You are on page 1of 6

KAIN TENUN FLORES Copa de Flores (Bunga) adalah nama yang diberikan oleh bangsa portugis untuk daerah

ini. Flores memiliki 2 macam motif kain tenun, tradisional dan modern. Motif tradisional masih melambangkan kepercayaan animisme dan dinamisme, sedangkan motif modern telah mengalami perubahan, seperti bunga, garis, dan parang. Kain tenun Flores hanya digunakan pada saat tertentu, sedangakan bila di jadikan pakaian dapat diapakai sehari-hari, atau sebagai hadiah kepada tamu yang datang (Natoni). Setiap daerah di Flores memiliki motif yang berbeda beda, karena dulunya bergantung pada mitos dan kepercayaan

Terdapat dua versi awal menenun di Indonesia. Versi pertama, didasarkan pada kegiatan menenun yang muncul di zaman Paleolitikum, saat alat-alat batu buatan manusia pra sejarah itu masih dikerjakan secara kasar. Versi kedua, dimulai sejak zaman Neolitikum (prasejarah) yang dipertegas dengan bukti prehistoris berumur 3000 tahun. Seperti ditemukannya teraan atau cap tenunan, alat pemintal, kerewengkereweng bercap kain tenun dan bahan yang terlihat jelas adanya tenunan kain dari kapas di situss Gilimanuk (Bali), Melolo (Sumba Timur) dan Gunung Wingko.

Adapun motif yang menghiasi kain tenun mereka, berasal dari lingkungan dimana mereka tinggal dan hidup secara nomaden (berpindah-pindah), seperti jarring laba-laba, sarang burung atau bendungan yang dibuat oleh berang-berang. Sementara bahan yang digunakan dari kulit kayu, kulit binatang, serat, dedaunan serta akar tumbuhan-tumbuhan. Hiasan lainnya berupa garis-garis geometris sebagai warisan bangsa Dongson yang pada tahap perkembangannya berpadu dengan motif flora dan fauna manusia prasejarah asal Indonesia.

Bisa dikatakan, proses penciptaan motif pada tenun ikat sangat sulit dan membutuhkan kreativitas dan ketekunan tingkat tinggi dari pembuatnya. Tenun ikat dibuat dengan tehnik tenun dimana benang pakan, lungsi atau dua-duanya dicelup sebelum ditenun. Benang yang diikat tidak kena warna sehingga setelah dilepas pengikatnya akan timbul pola-pola yang diinginkan.

Tenun ikat atau kain ikat adalah kriya tenun Indonesia berupa kain yang ditenun dari helaianbenang pakan atau benang lungsin yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam zat pewarna alami. Alat tenun yang dipakai adalah alat tenun bukan mesin. Kain ikat dapat dijahit untuk dijadikan pakaian dan perlengkapan busana, kain pelapis mebel, atau penghias interior rumah.

Sebelum ditenun, helai-helai benang dibungkus (diikat) dengan tali plastik sesuai dengan corak atau pola hias yang diingini. Ketika dicelup, bagian benang yang diikat dengan tali plastik tidak akan terwarnai. Tenun ikat ganda dibuat dari menenun benang pakan dan benang lungsin yang keduanya sudah diberi motif melalui teknik pengikatan sebelum dicelup ke dalam pewarna.

Teknik tenun ikat terdapat di berbagai daerah di Indonesia. Daerah-daerah di Indonesia yang terkenal dengan kain ikat di

antaranya: Toraja, Sintang, Jepara, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba,Flores, dan Timor. Kain gringsing dari Tenganan, Karangasem, Bali adalah satu-satunya kain di Indonesia yang dibuat dari teknik tenun ikat ganda (dobel ikat).
[1]

Kain ikat dapat dibedakan dari kain songket berdasarkan jenis benang. Songket umumnya memakai benang emas atau perak. Motif kain songket hanya terlihat pada salah satu sisi kain, sedangkan motif kain ikat terlihat pada kedua sisi kain.

Dorongan memvisualisasikan konsep-konsep interaksi di suatu komunitas mayarakat, atau relasinya dengan alam natura (dunia fauna dan flora) melahirkan berbagai tanda gambar pada kain tenun ikat. Kain tentun ikat Sumba Timur yang sarat dengan tanda/gambar yang membentuk corak, motif, merupakan hasil penuangan gagasan, ide, pemikiran, yang sebelumnya telah tertuang dalam seni kata (seni verbal). Adanya realita seorang raja penuh kuasa, sakti sehingga dikramatkan, dan permaisuri yang berwibawa, bijak bestari, bertajuk mahkota (kara wulang). Dalam dunia binatang buaya yang memiliki instink kuat ditakuti dan dikramatkan oleh masyarakat Sumba (di Mesir Dewa Sobek dilukis sebagai buaya). Buaya dipaar dengan penyu (filsafat Sumba serba dua atau dualisme). Maka lahirlah seni kata dalam bahasa baitan, ana wuya rara, ana kara wulangu, yang artinya, sang buaya merah, sang penyu bersisik.

Pulau Flores dikenal dengan kain tenun ikatnya yang memiliki kekhasan dengan corak warna dan motif yang beragam. Kain tenun merupakan warisan budaya yang dimiliki pulau kecil di bagian timur Indonesia itu, sebut saja dua kabupaten Maumere dan Sikka di Flores.

Ada teknik khusus dalam menenum. Terlebih dulu seorang penenun, memisahkan kapas dari bijinya menggunakan alat bernama Keho. Setelah kapas terpisah, kemudian benang di pintal untuk menghasilkan serat benang, lalu benang-benang yang telah jadi, digulung menggunakan Seler. Hasil gulungan benang tersebut-- dibuat sebagai bahan dasar tenun untuk menghasilkan motif ikat. Motif khas Flores ini diolah dari benang yang beraneka warna dan direntangkan pada bidang kayu yang disebut Hani.

Salah satu ciri khas kain adat ini adalah menggunakan pewarna alam berasal dari buah mengkudu, kayu pohon hepang, kunyit, loba, kulit pohon mangga, serbuk kayu mahoni, serta masih banyak lagi bahan-bahan pewarna alam. Selesai pada tahap pewarnaan, kain akan kembali dibentangkan pada Hani, kemudian melepaskan ikatan supaya motif terbentuk. Dari sinilah kemudian proses tenun dimulai.

Tenun Ikat Khas Waingapu Sumba Timur, NTT



Membuat kain tenun ikat merupakan kebiasaan wanita Waingapu sejak ratusan tahun lalu. Hingga kini, mereka membuat kerajinan ini untuk dipakai sendiri ataupun dijual ke orang lain. masyarakat Waingapu pada awalnya menjadikan tenun ikat sebagai satu perlengkapan penting dalam acara adat istiadat, seperti pernikahan ataupun upacara penobatan raja Bahkan kini, tenun ikat telah menjadi bahan untuk aneka kerajinan, seperti tas, selendang, serta baju. Kerajinan tenun dari Waingapu ini dinamakan tenun ikat karena sebelum ditenun, benang diikat hingga menjadi beberapa ikatan kemudian diberi warna mengikuti pola yang telah ditentukan. Untuk menghasilkan sehelai kain tenun ikat khas Waingapu tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang

cukup lama. Untuk proses pewarnaan benangnya saja membutuhkan proses yang bertahap dan butuh kesabaran. Pada musim penghujan, pengrajin tenun biasanya memulai kegiatan dengan mengikat benang, membentuk motif, serta menyiapkan bahan pewarna alami. Biasanya, mereka membuat warna merah dari akar mengkudu yang dicampur dengan daun loba dan untuk warna hijau dibuat dari zat hijau daun. Mereka akan memulai proses pewarnaan benang ketika musim kemarau, karena setelah dicelup warna, benang yang telah diikat itu harus dijemur di bawah terik matahari. Untuk menghasilkan satu buah warna yang bagus, paling tidak diperlukan hingga empat kali proses pencelupan. harga kain tenun ikat khas Waingapu relatif mahal bahkan hingga mencapai jutaan rupiah. "Emang agak mahal ya, karena ini manual ya, dikerjakan manual. Sehari selembar benang, setahun selembar kain. Jadi akan agak mahal dia. Jadi harga itu memang dilihat dari kualitasnya. Ada harga 5 juta, 4 juta, 1 juta, ada yang 500 ribu. Kalau selendang ada yang 60 ribu, 260 ribu." Pengrajin tenun ikat di Sumba Timur umumnya menghasilkan kain dengan motif hewan dan tumbuhan, seperti udang, penyu, buaya, serta pohon andung, salah satu jenis pohon yang dapat dijumpai di daerah Sumba Timur.

Sejarah Tenun Troso Warga Desa Troso sudah membuat tenun ikat sejak tahun 1935. Keahlian ini didapat secara turun-temurun dari keluarga. Mula-mula mereka membuat tenun gendong. Lalu, pada tahun 1943, keahlian mereka berkembang, dengan membuat tenun pancal. Nah, sejak tahun 1946, baru deh, mereka membuat tenun dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang hailnya disebut sebagai tenun troso. Motif cemara/pohon cemara. Motif lompong/daun talas. Dua motif tersebut sempat mengalami masa keemasan. Namun sayang, kini dua motif tersebut sudah jarang diproduksi. Sebabnya, pengrajin harus luwes menerjemahkan permintaan pasar. Alih-alih membuat motif ciptaan sendiri, yang seharusnya dilestarikan sebagai ciri khas yang unik, mereka justru memproduksi kain tenun dengan motif khas daerah lain. Bahan baku yang digunakan untuk membuat tenun troso yaitu benang katun, viskos, sutra alam, serat nanas, rayon, pewarna, dan rafia.

Bahan baku yang mereka butuhkan untuk memenuhi permintaan pasar adalah sebanyak 1.326 ton per tahun dengan nilai bahan baku sekitar Rp. 65,2 Milyar.

Program Pelestarian Tenun Troso

Pemerintah Kabupaten Jepara sangat giat mendorong pelestarian tenun troso. Mereka mendorong pengusaha tenun troso untuk mengikuti pameranpameran berskala nasional, bahkan internasional. Ekspor tenun ke luar negeri pun dilakukan melalui pintu pasar dari Bali, Yogyakarta, dan Jakarta.

mengingatkan pentingnya pelestarian kain tenun ikat NTT agar tidak punah. Meski suatu saat kain tenun ikat NTT hanya menjadi benda seni, perlu ada masyarakat yang menguasai teknik pembuatannya sehingga selalu ada produk tenun, katanya.

Jangan sampai terjadi seperti di Manado, Sulawesi Utara. Kain tenun ikat di sana tak dibuat lagi karena tidak ada lagi yang bisa membuatnya. Ironisnya, kain tenun ikat Manado tersimpan di museum Belanda.

Johanna berpendapat, perajin tenun ikat NTT perlu diproteksi pemerintah daerah, terutama dari ekspansi industri kain di Jawa yang berproduksi dengan motif tenun ikat NTT. Kualitas produk Jawa lebih tipis, halus, dan harga lebih murah dibandingkan harga kain tenun ikat alami yang bisa mencapai lebih dari Rp 500.000 per lembar.

Produk tenun hasil print dengan hand made harus jelas labelnya agar tidak menjatuhkan perajin tenun ikat, kata perempuan yang pada periode 1957-1961 mengajar di SMA Katolik St Ursula Jakarta itu.

Johanna amat mendukung upaya pelestarian seperti yang dilakukan oleh Himpunan Wastra Prima. Himpunan pencinta kain adat yang didirikan tahun 1976 itu mengawali kegiatan dengan mengumpulkan 400 kain adat dari seluruh Indonesia, termasuk kain tenun ikat NTT, kemudian disimpan di Museum Tekstil Jakarta. Johanna sendiri menjabat sebagai ketua himpunan ini tahun 1980-1993.

Tenun Indonesia Dapat Pujian di Jenewa


Komunitas diplomatik yang berada di Jenewa terpukau dengan kain tenun Indonesia dalam acara Asian Women`s Circle Luncheon yang digelar di kediaman wakil tetap pemerintah RI Jenewa/Dubes Harga tenun ikat di pasaran berada pada kisaran Rp100.000 hingga Rp2 juta dan untuk kualitas tenun terbaik biasanya didapat langsung dari para penenun yang berada di pedalaman NTT.

Obama & Pemimpin ASEAN Memakai Kain Tenun Flores di KTT ASEAN

Pada KTT Asean yang berlangsung di bali beberapa hari lalu, tampak Obama dan Para pemimpin negara-negara Asean mengenakan baju adat, atau disebut juga kain tenun ikat dari Flores, Nusa Tenggara Timur.

Ikat Indonesia Kian Populer


BERTUJUAN memopulerkan kain tradisional Indonesia lewat gaya modern, Ikat Indonesia hadir meramaikan belantika mode Tanah Air. Ikat Indonesia bukanlah semata-mata label mode yang hanya ingin fokus pada tenun ikat semata, melainkan ingin menyebarkan sebuah konsep dan komitmen untuk memajukan kain tradisional Indonesia.

Kain Tenun Bali Diburu Turis Asing


KAIN tenun karya pengrajin Bali disukai dan diburu turis asing yang berlibur di Pulau Dewata itu. Tingginya minat turis asing itu tidak terlepas dari peranan anak-anak muda Bali yang mengenakan songket saat upacara adat dan sembayang ke Pura.

Ragam Tenun

1. Kalimantan
Di Kalimantan, tenun yang terkenal dan sudah banyak beredar di mancanegara antara lain adalah tenun Sambas, tenun Sintang, dan tenun Dayak Iban dari Kalimantan Barat, tenun Doyo dari Kalimatan Timur, juga tenun Pagatan dari Kalimantan Selatan. Bahkan tenun Sambas, dikabarkan sempat mendapat klaim dari Malaysia.

Tenun Doyo Kain tenun ini terbuat dari bahan alam, yaitu daun ulap doyo yang bentuknya menyerupai daun pandan yang seratnya kuat sehingga bisa dijadikan benang tenun. Tenun yang merupakan hasil kerajinan tangan kaum perempuan suka Dayak Benuaq ini biasa digunakan dalam upacara-upacara adat atau digunakan juga sebagai mahar pada upacara perkawinan.

Tenun Pagatan Tenun pagatan memiliki motif, warna yang sangat menarik dan berkualitas tinggi. Bahkan, tenun sutera khas Kalimantan Selatan tersebut telah mengalami sentuhan modern dari berbagai desainer atau perancang busana terkenal.

2. Sumatera

Tenun Pandai Sikek Tenun di daerah Minangkabau disebut tenun Pandai Sikek atau lebih familiar lagi disebut dengan tenun songket. Orang Pandai Sikek sendiri sebenarnya tidak menyebutnya songket, melainkan hanya tenun, sebab yang dimaksud adalah benang katun dan benang mas yang ditenun dengan tangan, diatas alat yang bernama panta sehingga menjadi kain, kain balapak atau kain bacatua yang dipakai pai baralek, yaitu pada pesta perkawinan.

Tenun Songket Jambi Tenun dari daerah ini terkenal dengan keragaman motifnya. Motif-motif khas Jambi yang biasa digambarkan di tenun ini antara lain adalah angso duo, kembang duren, bungo intan, keluk paku, bunga melati, durian pecah, dan bunga sulur. Setiap motif tentu saja memiliki makna tersendiri. Motif durian pecah, misalnya, mempunyai makna akan kesuburan dan hasil bumi yang melimpah. Motif bunga melati merupakan lambang keindahan perempuan, sementara motif angso duo pada tenunan songket jambi merupakan lambang dari Jambi sebagai Tanah Pilih Pesako Betuah.

3. Sulawesi
Sulawesi juga memiliki beragam jenis tenun yang terkenal di kalangan desainer. Sebagai contoh adalah tenun Buton dari Sulawesi Tenggara, tenun Celebes dari Sulawesi Selatan, dan tenun Donggala dari Sulawesi Tengah. Tenun Buton Kerajinan tenun dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara biasanya menggambarkan obyek alam yang mereka temukan di sekitarnya. Tenun Buton juga kaya akan warna-warna. Inilah yang menjadi kekhasan kerajinan tenun dari Buton. Corak dan motifnya bermacam-macan. Sebagai contoh adalah motif betano walona koncuapa yang terinspirasi dari abu halus yang melayang-layang hasil pembakaran semak saat membuka ladang; motif colo makbahu atau korek basah, motif delima bongko (delima busuk), motif delima sapuua, dan lain sebagainya. Selain sebagai perekat sosial, tenun Buton juga dianggap mampu menjadi identitas diri. Dengan melihat pakaian yang dikenakan oleh wanita Buton misalnya, kita bisa mengetahui apakah dia telah menikah atau belum. Selain itu, bisa juga sebagai penanda apakah wanita tersebut berasal dari bangsawan atau tidak. Tenun Donggala Disebut juga dengan Buya Sabe, biasa digunakan sebagai pakaian pesta untuk orang tua, menjamu tamu dari luar, juga pakaian dalam acara-acara duka. Bahkan, pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, telah mengeluarkan aturan bagi PNS untuk berseragam tenun Donggala pada setiap akhir pekan di kantor. Proses pembuatan tenun Donggala, tergantung corak tenun. Di Kabupaten Donggala teknik pembuatan dan corak kainnya ada enam jenis, antara lain, kain palekat garusu, buya bomba, buya sabe, kombinasi bomba dan sube. Dari sekian corak tersebut, buya bomba yang paling sulit, hingga membutuhkan waktu pengerjaan satu hingga dua bulan. Berbeda dengan corak lainnya yang hanya membutuhkan waktu satu hingga dua minggu saja.

You might also like