You are on page 1of 30

Pola Pemukiman Desa Dan Kota Di Indonesia (Rural and Urban Settlements)

Oleh: Muthmainna (1107215081980)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN GEOGRAFI 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Geografi Manusia yang berjudul Rural and Urban Settlements . Pembuatan makalah ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan serta dapat berpikir kritis tentang kejadian-kejadian yang berkaitan dengan Geografi Manusia. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada dosen pembimbing matakuliah Geografi Manusia Dr. Budijanto, M.Pd yang telah

membimbing kami sehingga dapat menyusun makalah ini. Semoga Tuhan YME memberi balasan atas segala bantuan yang diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Harapan saya, semoga karya yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, penulis khususnya dan pembaca pada umumnya .

Malang, Maret 2012

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan perdesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/hunian penghidupan. Pola pemukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan melakukan kegiatan/aktivitas sehari-harinya. Pemukiman dapat diartikan sebagai suatu tempat (ruang) atau suatu daerah dimana penduduk terkonsentrasi dan hidup bersama menggunakan lingkungan setempat, untuk mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan hidupnya. Pengertian pola dan sebaran pemukiman memiliki hubungan yang sangat erat. Sebaran permukiman membincangkan hal dimana terdapat permukiman dan atau tidak terdapat permukiman dalam suatu wilayah, sedangkan pola pemukiman merupakan sifat sebaran, lebih banyak berkaitan dengan akibat faktor-faktor ekonomi, sejarah dan faktor budaya. Pemukiman diseluruh dunia dapat dibedakan menjadi dua yaitu pemukiman desa dan kota. Setiap bentuk pemukiman memiliki pola dan bentuk masing-masing, sehingga untuk menggolongkan setiap pemukiman tersebut dibutuhkan kriteria dan ciri tertentu. Pemukiman kota dan desa di setiap negara baik itu negara berkembang atau negara maju juga memiliki karakteristik yang berbeda baik struktur atau morfologinya. Walaupun jika digambarkan secara umum memiliki karakteristik yang sama, namun jika dijabarkan secara khusus setiap wilayah tidak ada yang memiliki karakteristik yang sama. Ini dipengaruhi oleh letak, kondisi geografis wilayah, budaya masyarakatnya. Termasuk Indonesia sebagai negara berkembang memiliki karakater pemukiman yang berbeda dengan negara lain. Hal ini dapat dilihat dari beragam pola pemukiman yang terdapat dari Sabang sampai Merauke. dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan

B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dijabarkan rumusan masalah dalam makalah ini yaitu bagaimana proses terbentuknya pemukiman desa dan kota dilihat dari pendapat para ahli yang telah mengembangkan model-model struktur kota, pola pemukiman desa dan kota baik di negara maju dan negara berkembang. Dan bagaimana terbentuknya pemukiman desa dan kota di Indonesia dilihat dari sejarah dan budaya masyarakat.

BAB II PEMBAHASAN

A. Ringkasan Rural and Urban Settlements Pemukiman dapat berupa tempat hunian, sebuah dusun, desa, dan kota. Meskipun memiliki nama yang berbeda baik secara informal atau secara hukum memiliki definisi sebagai diskrit, namun secara praktis masing-masing nama tersebut dikategorikan secara berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sulit untuk melihat batas garis secara jelas dalam hal ukuran atau fungsi antara kota besar dan kota kecil. Teori Tempat Sentral (Central Place) Teori ini memaparkan tentang persebaran dan besarnya pemukiman (hierarki pemukiman dan persebarannya). Bahwa berbagai jenis barang pada orde yang sama cenderung bergabung pada pusat wilayahnya, sehingga pusat itu menjadi lokasi kosentrasi (kota). Dengan kata lain terciptanya suatu kota didorong oleh para produsen berbagai jenis barang pada orde yang sama cenderung berlokasi pada titik sentral di wilayahnya. Walter Christaller (Jerman, 1933) mengemukakan tentang teori tempat sentral (Theory central place). Christaller menyusun teori ini untuk menjawab tiga pertanyaan utama yaitu, apakah yang menentukan banyaknya, besarnya, dan persebaran kota? Teori ini menyangkut hierarki pemukiman dan persebarannya secara geografis. Menurut Christaller terdapat konsep yang disebut jangkaun (range) dan batas ambang (treshold). Range adalah jarak yang perlu ditempuh manusia untuk mendapatkan barang kebutuhan pada suatu waktu tertentu saja. Treshold adalah jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk kelancaran dan keseimbangan suplai barang. Dalam teori ini diasumsikan pada wilayah datar yang luas dihuni oleh sejumlah penduduk dengan kondisi yang merata. Dalam memenuhi kebutuhannya,

penduduk memerlukan berbagai jenis barang dan jasa, seperti makanan, minuman, perlengkapan rumah tangga, pelayanan pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Untuk memperoleh kebutuhan tersebut penduduk harus menempuh jarak tertentu dari rumah yang disebut range. Lima asumsi yang digunakan Christaller untuk membangun teori dengan pendekatan ilmu geografi ekonomi, antara lain: (1) Karena para konsumen yang menanggung ongkos angkutan, maka jarak ke tempat pusat yang dinyatakan dalam biaya dan waktu sangat penting, (2) karena konsumen yang menanggung ongkos angkutan, maka jangkauan (range) suatu barang ditentukan oleh jarak yang dinyatakan dalam biaya dan waktu, (3) semua konsumen dalam usaha mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan menuju ke tempat pusat yang paling dekat letaknya, (4) kota-kota berfungsi sebagai tempat sentral bagi wilayah sekitarnya. Artinya ada hubungan antara besarnya tempat pusat dan besarnya (luas) wilayah pasaran, banyaknya penduduk dan tingginya pendapatan di wilayah yang bersangkutan, (5) wilayah tersebut digagaskan sebagai dataran dimana penduduknya tersebar merata dan ciri-ciri ekonomisnya sama (besar penghasilan sama). Distribusi Penggunaan Lahan di Sekitar Pemukiman Von Thunen mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Perbedaan ongkos transportasi tiap komoditas pertanian dari tempat produksi kepasar terdekat mempengaruhi jenis penggunaan tanah yang ada disuatu daerah. Von Thunen berpendapat bahwa suatu pola produksi pertanian berhubungan dengan pola tata guna lahan diwilayah sekitar pusat pasar atau kota. Dalam teori ini ia mengeluarkan asumsi-asumsi sebagai berikut :

Pusat pasar atau kota semestinya berada pada titik pusat suatu wilayah yang secara geografis bersifat homogen

Hubungan yang berbanding lurus terjadi antara biaya transportasi dengan jarak.

Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang ditempuh.

Petani akan cenderung memilih jenis tanaman yang dapat menghasilkan manfaat dan keuntungan yang maksimal sesuai dengan permintaan pasar. Gagasan utama yang dapat diambil dari Teori Von Thunen adalah bahwa tata

guna lahan akan mempengaruhi nilai sewa suatu lahan. Area yang berada dipusat pasar atau kota akan memiliki nilai atau harga yang lebih mahal dibandingkan lahan yang berlokasi jauh dari pusat pasar. Banyaknya kegiatan yang berpusat pada kota atau pusat pasar ini menjadikan kota memiliki nilai yang lebih ekonomis untuk mendapatkan keuntungan maksimal bagi para pelaku pertanian. Perbedaan yang disebabkan oleh faktor jarak ini menentukan nilai suatu barang, semakin jauh jarak yang ditempuh oleh para petani maka biaya transportasi yang dikeluarkan akan semakin meningkat, sehingga para petani akan memilih untuk menyewa lahan yang lebih dekat dengan pusat pasar atau kota dengan harapan bisa mendapatkan nilai atau harga barang yang lebih tinggi tanpa harus mengeluarkan biaya transportasi yang tinggi.

Perbandingan Ukuran Kota Pemukiman cenderung membentuk hierarki. hirarki permukiman terbentuk sesuai dengan sebutan yang diberikan oleh manusia yaitu dusun, desa, kota, kota, dan metropolis. Menurut teori tempat pusat, hirarki dibentuk oleh ukuran daerah perdagangan dan jarak antara pusat-pusat pelayanan. karakteristik lain dari hirarki permukiman dapat dilihat dengan peringkat tempat di suatu negara berdasarkan ukuran populasi mereka. Di negara maju, hubungan yang muncul untuk ukuran kota adalah peringkat ukuran populasi. kota terbesar sering sekitar dua kali lebih besar tempat yang paling padat penduduknya kedua, tiga kali ukuran pusat peringkat ketiga, dan empat kali kota terbesar keempat. jenis hubungan yang disebut aturan peringkat ukuran. Kriteria ukuran tingkatan jarang berlaku pada negara berkembang, dimana kota utama umumnya lebih besar dari yang lain. Dalam hal ini, kota utama ini disebut

kota primate, yang keutamaan terjadi ketika salah satu daerah menetapkan dominasi ekonomi untuk seluruh negeri. Morfologi Pemukiman Dalam arti umum, morfologi berhubungan dengan bentuk dan struktur. studi morfologi permukiman, oleh karena itu, menyangkut bentuk dan susunan internal atau tata letak fitur seperti jalan, bangunan, dan penggunaan lahan. Studi morfologi memeriksa distribusi spasial fitur dalam area tertutup oleh pemukiman, sebaliknya, sebuah studi pola permukiman menganggap lokasi tempat sebagai titik dalam suatu wilayah yang besar. Geografer menggunakan morfologi untuk generalisasi tentang karakter dari jenis permukiman. misalnya, beberapa bentuk desa khas telah diakui di eropa dan Amerika Utara. Salah satu bentuk khas adalah desa jalanan (Strassendorf) dengan rumah-rumah sejajar di kedua sisi jalan utama. dalam bentuk lain, rumah yang terletak di tengah-tengah area hijau. Desa hijau seperti (Angerdorf) yang umum letaknya di wilayah ujung utara dan timur eropa. Beberapa bentuk permukiman yang khas untuk suatu wilayah, periode sejarah, atau budaya. misalnya, alun-alun gedung pengadilan ditemukan di banyak kota-kota kecil Amerika berbeda dari town square di Eropa sebelumnya. dan strip mobil dengan drive-in layanan merupakan bentuk abad kedua puluh khas Amerika. Ini ringkasan singkat dari konsep dalam geografi permukiman telah terkait ukuran, lokasi, fungsi, dan morfologi. beberapa dari hubungan ini dapat ditunjukkan lebih lanjut melihat berbagai jenis pemukiman.

Pemukiman Desa Pada dasarnya, pemukiman dapat dibagi menjadi bentuk pedesaan dan bentuk perkotaan. Karakteristik spasial sebuah desa pertanian kecil cukup berbeda dari sebuah kota metropolis, dalam menjabarkan pemukiman desa yaitu dengan menjabarkan perbedaan antara pedesaan dan perkotaan.

Seperti dijeskan pada bab 8, kegiatan ekonomi pedesaan terdiri dari, masa berburu dan pengumpul, peladang berpindah, dan petani tradisional. bentuk-bentuk tertentu dari pemukiman yang terkait dengan masing-masing jenis ekonomi, mulai dari tempat tinggal nomaden masa berburu sampai ke masyarakat pertanian menetap. 1. Pemukiman orang nomaden dan peladang berpindah Pada masa berburu dan berkelompok memiliki ciri-ciri yaitu, kepadatan penduduk rendah, pemukiman yang tersebar dan jumlahnya sedikit. Lokasi pemukiman sering ditempati hanya secara musiman. misalnya, nomaden dataran indians. Meskipun masa berburu dan pengumpul tidak menghasilkan pusat-pusat kota, dalam menukar barang (barter) telah terjadi di beberpa tempat yang mudah mereka akses. Kondisi pemukiman yang ditinggalkan oleh para peladang dapat menggambarkan lamanya waktu mereka telah meninggalkan pemukiman tersebut. Secara umum, semakin lama periode tidak ditanami, menetukan bahwa pemukiman tersebut pemukiman yang tidak menetap. Misalnya, Campa dari lereng timur hutan dari Pegunungan Andes Peru memungkinkan lahan kosong yang tidak ditempati selama lebih dari 10 tahun. ini dimungkinkan karena jumlah populasi yang rendah, dengan kepadatan diperkirakan satu orang per kilometer persegi teritori (Denevan 1971). Di beberapa daerah, peladang berpindah mendirikan tempat tinggal sementara yang berada dekat ladang sementara, namun mereka tetap mempertahankan desa permanen. Dalam kasus Iban, petani padi kering dalam perbukitan teh Sarawak (Malaysia Timur), ada tingkatan hierarki pemukiman mereka. Pemukiman terbesar adalah "rumah panjang", yang merupakan bangunan tetap tunggal yang dibangun oleh seluruh penduduk dan mampu menampung sebanyak 300 orang. Peladang berpindah yang menghasilkan tanaman subsistensi tidak terlalu membutuhkan pasar, dan kota-kota bukan merupakan bagian dari pola pemukiman mereka. sebagai aktivitas ekonomi eksternal pada daerah yang diduduki oleh peladang berpindah, beberapa tempat pemasaran mungkin timbul. misalnya, peladang berpindah di lembah amazon mungkin diperdagangkan pada pasar-pasar berkembang di sepanjang jalan yang sedang dibangun di seluruh wilayah.

2.

Desa yang terkait dengan pertanian tradisional Para petani tradisional pada masa ini sudah menggunakan sistem tanam yang

pendek dan secara terus menerus. Semakin tinggi intensitas penggunaan lahan semakin besar kemungkinan bahwa pemukiman tersebut merupakan pemukiman di desa permanen. Di Amerika sebagian besar petani hidup pada lahan yang mereka garap dan terletak berjauhan dengan tetangga yang lain. Salah satu alasan kenapa petani menetap pada lahan yang mereka garap yakni karena masalah transportasi yang sulit pada masa itu, tidak sama pada masa modern. Beberapa faktor dapat membantu menjelaskan mengapa petani di beberapa masyarakat lebih memilih tinggal di pemukiman berkelompok. populasi pedesaan di masa lalu tinggal secara mengelompok karena untuk masalah keamanan dan pertahanan. Ketakutan merupakan faktor yang mendorong untuk pemilihan lokasi yang aman, tetapi letak juga menjadi pertimbangan. Kecuali ada pembatas yang dapat melindungi mereka dari bahaya, maka tidak akan timbul keputusan untuk tinggal mengelompok. Alasan laian untuk tinggal berkelompok dalam masyarakat praindustri adalah adanya keuntungan dari kerjasama antara anggota kelompok. Faktor sosial adalah kekuatan penting dari berkelompok terutama di mana sumber daya lahan dikendalikan secara bersama-sama. jika petani memperoleh akses ke tanah yang subur, daerah penggembalaan umum, dan hutan dengan menjadi anggota dari masyarakat atau komunitas tersebut, maka ada keuntungan untuk tinggal dekat dengan pusit di mana keputusan dibuat. Sistem pemilikan tanah juga penting. Di desa-desa tradisional, petani ada sebagian tersebar pada beberapa bidang tanah karena merupakan pembagian warisan tanah antara semua ahli waris. Tinggal di pemukiman yang terletak di pusat dapat mengurangi waktu perjalanan ke beberapa tanah yang tersebar.

Pemukiman Kota Urbanisasi secara besar-besaran merupakan perkembangan baru dalam masalah penduduk. Dari masa lalu sampai sekarang, jarang sekali daerah kota hanya ditinggali 10 persen dari jumlah penduduk, kecuali negara-negara kecil. Beberapa variasi pemukiman perkotaan dapat dilihat dengan mendeskripsikan beberapa hal yaitu, (1) karakteristik kota-kota pra-industri, (2) sistem perkembangan perkotaan Amerika, dan (3) urbanisasi saat ini di negara-negara kurang berkembang. 1) Kota pra-industri Pada masyarakat pra industri pemukiman yang lebih dominan yaitu pedesaan, namun pemukiman perkotaan juga sudah ada masa itu. Secara morfologi kota, pusatpusat kota pada masyarakat pra industri di dominasi oleh bangunan pemerintahan dan keagamaan. Struktur kelas pada masyarakat kota ditentukan oleh lembaga politik, agama, dan pendidikan. Meskipun ada pembagian kelas, namun penggunaan lahan di kota tercampur. Pasar terdapat di dekat gereja, dan took berjajar mengikuti jalan. Sjoberg (1960) berpendapat bahwa karakteristik ini dimiliki oleh kota-kota pra-industri apakah berada di Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Barat Daya, Eropa, atau Amerika Tengah. Rhoads Murphey (1945) menemukan bahwa peran perdagangan di kota-kota cina berbeda dari yang di kota-kota Eropa setelah abad kedua belas. di Cina, fungsi perdagangan berada di bawah fungsi adminisrasif. kota mengendalikan daerah pedesaan sebagai lokasi untuk kegiatan komersial. Tidak seperti kota-kota Eropa, yang menjadi pusat gejolak ekonomi dan sosial sebelum Revolusi industri, fungsi dominan birokrasi kota Cina menahan diversifikasi dan perubahan. 2) Sistem Perkembangan Kota di Amerika Di pertengahan 1980-an, 80 persen dari penduduk AS tinggal di wilayah perkotaan. Bagaimana tempat-tempat perkotaan berkembang?Kota banyak dikembangkan karena permintaan konsumen terdekat untuk barang dan jasa, seperti yang dijelaskan oleh Teori tempat pusat Christaller ini. Sebuah pemukiman kota

beberapa kota besar di Amerika Serikat dimulai sebagai tempat pusat grosir yang mengakses perdagangan jarak jauh. Beberapa pusat grosir pertama, yang berada di lokasi pantai, mulai dengan mengumpulkan dan mengekspor bahan pokok, seperti bulu ke Eropa dan dengan mengimpor dan mendistribusikan barang dari Eropa. Urutan perkembangan sistem perkotaan dibagi menjadi lima tahap berikut; Tahap 1: Eksplorasi dan pencarian. pada abad keenam belas, Inggris, Perancis, dan pelaut Spanyol menjelajahi pantai Amerika Utara dan memberikan informasi tentang sumber daya daerah. Tahap 2: Membangun pondasi Kota Pesisir. Pemukiman perkotaan dimulai setelah abad ketujuh belas jajahan yang didirikan di Amerika Utara. Beberapa jajahan, seperti Virginia, dipandang sebagai "investasi dalam perdagangan" yaitu, sebagai bagian dari sistem merkantilis. Meskipun sebagian dari sumberdaya tersebut untuk pemanfaatan sendiri, namun yang memiliki nilai tinggi seperti tembakau, kayu, dan bulu diekspor. Tak satu pun dari tempat-tempat perkotaan pertama, yang didirikan di pantai timur, itu besar. pada tahun 1700, Boston, pusat komersial terkemuka, memiliki populasi 6700. New York dan Philadelphia memiliki populasi sekitar 5000, dan Charles kota memiliki 2.000 penduduk Tahap 3: Perluasan Jaringan Pemukiman dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri. dalam fase ketiga, pemukiman menyebar ke daratan. Karena dibutuhkan "tempat penyimpanan" untuk menghubungkan mereka dan sumber daya ke Eropa, timur pantai pelabuhan mulai bertindak sebagai "engsel ekonomi" antara daerah perbatasan dan " Ibu kota negara". Amerika Serikat masih didominasi pedesaan pada tahun 1800 dengan hanya 7 persen dari populasi yang berada di tempat-tempat perkotaan. Tahap 4: infilling dari Jaringan dan Pentingnya pertumbuhan Perdagangan Internal. dengan ekspansi yang cepat dari perbatasan pada abad kesembilan belas

dan awal kedelapan belas. Daerah-daerah perbatasan diperlukan koneksi dengan pemasok perkotaan dan pasar, dan pantai timur kota, yang mengembangkan industri manufaktur, ingin mendapatkan akses ke daerah dalam. Masalah utama adalah transportasi. Jalur darat yang sulit dan mahal, terutama untuk transportasi produk besar. Trasnportation air adalah bentuk termudah dan termurah koneksi. Ketika interior mulai diselesaikan, oleh karena itu, kota yang terletak dekat dengan sungai, danau, dan kemudian saluran navigasi. Tahap 5: Memodifikasi jaringan. Menurut model Vance, tempat sentral berfungsi sebagai menjadi penting pada pusat perdagangan jarak jauh sebagai kota tambahan dikembangkan di seluruh Amerika Serikat selama fase terakhir. Dengan perluasan tempat perkotaan dan semakin pentingnya fungsi layanan mereka, lebih banyak tempat perkotaan menjadi kota besar. sistem memuncak mencerminkan penerapan pola tempat sentral pada struktur dagang yang ada dikembangkan di distribusi dan manufaktur poin. Secara singkat bahwa perkembangan kota di Amerika dikarenakan penggabungan lebih dari satu jenis asal dan fungsi. Satu: banyak kota yang terletak di situs diakses perdagangan jarak jauh, seperti yang dijelaskan dalam model perdagangan. Kedua: beberapa kota muncul sebagai pusat perdagangan lokal, seperti yang dijelaskan oleh teori tempat pusat. Tiga: Sebuah perkotaan beberapa tempat pembangunan di lokasi bahan baku yang menarik industri, seperti kota-kota manufaktur pada coalfields di Pennsylvania barat. banyak pemukiman kota yang paling awal berasal di pantai timur, namun, beberapa dimulai pada tepi selatan dan barat daya negara tersebut.

3) Kondisi urbanisasi saat ini di negara-negara berkembang Dari 1950-1975, ketika negara-negara maju sebagai sebuah kelompok mengalami peningkatan penduduk perkotaan dari 71 persen, ukuran penduduk kota dari negaranegara berkembang membengkak hampir 200 persen-222 persen di Afrika, 191 persen di Amerika Latin, dan 179 persen di Asia. Dalam angka absolut, penduduk

perkotaan di Afrika meningkat sebesar 71 juta antara 1950 dan 1975. Pada periode yang sama, Amerika Latin ditambah 130 juta orang penduduk perkotaan, dan penduduk perkotaan di Asia meningkat 315 juta. Salah satu hasil yang diharapkan dari urbanisasi yang cepat di negara-negara kurang berkembang, dan melambatnya laju urbanisasi di Eropa dan Amerika Utara, akan menjadi penataan ulang dalam urutan kota terbesar oleh setengah abad berikutnya. Pada tahun 1950, ketiga terbesar kota di dunia berada di Negara bersatu dan Eropa, tetapi pada tahun 2034, tidak ada sepuluh kota atas diharapkan berada di kedua daerah. Urbanisasi merupakan hasil dari peningkatan secara alami dan migrasi. Peningkatan secara alami ditunjukkan di Cina selama periode ketika migrasi ke daerah perkotaan. Dari 1949-1979 sekitar dua pertiga dari pertumbuhan perkotaan ini disebabkan pertumbuhan alami. Seringkali tingginya tingkat pertumbuhan alami adalah akibat langsung dari migrasi masuk oleh orang dewasa muda selama tahun puncaknya reproduksi (Todaro 1980). Penyebab penting dari migrasi desa-kota adalah persepsi dari orang-orang yang ingin melakukan urbanisasi, dan terkadang kenyataan bahwa kesempatan dan kemajuan ekonomi dan sosial yang tersedia di kota-kota. Prospek ekonomi di daerah pedesaan di negara-negara berkembang umumnya suram. Sering kali ada kelebihan tenaga kerja, terutama dalam mekanisasi sistem pertanian tradisional. Lambatnya pertumbuhan kesempatan ekonomi di daerah pedesaan, pengangguran atau setengah pengangguran ada di daerah pertanian. Di sebagian besar negara maju, orang muda beralih ke kota-kota sebagai tempat dianggap memiliki kesempatan kerja lebih banyak. Investasi baru, terutama di bidang industri, cenderung berfokus pada kota-kota besar. produsen, baik domestik maupun mereka yang berafiliasi dengan perusahaan asing, lebih memilih untuk menanam investasi di daerah perkotaan di mana tenaga kerja, pasar, dan fasilitas transportasi yang terbaik dikembangkan. Jika pembangunan perkotaan seperti ini kontras dengan di daerah pedesaan yang terabaikan dari investasi, ketidakseimbangan antara peluang pedesaan dan perkotaan dapat melebar.

Struktur Internal Kota Susunan kota pada umumnya digambarkan pada penempatan letak setiap wilayah. Beberapa wilayah yang letaknya di bagian utama dari kios eceran, di sisi lain dari kota digunakan untuk tempat penyimpanan, industri, gedung pemerintahan, tempat tinggal bagi penduduk yang berpendapatan menetap, tempat tinggal untuk etnik-etnik tertentu, dan institusi publik. Usaha untuk membuat generalisasi dari struktur kota ke dalam model yang dilakukan secara keseluruhan. 1. Teori Concentric (Burgess) Burgess mengemukakan bahwa kota-kota berawal dari sebuah pusat yang kemudian meluas dari pusat itu sendiri. Yang kemudian nantinya secara luas bertahap penduduk mulai berdatangan atau menempati wilayah perluasan tersebut. Struktur kota yang demikian akan berupa beberapa zona-zona yang terkonsentrasi pada suatu pusat. Di tengah atau dipusat dari struktur kota tersebut terdapat sebuah pusat bisnis atau CBD (Central Bussines District) yang bisa dikatakan merupakan zona pertama yang di dalam pusat tersebut merupakan pusat ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan. Kemudian di zona kedua yaitu transistion zone, yang berisikan industri di sela-sela perumahan penduduk yang mempunyai tanah atau bangunan dari warisan masa lampau. Namun sebagian besar daerah ini telah banyak diubah menjadi kawasan perkantoran maupun kawasan pertokoan. Dan juga dikawasan ini terdapat slum atau daerah kumuh yang tidak beraturan yang biasanya ditempati oleh para pendatang atau pekerja yang berpenghasilan kurang. Dan di daerah slum ini pun rawan akan terjadinya pelanggaran hukum atau kejahatan disamping adanya kemiskinan yang melanda. Kemudian berikutnya adalah zona kaum buruh kecil yang merupakan zona ketiga di dalam struktur ini. Di dalam zona ini dihuni oleh para kaum buruh kecil yang bertempat tinggal menetap di kawasan tersebut dengan jangka waktu yang relatif lama. Zona keempat ialah middle class housing yang dihuni oleh para kaum kelas menengah. Yang pemukimannya tidak terlalu ada karena masih ada jarak diantara rumah-rumah penduduk tersebut. Dan yang terakhir di zona kelima ialah

commuter, disini di tempati oleh para penduduk yang bekerja di kota dengan menglaju. 2. Teori sektor (Hoyt) Hoyt mengemukakan bahwa proses pertumbuhan kota lebih berdasarkan sektor-sektor daripada sistem concentric yang dikemukakan dalam teori Burgess. Hoyt meneliti CBD yang terdapat di pusat kota dan Hoyt mengemukakan bahwa pengelompokan tata guna tanah di satu kota seperti alur irisan kue tart. Yang di dalamnya terdapat perbedaan kawasan kota berdasarkan jenis blok-blok berdasarkan fungsi ataupun jenis pengelompokan penduduk. Oleh sebab itu pendirian kawasan perumahan oleh kaum elite akan mendorong mahalnya harga tanah-tanah yang berlokasi di tepi-tepi perumahan elite tersebut. Dan perumahan bagi kaum buruh hanya akan berkembang dengan menyambung sesuai rute yang telah ada. Di dalam penelitiannya Hoyt menemukan bahwa pajak tanah dan bangunan berbeda-beda berdasarkan sektor-sektor dikota. Jadi pajak tertinggi tidak harus terdapat di kawasan pusat kota. Namun didasarkan pada fungsi-fungsi daripada sektor-sektor tersebut. Contohnya, walaupun sebidang tanah yang berada di pinggiran atau perbatasan kota namun harganya mahal karena termasuk ke dalam kawasan perumahan elite. 3. Teori Multiple Nuclei (Harris-Ullman) Harris dan Ullman mengemukakan bahwa di dalam suatu kota terdapat kenyataan yang lebih kompleks dari apa yang dikemukakan oleh Burgess dan Hoyt. Harris dan Ullman berpendapat bahwa pertumbuhan disebabkan oleh munculnya pusat-pusat tambahan yang masing-masing akan menjadi pusat pertumbuhan. Di sekeliling pusat-pusat tambahan tersebut akan membentuk suatu pengelompokan tata guna tanah yang berhubungan secara personal. Dan dari keadaan tersebut akan memungkinkan lahirnya struktur kota yang memiliki sel-sel pertumbuhan.

Daerah-daerah yang bertipe sel-sel atau nucleus tersebut misalnya pelabuhan, kawasan industri, stasiun, maupun kawasan perkotaan. Jadi yang memiliki pusat bukan hanya kota, juga daerah-daerah pinggiran atau tepian kota memiliki pusatpusat yang menaungi penduduk. Menurut Haris dan Ullman. Pengelompokan tata guna tanah disuatu kota lebih cenderung menggunakan perhitungan secara ekonomis. Contohnya, perumahan baru akan mencari lokasi yang dekat dengan pasar atau pusat perbelanjaan. Dan juga industri baru akan mencari lokasi yang strategis sesuai dengan rutetransportasi.

Perubahan Bentuk Dan Fungsi Dalam beberapa dekade terakhir, banyak bentuk pedagang eceran menurun di distrik pusat bisnis sebagai toko telah direlokasi di mal yang dapat diakses dengan parkir mobil lebih mudah. Pada 1970, sekitar 75 persen dari perdagangan eceran terdapat di daerah pinggiran kota metropolitan di Timur Laut dan Midwest. Selain itu, kegiatan manufaktur banyak yang pindah dari daerah berpajak tinggi dan sesak di bagian tengah kota. Taman industri berlokasi di ringroads, seperti Jalan Raya 128 sekitar Boston, menyediakan situs yang menarik bagi produsen. Alasan mengapa kota melakukan perluasan keluar dari inti kota, Pertama, penduduk perkotaan telah berkembang pada abad terakhir, dan akibatnya mereka membutuhkan lebih banyak ruang. Meskipun akan mungkin untuk meningkatkan kepadatan populasi dalam inti kota (seperti yang terjadi di beberapa kota dunia), dalam perluasan kota di Amerika telah ke luar. Kedua, seperti yang dijelaskan oleh model transportasi, perubahan teknologi transportasi memungkinkan orang untuk tinggal jauh dari tempat kerja mereka tanpa pengorbanan besar dalam biaya perjalanan dan waktu. Ketiga, transportasi modern telah meningkatkan aksesibilitas atas tanah lebih murah yang terpencil. Seperti yang dijelaskan oleh Von Thnen lebih jauh dari kota, lebih murah nilai tanah. Karena biaya lahan adalah bagian penting dari biaya perumahan, harga tanah relatif rendah di pinggiran kota menciptakan insentif untuk membangun ke arah luar daripada mengembangkan kembali wilayah inti yang ada.

Keempat, perluasan perkotaan menciptakan jarak antara layanan terletak di pusat dan daerah pemukiman. Dalam hal teori tempat pusat, kami akan memprediksi bahwa, sekali jarak dari CBD melebihi beberapa beberapa kilometer, pusat baru akan muncul untuk menyediakan barang dan layanan dasar dengan wilayah pemukiman. Efeknya adalah, awalnya, untuk membuat outlet untuk barang kenyamanan dan jasa di lokasi pinggiran kota. Outlet ini baru kemudian mulai untuk mencegat konsumen yang sebelumnya berbelanja di distrik pusat bisnis. Kelima, hukum penetapan wilayah dan keputusan politik lainnya tidak dianjurkan perluasan kota. Di Eropa Barat peraturan zonasi sulit mencegah perkembangan pusat perbelanjaan terpencil. Di Amerika Serikat, bagaimanapun, pertumbuhan mal besar dan kawasan industri di pinggiran kota belum terhambat secara serius oleh zonasi. Akibatnya, sebagian kota telah menyerahkan diri dalam ke luar. Banyak fungsi yang sebelumnya terjadi di bagian tengah kota yang sekarang terletak di pinggiran kota. B. Pola Pemukiman Desa dan Kota di Indonesia 1. a. Pola pemukiman desa Sejarah pembentukan desa di Indonesia Di setiap negara desa selalu identik dengan pertanian. Hal ini juga yang terdapat di Indonesia. Desa di Indonesia terbentuk dari pembukaan lahan untuk pertanian yang dilakukan oleh individu atau sekelompok yang akhirnya menetap. Asal muasal desa di Indonesia berbeda-beda setiap daerahnya. Tidak ada sejarah proses pembentukan desa yang sama, karena Indonesia memiliki bentuk wilayah yang luas, karakteristik berbeda, luas, dan tersebar. Pada umumnya pemukiman terbentuk dari kebiasaan hidup luhur masyarakat di desa tersebut. Bahkan menurut Habraken dalam Fauzia (2006:32), ditegaskan bahwa sebagai suatu produk komunitas, bentuk lingkungan permukiman merupakan hasil kesepakatan sosial, bukan merupakan produk orang per orang. Artinya komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri permukiman yang berbeda pula. Perbedaan inilah yang memberikan keunikan tersendiri pada bangunan tradisional, yang antara

lain dapat dilihat dari orientasi, bentuk, dan bahan bangunan serta konsep religi yang melatarbelakanginya. Keunikan tersebut sekaligus menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Oleh karena itu Koentjaraningrat (1987) menjelaskan bahwa bendabenda hasil karya manusia merupakan wujud kebudayaan fisik, termasuk di dalamnya adalah permukiman dan bangunan tradisional. Desa di Jawa, mulanya dihuni orang seketurunan. Mereka memiliki nenek moyang sama, yaitu para cikal bakal pendiri permukiman tsb. Jika desa sudah penuh, masalah-masalah ekonomi bermunculan. Beberapa keluarga keluar mendirikan permukiman baru dengan cara membuka hutan. Tindakan ini disebut tetruka. Di Tapanuli, pembukaan desa baru, menurut Marbun, sebagian karena kelompok baru ingin mencapai hak dan kewajiban sebagai raja adat, atau tanah desa tak memadai lagi untuk menghidupi penghuninya. Perihal terbentuknya Desa hingga sekarang sulit diketahui secara pasti kapan awalnya, akan tetapi mengacu pada prasasti Kawali di Jawa Barat sekitar tahun 1350 M, dan prasasti Walandit di daerah Tengger di Jawa Timur pada tahun 1381 M, maka desa sebagai unit terendah dalam struktur pemerintahan Indonesia telah ada sejak dahulu dan murni Indonesia bukan bentukan Belanda. Terbentuknya Desa di Kawali dengan terbentuknya kelompok masyarakat akibat sifat manusia sebagai makhluk sosial, dorongan kodrat, atau sekeliling manusia, kepentingan yang sama dan bahaya dari luar. b. Pola pemukiman desa di Indonesia Karakteristik Desa Pada umumnya karakteristik desa pegunungan adalah sama, yaitu mempunyai udara yang sejuk, potensi alam yang kaya dan keadaan tanah yang berlereng. Ciri-ciri wilayah pedesaan yaitu: 1) Perbandingan luas tanah dengan jumlah manusia, relatif besar, 2) Lapangan kerja agraris, 3) Hubungan penduduk akrab, 4) Sifat menurut tradisi budaya setempat. Keadaan Topografi Di wilayah Indonesia kira-kira 80% merupakan pedesaan dan 20% merupakan perkotaan. Dimana seluruh wilayah Indonesia secara administrative terbagi habis menjadi desa-desa. Karena Indonesia merupakan negara kepulauan, maka terdapat desa di tengah pulau dan desa di tepi pantai, di samping itu

terdapat desa yang meliputi pulau kecil. Berhubung permukaan bumi tidak sama, maka dapat dibedakan pula desa di dataran, desa di lembah, desa di perbukitan, dan desa di pegunungan. Pada umumnya desa di tengah pulau atau desa pedalaman mempunyai pemukiman yang terpusat dikelilingi oleh tanah untuk kegiatan ekonominya, seperti sawah, ladang, hutan dan sebagainya. Desa di tepi sungai merupakan pemukiman yang linier dengan tempat kegiatan ekonominya. Sedangkan desa yang terletak di perbukitan sering mempunyai pola pemukiman tersebar. Jadi secara geografis di Indonesia terdapat desa pedalaman, desa pantai desa sungai. Berdasarkan orientasi dan topografi terdapat pemukiman memusat (linier) dan tersebar (dispersed). Lingkungan Pemukiman Desa Penduduk atau manusia, kegiatan kehidupan, dan perangkat yang dibutuhkan dalam kehidupan, merupakan perangkat dasar terbentuknya suatu lingkungan kehidupan. Ketiganya akan saling kait mengkait dan saling ketergantung satu sama lain. Perkembangan dan pertumbuhan satu akan mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan yang lainnya. Pola permukiman tradisional berdasarkan pada pola persebarannya juga dibagi menjadi dua, yaitu pola menyebar dan pola mengelompok. Menurut Wiriatmadja (1981:23-25) pola spasial permukiman sebagai berikut: a. Pola permukiman dengan cara tersebar berjauhan satu sama lain, terutama terjadi dalam daerah yang baru dibuka. Hal tersebut disebabkan karena belum adanya jalan besar, sedangkan orangorang mempunyai sebidang tanah yang selama suatu masa tertentu harus diusahakan secara terus menerus; b. Pola permukiman dengan cara berkumpul dalam sebuah kampung/desa, memanjang mengikuti jalan lalu lintas (jalan darat/sungai), sedangkan tanah garapan berada di belakangnya;c. Pola permukiman dengan cara terkumpul dalam sebuah kampung/desa, sedangkan tanah garapan berada di luar kampung; dan d. Berkumpul dan tersusun melingkar mengikuti jalan. Pola permukiman dengan cara berkumpul dalam sebuah kampung/desa, mengikuti jalan yang melingkar, sedangkan tanah garapan berada di belakangnya. Menurut Widayati (2002) dijelaskan bahwa rumah merupakan bagian dari suatu permukiman. Rumah saling berkelompok membentuk permukiman dengan pola

tertentu. Pengelompokan permukiman dapat didasari atas dasar : - Kesamaan golongan dalam masyarakat, misalnya terjadi dalam kelompok sosial tertentu antara lain komplek kraton, komplek perumahan pegawai; - Kesamaan profesi tertentu, antara lain desa pengrajin, perumahan dosen, perumahan bank; dan - Kesamaan atas dasar suku bangsa tertentu, antara lain Kampung Bali, Kampung Makasar. Untuk menciptakan permukiman atau kampung pada suatu wilayah dapat dilakukan dengan dua tindakan, yaitu pertama dengan membuka hutan disebut mbabat. Kedua, dengan menampilkan tokoh yang membentuk tatanan dari suatu kekacauan (Aliyah 2004:35). Menurut Aliyah (2004:35) elemen-elemen pembentuk karakter kampung/permukiman tradisional di Jawa, yaitu sebagai berikut: 1. Riwayat terbentuknya (legenda/sejarah kampung) yang secara fisik dapat dikenali dengan keberadaan situs; 2. Tokoh yang membentuk tatanan dari suatu kekacauan. Seseorang yang dianggap memiliki kesaktian dan mampu menaklukkan lahan yang akan dijadikan permukiman dari kekuasaan makhluk halus penguasa hutan; 3. Kelompok masyarakat dalam kesatuan tatanan bermukim; 4. Susunan tata masa atau komposisi bangunan hunian, karena tata masa bangunan Jawa memiliki aturan atau patokan tersendiri, sehingga berpengaruh pada komposisi bangunan dalam kampung; 5. Batas teritori wilayah kekuasaan pribadi (lahan). Perbedaan ruang publik dan ruang privat sangat kuat, sehingga ada tuntunan pembatas teritori, dan memiliki aturan dalam penempatan pintu sebagai penghubung; 6. Besaran lahan atau ukuran luas tapak. Ukuran ditentukan oleh tingkat status sosial dan derajat sang penghuni; 7. Bentuk dan ukuran pagar yang ditentukan oleh status sosial masyarakat yang menghuni; dan 8. Bentuk dan ukuran bangunan rumah tinggal. Hal ini ditentukan oleh status sosial sang penghuni. b. Permukiman Kota 1) Pembentukan & Pertumbuhan Kota di Indonesia Menurut Werner 1987, Kota-kota besar dan kecil di kepulauan di India, termasuk yang ada di Indonesia memiliki akar sejarah tersendiri. Tempat-tempat ini secara umum dibagi dalam empat strata utama dalam formasi perkotaan, yakni pendirian kota-kota baru, masyarakat agrikultural yang kemudian berkembang

menjadi pusat dominasi asli yang baru, pusat-pusat perdagangan dan pusat-pusat administratif. Kedua strata yang terakhir membentuk tempat yang dahulunya pedesaan. Masih menurut Werner (1987), prasyarat paling penting untuk formasi awal pembentukan kota sudah ada di nusantara sebelum periode Hindu, hal ini dapat diindikasikan dengan adanya institusionalisasi pemerintahan yang diatur oleh seorang penguasa. Pada saat itu ada dua jenis tipe masyarakat perkotaan yang sedang berkembang yakni, masyarakat yang memiliki dominasi pekerjaan berdagang di pelabuhan dan pusat dominasi kegiatan pada kekuasaan lokal (pedalaman). Pada periode pengaruh kerajaan Hindu, Islam dan periode awal kekuasaan Eropa (1400-1700M), perdagangan merupakan faktor utama pada pembentukkan masyarakat dengan karakteristik perkotaan, meski tidak secara langsung namun perdagangan mempercepat proses feodalisasi dalam sebuah komunitas asli. Sementara pada masa Pemerintah Kolonial (1700-1900) pertumbuhan perkotaan lebih efektif dirangsang dengan menggunakan faktor politis/administrasi ketimbang dengan faktor kegiatan perdagangan. Masih menurut sumber yang sama menyebutkan bahwa kota di Indonesia memiliki tiga karakter yaitu, permukiman nelayan, permukiman industri manufaktur dan pertambangan dan permukiman pariwisata. Jika kita telusuri sebelum kedatangan Portugis dan Belanda, di Indonesia hampir tidak kita dapati satu kota atau bekas kota yang berarti. Namun, yang ada adalah kota pantai atau bandar sebagai pusat lalu lintas perdagangan terbatas, seperti Palembang (pada masa Sriwijaya), Barus di pantai Barat Sumatera, Tanjung Perak di Surabaya. Sementara itu, di pusat-pusat kerjaan Nusantara juga masih dapat kita jumpai bekas kota yang terbentuk dengan kegiatan sebagai pusat pemerintahan, seperti Yogyakarta, Solo dan kota kecil lainnya di Bali. Menurut Marbun 1994, pertumbuhan kota di Indonesia melalui sejarah yang cukup panjang. Kota-kota di Indonesia saat ini bukan merupakan bentukan atau warisan dari zaman keemasan kerajaan Nusantara terdahulu, tetapi merupakan bentuk dan kreasi sejarah dan faktor kebetulan yang kemudian diteruskan dan dibina penjajah Belanda selama 350 tahun. Pada mulanya kota-kota di Indonesia terbentuk akibat faktor-faktor, yaitu sebagai pusat pemerintahan kolonial, sebagai pusat niaga

dan sebagai pelabuhan serta terminal untuk Mendukung pernyataan di atas, menurut Werner 1987 dalam perkembangan kota-kota di Indonesia mengungkapkan beberapa identitas kota dengan berbagai ciri fisik yaitu, bagi sebuah desa nelayan adalah letak permukiman yang berada di tepi pantai atau muara sungai, atau juga tepi danau yang tidak curam, bukan hutan bakau, dan tidak berlumpur, selain itu juga memiliki akses ke laut lepas. Sementara itu, Kota industri manufaktur dan kota tambang umumnya berkembang karena dorongan dari perkembangan infrastruktur, motorisasi, dan perkembangan jasa-jasa pelayanan, selain itu umumnya tipe kota ini di Indonesia terletak diluar/bersebelahan dengan kota pemerintahan. Sedangkan kota pariwisata, secara fisik seperti karakter alamnya memiliki keunikan atau keistimewaan, seperti sumber air panas di wilayah tropik, lokasi di wilayah pegunungan atau perbukitan seperti Bandung, secara non fisik seperti keunikan etnik dan budaya. Pada awal pertumbuhannya, permukiman urban di Indonesia masih diwarnai oleh tradisi pedesaan yang dipengaruhi oleh struktur agraris dengan kehidupan sosial yang bertumpu pada ekonomi gotong royong. Namun seiring berjalan waktu, sebagian kelompok masyarakat merasa perlu melengkapi dirinya dengan budaya tulis-menulis, misalnya Sansekerta, Jawa Kuno, Arab Melayu dst, sehingga mereka menghasilkan peradaban kota, sedangkan yang tidak akan tetap berpegang pada peradaban desa dan kelompok ini jelas akan tertinggal. Lebih lanjut, pertumbuhan kota menghasilkan sistem pelapisan sosial dan birokrasi yang ternyata berhasil mendorong masyarakat agar mampu menghasilkan surplus pertanian dan industri domestik yang hasilnya akan mendukung kebudayaan kota. 2) Perkembangan Ruang Kota: Urbanisasi dan Dampaknya Tidak dapat disangkal bahwa perkembangan fisik ruang kota sangat dipengaruhi oleh urbanisasi. Perkembangan urbanisasi di Indonesia dapat diamati dari 3 (tiga) aspek: pertama, jumlah penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan (kini mencapai 120 juta dari total 230 juta jiwa); kedua, sebaran penduduk yang tidak merata (hampir 70% di Pulau Jawa dengan 125 juta jiwa dan di Pulau Sumatera dengan 45 juta jiwa); serta, ketiga, laju urbanisasi yang tinggi, dimana kota-kota metropolitan, seperti :

Jakarta (termasuk Bekasi, Bogor dan Tangerang), Surabaya, Bandung, Medan, Palembang, dan Makassar, merupakan magnet utamanya. Catatan statistik menunjukkan bahwa sejak 1970, fraksi penduduk perkotaan Indonesia meningkat dari 17.4% (1970), menjadi 22.3% (1980), 30.9% (1990), 43.99% (2002) dan, akhirnya, 52.03% (2010). Artinya dalam tempo 40 tahun, urbanisasi telah melipat gandakan penduduk perkotaan tiga kali lebih besar. Tidak hanya itu, terjadi peningkatan jumlah kota di Indonesia secara progresif untuk periode yang sama. Pada awal tahun 1970, hanya terdapat 45 kota otonom saja, namun pada tahun 2010 telah berkembang menjadi 98 kota otonom. Artinya dalam 40 tahun terakhir, jumlah kota telah meningkat 2 (dua) kali lipat. Khususnya dalam 10 tahun terakhir (20002010), telah lahir 25 kota otonom baru sebagai hasil pemekaran wilayah dengan maksud untuk meningkatkan pelayanan publik. Dari sisi penyebaran kota-kota otonom, maka 34 kota berada Pulau Sumatera dan 35 kota di Pulau Jawa. Sedangkan 29 kota lainnya tersebar di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Artinya, 70% dari kota otonom Indonesia berada di Pulau Jawa dan Sumatera, ekivalen dengan 70% konsentrasi PDB nasional di kedua Pulau tersebut. Pada masa yang akan datang, urbanisasi diyakini akan terus terjadi di Indonesia, baik karena pertumbuhan penduduk kota secara alamiah, migrasi dari desa ke kota maupun pemekaran wilayah. Dengan laju pertumbuhan moderat sebesar 1,5%/tahun, maka proporsi penduduk kota diperkirakan akan meningkat menjadi 56,05% di tahun 2015 lalu menjadi 60,39% di tahun 2020. Proses transformasi sosial yang demikian cepat tidak mudah untuk dikelola. Di satu sisi, kota merupakan katalis pertumbuhan ekonomi yang utama (engine of growth). Kota merupakan inkubasi yang ideal untuk lahirnya berbagai inovasi: locus dimana ide-ide yang kaya saling berkompetisi, tanpa batas, sebagai upaya untuk mencapai efisiensi tertinggi dalam kehidupan perkotaan. Urbanisasi dipandang sebagai pilihan rasional masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya, dengan kata lain, upaya untuk menjadikan hidupnya lebih layak dan sejahtera. Tetapi di sisi lain, ketika kota-kota bertansformasi menjadi lebih modern, secara bersamaan kualitas

kehidupan perkotaan menurun secara signifikan. Kemacetan yang akut, banjir yang berulang bahkan semakin parah, penyediaan air yang tidak layak minum, polusi air dan udara, serta penyebaran kawasan kumuh di perkotaan, kesemuanya menjadi potret buram kota-kota, khususnya kota metropolitan di Indonesia. Dua sisi pembangunan perkotaan yang saling bertolak-belakang ini disebut oleh para ahli sebagai the urban paradox. Dengan kondisi yang kritis tersebut, penduduk miskin perkotaan akan menjadi korban pertama. Tanpa akses ke pelayanan dasar perkotaan, penduduk miskin tersebut kini mendiami hunian kumuh yang sangat padat (slums dan squatters) di ruang-ruang sempit perkotaan yang sama sekali tidak layak huni. Penduduk miskin menjadi kelompok sosial yang sangat rentan terhadap berbagai bencana perkotaan, antara lain : banjir, kebakaran dan penyebaran wabah penyakit. Dalam jangka panjang, apabila kita memasukkan parameter perubahan iklim, kerentanan penduduk miskin perkotaan akan semakin tinggi. Wujud fisik dan arsitektur kota yang kontras (antara kemewahan dan kekumuhan) merupakan bukti yang solid, bagaimana kesenjangan dan segregasi sosial-ekonomi terjadi di kawasan perkotaan. Urbanisasi mengubah morfologi kota secara drastis, baik dilihat dari struktur, fungsi maupun wajah kotanya. Secara sosio-kultural, fenomena mengkota menandakan terbentuknya network society yang baru dan berbeda dalam tuntutan pelayanan infrastruktur (Graham & Marvin, 2001). Tiga contoh berikut, Jakarta, Bandung dan Gorontalo, dapat memberikan ilustrasi betapa cepat perubahan telah terjadi di kota-kota Indonesia. Pada awal tahun 1960-an, Jakarta tidak lebih dari sebuah kampoeng besar dengan sebuah hotel berbintang, Hotel Indonesia dan sebuah department store Sarinah. Namun dalam tempo 50 tahun terakhir, perkembangan yang sangat pesat telah terjadi. Jakarta telah bermetamorfosa menjadi sebuah kota metropolitan, dengan gedung-gedung modern pencakar langit yang megah (hotel, apartemen, kantor hingga mall/pusat-pusat perbelanjaan), khususnya di kawasan Segitiga Emas. Dalam prosesnya, transformasi sosio-fisik dilakukan dengan

mengkonversi kampong yang banyak berada di dataran rendah (rawa dan kebun) ke segala arah: Barat, Selatan dan Timur. Kini, dengan statusnya sebagai multi-function yang mengakumulasi berbagai fungsi tertinggi secara nasional (pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa, bahkan kebudayaan), Jakarta telah menjema menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan di kawasan Asia-Pasifik. Selain itu, perkembangan yang sangat pesat terjadi di kawasan pinggiran, dimana tidak kurang dari 7 (tujuh) kotabaru berskala besar telah terbangun di Jabodetabek sejak tahun 1980-an (Gani, 2010). Kota Bandung sejak lama direncanakan sebagai salah satu pusat kegiatan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930-an apabila merujuk pada keberadaan Gedung Sate. Konsep yang dikembangkan awalnya adalah kota taman yang asri, sebagai unsur esensial dari sistem internal kotanya. Proses urbanisasi telah terjadi secara cepat mulai tahun 1980-an, ditandai dengan okupansi lahan-lahan di Bandung Utara dan Bandung Selatan. Perubahan morfologi kota semakin tajam pada awal tahun 2000-an, ditandai dengan pemekaran Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat, serta dibukanya akses jalan tol Cipularang pada tahun 2005 yang memangkas jarak waktu Jakarta Bandung secara signifikan. Bandung mengalami metamorfosa, dari kota tempat peristirahatan para mandor perkebunan tempoe doeloe menjadi kota tujuan wisata (urban tourism) dengan atraksi wisata kuliner, kesejukan alami dataran tinggi, serta pusat belanja (factory outlets). Kawasan Dago, Setiabudi dan sekitarnya kini menjadi pusat kegiatan komersial utama di Kota Bandung, padahal lama sebelumnya ia direncanakan sebagai pusat hunian yang tenang. Sementara itu, kawasan Bandung Utara yang sebelumnya merupakan kawasan lindung untuk peresapan air, kini telah beralih fungsi menjadi salah satu pusat permukiman elit serta pusat kegiatan pariwisata yang dipadati oleh turis domestik saat weekend. Kota Gorontalo hingga akhir tahun 1990-an hanya merupakan ibukota Kabupaten Gorontalo dengan fasilitas sosial-ekonomi yang sangat terbatas (hotel, rumah sakit, restoran, dsb). Sejak beralih status menjadi kota otonom sekaligus

Ibukota Provinsi Gorontalo pada tahun 1999, aliran investasi yang mengalir cukup deras dipicu oleh kegiatan pemerintahan telah merubah wajah kota secara signifikan. Pusat-pusat kegiatan komersial dan jasa (perbankan, restoran, hotel dsb) tumbuh subur. Infrastruktur sosial-ekonomi semakin membaik, khususnya yang berkaitan dengan sektor industri perikanan (pelabuhan) dan sektor pertanian tanaman pangan (industri pengolahan komoditas jagung). Wajah kota yang relatif sederhana, secara perlahan kini berubah mengikuti perkembangan zaman. Dari tiga contoh diatas, kita dapat mengamati bahwa transformasi sosial telah mengubah morfologi kota. Beberapa faktor tampaknya cukup dominan dalam proses tersebut : (1) aliran investasi yang mendorong peningkatan produktivitas kota, khususnya yang digerakkan oleh investasi swasta ; (2) keberadaan infrastruktur sosial-ekonomi, seperti jalan dan pelabuhan, serta (3) peningkatan status kota otonom (ibukota provinsi). Ketiga faktor tersebut menjadi penyebab utama terjadinya urbanisasi dan mengakselerasi alih-fungsi ruang perkotaan. Perbedaannya terletak pada titik awal terjadinya perubahan (Jakarta sejak 1960-an, Bandung sejak 1980-an, dan Gorontalo sejak 2000-an), serta kecepatan transformasi yang terjadi yang banyak ditentukan oleh peran sektor swasta. Walaupun demikian, modernisasi kota tidak serta-merta menghapus kekumuhan akibat kemiskinan perkotaan yang belum dapat teratasi sepenuhnya. Pada kurun waktu tiga decade terakhir (1980 2010), jumlah penduduk miskin di kawasan perkotaan justru menunjukkan grafik yang meningkat dari 9,5 juta menjadi 11,91 juta jiwa. Hal ini berlawanan dengan jumlah penduduk miskin di kawasan perdesaan yang menunjukkan kecenderungan menurun dari 32,8 juta (1980) menjadi 20,62 juta jiwa (2010). Secara keseluruhan, angka penduduk miskin tersebut masih sangat tinggi. Tidak kurang dari 47.000 kantong-kantong kemiskinan kini tersebar di berbagai kota di Indonesia.

BAB III PENUTUP Kesimpulan Pemukiman merupakan suatu kawasan yang didiami oleh manusia dapat berupa hamlet (rumah susun), dusun, desa, dan kota. Ada beberapa ciri-ciri dan karakteristik penggolongan pemukiman desa dan kota, serta penyebaran pemukiman di negara maju dan negara berkembang yang ditinjau dari beberapa pendapat para ahli dalam proses pembentukan pemukiman, distribusi penggunaan lahan, morfologi, dan ukurannya. Pemukiman desa pada umumnya identik dengan aktivitas manusianya berupa pertanian. Jika dirunut dari kegiatan ekonomi pedesaan terdiri dari masa berburu dan mengumpul, peladang berpindah, dan petani tradisional. Sedangkan perkotaan berkembang dari pertumbuhan desa akibat dari tingginya intensitas pelayanan. seluruh wilayah Indonesia secara administrative terbagi habis menjadi desadesa. Karena Indonesia merupakan negara kepulauan, maka terdapat desa di tengah pulau dan desa di tepi pantai, di samping itu terdapat desa yang meliputi pulau kecil. Berhubung permukaan bumi tidak sama, maka dapat dibedakan pula desa di dataran, desa di lembah, desa di perbukitan, dan desa di pegunungan. Pada umumnya desa di tengah pulau atau desa pedalaman mempunyai pemukiman yang terpusat dikelilingi oleh tanah untuk kegiatan ekonominya, seperti sawah, ladang, hutan dan sebagainya. Desa di tepi sungai merupakan pemukiman yang linier dengan tempat kegiatan ekonominya. Sedangkan desa yang terletak di perbukitan sering mempunyai pola pemukiman tersebar. Jadi secara geografis di Indonesia terdapat desa pedalaman, desa pantai desa sungai. Berdasarkan orientasi dan topografi terdapat pemukiman memusat (linier) dan tersebar (dispersed). Pada awal pertumbuhannya, permukiman urban di Indonesia masih diwarnai oleh tradisi pedesaan yang dipengaruhi oleh struktur agraris dengan kehidupan sosial yang bertumpu pada ekonomi gotong royong. Namun seiring berjalan waktu,

sebagian kelompok masyarakat merasa perlu melengkapi dirinya dengan budaya tulis-menulis, misalnya Sansekerta, Jawa Kuno, Arab Melayu dst, sehingga mereka menghasilkan peradaban kota, sedangkan yang tidak akan tetap berpegang pada peradaban desa dan kelompok ini jelas akan tertinggal

DAFTAR PUSTAKA

Budi,

Agung.

2009.

Sinopsis

Teori

Central

Place.((Online)

http://klubbelajar.blogspot.com, diakses tanggal 20 Maret 2012) Dhawie, Crist. 2010. Sejarah perkembangan Pemerintahan di Indonesia. ((Online). http://phiihostaa.blogspot.com, diakses tanggal 21 Maret 2012) Marbun. 1994. Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prospek. Jakarta; Penerbit Erlangga Savitri. 2008. Desa : definisi, asal mula, bentuk, pola, ciri & romantikanya. (Online) http://phiihostaa.blogspot.com, diakses tanggal 25 Maret 2012) Septiawan, Indra. 2008. Sosiologi Perkotaan. (Online) http://fisip.uns.ac.id/blog.com, diakses tanggal 25 Maret 2012) ____2008. Contoh Kasus Teori Tempat Pusat. (Online)

http://phiihostaa.blogspot.com diakses tanggal 20 Maret 2012) Soetomo, S. (2002), Dari Urbanisasi ke Morfologi Kota, Mencari Konsep Pembangunan Tata Ruang Kota yang Beragam, Cetakan I, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang, 123p.

You might also like