You are on page 1of 5

Goa Gajah, Peninggalan Sejarah Abad ke-11

Beritabali.com, Gianyar. Sebuah lokasi wisata yang terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu, Kabupaten Gianyar, sekitar 27 km dari Denpasar. Goa gajah berasal dari kata Lwa Gajah, sebuah kata yang muncul pada lontar Negarakertagama yang disusun oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Goa Gajah dibangun pada abad ke-11 Masehi , pada saat Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten berkuasa. Goa ini dijadikan sebagai tempat pertapaan, yang dibuktikan dengan adanya ceruk-ceruk di dalam goa. Selain itu di sekitar goa juga terdapat kolam pertitaan dengan tujuh patung widyadarawidyadari yang sedang memegang air suci. Total patung ada tujuh, tetapi ketika saya kesana jumlahnya tinggal enam saja, satu patung menurut petugas dipindahkan ke lokasi lain, akibat gempa beberapa tahun yang lalu. Enam patung ini merupakan symbol dari tujuh sungai suci di India, yang merupakan tempat kelahiran agama Hindu dan Budha. Pura ini memiliki banyak peninggalan purbakala. Karena itu pura ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan asing maupun domestik. Pura ini dapat dibagi menjadi tiga bagian. Ada bangunanbangunan suci Hindu yang amat tua sekitar abad ke-10 Masehi. Ada bangunan suci Hindu berupa pelinggih-pelinggih yang dibangun setelah abad tersebut. Sedangkan yang ketiga ada bangunan peninggalan agama Buddha yang diperkirakan oleh para ahli sudah ada sekitar abad ke-8 Masehi sezaman dengan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Di ceruk bagian timur goa terdapat tiga Lingga besar berjejer di atas satu lapik, sedangkan di bagian baratnya terdapat arca Ganesa di goa berbentuk T. Jadinya di bagian hulu atau keluwan goa ada tiga Lingga simbol Siwa atau Sang Hyang Tri Purusa. Sedangkan di bagian teben adalah arca Ganesa yaitu putra Siwa dalam sistem pantheon Hindu. Karena adanya arca Ganesa inilah menurut Miguel Covarrubias goa ini bernama Goa Gajah. Fungsi Dewa Ganesa dalam sistem pemujaan Hindu adalah sebagai Wighna-ghna Dewa dan sebagai Dewa Winayaka. Wighna artinya halangan atau tantangan. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Ganesa adalah pemujaan untuk mendapatkan tuntunan spiritual agar memiliki ketahanan diri dalam menghadapi berbagai halangan atau tantangan hidup. Ganesa dipuja sebagai Dewa Winayaka adalah untuk mendapatkan tuntunan Tuhan dalam mengembangkan hidup yang bijaksana. Kemampuan menghadapi tantangan dan mengembangkan kebijaksanaan ini sebagai langkah awal untuk meraih hidup yang damai dan sejahtera di bumi ini. Di depan goa terdapat arca Pancuran dalam sebuah kolam permandian sakral yang karena zaman tertimbun tanah. Saat Kriygsman menjabat kepala kantor PUrbakala di Bali, maka tahun 1954 permandian itu digali. Di permandian itu terdapat arca Widyadara dan Widyadhari. Arca pancuran ini ada enam buah. Tiga berjejer di bagian utara dan tiga di bagian selatan. Arca bidadari ini diletakkan di atas lapik teratai atau padma. Padma adalah simbol alam semesta stana Hyang Widhi. Di tengahnya ada arca laki simbol Widyadhara. Enam arca Widyadhari ini mengalirkan air dari pusat arca dan ada yang dari susu arca. Air yang mengalir di kolam itu sebagai simbol kesuburan. Tujuan

pemujaan Tuhan dengan simbol Lingga sebagai media untuk memotivasi munculnya kesuburan. Lingga itu dibagi menjadi dua bagian yaitu alasnya disebut Yoni simbol Predana dan yang berdiri tegak di atas yoni itu disebut Lingga. Bagian bawah lingga berbentuk segi empat simbol Brahma Bhaga, di atasnya berbentuk segi delapan simbol Wisnu Bhaga. Di atas segi delapan berbentuk bulat panjang. Inilah puncaknya sebagai Siwa Bhaga. Dalam upacara pemujaan Lingga ini disiram air atau dengan susu. Air atau susu itu ditampung melalui saluran yoni. Air itulah yang dipercikan ke sawah ladang memohon kesuburan pertanian dan perkebunan. Arca pancuran itu lambang air mengalir untuk membangun kesuburan pertanian dalam arti luas. Dalam Canakya Nitisastra, air itu dinyatakan salah satu dari tiga Ratna Permata Bumi. Tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan serta kata-kata bijak sebagai dua Ratna Permata lainnya. Bangunan suci Hindu di Pura Goa Gajah di samping ada bangunan peninggalan Hindu pada zaman eksisnya Hindu Siwa Pasupata pada zaman berikutnya ada pura sebagai pemujaan Hindu pada zaman Hindu Siwa Siddhanta telah berkembang. Karena itu di sebelah timur agak ke selatan Goa Gajah itu ada beberapa pelinggih. Ada Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai Pelinggih Pesimpangan Batara di Gunung Agung dan Gunung Batur. Ada Pelinggih Gedong sebagai pelinggih leluhur para gusti di Bedaulu. Ada pelinggih Ratu Taman sebagai pemujaan Batara Wisnu sebagai dewanya air. Sebagaimana pura pada umumnya terdapat juga beberapa bangunan pelengkap. Seperti pelinggih Pengaruman sebagai tempat sesaji untuk persembahan saat ada upacara, baik upacara piodalan maupun karena ada hari raya Hindu lainnya. Peninggalan yang lebih kuno dari peninggalan Hindu di Pura Goa Gajah adalah adanya peninggalan agama Buddha. Di luar goa di sebelah baratnya ada arca Buddhis yaitu Dewi Hariti di Bali disebut arca Men Brayut. Arca ini dilukiskan sebagai seorang wanita yang memangku banyak anak. Dalam mitologi agama Buddha, Hariti ini pada mulanya seorang wanita pemakan daging manusia terutama daging anak-anak. Setelah Hariti ini mempelajari ajaran Sang Budsha, Hariti akhirnya menjadi seorang yang sangat religius dan penyayang anak-anak. Di sebelah selatan Goa Gajah melalui parit diketemukan arca Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba. Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba ini dalam sistem pantheon Buddha Mahayana sebagai Buddha pelindung arah barat alam semesta. Demikian tiga wajud bangunan keagamaan Hindu dan Buddha di Pura Goa Gajah. (bb.com/berbagai sumber)

Peninggalan Sejarah, Pura Samuan Tiga


Tempat ini adalah salah satu peninggalan sejarah yang ada di Kabupaten Gianyar, keberadaan pura ini di mulai dari dipilihnya tempat ini sebagai tempat pertemuan setelah terjadinya pertikaian antar sekte keagamaan yang ada di Bali pada waktu pemerintahan Raja Udayana dan permaisuri Putri Mahendradatta dimana pertemuan tersebut diprakarsai oleh Mpu Kuturan. Dalam persamuan antar sekte tersebut diambil kesepakatan soal leburnya paham sekte-sekte, sehingga disepakati pemujaan hanya terhadap tiga dewa yang disebut Batara Tri Murti yaitu Brahma,Wisnu dan Siwa, dari

pertemuan di tempat ini juga muncul Konsep Kahyangan Tiga ( Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem ) lokasi pura ini berada sekitar 200 m dari persimpangan Bedulu kearah timur, dari peristiwa tersebut diataslah pada abad ke 11 kemungkinan mengacu nama untuk pura ini. Di Pura Ini pada saat piodalan diadakan suatu ritual agama yang sangat menarik dan unik yakni ritual bernama Mesiat Sampian keunikan ritual ini bisa dilihat pada piodalan pura pada waktu Purnama Jehsta ( Kesebelas ).

CANDHI BUDDHA KALIBUKBUK


Dengan selesainya bangunan candi bersejarah itu yang sudah lama ditunggu, maka masyarakat langsung menyambutnya dengan antusias. Mereka menyatakan sukur kehadapan Ida Sangyang Parama Wisesa dengan membuat upacara pecaruan terhadap lingkungan dan upacara pengurip-urip terhadap bangunan yang baru selesai itu. Upacara seperti itu memang telah menjadi kebiasaan masyarakat Bali yang memeluk agama Hindu. Upacara dilakukan hari berikutnya, yaitu tanggal 17 Januari 2009 bertepatan dengan hari Tumpek Landep, hari yang baik untuk melaksanakan upacara Dewa Yadnya. Walapun hari itu adalah hari Tumpek Landep yang sibuk dengan upacara seperti piodalan di Pura dan di Sanggah / Pamerajan namun upacara di Candi Buddha cukup meriah walau dalam keserdahaan. Dalam lingkup desa hadir Bapak Perbekel Desa Kalibukbuk dengan para Kelian Banjar/ Dusun, Kalibukbuk, Banyualit dan Celukbuluh. Demikian juga para Kelian Desa Pakraman, Banyualit dan Kalibukbuk. Hadir juga para Pemangku Kayangan Desa tidak ketinggalan para Pemangku Dadia dan masyarakat yang mengetahui adanya upacara tersebut. Yang istimewa adalah Bapak Drs I Made Suantra, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali-NTB-NTT dalam kesibukannya sempat hadir beserta beberapa orang Staf. Beliau juga sempat memberikan pencerahan perihal makna dari candi peninggalan sejarah dan manfaatnya bagi masyarakat

Candi Buddha di Kalibukbuk adalah peninggalan pada abad antara ke 9 / 10. Pada abad itu telah berkembang ajaran Buddha di Jawa Tengah pada jaman Mataram kuno dan pada jaman raja Empu Sindok bergeser ke Jawa Timur. Empu Sindok beragama Ciwa, namun agama Buddha Tantrayana juga diberikan berkembang. Seni budaya tumbuh dengan suburnya. Empu Sindok mempunyai cicit perempuan bernama Mahendradatta pergi ke Bali, kawin dengan raja Bali yang bernama Warmadewa Udayana. Mahendradatta bergelar Gunapriyadharmapatni yang rupanya lebih berpengaruh dalam bidang kerohian daripada sang raja Udayana yang penganut Buddha Mahayana. Dari pasangan ini melahirkan Erlangga yang kemudian menjadi raja di Kediri Jawa Timur. Di Pulau Bali pada jaman Bali Kuna terdapat sekitar sembilan sekte keagamaan, yaitu Bhairawa, Pasupata, Siwa Sidanta, Waisnawa, Budha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Terjadilah persaingan yang sangat

tajam di antara mereka. Masing-masing sekte menyatakan bahwa dewa pujaan mereka sendiri (istadewata) adalah yang paling utama sedangkan yang lain dianggap lebih rendah. Jadi, dari bidang keagamaan kondisi masyarakat Bali jaman itu terancam konflik. Walaupun tidak mengganggu jalannya pemerintahan, namun kondisi seperti itu menjadi pengamatan Sri Gunapriyadharmapatni beserta raja Udayana, sehingga perlu mendatangkan Empu Kuturan dari Jawa untuk diangkat sebagai Senapati namun beliau menolak. Tetapi Empu Kuturan kemudian berhasil menjadi Ketua Majelis "Pakira-kiran I Jro Makabehan". Empu Kuturan yang sebagai penganut ajaran Buddha sangat memperhatikan kondisi Bali pada waktu itu. Maka dipandang perlu menghimpun para Pandita asal dari Jawa. Mereka adalah Empu Kuturan, Empu Smeru, Empu Gana, Empu Gni Jaya dan Empu Beradah. Mereka datang ke Bali, kecuali Empu Beradah yang tetap berada di Jawa. Mereka membuat pertemuan besar di Pura Samuan Tiga. ".........nguni duk pamadegan Cri Gunapriyadharmapatni Udayana Warmadewa, hana pasamuan agung iwa Budha kalawan Bali Aga, ya hetunya hana desa pakraman mwang kahyangan tiga maka kraman ikang desa para desa Bali Aga". Artinya: "....dahulu kala pada saat bertahtanya Cri Gunapriyadbarmapatni dan suaminya Udayana Warmadewa, ada musyawarah besar iwa Budha dan Bali Aga itulah asal mulanya ada desa pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dan masing-masing desa Bali Aga. Untuk menyatukan seluruh konsep yang berkembang dalam masingmasing sekte, maka Panca Pandita di bawah pimpinan Empu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti yang sejak itu menjadi pegangan hidup masyarakat di Bali. "Ndan len kita Buddha rupa Ciwa pati urip ikang tri mandala, Sang sangkan paraning sarat ganal alit kita ala ayu kojaring aji. Upetti stitti lilaning dadi kita katramanani paramarta Sogata. Artinya: "Tidak lain Engkau Buddha yang berupa Ciwa, berkuasa menghidupmatikan sekalian makhluk penghuni tiga alam semesta dan Engkaulah yang menjadi pokok asal sekalian kehidupan besar kecil di dunia, serta yang menciptakan adanya baik dan buruk, demikian ajaran agama yang berasaskan nilai-nilai kelahiran dan kematian yang diciptakan tiada lain oleh Engkau Ciwa-Buddha". Pemahaman Ciwa-Buddha dan Tri Murti dijadikan dasar falsafah keagamaan di Bali. Konsep ini diterapkan di desa pakraman di Bali dalam

bentuk Kahyangan Tiga. Di setiap keluarga didirikan bentuk Sanggah Kemulan. Juga disebutkan Sanghyang Kamahayanikan merupakan inti ajaran Ciwa Buddha yang diterapkan dan sejak itu sampai sekarang menjadi dasar peri kehidupan beragama di Bali. Perkembangan kebudayaan bersumber dari falsafah dan ajaran Empu Kuturan.

You might also like