You are on page 1of 26

Bahan Ajar : JURNALISTIK, Kelas XII/SMA A.

Sejarah Pers
KATA orang, pers sudah ada sejak lama. Cikal bakalnya muncul sejak zaman Romawi Kuno (59 SM). Sejumlah catatan sejarah menyebutnya sebagai Acta Diurna, semacam jurnal yang beritanya masih ditulis tangan alias tak dicetak. Sekalipun cikal bakalnya ada di Romawi, koran edisi cetak sendiri ternyata tak muncul di sana untuk kali pertama. Koran edisi cetak pertama justru dikenal di Cina, bernama Di Bao (Ti Bao) yang terbit sekitar tahun 700-an. Tentu, jangan membayangkan bahwa koran itu mulus dan cantik seperti yang kita lihat setiap hari sekarang, sebab Di Bao dicetak dengan menggunakan balok kayu yang dipahat. Hurufnya aksara Cina. Ahli sejarah sepakat bahwa Di Bao adalah koran pertama di dunia yang sudah dicetak. Selain hurufnya yang masih kasar, bentuk koran zaman dulu juga juga tak seperti sekarang yang terdiri atas berlembar-lembar halaman. Bentuk koran pada zaman dulu masih sangat sederhana, masih berupa lembaran berita atau disebut newssheet. Dari sisi isi, juga lebih banyak berkaitan dengan dunia bisnis para banker serta pedagang dari Eropa. Termasuk koran berikutnya, Notize Scritte yang terbit di Venesia, Italia. Saat itu, koran lembaran ini biasanya banyak dipasang di tempat umum. Namun, untuk membacanya warga harus membayar 1 gazzeta. Dari sanalah, konon, muncul istilah gazette yang dalam perkembangannya diartikan sebagai koran. Era kebangkitan koran lantas terjadi menyusul penemuan mesin cetak oleh Johan Gutenbergh pada pertengahan abad XV. Penemuan mesin yang memudahkan proses produksi ini memicu terbitnya korankoran di Eropa, sekalipun prosesnya tak sekaligus. Awalnya, lembar berita yang terbit tidak teratur dan memuat cuma satu peristiwa yang saat itu sedang terjadi. Koran berkala muncul tahun 1609 dengan terbitnya mingguan Avisa Relation oder Zeitung di Jerman. Berikutnya terbit pula Frankfurter Journal (1615). Sampai kemudian lahir Leipzeiger Zeitung (1660), juga di Jerman, yang mula-mula mingguan, kemudian jadi harian. Inilah koran harian pertama di dunia. Koran lainnya yang kemudian muncul adalah The London Gazette yang terbit di Inggris tahun 1665. Namun koran yang pertama terbit secara harian di Inggris adalah The London Daily Courant (1702), disusul The Times yang terbit sejak abad XVII dan yang pertama kali memakai sistem cetak rotasi.(arief permadi)

B. Empat Teori Pers


Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur social politik di dalam mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan system pengawasan social dengan mana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang harus melihat pada system-sistem masyarakat dimana per situ berfungsi. Untuk melihat system-sistem social dalam kaitan yang sesungguhnya dengan pers, orang harus melihat keyakian dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu : hakikat manusia, hakikat masyarakat dan Negara, hubungan antar manusia dengan Negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Jadi pada akhirnya perbedaan pada system pers adalah perbedaan filsafat. 1. Teori Pers Otoritarian Muncul pada masa iklim otoritarian di akhir Renaisans, segera setelah ditemukannya mesin cetak. Dalam masyarakat seperti itu, kebenaran dianggap bukanlah hasil dari masa rakyat, tetapi dari sekelompok kecil orang orang bijak yang berkedudukan membimbing dan mengarahkan pengikut-pengikut mereka. Jadi kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan demikian pers difungsikan dari atas ke bawah. Penguasa-penguasa waktu itu menggunakan pers untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus pers boleh dimiliki oleh swasta, dan ijin ini dapat dicabut kapan saja terlihat tanggungjawab mendukung
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

kebijaksanaan pekerjaan tidak dilaksanakan. Kegiatan penerbitan dengan demikian merupakan semacam persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit, dimana pertama memberikan sebuah hak monopoli dan ang terakhir memberikan dukungan. Tetapi pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaan, hak memberi ijin dan kadang-kadang menyensor. Jelas bahwa konsep pers seperti ini menghilangkan fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan. Praktek-praktek otoritarian masih ditemukan di seluruh bagian dunia walalupun telah ada dipakai teori lain, dalam ucapan kalaupun tidak dalam perbuatan, oleh sebagian besar Negara komunis. 2. Teori Pers Libertarian Teori ini memutarbalikkan posisi manusia dan Negara sebagaimana yang dianggap oleh teori Otoritarian. Manusia tidak lagi dianggap sebagai mahluk berakal yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, antara alternative yang lebih baik dengan yang lebih buruk, jika dihadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan dengan pilihan-pilihan alternative. Kebenaran tidak lagi dianggap sebagai milik penguasa. Melainkan, hak mencari kebenaran adalah salah satu hak asasi manusia. Pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran. Dalam teori Libertarian, pers bukan instrument pemerintah, melainkan sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argument-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya. Dengan demikian, pers seharusnya bebas sari pengawasan dan pengaruh pemerintah. Agar kebenaran bisa muncul, semua pendapat harus dapat kesempatan yang sama untuk didengar, harus ada pasar bebas pemikiran-pemikiran dan informasi. Baik kaum minoritas maupun mayoritas, kuat maupun lemah, harus dapat menggunakan pers. Sebagian besar Negara non komunis, paling tidak di bibir saja, telah menerima teori pers Libertarian. Tetapi pada abad ini telah ada aliran-aliran perubahan. Aliran ini berbentuk sebuah Otoritarianisme baru di Negara-negara komunis dan sebuah kecenderungan kearah Liberitarianisme baru di Negara-negara non komunis. 3. Teori Pers Tanggungjawab Sosial Teori ini diberlakukan sedemikian rupa oleh beberapa sebagian pers. Teori Tanggungjawab social punya asumsi utama : bahwa kebebasan, mengandung didalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan; dan pers yang telah menikmati kedudukan terhormat dalam pemerintahan Amerika Serikat, harus bertanggungjawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Asal saja pers tau tanggungjawabnya dan menjadikan itu landasan kebijaksanaan operasional mereka, maka system libertarian akan dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Jika pers tidak mau menerima tanggungjawabnya, maka harus ada badan lain dalam masyarakat yang menjalankan fungsi komunikasi massa. Pada dasarnya fungsi pers dibawah teori tanggungjawab social sama dengan fungsi pers dalam teori Libertarian. Digambarkan ada enam tugas pers : 1. Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi dan perdebatan tentang masalahmasalah yang dihadapi masyarakat. 2. Memberi penerangan kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri. 3. Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga yang mengawasi pemerintah. 4. Melayani system ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang atau jasa melalui medium periklanan, 5. Menyediakan hiburan 6. mengusahakan sendiri biaya financial, demikian rupa sehingga bebas dari tekanan-tekanan orang yang punya kepentingan. 4. Teori Pers Soviet Komunis Dalam teori Soviet, kekuasaan itu bersifat sosial, berada di orang-orang, sembunyi di lembaga-lembaga sosial dan dipancarkan dalam tindakan-tindakan masyarakat. Kekuasaan itu mencapai puncaknya (a) jika digabungkan dengan semberdaya alam dan kemudahan produksi dan distribusi , dan (b) jika ia diorganisir dan diarahkan.

Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

Partai Komunis memiliki kekuatan organisasi ini. partai tidak hanya menylipkan dirinya sendiri ke posisi pemimpin massa; dalam pengertian yang sesungguhnya, Partai menciptakan massa dengan mengorganisirnya dengan membentuk organ-organ akses dan kontrol yang merubah sebuah populasi tersebar menjadi sebuah sumber kekuatan yang termobilisir. Partai mengganggap dirinya sebagai suatu staf umum bagi masa pekerja. Menjadi doktrin dasar, mata dan telinga bagi massa. Negara Soviet bergerak dengan program-program paksaan dan bujukan yang simultan dan terkoordinir. Pembujukan adalah tanggungjawabnya para agitator, propagandis dan media. Komunikasi massa digunakan secara instrumental, yaitu sebagai instrumen negara dan partai. Komunikasi massa secara erat terintegrasi dengan instrumen-instrumen lainnya dari kekuasaan negara dan pengaruh partai. Komunikasi massa digunakan untuk instrumen persatuan di dalam negara dan di dalam partai. Komunikasi massa hampir secara ekslusif digunakan sebagai instrumen propaganda dan agitasi. Komunikasi massa ini punya ciri adanya tanggungjawab yang dipaksakan

C. Kebebasan Pers
Kebebasan pers adalah bagian dari hak asasi manusia. UUD 45 pasal 28 berbunyi: Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Jadi pengertiannya luas sekali. Meski begitu kita juga pernah mengalami penindasan, kecurigaan, dan alasan-alasan lain yang terlalu jelas. Intinya: pers dibungkam. Jadi isunya adalah soal kebebasan pers dan mendapatkan informasi. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebebasan pers dan mendapatkan informasi itu? Ada sebuah pengertian di dalam ilmu politik yang menyatakan bahwa makin bermutu jurnalisme di dalam suatu masyarakat, makin baik pula informasi yang diperoleh masyarakat yang bersangkutan. Sederhananya begitu. Misalnya ada sebuah kampung. Di sana ada media, entah itu radio kecil atau papan pengumuman yang baik. Ini berarti orang-orang di kampung itu makin mendapatkan informasi yang bermutu, maka makin baik pula untuk mengambil keputusan mereka bersama-sama. Mulai dari soal menangani pencurian sampai kemacetan got. Jadi di dalam suatu masyarakat, di mana medianya atau komunikasinya makin bermutu, makin baik, maka makin bermutu pula proses pengambilan keputusan di masyarakat bersangkutan. Maka proses untuk mendapatkan informasi yang bermutu itu perlu dilindungi. Perlindungan itulah yang disebut kebebasan pers. Artinya pers atau media harus bebas agar kehidupan masyarakat terlindungi. Di Indonesia memang secara teoretis ada jaminan terhadap kebebasan pers. Namun kalau kita lihat hukumhukum yang ada, sejak Indonesia dibilang merdeka sampai hari ini, masih banyak hukum-hukum yang tidak menjamin kebebasan pers. Di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya, ada 38 pasal yang bertentangan dengan kebebasan pers. Itu kesimpulan Dewan Pers. Setelah Orde Baru tumbang, banyak orang yang meminta kebebasan pers lebih besar. Tapi para pejabat, misalnya, menganggap pers kita justeru sudah kebablasan. Soal ini memang pernah didiskusikan juga oleh orang media. Saya ingat Jakob Oetama dari Kompas mengakuinya. Dan kebablasan itu memang benar terjadi. Sekarang ini isi media dominan kriminalitas, seks, dan sebagainya. Televisi kita juga penuh acara mistik. Acara-acara aneh yang dianggap kurang bertanggung jawab. Namun kalau kita mau belajar dari pengalaman negara-negara lain, terutama Eropa Timur, saya kira sebaiknya kita bersabar. Masyarakat akan bisa menilai. Kelak, saya yakin pers yang sensasional itu tidak akan bertahan. Sejarah membuktikan bahwa mereka yang serius dan bertanggung jawab justru yang bertahan. Tapi, juga ilusi untuk berharap bahwa di dalam alam pers yang bebas itu tidak akan ada pers
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

yang tidak bertanggung jawab. Pasti ada. Di negara-negara Eropa Barat pun banyak sekali tabloid sensasional seperti itu. Dan saya tidak mengkhawatirinya. Itu adalah konsekuensi dari pers yang bebas. Pasti ada orang yang kurang bertanggung jawab. Di Pulau Jawa ini banyak sekali wartawan yang kurang bertanggung jawab. Tapi saya percaya seratus persen bahwa kebebasan ini lebih banyak baiknya daripada buruknya. Tentang hubungan pers dengan demokrasi, saya punya cerita menarik. Belum lama ini saya ketemu guru saya, Bill Kovach, di London. Dia cerita bagaimana dia ditelepon oleh seorang jenderal Amerika Serikat. Si jenderal cerita tentang penyiksaan oleh tentara atau aparat keamanan Amerika terhadap tahanan di Guantanamo, Kuba. Jenderal itu menelepon Kovach dan bilang, Saya ingin hal ini diberitakan. Kovach bilang bahwa banyak sekali jenderal Amerika yang sangat jengkel pada George Bush. Mereka menganggap Bush membajak pemerintahan Amerika. Ketidaksukaan mereka pada Bush memang dipicu oleh kasus Guantanamo itu. Tapi kita juga tahu ada kasus penjara Abu Ghraib. Jenderal-jenderal itu merasa bahwa Bush membuat citra Amerika merosot, dan militer Amerika yang kena getahnya. Saya lalu tanya sama Kovach, Kalau begitu, bagaimana kemungkinan jenderal-jendral itu melakukan kudeta? Kovach tertawa dan bilang, Tidak mungkin. Saya tanya lagi, Kenapa? Kovach menjawab, Kan ada pers Yang membocorkan rahasia-rahasia pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Amerika kepada pers adalah jenderal Amerika. Jadi itulah salah satu aspek penting dari kebebasan pers: mereka bisa ikut mengontrol dan membantu masyarakat untuk tahu bahwa pemerintah mereka brengsek. Motivasinya untuk kepentingan publik. Jadi pers itu betul-betul punya peran yang menentukan dalam peningkatan kualitas demokrasi. Demokrasi bukan hanya berarti soal mencoblos di saat pemilihan umum, tapi juga mengembangkan apa yang disebut civil liberties, kebebasan beragama, berpendapat, berserikat, dan seterusnya. Lihatlah, orang seperti diceritakan Bill Kovach itu betul-betul mengandalkan pers, bahkan sebagai pencegah kudeta. Dia bahkan sering mengatakan bahwa kalau ada satu hal di luar agama yang dia anggap berguna buat kehidupan orang banyak, itu adalah jurnalisme. Memang, dalam soal mutu, kita masih prihatin. Mutu media di Jakarta ini tak terlalu baik -- bahkan sangat buruk. Untuk ukuran internasional, termasuk Asia Tenggara, media kita di bawah standar. Kelompok Kompas Gramedia, Tempo, Jawa Pos, RCTI, SCTV, saya kira standar mereka di bawah standar internasional. Indikatornya banyak sekali. Banyak konvensi di dalam jurnalisme yang belum dipakai di Jakarta ini. Salah satu hal yang sangat sering saya bicarakan adalah tidak adanya byline (pencantuman nama penulis). Kalau Anda perhatikan surat kabar di Singapura, di Bangkok, di Manila, di Jepang, di Amerika, semua berita di sana umumnya menggunakan byline. Misalnya begini: ada berita gempa bumi di Liwa, Lampung. Di bawah berita itu ada byline oleh Si Badu. Di Kompas dan Tempo byline itu tidak ada. Padahal byline menyangkut soal accountability, pertanggungjawaban. Kalau dia menulis baik, dia akan dipuji. Orang akan menilai prestasi si wartawan. Kalau dia nulis buruk, dia akan ketahuan. O, Si Badu ternyata bukan wartawan yang baik. Namun di dalam tradisi jurnalisme kita, itu tidak ada. Sampai hari ini mungkin baru tiga atau empat surat kabar yang menggunakan byline dari 900an surat kabar. Memang mereka bilang, begitulah cara mereka (tanpa pencantuman nama penulis) untuk mengatakan bahwa apa saja yang muncul di media itu adalah suara media tersebut, bukan suara orang-orang yang kebetulan bekerja di situ. Atau ada yang bilang, Kita kasih byline kalau tulisannya bagus. Tentu saja ini cara yang aneh pencantuman nama penulis dilakukan hanya kalau tulisannya bagus. Maka hanya feature dan analisis yang pakai byline. Tapi kalau berita biasa, tidak pakai. Itu bukan prinsip byline. Prinsip byline diterapkan justru agar yang jelek bisa dikontrol oleh pembaca, audiens. Justru yang jelek yang perlu ketahuan. Yang bagus kurang memerlukannya, karena setiap tulisan yang muncul memang sudah semestinya bagus. Sekarang ini banyak orang yang berlindung di balik redaksi, sehingga prestasi individu wartawan di Jakarta atau di Pulau Jawa ini tidak pernah muncul. Itu karena tidak ada byline.
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

Orang tidak dipacu untuk berprestasi. Kembali ke isu pokok kita, di masa lalu kebebasan pers dan dan kebebasan mendapatkan informasi itu lebih baik. Menurut Benedict Anderson, seorang profesor dari Universitas Cornell, Amerika, periode pers yang lebih bermutu, dinamis, kritis, dan terbuka di kepulauan ini terjadi di tahun1910-an, zaman Hindia Belanda. Yaitu di masa Tirto Adhisoerjo, Mas Marcodikromo, FDJ Pangemanann, H. Kommer, Tio Ie Soei, Kwee Kek Beng, Soewardi Soerjadiningrat dan sebagainya. Mereka jauh liberal, terbuka, dan kreatif daripada pers di zaman Indonesia. Di masa itu tidak ada represi yang seberat zaman Indonesia. Tidak ada media yang dibreidel atau wartawan yang disiksa. Ada denda dan ada yang masuk penjara, tapi semua ada ukurannya, ada aturannya. Sekarang ini ada orang yang dibunuh dan dipenjara tanpa alasan yang jelas, apalagi di masa Orde Baru, sehingga media jadi takut. Pada zaman liberal Hindia Belanda, hal-hal semacam ini tidak ada. Di jaman itu, polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, misalnya, luar biasa bagusnya. Atau, lihat debat Soekarno dengan A. Hasan di Suluh Indonesia (Bandung). Juga tulisan-tulisan Moh. Hatta pada waktu itu. Pendeknya, esai-esai yang bagus, kuat, dan tajam bermunculan di masa lalu dan tidak ada di zaman sekarang. Memang, sekarang ini kebebasan sangat maju. Namun ada tekanan lain yang muncul, namanya pasar. Dan juga konglomerasi media. Sekarang orang harus efisien. Satu wartawan harus nulis tiga berita sehari. Atau terjadi pemakaian berita secara bersama-sama; satu wartawan beritanya dipakai oleh beberapa atau puluhan surat kabar. Itu tidak baik. Karena persepsi satu orang itu tentu kurang baik dibanding persepsi sepuluh orang. Para pengusaha media itu dulu kan membuat banyak uang. Di Kompas, Tempo, RCTI, dan lain-lain, mereka menghasilkan banyak sekali uang. Jadi mengapa mereka harus berubah jika mereka bisa berbaik-baik dengan penguasa? Maka sekarang bergandenganlah mereka dengan presiden, menteri, jenderal, karena itu membuat mereka aman. Beberapa media, misalnya Kompas, memang sangat kritis terhadap Presiden Yudhoyono. Tapi sikap kritis itu hanya untuk satu-dua peristiwa, misalnya soal kenaikan harga BBM. Namun secara umum tidak. Yang juga bisa mencolok adalah: media di Jawa, Medan. Makassar, dan lain-lain tidak pernah mau mengkritik sesama media. Ini luar biasa anehnya. Kenapa? Karena salah satu kerja media adalah memantau kekuasaan. Kekuasaan itu bisa pemerintah, pers, tentara, agama, dan sebagainya. Tapi terhadap sesama media, tidak pernah dipantau dengan standar yang sama. Aneh. Padahal, di negeri-negeri lain misalnya India atau Amerika Serikat -- praktek semacam itu cukup lazim. Artinya kalau ada koran atau majalah nulis jelek, dia akan dikritik oleh koran lain. Misalnya sekarang ini ada tuduhan bahwa pemimpin Grup Jawa Pos Dahlan Iskan terlibat tindakan korupsi, menggelapkan pajak, dan sebagainya. Namun apakah ada pemberitaan tentang itu di media lain? Menurut saya, itu adalah solidaritas yang tidak pada tempatnya. Salah. Itu merugikan masyarakat. Jawa Pos itu punya perusahaan banyak. Mulai dari harian Rakyat Aceh di Banda Aceh hingga harian Timor Ekspres di Kupang, sampai Cendrawasih Pos di Jayapura. Dan ternyata CEO jaringan semua surat kabar itu dituduh terlibat tindakan korupsi. Kenapa tidak diberitakan? Mereka dituduh korupsi, bahkan salah seorang di antaranya sudah diperiksa polisi. Bagi saya, kalau pemilik sebuah koran dianggap melanggar hukum, kasusnya harus diberitakan oleh koran yang bersangkutan. Jadi pemilik koran itu tidak dipandang sebagai pemilik koran, melainkan sebagai warga negara biasa. Beritanya pun berita biasa saja. Bisa diedit oleh orang lain kalau tidak mau dibilang tidak independen. Itu sangat biasa. Saya pernah bekerja di beberapa media internasional. Kalau editor saya salah, mereka selalu bilang, Anda punya hak untuk melaporkan dan menulis cerita tentang saya di koran ini! BBC London pernah membuat kesalahan sehingga seorang narasumber mereka bunuh diri. Itu dilaporkan oleh BBC sendiri. Reporter The New York Times pernah menipu, dan dilaporkan oleh The New York Times sendiri. Koran itu juga pernah keliru dalam soal senjata pemusnah masal di Irak; itu diberitakan oleh NYT dan mereka minta maaf. Tradisi di media kita, kalau wartawannya sendiri yang meninggal atau kawin, barulah beritanya dimuat. Tapi, menjadikan koran seperti media keluarga semacam itu tidak mengapa. Asalkan, kalau pemiliknya
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

melakukan kejahatan, misalnya korupsi atau melakukan pelecehan seksual, itu harus diberitakan. Mereka toh memberitakan orang lain -- orang selingkuh diberitakan, orang korupsi diberitakan. Tapi dirinya sendiri tidak diberitakan. Padahal, kalau media menempatkan diri sebagai institusi masyarakat, memberitakan diri sendiri itu tidak ada masalah, justru akan membuat kredibilitas koran bersangkutan semakin tinggi. Ancaman terhadap kebebasan pers juga bisa muncul dari pemilik media itu, misalnya dengan alasan bisnis. Menurut survei National Democratic Institute, hampir 95 persen dari semua informasi soal politik yang diperoleh warga Indonesia kecuali Maluku dan Papuadidapat dari surat kabar dan televisi yang pemegang sahamnya ada di Jakarta. Jadi sangat terkonsentrasi oleh segelintir orang yang ada di Jakarta. Sekitar sebelas televisi nasional yang ada di Jakarta itu menguasai audiens sekitar 92 persen di seluruh Indonesia. Ini bagi saya sangat mengganggu. Artinya suara, reportase, perspektif, interpretasi berita itu semua ditentukan dari Jakarta. Efeknya adalah suara-suara orang di luar Jakarta tidak pernah muncul di media. Semua itu bisa disimpulkan bahwa kebebasan pers dan kebebasan mendapatkan informasi tidak termanfaatkan dengan semestinya. Terjadi konsentrasi pemilik modal di Jakarta. Mutu wartawan juga masih masalah besar. Menurut beberapa survei, kebanyakan wartwan di Jawa dan Medan menerima amplop, suap. Saya kira di tempat-tempat lain pun sama. Inilah salah satu sisi terburuk dalam jurnalisme Indonesia, yaitu wartawannya mudah sekali disuap. Mungkin mereka mengatakan gajinya kecil. Tapi saya kira kebanyakan wartawan menerima upah di atas upah minimum. Jadi tidak ada alasan untuk membenarkan suap. Mutu tulisan mereka juga buruk. Semua orang mengeluhkan hal ini. Goenawan Mohamad mengeluh. Jakob Oetama mengeluh. Semua orang mengeluh bahwa wartawan kita tidak bisa menulis dengan baik. Goenawan mengatakan, ini terjadi karena di Indonesia tidak ada tradisi menulis yang berkembang. Tapi sebenarnya kalau diberi kesempatan, mereka bisa. Saya pernah mengelola sebuah majalah, namanya Pantau. Kami menerbitkan tulisan-tulisan yang bagus dan menjadi buku. Beberapa orang menganggap buku itu bagus. Maria Hartiningsih dari Kompas mengatakan bahwa itu esai atau laporan terbaik yang dibuat wartawan Indonesia masa kini. Orang-orang yang menulis di sana masih muda-muda. Artinya, kalau mereka diberi kesempatan; kalau medianya mendorong, memberi fasilitas, tempat, tim editor yang bagus, topangan sistem yang bagus, mereka mampu. Saya kira masalahnya adalah sistem kerja --sistem penugasan, kriteria rekrutmen wartawan dan penilaian kinerja mereka-- di Jakarta ini yang cacat, sehingga tidak muncul jurnalisme yang bermutu.

D. PERANAN PERS DALAM MASYARAKAT DEMOKRATIS DI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU DAN REFORMASI
Negara demokrasi adalah negara yang mengikutsertakan partisipasi rakyat dalam pemerintahan serta menjamin terpenuhinya hak dasar rakyat dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Salah satu hak dasar rakyat yang harus dijamin adalah kemerdekaan menyampaikan pikiran, baik secara lisan maupun tulisan. Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Menurut Miriam Budiardjo, bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab. 1. Pengertian Pers Ada 2 pengertian tentang pers, yaitu sbb : 1. dalam arti sempit ; Pers adalah media cetak yang mencakup surat kabar, koran, majalah, tabloid, dan buletin-buletin pada kantor berita. 2. dalam arti luas ; Pers mencakup semua media komunikasi, yaitu media cetak, media audio visual, dan media elektronik. Contohnya radio, televisi, film, internet, dsb. 2. Perkembangan Pers di Indonesia Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu pers Kolonial, pers Cina, dan pers Nasional. Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa kolonial/penjajahan. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis Belanda. Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers Cina meliputi korankoran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina. Pers Nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan. Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers Nasional. Adapun perkembangan pers Nasional dapat dikategorikan menjadi beberapa peiode sbb : 1. Tahun 1945 1950-an Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasukpers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan. Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. 2. Tahun 1950 1960-an Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers partisipan. 3. Tahun 1970-an Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik. 4. Tahun 1980-an Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha PenerbitanPers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya. 5. Tahun 1990-an Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun 1990an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor. 6. Masa Reformasi (1998/1999) sekarang Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

Berdasarkan perkembangan pers tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman. Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sbb : Tahun 1945-an, pers di Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan. Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partaipartai politik yang mendanainya. Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi. Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi. Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan BJ. Habibie, yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang ini. Fungsi dan Peranan Pers dalam Masyarakat Demokratis Indonesia Pers atau media amat dibutuhkan baik oleh pemerintah maupun rakyat dalam kehidupan bernegara. Pemerintah mengharapkan dukungan dan ketaatan masyarakat untuk menjalankan program dan kebijakan negara. Sedangkan masyarakat juga ingin mengetahui program dan kebijakan pemerintahyang telah, sedang, dan akan dilaksanakan. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 33 disebutkan mengenai fungsi pers, dalam hal ini pers nasional. Adapun fungsi pers nasional adalah sbb : 1. Sebagai wahana komunikasi massa. Pers nasional sebagai sarana berkomunikasi antarwarga negara, warga negara dengan pemerintah, dan antarberbagai pihak. 2. Sebagai penyebar informasi. Pers nasional dapat menyebarkan informasi baik dari pemerintah atau negara kepada warga negara (dari atas ke bawah) maupun dari warga negara ke negara (dari bawah ke atas). 3. Sebagai pembentuk opini. Berita, tulisan, dan pendapat yang dituangkan melalui pers dapat menciptakan opini kepada masyarakat luas. Opini terbentuk melalui berita yang disebarkan lewat pers. 4. Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol serta sebagai lembaga ekonomi. UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 2 menyebutkan : Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Dapat disimpulkan bahwa fungsi dan peranan pers di Indonesia antara lain sbb : 1. media untuk menyatakan pendapat dan gagasan-gagasannya. 2. media perantara bagi pemerintah dan masyarakat. 3. penyampai informasi kepada masyarakat luas. 4. penyaluran opini publik. Peraturan Perundang-undangan tentang Kebebasan Pers di Indonesia Hak masyarakat atau warga negara Indonesia untuk mengeluarkan pikiran secara lisan, atau tulisan mendapat jaminan dalam UUD 1945 Pasal 28,yang berbunyi ; Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang. Selain itu, kebebasan pers di Indonesia memiliki landasan hukum yang termuat didalam ketentuanketentuan sbb :
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

1. Pasal 28 F, yang menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 2. Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi. 3. Pasal 19 Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.

E. SEJARAH PERS INDONESIA


BEBERAPA hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, dari kota sampai ke pelosok telah terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang, termasuk pers. Yang direbut terutama adalah peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di perusahaan koran milik Jepang yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung) dan Sinar Baroe (Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus 2605 koran-koran tersebut telah terbit dengan mengutamakan berita sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran Siaran Istimewa itu telah dimuat secara mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa berita penting seperti "Maklumat Kepada Seluruh Rakyat Indonesia", "Republik Indonesia Sudah Berdiri", "Pernyataan Indonesia Merdeka", "Kata Pembukaan Undang-Undang Dasar", dan lagu "Indonesia Raya". Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Di masa itulah koran dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan tugasnya. Dalam masa klas pertama di tahun 1947, pers kita terbagi dua. Golongan pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda. Dan golongan kedua telah mengungsi ke pedalaman yang dikuasai RI. Sekalipun aktif di wilayah musuh, yang selalu dibayangi ancaman pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda, golongan pertama tetap menerbitkan koran yang berhaluan Republikein. Yang terkenal di masa itu antara lain Merdeka, Waspada, dan Mimbar Umum. Demikian pula yang bergerilya ke pedalaman, dengan peralatan dan bahan seadanya, koran mereka senantiasa menjaga agar jiwa revolusi tetap menyala. Di masa itu telah beredar koran kaum gerilya, yakni Suara Rakjat, Api Rakjat, Patriot, Penghela Rakjat, dan Menara. Koran-koran ini dicetak di atas kertas merang atau stensil dengan perwajahan yang sangat sederhana. Pemberedelan pertama Kondisi pers kita sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran, lantaran beritanya melulu untuk kepentingan penguasa. Sedang pada masa kemerdekaan, koran apa saja selalu menjadi rebutan masyarakat. Sehari setelah beberapa koran mengabarkan berita tentang pembacaan teks proklamasi, maka hari-hari berikutnya masyarakat mulai memburunya. Mereka tampaknya tidak mau ketinggalan barang seharipun dalam mengikuti berita perkembangan negaranya yang baru merdeka itu. Minat baca semakin meningkat dan orang mulai sadar akan kebutuhannya terhadap media massa. Suasana seperti ini tentunya berdampak positif bagi para pengelola media masa di masa itu. Usaha penerbitan koran pun mulai marak kembali, yang konon diramaikan oleh irama gemercaknya suara alat cetak intertype atau mesin roneo. Sementara itu para kuli tinta yang sibuk kian kemari memburu berita, semakin banyak jumlahnya. Untuk menertibkan dan mempersatukan mereka, pada tahun 1946 atas inisiatif para wartawan telah dilangsungkan kongres di Solo. Dalam kongres itu telah dibentuk persatuan wartawan dan Mr. Sumanang, ditunjuk sebagai ketuanya. Tercatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah pers di masa revolusi yakni di tahun yang sama telah didirikan Sari Pers di Jakarta oleh Pak Sastro dan kantor berita Antara dibuka kembali, setelah selama tiga tahun dibekukan Jepang. Kantor Sari Pers setiap hari mencetak ratusan koran stensilan yang memuat berbagai berita penting dari seluruh tanah air. Mengikuti berita surat kabar di masa itu, memang mengasyikkan dan sekaligus mendebarkan. Dari hari
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

ke hari beritanya silih berganti, dari pertempuran dan perundingan, sampai pembangunan serta kabar berita yang penuh suka dan duka. Seperti berita di tahun 1945. Indonesia Merdeka telah disambut luapan gembira, namun di bulan November muncul berita duka, yakni tentara Inggris telah membantai ribuan rakyat dan para pejuang kita serta membumihanguskan kota Surabaya. Di tahun 1946 rakyat kita telah memperingati hari proklamasi dengan sangat meriah sebanyak dua kali, yakni pada tanggal 17 Februari, ketika Indonesia Merdeka baru berumur setengah tahun dan tanggal 17 Agustus. Tahun 1946 ditutup dengan munculnya berita musibah yang memenuhi halaman-halaman koran, yakni pembunuhan 40.000 rakyat Sulsel oleh Gerombolan Westerling pada tanggal 11 Desember. Tindakan kejam ini dilakukan pihak Belanda untuk melancarkan jalan menuju terbentuknya negara boneka Indonesia Timur. Berita yang menggembirakan tahun 1948 adalah diselenggarakannya Pesta Pekan Olahraga Nasional pertama di Solo secara meriah pada tanggal 9 September. Namun berita-berita PON itu tiba-tiba sirna oleh terjadinya Peristiwa Madiun pada tanggal 18 September di kota yang sama. Memasuki tahun 1948 situasi dan kondisi negara RI memang mulai diwarnai oleh suasana perpecahan. Di masa itu semakin terasa ada dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan kanan (Front Nasional) dan golongan ekstrem kiri (komunis) yang disebut FDR (Front Demokrasi Rakyat). Puncak konflik ini ditandai oleh meletusnya pemberontakan Peristiwa Madiun yang didalangi oleh PKI Muso. Peristiwa ini sempat mengguncang pemerintah. Betapa tidak, sementara rakyat kita sedang sibuk menghadapi agresi Belanda, tiba-tiba PKI menusuk dari belakang. Pidato Presiden Soekarno yang berbunyi: "Pilih Soekarno-Hatta atau Muso dengan PKI-nya" sempat menjadi berita utama dalam setiap koran. Di masa penuh konflik inilah untuk pertama kalinya terjadi pemberedelan koran dalam sejarah pers RI. Tercatat beberapa koran dari pihak FDR seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota telah dibreidel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu fihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengeritik pihaknya. Hubungan pemerintah dan pers Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan dengan pers. Di masa itu telah disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan Negara Nomor 11 Tahun 1946 yang mengatur soal percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian diadakan juga beberapa perubahan aturan yang tercantum dalam Wetboek van Strafrecht (UU bikinan Belanda), seperti drukpersreglement tahun 1856, persbreidel ordonnantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan dari pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan sebagainya. Namun upaya ini pelaksanaannya tertunda karena invasi dari pihak Belanda. Barulah setelah Indonesia memperoleh kedaulatannya di tahun 1949, pembenahan dalam bidang pers dilanjutkan kembali. Di saat itu telah terjadi peristiwa bersatunya kembali golongan insan pers yang bergerak di kota yang dikuasai Belanda dengan golongan yang bergerak di daerah gerilya. Hubungan itu meliputi soal perundang-undangan, kebijaksanaan pemerintah terhadap kepentingan pers dalam hal aspek sosial ekonomi maupun aspek politisnya. Dalam UUD pasal 19 contohnya, telah dicantumkan kalimat, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pelaksanaan UUD pasal 19 tersebut telah diusulkan dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya tanggal 7 Desember 1949 yang intinya, Pemerintah RI agar memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers yang mencakup memberi perlindungan kepada pers nasional, memberi fasilitas yang dibutuhkan perusahaan surat kabar, dan mengakui kantor berita Antara sebagai kantor berita nasional yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan. Usulan di atas kemudian dijawab. Pemerintah RI sudah mulai merencanakan segala peraturan mengenai pers dan berupaya sekerasnya untuk melaksanakan hak asasi demokrasi. Hubungan antara pemerintah dan pers lebih dipererat dengan cara membentuk Panitia Pers pada tanggal 15 Maret 1950, penambahan halaman koran, persediaan kertas dan bahan-bahan yang diperlukan, tanpa ada ikatan apapun yang mengurangi kemerdekaan pers. Untuk meningkatkan nilai dan mutu jurnalistik, maka para wartawan diberi kesempatan untuk memperdalam ilmunya. Dan diupayakan pula agar kedudukan kantor berita Antara lebih terasa sebagai mitra dari para pengelola surat kabar. Upaya di atas telah memungkinkan terciptanya iklim pers yang tertib dan menguntungkan semua pihak. Jumlah perusahaan koran pun dari tahun ke tahun semakin meningkat. Buktinya dalam kurun waktu empat tahun sesudah 1949, jumlah surat kabar berbahasa Indonesia, Belanda, dan Cina naik, dari 70 menjadi 101 buah. Sekalipun demikian bukan berarti mutu jurnalistiknya ikut meningkat. Untuk itu, Ruslan Abdulgani dalam tulisannya "Pers Nasional dan Funksi Sosialnya" telah menulis sebagai berikut, "Mempertinggi mutu journalistiek pada umumnja harus diartikan mempertinggi kwaliteit apa jang
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

10

ditulis: hal ini dapat ditjapai bila wartawan berkesempatan tjukup memperlengkapi dirinja dengan pengetahuan tentang keadaan jang hendak ditulis, dan pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sociologie, ekomomi, psychologie, sedjarah dan ketatanegaraan".

Sejarah Pembredelan Pers


Sejarah pembredelan koran soetra oemoem di suraba- ya oleh belanda. isinya dianggap menghasut. peme- rintah punya kuasa mencabut ijin penerbitan jika mengganggu ketertiban umum. HARI ini, hampir 60 tahun yang lalu. Pada tanggal 23 Juni 1933, Gubernur Jenderal De Jonge menurunkan satu perintah: koran Soeara Oemoem di Surabaya dibredel. Seorang wartawan bernama Tjindar Boemi lima bulan sebelumnya menerbitkan sebuah tulisan tentang pemberontakan di atas kapal De Zeven Provincien. Isinya dianggap "menghasut". Yang menarik ialah bahwa tindakan itu tidak terjadi mendadak. Dalam buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia yang diterbitkan oleh Proyek Penelitian Pengembangan Penerangan Deppen pada tahun 1980, disebutkan bagaimana titah Gubernur Jenderal itu bermula dari laporan Procureur Generaal pada tanggal 10 Februari 1933. Dalam laporan itu disebut adanya perintah kepada yang berwajib di Surabaya untuk menahan Tjindar Boemi. Juga untuk "mendengar keterangan" dari pimpinan Soeara Oemoem, dr. Soetomo, dan menyuruhnya "menandatangani pernyataan setia". Ternyata, di zaman kolonial itu, perintah macam itu tak bisa dengan serta-merta efektif. Pada tanggal 3 Maret, Raad van Indie, semacam dewan perwakilan masa itu, menyatakan tak setuju bila dr. Soetomo harus menandatangani pernyataan setia. Raad van Indie menyarankan tindakan terhadap dr. Soetomo "ditunggu saja" sampai pemeriksaan terhadap Tjindar Boemi selesai. Menghadapi reaksi ini, pihak Procureur Generaal meminta Gubernur Jenderal, penguasa tertinggi di Hindia Belanda waktu itu, menerapkan peraturan pembredelan pers atau Persbreidel Ordonnantie. Tak lupa, di dalam saran itu disertakan kutipan dari sebuah tulisan di Soeara Oemoem yang dinilai "bisa mengganggu ketertiban umum". Empat hari kemudian, Raad van Indie akhirnya juga menyarankan agar peraturan pembredelan pers itu dikenakan terhadap koran yang dipimpin dr. Soetomo. Maka, dibredellah Soeara Oemoem. Penting rasanya untuk disebut bahwa pembredelan hanya bisa berlangsung selama delapan hari. Pasal 2 dari Persbreidel Ordonnantie menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal berhak melarang pencetakan, penerbitan, dan penyebaran sebuah surat kabar paling lama delapan hari. Jika sesudah terbit koran itu masih dinilai mengganggu "ketertiban umum", larangan terbit bisa jadi lebih lama, tapi tidak lebih lama dari 30 hari berturut-turut. Zaman itu tampaknya memang zaman yang keras bagi pers, tetapi bukan suatu masa yang kacau kepastian. Buku sejarah yang diterbitkan oleh proyek penelitian dan pengembangan Deppen itu menegaskan hal itu, "Dengan adanya ketentuan itu, maka pihak surat kabar yang terkena tidak menunggu-nunggu tak menentu ...." Larangan terbit yang mendadak-sontak juga tak ada. "Paling tidak," tulis buku yang redakturnya adalah Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo itu pula, "tidak dilakukan begitu saja ... seperti geledek di siang bolong." Dengan jelas buku itu bahkan menyebutkan bahwa prosedur di zaman De Jonge lebih "rapi" daripada "yang terjadi sekarang" -- meskipun penilaian bahwa tulisan-tulisan tertentu "mengganggu ketertiban umum" sangat sepihak sifatnya. Semuanya, tulis buku sejarah itu, "hanya dilakukan oleh pihak penguasa dan tidak adanya kesempatan membela diri". Hari ini, sekitar 60 tahun yang lampau, mungkin bukan hari yang baik untuk belajar dari sejarah. Atau mungkin setiap generasi mempunyai pukulan-pukulannya sendiri. September 1957, ada 10 surat kabar dan tiga kantor berita serentak ditutup.
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

11

Tetapi pembredelan yang luas yang pertama kalinya terjadi dalam sejarah pers Indonesia itu -- dilakukan oleh penguasa militer Jakarta Raya -- hanya berlangsung selama 23 jam. Betapapun, suatu babak baru tampaknya telah mulai: ada yang mencicipi enaknya dan ada yang mencicipi pahitnya. Pada 1 Oktober 1958 apa yang pernah berlaku di zaman penjajahan fasisme Jepang diberlakukan lagi di zaman kemerdekaan: setiap penerbitan harus mempunyai Surat Izin Terbit (SIT). Sebuah buku, Garis Perkembangan Pers Indonesia, yang diterbitkan oleh Serikat Penerbit Suratkabar pada tahun 1971 menyebut hal itu dengan muram, "Sejak 1 Oktober 1958, Sejarah Pers Indonesia memasuki periode hitam." "Tanggal 1 Oktober 1958," tulis buku itu, "dapat dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia. Surat kabar yang masih terbit sesudah itu harus mengikuti kehendak penguasa. Setiap waktu SIT dapat dicabut oleh Penguasa .... Sejak itu pers Indonesia bukan lagi sebagai salah satu lembaga demokrasi ...." Agaknya begitulah. Tanggal 24 Februari 1965, Menteri Penerangan membredel serentak 21 surat kabar. Alasan: mereka dituduh bersimpati kepada sesuatu yang terlarang, yakni "Badan Pendukung Sukarnoisme", sebuah organisasi yang menentang PKI. Dengan kata lain: mereka tidak sejalan dengan kehendak yang berkuasa. Mereka telah bersikap (untuk memakai tuduhan yang secara sepihak sering dilontarkan waktu itu) "kontrarevolusioner". Mereka harus "dibabat". Tidak ada lagi kepastian. Tidak ada lagi hak, bahkan untuk membeli diri. Sekian puluh tahun yang lalu, sekian puluh tahun kemudian ....

F. Perkembangan Pers di Indonesia


Label: Pers dari Masa ke Masa BAGAIMANA dengan perkembangan koran di Indonesia? Saya membaginya ke dalam beberapa periode. Pertama, zaman kololonial, dan kedua zaman kemerdekaan. Zaman kemerdekaan ini dibagi lagi ke dalam beberapa periode, yakni zaman Soekarno (orde lama), zaman Soeharto (orde baru), dan zaman reformasi. Setiap periode, tumbuh dengan karakteristiknya sendiri-sendiri. A. Periode Kolonial Berdasar catatan sejarah, koran di tanah air sudah ada sejak tahun 1744, Gubernur Jendral Van Imhoff memerintah. Nama korannya Bataviasche Nouveles, namun umurnya cuma dua tahun. Meski begitu, koran lainnya, Vendu Nieuws, kemudian terbit di Jakarta tahun 1776. Koran ini memuat segala informasi mengenai barang lelangan, mulai perabot rumah tangga hingga perdagangan budak belian. Tapi, mingguan ini juga tak bertahan lama. Vendu Nieuws berhenti terbit karena Gubernur Jendral Deandels mengambil alih percetakan dan menerbitkan Bataviasche Koloniale Courant (1810). Sayangnya koran ini pun tak lama. Inggris yang datang menggantikan Belanda membuat koran baru, Java Government Gazette sebagai corong pemerintah. Saat Belanda kembali berkuasa semua kembali berubah. Koran berganti nama menjadi Batavische Courant (1816), yang kembali mereka ubah menjadi Javasche Courant tahun 1827. Koran ini bertahan hingga masuknya Jepang tahun 1942. Dan, seperti 'pendahulunya', Jepang pun membuat koran baru, Kenpo, yang artinya berita pemerintah. Lantas, bagaimana dengan kiprah kaum pribumi? Keberadaan mereka ternyata juga eksis pada masamasa ini. Beberapa di antaranya adalah Majalah Bianglala (Jakarta, 1854), Mingguan Bahasa Jawa Bromartani (1855), dan sejumlah koran berbahasa Melayu yang dikelola oleh orang Belanda asli atau peranakan. Namun, sekalipun keberadaan koran-koran pribumi ini telah ada sejak pertengahan abad 19, kebangkitan sesungguhnya dari pers tanah air baru terjadi tahun 1904. Diawali dengan pendirian NV Javaansche Boekhandel & Drukkerij en Handel in Schrifbehoeften Medan Prijaji oleh Raden Mas Djokomono di Bandung. NV inilah yang kemudian menerbitkan mingguan Medan Prijaji, Januari 1907. Koran ini
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

12

diakui sebagai koran pertama yang dibuat anak negeri, karena mulai dari pengasuh, percetakan, penerbitan, hingga wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Hanya dalam tempo tiga tahun koran ini berhasil terbit harian. Namun, perjalanannya berakhir, Selasa, 3 Djanuari 1912. Saat berubah menjadi harian, koran ini cetak di Jakarta. Djokomono sendiri belakangan disebut-sebut sebagai perintis persuratkabaran dan Kewartawanan Nasional Indonesia. Sementara organisasi wartawan PDI (Persatoean Djoernalis Indonesia), dikabarkan juga lahir pada masa Djokomono berkiprah. Di Jawa Barat, sejumlah koran juga silih berganti terbit pada masa kolonial ini. Jauh sebelum Medan Prijaji terbit, di Cirebon sudah ada surat kabar Tjiremai (1890), Li Po (Sukabumi, 1901) dan Wie Sin Ho (Bogor, 1905). Sementara di tahun-tahun berikutnya terbit Padjadjaran (Bandung, 1921), Kaoem Moeda (Bandung, 1922), Perbincangan (Bandung, 1925), Perasaan Kita (Bandung, 1925), Harian Fadjar (Bandung, 1925). Indonesia Moeda (Bandung, 1926), Fikiran Ra'jat (Bandung, 1926), dan Bidjaksana (Rangkasbitung, 1926). Koran-koran lainnya yang juga tercatat adalah Galih Pakoean, Kesatrya, Mingguan Pertimbangan dan Kawan Kita yang terbit di Tasikmalaya. Saat yang sama terbit pula Sinar Pasoendan, Bandung, Poesaka Cirebon, Warta Tjirebon, Soeloeh Ra'jat, Soeara Poeblik, Nicork - Express, Berita Priangan, Sepakat, Koran Indonesia, dan Berita Oemoem. Adapun, koran-koran Sunda yang tercatat pada masa ini antara lain, Sora-Merdika (Bandung, 1920), Soenda Berita, Mingguan Soenda Soemanget, Siliwangi, Pendawa, Masa Baroe, Sapoedjagad, Simpaj, Isteri Merdeka, dan koran Panglima yang terbit di Tasikmalaya. Adapun, Sipatahoenan, tercatat sebagai koran Sunda pertama yang terbit harian. Pada masa itu pula terbit Sinar Pasoendan, Tawekal, Galoeh, dan Balaka. Sayangnya semua koran itu harus tutup pada masa pendudukan Jepang. Semua koran itu disatukan menjadi satu penerbitan yaitu surat kabar Tjahaja di bawah pengawasan Sendenbu. Pimpinan Tjahaja pada waktu itu ditunjuk Oto Iskandar Di Nata dan Bratanata. B. Periode Soekarno Setelah pendudukan Jepang berakhir, periode baru dimulai. Ditandai dengan terbitnya surat kabar Soeara Merdeka di Bandung, yang kemudian mengungsi ke Tasik lantaran Belanda kembali datang. Pada masa ini, sejumlah koran juga kembali bermunculan di Jawa Barat, seperti Sinar Majalengka (1948), Warga (Bogor, 1954), dan Kalawarta Kudjang (Bandung, 1956). Sementara Sipatahoenan yang sempat terhenti penerbitannya kembali bangkit. Napasnya baru benar-benar terhenti pada tahun 1985. Pada awal tahun 1957, majalah Sunda lainnya juga muncul, yakni Mangle yang hingga kini masih bertahan. Selain itu terbit pula Giwangkara, Gondewa, Kalawarta Kudjang dan Galura. Sementara koran berbahasa Indonesia antara lain Negara Pasoendan, Harian Persatoean, dan Harian Pikiran Rakjat. Yang terakhir disebut bertahan hingga kini, bahkan menjadi koran daerah terbesar di dunia dengan nama Harian Umum Pikiran Rakyat. C. Zaman Soeharto Pada zaman Soeharto, kebebasan pers yang sempat terjadi pada masa Soekarno mengalami sedikit perubahan sesuai dengan arah politik negeri saat itu. Pada awal orde baru ini sistem politik yang dikembangkan adalah stabilitas politik sebagai syarat mutlak. Tak heran, pers yang harus ada pun adalah pers yang bebas namun bertanggung jawab, dalam artian tak mengganggu stabilitas politik negara. Namun, tak jelasnya batasan stabilitas ini membuat negara bisa dengan gampang memberangus media mana pun yang dinilai tak sesuai keinginan (baca: kepentingan) penguasa. Alasannya satu: mengganggu stabilitas negara.

Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

13

Tiga media, Tempo, Editor dan Detik, barangkali menjadi contoh nyata begitu besarnya sistem politik orde baru dalam memberangus media. Ketiganya dibredel, sama sekali tanpa alasan yang jelas. Sementara pemberlakuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) sebagai syarat berdirinya sebuah media, menjadi senjata ampuh bagi penguasa untuk melakukan pembreidelan. D. Zaman Reformasi KETIKA Soeharto akhirnya tumbang, kebebasan pers yang lebih dari 32 tahun terbelenggu kembali menemukan keleluasaannya. Salah satu implikasi dari deregulasi itu adalah pemilik modal dan penerbit diberi kemudahan untuk memperoleh SIUPP. Surat izin usaha yang belakangan bahkan menjadi tak diberlakukan lagi. Akibatnya, terjadi booming media cetak, baik itu berupa koran harian, tabloid maupun majalah. Isi berita dari banyak media itu pun memiliki kecenderungan hampir sama: melampiaskan dendam atas keterkekangan peran dan fungsi kontrolnya selama 32 tahun di bawah rezim Soeharto. Namun, persoalan lain kemudian muncul bahwa ancaman atas kehidupan pers datang dari sisi lain, yakni masyarakat, yang nota bene juga menjadi pangsa pasar dari media. Kasus pendudukan Kantor Redaksi Jawa Pos, beberapa tahun lalu menjadi contoh konkret. Massa mengamuk akibat media ini sempat salah tik satu huruf, yang seharusnya ditulis N menjadi B. Seperti diketahui, tuts N dan B pada keboard komputer sangatlah dekat hingga kesalahan ketik menjadi sangat mungkin terjadi. Dan, celakanya, kesalahan N menjadi B justru terjadi pada kata Nabi. Contoh lainnya yang juga terjadi adalah pengrusakan kantor redaksi Playboy Indonesia oleh warga, beberapa waktu lalu. Keterbukaan yang tak dibarengi dengan pendewasaan publik dan aturan hukum yang tegas membuat massa memilih bertindak sendiri. Dalam beragam kasus bahkan berujung pada kematian wartawan. Patut menjadi catatan, adalah perlawanan publik yang sempat menimpa Majalah Tempo saat mereka dengan begitu optimistis menulis berita berjudul Ada Tommy di Tenabang. Perlawanan Tommy Winata, yang dengan kecerdasan dan kekuatan modalnya menyeret Tempo ke muka pengadilan nyaris saja berhasil, ketika sejumlah pimpinan Tempo sempat dinyatakan bersalah secara pidana telah menulis berita bohong. Seandainya, saat itu, Tommy melanjutkannya pada tuntutan perdata, misalnya dengan miminta ganti rugi Rp 1 triliun dan berhasil, maka habislah majalah besar dengan catatan sejarah yang amat panjang itu. Selain ancaman dari masyarakat, kematian pers yang kemudian kerap terjadi juga datang dari ketaktersediaan modal yang cukup dari perusahaan penerbitan. Era reformasi memang membuat pendirian koran menjadi sangat gampang. Tapi, tanpa modal yang cukup, pers akan mati, hanya dalam lima, atau sepuluh kali penerbitan. Ini bertambah parah dengan semakin beratnya persaingan media akibat terlalu banyaknya media massa yang bermunculan. Sebuah ilustrasi menarik dikemukakan mantan Pemimpin Perusahaan Metro Bandung (kini berubah menjadi Tribun Jabar), Agus Nugroho, saat koran tersebut merayakan HUT-nya yang pertama, 23 Februari 2001. Menurutnya, adalah sebuah kegilaan menerbitkan koran harian di Bandung pada saat seperti ini. Di samping sudah ada surat kabar harian yang sudah mapan, kota ini juga merupakan pasar paling besar untuk berbagai media cetak terbitan Jakarta, bahkan Surabaya. Sampai awal 2001, kata dia, Metro Bandung adalah 'bungsu' dari koran-koran harian di kota ini. Sebelumnya, sudah malang melintang harian Pikiran Rakyat yang mulai terbit tahun 57, Bandung Pos (terbit sejak tahun 1966) Galamedia (dulu Harian Gala - 1968, yang kemudian digandeng PR), Suara Baru (1998) dan Suara Publik (1998). Sebelumnya, di kota ini telah terbit dan beredar pula surat kabar mingguan Sipatahoenan, Giwangkara, Kujang, Mangle (majalah), Galura (Grup PR) dan Mitra Bisnis (Grup PR). Belakangan muncul Expose, BOM, Jabar Post, Indonesia-Indonesia, Detail Post, Deru, Deras, dan Bandung Bisnis. Selain itu hampir seluruh surat kabar harian, mingguan, dwimingguan, dan bulanan, yang diterbitkan di
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

14

Jakarta, juga beredar di Bandung pada waktu edar yang sama dengan di Jakarta. Bahkan harian Republika dan Rakyat Merdeka dicetak juga di Bandung untuk mengejar waktu agar bisa lebih cepat sampai di tangan pembaca mereka. Sementara itu, kota-kota potensial yang berdekatan dengan Bandung juga sudah dikuasai surat kabar sendiri-sendiri. Di Bogor misalnya, ada Radar Bogor (Jawa Pos) dan Pakuan (PR), di Sukabumi juga terbit Radar Sukabumi para awaknya sekaligus menyiapkan Radar Cianjur, sedang Cirebon sudah dipagari Mitra Dialog (PR), Radar Ciebon (Jawa Pos), dan Garage Pos. Tasikmalaya dan sekitarnya dipagar oleh Priangan (PR). Sedangkan Banten yang baru saja lepas dari Jawa Barat, juga sudah sesak oleh setidaknya 14 penerbitan lokal, dan empat di antaranya masih konsisten terbit teratur yakni Radar Banten (JP), Fajar Banten (PR) dan Banten Pos dan Gema Banten. Begitulah. Sejak 1998 hingga 2001, di Jawa Barat setidaknya ada 48 koran baru yang muncul. Memang, sebagian besar di antaranya terbit sekali-dua untuk kemudian entah ke mana. Mati bukan karena breidel, tapi lantaran tak ada lagi rupiah yang tersisa.(arief permadi)

G. Pengertian Kode Etik Jurnalistik


KODE Etik Jurnalistik adalah acuan moral yang mengatur tindak-tanduk seorang wartawan. Kode Etik Jurnalistik bisa berbeda dari satu organisasi ke organisasi lain, dari satu koran ke koran lain. Namun secara umum dia berisi hal-hal berikut yang bisa menjamin terpenuhinya tanggung-jawab seorang wartawan kepada publik pembacanya antara lain: 1. Tanggung-jawab Tugas atau kewajiban seorang wartawan adalah mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum dengan memberi masyarakat informasi yang memungkinkan masyarakat membuat penilaian terhadap sesuatu masalah yang mereka hadapi. Wartawan tak boleh menyalahgunakan kekuasaan untuk motif pribadi atau tujuan yang tak berdasar. 2. Kebebasan Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat adalah milik setiap anggota masyarakat (milik publik) dan wartawan menjamin bahwa urusan publik harus diselenggarakan secara publik. Wartawan harus berjuang melawan siapa saja yang mengeksploitasi pers untuk keuntungan pribadi atau kelompok. 3. Independensi Wartawan harus mencegah terjadinya benturan-kepentingan (conflict of interest) dalam dirinya. Dia tak boleh menerima apapun dari sumber berita atau terlibat dalam aktifitas yang bisa melemahkan integritasnya sebagai penyampai informasi atau kebenaran. 4. Kebenaran Wartawan adalah mata, telinga dan indera dari pembacanya. Dia harus senantiasa berjuang untuk memelihara kepercayaan pembaca dengan meyakinkan kepada mereka bahwa berita yang ditulisnya adalah akurat, berimbang dan bebas dari bias. 5. Tak Memihak Laporan berita dan opini harus secara jelas dipisahkan. Artikel opini harus secara jelas diidentifikasikan sebagai opini. 6. Adil dan Ksatria (Fair) Wartawan harus menghormati hak-hak orang dalam terlibat dalam berita yang ditulisnya serta mempertanggungjawab-kan kepada publik bahwa berita itu akurat serta fair. Orang yang dipojokkan oleh sesuatu fakta dalam berita harus diberi hak untuk menjawab.

Kode Etik Jurnalistik


Label: Etika Jurnalistik

Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

15

KEMERDEKAAN berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik: Pasal 1 Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. Pasal 2 Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran Cara-cara yang profesional adalah: a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber; b. menghormati hak privasi; c. tidak menyuap; menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik. Pasal 3 Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penafsiran Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

16

interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang. Pasal 4 Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Penafsiran Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara. Pasal 5 Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Penafsiran Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Pasal 6 Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Penafsiran Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Pasal 7 Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan "off the record" sesuai dengan kesepakatan. Penafsiran Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. "Off the record" adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan. Pasal 8 Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Penafsiran Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Pasal 9
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

17

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsiran Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Pasal 10 Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Penafsiran Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok. Pasal 11 Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Penafsiran Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki. Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

H. Delapan Persepsi Salah Soal Wartawan


Label: Mitos ADA banyak sekali persepsi yang keliru tentang wartawan. Persepsi ini tak cuma ada di sebagian masyarakat, tapi juga ada di kalangan wartawan sendiri terutama wartawan yang tak memperoleh pelatihan yang baik tentang profesinya. Berikut adalah delapan persepsi keliru tyang masih ada tentang sosok wartawan: Wartawan adalah makhluk sakti yang bisa berbuat apa saja. Anggapan ini jelas keliru, sebab wartawan seperti masyarakat lainnya terikat oleh aturan-aturan negara dan agama serta norma-norma kemasyarakatan. Wartawan adalah orang yang kebal hukum. Ini jelas keliru. Setiap warga negara sama kedudukannya di mata hukum. Terkait pekerjaannya, ada paling tidak 34 pasal yang dapat menjerat wartawan ke meja hijau. Wartawan bisa menulis semaunya dan pasti dimuat. Ini juga keliru. Ada mekanisme yang harus dilalui sebelum tulisan wartawan dimuat di surat kabar. Mulai dari mekanisme pengujian kelayakan muat (akurasi data, bukan berita bohong, tidak menyerang pihak- pihak tertentu, tidak mengandung unsur SARA, keberimbangan, dll), pengeditan, dan sebagainya. Wartawan adalah sosok urakan yang kerap mengabaikan etika. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang wartawan harus memegang teguh etika, baik etika kemasyarakatan maupun etika profesi. Wartawan yang baik juga akan berpenampilan pantas saat melakukan tugasnya. Wartawan adalah orang yang bisa masuk ke bioskop, makan di restoran, naik kereta api, naik bus, dan nonton konser tanpa bayar. Tentu saja anggapan ini sangat keliru. Untuk dapat menonton di bioskop, makan di restoran, naik kereta api, naik bus, dan nonton konser tentu harus membayar. Hanya pemilik,
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

18

tamu undangan, dan perampok yang bisa melakukan hal-hal di atas tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Wartawan adalah orang yang boleh melakukan wawancara dengan siapa saja. Ini juga pendapat yang keliru. Alasan bahwa masyarakat berhak atas sebuah informasi tidak bisa dijadikan dalil. Nara sumber berhak menolak saat wartawan hendak mewawancarainya. Wartawan selalu benar. Wartawan juga manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Namun, wartawan yang baik akan senantiasa mengupayakan bahwa tulisanya bersih dari kesalahan, baik kesalahan logika, kesalahan informasi, kesalahan tata bahasa, maupun kesalahan pengejaan. Wartawan adalah orang yang suka mengenakan rompi berkantung banyak dan membawa- bawa kamera ke sana kemari. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai wartawan, kamera dan rompi kantung banyak memang akan sangat membantu. Namun, tak semua yang mengenakan rompi berkantung banyak dan membawa-bawa kamera ke sana kemari adalah wartawan, dan tak semua wartawan harus melakukan itu jika kondisinya memang tak mengharuskan untuk itu. Wartawan adalah orang yang boleh dengan seenaknya melewati tahapan birokrasi. Ini adalah juga pendapat yang keliru tentang wartawan. Meski dalam saat-saat tertentu beragam kemudahan kerap diperoleh wartawan dalam melaksanakan tugasnya, tak berarti wartawan bisa seenaknya melangkai birokrasi. Ada prosedur yang harus ditempuh. (arief permadi) "Wartawan adalah orang yang bisa masuk ke bioskop, makan di restoran, naik kereta api, naik bus, dan nonton konser tanpa bayar. Tentu saja anggapan ini sangat keliru... Hanya pemilik, tamu undangan, dan perampok yang bisa melakukan hal-hal di atas tanpa mengeluarkan uang sepeserpun." --> bahkan seandainya seorang wartawan mesti terlunta-lunta di jalan.... kenapa harus?!? :D jadi bernostalgila sewaktu kuliah siang itu... :o Wartawan adalah orang yang boleh dengan seenaknya melewati tahapan birokrasi.... Ada prosedur yang harus ditempuh. --> jelas! salah bannn..gett tu orang! yg ada juga semua pintu langsung ditutup, bahkan sebelum si wartawan turun dari motor di halaman parkir :( tapi... tetep aja ada wartawan yg bisa keluar-masuk dengan santai, misalnya seperti pemilik blog ini :))

I. KEGIATAN JURNALISTIK KEWARTAWANAN


Label: Wawancara

Melindungi Narasumber
KEPANDAIAN seorang wartawan saat melakukan wawancara, kerap membuat nara sumber lupa bahwa saat itu ia sedang diwawancara, dan apa pun yang ia katakan akan dapat disebarluaskan di media massa. Saking asyiknya nara sumber dapat sangat mungkin tanpa sengaja membocorkan rahasia-rahasia penting, hal-hal yang dapat menimbulkan kehebohan, atau hal-hal yang memiliki konsekuensi hukum. Saking asyiknya, nara sumber juga bisa tanpa sengaja memberikan penilaian yang berlebihan terkait seseorang, lembaga, atau masalah tertentu. Untuk tujuan tertentu, seorang wartawan biasanya membiarkan keasyikan narasumber itu terus terjadi. Beberapa menggunakannya untuk "memukul balik" narasumber pada saat yang diperlukan. Namun, beberapa lagi membiarkannya dengan catatan akan langsung mngeditnya saat memulai penulisan. Tapi, wartawan yang baik, kerap memilih mengingatkan narasumbernya saat wawancara berlangsung, bahwa narasumber sedang ada dalam wawancara resmi di mana apa pun pernyataannya dapat memiliki konsekuensi tertentu jika dikutip dalam berita.
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

19

Cara mengingatkan ini bisa dengan beragam cara. Bisa secara verbal, tapi bisa juga nonverbal, misalnya dengan memperlihatkan aktivitas mencatat atau merekam. Untuk pernyataan-pernyataan yang dinilai berbahaya atau berpotensi membahayakan narasumber jika disebarluaskan, sebaiknya wartawan mengulangnya hingga beberapa kali. Cara ini memberi kesempatan pada nara sumber untuk meralat pernyataannya. Ia akan paham bahwa kita sedang melindunginya dari hal-hal yang tidak ia sadari. Untuk pernyataan-pernyataan semacam ini, wartawan juga bisa menanyakannya satu atau dua kali pada narasumber tentang boleh atau tidak pernyataan itu dikutip.Tapi, jangan terlalu sering pula melakukan hal itu, sebab ini akan membuat narasumber bosan hingga wawancara tak berkembang. Umumnya, narasumber akan merasa sangat dihargai ketika kita dengan cara-cara yang tepat mengingatkan mereka terkait beragam statement yang mereka berikan. Ini justru akan membuat mereka semakin terbuka. Kita mungkin akan memperoleh banyak sekali hal yang tak terduga karena "kebaikan" melindungi narasumber ini. Jika narasumber ingin pernyataannya tak dikutip (off the record), adalah kewajiban wartawan untuk mematuhinya. Begitu juga ketika narasumber ingin agar identitasnya tidak dipublikasikan, adalah kewajiban wartawan untuk memenuhinya. Namun, mempublikasikan pernyataan dari narasumber yang identitasnya tidak ingin dipublikasikan membuat wartawan harus memikul risiko tambahan. Ia harus mengambil alih tanggung jawab narasumber anonim tersebut jika di kemudian hari menimbulkan masalah hukum. (arief permadi) A. Wawancara UNTUK hal-hal tertentu, narasumber sering memberi catatan off the record terkait statement yang diberikannya. Sebaiknya, wartawan mengulang pernyataan tersebut satu atau dua kali, dan menanyakan kembali bagian mana saja yang off the record. Off the record sendiri secara sederhana bisa dipahami sebagai informasi yang diberikan untuk tidak disebarluaskan. Biasanya, naskah off the record diberikan narasumber untuk dua hal, yakni menunjukkan bahwa ia tahu cukup dalam tentang masalah yang sedang dibahas, kedua untuk memberi petunjuk pada wartawan tentang informasi yang ia tahu, namun tidak bisa ia berikan untuk publik. Karena itu, setiap kali menerima pernyataan off the record, adalah penting bagi seorang wartawan untuk menanyakan pada narasumber tersebut tentang siapa saja selain dia yang juga mengetahui informasi tersebut. Dengan demikian, jika memang informasi off the record itu sangat menarik, wartawan bisa mengupayakan memperolehnya dari sumber yang lain, yang tentu saja on the record (bisa disebarluaskan). Tapi, dalam banyak kasus, wartawan juga dapat membujuk narasumber agar bersedia mempublikasikan pernyataannya. Yakinkan narasumber bahwa pernyataannya justru akan sangat bermanfaat bagi masyarakat luas. Yakinkan bahwa pernyataan itu tak akan berdampak buruk bagi narasumber. Sebab, sering juga, narasumber hanya memiliki kekhawatiran yang sebenarnya tak ia perlukan terkait pernyataannya. Tapi, sekali lagi, jika narasumber tetap ingin pernyataannya tak dikutip adalah kewajiban wartawan untuk mematuhinya.(arief permadi)

B. Nara Sumber
NARA sumber adalah orang yang terkait dengan rangkaian fakta yang akan diberitakan yang dimintai keteranganan, dan pernyataannya oleh seorang wartawan. Secara umum, nara sumber ini terbagi dalam dua bagian besar, yakni nara sumber utama (primer), dan
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

20

nara sumber pendamping (sekunder). Nara sumber utama adalah orang yang terkait langsung dengan rangkaian fakta yang diberitakan. Jika kita ambil contoh sebuah peristiwa kebakaran, nara sumber utama terdiri dari korban yang selamat, para saksi mata yang terpilih (setelah diseleksi), dan orang yang ikut menangani kebakaran tersebut, seperti petugas pemadam kebakaran dan petugas kepolisian. Untuk merekonstruksi peristiwa kebakaran dalam bentuk tulisan, keterangan dan pernyataan dari nara sumber utama mutlak diperlukan. Nara sumber utama adalah orang yang harus mendapat prioritas utama untuk "dikejar". Berita sering tak cukup layak untuk dapat menjadi lengkap tanpa adanya keterangan atau pernyataan dari nara sumber utama tersebut. Nara sumber sekunder adalah orang yang sengaja dikaitkan wartawan karena keterangan dan pernyataannya dapat digunakan wartawan untuk memperkuat beritanya sekaligus memberi warna dalam tulisannya. Dalam peristiwa kebakaran, nara sumber sekunder seperti pengamat kebakaran, ketua RT, RW, pegawai kelurahan atau kecamatan, pihak rumah sakit, pihak BMG, dan sebagainya. Terkait nara sumber, kita juga mengenal istilah nara sumber resmi, yakni orang yang pernyataannya dinilai mewakili dinas, instansi, atau lembaga resmi. Di lembaga pemerintahan, orang setingkat lurah, kades, camat, kepala dinas, kabag humas, atau orang-orang yang secara resmi ditunjuk untuk mewakilinya untuk memberikan pernyataan bisa disebut sebagai nara sumber resmi. Untuk banyak sekali peristiwa, kedudukan nara sumber resmi ini sangat penting, sebab keterangan yang diberikannya adalah keterangan resmi yang "memiliki kekuatan hukum". Karena itu, sedapat mungkin seorang wartawan sebaiknya mendapatkan keterangan resmi itu dari level tertinggi dari lembaga, instansi, kantor, atau dinas yang ditujunya. Misalnya untuk tingkat dinas, pernyataan kepala dinas sedapat mungkin harus ia dapatkan. Tapi, jika tak mungkin, cari level yang setingkat di bawahnya, dan seterusnya, dengan catatan nara sumber tersebut masih dinilai pantas untuk mewakili dina tersebut. Level di bawah kpala dinas bisa saja wakil kepala dinas, para kepala bagian (yang terkait), atau kepala bagian humas, atau orang- orang yang secara resmi ditunjuk untuk memberikan pernyataan. Selain nara sumber resmi, dunia kewartawanan juga mengenal apa yang disebut nara sumber tak resmi. Nara sumber tak resmi adalah orang-orang yang dinilai tahu tentang informasi yang diperlukan terkait sebuah berita. Mengutip pernyataannya tak dibenarkan kecuali disertai tanggapan dari sumber-sumber resmi. Posisi nara sumber tak resmi ini juga sangat penting dalam sebuah proses peliputan berita. Sebab, informasi yang diberikannya seringkali akurat bahkan mengejutkan, dan kita tinggal mengonfirmasikannya dengan sumber-sumber resmi. (arief permadi)

C. Mengolah Hasil Wawancara


BAGI mereka yang sudah terbiasa menulis, tak sulit mengolah hasil wawancara. Ia dapat dengan cepat memilih sudut paling menarik dan penting yang akan ia tulis. Dan, dari sanalah ia akan memulai, sekaligus menentukan tulisan seperti apa yang akan ia buat. Ada kalanya, sekalipun wawancara dilakukan cukup lama dan informasi berikut pernyataan yang terungkap begitu banyaknya, hanya sedikit dari hasil wawancara itu yang dikutip dalam bentuknya yang utuh sebagaimana yang dikatakan nara sumber ketika wawancara berlangsung. Seorang wartawan bahkan kerap hanya memakai satu atau dua kalimat utuh, sekadar penguat dari tulisan secara keseluruhan. Cara ini lazim digunakan pada penulisan berita-berita langsung (straigtnews), softnews, atau berita-berita kisah yang ditulis dalam gaya deskriptif. Namun, ada kalanya, hasil wawancara juga dimuat utuh dalam bentuk tanya jawab.Untuk hal ini, wartawan biasanya memberi sedikit pengantar pada awal tulisan. Pengantar berisi paparan tentang siapa, kenapa, dan topik apa yang dibicarakan, termasuk kenapa topik tersebut menjadi sangat penting atau menarik.
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

21

Teknik penulisan seperti ini umumnya tak berdiri sendiri. Tulisan dalam bentuk tanya jawab biasanya menjadi tulisan terpisah dari tulisan lainnya yang terbit pada hari yang sama dengan topik yang sama. Hasil wawancara yang ditulis dalam bentuk tanya jawab juga dimaksudkan untuk menunjukkan eksklusivitas berita. Wartawan yang baik tak akan sembarangan menggunakan teknik ini. Tokohnya harus dipilih secara tepat. Wartawan juga harus memiliki argumen yang kuat kenapa teknik penulisan dengan bentuk tanya jawab ini ia gunakan. Berikut, beberapa langkah praktis yang dapat dijadikani panduan saat mengolah hasil wawancara: 1. Baca atau dengar kembali catatan atau rekaman hasil wawancara dengan teliti. Wawancara dengan narasumber utama, mendapat prioritas pertama untuk disimak. 2. Jika hasil wawancara terdiri dari beragam topik, pilah topik-topik tersebut dan kelompokkan, lalu pilih beberapa topik yang paling menarik berdasar skala kemenarikan. 3. Jika ada lebih dari satu narasumber, pilah pernyataan-pernyataan yang dianggap terkait dengan topiktopik yang lebih dulu dipilih. Cara ini akan memudahkan Anda memberikan penguatan pada ide berita secara keseluruhan, sekaligus memberi warna pada tulisan. 4. Setelah semuanya selesai, mulailah menentukan akan ditulis seperti apa hasil wawancara ini. Jika informasi yang ada pada hasil wawancara adalah informasi yang harus sesegera mungkin disebarluaskan pada pembaca, tulislah dalam gaya straigtnews yang singkat dan padat. Namun, jika Anda akan menulisnya secara komprehensif, ada baiknya menyertakan anak-anak tulisan yang terkait selain tulisan utama. Pilih sudut-sudut lain yang juga tak kalah menarik dengan gaya straightnews, softnews, atau feature. Ini membuat pembaca Anda merasa puas karena pada hari yang sama di media yang sama, dapat membaca satu topik berita dari beragam sudut (multi angle). 5. Pilih pernyataan-pernyataan nara sumber yang penting atau menarik, lalu susun berdasar skala prioritas. 6. Jangan ragu untuk tak memuat beberapa bagian atau sebagian besar hasil wawancara jika Anda nilai tak berkaitan, atau sama sekali tak penting dan tak menguatkan ide tulisan secara keseluruhan 7. Ada kalanya, logika, tatabahasa dan beragam istilah yang digunakan narasumber tidak tepat, bahkan keliru. Wartawan diperkenankan memperbaiki itu, namun tidak sekali-kali mengubah arti atau maksud perkataan narasumber. Ini juga berlaku pada hasil wawancara yang ditulis dalam bentuk tanya jawab, kecuali ada maksud lain dari wartawan untuk menunjukkan kapasitas dan karakter nara sumber secara utuh untuk tujuan tertentu. 8. Pahami benar fungsi penggunaan tanda baca. Penggunaan tanda baca yang salah dapat mengganggu kenikmatan membaca, bahkan membuat artinya berubah. 9. Sortir dengan bijaksana pernyataan yang berbau fitnah, kasar, atau cabul. Selain tidak pantas, wartawan dapat terkena konsekuensi hukum dari tulisan yang dibuatnya.(arief permadi)

D. Membuat Catatan
TAK seorang pun mampu menghapal semua data, kronologis peristiwa, atau ide yang datang selintas dan tiba-tiba untuk jangka waktu yang lama. Karena itu, setinggi apa pun jam terbang seorang wartawan, ia tetap membutuhkan catatan dalam melakukan kerja jurnalistiknya, bahkan ketika ia menggunakan alat perekam. Secara garis besar, ada dua fungsi penting dari catatan ini bagi wartawan. Pertama sebagai pengingat, kedua sebagai salah satu cara bagi wartawan untuk dapat menentukan sudut berita secara cepat saat memulai penulisan. Umumnya, wartawan akan mencatat kronologi peristiwa, data-data dan informasi penting, kutipan pernyataan narasumber yang dianggap penting dan menarik, serta ide-ide penulisan yang tanpa sengaja muncul saat melakukan liputan. Wartawan yang baik juga akan mencatat hal-hal lain seperti suasana, mimik, tekanan suara, dan gerak tubuh narasumber pada bagian bawah atau pinggir kutipan langsung yang ia buat. Ini dapat ia gunakan untuk memberikan warna pada tulisannya kelak. Dulu, ketika alat perekam belum ada, teknik mencatat cepat dikenal dengan teknik steno. Steno terdiri dari kode-kode tertentu yang bisa dipahami wartawan, namun belajar steno juga cukup melelahkan hingga teknik ini kini jarang dipakai oleh wartawan muda.
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

22

Namun, karena menulis cepat tetap sangat diperlukan, ada baiknya wartawan menggunakan prinsip pengodean ini dalam melakukan pencatatan. Gunakan kode-kode sendiri yang bisa Anda hapal dengan mudah. Kode ini juga akan bermanfaat jika catatan Anda hilang atau terjatuh ke tangan orang lain, sementara Anda tak ingin orang lain memahami catatan Anda. Fungsi lain dari catatan adalah membuat wartawan dapat cepat menentukan sudut berita cepat saat memulai penulisan. Ini bisa terjadi, sebab umumnya, wartawan hanya mencatat hal-hal yang penting saja hingga saat memulai menulis, ia tak perlu lagi sibuk memilih sudut karena biasanya sudut itu sudah terpilih sejak awal.(arief permadi)

E. Pahami Bahasa Tubuh


SALAH satu hal penting yang harus dimiliki seorang wartawan dalam melakukan wawancara adalah memahami bahasa tubuh narasumber. Dengan memahami bahasa tubuh ini seorang wartawan dapat dengan segera membuat langkah-langkah pengkondisian demi kepentingan pekerjaannya. Ia dapat menghitung reaksi yang timbul dari pertanyaan yang ia lontarkan sekaligus mengantisipasinya. Bahasa tubuh adalah reaksi bawah sadar yang ditampilkan seseorang saat menerima stimulus tertentu. Stimulus tersebut dapat berupa pertanyaan, suasana, musik, tekanan suara, dan sebagainya. Setiap orang memiliki kecenderungan tertentu yang bersifat universal dari stimulus yang datang. Contoh, ketika seseorang merasa tidak senang, ia akan cenderung mengernyitkan dahi. Orang yang merasa tersanjung umumnya memperlihatkan senyum dan mata yang berbinar, orang yang marah biasanya merah padam dan kecut. Sebagai bekal, Anda dapat memperpanjang daftar reaksi-reaksi tubuh yang umum ini berdasar pengalaman Anda. Kemampuan mengenali reaksi ini secara tepat membuat Anda dapat cepat pula melakukan antisipasi. Antisipasi yang cepat dan tepat terhadap reaksi yang uncul dari narasumber adalah salah satu kunci penting dari suksesnya wawancara. Namun, jika Anda dapat mengenali bahasa tubuh seseorang, hal yang sama juga dapat dilakukan orang lain kepada Anda. Pertanyaannya, mungkinkah Anda memanipulasi bahasa tubuh Anda hingga orang lain akan bereaksi seperti yang Anda inginkan? Jawabannya sangat mungkin. Untuk melatihnya, cobalah bercermin sedikit lama di dalam kamar. Praktekkan beberapa sorot mata dan mimik, seperti sorot mata dan mimik terkejut, marah, kagum, senang, menyelidik, sedih, simpati, geram, penuh pengertian, welas asih, dan sebagainya. Latihlah berulangkali hingga Anda menjadi sangat piawai melakukannya. Percayalah. Mimik-mikik dan aneka sorot mata yang Anda latih itu akan sangat bermanfaat saat melakukan wawancara. Sambil jalan, latih pula tekanan suara Anda. Cara yang mudah, ambil tape recorder, lalu rekam suara Anda saat mengucapkan beragam kalimat pertanyaan, lalu dengarkan. Rasakan emosi yang muncul saat mendengarkan rekaman suara Anda tadi. Reaksi orang lain saat mendengar suara Anda, biasanya tak akan jauh dari reaksi Anda saat mendengar suara Anda sendiri. Ada baiknya, Anda juga melatih nada suara yang akan Anda pakai saat bertanya pada seseorang yang sedang terkena musibah. Rekam dan dengarkan. Rasakan, apakah tekanan suara Anda sudah menunjukkan seseorang yang berempati dan penuh welas asih atau tidak. Jika belum, latihlah kembali hingga tekanan suaranya tepat. Karakteristik seseorang juga tergantung dari mana dia berasal dan di mana ia tumbuh besar. Orang Sunda biasanya berbicara lemah lembut, ia akan tersinggung jika kita bertanya dengan keras. Sebaliknya, orang Batak umumnya bersuara keras dan tegas. Ia justru akan merasa bosan jika nada suara kita terlalu lembut, atau jika pertanyaan kita terlalu bertele-tele. Pemahaman tentang karakter umum masyarakat juga menjadi kunci penting dari suksesnya wawancara. Hal lain dari karakter seseorang umumnya juga tercermin dari penampilan fisiknya. Seseorang yang
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

23

tampil urakan dengan gaya bicara ceplas-ceplos umumnya berkarakter bebas, tak suka keterikatan, namun sangat menghargai keberanian dan kejujuran. Menghadapi orang seperti ini Anda juga harus bertanya dengan lugas. Pertanyaan yang bertele-tele akan dengan cepat membuatnya bosan. Berbeda dengan orang berpenampilan urakan, orang yang berpenampilan necis, rambut tersisir rapi, wangi, dengan tutur kata yang lemah lembut, biasanya akan langsung menutup diri jika Anda bertanya terlalu lugas tanpa basa-basi. Anda harus pandai menyiasatinya. Menemui orang semacam ini sebaiknya Anda pun berpakaian rapi dan tepat waktu agar wawancara berlangsung dalam suasana saling menghormati. Anda mungkin dapan men-setting suasana tidak terlalu formal, namun sebaiknya juga jangan terlalu santai. Penampilan Anda bagaimana pun adalah juga bahasa tubuh Anda. Jika Anda akan mewawancarai Gubernur di ruang kerjanya, tentu sangat tidak tepat jika Anda berpakaian santai dan sporty. Tapi, jika Anda akan mewawancara seorang pemain sepakbola di pinggir lapangan ketika ia usai berlatih, tampilan sporty akan jauh lebih bermanfaat jika Anda lakukan. (arief permadi)

E. Pengertian dan Teknik Wawancara


SERINGKALI, seorang wartawan tiba di lokasi setelah sebuah peristiwa terjadi. Padahal, ia harus mereka ulang peristiwa itu menjadi sebuah berita, hingga merangkai ceceran fakta yang tercecer saja tentu tak memadai. Jika ini terjadi, hal yang harus dilakukan adalah mencoba meminjam persepsi orang lain untuk kemudian dirangkaikannya kembali dalam sebuah cerita. Dalam dunia kewartawanan, proses meminjam persepsi orang lain ini dikenal dengan istilah wawancara. Wawancara secara fungsional dapat diartikan sebagai seni mengorek keterangan dari seseorang tentang sesuatu hal. Dikatakan sebagai sebuah seni karena sentuhan rasa sangat diperlukan agar wawancara berlangsung dengan sukses. Wawancara dikatakan sukses ketika narasumber menjadi sangat terbuka, sadar dan rela memberikan semua informasi yang dibutuhkan oleh pewawancara. Untuk itulah sentuhan rasa ini sangat diperlukan. Nara sumber harus merasa nyaman ketika wawancara berlangsung. Untuk membuat narasumber merasa nyaman ketika wawancara berlangsung, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Mulai dari sikap dan penampilan pewawancara, penguasaan pewawancara terkait topik yang akan ditanyakan, pengenalan terhadap narasumber, kemampuan membaca bahasa tubuh, hingga kemampuan mengantisipasi reaksi. a. Penampilan. Saat melakukan wawancara, tampillah dengan pakaian yang pantas yang disesuaikan dengan siapa nara sumber yang akan di wawancara, di mana dan dalam suasana seperti apa wawancara dilakukan. Jika yang akan ditemui adalah seorang Gubernur dan akan ditemui di kantor tempatnya bekerja, akan sangat bijaksana jika Anda memakai pakaian resmi, rapi, dan perlente. Penampilan Anda akan menimbulkan kesan yang baik pada diri narasumber, dan otomatis akan membuat narasumber merasa nyaman saat berbincang dengan Anda. Hal berbeda, tentu harus Anda lalkukan jika Gubernur Anda temui di kediamannya. Meski Anda sebaiknya tetap mengenakan pakaian yang rapi, namun pakaian yang Anda pakai sebaiknya bukan busana resmi. Perbedaan juga harus Anda lakukan jika yang akan diwawancara adalah seorang pemain sepakbola di Stadion Siliwangi, misalnya. Narasumber akan merasa lebih nyaman jika Anda datang dengan mengenakan busana yang sporty dibanding busana resmi.
Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

24

b. Wawancara Bukan Interograsi Ini kesalahan yang biasa dilakukan oleh wartawan pemula. Anggapan bahwa kesuksesan wawancara dilihat dari kemampuan pewawancara menekan dan memojokkan narasumber serta memaksanya menjawab apa yang ditanyakan jelas merupakan sebuah kesalahan. Pewawancara yang baik tak akan pernah memojokkan narasumber terlebih pada pertanyaan pertama. Ia juga tak akan menunjukkan superioritasnya. Ia akan lebih memilih melakukan tanya jawab dengan model diskusi di mana perbincangan mengalir lembut namun tetap fokus. c. Tunjukkan Empati Dalam banyak kasus, tanpa harus ditekan pun, narasumber kerap ada dalam posisi yang terpojok, sedih, atau bingung. Pewawancara yang baik akan memperlihatkan empatinya ketika wawancara berlangsung. Yakinkan narasumber bahwa Anda mengerti dan memaklumi apa yang sedang menimpanya. Namun, saat yang sama Anda harus juga meyakinkan narasumber bahwa sudah menjadi tugas Anda untuk meminta beragam informasi dan keterangan darinya untuk pembaca, pendengar, atau pemirsa media massa tempat Anda bekerja. Kesepahaman antara Anda dan narasumber akan sangat menunjang suksesnya wawancara yang Anda lakukan. d. Berikan Rasa Aman Kadangkala, saking nyamannya bertanya jawab, narasumber 'lupa' bahwa saat itu ia sedang diwawancara. Kerap banyak informasi bersifat rahasia muncul, dan jika ini terjadi tugas pewawancaralah mengingatkan narasumber bahwa informasi yang muncul selama wawancaraakan dipubliskasikan di media masa. Jika narasumber kelepasan bicara, ia akan meralat atau meminta bagian tertentu untuk tak dipublikasikan (off the record). Sikap ini, selain mengundang simpati juga akan membuat narasumber semakin terbuka dan nyaman karena yakin bahwa kepentingannya juga dilindungi. Ulanglah informasi atau pernyataan-pernyataan penting atau berbahaya yang diucapkan oleh narasumber melalui pengulangan pertanyaan atau pengulangan pernyataan. Ini juga akan membuat narasumber merasa nyaman karena kepentingannya dilindungi. e. Kesepakatan Off The Record Yakinkan nara sumber bahwa Anda setia dengan kesepakatan off the record yang telah dibuat. Namun, mintalah informasi lainnya tentang siapa saja lagi yang bisa Anda tanyai terkait informasi off the record tersebut. Narasumber biasanya gemar membeberkan informasi yang off the record sekadar menunjukkan bahwa dia tahu. Tapi sesungguhnya, ia ingin mengatakan bahwa pewawancara sebaiknya menemui orang lain terkait informasi off the record yang ia beberkan. f. Kuasai Topik Wawancara Kuasailah topik permasalahan yang akan Anda tanakan saat wawancara. Selain memudahkan Anda dalam bertanya, penguasaan topik juga membuat narasumber Anda nyaman karena merasa Anda juga paham pada persoalan yang terjadi. g. Daftar Pertanyaan Buatlah daftar pertanyaan yang harus Anda dapatkan jawabannya sesuai dengan skenario penulisan, penyiaran, atau penayangan yang akan Anda buat. Jika Anda telah membuat 10 pertanyaan, saringkah menjadi lima pertanyaan yang paling penting. Saring lagi menjadi tiga pertanyaan hingga satu pertanyaan terpenting. Jika waktu Anda sangat mepet, gunakan skala prioritas berdasar penyaringan pertanyaan yang telah Anda lakukan tadi. Sekadar catatan, skenario penulisan, penyiaran, atau penayangan bukanlah skenario fakta. Anda tak diperkenankan membuat rekayasa atas fakta yang terjadi. (arief permadi)

Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

25

Bahan Ajar Pkn SMA Kls XII, disunting Drs.Safudin dari berbagai sumber

26

You might also like