
38

Ketentuan syarat-syarat bersifat kumulatif tersebut dalam arti bahwa kesemua syarat
yang tersebut harus terpenuhi dan dibuktikan dengan persetujuan tertulis untuk
diperbolehkannya berpoligami.
39

Terkait dengan prosedur melaksanakan poligami, aturannya dapat dilihat
didalam PP No.9/1975. pada pasal 40 dinyatakan:
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.

38
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam diIndonesia, Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI (Jakarta: Prenada Media, 2004),
164.
39
N. Rosyidah Rakhmawati, Poligami diIndonesia dilihat dari Aspek Yuridis Normatif editor
Rochayah Machali, Wacana Poligami diIndonesia (Cet. I, Bandung: Mizan, 2005), 30.


56
Sedangkan tugas pengadilan di atur di dalam pasal 41 PP N0. 9 tahun 1975
yang berbunyi sebagai berikut:
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin
lagi.
b. Ada atau tidaknya adanya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan
maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan,
persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.
c. Ada atau tidaknya adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani
oleh bendahara tempat bekerja; atau
ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. Surat keterangan lain yang dapat di terima oleh pengadilan
d. Ada atau tidaknya adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji
dari suami yang dibuat dalam bentuk yang di tetapkan untuk itu.
Berikutnya pada pasal 42 juga dijelaskan keharusan pengadilan untuk
memanggil para isteri untuk memberikan penjelasan atau kesaksian. Di dalam pasal
ini juga dijelaskan, bahwa pengadilan diberi waktu selama 30 hari untuk memeriksa
permohonan poligami setelah diajukan oleh suami lengkap dengan persyaratannya.
Pengadilan Agama memiliki wewenang untuk memberi izin kepada
seseorang untuk melakukan poligami. Hal ini dinyatakan di dalam pasal 43 yang
berbunyi:


57
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang
berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Izin Pengadilan Agama tampaknya menjadi sangat menentukan, sehingga
didalam pasal 44 dijelaskan bahwa Pegawai Pencatat di larang untuk melakukan
pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum
adanya izin Pengadilan.

b. Poligami dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Sementara itu, masalah poligami juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Secara umum, peraturan mengenai poligami dalam KHI dapat dibedakan
menjadi dua: pengaturan mengenai proses poligami dan pengaturan mengenai syarat-
syarat poligami.
40
Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat masalah poligami ini pada
bagian IX dengan judul, Beristeri lebih dari satu orang yang diungkapkan dari pasal
55 sampai pasal 59. pada pasal 55 dinyatakan:
1. beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai empat orang isteri.
2. Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3. Apabila Syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari satu orang.
Lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 56 di jelaskan:

40
Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia (Cet. I, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2005), 129.


58
1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin
dari Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan
menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VII PP No.9 tahun
1975.
3. Perkawinan yang di lakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
41


Terkait dengan prosedur poligami. Pada pasal 57 di jelaskan:
Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristeri
lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat di sembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain syarat-syarat yang telah di terangkan di atas, terdapat syarat-syarat lain
juga yang harus dipenuhi oleh suami yang akan melakukan pernikahan poligami atau
beristeri lebih dari seorang. Seperti yang di jelaskan pada pasal 58 Kompilasi Hukum
Islam (KHI), yang berbunyi:
1. Selain syarat utama yang di sebut pada pasal 55 ayat 2 maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan pada pasal 5 undang-undang No.1 tahun 1974, yaitu:
a. adanya persetujuan isteri;

41
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam diIndonesia (Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 48.


59
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No.9 tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat
diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan
isteri pada siding Pengadilan Agama.
3. Persetujuan dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau
apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya
2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian
Hakim.
Selanjutnya pada pasal 59 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga digambarkan
betapa besarnya wewenang Pengadilan Agama dalam memberikan persetujuan
kepada suaminya untuk berpoligami, persetujuan itu dapat diambil alih oleh
Pengadilan Agama. Lebih lengkapnya bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang
diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang


60
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini
isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
42

Demikianlah penjelasan tentang poligami bila di tinjau dari sudut pandang
atau dari perspektif perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik
Indonesia. Bila kita melihat dari pemaparan penjelasan di atas, maka perundang-
undangan di Indonesia juga mengatur terkait dengan masalah poligami, hal ini
tertuang pada Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 , Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan, maupun juga terdapat dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI).










42
Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.


61



BAB III
POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD QURAISH SHIHAB

A. Biografi Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab, dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan, 16
Februari 1944. Ia merupakan ulama dan cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal
sebagai ahli dalam bidang tafsir al-Quran.
Ayah Quraish Shihab, adalah Prof. KH Abdurrahman Shihab, seorang ulama
dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah
seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi yang baik dikalangan masyarakat
Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam dunia pendidikan terbukti dari usahanya
membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim
Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar dikawasan Indonesia
bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai mantan
rector pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959-1965 dan IAIN 1972-1977.
Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi
awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering


62
mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah
menyampaikan nasehatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Quran.
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujungpandang. Setelah
itu ia melanjutkan kesekolah lanjutan tingkat pertama di kota Malang sambil
nyantri di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Falaqiyah di kota yang sama. Untuk
lebih mendalami studi keislamannya, Quraish Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-
Azhar, Cairo, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua tsanawiyah. Setelah itu, ia
melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada fakultas Ushuluddin, Jurusan
Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC (setingkat sarjana S1). Dua
tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A pada jurusan
yang sama dengan thesis berjudul al-Ijaz at-tasyriI li al-Quran al-Karim
(kemukjizatan al-Quran al-Karim dari segi hukum).
Pada tahun 1973 ia di panggil pulang oleh ayahnya yang ketika itu menjabat
rector, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil
rector bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Di samping
menduduki jabatan resmi itu, ia juga sering mewakili ayahnya yang uzur karena usia
dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish
Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta
Wilayah VII Indonesia bagian timur, pembantu pimpinan kepolisian Indonesia timur
dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya diluar kampus.
Dicelah-celah kesibukannya ia masih sempat merampungkan beberapa tugas
penelitian, antara lain Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur
(1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).


63
Untuk mewujudkan cita-citanya mendalami studi tafsir, pada tahun 1980,
Quraish Shihab kembali lagi menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar, mengambil
spesialisasi dalam studi tafsir al-Quran. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun
untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul Najm ad-
Durar li al-Biqaai Tahqiq wa Diraasah (suatu kajian terhadap kitab Nazm ad-Durar
[rangkaian mutiara] karya sl-Biqai) berhasil dipertahankannya dengan predikat
summa cum laude dengan penghargaan Mumtaz maa martabah asy-syaraf al-ula
(sarjana teladan dengan prestasi istimewa).
Setelah pulang ke tanah air, Quraish Shihab kembali mengabdi di tempat
tugasnya semula, IAIN Alauddin di Ujungpandang. Namun, dua tahun kemudian
(1984) ia ditarik ke Jakarta sebagai dosen pada fakultas Ushuluddin dan Fakultas
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah.
Karena keahliannya dalam bidang kajian al-Quran, Quraish tidak
memerlukan waktu lama untuk dikenal dikalangan masyarakat intelektual Indonesia.
Dalam waktu singkat ia segera dilibatkan dalam berbagai forum tingkat nasional,
antara lain menjadi wakil ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia, sejak 1984), anggota
Lajnah Pentashih al-Quran Departemen Agama (sejak 1989), dan anggota Badan
Pertimbangan Pendidikan nasional (sejak 1989). Selain itu, ia juga aktif diberbagai
organisasi lain seperti Organisasi Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syariat, Konsorsium Ilmu-
Ilmu Agama Depdikbud, dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Di
samping itu ia tetap memberikan ceramah keagamaan dalam berbagai forum dan
menghadiri berbagai kegiatan ilmiah, baik di dalam maupun di luar negeri. Sejak
tahun 1993 pemerintah mempercayainya untuk mengemban tugas sebagai rektor
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu ia juga menjadi direktur Pendidikan


64
Kader Ulama (PKU) yang merupakan salah satu usaha MUI untuk membina kader-
kader ulama di tanah air. Dan Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII (1998).
Dalam bidang intelektual kontribusinya terbukti dari beberapa karya tulisnya.
Karyanya berupa artikel singkat muncul secara rutin pada rubrik Pelita Hati dalam
surat kabar Pelita dan pada rubrik Hikmah dalam surat kabar Republika. Adapun
yang berupa uraian tafsir muncul pada rubrik Tafsir al-amanah dalam majalah
Amanah yang kemudian dikompilasikan dan diterbitkan menjadi buku dengan judul
Tafsir al-Amanah jilid I. Sejumlah makalah dan ceramah tertulisnya sejak tahun
1975 dikumpulkan dan diterbitkan dalam bentuk dua buah buku oleh penerbit Mizan
dengan judul Membumikan al-Quran (1992) dan Lentera Hati (1994). Karya
lainnya adalah Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujungpandang,
IAIN Alauddin, 1984), Filsafat Hukum Islam (Jakarta, Departemen Agama, 1987),
dan Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir al-Fatihah) (Jakarta, Untagma, 1988.
43
Dan
adapun dari karya ilmiahnya yang berbentuk buku adalah Tafsir Al-Mishbah, Pesan,
Kesan Dan Keserasian Al-quran sebanyak 15 vol (Lentera hati, 2002), Wawasan Al-
Quran: Tafsir Maudhui Atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 1996), Perempuan
Dari Cinta Sampai Seks Dari Nikah Mutah Sampai Nikah Sunnah Dari Bias Lama
Sampai Bias Baru (Lentera Hati, 2005), Pengantin al-Quran, Kalung Permata Buat
Anak-Anakku (Lentera Hati, 2007). Dan lain sebagainya yang belum tertuang dalam
tulisan ini.

B. Poligami Menurut Muhammad Quraish Shihab

43
Hasan Muarif Ambary (et al), Ensiklopedi Islam, (Cet. V, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,
2000), 112.


65
Poligami sudah dikenal umat manusia sejak dahulu, bahkan juga dikenal oleh
agama-agama sebelum Islam, seperti yang terdapat dalam perjanjian lama yang
membenarkan adanya poligami.
Agama Islam membenarkan poligami berdasarkan firman Allah dalam Q.S
An-Nisa ayat 3 yang menyatakan:
) z & #)? G9# #s3$ $ >$ 39 $9# _W ]=O
/' * `Fz & #9? n & $ M3= 3`& 79 & & #9`?
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Ayat di atas, yang berbicara tentang bolehnya berpoligami, turun berkaitan
dengan sikap sementara pemelihara anak yatim perempuan yang bermaksud
menikahi mereka karena harta mereka, tetapi enggan berlaku adil. Ada beberapa hal
yang perlu digaris bawahi pada ayat diatas.
44

1. Ayat diatas ditujukan kepada pemelihara anak-anak yatim yang hendak menikahi
mereka tanpa berlaku adil. Secara redaksional, orang boleh jadi berkata, jika
demikian, izin berpoligami hanya diberikan kepada para pemelihara anak-anak
yatim, bukan kepada setiap orang. Kendati konteksnya demikian, karena
redaksinya bersifat umum, dan karena kenyataannya sejak masa nabi Muhammad
saw dan sahabat beliau menunjukkan bahwa yang tidak memelihara anak yatim

44
M. Quraish Shihab, Perempuan Dari Cinta Samapi Seks, Dari Nikah Mutah sampai Nikah Sunah,
Dari Bias Lama Sampai Bias Baru (Cet. III, Jakarta: Lentera Hati, 2006),162.


66
pun berpoligami, dan itu terjadi sepengetahuan Rasulullah saw, maka tidaklah
tepat menjadikan ayat diatas hanya terbatas kepada para pemelihara anak-anak
yatim.
2. kata khiftum yang biasa diartikan takut, yang juga dapat berarti mengetahui,
menunjukkan bahwa siapa yang yakin atau menduga keras atau bahkan menduga
tidak akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya yang yatim maupun yang bukan
maka mereka itu tidak diperkenankan oleh ayat diatas melakukan poligami.
Yang diperkenankan oleh ayat diatas hanyalah yang yakin atau menduga keras
dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak, seyogianya
tidak diizinkan berpoligami.
3. Ayat diatas menggunakan kata tuqsithuu dan tadiluu yang keduanya
diterjemahkan berlaku adil. Ada ulama yang mempersamakan maknanya dan ada
juga yang membedakannya dengan berkata bahwa tuqsithuu adalah berlaku adil
antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang.
Sedangkan, tadiluu adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri,
tapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak. Jika makna
kedua ini dipahami, itu berarti izin berpoligami hanya diberikan kepada mereka
yang menduga bahwa langkahnya itu dia harapkan dapat menyenangkan semua
isteri yang dinikahinya. Ini dipahami dari kata tuqsithuu, tetapi kalau itu tidak
tercapai, paling tidak ia harus berlaku adil, walaupun itu bisa tidak
menyenangkan salah satu diantara mereka.
4. Firman-Nya: Maka Nikahilah apa yang kamu senangi bukan siapa yang kamu
senangi, bukan dimaksudkan seperti tulis sementara ulama lama yang memiliki
bias untuk mengisyaratkan bahwa perempuan kurang berakal, dengan alasan


67
yang dimulai dengan apa adalah bagi suatu yang tidak berakal dan siapa untuk
yang berakal. Sekali lagi, bukan itu tujuannya. Akan tetapi, agaknya pemilihan
kata itu bertujuan untuk menekankan sifat perempuan itu, bukan orang tertentu,
nama, atau keturunannya. Bukankah jika anda berkata: Siapa yang dia nikahi?
Maka, anda menanti jawaban tentang perempuan tertentu, namanya dan anak
siapa dia? Sedangkan, bila anda bertanya dengan menggunakan kata apa,
jawabannya yang anda nantikan adalah sifat dari yang ditanyakan itu, misalnya
janda atau gadis, cantik atau tidak, orang baik, atau tidak dan sebagainya.
5. Huruf ( ) wauw pada ayat diatas bukan berarti dan, melainkan berarti atau
sehingga dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat bukan izin menjumlah angka-
angka tersebut sehingga dibolehkan berpoligami dengan sembilan atau bahkan
delapan belas perempuan. Di samping secara redaksional ayat tersebut tidak
bermakna demikian, Rasulullah saw pun secara tegas memerintahkan Gilan Ibnu
Ummayyah ats-Tsaqafi yang ketika itu memiliki sepuluh isteri agar
mencukupkan dengan empat orang dan menceraikan selainnya. Redaksi ayat ini
mirip dengan ucapan seseorang yang melarang orang lain makan makanan
tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dia berkata: Jika anda khawatir
akan sakit bila makan makanan ini, habiskan saja makanan selainnya yang ada
dihadapan anda. Tentu saja, perintah menghabiskan makanan lain itu hanya
sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan
makanan tertentu itu.
45

Perlu digarisbawahi bahwa ayat poligami ini tidak membuat peraturan baru
tentang poligami karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut

45
M. Quraish Shihab, Ibid, 165.


68
berbagai syariat agama serta adat-istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini.
Ayat ini tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkan poligami, tetapi ia hanya
berbicara tentang bolehnya poligami, tetapi ini pun dengan syarat yang ketat
sehingga bisa dikatakan kebolehannya berlaku dalam keadaan darurat saja.
46
Dan itu
pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat amat
membutuhkan, dan dengan syarat yang tidak ringan.
47

Islam mendambakan kebahagiaan keluarga, kebahagiaan yang antara lain
didukung oleh cinta kepada pasangan. Cinta yang sebenarnya menuntut agar
seseorang tidak mencintai kecuali pasangannya. Ada ungkapan literatur agama yang
menyatakan:
Q-- - ~--- '-= -V ;=;- '-
Tidak ada didalam hati dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam wujud ini
dua Tuhan.

Demikian pandangan tentang cinta disejalankan dengan pandangan tentang
keesahan Tuhan. Keduanya berdasarkan tauhid (kesatuan). Itulah yang ideal, itulah
yang didambakan kalau enggan berkata oleh pasangan suami isteri maka paling
tidak itulah yang didambakan oleh isteri dan bila seorang benar-benar mencintai,
bukan hanya mengorbankan apa yang boleh atau dapat dimilikinya (dalam hal ini
berpoligami), melainkan juga mengorbankan jiwa raganya demi cinta.
Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Quran
hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat

46
Anshori Fahmie, Siapa Bilang Poligami Itu Sunah (Cet. I, Depok: Pustaka IIMaN, 2007), 50.
47
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Cet. IV, Jakarta:
Lentera Hati, 2005), 341.


69
dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.
48

Serta melihat pula sisi pemilihan aneka alternatif yang terbaik.
Adalah wajar bagi suatu perundangan, apalagi agama yang bersifat universal
dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat, mempersiapkan ketetapan hukum yang
boleh jadi terjadi pada suatu ketika, walaupun kejadian itu baru merupakan
kemungkinan.
Ada beberapa alasan Quraish Shihab dalam memperbolehkan poligami
adalah:
1. Peperangan yang hingga kini terjadi lebih banyak merenggut nyawa laki-laki dari
pada perempuan. Seperti yang terjadi beberapa tahun yang lalu, sekian banyak
perempuan di Jerman Barat menghimbau agar poligami dapat dibenarkan, walau
hanya untuk beberapa tahun saja, namun pemerintah dan gereja tidak
mengijinkan, sehingga ini menjadi suatu problem yang membutuhkan
penyelesaian.
2. Adanya penyakit parah ataupun kemandulan. Maka pintu poligami merupakan
suatu jalan yang tepat, namun dengan syarat-syarat yang tidak ringan seperti
harus dapat berlaku adil.
Namun dalam hal ini Quraish Shihab menekankan bahwa poligami ini bukan
merupakan sebuah anjuran, apalagi menjadi sebuah kewajiban. Ada beberapa
argumen beliau, yaitu:
1. Argumen Quraish Shihab adalah merujuk pada ayat an-Nisa ayat 3 tersebut,
dimana beliau berpendapat Seandainya poligami tersebut sebuah anjuran,

48
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhui Atas Pelbagai Persoalan Umat (Cet.
XIX, Jakarta: Mizan, 2007), 200.


70
pastilah Allah menciptakan perempuan lebih banyak empat kali lipat dari pada
jumlah laki-laki karena tidak mungkin Allah menganjurkan sesuatu, kalau apa
yang dianjurkan tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang
menginginkannya ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, dan ini
merupakan alasan logis untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu
poligami yang di benarkan oleh ayat tersebut dengan syarat yang tidak ringan
itu.
49

2. Bahwa perintah yang terdapat didalam ayat tersebut dimulai dengan bilangan
dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat, baru perintah bermonogami kalau
khawatir tidak dapat berlaku adil. Menurut Quraish Shihab pendapat tersebut
tidak dapat diterima karena pandangan tersebut, baik dari makna redaksi ayat
maupun konteksnya, dan juga dari segi kenyataan sosiologis yang didalamnya
perbandingan perempuan dan lelaki tidak mencapai empat banding satu, bahkan
dua banding satu. Dan bukan juga tidak dapat dikatakan bahwa Rasul saw
menikah lebih dari satu perempuan dan pernikahan semacam ini hendaknya
diteladani, karena tidak semua yang wajib atau yang terlarang bagi Rasulullah,
wajib atau terlarang pula bagi umatnya. Seperti, wajib bangun malam, tidak
boleh menerima zakat. Dan poligami Rasulullah tersebut guna mensukseskan
misi dakwanya.
3. Rasulullah baru berpoligami setelah pernikahan pertamanya sekian lama setelah
meninggal isteri beliau, Khadijah ra. Dan diketahui bahwa Rasulullah menikah
dengan Khadijah pada usia 25 tahun. Lima belas tahun setelah pernikahan
dengan Khadijah ra, beliau diangkat menjadi Rasul. Dan isteri beliau (Khadijah

49
M.Quraish Shihab, Perempuan, Op.Cit, hal 168.


71
ra) wafat pada tahun ke-9 kenabian. Ini berarti beliau bermonogami selama 25
tahun. Lalu, setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya Khadijah ra, baru
menggauli Aisyah ra, yakni pada tahun ke-3 H, sedangkan beliau wafat pada
tahun ke-11 H dalam usia 63 tahun. Ini berarti beliau berpoligami hanya sekitar
delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup bermonogami beliau. Jadi
seharusnya meneladani yang lebih lama. Dan juga meneladaninya dalam memilih
calon-calon isteri yang telah mencapai usia senja. Dan meneladani beliau dalam
kesetiaannya yang demikian besar pada isteri yang pertamanya, sampai-sampai
beliau menyatakan kecintaan dan kesetiaannya walau dihadapan isteri-isteri
beliau yang lain. Namun realita yang terjadi pada saat sekarang ini, kebanyakan
orang yang melakukan poligami berbeda dengan yang dilakukan Rasulullah,
dimana dapat kita lihat alasan poligami sekarang ini salah satunya adalah karena
isteri tidak dapat memberikan keturunan. Hal ini berbeda dengan poligami yang
dilakukan Rasulullah.
Perlu juga di ingat juga bahwa semua yang beliau nikahi, kecuali Aisyah ra,
ialah janda-janda yang sebagian diantaranya sudah memasuki usia senja atau tidak
lagi memiliki daya tarik yang memikat. Dengan demikian, pernikahan beliau
kesemuanya untuk tujuan menyukseskan dakwah atau membantu dan
menyelamatkan para perempuan yang kehilangan suami itu.
Saudah binti Zamah ra, seorang wanita tua suaminya meninggal
diperantauan (Etiopia) sehingga ia terpaksa kembali ke Mekkah menanggung beban
kehidupan bersama anak-anaknya dengan resiko dipaksa murtad.
Hindun Binti Abi Umayyah ra, yang dikenal dengan Ummu Salamah,
suaminya Abdullah al-Makhzumi, yang juga anak pamannya luka dalam perang


72
Uhud kemudian gugur juga seorang tua, sampai-sampai pada mulanya Ummu
Salamah ra menolak lamaran Rasul saw, sebagaimana telah menolak sebelumnya
lamaran Abu Bakar dan Umar ra akan tetapi, pada akhirnya, Ummu Salamah ra
bersedia menerima lamaran Rasul saw demi meraih kehormatan dipersunting
pesuruh Allah dan demi anak-anaknya.
Ramlah, putri Abu Sufyan ra, meninggalkan orangtuanya untuk berhijrah ke
Habasyah (Etiopia) bersama suaminya, tetapi sang suami kemudian memeluk agama
Nasrani disana dan menceraikannya sehingga ia hidup sendiri di perantauan. Maka,
melalui Negus, Penguasa Etiopia, Nabi saw melamarnya dengan harapan
mengangkatnya dari jurang penderitaan, sekaligus menjalin hubungan dengan
ayahnya yang ketika itu merupakan salah satu tokoh utama kaum musyrikin
diMekkah. Dan mungkin perkawinan itulah yang menjadi landasan hubungan
silaturrahim karena kekeluargaan antara Rasulullah saw dengan Abu Sufyan, yang
kemudian menyebabkan Abu Sufyan tertarik perhatiannya kepada agama Islam,
setelah tadinya ia menantang keras.
50
Dia lalu keluar dari kegelapan musyrik menuju
cahaya Islam.
Huriyah binti Alharis ra adalah putri kepala suku dan termasuk salah seorang
yang ditawan pasukan Islam. Nabi saw menikahinya sambil memerdekakannya
dengan harapan kaum muslimin dapat membebaskan para tawanan yang mereka
tawan sehingga hasilnya seperti yang beliau harapkan, yakni semua tawanan yang
dibebaskan pada akhirnya memeluk agama Islam. Huriyah sendiri memilih untuk
menetap bersama Nabi Muhammad saw dan enggan kembali bersama ayahnya.

50
Abbas Mahmoud al-akkad, al-Maratul fil Quran diterjemahkan Chadidjah Nasution, Wanita
Dalam Al-Quran (Cet. II, Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 153.


73
Hafshah putri Umar Ibnu al-Khaththab ra ketika suaminya wafat, ayahnya
merasa sedih melihat anaknya hidup sendiri. Maka ia menawarkan putrinya kepada
putrinya kepada Abu Bakar ra untuk dipersunting, tetapi yang ditawari tidak
menyambut, sehingga tawaran diajukan kepada Utsman ra, Utsman pun diam. Nah
ketika itu Umar mengadukan kesedihannya kepada Nabi Muhammad, yang
kemudian bersedia menikahi Hafshah ra demi persahabatan dan demitidak
membedakan Umar ra dengan sahabatnya abu Bakar ra, yang sebelum ini putrinya
telah beliau nikahi, yakni Aisyah ra.
Syafiyah binti Huyay ra, putri pemimpim Yahudi dari Bani Quraizhah yang
ditawan setelah kekalahan mereka dalam pengepungan yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad saw, diberi pilihan kembali kepada keluarganya atau tinggal bersama
Nabi dalam keadaan bebas merdeka. Dia memilih untuk tinggal bersama Nabi.
Dirumah itu, Shafiyah hidup terhormat sampai suatu ketika Nabi saw mendengar
seseorang yang memakinya bertubuh pendek, maka Nabi menghibur Shafiyah sambil
mengecam dengan keras pemakinya.
Zainab binti Jahesy ra sepupu Nabi Muhammad saw dinikahkan langsung
oleh Nabi dengan bekas anak angkat dan budak beliau, Zaid Ibnu Haritsah ra. Rumah
tangga mereka tidak bahagia sehingga mereka bercerai dan sebagai penanggung
jawab pernikahan itu, Nabi Muhammad menikahinya atas perintah Allah, sekaligus
untuk membatalkan adat jahiliyah yang menganggap anak angkat sebagai anak
kandung sehingga ayah angkatnya tidak boleh menikahi bekas isteri anak angkatnya


74
itu (baca Q.S al-Ahzab : 36-37). Hal ini menandakan poligami Rasulullah adalah
karena ada kepentingan pemberlakuan hukum.
51

Zainab binti Khuzaimah ra suaminya gugur dalam perang Uhud dan tidak ada
seorang pun dari kaum muslimin ketika itu yang berminat. Maka, Nabi
Muhammad saw pun menikahinya.
Itulah isteri-isteri Nabi Muhammad saw, yang keseluruhannya janda, kecuali
Aisyah ra yang beliau nikahi setelah bermonogami hingga usia 50 tahun lebih.
Isteri-isteri yang disebut diatas yang disebut diatas inilah yang sering kali disorot
oleh mereka yang tidak mau tahu atau enggan memahami latar belakang pernikahan
itu.
Quraish Shihab juga berargumen menanggapi orang yang melarang poligami
dengan memberi interpretasi terhadap ayat-ayat al-Quran atau hadits-hadits Nabi
saw. Yang menurut Quraish Shihab jauh dari kebenaran, karena mereka yang
melarang poligami hanya mengambil sepenggal ayat, dan mengabaikan kelanjutan
ayat guna mendukung pendapat yang mereka inginkan. Sebagian dari mereka
menampilkan penggalan pertama dari Q.S an-Nisa: 129 yang menyatakan:
9 #`F`@ & #9? / $9# 9 F m
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(kamu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian

Mereka menampilkan untuk tujuan menutup rapat-rapat pintu poligami
dengan alasan bahwa keadilan dalam berpoligami oleh ayat ini secara tegas
dinyatakan tidak akan mungkin tercapai sehingga mereka berkata, Berdasar firman

51
Abdul Ghany A.R, Zauzat an-Nabi Muhammad Saw wa Hikmat Taaddudihin, diterjemahkan Dwi
Ratnasari, Mengapa Rasulullah Berpoligami dan Sebaiknya kita tidak (Cet. I, Yogyakarta: Diva Press,
2004), 13.


75
Allah itu, poligami harus dilarang! pendapat ini jauh dari kebenaran karena mereka
mengabaikan lanjutan ayat diatas yang menyatakan:
#=? 2 9# $'G )=9$.
Artinya: Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung

Lanjutan ayat ini mengisyaratkan bahwa keadilan yang tidak mungkin dapat
tercapai itu adalah dari segi kecenderungan hati yang memang berada diluar
kemampuan manusia.
Nabi Muhammad saw sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh isteri beliau,
Aisyah ra, berlaku adil terhadap isteri-isteri beliau yang lain, tetapi dalam saat yang
sama beliau mengakui dengan mengadu kepada Allah bahwa:

Ya Allah, inilah bagian (keadilan) yang berada dalam kemampuanku. Maka
janganlah tuntut aku menyangkut (keadilan cinta) yang berada diluar
kemampuanku. (HR. an-Nasai).
Hal ini juga berarti keadilan yang dituntut bukan keadilan yang menyangkut
kecenderungan hati, melainkan keadilan material yang memang dapat terukur.
Mereka yang bermaksud menutup rapat-rapat pintu poligami itu mengabaikan
juga kenyataan bahwa pada masa Nabi saw, sahabat-sahabat beliau berpoligami
tanpa dilarang oleh Nabi saw.
52
Dari sini dapat dipahami bahwa poligami tidak
dilarang, dan juga tidak melanggar terhadap teks yang digunakan orang yang
mencoba menutup pintu poligami tersebut.

52
M. Quraish Shihab, Perempuan. Op.Cit, 176.


76
Sementara menurut Quraish Shihab orang yang melarang poligami dengan
alasan dampak buruk yang diakibatkan dari poligami sangat besar. Mereka beralasan
longgarnya syarat poligami ditambah dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan
tentang tuntunan agama serta makna dan tujuan pernikahan yang mengakibatkan
mudharat yang menimpa isteri karena terjadi iri, juga berdampak pada anak-anak
dari perlakuan ibu tiri maupun ayahnya sendiri, bila cenderung kepada salah satu
isteri yang dicintainya. Perlakuan buruk inilah yang akan mengakibatkan hubungan
antara anak-anak pun memburuk, bahkan sampai hubungan antar-keluarga. Dampak
buruk inilah yang mengantarkan sementara orang melarang poligami secara mutlak.
Dalam hal ini Quraish Shihab dalam menanggapi pendapat yang menutup
rapat-rapat pintu poligami dengan alasan bahwa poligami berdampak buruk dan
menimbulkan mudharat yang besar, menurut Quraish Shihab sebelum menutup mati
pintu poligami, perlu diketahui bahwa poligami yang mengakibatkan dampak buruk
yang dilukiskan diatas adalah yang dilakukan oleh mereka yang tidak mengikuti
tuntunan agama. Terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan hukum bukanlah alasan
yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum itu, apalagi bila pembatalan tersebut
mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat. Disini perlu disadari bahwa dalam
masyarakat yang melarang poligami atau menilainya buruk baik di Timur lebih-
lebih di Barat telah mewabah hubungan seks bebas atau tanpa nikah dan muncul
perempuan-perempuan simpanan serta pernikahan dibawah tangan. Ini mempunyai
dampak yang sangat buruk lagi bagi masyarakat, lebih-lebih terhadap para
perempuan.
53


53
M. Quraish Shihab, Ibid, 177.


77
Disini, kalau membandingkan hal tersebut dengan poligami bersyarat yang
ditetapkan oleh al-Quran, kita akan melihat bahwa apa yang ditawarkan Islam
sungguh jauh lebih manusiawi dan bermoral dibanding dengan apa yang terjadi
ditengah masyarakat yang melarang poligami.
Poligami yang diajarkan Islam tidak membenarkan seorang laki-laki
berhubungan seks, kecuali dengan empat perempuan, melalui pernikahan yang sah
dan permanen.
Dalam ajaran Islam, pernikahan tidak boleh dilakukan secara diam-diam
tanpa saksi-saksi, bahkan seharusnya atau paling tidak dengan restu wali. Islam
menganjurkan agar dilakukan pesta dan dirayakan dengan bunyi-bunyian (musik)
yang menggambarkan kesyukuran dan kegembiraan. Bandingkanlah dengan
pernikahan rahasia atau wanita-wanita simpanan dan sebagainya yang terjadi
dimana-mana.
Anak yang lahir dari pernikahan akibat poligami adalah anak yang sah
sehingga ayahnya bertanggung jawab untuk membesarkan dan mendidiknya. Hal ini
berbeda dengan anak-anak yang dilahirkan dari hubungan gelap. Ia sering
digugurkan sebelum lahir dan kalaupun dibiarkan hidup, tidak jarang dibuang
ketempat sampah atau hamper selalu tidak diakui oleh ayah-nya. Sang ibu
kandung, bila mengakuinya seandainya ia masih mengakui norma agama dan
budaya akan menanggung malu yang dibawa mati.
Atas dasar itulah banyak ulama dewasa ini menetapkan syarat-syarat buat
bolehnya berpoligami tanpa melarangnya secara mutlak dan juga tidak membuka
pintu poligami selebar-lebarnya, sebagaimana yang banyak terjadi dewasa ini.


78
Ulama besar dan pakar hukum Islam Mesir, Abu Zahrah, dalam bukunya al-
Ahwal asy-Syakhshiyah, menegaskan bahwa tidak terdapat dalam teks ayat al-Quran
yang menghalangi pemerintah untuk menetapkan syarat-syarat yang mengantar
kepada keadilan, pergaulan baik, dan kewajiban infak dalam hal pernikahan. Tidak
ada dalam al-Quran sesuatu yang melarang untuk menempuh jalan tersebut.
Sayyidina Umar ra pada masanya menetapkan sekian banyak peraturan guna
mengatur masyarakat mematuhi ketentuan-ketentuan Allah.
Pandangan Abu Zahrah diatas tidak melebihi penetapan Sayyidina Umar ra.
Yang menetapkan jatuhnya talak tiga yang diucapkan selaligus dalam satu majelis
bukannya hanya jatuh satu talak saja, sebagaimana dipahami dari teks ayat yang
terdapat dalam Q.S al-Baqarah: 229 dan sebagaimana yang berlaku pada masa
Nabi saw, karena dalam pertimbangan Umar ra, para suami ketika itu perlu
dididik/dijatuhi sanksi sebab pada ketika itu mereka seenaknya saja menjatuhkan
talak dan tidak mengikuti tuntunan Allah tentang perlunya kehati-hatian dalam hal
tersebut.
Quraish Shihab mengemukakan dengan contoh diatas adalah bahwa banyak
jalan yang dapat ditempuh guna menghalangi ketidakadilan terhadap perempuan,
termasuk dalam hal poligami, tanpa harus mengorbankan teks atau memberinya
penafsiran yang sama sekali tidak sejalan dengan kandungan teks itu sendiri, antara
lain seperti yang ditempuh oleh mereka yang menafsirkan ayat yang berbicara
tentang ketidakmungkinan keadilan dalam hal poligami atau melarangnya secara
mutlak.
Dalam hal ini Quraish Shihab menegaskan bahwa teks ayat diatas dan
penjelasan Nabi saw, tentu saja bukan berarti membuka pintu poligami lebar-lebar


79
tanpa batas dan syarat. Dalam yang sama, ia tidak juga dapat dikatakan menutup
pintu poligami rapat-rapat, sebagaimana yang dikehendaki oleh sementara orang.
Disamping itu, poligami bukan anjuran, melainkan salah satu solusi yang diberikan
kepada mereka yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat-syarat poligami.
Poligami menurut Quraish Shihab mirip dengan pintu darurat dalam pesawat
terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu; yang duduk
disamping pintu darurat pun haruslah mereka yang memiliki pengetahuan dan
kemampuan membukanya serta baru diperkenankan membukanya pada saat
mendapat izin dari pilot.
54

Dalam hal poligami, Islam membenarkan lelaki menghimpun dalam saat
yang bersamaan empat orang isteri, sedangkan melarang perempuan tidak
diperbolehkan kecuali dengan seorang lelaki atau dilarang poliandri.
Disini, baik dikemukakan masyarakat manusia pernah mengenal poliandri.
Dalam masyarakat jahiliyah di Jazirah Arab dahulu disamping pelacuran seperti
yang dikenal pada dewasa ini dikenal juga apa yang dinamai nikah al-Istibdha
yakni seorang suami membiarkan isterinya digauli untuk masa tertentu oleh
seorang lelaki dengan harapan memperoleh keturunan yang berkualitas melalui lelaki
pilihannya. Begitu isterinya hamil, hubungan tersebut segera dihentikan.
Bentuk poliandri yang lain adalah percampuran seorang perempuan dengan
sekelompok lelaki (tidak lebih dari sepuluh orang). Lalu, apabila dia melahirkan,
perempuan itu menunjuk salah seorang dari anggota kelompok yang menggaulinya
untuk dijadikan sebagai ayah dari anaknya, dan yang bersangkutan tidak dapat
mengelak dari tanggung jawabnya sebagai ayah.

54
M. Quraish Shihab, Ibid, 180.


80
Kendati poliandri dikenal oleh masyarakat tertentu pada masa lalu, ternyata ia
tidak berhasil dan akhirnya ditinggalkan. Kegagalan itu utamanya disebabkan
poliandri bertentangan dengan kodrat lelaki dan perempuan sekaligus serta karena
kekaburan status anak yang dilahirkan. Manusia mendambakan anak yang jelas
statusnya. Jika telah dibuahi oleh seorang lelaki, seorang perempuan tidak dapat lagi
dibuahi oleh lelaki lain selama buah tersebut masih berada dalam kandungannya. Ini
berbeda dengan lelaki yang dapat membuahi sekian banyak perempuan. Dari sinilah
poliandri tidak di benarkan karena terkait dengan status anak tersebut. Memang
benar dengan kemajuan teknologi dapat menguji untuk mengetahui siapa ayah anak
tersebut, terlalu panjang jika harus dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
menghabiskan dana yang tidak sedikit.
Poliandri juga akan menimbulkan permasalahan baru yakni terkait dalam hal
rumah tangga, yaitu masalah pemimpin rumah tangga, akan terjadi kekacauan,
karena yang menjadi kepala rumah tangga biasanya suami. Dan juga masalah dalam
hubungan seks. Binatang saja enggan bergiliran, apalagi manusia. Binatang saja
memiliki kehormatan dan kecemburuan apalagi manusia terhormat.
Boleh jadi, ada yang tidak menerima pendapat ilmuan yang menyatakan
bahwa fitrah pria cenderung berpoligami dan fitrah wanita cenderung bermonogami.
Hal tersebut dapat dilihat, Negara-negara yang membolehkan prostitusi, melakukan
pemeriksaan kesehatan rutin bagi perempuan-perempuan berperilaku seks bebas, dan
tidak melakukannya bagi pasangan yang sah. Hal tersebut dikarenakan kenyataan
menunjukkan bahwa perempuan hanya diciptakan untuk disentuh oleh cairan yang
bersih, yakni sperma satu orang (sperma satu orang lelaki). Begitu terlibat dua laki-
laki dalam hubungan seksual dengan seorang perempuan, ketika itu pula cairan yang


81
merupakan benih anak itu tidak bersih lagi dan sangat dikhawatirkan menjangkitkan
penyakit. Kenyataan ini menjadi bukti yang sangat jelas menyangkut hal ini.
Poligami boleh jadi dinilai sebagai keistimewaan bagi lelaki. Adapun
poliandri, sedikit atau banyak tidak dapat dinilai sebagai keistimewaan bagi
perempuan. Karena lelaki cenderung menginginkan jasad perempuan, sedangkan
perempuan mendambakan hati lelaki.
Banyak lelaki apabila telah menguasai jasad perempuan, ia tidak terlalu
membutuhkan hatinya. Karena itu, dalam berpoligami, seorang suami sering kali
tidak memedulikan hati isterinya yang lain, sedangkan perempuan sebaliknya.
Memang, ada dua unsur utama dalam pernikahan, yakni unsur jasmani dan
rohani. Unsur jasmani tercermin dalam dorongan seksual yang meluap pada masa
muda dan berangsur menurun menjelang tua, sedangkan unsur rohani tercermin
dalam perasaan cinta dan kasih sayang yang mestinya dari hari kehari menguat dan
menguat. Nah, salah satu perbedaan antara lelaki dan perempuan adalah lelaki
biasanya lebih memerhatikan unsur jasmani atau paling tidak seimbang pada masa
mudanya antara unsur jadsmani dan rohani itu, sedangkan perempuan selalu
mementingkan unsur rohani, cinta dan kasih sayang. Itu pula sebabnya ada sekian
banyak perempuan dewasa ini yang rela membiarkan suaminya melacur asal dia
jangan dimadu, karena dimadu dapat menjadi bukti pudar atau berkurangnya cinta.
Disisi lain, anak yang tumbuh dalam rahim seorang isteri menjadikan ibu
yang mengandungnya membutuhkan kasih sayang, bukan saja guna kepentingan
dirinya, melainkan juga untuk kepentingan anak yang dikandungnya. Kasih sayang
isteri/ibu tidak dapat terpenuhi kecuali dalam suasana cinta penuh seorang suami.
Inilah antara lain yang membuktikan bahwa perempuan memang cenderung bersifat


82
monogami. Karena itu, ajakan agar mereka berpoliandri tidak akan disambut oleh
perempuan-perempuan yang mengikuti kodratnya.
55

Dari sini dapat dilihat bahwa poligami bisa dapat di jadikan alternatif baik
secara individu maupun kolektif. Secara individu, terjadi antara lain pada saat isteri
tidak dapat melaksanakan fungsinya yang ketika itu ia lebih baik dimadu daripada
dicerai, dan secara kolektif terjadi seandainya jumlah perempuan lebih banyak
daripada jumlah lelaki.













55
M. Quraish Shihab, Ibid, 184.


83

BAB IV
ANALISIS DATA
Analisis dalam bab ini akan mengangkat permasalahan poligami yang masih
banyak mengundang pro dan kontra baik dikalangan intelektual maupun masyarakat.
Menganalisis ayat-ayat tentang poligami melihat dari pemikiran Muhammad Quraish
Shihab tentang poligami, dan implikasi hukumnya.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, munculnya praktik poligami sudah
ada atau berlaku sebelum Islam lahir, dimana praktik poligami yang dilakukan
sebelum lahirnya agama Islam dilakukan tanpa batas dan tidak ada ketentuan atau
syarat.
Datangnya agama Islam melakukan perubahan besar terhadap praktik
poligami sebelumnya, dimana dalam ajaran agama Islam membatasi jumlah isteri
dan memberi syarat-syarat dan ketentuan yang harus dilakukan suami yang
melakukan praktik poligami. Poligami perlu diatur dalam islam, karena poligami
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, sementara itu agama Islam mengatur
seluruh aspek kehidupan dan juga berlaku disetiap zaman dan tempat. Sehingga
wajar bila Islam mengatur poligami, karena harus bersifat universal agar dapat
digunakan dalam setiap keadaan dan waktu.
Poligami sampai saat sekarang ini, masih menjadi pembicaraan yang hangat
untuk di bicarakan, karena masalah poligami ini masih menimbulkan banyak
perspektif terkait pelaksanaan poligami tersebut. Hal tersebut tidak lain karena terkait
dengan perbedaan dalam memahami ayat yang menerangkan poligami tersebut.


84
Perbedaan tersebut dalam memahami ayat yang terdapat dalam surat an-Nisa:
3, yang berbunyi sebagai berikut:
) z & #)? G9# #s3$ $ >$ 39 $9# _W ]=O
/' * `Fz & #9? n & $ M3= 3`& 79 & & #9`?
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Dalam hal ini Muhammad Quraish Shihab memahami dengan menafsirkan
ayat tersebut dengan penjelasan sebagai berikut:
Muhammad Quraish Shihab membagi menjadi dua makna adil tersebut, Ayat
diatas menggunakan kata tuqsithuu dan tadiluu yang keduanya diterjemahkan
berlaku adil. Kata tuqsithuu berarti berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan
yang menjadikan keduanya senang. Sedangkan, tadiluu adalah berlaku baik
terhadap orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak
menyenangkan salah satu pihak. Dalam hal ini Quraish Shihab membagi makna adil
tersebut menjadi dua yaitu: adil secara subjektif dan adil secara objektif, dimana
makna adil yang pertama adil dari kedua belah pihak baik isteri maupun suami,
sedangkan adil yang kedua cenderung dari pihak suami saja. Jika makna kedua ini
dipahami, itu berarti izin berpoligami hanya diberikan kepada mereka yang menduga
bahwa langkahnya itu dia harapkan dapat menyenangkan semua isteri yang
dinikahinya. Ini dipahami dari kata tuqsithuu, tetapi kalau itu tidak tercapai, paling
tidak ia harus berlaku adil, walaupun itu bisa tidak menyenangkan salah satu diantara
mereka.


85
Quraish Shihab memaknai kata khiftum dengan mengartikan mengetahui,
menunjukkan bahwa siapa yang yakin atau menduga keras atau bahkan menduga
tidak akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya maka mereka itu tidak diperkenankan
oleh ayat diatas melakukan poligami. Yang diperkenankan oleh ayat diatas hanyalah
yang yakin atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku
adil atau tidak, seyogianya tidak diizinkan berpoligami. Dan memaknai huruf ( )
wauw pada ayat diatas bukan berarti dan, melainkan berarti atau sehingga dua-dua,
tiga-tiga, atau empat-empat . Sehingga dalam berpoligami hanya terbatas empat
orang isteri saja.
Dari sini kita dapat memahami bahwa Quraish Shihab dalam pemikirannya
membolehkan poligami, namun dalam pelaksanaan poligami tersebut beliau sangat
menekankan pada unsur keadilan dan juga beliau lebih sepakat kepada pendapat ,
bahwa pembatasan jumlah isteri yang boleh dinikahi yaitu empat orang isteri, karena
menurut hemat kami, dalam pembatasan empat orang isteri tersebut seorang suami
yang melakukan poligami lebih bisa berlaku adil dan juga lebih tidak membebani
tanggungan yang harus dipikul, dari pada pemahaman bahwa jumlah isteri yang
boleh di poligami lebih dari empat.
Dan juga dalam memahami ayat yang terdapat dalam surat an-Nisa: 129,
yaitu:
9 #`F`@ & #9? / $9# 9 Fm #=? 2 9#
$'G )=9$. ) #s=`? #)G? * !# %. # $m
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan


86
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam hal ini, Quraish Shihab memahami bahwa ayat ini mengisyaratkan
yang di maksud dengan keadilan yang tidak mungkin dapat tercapai itu adalah dari
segi kecenderungan hati yang memang berada diluar kemampuan manusia.
Nabi Muhammad saw sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh isteri beliau,
Aisyah ra, berlaku adil terhadap isteri-isteri beliau yang lain, tetapi dalam saat yang
sama beliau mengakui dengan mengadu kepada Allah bahwa:


Ya Allah, inilah bagian (keadilan) yang berada dalam kemampuanku. Maka
janganlah tuntut aku menyangkut (keadilan cinta) yang berada diluar
kemampuanku. (HR. an-Nasai).
Hal ini juga berarti keadilan yang dituntut bukan keadilan yang menyangkut
kecenderungan hati, melainkan keadilan material yang memang dapat terukur.
Keadilan yang dituntut dalam poligami adalah keadilan dalam hal materi,
yaitu sandang, pangan, papan dan juga dalam hal giliran pada setiap isterinya, namun
dalam kecenderungan hati tidak dituntut, tetapi tidak boleh terlalu cenderung pada
salah satu isterinya tersebut.
Poligami menurut Quraish Shihab merupakan mirip dengan pintu darurat
dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu;
yang duduk disamping pintu darurat pun haruslah mereka yang memiliki
pengetahuan dan kemampuan membukanya serta baru diperkenankan membukanya
pada saat mendapat izin dari pilot. Dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya


87
dapat dilalui oleh siapa yang sangat amat membutuhkan, dan dengan syarat yang
tidak ringan.
Bila pendapat Quraish Shihab tersebut di tinjau dari sudut pandang Undang-
undang No. 1 tahun 1974, dimana dijelaskan dalam Undang-undang No 1 tahun 1974
bahwa:
Dalam pasal 4 pada ayat 2 Undang-undang perkawinan dinyatakan; seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
d. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
e. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
f. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dengan adanya bunyi pasal-pasal yang membolehkan untuk berpoligami
kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh
undang-undang perkawinan sebenarnya bukan asas monogami mutlak melainkan
disebut monogami terbuka atau menurut Yahya harahap, monogami yang tidak
bersifat mutlak. Poligami ditempatkan pada status hukum darurat (emergency law),
atau dalam keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumstance). Di samping itu
lembaga poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami tyetapi atas dasar izin
dari hakim (pengadilan).
56

Dan pada pasal 3 ayat 2 yang telah disebutkan, bahwa ayat tersebut, undang-
undang perakwinan telah melibatkan Pengadilan Agama sebagai intitusi yang cukup
penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seorang. Didalam penjelasan
pasal 3 ayat 2 tersebut dinyatakan:

56
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional (Medan: Zahir Trading Co Medan, 1975), 26.


88
Pengadilan dalam memberikan putusan selain memeriksa apakah syarat yang
tersebut pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-
ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.
Berkenaan dengan pasal 4 diatas, setidaknya menunjukkan ada tiga alasan
yang di jadikan dasar mengajukan permohonan poligami, Pertama Isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Kedua Isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan (menurut dokter). Ketiga tidak dapat
melahirkan keturunan.
Tampaknya alasan-alasan ini bernuansa fisik kecuali alasan nomor tiga,
terkesan karena suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal dari isterinya,
maka alternatifnya adalah poligami. Namun demikian ternyata undang-undang
perkawinan juga memuat syarat-syarat untuk kebolehan poligami. Seperti yang
termuat dalam pasal 5 ayat 1 undang-undang perkawinan, syarat-syarat yang
dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami ialah:
1. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka;
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak
mereka.
Untuk membedakan persyaratan yang ada dalam pasal 4 dan 5 adalah pasal 4
disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada untuk dapat


89
mengajukan permohonan poligami. Sedangkan pasal 5 adalah persyaratan kumulatif
dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.
57

Terkait dengan prosedur melaksanakan poligami, aturannya dapat dilihat
didalam PP No.9/1975. pada pasal 40 dinyatakan:
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.
Sedangkan tugas pengadilan di atur di dalam pasal 41 PP N0. 9 tahun 1975
yang berbunyi sebagai berikut:
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin
lagi.
b. Ada atau tidaknya adanya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan
maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan,
persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.
c. Ada atau tidaknya adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani
oleh bendahara tempat bekerja; atau
ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. Surat keterangan lain yang dapat di terima oleh pengadilan
d. Ada atau tidaknya adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji
dari suami yang dibuat dalam bentuk yang di tetapkan untuk itu.

57
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit., 164.


90
Berikutnya pada pasal 42 juga dijelaskan keharusan pengadilan untuk
memanggil para isteri untuk memberikan penjelasan atau kesaksian. Di dalam pasal
ini juga dijelaskan, bahwa pengadilan diberi waktu selama 30 hari untuk memeriksa
permohonan poligami setelah diajukan oleh suami lengkap dengan persyaratannya.
Pengadilan Agama memiliki wewenang untuk memberi izin kepada
seseorang untuk melakukan poligami. Hal ini dinyatakan di dalam pasal 43 yang
berbunyi:
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang
berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Izin Pengadilan Agama tampaknya menjadi sangat menentukan, sehingga
didalam pasal 44 dijelaskan bahwa Pegawai Pencatat di larang untuk melakukan
pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum
adanya izin Pengadilan.
Menurut Mohammad Daud Ali, bahwa izin poligami dari Pengadilan Agama
tidak boleh dianggap sebagai syarat sah perkawinan kedua. Cukuplah dianggap
sebagai syarat yang harus di penuhi dalam rangka melindungi kaum wanita dan
anak-anak. Di samping itu, untuk mengurangi poligami dapat juga ditempuh dengan
cara memberi sanksi pidana bagi suami yang menikah untuk kedua kalinya, tanpa
melalui izin Pengadilan Agama.
58

Sementara itu, poligami jika di tinjau dari sudut pandang dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat masalah poligami ini

58
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), 32.


91
pada bagian IX dengan judul, Beristeri lebih dari satu orang yang diungkapkan dari
pasal 55 sampai pasal 59. pada pasal 55 dinyatakan:
1. beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai empat orang isteri.
2. Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku
adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3. Apabila Syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi,
suami dilarang beristeri lebih dari satu orang.
Lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 56 di jelaskan:
1. Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin
dari Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan
menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VII PP No.9 tahun
1975.
3. Perkawinan yang di lakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dari pasal-pasal diatas, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sepertinya tidak jauh
berbeda dengan undang-undang perkawinan bahkan dengan semangat fikih.
Kendatipun pada dasarnya undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) menganut prinsip monogami, namun sebenarnya peluang yang di berikan
untuk poligami juga terbuka.
Terkait dengan prosedur poligami. Pada pasal 57 di jelaskan:
Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristeri
lebih dari seorang apabila:


92
d. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.
e. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat di sembuhkan.
f. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain syarat-syarat yang telah di terangkan di atas, terdapat syarat-syarat lain
juga yang harus dipenuhi oleh suami yang akan melakukan pernikahan poligami atau
beristeri lebih dari seorang. Seperti yang di jelaskan pada pasal 58 Kompilasi Hukum
Islam (KHI), yang berbunyi:
1. Selain syarat utama yang di sebut pada pasal 55 ayat 2 maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan pada pasal 5 undang-undang No.1 tahun 1974, yaitu:
a. adanya persetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No.9 tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat
diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan
isteri pada siding Pengadilan Agama.
3. Persetujuan dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau
apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya
2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian
Hakim.


93
Selanjutnya pada pasal 59 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga digambarkan
betapa besarnya wewenang Pengadilan Agama dalam memberikan persetujuan
kepada suaminya untuk berpoligami, persetujuan itu dapat diambil alih oleh
Pengadilan Agama. Lebih lengkapnya bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang
diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini
isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa perundang-
undangan perkawinan di Indonesia tentang poligami sebenarnya telah berusaha
mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami atau beristeri lebih dari satu orang
adalah laki-laki yang benar-benar (1) mampu secara ekonomi menghidupi dan
mencukupi seluruh kebutuhan (sandang-pangan-papan) keluarga (isteri-isteri dan
anak-anak), serta (2) mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya sehingga isteri-
isteri dan anak-anak dari suami yang berpoligami tidak disia-siakan. Demikian juga
perundang-undangan Indonesia terlihat berusaha menghargai isteri sebagai pasangan
hidup suami. Terbukti, bagi suami yang akan melaksanakan poligami, suami harus
terlebih dahulu mendapatkan persetujuan para isteri.
59


59
Kahiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 100.


94
Pada sisi lain peranan Pengadilan Agama untuk mengabsahkan praktik
poligami menjadi sangat menentukan bahkan dapat di katakana satu-satunya lembaga
yang memiliki otoritas untuk mengizinkan poligami.
60

Dari sini tidak terjadi perbedaan antara Quraish Shihab dan juga Undang-
undang perkawinan No.1 tahun 1974, di mana dari keduanya baik itu dari Quraish
Shihab maupun dari sudut pandang Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974
yang menganggap poligami merupakan pelaksanaan hukum dalam keadaan darurat.
Sebagai bentuk solusi atau salah satu bentuk alternatif dalam menyelesaikan problem
rumah tangga. Namun juga dalam pelaksanaan poligami tersebut dengan beberapa
syarat dan ketentuan. Begitu juga prosedur yang ditentukan dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
Syarat maupun ketentuan yang di berlakukan diatas, hal tersebut bertujuan
dalam pencapaian nilai keadilan yang diinginkan dan tidak menimbulkan
kekhawatiran dalam berlaku adil.
Dalam masalah keadilan baik itu Quraish Shihab maupun ketentuan hukum
yang berlaku diIndonesia, yang dituntut adalah keadilan dalam bentuk materi, baik
itu terkait dengan nafkah, tempat tinggal, maupun pakaian atau dengan kata lain
keadilan dalam sandang, pangan dan papan. Bukan dalam hal immaterial, karena
tidak dapat di ukur.
Dalam KHI dalam pasal 59 di jelaskan, pengadilan tetap dapat memberikan
izin poligami walau tidak mendapat izin dari isteri setelah memeriksa dan
mendengarkan isteri yang bersangkutan dipersidangan. Hal ini terlihat lebih memberi
peluang kepada suami untuk poligami dan kurang mendukung pihak perempuan atau

60
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan., Op.Cit., 169.


95
isteri. Namun tidaklah demikian, karena walaupun dalam hal ini Pengadilan Agama
dapat memberi izin poligami, tetapi masih ada kesempatan untuk dapat mengajukan
banding maupun kasasi.
Saya setuju dengan pendapat Muhammad Quraish Shihab dengan
mengatakan bahwa poligami merupakan mirip pintu darurat dalam pesawat, yang
hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu; yang duduk disamping pintu
darurat pun haruslah mereka yang memiliki pengetahuan dan kemampuan
membukanya serta baru diperkenankan membukanya pada saat mendapat izin dari
pilot. Dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang
sangat amat membutuhkan, dan dengan syarat yang tidak ringan.
Dalam hal ini, saya menganggap bahwa pendapat Muhammad Quraish
Shihab lebih relevan daripada pendapat yang menutup pintu atau melarang poligami,
karena mereka yang melarang poligami memang benar apabila di lihat satu sisi yaitu
dalam perlindungan wanita dalam kesetaraan, namun apabila melihat sisi yang lain
poligami juga untuk melindungi kaum wanita yang itu apabila terjadi dalam kondisi
tertentu. Dan juga dapat menjadi salah satu alternatif dalam menanggulangi
permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat, seperti prostitusi yang banyak terjadi
yang cenderung karena alasan ekonomi. Dan juga dengan pelarangan poligami dapat
menimbulkan problem sosial, seperti prostitusi atau yang lainnya yang itu juga dapat
menjadi problem tersendiri.
Poligami dalam perspektif Quraish Shihab ini juga bukan suatu anjuran
maupun kewajiban untuk melakukan poligami, melainkan suatu alternatif untuk
menyelesaikan permasalahan keluarga. Dalam pelaksanaan poligami tersebut pun,
dengan beberapa syarat dan ketentuan yang harus dilakukan oleh suami yang


96
menikah lebih dari satu isteri atau suami yang melakukan poligami tersebut untuk
harapan untuk mencapai keadilan dan juga melindungi perempuan.
Dari semua penjelasan baik itu dari al-Quran, hadits, pendapat ulama,
maupun Undang-undang yang berlaku diIndonesia, menjelaskan bahwa syarat dan
juga ketentuan yang di inginkan tidak lain untuk mencapai keadilan. Demikian juga
yang terdapat dalam pendapat Quraish Shihab.
Pendapat Quraish Shihab dapat dijadikan suatu solusi atau jalan tengah untuk
menjembatani bagi mereka yang berbeda pendapat baik itu yang pro maupun kontra.
Karena pendapat Quraish Shihab tersebut tidak menutup rapat-rapat atau melarang
poligami juga tidak menganjurkan, namun beliau menganggap hal itu merupakan
solusi yang harus ditempuh dalam keadaan darurat tertentu dengan syarat dan
ketentuan yang tidak ringan.
Sehingga implikasi hukumnya untuk dapat dijalankan atau dapat
direalisasikan dalam kehidupan masyarakat. Implikasi tersebut menguatkan yang
telah diterapkan dalam Undang-undang yang berlaku diIndonesia yaitu dalam
Undang-undang No 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), maupun
penjelasan dari Undang-undang tersebut, disana sudah mencoba mengatur poligami,
yang tidak lain untuk mencapai keadilan dan melindungi perempuan.
Peran pemerintah dalam hal ini Pengadilan Agama yang merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah yang memiliki wewenang dalam pemberian
izin poligami sangatlah penting, selain melindungi hak-hak perempuan dan anak-
anak juga sebagai pengawas dan pengatur bagi suami yang melakukan poligami agar
tidak semaunya saja atau dalam poligami dengan tidak melaksanakan syarat dan
ketentuannya. Sehingga poligami benar-benar menjadi solusi ditengah masyarakat


97
dan bukan menimbulkan permasalahan baru, seperti yang dikhawatirkan oleh
pendapat yang melarang poligami. Oleh karena dalam mengatur poligami,
pemerintah harus tegas baik itu dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
menjadi syarat poligami maupun sanksi yang diberikan sehingga poligami dapat
menjadi alternatif seperti yang diharapkan.
















98

BAB V
PENUTUP

Dari hasil analisa diatas dapat ditarik kesimpulan, sebagaimana sebagai
berikut:
1. Quraish Shihab Membolehkan poligami, dengan beberapa ketentuan yang harus
terpenuhi. Menurut Muhammad Quraish Shihab, poligami seperti sebuah pintu
darurat yang hanya boleh dibuka atau dilakukan dalam keadaan tertentu saja. Dan
orang yang melakukan itu haruslah mereka yang memiliki pengetahuan dan
kemampuan membukanya serta baru diperkenankan membukanya. Dan hanya
dapat dilalui oleh siapa yang sangat amat membutuhkan, dan dengan syarat yang
tidak ringan. Dari situ dapat kita pahami bahwa poligami dalam pemikiran
Quraish Shihab merupakan salah satu alternatif yang dilakukan dalam kondisi
darurat atau tertentu, dan juga dengan beberapa syarat dan ketentuan. Dalam
memahami makna adil yang harus dicapai bagi seorang suami yang melakukan
poligami menurut Quraish Shihab adalah adil dalam hal materi, baik itu sandang,
pangan, dan papan. Bukan dalam kecenderungan hati atau perasaan, karena hal
itu tidak mungkin diwujudkan, namun pun bukan kecenderungan hati tapi tidak
boleh terlalu cenderung pada salah satu isterinya, karena hal tersebut dapat
menimbulkan kecemburuan yang dapat berdampak kurang baik.
2. Implikasi hukum dari pemikiran Quraish Shihab tersebut yaitu menguatkan
peraturan yang berlaku di Indonesia, sebagaimana yang dilaksanakan pemerintah


99
Indonesia, dimana yang tertuang dalam Undang-undang perkawinan No 1 tahun
1974, bahwa pemerintah membolehkan poligami, walaupun perkawinan
Indonesia berasas monogami. Poligami tersebut dapat dilaksanakan dalam
kondisi atau keadaan tertentu yang memang menuntut untuk dilaksanakan
poligami demi untuk mencapai kemaslahatan, namun dalam pelaksanaan
poligami tersebut pihak suami juga dituntut untuk memenuhi persyaratan dan
ketentuan Undang-undang tersebut, bila tidak maka tidak diperkenankan
poligami. Persyaratan dan ketentuan tersebut tidak saja sebagai bentuk
perlindungan terhadap perempuan (isteri) dan anak-anak dalam keluarga yang
melaksanakan poligami, tetapi juga untuk mencegah lelaki (suami) dari berbuat
semena-mena dalam melakukan poligami.

Daftar Pustaka
Departemen Agama Republik Indonesia (1994) Al-Quran dan Terjemahnya, edisi
revisi, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo Semarang.
Ali, Zainuddin (2006) Hukum Perdata Islam diIndonesia. Cet. I, Jakarta: Sinar
Grafika.
Ashshofa, Burhan (2004) Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dahlan. A dan M Alfarisi, Zaka , (2006) Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-Ayat Al-quran. edisi kedua Cet. VIII, Bandung: Diponegoro.
Dairobi, Ahmad (2007) Poligami dan Kekuatan Opini Perempuan, Buletin Sidogiri,
edisi 13, tahun ke II, Dzul Hijjah 1427 H.
Daud Ali, Mohammad (1997) Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: Rajawali
Pers.
Eri Mahani, Masfida (2004) Pandangan Hakim Terhadap Pernyataan Berlaku Adil
Dalam Poligami (Studi Kasus di Pengadilan Agama Malang. Skripsi,
Malang: Fakultas Syariaah UIN Malang.


100
Fahmie, Anshori (2007) Siapa Bilang Poligami Itu Sunah. Cet. I, Depok: Pustaka
IIMaN.
Fikri, Abu (2007) Poligami yang tak Melukai Hati. Cet. I, Bandung: Mizan.
Fakultas Syariah UIN Malang,Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Fakultas Syariah
UIN Malang.
Ghany A.R, Abdul (2004) Zauzat an-Nabi Muhammad Saw wa Hikmat
Taaddudihin, diterjemahkan Dwi Ratnasari, Mengapa Rasulullah
Berpoligami dan Sebaiknya kita tidak. Cet. I, Yogyakarta: Diva Press.
Harahap, Yahya (1975) Hukum Perkawinan Nasional. Medan: Zahir Trading Co
Medan.
Hilmi Farhat Ahmad, Karim (2007) Taaddu az-Zauzah fi al-Adyan diterjemahkan
oleh Munirul Abidin Farhan, Poligami Berkah atau Musibah. Cet. I, Jakarta:
Senayan Publishing.
Husain, Musfir aj-Jahrani (1997) Nazharatun fi Taaddudi az-Zaujat diterjemahkan
Muh. Suten Ritonga, Poligami Dari Berbagai Persepsi. Cet. II, Jakarta:
Gema Insani Press.
Imam az-Zabidi (2002) Mukhtashar Shahih al-Bukhari diterjemahkan Achmad
Zaidun, Ringkasan Hadits Shahih al-Bukhari. Cet. I, Jakarta: Pustaka Amani.
Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Jumhairiyah (2001) Konsepsi dan Aplikasi Adil Sebagai Salah Satu Syarat Poligami
(Studi Kasus Pada Perizinan Poligami diPengadilan Agama Malang dan
Persepsi Adil Menurut Para Isteri). Skripsi, Malang: Fakultas Syariah UIN
Malang.
Mahmoud al-akkad, Abbas (1984) al-Maratul fil Quran diterjemahkan Chadidjah
Nasution, Wanita Dalam Al-Quran. Cet. II, Jakarta: Bulan Bintang.
Mazhariri, Husain (2006) Akhlak dar Khoneh diterjemahkan Abdullah Assegaf,
Membangun Surga Dalam Rumah Tangga. Cet. X, Jakarta: Cahaya.
Moleong, J. Lexy (2005) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mubarak, Saiful Islam (2007) Poligami Antara Pro dan Kontra. Cet. II, Bandung:
Syamil.
Musthofa al-Adawi, Abu Abdillah (2005) Ahkam an-Nikah wa az-Zifaf,
diterjemahkan Aris Munandar dan Eko Haryono, Tanya Jawab Masalah
Nikah Dari A sampai Z. Cet. I; Yogyakarta: Media Hidayah.
Muarif Ambary, Hasan (et al) (2000) Ensiklopedi Islam. Cet. V, Jakarta: PT Ichtiar
Baru van Hoeve.


101
Mubarok, Jaih (2005) Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia. Cet. I,
Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Nasution, Kahiruddin (1996) Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran
Muhammad Abduh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nata, Abuddin, dkk (2002) Insiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
jilid III.
Nuruddin, Amiur dan Akmal Tarigan, Azhari (2004) Hukum Perdata Islam
diIndonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU
No.1/1974 sampai KHI. Jakarta: Prenada Media.
Rachman, Noer Aini (2007) Poligami Dalam Pandangan Ulama ( Studi Pada
pengasuh Pondok Pesantren di Kecamatan Kraksaan Kabupaten
Probolinggo). Skripsi, Malang: Fakultas Syariah UIN Malang.

Rahayu, Islami (2003) Poligami Sebagai Salah Satu Alternatif Mengangkat Derajat
Kaum Wanita (Studi Komparatif Terhadap Pandangan Ulama Dalam Hukum
Islam dan Undang-undang No 1 tahun 1974). Skripsi, Malang: Fakultas
Syariah UIN Malang.

Rahman Ghazaly, Abd. (2006) Fiqh Munakahat. Cet. II, Jakarta: Kencana.
Rakhmawati, N. Rosyidah (2005) Poligami diIndonesia dilihat dari Aspek Yuridis
Normatif editor Rochayah Machali, Wacana Poligami diIndonesia. Cet. I,
Bandung: Mizan.
Rahman I Doi, Abdul (1996) Shariah The Islamic Law, terjemahan, Basri Iba
Asghary dan Wadi Masturi, Perkawinan Dalam Syariat Islam. Cet. II
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sabtia Irawan, Chandra (2007) Perkawinan dalam Islam Monogami atau Poligami.
Cet. I, Yogyakarta: An Naba.
Shiddieq, Umay M. Djafar (2004) Indahnya Keluarga Sakinah Dalam Naungan al-
Quran dan as-Sunah. Cet. I, Jakarta: Zakia Press.
Shihab, M. Quraish (2006) Perempuan Dari Cinta Samapi Seks, Dari Nikah Mutah
sampai Nikah Sunah, Dari Bias Lama Samapi Bias Baru. Cet. III, Jakarta:
Lentera Hati.
------- (2005) Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran. Cet. IV,
Jakarta: Lentera Hati.
------- (2007) Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhui Atas Pelbagai Persoalan Umat.
Cet. XIX, Jakarta: Mizan.
------- (1995) Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan.


102
------- (2007) Pengantin Al-Quran, Kalung Permata Buat Anak-anakku. Cet. III,
Jakarta: Lentera Hati.
Soekanto, Soerjono (1984) Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk (2005) Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk (2005) Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras.
Soekanto (1996) Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar Untuk
Mempelajari Hukum Adat. Cet.III, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syaltut, Syekh Mahmud (1984) al-Islam Aqidah wa Syariah, alih bahasa
Fachruddin dan Nasharuddin, Aqidah dan Syariat Islam. Cet.I Jakarta: PT.
Bina Aksara.
Triwulan Tutik, Titik dan Trianto (2007) Poligami Perspektif Perikatan Nikah,
Telaah Kontekstual Menurut Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan
No.1 Tahun 1974. Cet. I, Jakarta: Prestasi Pustakaraya
UU No.1 tahun 1974, Lembaran Negara RI tahun 1974 nomor 1.
Wibisono, Yusuf (1980) Monogami Atau Poligami, Masalah Sepanjang Masa. Cet.
I, Jakarta: Bulan Bintang.

You might also like