You are on page 1of 5

Proses Penyelesaian Sengketa Oleh Mahkamah Internasional Dalam proses penyelesaian sengketa Mahkamah Internasional bersifat pasif artinya

hanya akan bereaksi dan mengambil tindakan-tindakan bila ada pihak-pihak berperkara mengajukan ke Mahkamah Internasional. Dengan kata lain Mahkamah Internasional tidak dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk memulai suatu perkara. Dalam mengajukan perkara terdapat 2 tugas mahkamah yaitu menerima perkara yang bersifat kewenangan memberi nasihat (advisory opinion) dan menerima perkara yang wewenangnya untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh negara-negara (contensious case). Sebenarnya hanya negara sebagai pihak yang boleh mengajukan perkara kepada Mahkamah Internasional. Karena itu perseorangan, badan hukum, serta organisasi internasional tidak dapat menjadi pihak untuk berperkara ke Mahkamah internasional. Namun demikian berdasarkan Advisory opinion tanggal 11 April 1949 Mahkamah Internasional secara tegas menyatakan bahwa Perserikatan bangsa-bangsa adalah merupakan pribadi hukum yang dapat mengajukan klaim internasional atau gugatan terhadap negara. Advisory Opinion ini telah membuka kesempatan kepada PBB untuk menjadi pihak dalam perkara kontradiktor (contentious case). Dalam upaya penyelesaian perkara ke Mahkamah Internasional bukanlah merupakan kewajiban negara namun hanya bersifat fakultatif. Artinya negara dalam memilih cara-cara penyelesaian sengketa dapat melalui berbagai cara lain seperti saluran diplomatik, mediasi, arbitrasi, dan cara-cara lain yang dilakukan secara damai. Dengan demikian penyelesaian perkara yang diajukan ke Mahkamah Internasional bersifat pilihan dan atas dasar sukarela bagi pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 (1) Piagam PBB. Meskipun Mahkamah Internasional adalah merupakan organ utama PBB dan anggota PBB otomatis dapat berperkara melalui Mahkamah Internasional, namun dalam kenyataannya bukanlah merupakan kewajiban untuk menyelesaikan sengketa pada badan peradilan ini. Beberapa negara tidak berkemauan untuk menyelesaikan perkaranya melalaui Mahkamah Internasional. Sebagai contoh dalam perkara Kepulauan Malvinas tahun 1955 dimana Inggris menggugat Argentina dan Chili ke Mahkamah Internasional namun Chili dan Argentina menolak kewenangan Mahkamah Internasional untuk memeriksa perkara ini. Perlu dicatat bahwa para hakim yang duduk di Mahkamah Internasional tidak mewakili negaranya , namun dipilih dan diangkat berdasarkan persyaratan yang bersifat individual seperti keahliannya dalam ilmu hukum, kejujuran serta memiliki moral yang baik. Penunjukan para hakim ini diusulkan dan dicalonkan oleh negara-negara ke Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB. Pengajuan perkara ke Mahkamah Internasional dapat menggunakan 2 cara yaitu : 1. Bila pihak-pihak yang berperkara telah memiliki perjanjian khusus (special agreement) maka perkara dapat dimasukkan dengan pemberitahuan melalui panitera Mahkamah. 2. Perkara dapat diajukan secara sepihak (dalam hal tidak adanya perjanjian/persetujuan tertulis). Surat pengajuan permohonan perkara harus ditandatangani oleh wakil negara atau perwakilan diplomatik yang berkedudukan di tempat mahkamak Internasional berada. Setelah panitera menerima maka salinan pengajuan perkara tersebut disahkan kemudian salinanya dikirim kepada negara tergugat dan hakim-hakim Mahkamah. Pemberitahuan juga disampaikan kepada anggota PBB melalui Sekretariat

Jenderal. Setelah itu dalam acara pemeriksaan dilakukan melalui sidang acara tertulis dan acar lisan. Dalam acara tertulis maka dilakukan jawab menjawab secara tertulsi antara pihak tergugat dan penggugat. Setelah acara tertulis ditutup maka dimulai lagi acara lisan atau hearing. Acara ini biasanya dipimpin langsung oleh Presiden mahkamah atau wakil presiden dengan menanyakan saksi-saksi maupun saksi ahli atau juga wakil-wakil para pihak seperti penasihat hukum, pengacara. Dalam acara ini dapat bersifat terbuka atau tertutup tergantung dari keinginan para pihak. Setelah semuanya selesai maka dilakukan pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan suara mayoritas para hakim. Keputusan Mahkamah bersifat final dan tidak ada banding kecuali untuk hal-hal yang bersifat penafsiran dari keputusan itu sendiri. Dalam persidangannya untuk jenis perkara-perkara tertentu dapat dimungkinkan dibentuknya suatu kamar sengketa (chamber) yaitu sidang majelis hakim yang lebih kecil. Sebagai contoh adalah pembentukan Chamber of Environmental Dispute untuk menangani Case concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v Australia) dan Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia). Namun pembentukan kamar sengketa ini hanya berlaku bagi kewenangan untuk memeriksa perkara kontradiktor sehingga tidak berlaku dalam persidangan advisory opinion.

Prosedur Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Mahkamah Internasional Mengenai ketentuan-ketentuan prosedural dalam kegiatan mahkamah berada dalam

kekuasaan negara-negara yang bersengketa. Ketenttuan-ketentuan sengketa terdapat dalam Bab III statuta. Kemudian dalam pasal 30 statuta memberikan wewenang kepada Mahkamah untuk membuat tata tertib dan menyempurnakan Bab III. Jadi, bila statuta merupakan suatu konvensi, maka aturan prosedur tadi merupakan suatu perbuatan unilateral mahkamah yang juga mengingat negara-negara yang bersengketa. Isi ketentuan-ketentuan prosedural di muka mahkamah mempunyai kesamaan dengan yuridiksi intern suatu negara, yaitu : 1. Prosedur tertulis dan perdebatan lisan diatur sedemikian rupa untuk menjamin sepenuhnya masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya. 2. Sidang-sidang mahkamah terbuka untuk umum, sedangkan sidang-sidang arbitrasi tertutup. Tentu saja rapat hakim-hakim mahkamah diadakan dalam sidang tertutup. Pasal 24 statuta, menyebutkan bahwa mahkamah dari waktu ke waktu dapat membentuk satu atau beberapa kamar yang terdiri dari 3 hakim atau lebih untuk memeriksa

kasus-kasus seperti perburuan atau masalah-masalah yang berkaitan dengan transit dan komunikasi. Kemungkinan ini telah digunakan beberapa kali oleh mahkamah seperti pembentukan kamar dengan 5 hakim untuk menetapkan tapal batas maritim di kawasan teluk Maine antara Amerika Serikat dan Kanada pada tahun 1982, antara Burkina Faso dan Mali juga mengenai sengketa tapal batas pada tahun 1985, antara AS dengan Itali untuk menyelesaikan sengketa peritiwa Elsi pada 1987, dan sengketa antara Honduras dan Salvador pada tahun 1987, dan sengketa antara Honduras dan Salvodor pada tahun 1987. Prosedur penyelesaian sengketa internasional melalui mahkamah internasional adalah sebagai berikut : 1. Wewenang Mahkamah Mahkamah dapat mengambil tindakan sementara dalam bentuk ordonansi. Tindakan sementara ialah tindakan yang diambil mahkamah untuk melindungi hak-hak dan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa sambil menunggu keputusan dasar atau penyelesaian lainnya yang akan ditentukan mahkamah secara definitif. Contoh kasus okupasi kedutaan Besar Amerika Serikat oleh kelompok militan di Teheran (Iran) pada tanggal 4 November 1979. dalam hal ini mahkamah menetapkan tindakan-tindakan sementara agar menyerahkan kembali kedutaan Besar Amerika Serikat dan membebaskan sandra. Juga dalam kasus sengketa antara Amerika Serikat dan Nikaragua, mahkamah menetapkan tindakan-tindakan sementara pada tanggal 10 Mei 1984, agar hak Nikaragua atas kedaulatan dan kemerdekaan politiknya tidak diancam oleh militer Amerika Serikat. Kemudian selama berlangsungnya proses tersebut, mahkamah dapat membentuk angket, melakukan pemeriksaan-pemeriksaan oleh para ahli dan dapat berkunjung ke tempat sumber sengketa untuk lebih meyakinkan dalam keperluan pengumpulan bukti. 2. Penolakan Hadir di Mahkamah Pasal 53 statuta menyatakan bahwa bila salah satu pihak tidak muncul di mahkamah atau tidak mempertahankan perkaranya, pihak lain dapat meminta mahkamah mengambil

keputusan mendukung tuntutannya. Ketidakhadiran salah satu pihak dalam perkara di mahkamah pernah terjadi pada waktu mahkamah tetap dan juga terdapat dalam sistem mahkamah yang sekarang. Beberapa contoh ketidakhadiran salah satu pihak di mahkamah yaitu Albania dalam peristiwa Selat Corfu (keputusan mahkamah 15 Desember 1949), ketidakhadiran Islandia dalam peristiwa wewenang di bidang penangkapan ikan (keputusan mahkamah 25 Juli 1974), Prancis 20 Desember 1974 dalam peristiwa uji coba nuklir, Turki dalam peristiwa Landas Kontinen laut Egil 19 Desember1978, Iran dalam peristiwa personel Diplomatik dan Konsuler Amerika Serikat di Teheran 21 Mei 1980, dan Amerika Serikat 27 Juni 1986 dalam aktivitas militer kontra Nikaragua. Negara yang bersengketa kemudian tidak hadir di mahkamah tidak akan menghalangi organ tersebut untuk mengambil keputusan. Keputusan itu diambil dengan syarat sesuai dengan pasal 53 ayat 2 statusta, bahwa sebelum menjatuhkan keputusan kepada pihak yang tidak hadir, mahkamah harus yakin bahwa ia bukan saja mempunyai wewenang, tetapi juga atas fakta dan hukum. Jadi, pihak yang dihukum, sekalipun tidak hadir tidak dapat menolak keputusan yang telah ditetapkan oleh mahkamah. 3. Keputusan Mahkamah Keputusan mahkamah diambil dengan suara mayoritas dari hakim-hakim yang hadir. Bila suara seimbang, maka suara ketua atau wakilnya yang menentukan. Contohnya keputusan mahkamah pada tanggal 7 September 1027 dalam perkara Lotus antara Prancis dan Turki mengenai tabrakan kapal di laut lepas dan keputusan mahkamah pada tanggal 18 Juli 1966 mengenai peristiwa Afrika Barat Daya. Keputusan hanya dapat diambil dengan pemberian suara Ketua mahkamah. Keputusan mahkamah terdiri tiga bagian, yaitu : 1. Informasi megenai pihak-pihak yang bersengketa serta wakil-wakilnya analisa mengenai fakta-fakta, dan argumentasi hukum pihak-pihak yang bersengketa. 2. Penjelasan mengenai motivasi mahkamah.

3. Dipositif yaitu berisikan keputusan mahkamah yang merugikan negaranegara yang bersengketa. 2. Penyampaian Pendapat yang Terpisah Penyampaian pendapat terpisah ialah bila suatu keputusan tidak mewakili seluruh atau hanya sebagian dari pendapat bulat para hakim, maka hakim-hakim yang lain berhak memberikan pendapatnya secara terpisah (pasal 57 statuta). Pendapat terpisah ini juga disebut dissenting opinion atinya pendapat seorang hakim yang tidak menyetujui suatu keputusan dan menyatakan keberatannya terhadap motif-motif yang diberikan dalam keputusan tersebut. Jadi, pendapat terpisah adalah pendapat hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh kebanyakan hakim. Keputusan tersebut dapat dianggap pengutaraan resmi pendapat terpisah, ini akan melemahkan kekuatan keputusan mahkamah, walaupun dilain pihak akan menyebabkan hakim-hakim mayoritas berhatihati dalam memberikan motif keputusan mereka.

You might also like