You are on page 1of 32

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN THYPOID ABDOMINALIS

LAPORAN KELOMPOK
Fasilitator : Lukman Hakim, S. Kep., Ns

Kelompok 1 :
1. Ika Desti Srimuryani 2. Novika Andriani 3. Shufrotun Nisa 4. Nimatul Faizah 5. Endah Rokhmawati 6. Nuril Huda 7. Megawati 8. Ika Nurul Mutmainnah 9. Rohmatul Khasanah 10. Laily Maita Saputri 11. Siti Mardiyansyah

12. Okvianto Santoso 13. Nuriyatus Saadah 14. Windarti 15. Muhajir 16. M. Arif Jauhari 17. Cholimatun Nisa 18. Izza Nafsia Agustina 19. Risha Ika Cahyani 20. Khoirul Anam 21. Tiara Ayu Putri 22. Kustyo Budi

STIKES NU TUBAN PRODI S-1 KEPERAWATAN


Jalan Letda Sucipto No. 211 Tuban Telp. (0356) 325789 TAHUN AJARAN 2011/2012

KATA PENGANTAR
Pada saat terselesaikannya laporan ini tak ada yang pantas penulis ucapkan kecuali rasa syukur Alhamdulillah kehadirat Illahi Robbi dimana hanya atas limpahan kasih dan Rahmad-Nya, penulis telah dapat menyelesaikan laporan diskusi kelompok yang berjudul Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Thypoid Abdominalis dengan baik. Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Digestive System". Laporan ini kami sajikan secara sistematis agar mudah dipahami oleh pembaca. Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Bapak Lukman Hakim, S. Kep,. Ns selaku fasilitator dari kelompok 1. 2. Kepada rekan-rekanku senasib seperjuangan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa ibarat tak ada gading yang tak retak, tentulah pembuatan laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk itulah kritik dan saran yang membangun dan yang mengarah pada perbaikan pada penyempurnaan laporan ini, sangat penyusun harapkan. Semoga laporan sederhana ini bermanfaat bagi perawat khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Tuban, 4 April 2012

Kelompok

DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Batasan Topik 1.3 Tujuan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Thypoid Abdominalis 2.2 Anatomi Fisiologi Thypoid Abdominalis 2.3 Patofisiologi 2.4 Prinsip Etika Penatalaksanaan Thypoid Abdominalis BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian 3.2 Diagnosa Keperawatan 3.3 Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA i ii iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Thyfus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. penyebab penyakit ini adalah salmonella typosa, basil geram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora . mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen O (somatic, terdiri zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen Vi. Dalam serum pasie terdapat zat anti (aglutinin) terdapat tiga macam antigen tersebut. (Ngastiyah 2002) Insiden demam typoid bervariasi disetiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan, di daerah Rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkunggan dengan pembuanggan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkunggan. (Ari W.Sudoyo 2007) Di Indonesia, thyfus abdominalis terdapat dalam keadaan edemic. Pasien anak yang ditemukan berumur diatas satu tahun sebagian besar pasien yang di rawat dibagian ilmu kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta berumur di atas 5 tahun. Data yang didapat dari Rekam Medik Rumah Sakit Kota Mataram Lombok Barat. Prevalensi penderita Tifus Abdominalis dalam 8 bulan terakhir tahun 2010, dengan perincian berdasarkan jenis kelamin didapatkan kasus terbanyak adalah sebagai berikut pada bulan Maret jumlah penderita sebanyak 10

penderita dengan perincian, 3 laki-laki, 7 perempuan. Pada bulan April jumlah penderita sebanyak 34 dengan perincian, 22 laki-laki, 12 perempuan. Pada bulan Mei jumlah penderita sebanyak 19 dengan perincian, 7 laki-laki, 12 perempuan. Pada bulan Juni jumlah penderita sebanyak 8 dengan perincian, 5 laki-laki, 3 perempuaan. Pada bulan Juli jumlah penderita sebanyak 5 dengan perincian, 3 laki laki, 2 perempuan. Pada bulan Agustus jumlah

penderita

sebanyak

dengan

jenis

kelamin

perempuan. Pada

bulan

September jumlah penderita sebanyak 12 dengan perincian, 4 laki- laki, 8 perempuan. Pada bulan Oktober jumlah penderita sebanyak 28 dengan perincian, 19 laki laki, 9 perempuan. Dari data di atas jumlah penderita yang paling banyak adalah pada bulan April 2010 dengan presentasi penderita sebanyak 30,38 %. Hal ini dapat di sebabkan oleh berbagai faktor salah satunya perantaraan makanan dan minuman yang telah terkontaminasi. singkatnya kuman ini terdapat dalam tinja, kemih atau darah masa ingkubasinya sekitar 10 hari.( Dr.Jan Tambayong,2002 ) Untuk itu untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang

pentingnya hidup sehat melalui penyuluhan kepada keluarga tentang penting hidup sehat, peningkatan pelayanan kesehatan, dan biaya pengobatan yang lebih relative murah perlu kita perhatikan untuk menurunkan angka morbilitas penyakit Tifus Abdominalis. selain itu,penanganan yang tepat sangat di perlukan yaitu, dengan cara tirah baring total selama demam sampai dengan dua minggu normal kembali, makanan harus mengandung cukup cairan, kalori, dan tinggi protein, tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang maupun menimbulkan banyak gas, obat yang digunakan adalah kloramfenikol 100 mg. (Arif Mansjoer, 2000). Pada laporan ini akan di bahas tentang asuhan keperawatan pada pasien Thypoid Abdominalis.

1.2 Batasan Topik


1. 2. 3. 4. 5. Jelaskan konsep dasar Thypoid Abdominalis! Bagaimana anatomi fisiologi Thypoid Abdominalis? Bagaimana patofisiologi penyakit Thypoid Abdominalis? Bagaimana prinsip etika penatalaksanaan Thypoid Abdominalis? Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien Thypoid Abdominalis?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum

Penyusun dapat menerapkan Asuhan Keperawatan pada klien diagnosa medis Thyfus Abdominalis melalui pendekatan

dengan proses

keperawatan sesuai standar keperawatan. 1.3.2 Tujuan Khusus Setelah menyusun Laporan ini, kelompok diharapkan mampu: a) Menjelaskan konsep dasar penyakit Thyfus Abdominalis mulai dari pengertian, penyebab, pathofisiologi/pathways, tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang , penatalaksanaan dan komplikasi. b) Melakukan pengkajian pada klien dengan diagnose medis Thyfus Abdominalis. c) Merumuskan diagnose keperawatan pada klien dengan diagnose medis Thyfus Abdominalis d) Menyusun rencana keperawatan pada klien dengan diagnose medis Thyfus Abdominalis e) Melakukan tindakan keperawatan pada klien dengan diagnose medis Thyfus Abdominalis f) Melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan diagnose medis Thyfus Abdominalis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 KONSEP DASAR THYPOID ABDOMINALIS
2.1.1 Pengertian
Thyfus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran. (Arif Mansjoer,2000) Thyfus Abdominalis merupakan penyakit infeksi bakteri yang hebat yang diawali di selaput lendir usus dan jika tidak segera diobati secara progresif dapat menyerbu jaringan diseluruh tubuh. (Jan Tambayong, 2002). Demam Typhoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi Akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran ( Nursalam, 2005 ). Thyfus Abdominalis (demam typoid, enteric fever) ialah, penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. (Ngastiyah , 2002)

2.1.2 Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah salmonella typhosa yang mempunyai ciri- ciri sebagai berikut : a. Basil garam negatif yang begerak dengan bulu getar dan tidak berspora. b. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu, antigen O (somatiik yang terdiri zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella), dan antigen Vi dalam serum pasien terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.(Nursalam dkk, 2005). c. Selain itu penyakit tipus abdomnalis juga bias didukung oleh faktorfaktor antara lain : pengetahuan tentang kesehatan diri dan lingkungan

yang relative rendah, penyediaan air bersih yang tidak memadai. Keluarga dengan hygiene sanitasi yang rendah, pemasalahan pada identifikasi dan pelaksanaan karier, keterlambatan membuat diagnosis yang pasti, pebogenesis dan faktor virulensi yang belum dimengerti sepenuhnya serta belum tersedianya vaksin yang efektif, aman dan murah (Panyakit dalam Soegeng Soegijanto, 2002).

Salmonella Thyposa

2.1.3 Manifestasi Klinis Thypoid Abdominalis


Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejalagejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini di temukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan menigkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 10c tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta teremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somolen stupor, koma, delerium, atau psikosis. Roseolae jarang di temukan pada orang Indonesia. (Ngastiyah,2005).

Gambaran klinik thypoid abdominalis

2.1.4 Komplikasi
1) Komplikasi Intra Intestine a) Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda- tanda renjatan. b) Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritonium, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang di buat dalam keadaan tegak c) Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang. 2) Komplikasi Extra Intestine Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia), yaitu meningitis, kolesistisis, ensefalopati, dan lain- lain. Terjadi karena infeksi skunder, yaitu bronkopneumonia. (Ngastiyah, 2005).

2.1.5 Prognosis
Umumnya prognosis typhus abdominalis pada adalah baik, asal klien cepat berobat. Mortalitas pada klien yang dirawat adalah 6%.

Prognosis menjadi tidak baik bila terdapat gambaran klinik yang berat seperti: a) Demam tinggi (hipertireksia) atau febris continue b) Kesadaran sangat menurun c) Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, perforasi.

2.1.6 Stadium Febris Thypoid Abdominalis


1) Minggu pertama, disebut stadium incremasi, yaitu masa menaiknya suhu badan. Pada minggu ini keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, obstipasi/diare, perasaan tidak enak pada perut, batuk dan kadangkadang epistaksis. Pada akhir minggu pertama biasa timbul bintik-bintik merah sebesar jarum pentul, bila ditekan hilang. Biasanya timbul pada dada bagian bawah, daerah abdomen bagian atas dan menjalar kedaerah perut, bintik merah ini disebut Roseola atau rosesport, bintik ini belum diketahui jelas sebabnya dan biasanya roseola di Indonesia jarang ditemukan. 2) Minggu kedua disebut stadium acme yaitu masa memuncaknya penyakit atau panas menetap yang disebut febris kontinue. Pada stadium ini suhu berkisar antara 4041C. Gejala lainnya seperti nadi relatif bradikardi, lidah yang khas kotor ditengah-tengah, tepi dan ujung merah, lidah bila dikeluarkan tremor. Timbul hepatomigali, splenomegali dan meteorismus. Gangguan kesadaran yaitu klien gelisah, apatis, somnolen, delirium atau psikose, stupor, koma. 3) Minggu ketiga disebut stadium impihibov atau disebut masa sangsi. Biasanya terjadi penurunan suhu yang krisis dan terjadi kenaikan nadi, bila ditemukan gejala ini harus hati-hati menandakan adanya timbul komplikasi seperti perdarahan. 4) Minggu ke empat disebut stadium deternasi yaitu masa penurunan panas suhu berangsur-angsur turun, nafsu makan mulai ada, badan merasa enak. Pada akhir minggu ke empat, yang disebut rekofalesent

yaitu yang disebut masa penyembuhan. Pada minggu ini keadaan umum pasien baik, badan sudah segar dan kuat, nafsu makan baik.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Rutin Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering di temukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi skunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah darah pada demam tifoid dapat meningkat. b. Uji Widal Uji widal di lakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakanpada uji widal adalah suspensi Salmonelle yang sudah dimatikan dan di olah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: 1) Aglutinin O ( dari tubuh kuman ) 2) Aglutinin H ( flagela kuman ) 3) Aglutinin Vi ( simpai kuman ) Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap di jumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan.

Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menetukan kesembuhan penyakit. c. Kultur darah Hasil biakan darah yang positf memastikan demam tifoid, akan tertapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut: 1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapatkan antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif. 2) Volume darah yang kurang (kurang lebih 5cc darah). Bila darah yang di biak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang di ambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan kedalam media cair empedu. 3) Riwayat vaksinal. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan anti bodi dalam darah pasien. Anti bodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif. (Aru W.Sudoyo dkk,2007)

2.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI THYPOID ABDOMINALIS


1. ANATOMI SISTEM PENCERNAAN

Gambar anatomi sistem pencernaan

Organ yang termasuk saluran pencernaan antara lain: 2006)

(Syaifudin,

1) Oris (Mulut) Mulut adalah permulaan dari saluran pencernaan yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang di antara gusi, gigi, bibir dan pipi di bagian dalam, yaitu rongga mulut yang di batasi sisinya oleh tulang maxilaris, palatum dan mandibularis dibagian belakang bersambung dengan fharing. Atap mulut di bentuk oleh palatum yang terdiri atas dua bagian yaitu palatum durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari sebelah depan tulang maxilaris dan lebih ke belakang terdiri dari dua tulang palatum. Palatum mole (palatum lunak) terletak dibagian belakang yang merupakan lipatan mengngantung yang dapat bergerak, terdiri dari jaringan fibrosa dan selaput lendir. Sedangkan lidah terletak di lantainya dan terikat pada tulang hioid, di garis tengah sebuah lipatan memberan mukosa atau (prenulum linguas) menyambung lidah dengan lantai mulut. 2) Fharing (Tenggorokan) Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan. Di dalam lengkungan fharing terdapat tonsil, yaitu kalenjar limfe yang banyak mengandung limposit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi. Faring terletak di belakang hidung, mulut, dan laring. Fharing merupakan saluran berbentuk kerucut dan bahan memberan berotot (muskulo memberanosa) dengan bagian terlebar di sebelah atas dan berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebrata servikal ke IV, yaitu ketinggian tulang rawan krekoid, tempat fharing bersambung dengan esofagus. Panjang fharing kira-kira 7 cm di bagi atas tiga bagian yaitu nasofharing bermuara pada tuba yang menghubungkan tekak dengan gendang telinga. Pada bagian media di sebut dengan orofaring, bagian ini terbatas sampai di akar lidah, sedangkan di bagian anterior di sebut dengan laringofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring. 3) Esophagus (Kerongkongan) Merupakan saluran yang menghubungkan antara tekak dengan lambung, panjangnya 25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di bawah lambung. lapisan dinding dari dalam keluar adalah lapisan Selaput

lendir, lapisan submukosa, lapisan otot melingkar sirkular dan lapisan otot memanjang longitudinal. Eshopagus terletak dibelakang trakhea dan didepan tulang punggung setelah mulalui thoraks menembus diafragma masuk kedalam abdomen menyambung dengan lambung. 4) Gaster (Lambung) Merupakan bagian saluran yang dapat mengembang paling banyak terutama didaerah epigastrik lambung terletak terutama di daerah epigastrik dan sebagian disebelah kiri daerah hopokondria dan umbilical. lambung terdiri dari bagian atas yaitu fundus ventrikuli bagian yang menonjol keatas terletak disebelah kiri osteom kardium, suatu lekukan pada bagian bawah kurpatura minor, susunan lapisan lambung dari dalam keluar terdiri dari lapisan selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot miring, lapisan otot panjang, lapisan jaringan ikat atau serosa. 5) Intestinum Minor (Usus Halus) Usus halus adalah tabung yang panjangnya + 2,5 m usus alus memanjang dari lambung sampai katup iliokolika tempat tersambungnya dengan usus besar. Usus halus terletak didaerah umbilicus dan dikelilingi oleh usus dalam beberapa bagian, yaitu: Duodenum merupakan bagian pertama usus halus yang panjangnya 25 cm berbentuk sepatu kuda dan kepalanya megelilingi kepala pankreas saluran empedu dan saluran pankreas masuk kedalam duodenum pada suatu lubang yang disebut ampula hepatopangkeratika atau ampula fateri. Jejenum menempati dua perlima sebelah atas dari usus alus dengan panjang + 2,3 m dari ilium. Ilium dan jejenum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritonium yang berbentuk kipas, di kenal sebagai misentrium. Dinding usus halus terdiri atas empat lapisan yang sama dengan lambung, dinding luar adalah membran serosa, yaitu peritonium yang membalut usus dengan erat. Dinding lapisan berotot terdiri atas dua lapisan serabut longitudinal dan di bawahnya ada lapisan tebal teridiri atas serabut sirkuler. Fungsi usus halus adalah menerima zat-zat makanan yang

sudah di cerna untuk di serap melalui kapiler-kapiler darah dan saluran limfe. 6) Intestinum Mayor (Usus Besar) Panjangnya 1,5 meter yang merupakan sambungan dari usus halus, mulai dari katub ilokolik atau ileosekal yaitu tempat yang di lewati oleh sisa makanan. Fungsi usus besar adalah menyerap air dari makanan, tempat tinggal dari bakteri coli dan sebagai tempat feces. Lapisan usus besar terdiri dari empat lapisan dari dalam keluar, yaitu selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang dan jaringan ikat. 7) Rektum & Anus Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda buang air besar. Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Suatu cincin berotot (sfingter ani) menjaga agar anus tetap tertutup.

2. FISIOLOGI SISTEM PENCERNAAN Sistem pencernaan (mulai dari mulut sampai anus) berfungsi sebagai berikut : 1) 2) Menerima makanan Memecah makanan menjadi zat-zat gizi (suatu proses yang disebut pencernaan) 3) 4) Menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah Membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna dari tubuh

Jumlah makanan yang dicerna seseorang dan jenisnya adalah tergantung dari kemauan ddan seleranya. Mekanisme ini ada dalam tubuh seseorang dan merupakan sistem pengaturan yang otomatis. Makanan masuk melalui mulut kemudian dikunyah oleh gigi, gigi

anterior (insisivus) menyediakan kerja memotong yang kuat dan gigi posterior (molar), kerja menggiling. Semua otot rahang yang bekerja dengan bersamasama dapat mengatupkan gigi dengan kekuatan sebesar 55 pound pada insisivus dan 200 pound pada molar. Setelah itu makanan ditelan, menelan merupakan mekanisme yang kompleks, terutama faring yang hampir setiap saat melakukan fungsi lain disamping menelan makanan dan hanya diubah dalam beberapa detik dalam traktus untuk mendorong makanan. Esophagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan dari faring kelmbung dan gerakannya diatur secara khusus untuk melakukan fungsi tersebut. Fungsi lambung ada tiga, yaitu penyimpanan sejumlah besar makanan sampai makanan dapat diproses didalam duodenum, pencampuran makan ini dengan sekresi setengan cair yang disebut dengan kimus. Pengosongan makanan dengan lamat dari lambung ke usus halus pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi yang tepat oleh usus halus. Makan akan digerakkan dengan melakukan gerakan pristaltik. Pristaltik usus yang normal adalah 12 kali per menit. Makanan kemudian akan didorong ke usus besar dan akan diabsorpsi baik air, elektrolit, dan penimbunan bahan feces di rektum sampai dapat dikeluarkan melalui anus melalui proses defekasi.

2.3 PATOFISIOLOGI
Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman yang terkontaminasi, setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah (bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial sistem (RES) terutama hati dan limpa.

Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang tidak difagosit berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi usus. Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin. Endotoksin ini merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam. Makrofag pada pasien akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokines yang menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang imun sistem, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang dan panas. Infiltrasi jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosist sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai tifoid sel. Bila sel ini beragregasi maka terbentuk nodul terutama dalam usus halus, jaringan limfe mesemterium, limpa, hati, sumsum tulang dan organ yang terinfeksi. Kelainan utama yang terjadi di ileum terminale dan plak peyer yang hiperplasi (minggu I), nekrosis (minggu II) dan ulserasi (minggu III). Pada dinding ileum terjadi ulkus yang dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi intestinal. Bila sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut. (Arif Mansjoer, 2001).

2.4 PRINSIP ETIKA PENATALAKSANAAN THYPOID ABDOMINALIS


a) Perawatan 1. Klien tirah baring absolut sampai minimal 7 hari sampai demam tulang atau kurang lebih 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan/perforasi usus. 2. Mobilisasi klien dilakukan secara bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada komplikasi perdarahan (sesuai kekuatan klien). 3. Posisi tubuh klien harus diubah-ubah tiap 2 jam untuk menghindari terjadinya dekubitus, komplikasi pneumia hipostatik. b) Diet

1. Diet yang sesuai, cukup kalori, tinggi protein, cukup cairan,tidak boleh mengandung banyak serat, dan tidak merangsang maupun menimbulakan gas. 2. Makanan diberikan secara bertahap disesuaikan dengan penyakitnya (mulamula cair, saring, lunak, makanan biasa). Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring. 3. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim. 4. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari. c) Obat-obatan Pengobatan antibiotika pada penderita Typhus andominalis akan memperpendek perjalanan penyakit, mengurangi komplikasi dan mengurangi angka kematian kasus. Obat-obat simtomatik sebenarnya tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien karena tidak banyak berguna (sesuai dengan penyakit) misalnya: 1) Antipiretik 2) Kortikosteroid (diberikan pada pasien yang toksik) 3) Suportif (vitamin-vitamin) 4) Penenang (diberikan pada pasien dengan gejala neuroprikatri). Sedangkan obat-obatan antimikrobia yang sering diberikan antara lain: 1) Klorampenikol Dengan klorampenikol, demam turun rata-rata setelah lima hari. Dosis untuk orang dewasa 4 kali 500mg/hari secara oral sampai 7 hari bebas demam. 2) Tiampenikol Dosis dan efektifitas tiampenikol pada penderita Typhus abdominalis sama dengan klorampenikol. Demam rata-rata turun setelah 5-6 hari. 3) Kotrimoxazol (kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol) Efektifitas kotrimoxazol kurang lebih sama dengan klorampenikol. Demam turun rata-rata setelah 5-6 hari. Dosis dewasa 2 kali 2 tablet sampai 7 hari bebas demam. Setiap tabletnya mengandung 80 mg Trimetoprim dan 400 mg Sulfametoksazol. 4) Amoxicilin dan ampicillin

Dalam kemampuannya untuk menurunkan demam, efektifitasnya lebih kecil dibandingkan dengan klorampenikol. Digunakan sampai 7 hari bebas demam, denagn ampicilin dan amoxicillin demam turun rata-rata setelah 79 hari. 5) Sefalosporin generasi ketiga Sefalosporin generasi ketiga antara lain Sefaperozon, Seftriakson, dan Sefotaksim. Dosis dan lama pemberian belum diketahui dengan pasti. 6) Fluorokinolon Dosis dan lam pemberian belum diketahui dengan pasti.

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN


Kasus Pemicu
Nn. MW MRS dengan keluhan panas tinggi naik turun, susah makan dan nyeri tenggorokan. Dari pemeriksaan fisik di dapatkan S=38,5C, N=84x/menit, TD=120/80 mmHg, RR=32x/menit, adanya nyeri tekan perut sebelah kanan bawah, lidah kotor dan di dapatkan dari pemeriksaan darah lengkap diperoleh widal 1/200.

3.1 Pengkajian
LEMBAR PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Tanggal MRS : 26 Maret 2012 Jam Masuk No. RM : 09.30 WIB : 138414

Tanggal Pengkajian: 26 Maret 2012 Jam Pengkajian IDENTITAS Identitas anak Nama Umur Pendidikan Jenis kelamin Suku/Bangsa Alamat : Nn. MW : 20th : SMA : Perempuan : Jawa/Indonesia : Probolinggo : 10.00 WIB

Identitas Penanggung jawab Nama Pekerjaan Pendidikan Alamat : Ny. R : Wiraswasta : SMA : Probolinggo

Hubungan dengan klien : Ibu

Sumber informasi : Klien dan keluarga RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG 1. Keluhan Utama Klien mengeluh panas 2. Riwayat Penyakit Saat ini : :

Klien mengatakan mengalami panas tinggi naik turun sejak 5 hari yang lalu. Panas turun pada pagi hari dan meningkat saat sore dan malam hari. Kemudian klien beli obat di apotek terdekat. Setelah dua hari pasien masih demam disertai nyeri tenggorokan, sakit perut, mual muntah setiap kali makan dan tidak nafsu makan. Kemudian oleh ibunya klien langsung di bawa ke UGD RSNU kamis, 29 Maret 2012 jam 09.30 WIB.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Klien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Penyakit yang pernah dialami klien adalah sakit biasa seperti batuk, pilek dan demam. Biasanya hanya di belikan obat dari apotek dan sembuh. Klien tidak pernah dirawat di RS sebelumnya.

RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA Klien mengatakan bahwa anggota keluarganya tidak ada yang pernah menderita penyakit seperti yang dialami Klien.

OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK 1. Tanda tanda vital Keadaan Umum : 1) 2) Klien tampak lemah, bibir kering dan pecah-pecah. Klien tampak berkeringat banyak.
Masalah Keperawatan : Gg. Keseimbangan suhu tubuh

(hiperthermi) Pola napas tidak efektif

Tanda Vital : S : 38,5C ; N : 84 x/menit ; T : 120/80 mmHg ; RR :32 x/menit Kesadaran : Apatis (E=3 V=5 M=5)

2. Sistem Pernafasan B1 a. Keluhan : Sesak (+) b. Batuk : Produktif (-) Nonproduktif(-) Nyeri waktu nafas (-)
Masalah Keperawatan : Pola napas tidak efektif

c. Irama nafas : tidak teratur d. Suara nafas : Vesikuler e. Alat bantu napas : tidak ada Lain-lain : -

3. Sistem Kardio vaskuler B2 a. Keluhan nyeri dada : tidak b. Irama jantung : reguler c. S1/S2 tunggal : ya d. Suara jantung : normal e. CRT : 2 detik f. Akral : panas g. JVP : normal Lain-lain : Masalah Keperawatan : tidak ada

4. Sistem Persyarafan B3 a. GCS : apatis (E=3 V=5 M=5) b. Keluhan pusing : ya c. Pupil : Isokor d. Sclera/Konjunctiva : normal e. Gangguan pandangan : tidak f. Gangguan pendengaran : tidak g. Gangguan penciuman : tidak
Masalah Keperawatan :

Resiko cidera

5. Sistem perkemihan B4 a. Kebersihan : Bersih b. Produksi urine : 1500ml/hari c. Kandung kemih : Membesar : tidak Nyeri tekan : tidak d. Intake cairan oral : 1500cc/hari e. Alat bantu kateter : tidak Lain-lain : Masalah Keperawatan : tidak ada

6. Sistem pencernaan B5 a. Lidah : kotor b. Mukosa : kering c. Tenggorokan


Masalah Keperawatan : - Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh - Gg. Rasa nyaman nyeri

Sakit menelan (-) Pembesaran tonsil (-) d. Abdomen : nyeri (+) e. Peristaltik : 29 x/menit f. BAB : 3x/hari, Konsistensi cair g. Diet : cair h. Nafsu makan : menurun i. Porsi makan : habis porsi Lain-lain: Frekuensi: 2x/hari

7. Sistem muskuloskeletal dan integumen B6 a. Pergerakan sendi : bebas b. Kekuatan otot 4 4 4 4 c. Kelainan ekstremitas : tidak d. Kelainan tulang belakang : tidak e. Fraktur : tidak f. Traksi/spalk/gips : tidak g. Kulit : warna sawo matang h. Turgor : buruk Lain-lain: Masalah Keperawatan : Intoleransi aktifitas

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Darah Lengkap Parameter Hemoglobin Leukosit Diff count Limfosit Monosit Trombosit 2. Uji Widal a. Widal O = 1/200 46 % 7% 20-40 2-8 Tinggi Normal Hasil/satuan 13,8 g/dl 11.100/l Nilai normal 12-14 4000 11.000 Interpretasi Normal Tinggi

179.000/ l

150.000 400.000

Normal

b. Widal H = 1/160 ANALISA DATA DATA Ds : - Klien mengatakan Kuman endotoxin Do : Keadaan umum : Bibir tampak kering Merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit mengeluarkan ETIOLOGI Bakteremia MASALAH Gg. Keseimbangan suhu tubuh (Hiperthermi)

badannya terasa panas.

dan pecah-pecah, klien tampak banyak. TTV : S :38,5 0C Pemeriksaan fisik : Akral panas Pemeriksaan darah rutin: Leukosit 11.100/l Limfosit 46 % Uji widal Widal O = 1/200 Widal H = 1/160 Ds : - Klien mengatakan mual dan muntah setiap kali makan - Klien mengatakan tidak nafsu makan berkeringat

Menstimulasi termoregulator

pusat

Peningkatan suhu tubuh

Gg. Keseimbangan suhu tubuh (Hiperthermi)

Akumulasi sel tifoid di ileum terminal sbg tempat infeksi utama

Perubahan

nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh

HCl meningkat

Mual, muntah Do : Keadaan umum Anoreksia

Klien tampak lemah Pemeriksaan fisik Lidah kotor Hanya mampu Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

menghabiskan porsi makan Pola makan 2x sehari BB turun dari 50 kg menjadi 47 kg

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. 2. Gg. Keseimbangan suhu tubuh (hiperthermi) b.d proses peradangan. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual muntah.

3.3 Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


Hari/tgl Senin, 26 Maret 2012 No.diagnosa Diagnosa 1 Tujuan : Dalam waktu 1x8 jam suhu tubuh dalam Intervensi 1. Berikan kepada keluarga peningkatan tubuh. 2. Lakukan Criteria hasil : hangat. minum yang kompres Rasional klien dan Jam/ tgl Implementasi 1. Memberikan penjelasan Evaluasi S : Klien mengatakan badannya masih TTD

penjelasan 1. Agar klien dan

keluarga mengetahui sebab dari suhu membantu mengurangi kecemasan timbul. yang peningkatan dan

tentang suhu

kepada klien dan panas keluarga tentang O : peningkatan suhu tubuh. 2. Lakukan kompres hangat. 3. Memberikan paracetamol dan ceftriaxone Mg 400 Suhu 37,8oC Klien minum 8 gelas/hari Bibir klien aksila

batas normal

1. Klien mengatakan 3. Beri badan sudah tidak panas lagi 2. Suhu aksila 36,537,5oC 3. Klien minimal gelas/hari 4. Bibir kering klien lagi minum

banyak 2500cc/hari.

4. Anjurkan klien untuk 2. Membantu memakai pakaian menurunkan suhu tubuh. 3. Peningkatan tubuh mengakibatkan penguapan tubuh suhu

masih tampak kering dan

tipis dan menyerap keringat.

pecah-pecah Akral masih

4. Menganjurkan klien untuk

8 5. Observasi suhu tiap 4 jam sekali. tidak 6. Kolaborasi : berikan dan paracetamol kalau

teraba panas

memakai pakaian A : Masalah teratasi tipis menyerap dan sebagian P : Lanjutkan

meningkat sehingga

tidak pecah 5. Akral hangat

perlu dan ceftriaxone 400 Mg pada jam

perlu dengan

diimbangi asupan

keringat.

intervensi no. 3, 4, 5,

5. Memberi minum 6 yang banyak

10.30, 18.30, 02.30

cairan yang banyak. 4. Pakaian yang tipis akan lebih mudah untuk keringat, menghilangkan hambatan pengeluaran panas lewat udara. 5. Tanda-tanda merupakan vital acuan menyerap

2500cc/hari. 6. Observasi suhu

tiap 4 jam sekali.

untuk mengetahui keadaan pasien. 6. Antipiretik berfungsi langsung ke hipotalamus umum

untuk menurunkan panas antibiotik menghambat proses infeksi Senin, 26 Maret 2012 Diagnosa 2 Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam mampu mempertahankan kebutuhan adekuat. nutrisi 3. 2. 1. Jelaskan pada klien 1. Meningkatkan dan tentang keluarga manfaat pengetahuan klien tentang nutrisi 1. Menjelaskan pada S : Klien mengatakan klien dan keluarga nafsu tentang makan dan dapat

manfaat meningkat dan tidak mual lagi

makanan/nutrisi. Kaji pola dan nafsu makan klien Anjurkan untuk

sehingga motivasi untuk meningkat. makan

makanan/nutrisi.

2. Mengkaji pola dan O : nafsu makan klien 3. Menganjurkan klien untuk 1 Klien menghabiskan porsi yang sediakan Klien tidak makan di

klien 2. Mengetahui pola dan 1 kebiasaan

Criteria hasil : Klien mengatakan nafsu meningkat tidak mual Mampu makan dan

menghabiskan porsi dengan makan

makan klien dapat menentukan intervensi selanjutnya

menghabiskan porsi dengan makan

makanan cara di

makanan cara di

sedikit-

sedikit-

tampak lemah BB 49,5 kg

sedikit dan diberi 3. Menghindari jeda. refluks makanan.

sedikit dan diberi jeda.

A : Masalah teratasi

menghabiskan porsi makan yang di sediakan Tidak lemah BB meningkat tampak

4.

Anjurkan untuk

klien 4. Memberi melakukan mulut dan segar bertujuan menjaga kebersihan sehingga keinginan makan selama 5. Menurunkan kebutuhan Beri metabolik mencegah

rasa dan untuk

4. Menganjurkan klien melakukan perawatan mulut sebelum dan

Hentikan

untuk intervensi

perawatan sebelum

sesudah makan 5. Dorong tirah baring dan pembatasan aktivitas atau

timbul untuk

sesudah makan 5. Mendorong tirah baring dan atau pembatasan aktivitas selama

fase sakit akut 6. Kolaborasi :

untuk

fase sakit akut 6. Memberi nutrisi

nutrisi sesuai diit bubur saring +

penurunan kalori dan energi. simpanan

sesuai diit bubur saring kalori protein. 7. Memberikan antasida 3x1 dan vit. B komplek + tinggi tinggi

tinggi kalori tinggi protein. 7.

Kolaborasi : Berikan 6. Meningkatkan antasida 3x1 dan vit. B komplek 3x1. asupan nutrisi dan mencegah perforasi usus

7. Antasida mengurangi rasa mual dan muntah. Vit. B komplek

3x1.

memenuhi kebutuhan vitamin meningkatkan nafsu makan dan

KESIMPULAN
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah. Bakteri tersebut terdapat pada air atau makanan yang terkontaminasi oleh manusia pembawa bakteri tersebut. Bakteri tersebut menyebar pada manusia sekitarnya. Setelah melalui asam lambung, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II. Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang dll. Imunulogi humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla intraseluler

DAFTAR PUSTAKA
Ali Zaidin (2002), Dasar-dasar keperawatan professional, Widia Medika. Jakarta. Aru .W. Sudoyo (2007), Ilmu Penyakit Dalam, Departemen, Jakarta Diagnosa (2007). Nanda (NIC & NOC). EGC: Jakarta Isti Handayaningsih (2009). Dokumentasi Keperawatan DAR Sari Buku Keperawatan. Jogjakarta Mansjoer Arif (2002) Kapita Selekta Kedokteran, Media Auskullapius. FK-UI Jakarta. Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta. Noer Sjaifoellah (2004) Ilmu Penyakit Dalam. EGC: Jakarta Nursalam (2001). Proses dan Dokumentasi Keperawatan, Salemba Media, Surabaya. Nursalam (2005) Asuhan Keperawatan Pada Bayi dan Anak (Perawat dan Bidan), Salemba Medika. Jakarta. Suarli (2009) Manajemen Keperawatan Dengan Pendekatan Praktis. Erlangga. Jakarta. Syaifudin, Drs. H.(2006) Anatomi fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. EGC.Jakarta. Tambayong, Jan (2000). Patofisiologi Untuk Keperawatan, EGC, Jakarta.

You might also like