You are on page 1of 38

Tesis Data Data I

Alhamdulillah, saya menanyakan tentang Hukum Hijab seorang Wanitah apakah hukum menutup aurat bagi perempuan ini termasuk khilafiah, seperti yang difatwakan oleh seorang ulama kita ini, Prof. DR. Quraisy Syihab. Dikarenakan tidak adanya dalil yang secara tegas dan ekplisit tentang batasan aurat seorang wanita, apakah Quraish Shihab itu hanya mengadopsi satu pendapat saja Muhammad Said al-'Asymawi yang ganjil, aneh dan Naif. Prof. Quraish Shihab mengatakan bahwa penarikan batasan aurat wanita pada masa yang lalu itu sesuai dengan konteks zaman tersebut dan tidak menjadi Relafan untuk di zaman sekarang. Pendapat ulama satu ini semakin aneh, terbukti dari salah satu putri beliau tidak menggunakan hijab. Yang saya tanyakan bagaimana kami sebagai orang awam ini menyikapai fatwa ulama yang 'nyeleneh' ini. Karena ulama sekelas Prof. Quraish Shihab ini sangat berpengaruh di masyarakat kita? Apakah ini yang disebut liberal, plural, sekuler? Mohon penjelasannya, sebelumnya terimakasih Wassalammu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh Ahmad Wanto aw at eramuslim.com Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ada hal yang perlu kita pahami, bahwa sesungguhnya Dr. Quraish Shihab itu bukan anti jilbab. Sebenarnya beliau sangat mendukung penggunaan jilbab, bahkan menurut pengakuan beliau, ke luarganya pun tetap dianjurkannya untuk berjilbab. Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan al-Auza'iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (hal. 175-176). Namun dalam kapasitas sebagai ilmuwan di bidang tafsir, beliau hanya ingin mengatakan bahwa sepanjang yang dia ketahui, pemakaian jilbab adalah masalah khilafiah. Tidak semua ulama mewajibkan pemakaian jilbab. Menanggapi ungkapan beliau itu, kita katakan memang benar bahwa ada khilafiyah di kalangan ulama. Namun oleh Quraisy, khilaf ini diperluas lagi sampai ke luar dari garis batasnya. Padahal para ulama justru tidak sampai ke sana. Yang diperselisihkan oleh para ulama sebatas apakah cadar itu wajib

atau tidak. Maksudnya, apakah wajah seorang wanita bagian dari aurat atau bukan. Juga apakah tapak kaki merupakan aurat atau bukan. Namun semua ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa kepala, termasuk rambut, telinga, leher, pundak, tengkuk, bahu dan seputarnya adalah aurat wanita yang haram terlihat. Sayangnya oleh Quraisy diperluas lagi sampai beliau mengatakan bahwa kepala bukan aurat. Jadi wanita tidak memakai kerudung atau jilbab dianggapnya tidak berdosa. Sedangkan istilah jibab sendiri memang masih menjadi perselisihan di antara ulama. Ungkapan ini memang benar. Sebab ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa jilbab itu pakaian gamis panjang yang lebar, berwarna gelap dan menutupi seluruh tubuh wanita, tanpa kecuali. Wajah dan tangan pun tertutup. Namun oleh sebagian ulama lain, yang dimaksud dengan jilbab adalah pakaian yang masih terlihat wajah dan kedua tapak tangan. Di situlah titik perbedaan pengertian tentang jilbab. Seharusnya Dr. Quraish Shihab tidak kelewatan ketika mengatakan bahwa wanita tidak dilarang terbuka kepalanya, karena dianggap bukan aurat. Sebab tidak ada ulama salaf dan khalaf yang mengatakan demikian. Asal Muasal Pemikiran Dari manakah Dr. Quraisy Syihab mendapatkan pemikiran seperti ini? Tentunya bukan dari para hali fiqih salaf semacam Asy-Syafi'i dan lainnya. Sebab para ulama fiqih di zaman salaf tidak ada yang berpendapat demikian. Pendapat seperti itu cukup aneh memang. Di zaman sekarang ini, terutama setelah Mesir dijajah Perancis bertahun-tahun, banyak muncul para sekuleris dan liberalis. Dan kentara sekali bahwa Quraish banyak merujuk kepada pemikiran seorang pemikir liberal Mesir yaitu Muhammad Asymawi.Dalam buku-bukunya, pemikiran liberal inilah yang selalu diangkat oleh beliau. Dan pemikirannya lalu di-copy-paste begitu saja. Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Kalau kita melihat latar belakang pendidikan dan disiplin ilmunya, sebenarnya beliau bukan lulusan dari fakultas syariah. Jenjang S-1 dan S-2 beliau dari fakultas ushuluddin jurusan tafsir hadits. Jenjang S-3 beliau di bidang ilmu-ilmu Al-Quran. Meski banyak bicara tentang Al-Quran, namun spesialisasi beliau bukan ilmu fiqih. Bahkan buku tulisan beliau pun tidak ada yang khusus tentang fiqih. Buku yang beliau tulis antara lain Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya, Filsafat Hukum Islam, Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) dan Membumikan Al-Qur'an danTafsir Al-Mishbah. Padahal kajian tentang batasan aurat wanita itu seharusnya lahir dari profesor di bidang ilmu fiqih. Di dalam istimtabh hukum fiqih, sebenarnya ada terdapat ilmu hadits, ilmu ushul fiqih dan tentunya ilmu fiqih itu sendiri.

Barangkali hal ini salah satu sebab mengapa dalam tataran hukum fiqih, beliau agak gamang. Karena latar belakang pendidikan dan disiplin ilmu beliau memang bukan dalam kajian fiqih, tetapi tafsir. Karena itu pandangan para ulama besar fiqih dari 4 mazhab pun luput dalam kajian beliau. Justru pemikiran liberalis malah lebih banyak muncul. Kalau kita konfrontir dengan para profesor dan doktor ahli ilmu fiqih di negeri kita, misalnya Dr. Khuzaemah T. Yanggo yang sama-sama berasal dari Sulawesi dan lulusan fakultas Syariah Al-Azhar Mesir, maka pendapat seperti ini tidak benar. Menurut Dr. Khuzaemah, batas aurat wanita tetap seperti yang kita pahami selama ini, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua tapak tangan. Demikian juga kalau kita lihat pendapat doktor syariah lainnya, seperti Dr. Anwar Ibrahim Nasution, atau Dr. Eli Maliki, yang kesemuanya lulusan fakultas Syariah Al-Azhar Mesir, maka pendapat Quraisy ini dianggap telah menyalahi syariat Islam yang sesungguhnya. Bagi para doktor syariah itu, batas aurat wanita telah disepakati oleh seluruh ulama syariah, yaitu seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua tapak tangan. Apalagi kalau kita kaitkan dengan Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, yang tentunya jauh lebih senior lebih tinggi ilmunya dari Dr. Quraisy. Beliau telah menyatakan bahwa di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah `aurat wanita yang boleh ditampakkan'. Ketika membahas makna "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" (QS 24:31), para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah "muka" dan "telapak tangan". Dan kalau kita merujuk lebih jauh lagi, kepada ulama besar di masa lalu, katakanlah misalnya Al-Imam Nawawi, maka kita dapati dalam kitab al-Majmu' syarah Al-Muhazzab, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Kita tetap hormat dan santun kepada pribadi Dr. Quraisy, namun khusus pendapatnya tentang tidak wajibnya wanita memakai penutup kepala dan batasan auratnya, kita tidak sepaham. Sebab pendapat beliau itu menyendiri, tidak dilandasi oleh hujjah yang qath'i, terlalu mengada-ada dan boros asumsi.

Data II UU Pornografi hingga kini masih juga dipermasalahkan oleh sebagian kalangan yang mengaku sebagai pembela hak-hak wanita, pekerja seni atau orang-orang lainnya yang mengaku humanis. Mereka beranggapan isi dari undang-undang tersebut dapat menggangu hak-hak perempuan, kebebasan berekspresi dan mengungkapkan karya seni serta dapat mengganggu tradisi dan budaya masyarakat tertentu di Indonesia. Untuk itu kemudian mereka terus menolak dan meminta agar isi UU tersebut harus disandarkan pada tradisi dan budaya masyarakat Indonesia yang plural. Umat Islam adalah yang paling ramai mendukung UU tersebut karena UU tersebut dianggap telah cukup memenuhi tuntutan ajaran Islam, tetapi kemudian umat Islam diminta untuk mempertimbanglkan nilai budaya yang plural di Indonesia sebagai landasan dari UU tersebut, bahkan Fawaizul Umam dalam tulisannya Mengarifi Batas Aurat Perempuan (dalam Kompas)

mengusulkan kepada umat Islam agar mengambil nilai sosial budaya sebagai standar dalam mendefinisikan pornografi/pornoaksi. Bagi umat Islam untuk menentukan yang manakah yang porno dan manakah yang tidak porno sesungguhnya standarnya sudah jelas, yakni al-Quran dan as-Sunnah. Akan tetapi, standar itu kemudian dikacaukan dengan standar-standar yang lain yang dikemukakan bahkan oleh orang Islam sendiridengan segala argumentasinya. Untuk pembahasan mengenai standar pornografi lihat tulisan saya sebelumnya Menyoal standar dalam menilai Pornografi. Pornografi dan pornoaksi dalam Islam berhubungan dengan konsep aurat, yakni bagian tubuh manusia yang harus ditutup serta dijaga karena perintah Allah SWT. Aurat dianggap sebagai aib, oleh karena itu orang yang mempertontonkan auratnya berdosa kepada Allah. Hanya saja, bagian tubuh manakah yang menjadi bagian aurat, yang kalau dipertontonkan itu menyebabkan dosa, inilah yang dipersoalkan oleh Fawaizul Umam (dalam tulisan yang disebutkan di atas). Ia mengungkapkan sejumlah fakta yang menunjukkan adanya ketidaksepahaman ulama fikih dalam menentukan bagian manakah yang menjadi aurat perempuan. Dari sini ia berpendapat bahwa hal tersebut karena ulama fikih dipengaruhi oleh situasi ruang dan waktu dalam melakukan istinbat hukum (pengambilan hukum), sehingga pandangannya menjadi relatif terhadap situasi ruang dan waktu. Maka, penulis tersebut kemudian menyimpulkan bahwa masalah aurat tersebut hanyalah masalah sosial budaya atau hanya menyangkut etika atau bahkan estetika, sehingga dengan demikian ajaran Islam tidak diperlukan lagi sebagai standar baik dan buruk. Sebagai gantinya penulis tersebut mengusulkan nilai sosial budaya sebagai landasan dalam memandang masalah pornografi/pornoaksi. Ia menulis, Dengan begitu, tidak ada batasan aurat yang sama untuk perempuan. Itu membuktikan betapa teks terkait tidak secara jelas membatasi aurat. Para ulama menafsir dengan rangka paradigmatik masing-masing yang berkait erat dengan situasi ruang dan waktu mereka. Ada tiga hal yang perlu dijernihkan di sini menyangkut tidak ada batasan aurat yang sama dan teks terkait tidak secara jelas membatasi aurat, serta berkait erat dengan situasi ruang dan waktu mereka. Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli fikih mengenai batasan aurat, namun mengatakan tidak ada batasan aurat yang sama adalah kurang tepat. Ulama madzhab Syafii dan Hanbali menyatakan bahwa aurat perempuan yang berhadapan dengan orang yang bukan mahram (orang yang haram dikawini) adalah seluruh tubuhnya, tidak terkecuali muka dan telapak tangan, bahkan Imam Ahmad ibnu Hanbal menyatakan termasuk juga kukunya. Sedangkan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, menyatakan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Dari sini bisa dikatakan dari keempat madzhab tidaklah terjadi perbedaan pendapat, kecuali menyangkut muka dan telapak tangan saja (lihat Tafsir Ayat Ahkam as-Shabun (terj.) Jil. 2: 243). Jadi tidak ada perbedaan yang begitu besar. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa wajah, kedua telapak tangan dan kaki tidak termasuk aurat adalah pandangan dari Sufyan as-Sauri, al-Muzanni, sebagian ulama Hanafiah serta Syiah Imamiah (lihat Ensiklopedi Hukum Islam: 145) adalah pendapat yang tidak populer di kalangan ahli fikih. Kemudian pernyataan penulis: teks terkait tidak secara jelas membatasi aurat, adalah pernyataan yang tidak tepat. Apa yang disebutkan dalam Surah an-Nur: 31 sudah sangat jelas menyebutkan

bagian mana yang menjadi aurat perempuan, ditambah hadits-hadits Nabi yang banyak yang menyebutkan bagian aurat, serta pendapat ulama madzhab dalam kitab-kitab mereka, maka, sudah cukup untuk tidak menyatakan bahwa tidak ada teks terkait yang membatasi aurat. Salah satu di antara hadits tersebut yang dengan jelas menyebut bagian aurat perempuan adalah, Bahwa sesungguhnya Asma binti Abu Bakar masuk ke (rumah) Rasulullah saw. sedang ia memakai pakaian yang tipis kemudian Nabi saw. berpaling darinya seraya bersabda: Hai Asma sesungguhnya perempuan itu apabila telah baligh tidak boleh terlihat darinya melainkan ini dan ini. Nabi saw, sambil menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud). Kemudian benarkah perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih menyangkut aurat disebabkan oleh adanya paradigma masing-masing yang berkait erat dengan situasi ruang dan waktu mereka. Sayangnya dugaan penulis tersebut tidak didukung oleh fakta bahwa para imam ahli fikih tersebut memang memiliki metode pengambilan hukum (istinbat hukum) berdasarkan situasi ruang dan waktu. Jadi, para imam ahli fikih tersebut berbeda pendapat bukanlah karena situasi ruang dan waktu, akan tetapi karena dalil yang dipegang/diambil oleh masing-masing imam berbeda. Ulama madzhab Syafii dan Hanbali dalam menetapkan aurat perempuan berpegang pada berbagai hadits, di antaranya: Aku pernah bertanya pada Nabi tentang pandangan tiba-tiba, lalu ia manjawab: Palingkanlah pandanganmu (berikutnya). (HR. Ahmad dan Muslim). Juga, sabda Nabi kepada Ali: Hai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan (pertama yang tiba-tiba itu) dengan pandangan (berikutnya), karena yang pertama itu boleh sedang yang berikutnya itu tidak. (HR. Bukhari dan Muslim). Dari dalil inilah kenapa wajah perempuan termasuk aurat menurut pendapat ini. Sedangkan ulama madzhab Maliki dan Hanafi yang menyatakan bahwa muka dan telapak tengan bukanlah aurat berdasarkan beberapa dalil, salah satunya adalah hadits yang pernah di sebut di atas mengenai Asma binti Abu Bakar. Dengan fakta-fakta yang dikemukakan di atas, maka pernyataan penulis: Refleksi para ahli fikih, misalnya, hanya menegaskan kewajiban menutup aurat; tidak merinci bagian tubuh mana yang mesti ditutup , tidak dapat dipertahankan lagi. Dan oleh karena itu dugaan penulis bahwa aurat perempuan itu relatif mengikuti ruang dan waktu adalah tidak tepat. Di mana pun muslimah berada dan kapan pun waktunya, ia tetap terikat aturan mengenai aurat yang telah jelas batasnya, apakah batas aurat mengikuti pendapat madzhab Syafii dan Hanbali ataukah pendapat madzhab Maliki dan Hanafi. Aurat perempuan bukanlah soal etika apalagi estetika akan tetapi benar-benar merupakan ajaran agama Islam yang harus dilaksanakan oleh para pemeluknya dan dipahami sesuai nilai Islam, tidak dengan nilai sosial budaya, ataupun yang lainnya

Data baru: 4 maret 2012 Mengkritik Penafsiran Quraish Shihab tentang Ayat Hijab (Telaah Atas Tesis Saifullah Al Ali, S.Th.I yang Berjudul Batas Aurat Wanita dalam Tafsir Al-Misbah)

10 Februari 2009 oleh akhialbani

A. Pendahuluan
Akhir-akhir ini, umat Islam seakan terhenyak dengan derasnya arus pemikiran liberal yang menyerang sendi-sendi ajaran Islam, tak terkecuali dalam kajian penafsiran Al-Quran. Dalam tataran ideal, metodologi tafsir Al-Quran seharusnya disesuaikan dengan metode penafsiran Rasulullah n, para sahabat, dan tabiin.[i] Merekalah rujukan utama kita. Namun, saat ini dimunculkanlah ilmu hermeneutika dalam khazanah tafsir Al-Quran. Ilmu yang mula-mula diterapkan dalam menafsirkan bibel ini, dipaksakan untuk dapat diterapkan dalam menafsirkan berbagai kitab suci, terutama Al-Quran.[ii] Dan mungkin, inilah bencana terbesar yang menimpa umat ini berkaitan dengan berbagai upaya musuh-musuh Islam untuk mendekonstruksi kemapanan hukum-hukum Islam. Setidaknya ada tiga persoalan serius apabila hermeneutika diterapkan pada teks Al-Quran. Pertama, memunculkan sikap kritis yang terkadang berlebihan dan curiga terhadap Al-Quran. Kedua, teks Al-Quran akan dipandang sebagai produk budaya yang dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis Arab dan diabaikan dari hal-hal yang sifatnya transenden (ilahiyyah). Ketiga, memunculkan relativisme tafsir, sehingga kebenaran tafsir itu menjadi sangat relatif, yang pada gilirannya menjadi repot untuk diterapkan.[iii] Padahal, corak penafsiran yang mengedepankan semangat relativisme dan pemahaman skeptik terhadap Al-Quran jelas tidak mendapatkan tempat dalam khazanah ulumul Quran dan tafsir. Pandangan bahwa Al-Quran sebatas teks historis yang relatif, temporal, kondisional dan senantiasa berevolusi seiring dengan kecenderungan penafsir dan zaman adalah pengeliruan terhadap wahyu. Di samping itu, dikotomi antara teks dan konteks, antara yang normatif dan yang historis, hanyalah upaya terselubung yang bermuara pada penolakan Al-Quran sebagai wahyu suci.[iv] Berangkat dari uraian di atas, kami tertarik untuk mengkaji sebuah tesis yang ditulis oleh Saifullah Al Ali, S.Th.I, yang berjudul Batas Aurat Wanita dalam Tafsir Al-Misbah.[v] Tesis ini mengkaji pemikiran tafsir M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat hijab, yang telah banyak diketahui oleh publik bahwa Quraish Shihab menganggap hukum jilbab itu tidak wajib bagi muslimah. Sehingga, ditengarai Quraish Shihab kerasukan paham relativisme tafsir sebagai buah hermeneutika dalam menafsirkan ayat-ayat hijab. Karena, penafsirannya berlawanan dengan penafsiran ulama-ulama mufassirin pada umumnya. Selanjutnya, uraian-uraian berikut ini akan mengkritisi tesis yang ditulis oleh Saifullah Al Ali, S.Th.I tersebut.

B. Isi Kajian dan Pembahasan


Kajian terhadap tesis Saifullah Al Ali, S.Th.I yang berjudul Batas Aurat Wanita dalam Tafsir AlMisbah ini akan diarahkan pada beberapa bagian dalam tesis tersebut, yaitu latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan signifikasi penelitian, telaah pustaka dan kerangka teori, metode penelitian, temuan dan analisis, serta penutup (kesimpulan dan saran).

1. Latar Belakang Masalah


Saifullah Al Ali mengawali penulisan tesisnya dengan menegaskan pemahaman Al-Quran sebagai teks historis, yang sangat dipengaruhi oleh konteks lokal-temporal yang spesifik. Untuk itu dalam konteks keindonesiaan, diperlukan tafsir yang representatif dan yang mengerti dengan budaya dan kondisi bangsa Indonesia. Saifullah menulis dalam tesisnya : Tidak ada yang membantah bahwa Al-Quran adalah hasil proses metamorfosa dari teks oral menjadi teks tertulis. Proses metamorfosis ini menunjukkan bahwa Al-Quran adalah teks bahasa, yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Teks apa pun merupakan fenomena sejarah dan memiliki konteks spesifik, tak terkecuali Al-Quran. Sebagai firman yang memanusiawi, Al-Quran tidak lahir dalam ruang hampa budaya, tapi lahir dalam ruang-waktu yang sarat budaya. Atas dasar ini, teks Al-Quran, seperti teks-teks linguistik lain, adalah teks historis.[vi] Sedangkan pandangan bahwa Al-Quran adalah teks linguistik yang terpengaruh dengan kultur Arab pra-Islam dan harus dipahami dengan pendekatan konteks sejarah saat itu (empirishistoris), akan membawa pengertian sebagai berikut : Pertama, bahwa Al-Quran dihasilkan secara kolektif dari serangkaian faktor politik, ekonomi dan sosial. Atau dengan kata lain, Al-Quran adalah hasil pengalaman individual yang diperoleh Nabi Muhammad dalam waktu dan tempat tertentu (specific time-space context), di mana latar belakang sejarah saat itu mengambil peranan inti dalam mewarnai pemikiran beliau, dan bahasa sebagai perangkat ungkapan sejarah. Kedua, menyamarkan kedudukan suci dan keabsolutan Al-Quran. Ketiga, penentuan kontekstual terhadap makna mengesampingkan kemapanan bahasa dan susunan makna dalam bahasa (semantic structures), menyebabkan kosa kata dalam teks kitab suci selalu permisif untuk disusupi berbagai dugaan, pembacaan subyektif dan pemahaman yang hanya mendasarkan pada relativitas sejarah. Keempat, memisahkan makna antara yang normatif dan yang historis di satu sisi, dan menempatkan kebenaran (truth) secara kondisional menurut kultur tertentu dan suasana historis di sisi lain, akan cenderung pada paham sekular.[vii]

Saifullah kembali menulis : Pemahaman Al-Quran dalam konteks Indonesia, menurut Quraish Shihab, harus diberi interpretasi sesuai watak, kepribadian, budaya bangsa dan perkembangan yang positif, sehingga Al-Quran dapat berfungsi dalam kehidupan kontemporer. Dengan cara demikian, pemahaman terhadap Al-Quran akan dapat bersifat dialogis, antara wahyu di satu pihak dengan realitas di pihak lain, sehingga kehadirannya lebih fungsional.[viii] Sepanjang penuturannya di bagian latar belakang masalah ini, Saifullah seakan ingin menjadikan konsep relativisme tafsir ini sebagai ruh yang menjiwai penulisan tesisnya. Dan, di sini sangat jelas sekali gambaran keberpihakan ilmiah Saifullah terhadap pemikiran tafsir Quraish Shihab tentang ayat hijab, yang disinyalir banyak kalangan amat kontroversial. Di bagian ini, Saifullah sama sekali tidak menyinggung walau satu paragraf pun, pendapat beberapa kalangan pemikir Islam yang mengcounter pemahaman Al-Quran sebagai produk budaya yang terikat dengan konteks sosio-historis Arab yang spesifik. Jika ini dilakukan, tentu sejak awal Saifullah akan mampu membeberkan pemikiran tafsir Quraish Shihab tentang ayat hijab dalam bingkai pro dan kontra. Dan, hal ini kami anggap lebih adil, obyektif dan mencerdaskan. Itu jika Saifullah tidak percaya diri untuk memposisikan dirinya sebagai peneliti yang tidak sepakat dan bersikap kritis terhadap model penafsiran Quraish Shihab tentang ayat hijab.

2. Rumusan Masalah
Penulis tesis ini, Saifullah Al Ali, merumuskan masalah yang akan dibahas dalam tesis ini ke dalam tiga poin besar. Pertama, bagaimana deskripsi M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah tentang batas aurat wanita? Kedua, apa yang menjadi faktor-faktor penyebab penafsiran Quraish Shihab tentang batas aurat wanita? Ketiga, bagaimana penyebaran ide penafsiran Quraish Shihab di kalangan tokoh yang muncul sebelum, semasa dan setelah Tafsir Al-Misbah disusun?[ix] Menyimak rumusan masalah di atas, kita bisa melihat bahwa penulis tesis tersebut hanya berorientasi mendeskripsikan dan mengeksplorasi semata penafsiran Quraish Shihab tentang ayat hijab, serta tidak terlalu menggunakan pisau analisis yang tajam untuk membedah gaya penafsiran Quraish Shihab, mengangkat penyakitnya dan mentashfiyahnya dari berbagai kesalahan penafsiran. Seharusnya, penulis bisa menambahkan poin keempat dalam rumusan masalah itu, yaitu bagaimana reaksi ilmiah para tokoh muslim terhadap penafsiran Quraish Shihab tersebut? Penulis bisa melakukan studi komparasi dalam bab khusus terhadap beberapa pandangan yang

kontra dengan tafsir Quraish Shihab, sehingga tesis tersebut bisa lebih komprehensif mengeksplorasi penafsiran Quraish Shihab tentang ayat hijab, dan beberapa letupan pemikiran yang muncul sebagai reaksi dari hal tersebut.

3. Tujuan dan Signifikasi Penelitian


Terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis tesis dalam melakukan penelitian tentang batas aurat wanita dalam Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Pertama, untuk menjelaskan deskripsi M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah tentang batas aurat wanita. Kedua, untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab penafsiran Quraish Shihab tentang batas aurat wanita. Ketiga, untuk menjelaskan penyebaran ide penafsiran Quraish Shihab di kalangan tokoh yang muncul sebelum, semasa dan setelah Tafsir Al-Misbah.[x] Adapun signifikasi penelitian ini adalah : Pertama, diharapkan dapat memperjelas batas aurat wanita, terutama dalam konteks ke-Indonesiaan. Kedua, memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam studi Al-Quran dan studi tentang wanita.[xi] Di dalam rumusan tujuan dan signifikasi penelitian di atas terdapat ungkapan yang patut kita cermati, yaitu kalimat memperjelas batas aurat wanita, terutama dalam konteks ke-Indonesiaan. Apa yang dimaksud dengan batas aurat wanita, terutama dalam konteks ke-Indonesiaan? Apakah Islam menetapkan batas aurat wanita yang berbeda-beda antara di Arab Saudi, Indonesia, Mesir, Amerika dan daerah-daerah lainnya? Apabila batas aurat wanita dipahami berbeda-beda sesuai dengan konteks sosio-historis suatu daerah, maka hukum menutup aurat (berjilbab) pun akan menjadi relatif, tergantung konteks daerahnya masing-masing. Bisa jadi, bila jilbab (hijab) dihukumi wajib di Saudi bagi wanita muslimah, namun di Indonesia bisa dihukumi tidak wajib, karena konteksnya berbeda dengan Saudi. Apakah ini yang dimaksud batas aurat wanita dalam konteks ke-Indonesiaan? Sebelum mengkaji penafsiran Quraish Shihab tentang ayat hijab dalam tesis ini, kiranya perlu kami kemukakan pernyataan Quraish Shihab tentang jilbab, yang dituangkan dalam bukunya Wawasan Al-Quran. Setelah menyimak penuturan ini, semoga akan memberikan kegamblangan pemahaman terkait dengan tafsir jilbab Quraish Shihab dalam konteks ke-Indonesiaan. Quraish Shihab menegaskan : Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu[xii], bahkan mungkin berlebih. Namun, dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama. Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.[xiii] Dengan pernyataan itu, bukankah hukum berjilbab kini menjadi sangat relatif dan kabur eksistensinya? Karena Indonesia tidak sama dengan Arab, dan jilbab dianggap sebagai adat istiadat

negara Arab, yang tidak harus dipaksakan untuk diterapkan di Indonesia. Karena wanita Indonesia telah memiliki batasan aurat yang bisa jadi berbeda dengan wanita Arab. Dengan menukil pernyataan Muhammad Thahir bin Asyur, Quraish Shihab semakin jelas meletakkan fondasi penafsirannya, ia menulis : Kami percaya bahwa adat kebiasaan suatu kaum tidak boleh dalam kedudukannya sebagai adat untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.[xiv] Beginikah tafsir representatif ayat hijab dalam konteks ke-Indonesiaan yang dimaksud oleh penulis tesis tersebut?

4. Telaah Pustaka dan Kerangka Teori


Di dalam bagian telaah pustaka, penulis tesis ini mendeskripsikan beberapa karya penelitian yang telah dilakukan, terkait dengan pemikiran maupun gaya penafsiran Quraish Shihab. Kemudian, pada bagian kerangka teori, penulis menjelaskan perkembangan penafsiran Al-Quran dari waktu ke waktu; yang dulu hanya bersandar pada riwayah (tafsir bil matsur), namun sesuai dengan perkembangan zaman kini peran akal dan ijtihad mulai mewarnai penafsiran Al-Quran. Dengan mengutip pernyataan Quraish Shihab dalam buku Membumikan Al-Quran[xv], Saifullah penulis tesis ini menegaskan : Pada mulanya usaha penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran bersandar pada riwayah, sementara penggunaan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa, serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosa kata. Namun, sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga lahirlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.[xvi] Maka, dalam ilmu tafsir Al-Quran kita mengenal dua tipe besar tafsir di dunia Islam, yakni tafsir bil matsur dan tafsir bir rayi. Tafsir bir rayi (rasio) menurut Manna Al-Qaththan di dalam Mabahits fi Ulum Al-Quran, adalah tafsir di mana mufassir hanya mengandalkan pemahamannya sendiri dan kesimpulan rasionalnya semata dalam menjelaskan maani Al-Quran.[xvii] Para ulama, seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Al-Alusi dan lainnya mengatakan bahwa tafsir yang hanya

mengandalkan rasio semata adalah haram hukumnya. Namun, Ibnu Taimiyyah di dalam Muqaddimah fi Ushul At-Tafsir berpendapat bahwa hadits-hadits shahih dan perkataan-perkataan sejenis dari kalangan ulama salaf yang melarang tafsir bir rayi harus dipahami sebagai keberatan mereka untuk berbicara dalam tafsir Al-Quran tanpa bekal keilmuan yang cukup. Sedangkan jika orang berbicara tentang apa yang ia ketahui, seperti bahasa Arab dan syariat, atau dengan bekal keilmuan yang mumpuni, maka ia tak terlarang untuk berbicara dan menggeluti tafsir bir rayi. [xviii] Menurut Abdurrahman Al-Baghdadi, cara menafsirkan Al-Quran haruslah sesuai dengan cara yang sesuai dengan Al-Quran itu sendiri secara tekstual, bukan kontekstual (sesuai kondisi dan situasi).[xix] Sedangkan terkait dengan peran akal (rayu) sebagai sumber tafsir, Abdurrahman Al-Baghdadi menegaskan bahwa menafsirkan Al-Quran berdasarkan rayu lazim disebut dengan ijtihad dalam menafsirkan Al-Quran. Dalam hal itu, para ulama ahli tafsir yang bersangkutan memang mengenal bahasa Arab dan mengenal baik lafazh-lafazh yang mereka temukan dalam puisi dan prosa zaman sebelum Islam. Selain itu, mereka berpegang pada berita-berita yang dipandang benar mengenai sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran (asbabun nuzul). Berdasarkan sarana-sarana pembantu seperti itu, mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Quran menurut pengertian yang diperoleh dari hasil ijtihadnya masing-masing. Arti menafsirkan Al-Quran berdasarkan ar-rayu tidak lebih dari itu. Mereka tidak mengatakan semaunya sendiri dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, tetapi bersandar pada sastra zaman sebelum Islam, seperti puisi, prosa, adat istiadat Arab, dan cara mereka berdialog. Selain itu, mereka bersandar pula pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah, dan hal-hal yang dialami beliau, seperti permusuhan kaum kafir, perlawanan-perlawanan terhadap beliau, hijrah beliau, peperangan-peperangan dan segala yang terjadi selama itu, yang menyebabkan turunnya ayat-ayat Al-Quran dan hukum-hukumnya. Itulah yang dimaksud dengan tafsir berdasarkan ar-rayu, yakni memahami kalimat-kalimat Al-Quran dengan jalan memahami maknanya yang ditunjukkan oleh pengetahuan bahasa Arab dan peristiwa yang dicatat oleh seorang ahli tafsir.[xx] Jadi, peran akal tetap terbatas dengan beberapa kaidah penafsiran, sehingga ahli tafsir tidak terjerumus kepada sikap menafsirkan Al-Quran berdasarkan rasio semata. Dan, inilah yang ditinggalkan oleh para liberalis, sehingga mereka menafsirkan Al-Quran secara ngawur dan menyesatkan.

5. Metode Penelitian
Penulis tesis menegaskan bahwa penelitian yang ia lakukan tentang batas aurat wanita dalam Tafsir Al-Misbah merupakan penelitian kepustakaan (library research), dengan menggunakan

metode analisis deskriptif (descriptive analysis), dan analisis eksplanatori (explanatory analysis), dengan pendekatan historis. Kami melihat bahwa penulis tesis belum mampu menggunakan metode analisis eksplanatori secara maksimal dalam penulisannya, sehingga lebih cenderung hanya sebatas deskripsi teks saja, dan kurang mendalam pembahasannya. Metode analisis eksplanatori adalah suatu analisis yang berfungsi memberi penjelasan yang lebih mendalam daripada sekedar mendeskripsikan makna sebuah teks.[xxi] Sedangkan metode analisis deskriptif adalah pemaparan apa adanya terhadap apa yang dimaksud oleh suatu teks dengan cara memparafrasekan dengan bahasa peneliti.[xxii]

5. Temuan dan Analisis


Salah satu ayat hijab yang ditafsirkan secara kontroversial oleh Quraish Shihab di dalam tafsirnya adalah : Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[xxiii] Tafsir Quraish Shihab tentang ayat-ayat hijab banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Thahir bin Asyur dan Muhammad Said Al-Asymawi, dua tokoh berpikiran liberal asal Tunis dan Mesir, yang berpendapat bahwa jilbab adalah produk budaya Arab. Asymawi menulis sebuah buku yang berjudul Kritik Atas Jilbab, yang diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation, April 2003, editor Nong Darol Mahmada, seorang aktivis liberal. Pandangan yang mengatakan bahwa jilbab itu tidak wajib ditegaskan dalam buku ini. Bahkan Asymawi dengan lantang berkata bahwa hadits-hadits yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijab itu adalah hadis ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Buku ini, secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabiin, menurut Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.[xxiv] Adian Husaini menilai bahwa Asymawi bukanlah pakar yang otoritatif dalam bidang syariat Islam, yang sepatutnya tidak disejajarkan oleh Quraish Shihab dengan para ulama-ulama besar yang otoritatif di bidangnya. Asymawi pun juga dikenal sebagai tokoh pluralisme agama yang mengakui kebenaran relatif tiap-tiap agama.[xxv]

Setidaknya ada dua poin besar yang bisa kami rumuskan berkaitan dengan penafsiran Quraish Shihab terhadap ayat hijab. Pertama, Quraish Shihab berpendapat bahwa Al-Quran tidak menentukan secara tegas dan rinci tentang batas-batas aurat, sehingga hal itu dianggap sebagai masalah khilafiyah. Bahkan, Najwa Shihab, salah satu putrinya, juga sering tampil di publik tanpa memakai kerudung.[xxvi] Ini merupakan tanda bahwa M. Quraish Shihab konsisten dengan pendapatnya. Sebab kalau ada ketentuan yang pasti dan batas yang jelas, maka kaum muslimin dan para ulamanya tidak akan berbeda pendapat. Meskipun masing-masing cerdik pandai memiliki alasan tiap kali menyampaikan pendapat. Namun pendapat mereka tidak lepas dari pertimbangan adaptasi, logika, pertimbangan kerawanan terhadap rangsangan syahwat, dan tentu saja pertimbangan teks keagamaan.[xxvii] Ayat-ayat Al-Quran yang diajukan sebagai dalil selalu mengandung aneka interpretasi. Perbedaan para ulama tentang batas-batas yang ditoleransi untuk dilihat dari wanita membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang nilai keshahihan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan batas aurat wanita. Ini menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanni yakni dugaan. Seandainya ada hukum yang pasti bersumber dari AlQuran maupun sunnah, tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak pula menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas dan sempitnya batas-batas itu. Perbedaan para pakar tersebut, bagi M. Quraish Shihab, adalah perbedaan antara pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat, serta pertimbangan nalar. Bukan hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas. Dari sini kemudian M. Quraish Shihab mengambil kesimpulan bahwa batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir-mengkafirkan.[xxviii] Kedua, Quraish Shihab berpendapat bahwa jilbab merupakan adat istiadat dan produk budaya Arab. Dan menurutnya, dengan mengutip perkataan Muhammad Thahir bin Asyur, bahwa adat kebiasaan suatu kaum tidak boleh dalam kedudukannya sebagai adat untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.[xxix] Kemudian Ibnu Asyur yang disepakati Quraish Shihab memberikan beberapa contoh dari surat Al-Ahzab ayat 59, yang memerintahkan kaum mukminah agar mengulurkan jilbabnya. Asyur memberikan penjelasan kalau perintah mengulurkan jilbab adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak mendapatkan kewajiban.[xxx] Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu (Al-Ahzab ayat 59), bahkan mungkin berlebih. Namun, dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama. Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.[xxxi] Menurut Asymawi, illat hukum pada ayat ini (Al-Ahzab ayat 59), atau tujuan dari penguluran jilbab adalah agar wanita-wanita merdeka dapat dikenal dan dibedakan dengan wanita-wanita yang berstatus hamba sahaya dan wanita-wanita yang tidak terhormat, supaya tidak terjadi kerancuan di antara mereka. Illat hukum pada ayat di atas, yaitu membedakan antara orang-orang merdeka dan hamba sahaya kini telah tiada, karena masa kini sudah tidak ada lagi hamba sahaya. Dengan

demikian, tidak ada lagi keharusan membedakan antara yang merdeka dengan yang berstatus budak, maka ketetapan hukum yang dimaksud menjadi batal dan tidak wajib diterapkan berdasar syariat agama. Demikian pendapat Muhammad Said Al-Asymawi sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab.[xxxii] Sangat gamblang sekali, bahwa penafsiran Quraish Shihab tentang ayat hijab sangat dipengaruhi corak pemikiran liberal, yang diusung oleh Ibnu Asyur dan Asymawi. Sehingga, Quraish Shihab terjebak ke dalam belenggu relativisme tafsir yang merupakan buah dari ilmu hermeneutika yang disuntikkan ke dalam ilmu tafsir. Dan menurut hermeneutika ini, tidak ada tafsir yang qathi, tidak ada yang pasti kebenarannya, semuanya relatif, semuanya zhanni.[xxxiii] Dengan model tafsir hermeneutik ala kontekstual historis ini, hukum Islam bisa diubah sesuai dengan kemauan siapa saja yang mau mengubahnya, karena tidak ada standar dan metodologi yang baku. Cara seperti ini tidak bisa diterapkan dalam penafsiran Al-Quran, sebab Al-Quran adalah wahyu yang lafaz dan maknanya dari Allah, bukan ditulis oleh manusia. Karena itu, ketika ayat-ayat Al-Quran berbicara tentang perkawinan, khamr, aurat wanita dan sebagainya, Al-Quran tidak berbicara untuk orang Arab saja. Maka, dalam penafsiran Al-Quran memang tidak mungkin lepas dari makna teks, karena Al-Quran memiliki teks yang final dan tetap.[xxxiv] Begitu pula dengan kewajiban menutup aurat bagi wanita. Ayat tentang kewajiban menutup aurat bagi wanita (An-Nuur : 31, dan Al-Ahzab : 59), sudah dipahami seluruh ulama sepanjang sejarah Islam, bahwa wanita muslimah wajib menutup tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan. Karena ayat Al-Quran bersifat universal, maka perintah menutup aurat itu berlaku untuk semua wanita dan sepanjang zaman, bukan hanya untuk wanita Arab. Sebab, anatomi tubuh seluruh wanita adalah sama, baik Arab, Eropa, Cina, atau Jawa. Oleh karena itu, sepanjang sejarah Islam, para ulama hanya berbeda pendapat dalam soal kewajiban menutup wajah (cadar) dan batasan tangan. Tidak ada yang berpendapat bahwa wanita boleh memperlihatkan perut atau punggungnya. Apalagi, yang berpendapat bahwa batasan aurat wanita tergantung situasi dan kondisi. Konsep finalitas dan universalitas teks Al-Quran inilah yang patut disyukuri oleh umat Islam, sehingga umat Islam seluruh dunia sampai saat ini memiliki sikap yang sama tentang berbagai masalah mendasar dalam Islam.[xxxv] Lalu, bagaimana dengan penafsiran Quraish Shihab yang menganggap jilbab adalah tradisi orang Arab? Kalau kita cermati, substansi tafsir Quraish Shihab tersebut sangat sejalan dengan gagasan yang disuarakan oleh kaum liberal. Dan, penafsiran model ini sangat berbahaya, dan tentu saja tidak bisa kita terima. Sebuah artikel di situs JIL (www.islib.com) menyatakan, Dalam konteks Al-Quran sebagai mitos, saya berpendapat bahwa makna denotatif Al-Quran (baca : ayat muamalah) adalah bersifat lokal-temporal yang cuma diperuntukkan bagi masyarakat di mana AlQuran turun. Sedang unsur yang universal dan relevan untuk semua tempat dan zaman ada pada makna konotatifnya. Sebagai misal, perintah jilbab dalam Al-Quran sebagaimana diisyaratkan oleh makna denotatifnya, tidaklah berarti bahwa seluruh umat Islam wajib memakai jilbab, tapi makna konotatif dari perintah tersebut adalah : Pertama, pemakaian busana untuk menutup aurat ditentukan oleh standar kepantasan budaya masing-masing, layaknya jilbab yang menjadi standar kepantasan masyarakat Arab waktu itu. Ini makna konotatif yang mungkin kita temukan pada lapisan pertama. Kedua, keharusan umat Islam menghormati tradisinya masing-masing, sebagaimana masyarakat Arab memandang jilbab sebagai tradisi. Dan ini makna yang bersemayam pada lapisan berikutnya. Kedua makna konotatif inilah untuk sementara waktu yang merepresentasikan universalitas ayat jilbab. Tentu, masih diandaikan adanya tumpukan makna yang terendap dan harus terus digali dalam ayat jilbab ini.[xxxvi] Situs www.islib.com telah banyak sekali memposting artikel-artikel yang menolak formalisasi

kewajiban jilbab dalam konteks ke-Indonesiaan.[xxxvii] Dan tujuan mereka satu, yakni mendekonstruksi kemapanan hukum-hukum Islam yang telah disepakati oleh para ulama sepanjang sejarah.

6. Kesimpulan dan Saran


Penulis tesis, Saifullah Al Ali, memaparkan uraian kesimpulan dan saran dalam format tulisan lepas dan terkesan mengulang-ulang beberapa kutipan pada paragraf-paragraf sebelumnya. Menurut kami, uraian penutup dan saran ini akan lebih baik jika dituangkan dalam beberapa item kesimpulan yang ringkas. Karena, dalam pemaparan-pemaparan sebelumnya, penulis kami anggap belum mampu mendeskripsikan hasil penelitian dengan gamblang yang merepresentasikan pemikiran tafsir Quraish Shihab. Maka, penuturan uraian kesimpulan dalam beberapa item pokok akan melengkapi kekurangan uraian-uraian sebelumnya, serta akan lebih memahamkan para pembaca. Dikarenakan sejak awal penulisan, penulis tesis ini memperlihatkan keberpihakan ilmiah dengan pemikiran Quraish Shihab, maka ia tidak menyarankan pentingnya dialog-dialog ilmiah antara pihak-pihak yang pro dan kontra dengan penafsiran Quraish Shihab. Sehingga, masyarakat akan semakin cerdas dan memahami hujjah-hujjah kedua belah pihak.

C. Penutup
Alhamdulillah, dengan keterbatasan ilmiah yang kami miliki, akhirnya kami bisa merampungkan penelitian terhadap tesis yang berjudul Batas Aurat Wanita dalam Tafsir Al-Misbah. Sebagai kesimpulan dari pembahasan ini kami kemukakan sebagai berikut : 1. Dari sisi penulisan, penulis tesis ini kami anggap belum mampu mendeskripsikan secara gamblang hasil penelitiannya dalam sistematika pembahasan yang merepresentasikan penafsiran Quraish Shihab. 2. Penulis memiliki keberpihakan ilmiah dengan pemikiran Quraish Shihab, sehingga kurang mampu menyajikan pembahasan yang kritis-obyektif. 3. Dari sisi obyek kajian, penafsiran Quraish Shihab tentang ayat hijab diasumsikan terpengaruh dengan pemikiran liberal Ibnu Asyur dan Asymawi. Ia berpendapat tafsir ayat hijab tersebut bersifat relatif. Pertama, menurut Quraish Shihab, batasan aurat wanita dalam Al-Quran tidak

jelas dan bersifat khilafiyah. Kedua, jilbab merupakan adat istiadat Arab, sehingga tidak bisa dipaksakan diterapkan dalam konteks ke-Indonesiaan. Sehingga, jilbab hukumnya tidak wajib bagi muslimah Indonesia. ***

Referensi
Abdul Hayyie Al-Kattani, Lc., Al-Quran dan Tafsir, dalam Jurnal Al-Insan, Vol. I, No. 1, Januari 2005. Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Gema Insani Press, Jakarta, Cet. I, 2006. Adian Husaini, M.A. dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Gema Insani Press, Jakarta, Cet. II, 2008. Henri Shalahuddin, M.A., Konsep Tafsir Al-Quran dan Tantangannya, di dalam Islamic Worldview : Bahan Kuliah di Program Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakata, 2008. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran : Tafsir Maudhui Atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, Bandung, Cet. VIII, 1998. Saifullah Al Ali, S.Th.I, Batas Aurat Wanita dalam Tafsir Al-Misbah, tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2008. DATA BARU Kajian Tafsir Al-Misbah KAJIAN TENTANG KITAB TAFSIR AL-MISBAH

A. Pendahuluan Quraish Shihab merupakan salah seorang penulis yang produktif yang menulis berbagai karya ilmiah baik yang berupa artikel dalam majalah maupun yang berbentuk buku yang diterbitkan. Quraish Shihab juga menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Salah satu karya yang fenomenal dari Quraish Shihab adalah tafsir alMisbah. Pengambilan nama Al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tentu saja bukan tanpa alasan. Bila dilihat dari kata pengantarnya ditemukan penjelasan yaitu al-Misbah berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu memberi penerangan bagi mereka yang berda dalam kegelapan. Dengan memilih nama ini, dapat diduga bahwa Quraish Shihab berharap tafsir yang ditulisnya dapat memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Quran secara lansung karena kendala bahasa. Disamping itu, beliau juga berharap agara karyanya dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup. Al-Quran itu adalah petunjuk, tapi karena al-Quran disampaikan dengan bahasa Arab, sehingga banyak orang yang kesulitan memahaminya. Disinilah manfaat tafsir Al-Misbah diharapkan, yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu ilahi tersebut. Mengingat pentingnya metode dalam menafsirkan al-Qur'an, seperti yang telah dilakukan oleh Quraish Shihab dengan Tafsir al-Misbahnya, maka dalam makalah ini, penulis akan menghadirkan pemikiran tentang studi kritis terhadap hasil ijtihad Quraish Shihab yang dituanggkan dalam Tafsir al-Misbah, yang disertai dengan metodologi penafsirannya dan telaah tentang kelebihan dan kekurangan dari Tafsir Al-Misbah buah karya Quraish Shihab.

B.

Biografi Mufassir Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan[1]. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang.

Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil "nyantri" di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul Al-I 'jaz Al-Tasyri'iy li Al-Qur an Al-Karim. Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975) dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978). Untuk mewujudkan cita-citanya, ia mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur'an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul Nazm ad-Durar li al-Biqai Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian terhadap Kitab Nazm ad-Durar [Rangkaian Mutiara] karya al-Biqai) berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude dengan penghargaan Mumtaz Maa Martabah asy-Syaraf al-Ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa). Pendidikan Tingginya yang kebanyakan ditempuh di Timur Tengah, Al-Azhar,

Cairo ini, oleh Howard M. Federspiel dianggap sebagai seorang yang unik bagi Indonesia pada saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat. Mengenai hal ini ia mengatakan sebagai berikut: Quraish Shihab terdidik di pesantren, dan menerima pendidikan tingginya di Mesir pada Universitas Al-Azhar, di mana ia menerima gelar M.A dan Ph.D-nya. Ini menjadikan ia terdidik lebih baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Popular Indonesian Literature of the Quran dan, lebih dari itu, tingkat pendidikan tingginya di Timur Tengah seperti itu menjadikan ia unik bagi Indonesia pada saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat. Dia juga mempunyai karier mengajar yang penting di IAIN Ujung Pandang dan Jakarta dan kini, bahkan, ia menjabat sebagai rektor di IAIN Jakarta. Ini merupakan karier yang sangat menonjol[2]. Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 19971998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo. Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih Al-Qur'an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur 'an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta. Di samping kegiatan tersebut di atas, H.M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional, dan kecenderungan pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai penceramah dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah ini ia lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi

atau media elektronik, khususnya di.bulan Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya.

C. Karya Quraish Shihab Quraish Shihab adalah sosok pemikir dan mufassir yang sangat handal. Disamping sebagai seorang pemikir dan mufassir yang handal, beliau juga diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di beberapa lembaga pendidikan dan organisasi social keagamaan. Diantaranya, berliau ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Di sela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya, Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik "Pelita Hati." Dia juga mengasuh rubrik "Tafsir AlAmanah" dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, hingga kini sudah tiga bukunya diterbitkan, yaitu Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); dan Mahhota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988). Beberapa buku yang telah ditulisnya adalah ; o Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984)

o Filsafat Hukum Islam (Jakarta:Departemen Agama, 1987) o Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta:Untagma, 1988) o 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui o Membumikan Al Quran (Bandung:Mizan, 1992) o Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Republika, 2007) o Al Quran : Kisah dan Hikmah Kehidupan (Republish, 2007) o Mukjizat Al Quran : Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Republish, 2007) o Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Quran (Republika, 2007) o Wawasan Al Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Republish, 2007) o Tafsir Al-Mishbah, tafsir Al-Quran lengkap 30 Juz (Jakarta: Lentera Hati)

D.

Telaah Kritis Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab 1. Metode Tafsir Al-Misbah Al-Quran adalah panduan abadi yang Allah berikan untuk seluruh umat manusia. Bukan hanya petunjuk bagi umat Islam, al-Quran juga (sejatinya) aturan kehidupan bagi umat-umat lainnya. Sebagai kitab rujukan utama umat Islam, memahami al-Quran adalah sebuah keharusan. Hal ini penting, mengingat pemahaman adalah pondasi dari sebuah perbuatan. Pemahaman yang benar akan melahirkan amalan yang benar, begitu juga sebaliknya, pemahaman yang salah akan berakibat fatal pada ajaran-ajaran agama, yang kemudian berimplikasi pada amalan yang salah. Namun untuk memahami al-Quran bukanlah hal yang mudah. Bahasa Arab yang menjadi bahasa Kitab ini diakui sebagai bahasa yang sangat kompleks, luas, dan rumit. Dalam bahasa Arab terdapat majz, jz, ithnb, kinyah, isti'rah dan lain sebagaianya yang membutuhkan ketelitian tingkat tinggi untuk memahami makna aslinya. Tak salah kalau kemudian Ibnu Qutaibah mengatakan, "Tidak ada suatu bangsa di dunia ini yang diberikan oleh Allah kekayaan bahasa seperti yang diberikan oleh bangsa Arab." Kompleksitas dan keistimewaan bahasa Arab inilah yang menjadi kendala utama dalam memahami ayat-ayat al-Quran. Bukan hanya bagi orang non-Arab, tetapi termasuk orang Arab sendiri juga banyak yang kesulitan dalam memahami al-Quran. Jangankan kita, para sahabat dan salafus shalif saja telah mengakui hal ini. Khalifah Abu Bakar as-Siddiq harus angkat tangan ketika ditanya makna lafal () dalam surat Abasa: 31, Ibnu Abbs --sang turjumnul Quran-- baru mengetahui makna ( )setelah mendengar dua orang badui saling bertengkar memperebutkan sumur, dan Sa'id bin Musayyib sampai mengatakan, "Saya tidak akan berbicara apapun tentang al-Quran," ketika ditanya makna sebuah ayat al-Quran.

Melihat kendala seperti ini, para ulama kemudian merumuskan sebuah metode (baca: disiplin ilmu) yang bertujuan untuk memudahkan para pelajar dan pemerhati al-Quran dalam memahami setiap jengkal ayat al-Quran. Ilmu itulah yang kemudian disebut dengan ilmu tafsir dan ulumul Quran. Tafsir, yang menjadi pintu untuk memahami alQuran ini pun secara otomatis menjadi sangat penting. Pentingnya ilmu ini tercermin dari kegigihan para ulama dahulu sampai sekarang dalam mencurahkan segenap perhatiannya pada ilmu ini. Ratusan, bahkan ribuan buku tafsir telah lahir. Mulai dari tafsir Jami al-Bayan karya Imam at-Thabari yang lahir pada abad ke-3 sampai tafsir al-Wasith milik Syeikh Tantawi yang muncul pada abad 21 ini; mulai dari tafsir al-Jmi li Ahkmil Quran karya al-Quthuby yang ditulis di Spanyol sana, hingga tafsir al-Misbah-nya Qurays Shihab yang ada di ujung tenggara Asia. Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar al-Qur'an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan al-Qur'an dalam konteks masa kini dan masa modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar al-Qur'an lainnya. Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudui (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat. Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesanpesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan al-Qur'an, tetapi dengan tetap berpegang

ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur'an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur'an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur'an. Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang mamaksakan pendapatnya atas nama al-Qur'an[3].Quraish Shihab adalah seorang ahli tafsir yang pendidik. Keahliannya dalam bidang tafsir tersebut untuk diabdikan dalam bidang pendidikan. Akhir-akhir ini, kebutuhan akan tafsir-tafsir baru dianggap semakin penting karena problematika kehidupan yang semakin beragam, sedangkan nash-nash wahyu sudah lama terhenti. Ditambah lagi tafsir-tafsir klasik juga memiliki beberapa kekurangan. Di antara kekurangan itu menurut Quraish Shihab ada tiga macam. Pertama, tafsir klasik banyak memiliki kecondongan-kecondongan tertentu, baik kecondongan teologis, madzhab, atau aliran bahasa. Hal ini membuat para mufassir terkadang dirasakan memaksakan pemahaman terhadap alQuran agar sesuai dengan kecondongan mereka. Kedua, tafsir klasik banyak yang menggunakan metode penafsiran secara tahlili (menafsirkan seluruh ayat sesuai dengan urutan mushaf). Bentuk demikian menjadikan petunjukpetunjuk al-Quran terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada pembacanya secara menyeluruh. Ketiga, tafsir klasik dinggap semakin tidak laku karena pembahasan yang dikemukakan kurang up to date, sehingga ada yang mengatakan bahwa alQuran telah usang dan tidak mampu menjawab tantangan zaman. Hal ini wajar karena dunia kita memang bukan mereka. Perputaran roda kehidupan membuat problematika kehidupan yang kita alami semakin kompleks dan beragam, yang tentunya berbeda dengan zaman mereka. Bertolak dari problematika inilah, para ahli keislaman kontemporer lalu mencoba untuk menggagas sebuah terobosan baru dalam keilmuan Islam, terutama metode penafsiran terhadap al-Quran. Bagi mereka al-Quran dengan sifat keuniversalannya-- harus mampu menjawab tantangan zaman. Mereka kemudian mencoba untuk mengarahkan pandangan mereka kepada problem-problem baru dan berusaha untuk memberikan jawaban-jawaban melalui petunjuk-petunjuk Al-Quran, sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran atau penemuan manusia yang mutakhir. Dari terobosan itu maka bermunculanlah karya-karya ilmiah yang berbicara tentang satu topik tertentu menurut pandangan Al-Quran, misalnya Al-Insan fi Al-Quran, dan Al-Mar'ah fi Al-Quran karya Abbas Mahmud Al-Aqqd, atau AlRiba fi Al-Quran karya Al-Mauddi, Kafalatul Yatim fil Quran karya Abdul Hay al-Farmawi dan sebagainya. Metode pembahasan seperti ini kemudian mengalami perkembangan di tangan para ahli tafsir. Mereka mencoba untuk menghimpun setiap ayat dalam al-Quran yang berbicara tentang satu topik tertentu, lalu dikaitkan antara satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan

menyeluruh tentang masalah tersebut dan solusinya menurut pandangan AlQuran. Metode inilah yang saat ini dikenal dengan nama Tafsir Maudhui atau Tafsir Tematik.

2. Keistimewaan dan Kelemahan Tafsir Al-Misbah Tafsir al-Misbah adalah karya Quraish Shihab, seorang Doktor Tafsir lulusan Al-Azhar, Mesir. Tafsir ini mulai ditulis pada tanggal 04 Rabiul Awwal tahun 1420 H. bertepatan dengan tanggal 18 Juni tahun 1999. Maka dibanding tiga tafsir sebelumnya, al-Misbah adalah tafsir terkini. Saat itu Quraish sedang bermukim di Mesir sebagai Duta Besar Indonesia untuk Mesir, Somalia dan Jibuti. Tafsir al-Misbh terdiri dari 15 volume, setiap volumenya terdiri dari beberapa surat. Dalam pengantar tafsirnya, Quraish menjelakan mengenai makna dan pentingnya tafsir bagi seorang Muslim. Ia juga menjelaskan bahwa tafsir yang ia tulis tidak sepenunya hasil ijtihad dirinya. Akan tetapi merupakan saduran dari beberapa tafsir terdahulu, seperti tafsir Thanthawi, tafsir Mutawali Syarawi, tafsir f dzillil qur`an, tafsir Ibnu Asyur, dan tafsir Thabathabai. Namun menurut Quraish, tafsir yang paling berpengaruh dan banyak dirujuk dalam alMisbah adalah tafsir Ibrahim Ibn Umar al-Biqi, seorang mufasir asal Lebanon yang meninggal pada tahun 1480 M. Tafsir inilah yang menjadi bahan disertasinya ketika ia menyelesaikan Doktornya di al-Azhar. Dalam menulis tafsirnya, Quraish memberikan pengantar terlebih dahulu pada setiap awal surat yang berisi tujuan dan tema pokok surat tersebut. Karena menurutnya jika seseorang sudah mampu memahami tema pokok sebuah surat, maka secara umum ia dapat memahami pesan utama setiap surat. Kemudian ia membagi surat kepada beberapa kelompok ayat. AlFatihah umpamanya ia bagi menjadi dua kelompok ayat, kelompok pertama ayat 1-4 sedangkan kelompok kedua ayat 5-7, pembagian ayat itu didasarkan kepada adanya keterkaitan antar ayat.

Tafsir al-Misbah memiliki kelebihan dibandingkan dengan kitab tafsir yang lainnya. Disamping penafsirannya yang konstekstual dan bersifat antroposentrisme, juga didasarkan pada pendekatan sosiologisantrpologis yang memberikan kemudahan kepada pembacanya untuk memahami makna yang tersirat di dalam al-Qur'an. Disamping itu, keistimewaan tafsir ini adalah tat kala Quraish Shihab menerjemahkan dan menyampaikan pesan-pesan Al Quran dalam konteks kekinian dan masa post modern yang sangat sederhana dan mudah dimengerti. Selain berusaha untuk membumikan al-Quran metode 'tafsir baru' ini juga dianggap memiliki banyak keistimewaan lain. Dengan tafsir tematik, pembahasan al-Quran mengenai suatu topik akan semakin mendalam, sehingga mampu memberi jawaban yang memuaskan bagi siapa saja yang mencari solusi dari al-Qur'an. Di lain sisi kita juga bisa menangkal anggapan yang mengatakan bahwa alQuran telah usang, tidak bisa menjawab perkembangan zaman. Dengan tafsir tematik inilah kita bisa membuktikan bahwa al-Quran adalah kitab segala zaman. Bukan hanya berbicara secara teoritis, al-Quran juga menjawab secara praktis dan aplikatif. Ditengah semakin bertambahnya proplematika kehidupan, aktifitas manusia juga semakin padat. Padatnya rutinitas keseharian membuat manusia merasa waktu yang dimilikinya semakin sempit. Tak salah kalau kemudian manusia sekarang lebih menggandrungi hal-hal yang instan dan praktis. Saya yakin sudah semakin jarang orang yang sempat membuka buku-buku tafsir tahlili yang berjilid-jilid hanya untuk sekedar membaca atau mencari jawaban suatu permasalahan tertentu. Di sinilah metode tafsir tematik bisa menjadi solusi dan alternatif jitu.

Tafsir tematik ibarat sebuah hidangan prasmanan yang sudah dikotak-kotakkan sesuai dengan selera tamu. Berbeda dengan tafsri tahlili yang memaksa para tamu untuk meracik hidangan sendiri, tafsir tematik telah menyajikan berbagai macam menu bagi para pengunjung sehingga mereka tinggal memilih sesuai selera dan kebutuhan. Praktis, mendalam dan solutif, itulah tafsir tematik. Disamping keistimewaan dalam tafsir al-Misbah ini, terdapat pula kelemahan yang tidak bisa dilepaskan dalam system penafsirannya, yaitu terkait dengan hegemoni penafsir sendiri. Dalam tafsir dengan metode ini, dimana uraian dan pembahasan tafsir hanya dilakukan dengan cara yang singkat dan global, sehingga tidak membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide dari pihak lain, sehingga melahirkan paradigma hegemoni penafsiran yang berlebihan. Walaupun memang dalam setiap penafsiran setiap mufasir memiliki hal subyektif dalam memahami al-Quran. 3. Telaah Kritis Tafsir al-Misbah tentang Muka Masamnya Nabi Berbicara tentang al-Quran adalah bak berbicara tentang samudera luas yang tak terbatas. Sesuai dengan kemampuannya, setiap orang pun mampu menyerap makna al-Quran sehingga dahaga spiritualnya terpuaskan. Tentu semakin tinggi ilmu seseorang maka semakin tinggi pula daya serapnya. Sosok Rasulullah saw dan Ahlul Baitnya adalah penafsir sempurna yang mengetahui secara tepat dan mendalam seluruh makna al-Quran, karena mereka adalah ar Rasikhuna fi al-`Ilm (orang-orang yang mendalam ilmunya). Maka, tak ada seorangpun selain mereka yang mengklaim bahwa buku tafsirnya sudah final alias sempurna, tak terkecualikan dalam hal ini Tafsir alMisbah, karya besar Ustad M. Quraish Shihab.

Saya menyebutnya sebagai karya besar karena karya tafsir dalam bahasa Indonesia sedalam dan setebal ini sangat langka bisa kita temukan di tanah air, atau malah mungkin tidak ada sama sekali. Bagi saya, karya ini merupakan sumbangan besar dalam kepustakaan alQuran di Indonesia. Hanya saja, kebesaran tafsir ini bukan berarti ia steril dari kesalahan dan kekurangan. Seperti yang dikatakan oleh penulisnya sendiri bahwa peminat studi al-Quran kiranya dapat menyempurnakannya. Karena betapapun, ini adalah karya manusia yang dha`if yang memiliki aneka kekurangan, demikian penegasan Ustad Quraish yang sangat tawadu`. Berangkat dari situ, saya mencoba menelaah dan memberi catatan atas beberapa tema penting dalam tafsir tersebut. Pada tulisan kali ini, saya memulai dengan membahas perihal Muka Masamnya Nabi saw. Menurut hemat saya, masalah ini merupakan masalah yang penting yang layak untuk kita diskusikan guna mencari titik temu atau titik terang yang lebih menjanjikan. Dan pada kajian berikutnyayakni tulisan selanjutnya yang sedang saya persiapkan secara berkalaakan menyinggung tema-tema penting lainnya. Selanjutnya, marilah kita masuki pokok kajian ayat pertama dan kedua surah Abasa. Allah swt berfirman: Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang kepadanya seorang tunanetra (QS. Abasa: 1-2)

Sebelum memberikan pandangannya terhadap ayat tersebut, Ustad M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah terlebih dahulu menyampaikan pendapat Allamah Thabathabai berikut ini: Thabathabai tidak menerima riwayat yang menyatakan bahwa ayatayat di atas turun sebagai teguran kepada nabi Muhammad saw. Menurut ulama itu redaksi ayat itu tidak secara jelas menyatakan bahwa teguran ditujukan kepada nabi Muhammad saw. Ia hanya mengandung informasi tanpa menjelaskan pelakunya. Bahkan menurutnyaterdapat petunjuk bahwa yang dimaksud bukan nabi Muhammad saw, karena bermuka masam bukanlah sifat beliau terhadap lawan yang jelas-jelas berseberangan dengan beliau, apalagi terhadap kaum beriman. Lalu penyifatannya bahwa beliau memberi pelayanan kepada orang-orang kaya dan mengabaikan orang-orang miskin, tidaklah serupa dengan sifat nabi saw dan tidak juga dengan alMurtadha (Sayidina Ali ra). Allah swt telah mengagungkan sifat nabi Muhammad saw ketika Yang Maha Kuasa itu berfirman dalam surah Nun yang turun sebelum turunnya surah ini bahwa: Dan sesungguhnya engkau berada di atas budi pekerti yang agung. (QS. Nun: [68]: 4) Maka bagaimana mungkin Allah mengagungkan budi pekerti beliau secara mutlak pada masa awal kenabian beliau, lalu Dia mengecam beliau atas beberapa sikap dan mencelanya bahwa: karena melayani orang-orang kayalagi meminta petunjuk. Di sisi lainlanjut Thabathabai. Allah juga telah berpesan

Ayat-ayat

tersebut

(ayat

pertama

dan

keduapen.)

tidak

mempunyai indikator kuat (dzahiratu dalalah) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Nabi saw. Itu hanya sekedar berita tanpa menjelaskan dengan tegas siapa yang menjadi pusat berita. Bahkan pada hakikatnya ayat itu menunjukkan bahwa yang dimaksud selain Nabi saw. Sebab, muka masam (al-`abus) bukan sifat Nabi saw terhadap musuh-musuhnya yang keras, apalagi terhadap orang-orang mukmin yang mendapatkan hidayah (petunjuk). Allah swt telah mengagungkan akhlak Nabi saw ketika Dia berfirmansebelum turunnya surah ini (surah Abasa): Dan sungguh padamu (Muhammad) terdapat budi pekerti yang agung. Ayat ini terdapat dalam surah Nun dimana banyak riwayat-riwayat yang menjelaskan urutan surah menyepakati bahwa surah ini diturunkan setelah surah Iqra bismi Rabbik (al-`Alaq). Lalu, bagaimana dapat diterima oleh akal: di satu sisi Allah swt mengagungkan akhlaknya di saat permulaan pengutusannya dan Allah menyatakannya secara mutlak lalu setelah itu di sisi lain Dia justru mencelanya atas sebagian perilaku dan akhlaknya yang tercela di mana dinyatakan bahwa beliau lebih memperhatikan orang-orang kaya meskipun mereka kafir dan berpaling dari kaum fakir miskin meskipun mereka beriman dan memperoleh hidayah.

Setelah memaparkan pendapat Allamah Thabathabai tersebut, ustad M. Quraish Shihab memberikan tanggapan dan kritikan atas keterangan Allamah sebagai berikut:

Agaknya ketika itu beliau sadar bahwa menangguhkan urusan sahabat (Abdullah Ibn Ummi Maktum) dapat dimengerti oleh sang sahabat dan dapat diberi kesempatan lain, sedang mendapat kesempatan untuk memperdengarkan dengan tenang kepada tokohtokoh musyrik itu tidak mudah. Di sisi lain, kata talahha bukanlah berarti mengabaikan dalam pengertian menghina dan melecehkan, karena seperti penulis kemukakan di atas ia digunakan juga untuk mengerjakan sesuatu yang penting dengan mengabaikan sesuatu lain yang juga penting. Apa yang dilakukan Nabi saw dengan hanya bermuka masam, tidak menegur dengan kata-kata apalagi mengusirnya adalah satu sikap yang sangat terpujidalam ukuran tokoh-tokoh masyarakat dewasa ini dan kala itu. Jangankan mengganggu pertemuan orang penting, mendekat saja ke ruangnya bisa-bisa mengakibatkan penangkapan atau paling tidak hardikan. Nabi saw sama sekali tidak melakukan hal itu. Bahkan muka masamnya pun tidak terlihat oleh Abdullah Ibn Ummi Maktum. Anda boleh bertanya: Jika demikian, mengapa beliau ditegur? Jawabannya karena beliau adalah manusia teragung, sehingga sikap yang menimbulkan kesan yang negatif pun tidak dikehendaki Allah untuk beliau perankan. Memang seperti bunyi rumus: Hasanat al-Abrar Sayyiat al-Muqarrabin (apa yang dinilai kebajikannya orang-orang yang amat berbakti, masih dinilai keburukan oleh orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya). Nabi Muhammad saw adalah makhluk yang paling didekatkan Allah ke sisi-Nya, karena itu beliau ditegur.

Dalam pandangan mata lahiriah, kesemuanya tidak dapat dibenarkan, tetapi dalam pandangan Allah dan hakikat sebenarnya justru itulah yang terbaik. Dalam kasus nabi Muhammad saw ini, Allah mengajarkan beliau bahwa kalaulah kelihatannya berdasarkan indikator-indikator yang nyata bahwa tokoh kaum musyrikin yang dilayani nabi Muhammad saw itu diharapkan memeluk agama Islam, maka pada hakikatnya tidaklah demikian. Catatan dan Telaah atas Pendapat Ustad M. Quraish Shihab : a) Metedologi tafsir yang diyakini oleh Allamah adalah tafsir al-Quran dengan al-Quran. Artinya, beliau meyakini bahwa ayat-ayat alQuran itu satu sama lain saling menafsirkan, saling menjelaskan dan saling menguatkan. Menurut Allamah, al-Quran itu pelita dan penjelas buat segala sesuatu maka mana mungkin ia tidak menjadi penjelas untuk dirinya sendiri! b) Bila Ustad M. Quraish Shihab menyatakan bahwa yang bermuka masam itu memang nabi saw maka itu berarti beliau membenarkan riwayat Asbab Nuzul yang mengisahkan hal itu, padahal sanad perawinya bermasalah/lemah (dha`if). Redaksi riwayat itu sebagai berikut: Dalam tafsir al-Misbah, Ustad M. Quraish Shihab mengemukakan pendapat al-Wahidi yang meriwayatkantanpa menyebut sanad (rangkaian perawinya) bahwa setelah peristiwa ini, bila Abdullah Ibn Ummi Maktum ra datang, menyambutnya dengan ucapan: Marhaban (selamat datang) wahai siapa yang aku ditegurkarena iaoleh Tuhanku. Di sini saya akan menyampaikan analisa dan kritikan terhadap kebenaran riwayat bermuka masamnya nabi saw tersebut. Kritikan ini saya sarikan dan nukil dari buku Nabi Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam, karya guru saya yang terhormat al-Marhum Ustad Husein bin Abu Bakar al-Habsyi. Analisa dan kritikan terhadap kebenaran riwayat bermuka masamnya nabi saw yang saya maksud adalah:

a. b.

Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkannya, sehingga hadis ini tidak muttafaqun alaih (yang disepakati oleh keseluruhan). Sebab turunnya ayat tersebut simpang siur, yakni: Delegasi Bani Asad datang menjumpai Rasul saw dan tidak ada hubungannya dengan Ibnu Ummi Maktum. Sebab turunnya, al-A`la bin Yazid al-Hadhrami ditanya oleh Rasulullah saw, Apakah ia dapat membaca al-Quran? Kemudian ia menjawab, Ya, dan membaca surah Abasa. Sebab turunnya karena datangnya Abdullah bin Ummi Maktum kepada Rasulullah saw. Dalam hadis tersebut terdapat para perawi sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) Yahya bin Sai`d. Urwah bin Zubair (ayah Hisyam). Hisyam bin Urwah. Ummul Mukminin Aisyah.

E.

Kesimpulan

Quraish Shihab adalah sosok pemikir dan mufassir yang sangat handal. Disamping sebagai seorang pemikir dan mufassir yang handal, beliau juga diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di beberapa lembaga pendidikan dan organisasi social keagamaan.

Quraish Syihab cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudui (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.

Tafsir al-Misbah memiliki kelebihan dibandingkan dengan kitab tafsir yang lainnya. Disamping penafsirannya yang konstekstual dan bersifat antroposentrisme, juga didasarkan pada pendekatan sosiologis-antrpologis yang memberikan kemudahan kepada pembacanya untuk memahami makna yang tersirat di dalam al-Qur'an.

Tafsir Al- Misbah memiliki kelemahan, yaitu terkait dengan hegemoni penafsir sendiri. Dalam tafsir dengan metode ini, dimana uraian dan pembahasan tafsir hanya dilakukan dengan cara yang singkat dan global, sehingga tidak membuka ruang yang lebar untuk memasukkan ide-ide dari pihak lain, sehingga melahirkan paradigma hegemoni penafsiran yang berlebihan.

DAFTAR BACAAN M. Quraish Shihab, 1992, Membumikan al-Quran, Bandung, Mizan. Howard M. Federspiel, 1996, Kajian al-Quraan di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, Bandung, Mizan. Dewan Redaksi, 1994, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Manna' Kholil al-Qattan, 2004, Studi-studi Ilmu al-Qur'an, Bogor, Lintera Antar Nusa. Muhammad bin Abu Syahbah, al-Mudhol Li Dirosatil Qur'anil Kariim, Bairut, Darul Jail. Ramli Abdul Wahid, 1993, Ulumul Qur'an, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. Said Aqil Husin al-Munawar, 2004, al-Qur'an Membangun Kesalehan Hakiki, Jakarta, Ciputat Press. Syahiron Syamsuddin, 2003, Hermeneutika al-Qur'an : Madzhab Yogya, Yogyakarta., Islamika Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 2002, Ilmu-ilmu al-Qur'an : Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan al-Qur'an, Semarang, Pustaka Rizki Putra. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 2000, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Semarang, Pustaka Rizki Putra.

You might also like