You are on page 1of 12

Setiap orang yang ingin mengetahui seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat

dalam agamanya. Mempelajari teologi akan memberikan kepada seseorang keyakinan yang didasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan zaman. Teologi dalam islam dikenal dengan nama ilmu Aqaid atau Ilmu Tauhid. Dinamakan demikian karena dalam islam keyakinan tentang ke-Maha Esaan Tuhan adalah termasuk ajarang yang sangat penting. Teologi Islam disebut juga Ilmu Kalam. Dinamakan demikian, karena masalah kalam atau firman Tuhan, yaitu AlQuran, pernah menjadi polemic yang menimbulkan pertentangan-pertentangan keras dikalangan umat Islam, terutama dalam abad 9 sampai 10 Masehi yang membawa kepada penganiayaan-penganiayaan bahkan pembunuhan pembunuhan terhadap sesama muslim pada waktu itu. Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional dan ada pula yang bersifat tengah-tengah antara liberal dan tradisional. Hal ini mungkin ada hikmahnya. Orang yang bersifat tradisional dalam pemikirannya, mungkin lebih sesuai dan dapat menerima paham-paham dari ajaran teologi tradisional. Sedangkan orang yang bersifat liberal dalam pemikirannya, mungkin lebih sesuai dan dapat menerima paham-paham dari ajaran teologi liberal. Dalam soal paham jabariyah (fatalism) dan paham qadariyah (free will) misalnya, orang yang bersifat liberal dalam pemukimannya, tentu tidak dapat menerima paham jabariyah (fatalisme). Bagi faham qadariyah (free will) yang terdapat dalam ajaran teologi liberalisme yang lebih sesuai dengan jiwa dan pemikirannya. Begitu pula sebaliknya. Adapun beberapa aliran teologi dalam Islam, yaitu aliran Khawarij, aliran Murjiah, aliran Qadariyah dan aliran Jabariyah.

PENDAHULUAN

BAB I

A.

BAB II Pembahasan Pengertian dan rujukan pemikiran.

Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah lslam, bahwa kaum khawarij pada mulanya adalah pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib, tetapi kemudaian mereka meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim (arbitrase) sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaannya dengan Muawiyah ibnu Abi Sufyan. Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti: keluar. Nama tersebut diberikan kepada mereka karena mereka menyatakan diri keluar dari barisan Ali dalam persengketaannya dengan Muawiyah. Ada pula pendapat lain yang mengatakan, bahwa pemberian nama Khawarij tersebut didasarkan pada ayat 100 dari surat An-Nisa yang berbunyi:

Artinya: barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.1 Kaum Khawarij menganggap dirinya sebagai orang yang pergi untuk meninggalkan rumahnya. Dengan bertujuan untuk dapat mengebdika diri kepada Allah dan Rasul-Nya.2

B.Latar belakang kemunculannya.

Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah, bahwa Nabi Muhammad di samping sebagai Rasul beliau juga pemimpin umat, sebagai kepala Negara. Ini berarti bahwa Islam disamping sebagai system agama, juga sebagai system politik, yang mengatur tentang ketatanegaraan. Oleh karena itu tidak mengherankan, kalau pada waktu Nabi Muhammad wafat, masyarakat Madinah menjadi bingung memikirkan

1 2

Al-Quran H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Pustaka Setia. Bandung. 1998. Hal. 151

pengganti beliau untuk mengepalai Negara Islam yang belum lama berdiri. Maka timbullah masalah besar bagi mereka, yaitu siapakah yang akan menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala Negara. Masalah ini dikenal dalam sejarah Islam sebagai masalah khilafah. Sebagai Nabi atau Rasul, mereka tidak mempersoalkannya, sebab Nabi atau Rasul itu tidak dapat digantikan. Dalam sejarah kita ketahui bahwa masyarakat Islam pada waktu itu menyetujui Abu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad dalam mengepalai Negara mereka. Karena itu Abu Bakar dikenal sebagai khalifah pertama. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar ibn alKhatab sebagai khalifah kedua, dan kemudian Umar digantikan oleh Usman ibn Affan sebagai khalifah ketiga. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, Usman termasuk dalam golongan pedangan Quraisy yang sangat kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang-orang aristokrasi Mekkah, karena pengalaman dagang, mereka mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini sangat bermanfaat dalam mengelola administrasi daerah-daerah di luar semenanjung Arabia, yang semakin lama semakin bertambah banyak masuk ke bawah kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar ibn al-Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan tak memikirkan kepentingan sendiri atau kepentingan keluarganya itu dijatuhkan oleh Usman. Tindakan-tindakan politik yang dijalankan Usman ini sudah barang tentu menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi khalifah Usman sendiri. Sahabat-sahabat Nabi yang mulanya menyokong Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan tidak senang muncul di daerah-daerah. Dari Mesir sebagai reaksi terhadap dijatuhkannya Umar ibn al-As yang diganikan oleh Abdullah ibn Sad ibn Abi Sarh, salah satu anggota kaum keluarga Usman, sebagai Gubernur Mesir, lima ratus pemberontak bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya menimbulkan pembunuhan terhadap Usman, yang dilakukan oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir ini. Setelah Usman wafat, maka Ali menjadi khalifah yang keempat. Tetapi ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubair dari Mekkah, yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan dari Aisyah-Talhah Zubair ini dapat dipatahkan oleh kekuatan Ali. Dalam pertempuran yang terjadi di Irak pada tahun 656 M. Talhah dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah. Selanjutnya Al-Tabari menerangkan, bahwa tantangan kedua datang dari Muawiyah. Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Usman. Seperti halnya Talhah dan Zubair, ia tak mau mengakui Ali sebagai

khalifah. Ia menuntut kepada Ali agar ia menghukum orang-orang yang membunuh Usman. Bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan itu. Salah seorang pemuka pemberontak Mesir yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Usman adalah Muhammad ibn Abi Bakr, anak angkatnya Ali bin Abi Thalib. Lagi pula Ali nampak tidak mengambil tindakan keras terhadap kaum pemberontak itu, bahkan Muhammad ibn Abi Bakr diangkat oleh Ali menjadi Gubernur Mesir. Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin, pasukan Ali dapat mendesak pasukan Muawiyah. Tetapi tangan kanan Muawiyah, yaitu Amr ibn al-As, yang terkenal sebagai orang yang sangat licik, minta berdamai dengan mengangkatkan Quran ke atas. Qurra yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu, dan dengan demikian dicarinyalah perdamaian dengan mengadakan arbitrase (tahkim). Sebagai arbiters diangkatlah dua orang, yaitu Amr ibn al-As dari pihak Muawiyah dan Abu Musa al-Asyari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr ibn al-As dapat mengalahkan Abu Musa yang terkenal sangat takwa itu. Dalam sejarah dapat kita baca, bahwa antara Amr ibn al-As dan Abu Musa al-Asyari terjadi kesepakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang saling bertentangan itu, yaitu Ali dan Muawiyah. Menurut tradisi, orang yang lebih tua harus melakukannya lebih dahulu. Maka berdirilah Abu Musa al-Asyari untuk mengumumkan kepada khalayak ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu, sesuai dengan kesepakatan mereka. Kemudian setelah itu berdirilah Amr ibn al-As, dan mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa ia hanya menyetujui penjatuhan Ali, tetapi menolak penjatuhan Muawiyah. Dengan demikian Amr ibn al-As telah sengaja melanggar kesepakatan bersama, dan itulah kelicikannya terhadap Abu Musa alAsyari. Maka jelaslah bagi anda, bahwa kejadian tersebut sangat merugikan Ali dan sangat menguntungkan Muawiyah. Padahal yang sah menurut hukum Ali-lah yang berhak menjadi khalifah, sedangkan Muawiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Tetapi dengan arbitrage ini Muawiyah dapat diangkat menjadi khalifah. Karena itu tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak oleh Ali, dan ia tak mau meletakkan jabatannya sebagai khalifah, sampai beliau wafat karena terbunuh pada tahun 661 M. Keadaan Ali menerima tipu muslihat Amr ibn al-As dalam arbitrase, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak dapat diterima oleh sebagian dari pasukannya. Mereka berpendapat, bahwa putusan serupa itu tidak dapat diberikan oleh manusia. Putusan hanya dapat diterima apabila datang dari Allah. Menurut mereka Ali telah melakukan kesalahan, karena tidak berpegang kepada hukum Allah. Karena itu mereka meninggalkan

barisannya. Golongan yang keluar dari barisan Ali inilah yang dalam sejarah dikenal dengan nama Khawarij. Mereka memisahkan diri dari barisan Ali. Karena menganggap Ali bersalah dan berbuat dosa, maka mereka memusuhi Ali, sehingga Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu pasukan Muawiyah dan kaum Khawarij. Karena selalu mendapat serangan dari golongan Khawarij, maka Ali harus memusatkan perhatiannya untuk menghancurkan kaum Khawarij itu lebih dahulu. Tetapi setelah mereka ini kalah, pasukan Ali merasa sudah terlalu capai untuk meneruskan pertempuran dengan pasukan Muawiyah. Karena itu Muawiyah tetap berkuasa di Damaskus, dan setelah Ali ibn Abi Thalib wafat. Muawiyah dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai Khalifah Umat Islam pada tahun 661 M.

C. Doktrin-doktrin pokoknya.

1. Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat
Islam. 2. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang mulim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat. 3. Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman. 4. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke 7 kekhalifahannya, Utsman r.a dianggap telah menyeleweng. 5. Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng. 6. Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asyari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir. 7. Pasukan perang jamal yang melawan Ali juga kafir. 8. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula. 9. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup di dalam dar al-harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-Islam (Negara Islam). 10. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng. 11. Adanya waad dan waid (orang yang baik harus masuk surga dan orang yang jahat harus masuk neraka).

12. 13.

Amar maruf nahi mungkar. Memalingkan ayat-ayat al-quran yang tampak mutsyabih (samar). 14. Al-quran adalah makhluk. 15. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari 3 Tuhan.

D.Perkembangan, tokoh dan sekte-sektenya.

Sebagaimana telah dikemukakan, Khawarij telah menjadikan imamah-khalifah (politik) sebagai doktrin sentral yang memicu timbulnya doktrin-doktrin teologis lainnya. Radikalitas yang melekat pada watak dan perbuatan kelompok Khawarij menyebabkan mereka sangat rentan pada perpecahan, baik secara internal kaum Khawarij sendiri, maupun secara eksternal deangan sesame kelompok Islam lainnya. Para pengamat berbeda pendapat tentang jumlah sekte yang terbentuk akibat perpecahan yang terjadi dalam tubuh Khawarij. AlBagdadi mengatakan bahwa sekte ini telah terpecah menjadi 18 subsekte. Adapun, Al-Asfarayani, seperti dikutip Al-Bagdadi, mengatakan bahwa sekte ini pecah menjadi 22 subsekte. Terlepas dari berapa banyak subsekte pecahan khawarij, tokohtokoh yg disebut diatas sepakat bahwa subsekte Khawarij yang besar terdiri dari delapan macam, yaitu:

1. Al-Muhhakkimah
Al-Muhakkimah adalah golongan khawarij asli, bekas pengikutpengikut Ali, yang kemudian memisahkan diri, dan kemudian menentang Ali. Menurut golongan ini, Ali dan Muawiyah serta kedua pengantarnya, yaitu Amr ibn As dan Abu Musa Al-Asyari, serta semua orang yang telah menyetujui arbitrase, mereka itu telah melakukan perbuatan salah, karena menyimpang dari ajaran Islam, perbuatan mereka itu membuat mereka menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya, sehingga orang yang melakukan dosa besar pun termasuk orang yang telah kafir. Berbuat zina adalah termasuk dosa besar, karena itu menurut golongan ini orang yang mengerjakan zina, dia telah menjadi orang kafir, dan dikeluarkan dari Islam. Demikian pula membunuh sesame muslim tanpa sebab adalah termasuk dosa besar. Karena itu menurut golongan ini perbuatan membunuh manusia itu membuat si pembunuhnya menjadi orang kafir, dan keluar dari Islam. Demikian pula dengan dosa-dosa besar lainnya
Prof. Dr. Abdul Rozak, M.Ag., dan Prof. Dr. Rosihon, M.Ag, Ilmu Kalam. Pustaka Setia. Bandung : 2001. Hal. 51.
3

2. Al-Azriqah
Golongan ini muncul setelah hancurnya golongan Al-Muhakkimah, dan golongan ini kemudian menjadi lebih besar dan lebih kuat dibandingkan dengan golongan Al-Muhakkimah sendiri. Daerahdaerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan antara Iran dan Irak. Nama AlAzariqah diambil dari nama seorang pemuka golongan ini, yaitu; Nafi ibn al-Azraq. Dalam kitab Al-Farqu baina al-firaq, al-Bagdadi menyebutkan bahwa jumlah pengikut al-Azariqah itu mencapai 20.000 orang. Sebagai khalifah yang pertama mereka memilih Nafi ibn al Azraq, dan kepadanya diberi gelar; Amir al-Muminin. Nafi meninggal dunia dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M. Golongan ini mempunyai sikap yang lebih radikal di bandingkan dengan golongan al-Muhakkimah. Orang yang melakukan perbuatan dosa besar tidak lagi mereka sebut sebagai orang yang kafir, seperti dalam golongan al-Muhakkimah, tetapi mereka sebut sebagai orang yang musyrik (politeist). Padalah di dalam Islam, musyrik itu merupakan dosa yang paling besar. Musyrik lebih besar dosanya daripada kafir. Manurut golongan ini, termasuk musyrik juga orang- orang Islam yang sepaham dengan ajaran-ajaran al-Azariqah. Bahkan orang-orang Islam yang sepaham dengan al-Azariqah, tetapi mereka tidak berhijrah kedalam lingkungan mereka, mereka juga dipandang sebagai orang yang musyrik. Dengan kata lain, orang-orang dari golongan al-Azariqah sendiri, apabila tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka, juga dianggap sebagai orang musyrik. Selanjutnya al-Bagdadi menyebutkan, bahwa barang siapa yang datang ke daerah mereka, dan mengaku sebagai pengikut alAzariqah, maka mereka tidak dapat diterima begitu saja, sebelum mereka lulus dalam menjalani suatu ujian, yaitu mau membunuh seorang yang ditawan. Kalau ia telah berhasil membunuh tawanan, maka ia diterima sebagai pengikut al-Azariqah yang baik, tetapi apabila ia tidak berhasil membunuh tawanan tersebut maka ia sendirilah yang harus dihukum bunuh. Keengganan membunuh tawanan itu dianggap sebagai bukti bahwa ia berdusta dan sebenarnya ia itu bukan penganut paham al-Azariqah. Bahkan anakanak dan istri-istri orang-orang yang demikian pun boleh ditawan, dijadikan budak ataupun dibunuh. Golongan al-Azariqah ini mempunyai paham, hanya daerah mereka sajalah yang merupakan Dar al-Islam, sedangkan daerah-daerah Islam lainnya merupakan Dar al-Herb, atau Dar al-Kufr, karena itu wajib diperangi. Dan yang mereka pandang musyrik itu bukan hanya orang-orang yang telah dewasa, tetapi juga anak-anak mereka, mereka pandang musyrik.

Golongan al-Azariqah ini jelas mempunyai paham yang sangat ekstrim, sebab menurut paham mereka, hanya mereka sajalah yang sebenarnya Islam. Orang Islam yang berdomisili di luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi. Oleh karena itu kaum al-Azariqah, sebagaimana disebutkan oleh ibn al-Hazm, selalu mengadakan istriradh, yaitu bertanya tentang pendapat atau keyakinan seseorang yang mereka jumpai. Kalau orang tersebut mengaku sebagai orang Islam, tetapi tidak termasuk dalam golongan al-Azariqah, maka mereka pun membunuhnya.

3. An-Nadjat
Nama golongan ini diambil dari nama seorang pemuka dari golongan ini, yaitu; Najdah ibn Amr al-Hanafi. Ia berasal dari daerah Yamamah. Pada mulanya golongan ini ingin menggabungkan diri dengan orang al-Azariqah, tetapi karena dalam kalangan al-Azariqah ini timbul perpecahan, maka mereka tidak jadi menggabungkan diri dengan al-Azariqah. Perpecahan dalam kalangan al-Azariqah itu disebabkan oleh sebagian dari pengikut-pengikut Nafiibnal-Azraq, diantaranya ialah Abu Fudaik, Rasyidal Tawil dan Atiah al-Hanafi, mereka tidak dapat menyetujui paham bahwa pengikut-pengikut alAzariqah yang tidak mau berhijrah ke daerah lingkungan mereka, pandang sebagai golongan musyrik. Mereka juga tidak setuju dengan paham dalam golongan al-Azariqah, bahwa anak-anak dan istri-istri orang yang tak sepaham dengan golongan al-Azariqah itu boleh dibunuh. Setelah memisahkan diri dari Nafi Abu Fudaik dan kawankawannya pergi ke Yamamah. Disinilah mereka dapat membujuk Najdah bergabung dengan mereka dalam menentang Nafi, sehinggah Najdah dan pengikut-pengikutnya membatalkan rencana untuk hijrah ke daerah kekuasaan al-Azariqah. Selanjutnya Abu Fudaik dan pengikut-pengikutnya Najdah bersatu, dan memilih Najdah ibn Amir al-Hanaf sebagai Imam mereka. Mereka tidak mau mengakui lagi Nafi ibn al-Azraq sebagai Imam. Bahkan mereka telah menganggap Nafi telah menjadi kafir, dan orang-orang yang masih mengikutinya pun mereka pandang sebagai orang-orang yang kafir juga. Dalam kalangan khawarij, golongan al-Nadjat inilah kelihatan yang pertama kali membawa paham taqiyah, yaitu paham bahwa seseorang boleh saja merahasiakan atau menyembunyikan keyakinannya atau keimanannya, demi untuk menjaga keamanan dirinya dari musuhnya. Taqiyah menurut pandangan mereka, bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi boleh juga dalam bentuk perbuatan. Jadi seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan boleh melakukan perbuatan-

perbuatan yang mungkin menunjukkan bahwa pada lahirnya ia bukan orang Islam, tetapi pada hakekatnya ia tetap penganut agama Islam. Di kemudian hari terjadilah perpecahan diantara pengikutpengikut al-Najdat. Perpecahan itu disebabkan oleh sebagian pengikut al-Najdat itu tidak dapat menerima bahwa orang yang melakukan dosa kecil itu bisa menjadi dosa besar. Tetapi menurut al-Bagdadi, perpecahan di kalangan mereka itu terutama disebabkan oleh pembagian ghanimah (harta rampasan perang), dan sikap lunak yang dilakukan oleh Najdah terhadap Khalifah Abd al-Malik ibn Marwandari dinasti Bani Umayah. Dalam masalah ghanimah, pernah mereka memperolah harta rampasan dalam peperangan, tetapi mereka tidak mengeluarkan seperlima lebih dulu, mereka langsung membaginya untuk orang-orang yang turut dalam peperangan. Hal ini diangapnya bertentangan dengan ketentuan dalam Al-Quran. Dan sikap lunak yang ditunjukkan oleh Najdah kepada Khalifah Abd al-Malik ialah bahwa dalam serangan terhadap kota Madinah,mereka dapat menawan seorang anak perempuan. Khalifah Abd al-Malik meminta kembali tawanan itu, ternyata permintaan itu dikabulkan oleh Najdah. Sikap seperti itu tentu saja tak dapat diterima oleh sebagian pengikut-pengikut mereka, karena Khalifah Abd al-Malik adalah musuh mereka. Dalam perpecahan itu Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil, dan Atiah al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah. Atiah mengasingkan diri ke Sijistan di Iran, sedangkan Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil mengadakan perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka tangkap dan mereka potong lehernya.

4. Al-Baihasiyah 5. Al-Ajaridah
Golongan ini dinamakan Al-Ajaridah, karena mereka itu adalah pengikut dari Abd Karim ibn Ajrad, yang menurut al-Syahrastani, termasuk salah seorang teman dari Atiah al-Hanafi. Paham al-Ajaridah ini lebih lunak dibandingkan dengan golongangolongan lain dalam kalangan khawarij. Menurut paham mereka, berhijrah bukanlah merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam sebagaimana diajarkan dalam paham al-Azariqah dan paham alNadjat. Bagi mereka berhijrah itu hanyalah merupakan kebajikan saja. Dengan demikian kaum Ajaridah bebas tinggal dimana saja di luar daerah kekuasaan mereka, dan mereka tidak dianggap sebagai orang kafir. Mengenai harta yang boleh dijadikan sebagai harta rampasan perang, menurut mereka, hanyalah harta musuh yang telah mati terbunuh. Kaum Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam Al-Quran membawa cerita tentang cinta. Menurut mereka AlQuran sebagai kitab suci, tidak mungkin mengandung cerita cinta.

Oleh karena itu mereka tidak mengakui surat Yusuf sebagai bagian dalam Al-Quran.
6. As-Saalabiyah

7. As-Sufriyah

Golongan ini dinamakan demikian, karena pemimpin golongan ini ialah Ziad ibn al-Asfar. Golongan Al-Sufriyah ini mempunyai paham yang agak ekstrim dibandingankan dengan yang lain. Diantara pendapat-pendapat mereka itu ialah : a. Orang sufriyah yang tidak berhijrah tidak dianggap menjadi kafir. b. Tidak setuju bahwa anak-anak orang yang musyrik itu boleh dibunuh. c. Selanjutnya tidak semua orang sufriyah sependapat bahwa orang yang melakukan dosa besar itu telah menjadi musyrik. Ada diantara mereka yang membagi dosa besar menjadi dua golongan, yaitu dosa yang diancam dengan hukum dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tidak diancam dengan hukum dunia, tetapi diancam dengan hukuman karena di akhirat, seperti dosa karena meninggalkan shalat atau puasa bulan Ramadhan. Orang yang berbuat dosa besar golongan pertama, tidak dipandang kafir, tetapi orang yang berbuat dosa golongan kedua itulah yang dipandang kafir. d. Daerah golongan Islam yang tidak sepaham dengan mereka, tidak dianggap sebagai dar al-harb, yaitu daerah yang harus diperangi. Menurut mereka, daerah yang boleh diperangi itu hanya daerah maaskar, yaitu markas-markas pasukan musuh. Anak-anak dan wanita-wanit tidak boleh dibunuh atau dijadikan tawanan. e. Menurut mereka kufur itu ada dua macam yaitu : kufr bi inkar al-nimah, yaitu kufur karena mengingkari rahmat Tuhan, dan kufr bin inkar al-rububiyah, yaitu kufur karena mengingkari adanya Tuhan. Karena itu menurut mereka, tidak selamanya sebutan kafir itu mesti diartikan keluar dari Islam. f. Menurut mereka, taqiyah hanya dibolehkan dalam bentuk perkataan saja, dan tidak boleh dalam bentuk perbuatan. Tetapi sungguhpun demikian, untuk menjaga keamanan dirinya, seorang wanita Islam boleh kawin dengan lakilaki kafir, apabila dia berada di daerah bukan Islam.
8. Al-Ibadiyah

Nama golongan ini diambil dari nama seorang pemuka mereka yaitu Abdullah ibn Ibad. Pada mulanya dia adalah pengikut golongan al-Azariqah, tetapi pada tahun 686 M, ia memisahkan diri dari golongan al-Azariqah. Golongan al-Ibadiyah ini merupakan golongan yang paling moderat di bandingkan dengan golongan-golongan khawarij lainnya. Paham moderat mereka itu dapat dilihat dari ajaran-ajaran mereka sebagai berikut : a. Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka, mereka itu bukan mukmin dan bukan pula musyrik, mereka itu adalah

kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan. Syahadat mereka dapat diterima. Membunuh mereka haram hukumnya. b. Daerah orang Islam yang tidak sepaham dengan golongan alIbadiyah, kecuali markas pemerintah, merupakan afar altawhid, yaitu daerah orang yang meng-Esakan Tuhan, karena itu daerah seperti itu tidak boleh diperangi. Sedangkan daerah maaskar pemerintah, bagi mereka merupakan afar al-kufr, karena itu harus diperangi. c. Orang Islam yang berbuat dosa besar, mereka sebut orang muwahhid, yaitu orang yang meng-Esakan Tuhan, tetapi ia bukan orang yang mukmin. Dengan demikian orang Islam yang mengerjakan dosa besar, perbuatannya itu tidak membuatnya keluarnya dari Islam. d. Harta yang boleh dijadikan ghanimah (harta rampasan), hanyalah kuda dan senjata saja. Emas dan perak harus dikembalikan kepada yang empunya. Tidak mengherankan kalau paham moderat seperti yang digambarkan diatas membuat Abdullah ibn Ibad tidak mau turut dengan golongan al-Azariqah dalam melawan Khalifah Bani Umayah. Bahkan sebaliknya ia mempunyai hubungan yang baik dengan Khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Demikian pula Jabir ibn Zaid alAzdi, pemimpin golongan al-Ibadiyah sesudah Ibn Ibad, mempunyai hubungan yang baik dengan al-Hajjah, yang pada waktu itu sedang giat-giatnya memerangi golongan khawarij yang ekstrim. Oleh karena itu, kalau golongan khawarij lainnya telah hilang dan hanya tinggal dalam sejarah saja, maka golongan al-Ibadiah ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Omman dan Arabia Selatan.4

E.

Iman dan Kufur (Kehendak Mutlak Tuhan).

Masalah iman dan kufur. Persoalan itu dimunculkan pertama kali oleh kaum Khawarij, menurut mereka, Karena Ali dan Muawiyah beserta para pendukungnya telah melakukan tahkim, berarti mereka telah berbuat dosa besar. Masalah pelaku dosa besar (Murtakib alKabir) inilah yang berkaitan langsung dengan iman dan kufur. Sebagaimana diketahui bahwa iman itu terdiri dari tiga unsur pokok yaitu pembenaran oleh hati, pengakuan dengan lisan dan perbuatan dengan badan, jika perbuatan seseorang tidak cocok dengan iman, maka ia dianggap kafir (keluar dari Islam).

Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam. Pustaka Setia. Bandung : 1998.

Hal. 153-158

Menurut kaum Khawarij, iman bukan hanya membenarkan dalam hati dan ikrar lisan saja, tetapi amal ibadah menjadi bagian dari iman. Barang siapa tidak mengamalkan ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain, maka kafirlah dia. Sehubungan dengan pelaku dosa besar, kaum Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam (murtad). Adapun yang dipandang dosa besar antara lain berbuat zina, membunuh manusia tanpa sebab yang sah dan orang Islam yang tidak menganut ajarannya, karena ia kafir maka wajib dibunuh.

BAB III

You might also like