You are on page 1of 20

Daerah Tangkapan, Konservasi Tanah dan Ekonomi Pemanfaatan Air Studi Kasus Waduk Sermo, Kabupaten Kulonprogo, Propinsi

DIY 1. Pendahuluan Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam hal pemanfaatan sumberdaya air untuk memenuhi berbagai kebutuhan, seperti misalnya kebutuhan air untuk irigasi, air minum, PLTA, industri, dll, Pemerintah Indonesia telah melakukan pembangunan berbagai fasilitas pendukung, seperti misalnya pembangunan bangunan bendungan/waduk, embung, bendung, jaringan irigasi, jaringan distribusi air bersih, jaringan penanganan air limbah dan lain-lain, yang pada umumnya dibangun dengan biaya investasi yang tinggi. Penetapan usia operasi dari bangunan-bangunan tersebut di atas seringkali hanya didasarkan atas asas besarnya manfaat (benefit) yang akan diperoleh oleh masyarakat, tanpa memperhitungkan apakah bangunan air tersebut memiliki kemandirian ekonomi atau tidak; kemandirian ekonomi adalah kemampuan secara mandiri untuk menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai biaya operasional dan biaya pemeliharaan bangunan, dan bilamana memungkinkan dapat menambah pendapatan bagi pemerintah pusat maupun daerah, termasuk kemampuan untuk mengembalikan biaya investasi yang telah dikeluarkan. Selama ini nilai ekonomi air hanya diperhitungkan pada penggunaan air untuk jenis-jenis tertentu saja, seperti misalnya penggunaan air untuk air minum (PDAM), air untuk industri, dan air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), sedangkan air untuk memenuhi kebutuhan iriga

nyata. Keberadaan waduk dengan daerah tangkapan tertentu memiliki peranan yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya air pada suatu daerah, karena waduk memiliki fungsi multi guna bagi pengembangan daerah. Operasi waduk yang dijalankan, sangat dipengaruhi kebijakan maupun prinsip pengelolaan yang ditetapkan, yang biasanya didasarkan pada optimasi pengaturan air antara ketersediaan air waduk dengan perkiraan kebutuhan air yang akan dilayani oleh

waduk. Kemampuan untuk melayani berbagai kebutuhan air sangat dipengaruhi oleh kapasitas tampungan waduk. Kapasitas tampungan waduk dapat dibedakan sebagai tampungan aktif, dimana tampungan air di dalamnya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan, dan tampungan mati (dead storage), dimana tampungan airnya tidak dapat dimanfaatkan, yang diperuntukkan untuk menampung sedimen selama masa operasi waduk. Seiring dengan bertambahnya usia operasi waduk, kapasitas tampungan waduk (total) cenderung selalu berkurang, yang disebabkan oleh bertambahnya volume sedimen yang masuk ke dalam waduk yang berasal dari sungai-sungai yang menuju ke waduk. Pada kondisi dimana sedimen yang masuk ke dalam waduk masih lebih kecil atau sama dengan nilai perencanaan, volume air di dalam tampungan aktif masih dapat dimanfaatkan sesuai dengan perencanaan. Sebaliknya, bila sedimen yang masuk ke dalam waduk sudah melebihi kapasitas dead storage, maka tampungan aktif waduk dapat berkurang, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pemanfaatan air waduk untuk memenuhi berbagai kebutuhan, termasuk nilai pendapatan ekonominya. Disamping itu, terlalu banyaknya sedimen yang masuk ke dalam waduk juga akan mempengaruhi kualitas air waduk, yang dapat menimbulkan dampak negatif dalam pemanfaatan airnya. Sebagai contoh, pemanfaatan air bersedimen untuk keperluan irigasi, dapat mempercepat terjadinya pendangkalan saluran-saluran irigasi. Juga pemanfaatan air untuk PDAM, diperlukan treatment khusus untuk pemanfaatan airnya, karena adanya sedimen cenderung menurunkan kualitas air. Permasalahan sedimentasi waduk yang berlebihan banyak terjadi pada waduk-waduk di Indonesia. Permasalahan sedimentasi waduk tidak lepas dari permasalahan erosi yang terjadi di daerah tangkapan dan teknologi konservasi yang diterapkan. Pada kondisi dimana sedimentasi waduk yang terjadi berlebihan, perlu upaya pengendalian erosi (konservasi tanah) yang tepat agar waduk tetap dapat beroperasi sesuai dengan perencanaan, dan pemanfaatan air dapat berjalan sesuai dengan rencana. Sehubungan dengan itu, sebelum disampaikan teknologi konservasi tanah, berikut ini akan disampaikan pengertian tentang erosi dan

sedimentasi, dan metode (rumusan) untuk memprediksi besarnya erosi. 2. Pengertian Erosi dan Sedimentasi Erosi adalah merupakan suatu proses penghanyutan tanah oleh kekuatan air (dan angin), baik yang terjadi secara alamiah maupun sebagai akibat tindakan/perbuatan manusia; dan dalam hal ini dikenal dua jenis erosi, yaitu normal atau geological erosion dan accelerated erosion. Permasalahan tentang erosi tidak dapat terpisahkan dari proses sedimentasi. Sedimentasi adalah merupakan proses pengendapan butir-butir tanah yang telah terhanyutkan atau terangkut, pada tempat-tempat yang lebih rendah dan/atau pada sungai-sungai atau waduk-waduk. Banyak sedikitnya partikel tanah tererosi sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah, bentuk kewilayahan (topografi), tanaman penutup tanah (vegetasi), dan faktor kegiatan/perlakuan manusia terhadap tanah. Proses kejadian normal / geological erosion adalah melalui tahap-tahap : a. pemecahan agregat-agregat tanah atau bongkah-bongkah tanah ke dalam partikel-partikel tanah yang berukuran lebih kecil; b. pemindahan partikel-partikel tanah, baik dengan melalui penghanyutan oleh air (maupun karena kekuatan angin); c. pengendapan partikel-partikel tanah yang terpindahkan atau terangkut ke tempat-tempat yang lebih rendah atau di dasar-dasar sungai/waduk. Proses kejadian accelerated erosion sama seperti proses kejadian normal/geological erosion, akan tetapi kejadiannya dipercepat akibat tindakantindakan atau perbuatan manusia yang bersifat negatif, atau karena adanya kesalahan dalam pengelolaan tanah/lahan. Erosi yang dipercepat seringkali menimbulkan dampak yang merugikan bagi kehidupan manusia. Secara lebih rinci lagi, erosi ini dapat dibedakan lagi sebagai sheet erosion (erosi permukaan), rill erosion (erosi alur), gully erosion (erosi parit) dan stream bank erosion (erosi tebing sungai). 3. Prediksi dan Evaluasi Erosi Dari sekian banyak rumusan prediksi erosi yang ada di literatur, model erosi yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1965, 1978, dalam Prinz, the Universal Soil Loss Equation (USLE

dianggap paling populer dan paling banyak digunakan. USLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi jangka panjang dari erosi lembar (sheet erosion), termasuk di dalamnya adalah erosi alur (gully erosion), pada suatu keadaan tertentu dari suatu bidang tanah. Dengan menggunakan persamaan USLE dapat diprediksi laju rata-rata erosi dari suatu bidang tanah tertentu, pada suatu kecuraman lereng dan dengan pola hujan tertentu, untuk setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang sedang atau yang mungkin dapat dilakukan. Persamaan USLE dikembangkan untuk suatu petak tanah percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 72,6 ft (22,1 m) dan terletak pada lereng 9 % tanpa tanaman. Persamaan USLE mengelompokkan berbagai parameter fisik (dan pengelolaan) yang mempengaruhi laju erosi ke dalam enam parameter utama, yaitu :

dimana A adalah banyaknya tanah yang tererosi dalam [ton per hektar per tahun], R, faktor curah hujan dan aliran permukaaan (erosivitas hujan), K, adalah faktor erodibilitas tanah, L, faktor panjang lereng, S, faktor kecuraman lereng, C, faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, dan P adalah faktor tindakantindakan khusus konservasi tanah. Erosivitas hujan dihitung dengan persamaan yang diusulkan oleh Bols (1978, dalam Kironoto dan Yulistyanto, 2000), yang merupakan rumus pendekatan dari besarnya erosivitas hujan, EI30, dari Wischmeier dan Smith, dan merupakan rumusan yang dikembangkan di pulau Jawa dan Madura.

dimana A adalah banyaknya tanah yang tererosi dalam [ton per hektar per tahun], R, faktor curah hujan dan aliran permukaaan (erosivitas hujan), K, adalah faktor erodibilitas tanah, L, faktor panjang lereng, S, faktor kecuraman lereng, C, faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, dan P adalah faktor tindakantindakan

khusus konservasi tanah. Erosivitas hujan dihitung dengan persamaan yang diusulkan oleh Bols (1978, dalam Kironoto dan Yulistyanto, 2000), yang merupakan rumus pendekatan dari besarnya erosivitas hujan, EI30, dari Wischmeier dan Smith, dan merupakan rumusan yang dikembangkan di pulau Jawa dan Madura. Rm = 2,21 Pm 1.36 dimana Rm = erosivitas hujan bulanan Pm = hujan bulanan dalam [cm] Faktor erodibilitas tanah, K, didasarkan pada kondisi tanah di lapangan, yang nilainya dipengaruhi oleh prosentase pasir, pasir sangat halus, lumpur, bahan organik, struktur tanah, dan permeabilitas tanah. Panjang lereng, L, dan kecuraman lereng, S, sering dinyatakan dengan faktor LS. Nilai LS untuk suatu bidang tanah dapat dihitung dengan persamaan: LS = (X/22,1)m (0,065 + 4.56 sin + 65,41 sin2) atau LS = (X/22,1)m (0,065 + 0,045 s + 0,0065 s2) dimana m = suatu tetapan yang dipengaruhi oleh nilai s = sudut kemiringan lereng tanah dalam [derajat] s = kemiringan lereng tanah dalam [persen] C adalah faktor yang mengukur pengaruh jenis tanaman terhadap erosi. Nilai faktor C dipengaruhi oleh banyak parameter yang dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu parameter alami dan parameter yang dipengaruhi oleh sistem pengelolaannya. Nilai faktor P adalah faktor praktek pengendalian laju erosi (pengelolaan) secara mekanis, seperti misalnya penanaman mengikuti kontour, strip cropping, dan pembuatan teras. Dengan mengetahui besarnya erosi yang terjadi (dengan persamaan USLE), dapat diperoleh gambaran tentang besarnya erosi yang terjadi pada suatu daerah tangkapan (sungai/waduk). 4. Teknologi Pengendalian Erosi Pengendalian atau pencegahan erosi (konservasi tanah) berarti menjaga

agar struktur tanah tidak terdispersi, yang dapat dilakukan dengan mengatur kekuatan gerak dan jumlah aliran permukaan. Beberapa usaha berikut ini dapat digunakan sebagai dasar dalam rangka mengendalikan erosi. 1. Menutup tanah dengan tumbuh-tumbuhan dan tanaman (atau sisa-sisa tanaman), agar tanah terlindung dari daya rusak butir-butir hujan yang jatuh. Butir-butir hujan yang jatuh diusahakan tidak langsung mengenai tanah, sehingga tanah tidak terdispersi. Disamping itu dengan adanya tanaman penutup (atau sisa-sisa tanaman yang menutup tanah), akan menghindarkan butiran tanah untuk ikut terbawa aliran permukaan. 2. Memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar resisten terhadap penghancuran butiran tanah dan terhadap pengangkutan butir tanah oleh aliran permukaan, serta memperbesar daya tanah untuk menyerap air di permukaan tanah. 3. Mengatur aliran permukaan agar mengalir dengan kecepatan yang tidak merusak dan memperbesar jumlah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah. Dalam hal ini diupayakan agar aliran permukaan tidak mengalir searah lereng akan tetapi sejajar dengan arah garis kontur sehingga kecepatan aliran permukaan kecil. Untuk lahan dengan nilai permeabilitas tanah cukup besar diupayakan sebanyak mungkin air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah sehingga jumlah aliran permukaan berkurang dan erosi lahan akan berkurang. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip di atas, usaha pengendalian erosi dapat dilaksanakan dengan teknologi atau cara-cara sebagai berikut: 1). cara vegetatif, 2). cara mekanis, dan 3).cara vegetatif-mekanis Cara vegetatif umumnya dilakukan dengan cara memberi proteksi tanah dengan vegetasi, sehingga tanah dapat menahan energi hujan yang bersifat erosif, menjaga infiltrasi yang besar, dan mereduksi atau mengurangi aliran permukaan. Cara mekanis meliputi pembentukan permukaan lahan (misalnya membuat terasering) yang bertujuan mengurangi laju aliran permukaan dan mengarahkannya keluar lahan dengan sedapat mungkin mereduksi erosi yang terbawa. Kedua metode tersebut sering dilakukan secara simultan; metode mekanis sangat diperlukan jika kemiringan lahan cukup besar, dimana dengan cara vegetatif saja penanggulangan erosi masih kurang efektif. Cara vegetatifmekanis

merupakan gabungan antara cara vegetatif dan penggunaan konstruksi tambahan (mekanis) yang dapat menggunakan konstruksi batu atau beton. 5. Contoh Hitungan Erosi Permukaan Sehubungan dengan permasalahan erosi sedimentasi sebagaimana disebutkan di atas, berikut ini disampaikan contoh kasus permasalahan erosi dan sediimentasi (waduk), upaya konservasi (pengendalian erosi) di daerah tangkapan waduk, dan keterkaitannya dengan nilai ekonomi pemanfaatan air. Adapun waduk yang akan ditinjau adalah Waduk Sermo yang berada di desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Waduk Sermo terletak di Dusun Sermo, Kelurahan Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istemewa Yogyakarta. Waduk Sermo mempunyai volume tampungan (kotor) sebesar 25 juta m3 pada elevasi + 136.6 m, yang terdiri dari 21.9 juta m3 sebagai volume tampungan air dan 3.1 juta m3 sebagai volume dead storage, serta mempunyai luas genangan waduk sebesar 1.57 km2. Luas daerah tangkapan air waduk adalah 22 km2. Daerah tangkapan ini adalah merupakan daerah aliran waduk Sermo, yang meliputi bagian dari daerah aliran sungai Ngrancah, anak sungai Kali Dungpagap, Kali Menguri, Kali Pantaran, Kali Kembang, Kali Papan, dan beberapa kali kecil lainnya yang bermuara ke Kali Ngrancah. Saat ini waduk Sermo hanya difungsikan untuk menyediakan air minum, air irigasi, mengatasi banjir, usaha perikanan dan pariwisata. Namun, melihat potensinya, tidak menutup kemungkinan air waduk Sermo juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri dan PLTA. Bendungan Sermo dibangun dengan biaya sebesar 17,655 milyar rupiah dan, dan telah mulai dioperasikan sejak bulan Oktober Tahun 1996. Dari hasil pengukuran echosounding yang pernah dilakukan sejak th. 1998, dan terakhir th. 2002, diketahui bahwa besarnya sedimen yang masuk ke dalam waduk pertahunnya rata-rata adalah sekitar 95000 m3/th, yang melebihi nilai perencanaan, yaitu sebesar 62000 m3/th; dengan kondisi tersebut, kapasitas tampungan waduk diperkirakan akan terpengaruh, dan usia operasi waduk tidak akan mencapai usia 50 th seperti yang direncanakan.

Untuk mengetahui seberapa besar permasalahan erosi yang terjadi di daerah tangkapan waduk Sermo, berikut ini diberikan contoh perhitungan erosi di daerah tangkapan waduk. Perhitungan erosi dilakukan dengan menggunakan persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation), dengan berdasarkan data sekunder yang didapatkan dari berbagai instansi terkait. a. Kebutuhan Data Untuk memprediksi besarnya erosi yang terjadi diperlukan beberapa data, baik data yang berupa peta maupun data fisik lapangan. Beberapa jenis data yang diperlukan untuk perhitungan erosi permukaan di Daerah Tangkapan Waduk Sermo adalah sebagai berikut ini. 1. Data hujan Data hujan dipergunakan untuk menghitung erosivitas hujan. Dalam kasus DAS Ngrancah (Sermo) digunakan 5 stasiun hujan yang berada pada / di dekat DAS Ngrancah. 2. Data berupa peta Beberapa jenis peta yang diperlukan untuk perhitungan adalah sebagai berikut: Peta kelerengan tanah Dengan peta ini dapat diperoleh informasi tentang kemiringan lereng dan panjang lereng pada DAS yang bersangkutan (Gambar 1). Dari peta tersebut dapat diperoleh pula nilai Indeks faktor panjang kemiringan lereng, LS. Peta jenis tanah Peta tanah ini dipergunakan untuk mendapatkan informasi tentang jenis tanah yang selanjutnya dipergunakan untuk mendapatkan faktor erodibilitas tanah, K (Gambar 2). Peta penggunaan lahan Informasi dari peta tata guna lahan ini dipakai untuk menentukan faktor penutup tanah, C (Gambar 3 ). b. Analisis Data Analisis/ perhitungan erosi permukaan dimulai dengan menghitung beberapa parameter sebagai berikut : 1. Perhitungan Faktor erosivitas hujan, R

Faktor erosivitas hujan diperoleh dari data curah hujan, yang untuk kasus DAS Ngrancah diperoleh dari 5 stasiun hujan, yaitu Stasiun Sermo, Parakan Kulon, Katerban, Tegiri dan Pantaran. Data curah hujan untuk kelima stasiun tersebut adalah berupa data hujan harian. Dari data curah hujan harian tersebut selanjutnya dihitung hujan rerata bulanan tiap stasiun pada seluruh DAS Ngrancah dengan metode Thiessen (atau metode Isohyet). Peta daerah pengaruh Thiessen diberikan pada Gambar 4. Selanjutnya dihitung faktor erosivitas hujan; dengan hasil seperti diberikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil hitungan erosivitas hujan. Stasiun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Parakan Kulon 289,82 223,04 257,41 130,41 106,97 38,97 27,23 14,83 31,35 115,62 256,65 286,27 Sermo 298,59 242,51 222,28 124,65 70,46 27,514 32,61 12,71 21,48 77,15 326,63 239,77 Katerban 472,32 336,61 373,79 199,16 152,73 52,60 72,71 25,87 45,44 189,69 418,73 377,49 Tegiri 184,10 213,60 177,48 139,10 173,52 30,24 27,27 15,87 19,83 68,728 367,33 247,24 Pantaran 305,52 237,25 145,20 161,29 95,475 26,674 39,75 3,63 14,70 100,41 462,51 315,16 (satuan dalam mm) 2. Penentuan Faktor Erodibilitas Tanah, K Dalam menentukan nilai erodibilitas tanah di DAS Ngrancah, nilai K diperoleh dari peta tanah yang diperoleh dari Kanwil DIY, Departemen Kehutanan. Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa nilai faktor erodibilitas tanah untuk DAS Ngrancah adalah sebesar 0,43, sesuai dengan kondisi jenis tanah yang seragam di DAS Ngrancah, yaitu tanah Latosol coklat kemerahan. 3. Penentuan Faktor L dan S Faktor kemiringan lereng juga ditentukan berdasarkan peta kemiringan lereng yang diperoleh dari Kanwil DIY, Departemen Kehutanan. Di DAS Ngrancah umumnya mempunyai kemiringan lereng yang cukup besar, yang

berada pada kelas kelerengan III, IV dan V, dengan nilai faktor kemiringan lereng adalah 3,1, 6,8 dan 9,5 (Departemen Kehutanan, 1997). 4. Penentuan Faktor C dan P Indeks faktor pengelolaan tanaman dan teknik konservasi tanah diperoleh dari dua sumber utama, yaitu peta penggunaan lahan dan (didukung) hasil observasi lapangan. Dari peta dan hasil survei diketahui penggunaan lahan di DAS Ngrancah beraneka ragam, yaitu hutan, sawah, tegalan, lahan pekarangan, kebun campur, pemukiman/perkampungan dan lahan untuk jalan dan sungai. Dari peta tersebut dapat diklasifikasikan jenis-jenis lahan beserta nilai faktor pengelolaan tanaman, C (Kironoto dan Yulistyanto, 2000). e). Pembuatan Peta Tingkat Erosi Aktual Peta tingkat erosi aktual dapat diperoleh dengan cara menumpang tindihkan (overly) peta-peta yang ada peta erosivitas hujan, peta jenis tanah, , yang selanjutnya dapat

peta kelerengan tanah, dan peta penggunaan lahan

diperoleh peta unit lahan. Mengacu pada hasil overly dari beberapa peta yang ada terutama peta penggunaan lahan, daerah tangkapan waduk Sermo dapat dibagi dalam 46 unit lahan, sebagaimana diberikan pada Gambar 5. Pada masing-masing unit lahan tersebut dapat ditentukan indeks dari masing-masing faktor penentu besarnya tanah yang hilang berdasarkan persamaan USLE. Perlu diingat bahwa rumus USLE dikembangkan untuk suatu bidang tanah yang berukuran kecil, sehingga perhitungan dilakukan berdasarkan unit lahan. Hasil hitungan erosi lahan untuk bulan Januari diperlihatkan pada Tabel 2, sedangkan rekap hasil hitungan untuk bulan-bulan yang lain diberikan pada Tabel 3. Dari tabel tersebut diketahui bahwa laju erosi permukaan di DAS Ngrancah cukup besar, yaitu sekitar 8,30 mm/tahun, dengan penyumbang erosi terbesar diketahui berasal dari areal kebun campur. Nilai laju erosi permukaan sebesar 8,30 mm/thn ini ekivalen dengan besarnya erosi sebesar 160.130,11 m3/thn (dengan mengambil nilai berat volume tanah sebesar = 1,8 ton/m3). Nilai erosi sebesar 8.30 mm/th ini tidak semua masuk ke dalam waduk, melainkan ada sebagian yang akan tertahan di permukaan tanah/lahan. Perbandingan antara sedimen yang masuk ke dalam waduk dengan sedimen yang tererosi sering

dinamakan sebagai sediment delevary ratio (SDR). Nilai SDR dapat menunjukkan keefektifan dari sistem pengendalian erosi yang ada (tata guna lahan, konservasi tanah, dll) di daerah tangkapan waduk Sermo. Makin kecil nilai SDR berarti makin efektif sistem pengendalian erosi yang ada, dan sebaliknya. Nilai SDR pada waduk Sermo untuk kondisi sekarang (eksisting) dapat diperoleh dengan jalan membagi besarnya sedimen yang masuk dan mengendap di dalam waduk Sermo (hasil pengukuran echo-sounding) dengan besarnya erosi permukaan yang terjadi di DAS Sermo (hasil hitungan rumus USLE). Nilai SDR DAS Sermo untuk kondisi saat ini adalah sekitar : SDR = 0.596. Berarti bahwa 59,6 % dari erosi permukaan yang terjadi (hasil rumus USLE) akan masuk ke dalam waduk Sermo, sementara 40,4 % sisanya tertinggal di permukaan tanah. Mengingat bahwa volume sedimen yang masuk ke dalam waduk (hasil pengukuran echo-sounding) melebihi nilai perencanaan, usia operasi waduk diperkirakan akan berkurang. Sehubungan dengan itu perlu adanya upaya pengendalian erosi /konservasi di daerah tangkapan Waduk Sermo. Dari hasil penelitian oleh Departemen Kehutanan DIY (1997), diketahui bahwa usaha untuk mengurangi laju erosi (permukaan) yang tampaknya masih memungkinkan untuk diterapkan adalah perbaikan teras dari teras sedang (kondisi eksisting) menjadi teras yang lebih baik. Perbaikan teras dapat dilakukan dengan cara penanaman tanaman kakau dan atau rumput-rumputan. Dengan perbaikan teras diharapkan nilai faktor P (dalam persamaan USLE) dapat diturunkan dari nilai P = 0,15 menjadi 0,105. Selain perbaikan teras, usaha untuk mengurangi laju erosi dapat juga dilakukan dengan cara mengubah pola tanam beserta jenis tanamannya, terutama pada daerah tegalan dengan tanaman utama ketela, mengingat tegalan dengan tanaman ketela termasuk rawan terhadap bahaya erosi. Tanaman pengganti yang diusulkan adalah berupa tanaman yang mempunyai sifat baik untuk penutupan lahan dan mampu menjaga/menahan tanah dari bahaya erosi permukaan. Tanaman yang dimaksud dapat berupa tanaman tahunan, seperti misalnya tanaman kakau, kopi dan lain-lain. Dengan mengganti jenis tanaman, nilai C untuk jenis tanaman (dalam persamaan USLE) dapat lebih kecil dari kondisi sekarang, sehingga dapat

memperkecil laju erosi permukaannya. Arahan tata guna lahan dan perkiraan perubahan faktor C dan P diperlihatkan pada Tabel 4. Dengan perubahan nilai CP seperti diberikan pada Tabel 4, diperoleh hasil hitungan erosi permukaan seperti diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 2. Hasil hitungan erosi lahan bulan Januari No. No. unit Lahan (UL) Luas UL (ha) K R TL L S C P C.P A ton/ha/bl A luas LU ton/bl 1 1 16.681 0.43 184.104 Kc 9.5 0.1 0.15 0.0150 11.281 188,177 2 2 8.674 0.43 305.523 Tg 6.8 0.625 0.15 0.0938 83.751 726,469 3 3.a 23.576 0.43 184.104 Tg 6.8 0.625 0.15 0.0938 50.468 371,220 4 3.b 6.005 0.43 184.104 Tg 9.5 0.625 0.15 0.0938 70.506 132,100 5 3.c 4.893 0.43 305.523 Tg 6.8 0.625 0.15 0.0938 83.751 127,859 6 3.d 32.472 0.43 305.523 Tg 9.5 0.625 0.15 0.0938 117.006 1185,424 7 4.a 169.701 0.43 184.104 Kc 6.8 0.1 0.15 0.0150 8.075 1370,299 8 4.b 361.865 0.43 305.523 Kc 6.8 0.1 0.15 0.0150 13.400 4849,077 9 4.c 7.784 0.43 305.523 Kc 6.8 0.45 0.15 0.0675 60.301 104,313 10 5.a 19.795 0.43 305.523 Kp 9.5 0.1 0.15 0.0150 18.721 370,575 11 5.b 4.448 0.43 305.523 Kp 6.8 0.1 0.15 0.0150 13.400 59,608 12 6.a 299.812 0.43 305.523 Kc 9.5 0.1 0.15 0.0150 18.721 5612,755 13 6.b 35.364 0.43 305.523 Kc 9.5 0.45 0.15 0.0675 84.244 662,039 14 7.a 40.702 0.43 305.523 Kp 3.1 0.1 0.15 0.0150 6.109 248,643 15 7.b 117.211 0.43 305.523 Kp 6.8 0.1 0.15 0.0150 13.400 1570,659 16 8 52.489 0.43 305.523 Kp 9.5 0.1 0.15 0.0150 18.721 982,648

17 9 128.332 0.43 305.523 Kc 3.1 0.1 0.15 0.0150 6.109 783,972 18 10 76.288 0.43 472.320 Kc 9.5 0.1 0.15 0.0150 28.941 2207,868 19 11 5.116 0.43 472.320 Tg 9.5 0.625 0.15 0.0938 180.884 288,697 20 12 10.231 0.43 289.819 Tg 9.5 0.625 0.15 0.0938 110.992 354,290 21 13 41.591 0.43 298.596 Kc 6.8 0.45 0.15 0.0675 58.934 544,695 22 14 64.055 0.43 298.596 Kc 3.1 0.45 0.15 0.0675 26.867 382,435 23 15.a 6.672 0.43 298.596 Kc 3.1 0.45 0.15 0.0675 26.867 39,837 24 15.b 7.340 0.43 184.104 Kc 3.1 0.45 0.15 0.0675 16.565 27,018 25 15.c 9.341 0.43 298.596 Kc 6.8 0.1 0.15 0.0150 13.096 122,338 26 16.a 16.236 0.43 298.596 Kc 6.8 0.45 0.15 0.0675 58.934 212,635 27 16.b 6.672 0.43 184.104 Kc 6.8 0.45 0.15 0.0675 36.337 53,878 28 17 14.234 0.43 298.596 Kp 3.1 0.1 0.15 0.0150 5.970 84,985 29 18 6.895 0.43 298.596 Kc 9.5 0.45 0.15 0.0675 82.334 126,151 30 19 11.788 0.43 298.596 Tg 6.8 0.625 0.15 0.0938 81.853 301,040 31 20 33.140 0.43 184.104 Kp 3.1 0.1 0.15 0.0150 3.681 121,992 32 21 51.146 0.43 184.104 Kc 3.1 0.1 0.15 0.0150 3.681 188,276 33 22.a 12.455 0.43 184.104 Kp 9.5 0.1 0.15 0.0150 11.281 140,506 34 22.b 20.684 0.43 184.104 Kp 6.8 0.1 0.15 0.0150 8.075 167,022 35 23.a 22.909 0.43 184.104 Tg 3.1 0.625 0.15 0.0938 23.007 35,124 36 23.b 1.779 0.43 184.104 Tg 6.8 0.625 0.15 0.0938 50.468 28,017 37 24.a 6.450 0.43 305.523 Tg 3.1 0.625 0.15 0.0938 38.181 76,835 38 24.b 3.114 0.43 305.523 Tg 3.1 0.625 0.15 0.0938 38.181 37,093 39 25 4.893 0.43 184.104 S 3.1 0.01 0.04 0.0004 0.098 2,249 40 26 105.646 0.43 184.104 Kc 3.1 0.45 0.15 0.0675 16.565 388,899 41 27.a 28.691 0.43 184.104 Kc 6.8 0.45 0.15 0.0675 36.337 853,070 42 27.b 13.345 0.43 298.596 Kc 6.8 0.45 0.15 0.0675 58.934 375,752 43 28 8.897 0.43 298.596 H 6.8 0.0010 0.873 11,651 44 29.a 2.224 0.43 305.523 Tg 6.8 0.625 0.15 0.0938 83.751 232,470 45 29.b 1.112 0.43 305.523 Tg 3.1 0.625 0.15 0.0938 38.181 26,494 46 30 6.672 0.43 184.104 Kc 9.5 0.1 0.15 0.0150 11.281 12,546 JUMLAH 1929,419 43,205.93

Tabel 3. Rekap Hasil hitungan erosi permukaan selama 1 tahun (eksisting) NO Bulan Luas U.L Erosi (Ha) Ton/bulan mm/bulan 1 Januari 1929,419 43205.93 1.243 2 Februari 1929,419 36608.97 1.054 3 Maret 1929,419 27838.33 0.802 4 April 1929,419 23260.64 0.670 5 Mei 1929,419 17812.66 0.513 6 Juni 1929,419 4541.26 0.131 7 Juli 1929,419 5626.91 0.162 8 Agustus 1929,419 1565.94 0.045 9 September 1929,419 2561.67 0.074 10 Oktober 1929,419 15209.56 0.438 11 November 1929,419 65623.96 1.890 12 Desember 1929,419 44378.41 1.278 A (Ton/tahun) 288234.2 A (Ton/ha/thn) 149.389 A ( mm/tahun) 8.30 * dengan mengambil nilai berat volume tanah sebesar = 1,8 ton/m3 Tabel 4. Arahan tata guna lahan dan perubahan faktor C dan P No. NO. UNIT LAHAN Tata guna lahan Faktor C Faktor P Eksisting Arahan Eksisting Arahan Eksisting Arahan 1 1 Kc: ch,kl,mli,bb B V6a T3 0.10 0.10 0.15 0.105 2 2 Tg: ke,kl,ps B V6a T3 0.325-0.775* 0.10 0.15 0.105 3 3.a Tg: ke,sgn,kl A V6a L8 0.325-0.775* 0.10 0.15 0.150 4 3.b Tg: ke,sgn,kl A V6a L8 0.325-0.775* 0.10 0.15 0.150 5 3.c Tg: ke,sgn,kl A V6a L8 0.325-0.775* 0.10 0.15 0.150 6 3.d Tg: ke,sgn,kl A V6a L8 0.325-0.775* 0.10 0.15 0.150 7 4.a Kc: dr,ch,mgs,mli C V6a T3 0.10 0.10 0.15 0.105

8 4.b Kc: dr,ch,mgs,kl A V5a T3 0.10 0.10 0.15 0.105 9 4.c Kc: ch,kl,ke,mli B V6a T3 0.10 0.10 0.15 0.105 10 6.a Kc: dr,mli,kl,bb A V5a T3 0.10 0.10 0.15 0.105 11 6.b Kc: ch,kla,ke,kl B V6a L8 0.45-0.55* 0.10 0.15 0.150 12 9 Kc: ch,mli,kl,sgn A V5a T3 0.10 0.10 0.15 0.105 13 10 Kc: ch,kl,kla,ps A V5a T3 0.10 0.10 0.15 0.105 14 11 Tg: ke,ch,sgn A V5a T3 0.8-1.0 0.10 0.15 0.105 15 12 Tg: ke,kla,ps B V3 0.8-1.0 0.10 0.15 0.150 16 13 Kc: kl,mli,sng,ke C V6a L8 0.45-0.55* 0.10 0.15 0.150 17 14 Kc: kl,sng,snk,ke,kk C V6a L8 0.45-0.55* 0.10 0.15 0.150 18 15.a Kc: kl,jt,sng,bb,ke C V6a L8 0.45-0.55* 0.10 0.15 0.150 19 15.b Kc: kl,sng,ch,mli,ke C V6a L8 0.45-0.55* 0.10 0.15 0.150 20 15.c Kc: kl,kp,sgn,bb B V6a T3 0.10 0.10 0.15 0.105 21 16.a Kc: kl,jt,sng,bb,ke C V6a T3 0.45-0.55* 0.10 0.15 0.105 22 16.b Kc: kl,jt,sng,bb,ke C V6a T3 0.45-0.55* 0.10 0.15 0.105 23 18 Kc: ke,snk,mli,kl A V6a T3 0.45-0.55* 0.10 0.15 0.105 24 19 Tg: ke,sng,kl B V6a T3 0.325-0.775* 0.10 0.15 0.105 25 23.a Tg: ke,snk C V6a T3 0.325-0.775* 0.10 0.15 0.105 26 23.b Tg: ke,snk D V6a L8 0.325-0.775* 0.10 0.15 0.150 27 24.a Tg: ke,kl,ps,ch B V6a L8 0.325-0.775* 0.10 0.15 0.150 28 24.b Tg: ke,ps,kl B V6a L8 0.325-0.775* 0.10 0.15 0.150 29 26 Kc: kl,ch,sng,ke C V6a T3 0.45-0.55* 0.10 0.15 0.105 30 27.a Kc: kl,mli,jt,ke B V3 0.45-0.55* 0.10 0.15 0.150 31 27.b Kc: kl,jt,bb,ke B V3 0.45-0.55* 0.10 0.15 0.150 32 29.a Tg: ke,kl,ps B V6a L8 0.325-0.775* 0.10 0.15 0.150 33 29.b Tg: ke,kl,ps B V6a L8 0.325-0.775* 0.10 0.15 0.150 *) variasi bulanan Keterangan arahan tata guna lahan adalah sebagai berikut ini. A = Kawasan lindung, yaitu kawasan dengan kriteria: mempunyai kelerengan > 40 %, tanah sangat peka terhadap erosi, merupakan jalur pengamanan sungai/air, merupakan pelindung mata air, atau guna keperluan/kepentingan

khusus ditetapkan pemerintah sebagai kawasan lindung. B = Kawasan penyangga, kawasan yang mempunyai kriteria umum sbb : keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara ekonomis, secara ekonomis lokasi mudah dikembangkan sebagai daerah penyangga, dan tidak merugikan segi-segi ekologi/lingkungan C = Kawasan budidaya tanaman tahunan, yaitu kawasan yang cock atau seharusnya dikembangkan usaha tani tanaman tahunan (kayu-kayuan, tanaman perkebunan dan tanaman industri ). D = Kawasan budidaya tanaman setahun/semusim, areal seperti dalam ketetapan budidaya tanaman tahunan aka tetapi areal tersebut terletak pada tanah milik, tanah adat dan tanah negara yang seharusnya dikembangkan usaha tani tanaman semusim. T3 = Penyempurnaan teras dengan penanaman kopi, kakau dan atau rumput L8 = Pengaturan drainase, saluran, jalan dan halaman V3 = Hutan produksi terbatas V6a = Kebun campur dengan tanaman pokok kakau, alpokat dan albizia V6b = Agroforestry dengan jenis tanaman pokok jati/ albizia/ sonokeling/ acasia dan pete/mlinjo. V5a = Hutan rakyat dengan jenis tanaman pokok albizia, jati, acasia, sonokeling. Kc = kebun campur, Tg: tegalan, S: sawah, H: hutan, Kp: kampung, ch: cengkeh, ke: kelapa, kl: ketela, sgn: sengon, mgs : manggis, mli: mlinjo, bb: bambu, ps: pisang, dr : durian, snk : sono keling, jt: jati. Tabel 5. Hasil hitungan erosi permukaan dengan faktor CP yang baru (arahan). No Bulan Luas U.L. Erosi (Ha) ton/bulan mm/bulan 1 Januari 1929,419 19729,659 0,568 2 Februari 1929,419 15691,392 0,452 3 Maret 1929,419 11325,057 0,326 4 April 1929,419 10199,650 0,294 5 Mei 1929,419 7489,018 0,216 6 Juni 1929,419 1921,639 0,055

7 Juli 1929,419 2500,355 0,072 8 Agustus 1929,419 552,689 0,016 9 September 1929,419 1197,784 0,034 10 Oktober 1929,419 6355,320 0,183 11 November 1929,419 28010,338 0,807 12 Desember 1929,419 19529,894 0,562 A (Ton/tahun) 124502,796 A (Ton/ha/thn) 64,529 A ( mm/tahun) 3,585 Nilai erosi permukaan dengan faktor C dan P hasil dari rencana arahan dapat menyebabkan terjadinya penurunan laju erosi permukaan sebesar 4,715 mm/th, dari yang semula 8,30 mm/thn menjadi 3,585 mm/thn. Dari hasil hitungan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan penanganan secara vegetatif (dengan mengganti beberapa jenis tanaman yang rawan erosi; menurunkan faktor C) dan penanganan secara mekanis (dengan memperbaiki sistem teras yang ada; menurunkan faktor P), diperkirakan akan dapat menurunkan laju erosi di Daerah Aliran Waduk Sermo, yang pada gilirannya dapat mengurangi sedimen yang masuk ke dalam waduk. Pengendalian dapat dilakukan baik pada DAS atau mengelilingi daerah genangan waduk (pengendalian daerah sabuk hijau atau green belt). Pengendalian di daerah sabuk hijau dapat mencegah masuknya sedimen (hasil erosi) langsung ke dalam daerah genangan waduk, namun tidak dapat mencegah sedimen yang masuk melalui alur sungai, sehingga pengendalian harus dilakukan di daerah atasan genangan waduk (DAS). 6. Nilai Ekonomi Air Waduk Pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan waduk dihitung dari perkalian antara jumlah air yang dapat dilepas waduk dengan harga satuan air dari masingmasing kebutuhan. Harga satuan air adalah sejumlah uang yang dibebankan kepada pengguna air atas penggunaan air pada suatu tempat dengan debit tertentu dan waktu tertentu yang terdiri dari harga satuan berikut ini : harga satuan air baku untuk PDAM,

harga satuan air baku untuk industri, harga satuan air untuk PLTA, Khusus harga satuan air irigasi (dan penggelontoran) tidak memiliki nilai yang pasti karena dalam kenyataannya memang tidak ada kontribusi langsung dari pengguna air terhadap jasa pengelolaan kedua air tersebut. Disamping itu, pendapatan waduk dari air juga dapat diperoleh melalui penjualan fungsi genangan air waduk untuk berbagai keperluan, seperti misalnya untuk rekreasi, olah raga air, dll. Untuk waduk Sermo, pemanfaatan air waduk saat ini hanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan air irigasi dan PDAM saja. Dan hanya dari air untuk keperluan air minum (PDAM) sajalah yang dapat diharapkan nilai ekonomi airnya. Nilai ekonomi air waduk Sermo juga diperoleh melalui pengoptimalan fungsi dari aset waduk, yang berupa pemanfaatan genangan air untuk berbagai keperluan, seperti misalnya rekreasi, olah raga air, pemancingan, karamba, dll. Untuk menutup biaya O & P, pihak pengelola Waduk Sermo saat ini juga memanfaatkan lahan kosong di sekeliling Waduk untuk berbagai keperluan, seperti misalnya untuk penanaman pohon di sekeliling waduk (misal sengon laut untuk diambil kayunya, agro wisata, dll), tempat rekreasi, warung, dll. Besarnya air yang dapat dilepas waduk sangat dipengaruhi oleh besarnya inflow dan out flow waduk (sesuai dengan jenis dan besar kebutuhan air), serta besarnya volume tampungan air waduk yang tersedia. Sebagai gambaran untuk Waduk Sermo, jenis kebutuhan air yang diharapkan dapat dipenuhi oleh Waduk Sermo, meliputi kebutuhan air untuk air baku PDAM dan air irigasi. Besar kebutuhan air tersebut didasarkan pada pedoman (manual) operasi yang terdapat pada Bagian Proyek Pengembangan dan Konservasi Sumber Air Waduk Sermo. Kebutuhan tersebut diperhitungkan selama usia operasi waduk (untuk waduk Sermo, yaitu 50 tahun, dari tahun 1996-2046). Untuk melihat kemandirian ekonomi waduk Sermo, perlu melihat biaya O & P waduk, hasil pendapatan dari menjual air, dan biaya investasi yang telah dikeluarkan untuk pembangunan waduk. Kalau hanya untuk menutup biaya O & P waduk saja, pendapatan yang diperoleh dari menjual aset waduk Sermo

sebenarnya sudah mencukupi. Namun, kalau harus memeperhitungkan biaya investasi, pendapatan waduk yang diperoleh biasanya tidak akan mampu menutup biaya investasi. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Purnomo (2001) pada waduk Sermo, bahwa dengan asumsi bahwa harga satuan air mengacu pada nilai yang ditetapkan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta I Malang (Tahun 2000; karena standar nilai air di waduk Sermo belum ada) diketahui bahwa selama usia operasi waduk (50 tahun), total pendapatan yang diperoleh adalah sekitar Rp. 12,041 Milyar, sedangkan total operasional dan biaya investasinya adalah sekitar Rp. 30,644 Milyar (present worth value, th. 2000), yang berarti bahwa waduk Sermo sebenarnya tidak memiliki kemandirian ekonomi. Dalam penelitian tersebut belum diperhitungkan berkurangnya kapasitas tampungan ai waduk oleh sedimen, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan waduk dalam memenuhi berbagai kebutuhan air. Sebagaimana disampaikan di depan bahwa besarnya volume tampungan air waduk Sermo akan sangat dipengaruhi oleh besarnya sedimentasi waduk yang terjadi selama waktu operasional waduk. Pada kondisi dimana sedimen yang masuk ke dalam waduk melebihi kapasitas dead storage, besarnya tampungan air waduk akan terkurangi oleh sedimen yang masuk ke dalam waduk, yang pada akhirnya akan mengurangi pendapatan waduk. 7. Tinjauan Pustaka 1. Sitanalaya, A. , 1989, Konservasi Tanah dan Air, Bogor. 2. Departemen Kehutanan, 1997, Rencana Teknik lapangan, Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Buku I dan II, Yogyakarta 3. Kartasapoetra, G., 1991, Teknologi Konservasi Tanah dan Air, Jakarta 4. Kironoto, B.A., dan Yulistyanto, B., 2000, Konservasi Lahan, Diktat Kuliah MPSA, Program Pascasarjana, UGM. 5. Prinz, D., 1999, Global Environmental Problems : Soil Erosion Assessment and Control, Germany. 6. Purnomo, I., 2001, Studi Model Operasi Pengaturan Air Waduk Sermo dengan Pendekatan Nilai Ekonomi Air, Tesis Program MPSA, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta.

7. Tatareka Paradya, 1999, Studi Sedimentasi Waduk Sermo dan Penanggulangannya, Yogyakarta.

You might also like