You are on page 1of 19

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, saya ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rizekinya yang mana sangat membantu saya dalam menyelesaikan tuga makalah untuk pelajaran Ilmu Budaya Dasar ini. Tak lupa juga salam serta shalawat senantiasa saya ucapkan kepada Rasulullah SAW sebagai suri tauladan bagi kita semua. Terimakasih saya ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu saya dalam oengerjaan tugas makalah ini. Karena tamnpa bantuan dari mereka, tugas ini tidak akan terselesaikan seperti apa yang ada sekarang.

Budaya lokal merupaka akar dari pada budaya bangsa. Oleh karena itu alangkah baiknya jika kita turut serta dalam upaya pelestariannya guna mempertahankan kekokohan budaya bangsa kita ini. Karena jika bukan kita, siapa lagi yang akan mempertahankannya. Warisan nenek moyang, sejarah perjuangan bangsa, lukisan, tarian, nyanyian nasional merupakan unsur dari budaya bangsa yang harus tetap kita lestarikan bersama. Karena hal-hal tersebut sangat lah penting untuk tetap di lestarikan. Karena merupakan salah satu identitas bangsa kita. Tak lupa juga saya selaku penulis mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya apa bila masih ada kekurangan yang terdapat dalam tugas makalah ini. Sepandai-pandainya tupai meloncat, pasti ia pun terjatuh. Begitu pula dengan saya sendiri yang tidak luput dari kesalahan. Terima kasih diucapkan kepada Dosen Sosioantropologi, berkat dukungan dan bimbingan beliau lah makalah ini dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Dengan selalu memperhitungkan kearifan lokal lewat dan dalam pendidikan budaya, keniscayaan manusia didik terperangkap dalam situasi disinherired-masses, yaitu manusia yang terasing dari realitas dirinya yang menjadi ada dalam pengertian Menjadi seperti (orang lain) dan bukan dirinya sendiri dapat dihindari. Jadi, mutan lokal dalam pendidikan budaya harus selalu dimaknai dalam konteks pemerdekaan dalam rangka lebih mengenal diri dan lingkungan, dan bukannya sebagai domestikasi atau penjinakan sosial budaya. Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren lewat pendidikan dapat dikatakan gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa dan sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya yang lain. Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas bangsa. Pendidikan yang menaruh peduli terhadapnya akan bermuara pada, seperti sudah disinggung di atas, munculnya sikap yang mandiri, penuh inisiatif dan kreatif. B. Rumusan Masalah Apabila situasi sadar budaya tersebut diupayakan lewat pendidikan, penyelenggaraan pendidikan harus memberi ruang dan peluang bagi subjek-subjek yang terlibat didalamnya masuk dalam dan terlibat pada proses tertentu yang sifatnya dinamik. Artinya, hal itu menjadi sebuah proses yang memungkinkan adanya perubahan manusia Indonesia memasuki situasi sadar budaya sebagaimana diidealisasikan. Persoalannya, nilai-nilai tersebut masih menjadi perdebatan. Dalam kaitan tersebut paling tidak terdapat dua macam pandangan, pertama, adanya pemikiran yang mempertimbangkan kehidupan manusia mengenai tata ekonomi dan tata informasi yang disebabkan oleh globalisasi. Pemikiran kedua, mewaspadai berbagai akibat yang mungkin timbul dan tidak menguntungkan bagi wilayah-wilayah kehidupan yang tidak berada di jalur utama. Mereka yang tetap menghayati nilai budaya lokalnya dikhawatirkan akan menjadi kaum marginal yang kurang dimunculkan dalam kontelasis informasi dunia dan seringkali kurang diuntungkan secara material. Oleh karena itu, upaya untuk mendudukkan jati diri bangsa, yang ditandai oleh kebudayaan, akhirnya menjadi isu kemanusiaan yang bersifat sentral.

BAB II PEMBAHASAN

Diantara fenomena atau wujud kebudayaan, yang merupakan bagian inti. Kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang memberi arah bagi berbagai tindakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila masalah ini menjadi agenda pembicaraan yang tidak henti-hentinya, terutama ditengah masyarakat yang sedang berkembang karena kebudayaan dalam keseluruhannya akan terkait juga dengan identitas masyarakat yang menghasilkannya. Masalah itu bahkan menjadi begitu penting jika dikaitkan dengan dan dimasukkan dalam perspektif pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam perspektif historis, kita sebagai bangsa telah mengalami berbagai dan berulang kali proses akulturasi, yakni tatkala kita bersemuka dengan kebudayaan-kebudayaan besar dari luar Indonesia. Akulturasi besar yang terjadi pada masa lampau memberikan bahwa kita sebagai bangsa mampu menyaring dan menyesuaikan unsur asing itu ke dalam tata kehidupan dengan cara sedemikian rupa, sehingga terasa layak dan cocok serta tak terpaksaan. Perubahan cepat dalam teknologi informasi telah merubah budaya sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan. Masyarakat diseluruh dunia telah mampu melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh informasi dalam waktu singkat berkat teknologi. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar mampu memperoleh kekuasaan melalui kekuatan militer dan pengaruh ekonomi. Bahkan perusahaan transnasional mampu menghasilkan budaya global melalui pasar komersial global. Perubahan budaya lokal dan sosial akibat revolusi informasi ini tidak dapat dielakkan. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh budaya global. Banyak negara memiliki komposisi populasi yang berbeda. Di beberapa negara, pendatang baru melampaui penduduk asli, baik dalam jumlah maupun dalam sosial-ekonomi keuntungan. Di lain komposisi ini seimbang, sedangkan di negara lain masih, penduduk asli mewakili mayoritas. Indonesia dengan lima pulau besar, Sumatera, Jawa, Kalimantan (Borneo), Sulawesi (Celebes), Irian Jaya (Papua Nugini barat) dan ribuan pulau berukuran sedang dan kecil, adalah sebuah negara yang mewakili masyarakat adat sebagian besar penduduk. Konsep masyarakat adat harus ditelusuri kembali dalam sejarah (Koentjaraningrat, ed., 1984). 1 Sejak era Hindu, yang menandai periode sejarah literasi, orang-orang dari berbagai belahan dunia terus menerus datang ke Nusantara, kepulauan yang luas yang membentang dari Sumatera ke Irian Jaya, sebagian besar untuk perdagangan atau untuk penyebaran agama. Belanda memimpin di kalangan pedagang Eropa dan membentuk diri sebagai kekuatan kolonial di Nusantara selama tiga setengah abad. Yang kemudian disebut Hindia Timur, pada

awalnya di bawah Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dan kemudian di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan nasional pada tahun 1945, Hindia Belanda yang diakui secara internasional sebagai Republik Indonesia. Selama periode kolonial pemerintah Hindia Belanda membagi penduduk Hindia menjadi tiga kategori: warga Eropa / Belanda, yang Oosterlingen Vreemde 2 (asing timur), dan inlander (pribumi). Sayangnya yang terakhir memiliki 'keterbelakangan' konotasi. Setelah kemerdekaan Indonesia, para Oosterlingen Vreemde diberi pilihan baik untuk mengajukan permohonan kewarganegaraan atau bahasa Indonesia untuk memilih kewarganegaraan Belanda atau lainnya. Melalui proses ini, Indonesia akan mengenali dua jenis kewarganegaraan, Indonesia warganegara (Indonesia) dan PAN warganegara (WNA). Dengan demikian penduduk Indonesia terdiri dari masyarakat adat serta Vreemde Oosterlingen mantan dan keturunan mereka yang telah memilih kewarganegaraan Indonesia. Budaya yang pertama disebut pribumi, "penduduk asli negara sedangkan yang kedua disebut non-pribumi, mereka yang nenek moyangnya berasal dari ras lain dan negara. 3

Para adat budaya dalam program pembangunan Pengenalan singkat menggambarkan 'penduduk asli Indonesia' sebagai warganegara pribumi (asli Indonesia), terdiri dari berbagai kelompok etnis yang tersebar di seluruh negeri. Setiap menganggap tempat di Indonesia sebagai tanah asalnya, di mana ia mempertahankan kuburan leluhur dan warisan budaya utama. Kemajuan dan pembangunan telah meningkatkan mobilitas mereka sosio-ekonomi dan sosial budaya, dan beberapa dari mereka tinggal di kotakota metropolitan dan besar dan kota kecil sementara beberapa yang lain tetap di desa-desa dan di tempat-tempat terpencil dan pulau-pulau, yang menyebabkan berbagai gaya hidup dan tinggal pola. Sebagian kecil dari penduduk pribumi yang tinggal di tempat-tempat terpencil atau terisolasi yang dikenal dengan istilah khusus, Masyarakat terasing atau 'orang terisolasi', karena mereka telah memilih untuk tinggal di hutan lebat, pegunungan, atau daerah rawa, jauh dari modern yang hidup (Departemen Sosial RI 1992). 4 Di beberapa negara penduduk asli dianggap minoritas di air mereka sendiri dan menjadi kurang beruntung. Di Indonesia, sebaliknya, semua warga negara, baik pribumi (termasuk orang-orang yang terisolasi) dan non-pribumi, memiliki hak yang sama sesuai UndangUndang Dasar 1945. Konstitusi mengakui hak asasi manusia dan memberikan perhatian khusus kepada orang miskin, termasuk orang yang kurang beruntung dan populasi terisolasi. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada bulan Agustus 1945, Pemerintah Indonesia berusaha keras untuk mendapatkan kembali martabat rakyat, muncul dalam kemuliaan dari bekas luka penindasan kolonial dan penghinaan melalui rencana pembangunan nasional dan upaya. UUD 1945, Pasal 32, menyatakan: "Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia" 5. Semua warganegara memiliki hak penuh dan sama terhadap kemajuan, 6 dan pada saat yang sama untuk melestarikan dan mengembangkan budaya mereka sendiri dan daerah. Mereka memiliki hak untuk memutuskan nasib mereka sendiri dengan martabat. Tujuan pemerintah

adalah untuk menyediakan sarana untuk memperkuat ketahanan budaya mereka sendiri sehingga mereka memiliki kapasitas untuk mengatasi ketidakberdayaan dan ketergantungan. Budaya masyarakat 'merupakan identitas dan keberadaan, sumber kepercayaan, keamanan, kenyamanan dan ketertiban, rendering partisipasi dan berbagi. Pembangunan nasional secara bertahap diambil mempertimbangkan kebutuhan masyarakat yang beragam, pemberdayaan potensi budaya dan mengatasi hambatan budaya. Para perencana pembangunan, setelah pengalaman 25 tahun, telah belajar bahwa pelaksanaan pembangunan seharusnya tidak harus dilakukan dalam keseragaman, seperti yang akan mencegah penerimaan lokal dan kreativitas. Ada beberapa contoh di mana program-program pembangunan telah membayar perhatian yang disengaja untuk budaya lokal, seperti perkembangan kehidupan desa di Bali serta di Sumatra, khususnya kehidupan desa dari kelompok etnis Minangkabau. 7 Pada tahun 1968 Indonesia mulai program keluarga berencana nasional. Melalui proses cobacoba, pemerintah menyadari pentingnya memahami berbagai sistem kekerabatan dalam populasi Indonesia. Akibatnya, pendekatan yang berbeda telah diterapkan untuk orang dengan sistem kekerabatan unilineal dan mereka dengan yang bilateral. Orang berubah melalui budaya mereka. Studi pada respon budaya dan stimulus baru-baru ini didorong untuk memastikan bahwa pelaksanaan rencana pembangunan menghasilkan efektivitas yang lebih tinggi dan penerimaan orang keuntungan dan partisipasi. Seni lokal, serta warisan budaya lokal, telah lama dimanfaatkan sebagai media untuk komunikasi yang efektif. Dalam program keluarga berencana nasional, wayang golek (wayang kinerja) telah digunakan sebagai sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan pembangunan. Demikian pula, di Aceh, di ujung utara pulau Sumatera, seni Didong telah digunakan untuk mendorong persaingan positif di antara penduduk desa yang dibatasi di bagian desa, dalam melaksanakan program pembangunan pemerintah. 8 Mengenai pengembangan masyarakat yang tinggal di tempat-tempat terpencil, tujuan awal adalah untuk meningkatkan standar kehidupan mereka. Salah satu upaya telah membangun daerah pemukiman kembali bagi mereka, untuk membuat mereka lebih terpapar fasilitas pendidikan serta kesehatan dan sumber daya lainnya untuk pembangunan. Upaya lain telah ditunjukkan dalam perbaikan rumah rakyat sesuai dengan standar yang mencerminkan filosofi dari penduduk asli, 9 sedangkan kebijakan pertama adalah membangun rumah sesuai dengan sendiri pandangan perencana pembangunan '(etik) modern dan cukup diterima rumah. Upaya ini belum terbukti cukup sukses, karena orang sering membutuhkan lebih banyak waktu untuk menerima modifikasi dari desain rumah dan struktur (Swasono, et al., 1994). 10 Tidak dapat dipungkiri bahwa di masa lalu, dimensi budaya belum sepenuhnya terintegrasi dalam strategi pembangunan. Ada beberapa catatan kegagalan pembangunan yang disebabkan oleh ketidaktahuan tentang potensi budaya dan hambatan dari masyarakat adat. Ketidaktahuan tersebut menyebabkan pelaksanaan proyek pembangunan yang sering terdistorsi pengetahuan budaya mereka dan juga menciptakan sikap penolakan terhadap program pengembangan lebih lanjut. Namun, pelaksanaan rencana pembangunan yang telah dibuat atas dasar pengalaman masa lalu, kadang-kadang melalui trial and error, terus berlanjut. Jika kita menerima kenyataan

bahwa budaya lokal dan sistem nilai harus diakui sebagai zat integral dari pembangunan, ini berarti bahwa pendekatan kebijakan pembangunan telah menjadi budaya yang lebih dan lebih partisipatif dan emansipatoris. Program Inpres Desa Tertinggal (Program Presiden untuk Desa Mundur), sebuah program nasional untuk memerangi kemiskinan baru-baru ini dilaksanakan, menunjukkan bahwa perencana pembangunan telah belajar dari pengalaman. Sebuah serangan langsung terhadap kemiskinan melalui pembangunan dari tingkat akar rumput, kepercayaan diri masyarakat, dari bawah ke atas inisiatif dan motivasi sebagai kekuatan dibelakang produktivitas di desadesa miskin dan ekonomi stagnan, harus dipergunakan sebagai pasukan operasi untuk memicu pengembangan . Para perencana pembangunan telah menyadari pentingnya budaya lokal dan masyarakat adat dalam memilih dan melaksanakan program pemberantasan kemiskinan (Mubyarto, 1994). Sebuah sikap yang sama telah diamati pada proyek penelitian, terutama yang diusulkan dan dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh, sesuai dengan rencana pembangunan jalan raya dan kecamatan jalan menembus daerah terpencil, Departemen Pekerjaan Umum kini menawarkan proyek penelitian untuk memperoleh pemahaman tentang budaya masyarakat terisolasi di daerah masing-masing, sebagai dasar untuk menemukan cara-cara dan alternatif untuk membantu mereka dalam menyesuaikan diri dengan sosial budaya perubahan yang cepat yang mungkin terjadi selama dan setelah selesainya proyekproyek pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, jembatan dan jalan pengumpan. Dalam mengembangkan standar hidup rakyat yang terisolasi, sebelumnya kebijakan utama pemerintah adalah untuk menghapus mereka dari tempat lama mereka tinggal di dalam hutan, terutama ketika daerah telah dialokasikan sebagai cadangan alam. Manusia diberi pemukiman baru rumah standar dan daerah untuk budidaya. Namun, baru-baru ini sebuah lembaga pemerintah telah mengusulkan pendekatan baru dalam program pembangunan untuk orang-orang terpencil dan tersebar. Daripada mengeluarkan mereka dari tempat aslinya, di mana mereka telah hidup selama berabad-abad, dan menyebabkan mereka menjadi orang kelas rendah tergantung pada badan-badan pembangunan atau kelompok lain dan pendatang baru di tempat pengungsian, akan lebih baik untuk memberi mereka posisi sebagai 'penjaga' hutan, untuk mencegah dari kehancuran. Dengan menggunakan pengetahuan budaya mereka dalam pelestarian lingkungan mereka, posisi tersebut akan memberikan mereka sebuah peran penting dalam masyarakat yang akan meningkatkan martabat mereka di antara kelompok-kelompok lain dari warga negara Indonesia, sehingga sesuai dengan apa yang telah dinyatakan dalam Konstitusi Republik Indonesia. Ada juga ide-ide baru yang diusulkan mengenai orang yang tinggal dekat dan di laut. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak kelompok etnis dengan budaya maritim. Beberapa kebijakan pembangunan tua disarankan memindahkan mereka ke daerah-daerah pemukiman pedalaman. Sebuah pendekatan baru mengusulkan bahwa mereka diberi fasilitas untuk menjelajahi laut dan laut untuk mengembangkan kegiatan yang berhubungan, seperti pembudidaya laut mengembangkan pertanian rumput laut, ikan, udang dan hasil laut lainnya, serta kegiatan dalam perdagangan laut. Mereka harus didorong untuk melestarikan budaya maritim mereka, kebijaksanaan rakyat yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Pemerintah harus membantu mereka dengan fasilitas yang diperlukan.

1. Pengaruh Budaya Lokal terhadap Pembangunan Pertanian Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia. Oleh karena itu pembahasan mengenai sektor dan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani, sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius. Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian. Tulisan ini sekaligus menanggapi tulisan Saudara Pantjar Simatupang (Jakarta Post, April 14 and 15, 2003) tentang Pendekatan Sistem Agribisnis dalam Pembangunan Pertanian, yang juga didasarkan pada kerangka konsep pembangunan pertanian Departemen Pertanian tahun 2001. Secara ringkas tulisan tersebut menguraikan tentang perlu dikembangkannya paradigma baru pembangunan pertanian yang didasarkan pada pendekatan sistem agribisnis. Pantjar mengacu dengan jelas pada paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh Davies dan Goldberg, yang berdasar pada lima premis dasar agribisnis. Pertama, adalah suatu kebenaran umum bahwa semua usaha pertanian berorientasi laba (profit oriented), termasuk di Indonesia. Kedua, pertanian adalah komponen rantai dalam sistem komoditi, sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan. Ketiga, pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif. Keempat, Sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan kelima, pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang. Rumusan inilah yang nampaknya digunakan sebagai konsep pembangunan pertanian dari Departemen Pertanian, yang dituangkan dalam visi terwujudnya perekonomian nasional yang sehat melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi. Ideologi Agribisnis Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian pertanian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Maka di IPB dan UGM tidak dikembangkan program S2 Pertanian, tetapi lebih dikembangkan program Magister atau MM Agribisnis, yang jika diteliti substansi kuliahkuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku teks Amerika 2 dekade terakhir yang mengajarkan ideologi atau bahkan mendekati agama baru bahwa farming is business. Mengapa agribisnis? Ya, agribisnis memang diangggap lebih modern dan lebih efisien karena lebih berorientasi pada pasar, bukan hanya pada komoditi yang dapat dihasilkan petani.

Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan produksi, termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun jika kita kaji lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma yang menjadi arah kebijakan Deptan tersebut. Sebuah paradigma semestinya lahir dari akumulasi pemikiran yang berkembang di suatu wilayah dan kelompok tertentu. Jadi sudah sewajarnya jika kita mempertanyakan, apakah pengembangan paradigma agribisnis adalah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita?. Lebih lanjut dapat kita kaji kembali apakah sudah ada riset/penelitian mendalam, yang melibatkan partisipasi petani, berkaitan dengan pola/sistem pertanian di wilayah mereka?. ini sangat penting karena jangan-jangan paradigma agrisbisnis hanyalah dikembangkan secara topdown dari pusat, yang tidak sesuai dengan visi desentralisasi sistem lokal, atau lebih berbahaya lagi hanya mengadopsi paradigma dari luar (barat). Lebih tepat apabila pemerintah berupaya untuk membantu menemukenali segala permasalahan yang dihadapi petani dan bersama-sama mereka mengusahakan jalan keluarnya, dengan memposisikan diri sebagai kekuatan pelindung petani. Selama ini masalah yang muncul adalah anjloknya harga komoditi, kenaikan harga pupuk, dan persaingan tidak sehat, yang lebih disebabkan oleh kekeliruan atau tidak bekerjanya kebijakan atau peraturan (hukum) yang dibuat oleh pemerintah. Paradigma Agribisnis Yang Keliru Asumsi utama paradigma agribisnis bahwa semua tujuan aktivitas pertanian kita adalah profit oriented sangat menyesatkan. Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, ataupun ketela. Mencari keuntungan adalah wajar dalam usaha pertanian, namun hal itu tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap kegiatan usaha para petani. Petani kita pada umumnya lebih mengedepankan orientasi sosialkemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong (sambatan/kerigan) dalam kegiatan mereka. Seperti di awal tulisan, bertani bukan saja aktivitas ekonomi, melainkan sudah menjadi budaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat lokal. Sehingga perencanaan terhadap perubahan kegiatan pertanian harus pula mempertimbangkan konsep dan dampak perubahan sosial-budaya yang akan terjadi. Seperti halnya industrialisasi yang tanpa didasari transformasi sosial terencana, telah menghasilkan dekadensi nilai moral, degradasi lingkungan, berkembangnya paham kapitalisme dan individualisme, ketimpangan ekonomi, dan marjinalisasi kaum petani dan buruh. Hal ini yang nampaknya tidak terlalu dikedepankan dalam pengembangan paradigma pendekatan sistem agribisnis..Tidak semua kegiatan pertanian dalam skala petani kecil dapat dibisniskan, seperti yang dilakukan oleh petani-petani (perusahaan) besar di luar negeri, yang memiliki tanah luas dan sistem nilai/budaya berbeda yang lain sekali dengan petani kita Agriculture bisa berubah menjadi agribisnis seperti halnya PT QSAR, jika usaha dan kegiatannya menjanjikan keuntungan sangat besar, misalnya 50% dalam waktu kurang dari

satu tahun, padahal tingkat bunga bank rata-rata hanya sekitar 10%. Semangat mengejar untung besar dalam waktu pendek inilah semangat dan sifat agribisnis yang dalam agriculture (pertanian) suatu hal yang dianggap mustahil. Demikian tanpa disadari pakar-pakar ekonomi pertanian terutama lulusan Amerika telah memasukkan budaya Amerika ke (pertanian) Indonesia dengan janji atau teori bahwa agribisnis lebih modern, lebih efisien, dan lebih menguntungkan ketimbang agriculture. Itulah yang terjadi dengan PT QSAR yang mampu mengecoh banyak bapak-bapak dan ibuibu investor untuk menanamkan modal ratusan juta rupiah, meskipun akhirnya terbukti agribisnis PT QSAR merupakan ladang penipuan baru untuk menjerat investor-investor homo-ekonomikus (manusia serakah) yang berfikir adalah bodoh menerima keuntungan rendah jika memang ada peluang memperoleh keuntungan jauh lebih besar. Di Indonesia homo-ekonomikus ini makin banyak ditemukan sehingga seorang ketua ISEI pernah tanpa ragu menyatakan orang Indonesia dan orang Amerika sama saja, mereka sama-sama makhluk ekonomi. Konsep dan paradigma sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya kita pertanyakan kembali. Paradigma agribisnis tentu saja sarat dengan sistem nilai, budaya, dan ideologi dari tempat asalnya yang patut kita kaji kesesuaiannya untuk diterapkan di negara kita. Masyarakat petani kita memiliki seperangkat sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian. Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke oreientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah suramnya nasib petani kita lebih banyak terjadi daripada sekedar contoh keberhasilan perusahaan McDonald dalam memberi order kelompok petani di Jawa Barat. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini sangat sakit dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf. Jika kesejahteraan petani menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata pertanian kini tidak banyak disebut-sebut? Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture. Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap bernama Department of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Amerika tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di Sukabumi yang kemudian bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood) atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi bisnis.

2. Pengaruh Budaya Lokal terhadap Pembangunan Kesehatan

Tantangan pembangunan pada hakikatnya adalah mencapai kesehatan bagi semua, yakni terpenuhinya hak setiap orang untuk hidup sehat, hingga dapat meraih hidup yang produktif dan berbahagia. Untuk mencapai kondisi tersebut, perlu diupayakan kegiatan dan strategi dalam setiap aspek kehidupan. Bukan saja aspek kesehatan, tetapi diperlukan strategi pemerataan kesehatan dengan mendayagunakan segenap potensi yang ada, baik di jajaran kesehatan, non kesehatan maupun masyarakat sendiri, guna mengendalikan faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan. Mengingat kesehatan mencakup seluruh aspek kehidupan, konsep kesehatan sekarang ini, tidak saja berorientasi pada aspek klinis dan obat-obatan, tetapi lebih berorientasi pada ilmu-ilmu lain yang ada kaitannya dengan kesehatan dan kemasyarakatan, yaitu seperti ilmu sosiologi, antropologi, psikologi, perilaku, dan lain-lain. Kegunaan ilmu-ilmu tersebut dalam kesehatan dan kemasyarakatan adalah sebagai penunjang peningkatan status kesehatan masyarakat. Salah satu cabang dari sosiologi dan antropologi adalah sosial budaya dasar, yang membahas tentang kebudayaan dan unsur-unsur yang terkait di dalamnya. Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, unsur-unsur kebudayaan adalah meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang dilakukan olehh masyarakat-masyarakat, yang merupakan hasil budi atau akal manusia. Di negara-negara maju, terdapat unsur-unsur kebudayaan yang dapat menunjang tingginya status kesehatan masyarakat seperti pendidikan yang optimal, keadaan sosial-

ekonomi yang tinggi, dan kesehatan lingkungan yang baik. Dengan demikian, pelayanan kesehatan menjadi sangat khusus sehingga dapat memenuhi kebutuhan klien. Sebaliknya, di negara berkembang seperti Indonesia, unsur-unsur kebudayaan yang ada kurang menunjang pencapaian status kesehatan yang optimal. Unsur-unsur tersebut antara lain; ketidaktahuan, pendidikan yang minim sehingga sulit menerima informasiinformasi dan tekhnologi baru. Mengingat keadaan tersebut, kita perlu memperhatikan aspek sosial budaya masyarakat dalam kaitannya dengan keadaan kesehatan di Indonesia. Sehingga kita dapat melihat penyakit atau masalah kesehatan bukan saja dari sudut gejala, sebab-sebabnya, wujud penyakit, obat dan cara menghilangkan penyakit, tetapi membuat kita untuk berfikir tentang bagaimana hubungan sosial budaya, geografi, demografi, dan persepsi masyarakat dengan masalah yang sedang dihadapi. Melihat luasnya masalah kesehatan yang dihadapi, maka bidan sebagai petugas kesehatan harus mempelajari ilmu-ilmu lain yang terkait dengan kesehatan. Sehingga pelayanan yang diberikan memberikan hasil yang optimal. Di bawah ini kita dapat melihat bagaimana hubungan antara sosial budaya dengan pembangunan kesehatan, khususnya pembangunan kesehatan masyarakat.

A.

Pengaruh Sosial Budaya Terhadap Kesehatan Masyarakat Tantangan berat yang masih dirasakan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi serta penyebaran penduduk yang tidak merata di seluruh wilayah. Selain masalah tersebut, masalah lain yang perlu diperhatikan yaitu berkaitan dengan sosial budaya masyarakat, misalnya tingkat pengetahuan yang belum memadai terutama pada golongan wanita, kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat, adat istiadat, perilaku, dan kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Keadaan sosial budaya masyarakat tidak seluruhnya bersifat negatif, namun ada juga yang positif yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan kesehatan, yaitu

semangat gotog royong dan kekeluargaan, serta sikap musyawarah dalam mengambil keputusan. Pembangunan dalam suatu negara selain berdampak positif juga menimbulkan hal-hal negatif seperti timbulnya daerah kumuh (slum area) di perkotaan akibat pesatnya urbanisasi, polusi karena pesatnya perkembangan industri, banyak ibu-ibu karier yang tidak dapat mengasuh dan memberikan ASI secara optimal kepada anaknya, masalah kesehatan jiwa yang menonjol dan penyalahgunaan obat. Masalah-masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan aspek sosial budaya dapat dibedakan menjadi: 1. Kesehatan Ibu dan Anak Berdasarkan survei rumah tangga (SKRT) pada tahun 1986, angka kematian ibu maternal berkisar 450 per 100.000 kelahiran hidup atau lebih dari 20.000 kematian pertahunnya. Selain itu, dengan perkembangan penduduk dan pembangunan akan mengakibatkan berbagai macam sampah yang dapat mengganggu kesehatan. Angka kematian ibu merupakan salah satu indikator kesehatan ibu yang meliputi ibu dalam masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Angka tersebut dikatakan tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Dari hasil penelitian di 12 rumah sakit, dikatakan bahwa kehamilan merupakan penyebab utama kematian ibu maternal, yaitu sebesar 94,4% dengan penyebabnya, yaitu pendarahan, infeksi, dan toxaemia (*)%). Selain menimbulkan kematian, ada penyebab lain yang dapat menambah resiko terjadinya kematian yaitu Anemia gizi pada ibu hamil, dengan Hb kurang dari 11gr%. Angka kematian bayi pada akhir pelita V masih cukup tinggi, yaitu 58 per seribu kelahiran hidup. Sekitar 38% penyebab kematian bayi adalah akibat penyakitpenyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yaitu tetanus. Angka bayi lahir hidup dengan berat badan lahir rendah (BBLR) adalah 8,2 %.

Angka kematian balita masih didapatkan sebesar 10,,6 per 1000 anak balita. Seperti halnya dengan bayi sekitar 31% penyebab kematian balita adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, yaitu infeksi saluran pernafasan, polio, dan lainlain. Selain angka kematian, angka kelahiran dan angka kesuburan masih dirasakan pula sebagia masalah kesehatan ibu dan anak. Angka kelahiran kasar didapatkan berkisar antara 26-32 per 1000 penduduk dan angka kesuburan sebesar 3,49. Masih tingginya angka kematian dan kesuburan di Indonesia berkaitan erat dengan faktor sosial budaya masyarakat, seperti tingkat pendidikan penduduk, khususnya wanita dewasa yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang belum memadai, tingkat kepercayaan masyarakat tergadap pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang masih rendah dan jauhnya lokasi tempat pelayanan kesehatan dari rumah-rumah pendudukkebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat dan perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain sebagainya. Tingkat pendidikan terutama pada wanita dewasa yang masih rendah, mempunyai pengaruh besar terhadap masih tingginya angka kematian bayi. Berdasarkan survei rumah tangganya (SKRT) pada tahun 1985, tingkat buta huruf pada wanita dewasa adalah sebesar 25,7%. Rendahnya tingkat pendidikan dan buta huruf pada wanita menyebabkan ibu-ibu tidak mengetahui tentang perawatan semasa hamil, kelahiran, perawatan bayi dan semasa nifas, tidak mengetahui kapan ia harus datang ke pelayanan kesehatan, kontrol ulang, dan sebagainya. Menurut hasil survei rumah tangga, tahun 1986 sebanyak 54% ibu hamil telah memeriksakan dirinya, dengan frekuensi kunjungan rata-rata 3,17 kali. Pengkajian KB-Kestahun 1986 tentang pemanfaatan tempat pemeriksaan menunjukkan yaitu Puskesmas 59,7%, fasilitas swasta 28,9%, sedangkan Posyandu 11,2%. Namun manfaat Posyandu untuk imunisasi bayi sudah cukup tinggi yaitu 60,9%. Rendahnya pemanfaatan Posyandu untuk pemeriksaan kehamilan disebabkan karena tidak tersedianya ruangan yang tertutup atau memadai. Hasil survei rumah tangga tahun 1986, tentang angka imunisasi didapatkan: untuk imunisasi DPT 3 sebesar 34,9%, polio 331,6%, TT2 22,7%, BCG 75%. Bila

dilihat dari data di atas, cakupan TT2 lebih rendah bila dibandingkan dengan cakupan pemeriksaan kehamilan. Cakupan TT2 yang rendah bila dibandingkan dengan cakupan pemeriksaan ibu hamil, disebabkan petugas KIA belum mendapatkan instruksi atau kesepmatan untuk dapat memberikan imunisasi TT2. Kebiasaan-kebiasaan adat istiadat dan perilaku masyarakat sering kali merupakan penghalang atau penghambat terciptanya pola hidup sehat di masyarakat. Perilaku, kebiasaan, dan adat istiadat yang merugikan seperti misalnya: Ibu hamil dilarang tidur siang karena takut bayinya besar dan akan sulit melahirkan, Ibu menyusui dilarang makan makanan yang manis, misalnya: ikan, telur, Ibu habis melahirkan dilarang tidur siang, Bayi berusia 1 minggu sudah boleh diberikan nasi atau pisang agar mekoniumnya cepat keluar, Ibu post partum harus tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk karena takut darah kotor naik ke mata, Ibu yang mengalami kesulitan dalam melahirkan, rambutnya harus diuraikan dan persalinan yang dilakukan di lantai, diharapkan ibu dapat dengan mudah melahirkan. Bayi baru lahir yang sedang tidur harus ditemani dengan benda-benda tajam. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada terhadap petugas kesehatan,

dibeberapa wilayah masih rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena kharismatik dukun tersebut yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang berobat dan meminta tolong kepada ibu dukun. Petugas kesehatan pemerintah dianggap sebagai orang baru yang tidak mengenal masyarakat di wilayahnya dan tidak mempunyia kharismatik. Selain faktor tersebut, rendahnya kunjungan masyarakat ke pelayanan kesehatan dikarenakan jauhnya lokasi pelayanan kesehatan dengan rumah penduduk sehingga walaupun masyarakat sudah mempunyai kemauan memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan, namun karena jauh ia harus segera mendapatka pertolongan, akhirnya ia berobat ke dukun yang dekat lokasinya.

2.

Keluarga Berencana Berdasarkan hasil SUPAS 1985, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 164 juta jiwa. Diperkirakan pada akhir tahun 1987 menjadi 172,3 juta jiwa dan akan menjadi 182,7 juta jiwapada tahun 1990. Pada tahun 1985, pertumbuhan penduduk sekitar 2,15% pertahun. Pada umumnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan fertilitas dan laju pertumbuhan penduduk disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang bersifat kaku. Mereka masih mempunyai pendapatan bahwa anak adalah sumber rezeki, atau banyak anak banyak rezeki. Anak adalah tumpuan di hari tuanya. Selain itu, faktor agama juga sangat menentukan keberhasilan pengendalian penduduk. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya menggunakan agama sebagai pandangan hidup, misalnya islam, nasrani, mereka akan menentang program pengendalian penduduk berupa penggunaan alat kontrasepsi. Mereka menganggap bahwa dengan menggunakan alat kontrasepsi, berarti membunuh anak yang telah dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan-keadaan ini merupakan tantangan bagi pelaksana program Keluarga Berencana. Berdasarkan hasil pengkajian KB-Kes tahun 1986, diperoleh bahwa tempat pelayanan KB yang banyak dikunjungi oleh para akseptor KB adalah Puskesmas, yaitu sebesar 50,8%, Posyandu 23%, swasta 13,2%, dan Pos KB desa/kader 13%. Dari hasil tersebut, ternyata pemanfaatan Posyandu oleh masyarakat berada di urutan kedua setelah Puskesmas. Hal ini disebabkan oleh siklus pil tidak selalu sama dengan waktu bukanya di Posyandu, sehingga akseptor lebih suka datang ke Puskesmas yang buka setiap hari. Keadaan ini perlu dijadikan bahan pemikiran, metoda apa yang tepat sehingga pelayanan tersebut dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

3.

Gizi Jika kita berbicara tentang gizi, maka yang terpikir oleh kita adalah semua makanan yang kita makan. Ditinjau dari aspek sosial budaya, Koentjaraningrat menyebutkan bahwa makanan yang kita makan dapat dibedakan menjadi dua konsep, yaitu nutrimen dan makanan. Nutrimen adalah suatu konsep biokimia yang berarti zatzat dalam makanan yang menyebabkan bahwa individu yang memakannya dapat hidup dan berada dalam kondisi kesehatan yang baik. Makanan dikatakan sebagai suatu

konsep kebudayaan, yaitu merupakan bahan-bahan yang telah diterima dan diolah secara budaya untuk dimakan, sesudah melalui proses penyiapan dan penyuguhan yang juga secara budaya, agar dapat hidup dan berada dalam kondisi kesehatan yang baik. Kesukaan makan seseorang sangat dipengaruhi oleh kebiasaan makannya sejak kanak-kanak. Keluarga dalam hal ini sangat menentukan kesukaan anak terhadap makanan tertentu. Makanan sebagai salah satu aspek kebudayaan sering ditentukan oleh keadaan lingkungan, misalnya wilayah yang sebagian besar memiliki pohon kelapa, maka jenis makanan yang dimakan banyak yang menggunakan santan atau kelapa, sedangkan wilayah yang sebagian besar terdiri dari perkebunan, jenis dan komposisi makanan banyak yang terbuat dari sayur-sayuran atau dikenal dengan lalapan. Rasa makanan yang disukai oleh suatu masyarakat umumnya bervariasi. Ada sekelompok masyarakat yang menyukai makanan yang rasanya pedas, manis, asin, dan sebagainya. Kelompok masyarakat yang menyukai makanan yang rasanya manis dapat ditemukan di daerah-daerah di Pulau Jawa, sedangkan makanan yang rasanya pedas dapat ditemukan di daerah-daerah Sumatera dan Sulawesi. Sehingga sering kali masyarakat tertentu yang datang ke suatu wilayah yang berbeda dengan jenis makanan yang biasa ia makan, ia perlu mengadakan penyesuaian terhadap makanan tersebut. Perlu diperhatikan bahwa tidak mudah bagi seseorang untuk mengganti makanan yang biasa ia makan dengan jenis makanan yang baru ia kenal. Distribusi makanan dalam keluarga tidaklah sama dengan keluarga lain. Ada aturan-aturan tertentu yang harus dipenuhi oleh anggota keluarga. Seorang ayah yang dianggap sebagai pencari nafkah keluarga, harus diberikan makanan yang lebih dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya. Kata lebih yang dimaksud meliputi kualitas, kuantitas, dan frekuensi makan. Ibu hamil tidak bisa makan dengan sebebasnya, tapi mempunyai keterbatasan tertentu, ada makanan-makanan tertentu yang tidak boleh dimakan oleh ibu hamil. Tamu dianggap sebagai raja, sehingga diberikan makanan yang tidak biasanya. Anak mempunyai makanan khusus seperti bubur nasi dan sebagainya. Sedangkan pembantu rumah tangga bisasnya diberikan makanan yang rendah kualitasnya.

Berdasarkan laporan penelitian gizi pada tahun 1979, di Indonesia masih terdapat masalah-masalah gizi. Masalah gizi tersebut bukan hanya menyangkut gejala kelaparan dan kekurangan kalori-kalori, tetapi juga menyangkut masalah kelebihan gizi. Masalah kekurangan gizi bukan saja disebabkan oleh faktor sosial-ekonomi masyarakat, namun berkaitan pula dengan faktor sosial-budaya masyarakat setempat. Seperti misalnya persepsi masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan masih belum sesuai. Menurut mereka, yang disebut dengan makan adalah makan sampai kenyang, tanpa memperhatikan jenis, komposisi, dan mutu makanan, pendistribusian makanan dalam keluarga tidak berdasarkan debutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan anggota keluarga, namun berdasarkan pantangan-pantangan yang harus diikuti oleh kelompok khusus, misalnya ibu hamil, bayi, balita, dan sebagianya. Di samping hal tersebut, pengetahuan keluarga khususnya ibu memegang peranan yang cukup penting dalam pemenuhan gizi keluarga. Kurangnya pengetahuan ibu tentang makanan yang mengandung nilai gizi tinggi, cara pengolahan, cara penyajian makanan, dan variasi makanan yang dapat menimbulkan selera makan anggota keluarganya, sangat berpengaruh dalam status gizi keluarga. Oleh karena itu, ibu lah sasaran utama dalam usaha-usaha perbaikan gizi keluarga. Masalah kelebihan gizi, umumnya diderita oleh sekelomppok masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup, disamping faktor pola makan terhadap jenis makanan tertentu, juga ditentukan oleh faktor herediter. Dalam kaitannya dalam kesehatan ibu dan anak serta kesehatan masyarakat, masalah gizi mempunyai pengaruh terhadap timbulnya penyakit-penyakit, misalnya anemia, pre-eklampsia, diabetes melitus, perdarahan, infeksi, dan sebagianya.

3. Pengaruh Budaya Lokal terhadap Pembangunan Sosial

DAFTAT PUSTAKA
Abdillah, kafil Yamin, 1995, 'Surga bagi Orang luar, Neraka untuk Adat Observer Indonesia., 1 April, p.3 Departemen Sosial dan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia Bersama Tim Peneliti, 1992, Kenyah di Kalimantan Timur (Konsep Kebudayaan Ruang Dayak Kenyah di Kalimantan Timur). Jakarta: Universitas Indonesia Departemen Sosial, 1992, Profil Pembinaan Masyarakat Terasing (Profil Pembangunan Masyarakat Terpencil). Jakarta: Direktorat Pembangunan Masyarakat Terpencil Koentjaraningrat, ed, 1984., Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia (Orang dan Budaya di Indonesia). Jakarta: Djambatan Melalatoa, MJ, 1982, Didong: Kesenian Tradisional Gayo (Didong: Seni Tradisional Gayo). Jakarta: Departemen P & K Mubyarto, ed, 1994., Profil Desa Tertinqgal Indonesia 1994 (Profil Desa Mundur Bahasa Indonesia 1994). Jakarta: Aditya Media Universitas Bung Hatta, 1992, Pembangunan Berwawasan Lingkungan Mentawai Mencari Google Artikel Pendekatan Sosial-Budaya (Pengembangan Ekologi Berbasis Mentawai dengan Pendekatan Sosial-Budaya). Padang Persoon, Gerard dan Reimar Schefold, 1985, Pulau Siberut: Pembangunan sosio-Ekonomi, Kebudayaan Tradisional Dan Lingkungan Hidup (Pulau Siberut: Pengembangan Sosial Ekonomi, Budaya dan Ekologi). Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara

You might also like