You are on page 1of 16

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.)

1. Asal Perkembangan dan Peranan Kentang Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) berasal dari Amerika Selatan (Peru, Chili, Bolivia, dan Argentina) serta beberapa daerah Amerika Tengah. Di Eropa daratan tanaman itu diperkirakan pertama kali diintroduksi dari Peru dan Colombia melalui Spanyol pada tahun 1570 dan di Inggris pada tahun 1590 (Hawkes, 1990). Penyebaran kentang ke Asia (India, Cina, dan Jepang), sebagian ke Afrika, dan kepulauan Hindia Barat dilakukan oleh orang-orang Inggris pada akhir abad ke-17 dan di daerah tersebut kentang ditanam secara luas pada pertengahan abad ke-18 (Hawkes, 1992). Menurut Permadi (1989), saat masuknya tanaman kentang di Indonesia tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada tahun 1794 tanaman kentang ditemukan telah ditanam di sekitar Cisarua (Kabupaten Bandung) dan pada tahun 1811. Tanaman kentang telah tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Minahasa, Bali, dan Flores. Saat ini kentang dibudidayakan di beberapa provinsi yaitu Sumatera Utara, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sumatera (Barat Badan Pusat Statistik, 2010). 2. Klasifikasi Klasifikasi tanaman kentang menurut (Beukema, 1977). Divisi : Spermatophyta

Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies

: Angiospermae : Dicotyledonae : Tubiflorae : Solanaceae : Solanum : Solanum tuberosum Linnous.

3. Morfologi dan Ekologi Tanaman kentang dapat tumbuh baik pada tanah yang subur, mempunyai drainase yang baik, tanah liat yang gembur, debu atau debu berpasir (Setiadi, 2009). Keadaan tanah yang baik dan sesuai untuk pertumbuhan tanaman kentang adalah tanah yang berstruktur remah dan bertekstur lempung dengan sedikit kandungan pasir, pH berkisar antara 5,0-7,0 tergantung varietas. Cuaca yang optimum untuk pertumbuhan tanaman kentang yaitu udara dengan kelembapan 80-90 % dengan curah hujan 1500 mm per tahun dan suhunya berkisar antara 1518 0C (Rukmana, 2002). Suhu optimum pada siang hari antara 20-24 0C dan pada malam hari antara 8-12 0C, jika suhu melebihi 23 0C daun biasanya menjadi kecil dan jarak antar ruas menjadi panjang (Setiadi, 2009). Kentang termasuk tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropika dan subtropika, tumbuh pada ketinggian 500-3 000 m dpl, dan yang terbaik pada ketinggian 1500 m dpl. Menurut Rukmana (2002), jika selama perkembangan umbi terjadi cekaman suhu yang tinggi, umbi yang dihasilkan akan berbentuk abnormal karena terjadi pertumbuhan baru dari umbi yang telah terbentuk sebelumnya yang disebut pertumbuhan sekunder (retakan-retakan pada umbi,

pemanjangan bagian ujung umbi, dan kadang-kadang terjadinya rangkaian umbi). Suhu tinggi, keadaan berawan, dan kelembaban udara rendah akan menghambat pertumbuhan, pembentukan umbi, dan perkembangan bunga. Fluktuasi

kelembaban yang sangat berbeda antara siang dengan malam akan mengurangi hasil. Jika malam hari kelembaban rendah, suhu udara menjadi tinggi, tanaman akan banyak melakukan respirasi. Pertumbuhan dan hasil tanaman kentang juga sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan penyebarannya selama masa pertumbuhan. Selama

pertumbuhannya tanaman kentang menghendaki curah hujan 1000 mm atau setiap bulan rata-rata 200 sampai 300 mm. Saat kritis bagi tanaman kentang adalah saat ketika dibutuhkan lebih banyak air, yaitu pada permulaan pembentukan umbi dan pembentukan stolon. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang tinggi, pada saat itu kadar air tanah pada kedalaman 15 cm dari permukaan tanah tidak boleh kurang dari 56 persen kapasitas lapang (Rukmana, 2002). Budidaya kentang mengalami banyak kendala penyebab rendahnya tingkat produktivitas kentang, salah satunya adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Salah satu OPT yang telah terbukti penting tetapi kehadirannya belum banyak disadari khususnya oleh petani kentang adalah nematoda parasit tanaman (Hadisoeganda 2006). Salah satu OPT yang dapat menurunkan produksi tanaman kentang adalah hama yang disebabkan oleh nematoda sista kuning (Globodera rostochiensis W.). Nematoda ini merupakan parasit utama pada akar tanaman kentang (Mustika, 2010).

B. Nematoda Sista Kuning (Globodera rostochiensis W.)

1. Asal dan Penyebaran Nematoda sista kuning berasal dari pengunungan Andes di Amerika Selatan. Penyebaran terjadi dari daerah ke negara-negara Eropa, sekitar abad 19, dan kemudian negara-negara lain di dunia bersamaan dengan penyebaran tanaman kentang (Winslow and Willis, 1972; Jatala dan Bridge, 1990; MvKlinlay et al., 1992). Keberadaan nematoda sista di Indonesia pertama kali dilaporkan dari Kecamatan Bumiaji Kota Batu, Jawa Timur (Mulyadi et al., 2003). Hasil survey yang dilakukan oleh Hadisoeganda (2006) ditemukan bahwa OPT tersebut juga telah menyebar dan menyerang pertanaman kentang di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah; Kecamatan Simpang Empat, Tiga Panah dan Kecamatan Merek, Kabupaten Karo serta di Kecamatan Simalakuta, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. 2. Klasifikasi Klasifikasi nematoda sista kuning berdasarkan CABI (2007) adalah sebagai berikut: Filum Kelas Ordo Sub ordo Super famili Famili Sub famili : Nematoda : Chromadea : Tylenchida : Tylenchina : Tylenchoidea : Heteroderidae : Heteroderinae

Genus Spesies

: Globodera : Globodera rostochiensis Wollonweber.

3. Biologi dan Morfologi Sebagian besar nematoda parasit tumbuhan hidup di dalam tanah dan mendapat sumber bahan makanan dari perakaran tanaman. NSK merupakan endoparasit menetap, betina berkembang menjadi sista. NSK termasuk jenis nematoda yang tergolong dalam famili Heteroderidae dan berasal dari genus Globodera, species G. Rostochiensis (Hudayya, 2009). Nematoda Sista Kuning dalam perkembangannya mulai tahapan stadium telur, 4 stadia larva (juvenil), dan dewasa. Siklus hidup dari telur sampai dewasa berlangsung selama 38 - 48 hari tergantung kondisi lingkungan (Lisnawita, 2007). Larva stadia dua yang menetas dari telur, keluar dari sista, dan melakukan penetrasi pada ujung akar tanaman inang. Selanjutnya masuk ke dalam akar didekat titik tumbuh atau akar-akar lateral dengan menusukan stiletnya pada sel epidermis, kemudian masuk dan bergerak dalam akar secara intraseluler dan akhirnya menetap dan mulai makan di perisikel, kortek atau epidermis. Tusukan stilet menyebabkan sinsitium yang dikelilingi oleh satu lapisan sel hiperplastik yang berguna untuk mentransfer nutrisi ke nematoda (Jones et al, 1972). NSK memproduksi telur 200-500 butir (Hudayya, 2009; Rahayu, 2003; CABI, 2007). Larva G. rostochiensis memiliki morfologi yang khas yaitu kerangka kepala (cephalic frame work) berkembang dengan baik, bibir agak offset, ujung kepala membulat, stilet kuat (robust) dengan konus 45 persen dari total panjangnya, bonggol stilet bulat, metacorpus bulat telur dengan katup (valve)

besar (Hadisoeganda, 2006). Jenis kelamin dipengaruhi kecukupan nutrisi, nutrisi yang kurang akan menghasilkan NSK jantan dan sebaliknya apabila nutrisi cukup tersedia akan menghasilkan betina. NSK memiliki stylet dengan tipe stomatostylet di mana stylet terdiri atas 3 bagian, yaitu: konus, tabung dan knob. NSK tidak memiliki bursa pada ekor, ekor memiliki 70 pesen bagian hyalin. Pada sista tidak ditemukan adanya vulval cone (vulva terlihat menonjol seperti kerucut), vulval basin hilang dan membentuk single circular fenestra.

Gambar 1. Sista dari Nematoda Sista Kuning Sumber: (Hudayya, 2009.)

Nematoda Sista Kuning mempunyai struktur untuk mempertahankan diri di dalam tanah yang disebut sista. Sista merupakan tubuh betina yang telah mati, yang di dalamnya berisi telur (Lisnawita, 2007). Sista dan telur merupakan stadia yang presisten dari siklus hidup NSK, kemampuan bertahan hidup pada kondisi lingkungan kurang menguntungkan (tidak ada inang, suhu sangat rendah, suhu tinggi, dan kekeringan) membentuk sista. Nematoda aktif kembali setelah kondisi

lingkungan sesuai, terutama adanya eksudat akar tanaman inang. Sista dapat bertahan lebih dari 10 tahun (Deptan, 2005). Telur tersimpan di dalam sista, akan tetapi tidak terdapat massa telur yang dihasilkan. Ukuran telur memiliki panjang 101-104 m, dan lebar 46-48 m (Hudayya, 2009). Telur menetas di dalam sista. Juvenil 1 berada di dalam telur, juvenil 2 menetas dari telur. Juvenil 2 membentuk seperti cacing dengan bentuk kepala membulat dan memiliki ekor dengan dua pertiga bagiannya merupakan bagian hialin, dengan kepala bulat dan stilet berkembang dengan baik serta knob stilet bulat. Ketika juvenil masih di dalam telur umumnya tubuh juvenil melipat menjadi empat lipatan (Rahayu et al, 2003). Jantan berbentuk cacing, bentuk kepala bulat dan stilet pendek dengan knob yang berkembang baik (Stone, 1973). Panjang esophagus dari ujung anterior sampai perbatasan esophagus dengan usus 114-134 m (Hudayya, 2009). Jika difiksasi tubuh akan melengkung seperti huruf C atau S. testis tunggal terdapat di tengah tubuh, panjang tubuh 0,89-1,27 mm dengan lebar tubuh pada lubang ekresi 16-18m, dan panjang stilet 23,0-40 m. Betina berbentuk bulat tanpa kerucut dan berwarna kuning (Supramana, 2004). Betina keluar dari kortek akar sekitar 4-5 minggu, terdapat vulval cone (vulva tampak menonjol seperti kerucut) (Malcolm dan Averre III, 2000). Panjang 470-1008 m, lebar 357-744 m, dan panjang kepala 80-160 m (Rahayu, et al., 2003 dan CABI, 2007). Sista berbentuk globuler (Dropkin, 1999). Sista berisi telur yang merupakan generasi berikutnya dari G. rostochiensis dan dibentuk dari kutikula betina yang mati. Sista berwarna kuning sampai coklat muda, berkilat,

10

berbentuk bulat. Nematoda sista kentang pada umumnya dapat menyelesaikan satu generasinya selama musim tanam (Luc et al., 1995). 4. Ekologi Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah biotik (tanaman dan organisme lain), dan abiotik (tanah, suhu, kelembapan, senyawa kimia, dll). Di antara faktor tersebut, sushu merupakan faktor abiotik yang paling penting. Aktifitas larva berlangsung pada suhu mulai 10 0C dan terhenti pada suhu 40 0C. Temperatur optimum untuk perkembangan NSK pada tanaman inang berkisar 1824 0C, sedangakan suhu optimum untuk menginfeksi 16 0C (Deptan, 2008). Perkembangan NSK pada tanaman inang akan terhambat pada temperatur 29-32
0

C, tetapi larva bisa keluar dari sista sampai temperatur 37 0C. Populasi larva

hidup dalam tanah tanpa adanya tanaman inang akan menurun 18 persen per tahun pada tanah dingin, dan sampai 50-80 persen pada tanah hangat. Tipe tanah juga berpengaruh terhadap perkembangan larva. Larva yang menetas pada tanah berpasir jumlahnya lebih banyak dibandingkan pada tanah gembur dan tanah liat (Deptan, 2008; Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2007). Penyebaran NSK di dalam tanah tidak seragam. Nematoda biasanya banyak ditemukan di sekitar perakaran atau di dalam jaringan akar. Biasanya NSK banyak ditemukan di kedalaman 0-20 cm. Pola penyebaran yang demikian disebabkan karena nemtoda cenderung tertarik oleh zat yang dikeluarkan oleh akar kentang. Eksudat akar dari tanaman inang dapat merangsang 60-80 persen larva untuk menetas. Pemanenan yang kurang bersih (sisa-sisa umbi kentang yang

11

tertinggal) dapat mempertahankan sejumlah NSK (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2007). 5. Gejala Serangan Tidak terdapat gejala spesifik yang mempunyai nilai diagnostik pada bagian tanaman di atas permukaan tanah yang berasosiasi dengan infeksi nematoda sista kentang. Walaupun demikian, kerusakan akar menyebabkan stress dan berkurangnya penyerapan air dan hara sehingga tanaman menjadi kerdil, berwarna kekuningan dan perubahan warna yang lain, serta daun-daun layu apabila keadaan kering. Masak awal dan tumbuhnya akar samping yang banyak sering erat hubungannya dengan infeksi nematoda. Nematoda mengambil nutrisi dan air ke batang dengan cara melukai akar dan daun berkurang akibatnya tanaman tumbuh kerdil. Tingkat infestaasi yang sedang mempunyai sedikit pengaruh terhadap penurunan paertumbuhan atau terhadap jumlah umbi yang dihasilkan, namun berpengaruh terhadap ukuran umbi kentang (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2007). Nematoda Sista Kuning dapat diamati pada permukaan akar tanaman kentang yang sedang berbunga. Nematoda betina dapat diamati juga pada permukaan umbi kentang, tetapi hal tersebut jarang terjadi. Apabila nematoda betina mati akan menjadi sista, kutikulanya akan berwarna coklat atau berwarna seperti kulit dan berisi telur sebanyak kurang lebih 500 butir (Deptan, 2005). Larva stadium dua yang infektif menginfeksi secara langsung pada akar primer muda atau bagian ujung meristem dari akar sekunder. Selanjutnya masuk ke dalam cortex secara intraseluler dan menyebabkan kerusakan dan kematian sel.

12

Larva kerap kali melewati cortex dan menusukkan stiletnya ke dalam sel endodermis atau pericycle. Selama dua hari melakukan penetrasi, kemudian larva beristirahat dan makan pada sel cortex, sehingga menyebabkan pembengkakan sel. Kelompok sel yang membengkak tersebut dinamakan syncytia, yang dikelilingi oleh satu lapisan sel hiperplastik. Perkembangan larva menjadi stadium tiga, sel cortex di sekeliling larva terpecahkan oleh semakin embesarnya tubuh larva nematoda, terutama bagi perkembangan nematoda betina. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan penyakit adalah faktor biotik (tanaman inang dan organisme lain) dan faktor abiotik (tanah, suhu, kelembaban, senyawa kimia) (Deptan, 2008).

C. Cengkeh (Syzygium aromaticum)

1. Deskripsi Tanaman cengkeh (Syzygium aromaticum) di Indonesia lebih kurang 95 persen diusahakan oleh rakyat dalam bentuk perkebunan rakyat yang tersebar di seluruh propinsi. Sisanya sebesar 5 persen diusahakan oleh perkebunan swasta dan perkebunan negara. Cengkeh merupakan tanaman rempah yang termasuk dalam komoditas sektor perkebunan yang mempunyai peranan cukup penting antara lain sebagai penyumbang pendapatan petani dan sebagai sarana untuk pemerataan wilayah pembangunan serta turut serta dalam pelestarian sumber daya alam dan lingkungan (Nurdjannah, 2004). Cengkeh merupakan tanaman rempah yang termasuk dalam komoditas sektor perkebunan yang mempunyai peranan cukup penting antara lain sebagai

13

penyumbang pendapatan petani dan sebagai sarana untuk pemerataan wilayah pembangunan serta turut serta dalam pelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Pada mulanya bagian dari tanaman cengkeh yaitu bunga cengkeh hanya digunakan sebagai obat terutama untuk kesehatan gizi. Menurut Chaniago (1980), sejak tahun 22 sebelum Masehi, cengkeh digunakan sebagai rempah rempah, diantaranya di Tiongkok digunakan dalam upacara keagamaan yaitu dimasukan ke dalam peti mayat. Begitu juga bagi perwira yang ingin menghadap kaisar diharuskan mengunyah cengkeh, sedang di Persia cengkeh digunakan sebagai lambang cinta. Kemudian berkembang lagi dan sejak tahun 1980 cengkeh digunakan sebagai periang yaitu sebagai pencampur tembakau ditambah rempahrempah (Kemala, 1988). Rokok hasil campuran antara cengkeh dan rempah lainnya disebut rokok kretek. 2. Klasifikasi Filum : Angiosperms Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Famili: Myrtaceae Genus : Syzygium Spesies: Syzygium aromaticum L. (Wikkipedia, 2008). 3. Morfologi Pohon cengkeh merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh dengan tinggi 10-20 m. Cabang-cabang dari tumbuhan cengkeh tersebut pada umumnya

14

panjang dan dipenuhi oleh ranting-ranting kecil yang mudah patah. Mahkota atau juga lazim disebut tajuk pohon cengkeh berbentuk kerucut. Daun cengkeh berwarna hijau berbentuk bulat telur memanjang dengan bagian ujung dan pangkalnya menyudut, rata-rata mempunyai ukuran lebar berkisar 2-3 cm dan panjang daun tanpa tangkai berkisar 7,5 -12,5 cm. Bunga dan buah cengkeh akan muncul pada ujung ranting daun dengan tangkai pendek serta bertandan (Plantus, 2008). Cengkeh cocok ditanam baik di daerah daratan rendah dekat pantai maupun di pegunungan pada ketinggian 600-1100 m dpl dan di tanah yang berdrainase baik (Plantus, 2008). 4. Kandungan Zat Kimia Kandungan utama dari minyak cengkeh adalah eugenol, eugenol asetat dan caryophyllen. Rendemen tertinggi yang pernah didapat dari bunga cengkeh dengan mutu yang tinggi (+20% kadar minyak) adalah 17 persen (Purseglove et al., 1981). Daun cengkeh mengandung eugenol, saponin, flavonoid dan tanin (Nurdjannah, 2004). Eugenol (C10H12O2), merupakan turunan guaiakol yang mendapat tambahan rantai alil, dikenal dengan nama IUPAC 2-metoksi-4-(2propenil) fenol. Eugenol dapat dikelompokkan dalam keluarga alilbenzena dari senyawa-senyawa fenol. Eugenol berwarna bening hingga kuning pucat, kental seperti minyak. Sumber alaminya dari minyak cengkeh. Eugenol sedikit larut dalam air namun mudah larut pada pelarut organik (Tanor dan Sumayku, 2009). Saponin merupakan glikosida dalam tanaman yang sifatnya menyerupai sabun dan dapat larut dalam air. Saponin dapat menurunkan aktivitas enzim

15

pencernaan dan penyerapan makanan (Dinata, 2008; Suparjo, 2008). Saponin juga dapat masuk melalui organ pernapasan dan menyebabkan membran sel rusak atau proses metabolisme terganggu (Novizan, 2002). Flavonoid adalah salah satu jenis senyawa yang bersifat racun/aleopati, merupakan persenyawaan dari gula yang terikat dengan flavon. Flavonoid mempunyai sifat khas yaitu bau yang sangat tajam, rasanya pahit, dapat larut dalam air dan pelarut organik, serta mudah terurai pada temperatur tinggi (Suyanto, 2009). Flavonoid punya sejumlah kegunaan. Pertama, terhadap tumbuhan, yaitu sebagai pengatur tumbuhan, pengatur fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus. Kedua, terhadap manusia, yaitu sebagai antibiotik terhadap penyakit kanker dan ginjal, menghambat perdarahan. Ketiga, terhadap serangga, yaitu sebagai daya tarik serangga untuk melakukan penyerbukan. Keempat, kegunaan lainnya adalah sebagai bahan aktif dalam pembuatan pestisida nabati (Dinata, 2009). Tanin merupakan polifenol tanaman yang larut dalam air dan dapat menggumpalkan protein (Westerdarp, 2006). Apabila tanin kontak dengan lidah maka reaksi pengendapan protein ditandai dengan rasa sepat atau astringen. 5. Minyak Cengkeh Minyak daun cengkeh biasa diperoleh dari daun cengkeh yang sudah gugur. Komposisi minyak yang dihasilkan bervariasi tergantung dari keadaan daun serta cara destilasinya, minyak yang dihasilkan biasanya mengandung eugenol antara 80-88 persen dengan kadar eugenol asetat yang rendah tetapi kadar coryophyllene yang tinggi (Nurdjannah, 2004).

16

Menurut Gildemeister dan Hottman dalam Guenther (1950), destilasi dari bunga cengkeh utuh menghasilkan minyak dengan kadar eugenol tinggi dan bobot jenis di atas 1,06, sedangkan bunga cengkeh yang mengalami pengecilan ukuran (digiling) menghasilkan minyak dengan kadar eugenol lebih rendah dan bobot jenis di bawah 1,06. Hal ini disebabkan karena terjadinya penguapan minyak selama proses penggilingan dan selang waktu antara penggilingan dan penyulingan. Belcher (1965) menyatakan bahwa kandungan eugenol dari minyak tergantung dari waktu destilasi. Waktu destilasi yang singkat (cepat) menghasilkan minyak dengan kandungan eugenol yang jauh lebih tinggi daripada yang biasa dilakukan dengan waktu yang lebih lama. Spesifikasi minyak cengkeh sebagai sumber rasa dan aroma tidak hanya ditentukan oleh kandungan eugenol saja, tapi oleh komponen lain seperti eugenol asetat dan caryophyllen. Namun untuk keperluan isolasi eugenol, dikehendaki minyak dengan kadar eugenol yang tinggi. 6. Manfaat Daun dan tangkai bunganya telah dimanfaatkan sebagai sumber minyak cengkeh yang digunakan dalam industri farmasi, kosmetik dan lain-lain. Pemakain cengkeh dalam industri tersebut di atas terutama karena cengkeh memiliki aroma yang enak yang berasal dari minyak atsiri yang terdapat dalam jumlah yang cukup besar, baik dalam bunga (10-20 persen), tangkai (5-10 persen) maupun daun (1-4 persen) (Nurdjannah, 2004). Selain itu minyak cengkeh mempunyai komponen eugenol dalam jumlah besar (70-80 persen) yang

17

mempunyai sifat sebagai stimulan, anestetik lokal, karminatif, antiemetik, antiseptik dan antispasmodik. Produk samping dari tanaman cengkeh adalah minyak cengkeh, tergantung dari bahan bakunya. Ada tiga macam minyak cengkeh, yaitu minyak bunga cengkeh, minyak tangkai cengkeh, dan minyak daun cengkeh. Rendemen dan mutu dari minyak yang dihasilkan dipengaruhi oleh asal tanaman, varietas, mutu bahan, penanganan bahan sebelum penyulingan, metode penyulingan serta penanganan minyak yang dihasilkan. Bunga cengkeh dan tangkainya biasanya digiling kasar dulu sebelum penyulingan untuk memecahkan sel-sel minyak dan memperluas permukaan sehingga minyak dapat lebih mudah ke luar dari dalam sel, sedangkan daun cengkeh tidak membutuhkan pengecilan ukuran. Minyak bunga cengkeh biasa digunakan untuk makanan, minuman dan parfum, minyak gagang cengkeh digunakan sebagai subsitusi minyak bunga

cengkeh, dan minyak daun cengkeh digunakan sebagai bahan baku untuk isolasi eugenol dan caryophyllen (Weiss, 1997). Eugenol disamping digunakan sebagai bahan penambah aroma juga mempunyai sifat antiseptik, karena itu bisa digunakan dalam sabun, ditergen, pasta gigi, parfum dan produk farmasi. Berdasarkan hasil penelitian Ruhnaya, (2007), produk cengkeh berupa daun, gagang bunga, minyak cengkeh dan eugenol dapat menekan bahkan mematikan pertumbuhan miselium jamur, koloni bakteri dan nematoda. Karena itu produk cengkeh dapat digunakan sebagai fungisida, bakterisida, nematisida dan insektisida.

18

Sebagai fungisida cukup potensial terutama untuk jenis patogen tanah antara lain P. capsici, R. lignosus, Sclerotium sp dan F. oxysporum. Sebagai antibiotik bakterisida eugenol dilaporkan sangat efektif secara in vitro terhadap beberapa bakteri antara lain : Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus dan Escherisia coli. Sebagai insektisida eugenol pada konsenterasi 10 persen dapat menyebabkan A. fasiculatus tidak menghasilkan keturunan (Asman et al,. 1997). Asyiah (2007) melaporkan ekstrak metil eugenol dari bunga cengkeh mampu secara permanen menghambat penetasan telur NSK. Sebagai nematisida minyak cengkeh dan eugenol berpengaruh terhadap Melodogyne incognita dan Rodopolus similis dalam konsenterasi yang tinggi yaitu 110 persen (Asman et al ., 1997). Hasil penelitian Ruhnaya (2007) produk cengkeh berupa daun, gagang bunga, minyak cengkeh dan eugenol dapat menekan bahkan mematikan pertumbuhan miselium jamur, koloni bakteri dan nematoda. Berdasarkan hal tersebut limbah cengkeh diduga dapat dimanfaatkan sebagai nematisida nabati untuk mengendalikan NSK.

19

You might also like