You are on page 1of 15

Guru Abad 21 Seorang guru yang mendidik pada saat ini, siap atau tidak pasti akan berhadapan

dengan yang namanya teknologi. Perkembangannya pun sangat pesat, bulan ini HP merek A yang canggih, bulan depan ada lagi merek B yang lebih canggih. Oleh karena itu, setiap pendidik harus mengikuti perkembangan zaman dalam pembelajaran. Adapun perbedaan antara pembeajaran abad 20 dan abad 21 seperti tercantum pada tabel di bawah ini :

Jenis Lingkungan Aktivitas kelas

Pembelajaran Abad 20 Berpusat pada guru

Pembelajaran Abad 21 Berpusat pada siswa

Guru sebagai sentral dan bersifat Siswa sebagai sentral dan bersifat didaktis interaktif

Peran guru Penekanan pengajaran Konsep pengetahuan Penampilan keberhasilan Penilaian Penggunaan teknologi

Menyampaikan fakta-fakta, guru Kolaboratif, kadang-kadang siswa sebagai akhli Mengingat fakta-fakta sebagai akhli Hubungan antara informasi dan temuan Transformasi fakta-fakta Kuantitas pemahaman , penilaian acuan patokan Protofolio, pemecahan masalah, dan penampilan Komunikasi, ekspresi akses, kolaborasi,

Akumulasi fakta secara kuantitas

Penilaian acuan norma

Soal-soal pilihan berganda

Latihan dan praktek

Menurut Susanto (2010), terdapat 7 tantangan guru di abad 21, yaitu:

1. Teaching in multicultural society, mengajar di masyarakat yang memiliki beragam budaya dengan kompetensi multi bahasa.

2. Teaching for the construction of meaning, mengajar untuk mengkonstruksi makna (konsep)

3. Teaching for active learning, mengajar untuk pembelajaran aktif

4. Teaching and technology, mengajar dan teknologi

5. Teaching with new view about abilities, mengajar dengan pandangan baru mengenai kemampuan

6. Teaching and choice, mengajar dan pilihan

7. Teaching and accountability, mengajar dan akuntabilitas. Lebih lanjut, Yahya (2010) menambahkan tantangan guru di Abad 21 yaitu:

1. Pendidikan yang berfokus pada character building

2. Pendidikan yang peduli perubahan iklim

3. Enterprenual mindset

4. Membangun learning community

5. Kekuatan bersaing bukan lagi kepandaian tetapi kreativitas dan kecerdasan bertindak (hard skills- soft skills)

Tantangan di atas merupakan tantangan yang berat yang harus kita hadapi dengan kesiapan diri dan menggunakan ramuan yang tepat. Ramuan ini tentunya berbeda dengan apa yang pernah kita terapkan sebelumnya. Bila saja formulasi yang dipakai keliru, maka perubahan zaman justru akan menjadi racun bagi generasi mendatang.

1. Work ethic, merupakan sebuah sistem prinsip prinsip dalam kinerja berupa aturan-aturan perilaku. Work ethic di dunia kerja berupa kecakapan dalam menunaikan tugas dan ketaatan pada aturan-aturan yang telah ditetapkan serta kecakapan menjaga etika dalam hubungan antar personal. Bagi guru, aturan tersebut sudah tertuang jelas pada UndangUndang Guru dan Dosen beserta perangkat lainnya seperti Permendiknas yang bisa di unduh secara bebas via internet.

2. Collaboration, adalah kecakapan membangun jaringan kerjasama dengan orang lain. Karena, di masa kini sehebat apapun seseorang tentu tidak aka nada artinya apa-apa bila tidak memiliki jaringan.

3. Good communication, adalah kecakapan berkomunikasi secara efektif dan efisien dengan orang lain baik secara individu atau kelompok.

4. Social responsibility, adalah kecakapan untuk ikut memiliki rasa tanggung jawab sosial.

5. Critical thinking and problem solving, adalah kecakapan berfikir kritis dan kecakapan memecahkan permasalahan. Diolah dari berbagai sumber.

Sekolah Abad 21

Revolusi yang terjadi di bidang informasi dengan hadirnya Internet dan telpon seluler telah membawa perubahan yang luar biasa pada berbagai bidang kehidupan termasuk pendidikan. Revolusi ini melahirkan suatu era baru yang dikenal sebagai era digital. Marc Prensky (2001) menyebut generasi yang lahir pada era digital ini sebagaidigital native, sementara yang lahir pada generasi sebelumnya namun akrab dengan teknologi digital disebut digital immigrant. Menurut Prensky, generasi digital nativeadalah mereka yang sejak lahir telah dilingkupi oleh berbagai macam peralatan digital seperti

komputer, videogame, digital music player, kamera video, telpon seluler serta berbagai macam boneka dan perangkat yang khas era digital. Mereka sangat fasih dengan bahasa teknologi digital dan Internet. Pada anak digital native, penggunaan Internet entah melalui PC, laptop atau telpon seluler bukan lagi menjadi hal yang mewah. Generasi ini sangat akrab dengan Internet. Keakraban generasi digital native dengan Internet memungkinkan mereka untuk

mendapatkan informasi dari mana saja dan kapan saja. Kondisi ini menimbulkan suatu pertanyaan fundamental berkaitan dengan masa depan sekolah. Bunyinya demikian, Di tengah kondisi dunia yang dikuasai oleh media online, masihkah pendidikan di sekolah penting?

Bagi penulis, persoalannya tidak terletak pada masihkah pendidikan di sekolah penting atau tidak, sebab sekolah tidak akan pernah terhapuskan dari sejarah manusia hingga di masa depan, meskipun setiap orang sudah mempunyai akses ke Internet. Eksistensi sekolah dan pendidikan di sekolah akan tetap penting karena berbagai alasan, misalnya alasan administrasi, alasan pengelolaan dan pengawasan, alasan kontrol dan pengendalian mutu, alasan validitas dan keabsahan atau legalitas tingkat pencapaian atau penguasaan ilmu, serta berbagai alasan lainnya. Berdasarkan fenomena yang terlihat pada diri remaja usia sekolah dewasa ini (keranjingan media jejaring sosial, games online, chatting, dll) dapat kita pastikan bahwa sebetulnya yang harus menjadi pokok perhatian para penyelenggara pendidikan dan pemerintah, adalah sekolah macam apa yang cocok dengan anak-anak digital nativeini? Model sekolah seperti apa yang cocok untuk abad 21 yang akrab dengan peralatan digital? Pertanyaan-pertanyaan ini penting karena bila tidak segera dijawab dan diantisipasi, sekolahsekolah kita akan segera kehilangan daya tarik, membosankan dan tampak kuno bagi anakanak era digital. Perlunya Sekolah Abad 21 Karena dunia terus berubah sedemikian cepatnya maka, sejatinya sangatlah sulit untuk memastikan gambaran sekolah seperti apa yang cocok untuk abad 21 dan sesudahnya. Hal itu disebabkan karena bahkan industri dan pekerjaan yang tersedia dan ditawarkan di masa depan hingga kini belum ada dan mungkin akan sangat berbeda dengan yang ada di masa lalu dan masa kini. Namun satu hal yang pasti, apa yang dikatakan John Dewey pada masa lalu tetap relevan dan benar hingga kini, yakni bahwaIf we teach our children as we did yesterday, we rob them of the future (Gateway, 2008: 6). Menurut beberapa pakar, banyak sekolah yang ada sekarang sudah ketinggalan zaman. Sistem yang digunakan di sekolah-sekolah itu (termasuk di Indonesia) merupakan sistem yang dirancang untuk dunia agraria dan manufaktur. Sistem yang diterapkan pada sekolahsekolah itu sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dunia abad 21. Berkaitan dengan itu, Schlechty (2005, xii) mengatakan, The unfortunate fact is that our educational system is working as it was designed to work, but the way it was designed to work is not adequate to our present needs and expectations. Sekolah-sekolah di masa lalu (sekolah konvensional) dirancang untuk membuat siswanya mengenal huruf, dapat membaca dengan baik, mengenal angka, dan kemudian mampu untuk mencapai standar akademis yang tinggi bagi para siswanya. Itu semua telah tercapai kini (Schlechty 1997, 11). Tetapi, dunia telah berubah dan terus berubah sedemikian cepatnya (fast-placed manner). Lingkungan para siswa yang ada

sekarang berbeda dari lingkungan para siswa di masa lalu untuk siapa sekolah-sekolah itu dirancang. Karena itu, sekolah konvensional sudah tidak zamannya lagi. Akibat dari lingkungan pertumbuhan anak-anak digital native yang berbeda dengan generasi yang terdahulu, maka, menurut Prensky, cara para siswa berpikir dan mengolah informasi secara fundamental berbeda sama sekali dari para pendahulunya (baca: para guru mereka). Kalau demikian adanya maka sekolah harus merevolusi diri. Lalu pertanyaannya adalah sekolah seperti apakah yang diperlukan untuk dunia pendidikan abad 21? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sesuai dengan lingkungan pertumbuhan anak-anak era digital dan tuntutan dunia kerja di masa depan yang akan sangat berbeda dengan yang sekarang ada, maka sekolah abad 21 harus menyertakan dan memperhitungkan keahlian-keahlian abad 21 di dalam kurikulumnya demi memenuhi harapan dan kebutuhan para siswa era digital ini. Secara umum, keahlian yang harus dikuasai dan dimiliki oleh siswa era digital adalah keahlian di bidang informasi dan komunikasi, keahlian berpikir dan memecahkan masalah, keahlian interpersonal dan pengarahan diri (selfdirectional). Keahlian-keahlian ini sejatinya telah tercakup dalam kurikulum standar dunia pendidikan dewasa ini, namun dalam abad 21, keahlian- keahlian ini semakin jauh berkembang (meluas) dari yang ada di masa lalu. Materi pembelajaran yang diajarkan pada abad 21 perlu dilengkapi dengan contohcontoh yang relevan dari dunia abad 21; siswa harus mampu melihat keterkaitan antara apa yang mereka pelajari dengan kenyataan yang mereka lihat pada lingkungan di sekitar mereka. Siswa mesti mendapatkan dan menggunakan perangkat atau piranti-piranti yang mereka perlukan yang dapat menggambarkan lingkungan pekerjaan yang nyata agar mereka mendapatkan keahlian-keahlian yang diperlukan pada level yang tinggi sebagaimana yang diharapkan dari mereka untuk menghadapi tantangan abad 21 (Barriors: 8). Untuk itu maka, sekolah abad 21 harus mengintegrasikan teknologi (laptop, notebook, ipad, smartboard, termasuk internet) ke dalam seluruh proses pembelajarannya. Sekolah abad 21 harus menyediakan suatu lingkungan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan sikap ingin tahunya, mengajarkan ketrampilan-ketrampilan yang

bermanfaat untuk kehidupan siswa di masa depan dan memungkinkan mereka untuk mempraktekan kemampuan untuk bekerja secara kolaboratif di dalam tim untuk mencari tahu, memecahkan masalah, membuat dan mengkomunikasikan hasil pekerjaan mereka melalui wadah dan bentuk yang paling sesuai dengan kondisi dan kapasitas anak abad 21 yang digital-based.

Oleh karena itu, maka, model pembelajaran yang paling sesuai untuk sekolah abad 21 adalah pembelajar berbasis laptop. Pembelajaran berbasis laptop artinya laptop digunakan sebagai media utama pembelajaran. Agar penggunaannya maksimal, maka perlu ditunjang dengan ketersediaan jaringan internet yang memadai di sekolah. Pembelajaran berbasis laptop yang terintegrasi jaringan internet menuntut penyesuaian peran guru di dalam seluruh proses pembelajaran. Peran guru pada sekolah abad 21 beralih dari menjadi sumber informasi tunggal ke pendamping atau mentor bagi para siswa. Namun mereka tetap diharapkan menjadi model dan pendorong bagi para siswanya dalam mencari dan menguasai ilmu pengetahuan. Itu berarti guru dituntut untuk semakin aktif dan kreatif, menjadi contoh hidup bagi para siswa bagaimana seharusnya menjadi pembelajar lalu kemudian menjadi manusia berilmu itu. Mengapa Pembelajaran Berbasis Laptop? Menurut Prensky, para guru pada era digital harus mendengarkan para siswadigital natives. Hal itu sangat penting karena (menurut Prensky) sekolah yang ada saat ini masih tertahan di abad 20, artinya gaya dan caranya dalam menyelenggarakan pendidikan masih bernafaskan suasana pendidikan abad 20, padahal para siswa telah bergerak maju ke abad 21. Pertanyaan Prensky adalah bagaimana sekolah dapat menyesuaikan diri dan memberikan pendidikan yang relevan kepada siswa abad 21 (Prensky, December 2005/January 2006: 813)? Selanjutnya, Prensky menegaskan argumentasinya dengan mengatakan bahwa siswa yang ada di sekolah-sekolah dewasa ini bukanlah orang dewasa yang masih kanak-kanak. Artinya, para siswa yang diajarkan oleh guru-guru yang mengenyam pendidikan pada abad 20, tidak sama dengan para guru mereka, kondisi lingkungan hidup mereka pun berbeda. Para siswa yang ada sangat berbeda dari para gurunya. Karena itu, para guru tidak lagi dapat menggunakan pengetahuan abad 20 maupun pelatihan yang telah mereka ikuti sebagai tuntunan untuk membawa para siswa kepada apa yang mereka anggap baik untuk hidupnya. Berdasarkan lingkungan pertumbuhannya, para siswa yang ada di sekolah-sekolah abad 21 ini merupakan para siswa digital native. Mereka menjadi native speakerteknologi, lancar dalam bahasa digital komputer, video games, dan Internet. Para siswadigital native akan terus berkembang dan berubah sedemikian cepat dan orang dewasa termasuk para gurunya tidak akan mampu untuk mengimbangi. Fenomena kesenjangan antara siswa digital native dan guru digital immigrant tidak bisa dihadapi dengan metode tradisional

seperti inservice training, karena hal itu akan sangat sia-sia. Sekolah memerlukan solusi yang radikal. Solusi yang radikal itu misalnya, mengajarkan aljabar secara efektif dengan

menggunakan video game. Dengan itu, maka siswa akan terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Di lain pihak, guru juga harus benar-benar dipersiapkan untuk menghadapi tantangan pendidikan abad 21 yang sedemikian itu. Kitidak-sesuaian antara bagaimana siswa belajar di satu sisi dan bagaimana guru mengajar di sisi yang lain dapat dipahami ketika orang menyadari bahwa sekolah dewasa ini dirancang untuk dunia pertanian dan manufaktur. Dunia telah berubah dan terus berubah dengan kecepatan yang semakin meningkat. Siswa multi-tasking (siswadigital native menurut Prensky cenderung multi-tasking) yang kita hadapi lebih siap untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan ini dibandingkan dengan banyak orang dewasa. Peneliti Ian Jukes dan Anita Dosaj mengaitkan ketidak-selarasan antara guru dan siswa abad 21 sebagai akibat dari komunikasi yang kurang antara siswa digital nativedengan orang dewasa digital immigrant. Para orang tua dan guru digital immigrantberbicara DSL (digital as a second language) bahasa digital sebagai bahasa kedua. Artinya mereka tidak sepenuhnya menguasai dan menjadi bagian dari dunia digital sebagaimana anak-anak abad 21 menguasainya. Maka, jelaslah bila terjadi perbedaan antara bagaimana siswa digital belajar dan bagaimana guru non-digital atau digital immigrant mengajar atau menyampaikan pelajaran. Prensky mencatat beberapa perbedaan fundamental antara para siswa saat ini dengan para guru mereka (Prensky, 2001). Perbedaan-perbedaan itu antara lain: para siswa digital native lebih menyukai proses berpikir paralel (memikirkan beberapa hal sekaligus) dan multitask (melakukan dua kegiatan atau lebih sekaligus); mereka lebih menyukai untuk melihat gambar atau grafik terlebih dahulu sebelum membaca teks yang tersedia; mereka lebih menyukai random access (hypertext); mereka bekerja dengan baik dalam lingkungan yang tersedia jaringan internet, lebih menyukai permainan daripada pekerjaan yang bersifat lebih serius. Di sisi lain, para guru (digital immigrant) kurang memahami dan menyadari perbedaan ini. Para guru terlalu terikat dengan keterampilan-keterampilan yang telah mereka miliki sejak lama seperti bekerja secara bertahap (step-by-step), pelan, mengerjakan pekerjaan satu demi satu, dan seterusnya. Para guru (juga orang tua) tidak percaya bahwa para siswa dapat belajar dengan baik meskipun mereka melakukannya sambil menonton TV atau mendengarkan musik karena mereka (para guru) tidak dapat dan tidak terbiasa melakukan hal itu. Para guru cenderung memikirkan bahwa cara belajar yang dahulu kala dapat berfungsi atau tepat untuk mereka masih tepat juga untuk para siswa yang mereka didik saat ini. Kesenjangan keterampilan dan pemahaman seperti inilah yang seringkali menjadi

penyebab timbulnyan permasalahan di dalam kelas. Banyak siswa akhirnya mogok dan malas belajar karena merasa kurang dihargai dan dipahami oleh para guru mereka. Prensky menggambarkan perbedaan antara siswa digital native dan guru digital immigrant seperti pada table berikut. Tabel Perbedaan siswa digital native dan guru digital immigrant. Siswa Digital Native Lebih menyukai menerima Guru-guru Digital Immigrant informasi Lebih menyukai memberikan informasi

secara cepat dari berbagi sumber-sumber dengan pelan dan terkontrol dari sumbermultimedia. sumber yang terbatas.

Menyukai pengelolaan informasi secara Menyukai pengelolaan informasi tunggal paralel dan multitasking. dan dari sumber yang tunggal dan tugas yang tunggal atau terbatas. Lebih menyukai utuk memperhatikan Lebih menyukai menyediakan teks

gambar, bunyi-bunyian (suara) dan video terlebih dahulu daripada gambar, bunyi sebelum memperhatikan teksnya. (suara) dan video. menyukai untuk memberikan

Lebih menyukai akses secara acak ke Lebih informasi multimedia hiperlink.

informasi secara linier, logis dan berurut.

Lebih menyukai untuk berinterkasi atau Lebih menyukai para siswa untuk bekerja membuka jaringan secara simultan dengan secara mandiri daripada bekerja dalam banyak orang. waktunya (just-in-time.) jaringan dan interaksi dengan yang lain. case (sesuai dengan materi yang akan diuji). Lebih menyukai gratifikasi dan hadiah Lebih yang bersifat instan. Lebih menyukai pembelajaran menyukai untuk menunda Lebih menyukai untuk belajar hanya pada Lebih menyukai untuk mengajar just-in-

pemberian gratifikasi dan hadiah. yang Lebih menyukai untuk mengajar

bersifat relevan, secara instan atau cepat berdasarkan tuntunan kurikulum dan tesdapat digunakan dan menyenangkan. tes yang terstandar.

Dari daftar perbedaan antara guru digital immigrant dan siswa digital native yang diuraikan dalam tabel di atas dapat dilihat bahwa lingkungan pembelajaran yang sangat cocok dengan siswa digital native adalah lingkungan pembelajaran yang terkoneksi dengan dunia luar (internet) sehingga memungkinkan siswa untuk mengakses banyak sumber informasi sekaligus. Untuk menjembatani itu maka pembelajaran berbasis laptop adalah pilihan yang

sangat sesuai dengan kondisi nyata siswa digital native. Dengan menggunakan laptop (satu laptop untuk satu siswa), guru bebas untuk mengintegrasikan teknologi secara penuh ke dalam pembelajaran, baik dalam bentuk tugas, proyek, maupun pekerjaan rumah siswa lainnya. Program satu laptop per siswa itu harus ditunjang oleh fasilitas internet atau Wi-Fi sehingga siswa dapat mengakses sumber-sumber informasi dengan mudah. Manfaat Pembelajaran Berbasis Laptop Model pembelajaran abad 21 menuntut keterlibatan dan penguatan pengalaman belajar bagi semua siswa. Model pembelajaran abad 21 mendorong para guru untuk fokus pada apa dan bagaimana mengajar untuk memenuhi apa yang siswa perlukan untuk mereka ketahui, bagaimana mereka belajar, kapan dan di mana mereka belajar. Hal itu membawa pada pemahaman akan pembelajaran sebagai upaya untuk memampukan, memotivasi, dan menginspirasi semua siswa, lepas dari latar belakang, bahasa,

atau disabilities (kekurangan), untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Teknologi sangat berguna untuk menyediakan pembelajaran yang sifatnya personal daripada suatu pembelajaran yang sifatnya cocok untuk semua (one-size-fits-all curriculum), tahap-tahap atau langkah-langkah pengajaran (pace of teaching), dan praktek-praktek

pembelajaran(instructional practices) yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing individu. Para siswa abad 21 hidup dengan teknologi yang memberi mereka akses yangmobile terhadap informasi dan sumber-sumber pengetauan selama 24 jam dalam sehari selama 7 hari (24/7), yang memungkinkan mereka untuk membuat konten berbasis multimedia lalu kemudian membaginya kepada orang lain dan memungkinkan mereka untuk ikut berpartisipasi dalam jejaring sosial online yang menjangkau seluruh dunia untuk berbagi ide, bekerja kolaborasi dengan siswa atau orang lain, dan belajar sesuatu yang baru. Di luar sekolah, siswa bebas untuk mengejar hasrat mereka dengan cara mereka sendiri dan dalam level mereka sendiri. Kesempatan yang mereka miliki tanpa batas (limitless and borderless) dan instan (Transforming American Education: Learning Powered by Technology, 2010). Kondisi yang digambarkan di atas sudah menjadi kondisi umum yang dapat kita temukan pada anak-anak Indonesia di kota-kota besar dan desa-desa yang sudah terhubung dengan jaraingan komunikasi (telepon) dan pertelevisian. Di mana telepon seluler bisa digunakan, di situ informasi dapat diakses dengan bebas juga oleh siswa-siswi kita. Untuk menjawab kondisi di atas, dunia pendidikan Indonesia harus mulai berbenah diri. Dunia pendidikan abad 21 harus menjadi acuan dalam pengembangan pendidikan di tanah air dewasa ini. Karena itu, reformasi pendidikan Indonesia menjadi keharusan untuk

segera dilakukan. Reformasi itu terutama dalam hal penerapan teknologi dalam pendidikan. Dalam dunia pendidikan abad 21 penggunaan teknologi bukan lagi menjadi sekedar pelengkap atau seadanya tetapi berkembang menjadi media pembelajaran yang utama. Santrock, mengutip Egbert (2009); Kelly, McCain, & Jukes (2009), menegaskan bahwa siswa-siswi dewasa ini bertumbuh dalam dunia yang jauh berbeda secara teknologi dari dunia sekolah orang tua dan kakek-nenek mereka. Jika kita ingin agar siswa-siswi dipersiapkan secara memadai untuk pekerjaan di masa yang akan datang, teknologi harus menjadi bagian yang integral dari sekolah dan ruang-ruang kelas kita. Dengan teknologi sebagai media utama pembelajaran, maka wajah pendidikan abad 21 juga berubah secara total. Siswa tidak lagi sekedar tong yang akan menerima atau harus diisi oleh guru tetapi mereka telah menjadi aktor utama dalam mencari, menemukan dan menciptakan pengetahuan itu sendiri. Pada awal tahun 1990-an para peneliti pada Center for Applied Cognitive Science dari Ontorio Institute for Studies in Education mengembangkan CSILE (Computer-Supported International Learning Environment) sebuah database pengembangan aplikasi yang memungkinkan siswa untuk secara kolaboratif membangun suatu basis pengetahuan (knowledge base), memasukkan pandangan dan pertanyaan mereka, membandingkan sudut pandang (perspective), dan merefleksikan pemahaman bersama atas gagasan-gagasan mereka (Santrock, 2009: 371). Mengutip Scardamalia, Breiter, dan Lamon (1994), Santrock (2009: 371) menyatakan bahwa CSILE membantu siswa untuk memahami bagaimana pengetahuan dibentuk secara sosial dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk merefleksikan, merevisi, dan mentransformasikan pemikirian mereka. Siswa-siswi dalam kelas CSILE menunjukkan hasil yang lebih baik dalam tes bahasa dan matematika yang terstandar, memberikan penjelasan yang lebih mendalam atas konsep, lebih bagus dalam memecahkan masalah, dan mempunyai sifat yang lebih positif terhadap pembelajaran daripada siswa-siswi di sekolah-sekolah tradisional. Pembelajaran berbasis jaringan (baca: intranet dan internet) memungkinkan para siswa membentuk semacam Forum Pengetahuan. Forum Pengetahuan mencakup perangkat pembentukan pengetahuan (knowledge building tools) untuk kolaborasi, pembentukan (constructing), penyimpanan (storing), mendapatkan kembali (retrieving), merujukkan (referencing), mengutip (quoting), dan tracking notes, mengidentifikasikan kesenjangan atau keunggulan (advances) dalam pengetahuan, membentuk gagasan jaringan, dan melihat gagasan-gagasan dan jaringan-jaringan ide dari perspektif yang berbeda-beda (multiple perspectives) (Santrock, 2009: 371).

Sejalan dengan tuntutan dunia pendidikan yang semakin maju dan kompleks maka penerapan pembelajaran berbasis laptop sebagaimana digambarkan di atas memang sangatlah tepat. Di beberapa tempat di dunia, pembelajaran berbasis lapop telah mulai dilaksanakan, dan mereka telah melihat manfaatnya sebagaimana diuraikan berikut ini. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan laptop oleh siswa di sekolah membawa banyak keuntungan (Belanger, 2001). The Laptop Learning Challenge tahun 1999 yang disponsori oleh Toshiba dan National Science Teachers

Association(http://www.nsta.org/programs/laptop/index.htm) menemukan bahwa penggunaan laptop sangat inovatif dalam pelajaran matematika dan sains pada kelas K-12 (setara dengan SMU kelas III di Indonesia). Dari proyek itu ditemukan bahwa siswa dapat menggunakan laptop untuk memfasilitasi kerja kelompok, menganalisis data dengan segera di laboratorium, melakukan investigasi atau penelitian ilmiah di lapangan daripada di dalam ruangan kelas. Evaluasi terhadap Proyek Copernicus, suatu pelopor program (pilot program)laptop multi-distrik di Seattle, Washington, seperti yang dikutip Belanger (2001), menemukan bahwa laptop sangat baik untuk digunakan dalam aktivitas menulis, mengerjakan proyek, dan presentasi (Fouts & Stuen 1997). Manfaat lainnya adalah membuat spreadsheets untuk memcahkan problem matematika, membuat book reports, membuat presentasi secara kreatif dengan menggunakan software seperti PowerPoint atau HyperStudio atau KeyNote. Siswa juga dapat secara rutin atau berkala mengumpulkan tugas mereka dengan

menggunakan floppy disk atau terhubung (connect) ke server atau jaringan sekolah agar para guru dapat memeriksa, me-review, memberi komentar atau catatan pada pekerjaan mereka (siswa). Belanger (2001), mengutip beberapa studi yang telah dilakukan beberapa pakar menegaskan beberapa manfaat dari penggunaan laptop. Manfaat dari penggunaan laptop adalah meningkatkan motivasi siswa (Gardner 1994, Rockman 1998), terciptanya lingkungan ruang kelas yang lebih berpusat pada siswa (Stevenson 1998, Rockman 1998), dan tingkat kehadiran siswa yang lebih baik jika dibandingkan dengan sekolah yang tidak menggunakan laptop (Stevenson, 1998). Dalam studinya tentang pelopor program laptop (laptop pilot program) di Beaufort, South Carolina, Stevenson (1998) juga mencatat bahwa siswa yang menggunakan laptop menunjukkan tingkat pencapaian akademis yang semakin baik selama sekolah menengah, dibandingkan dengan siswa yang tidak menggunakan laptop yang prestasinya cenderung menurun selama periode yang sama. Manfaat penggunaan laptop secara akademis sangat signifikan pada populasi siswa yang bermasalah (at-risk student population).

Dalam studinya tentang penggunaan laptop pada kelas sains sekolah menengah pertama, Fisher dan Stolarchuk (1998) menemukan bahwa tiap-tiap kelas yang menggunakan laptop di mana keterampilan dan proses menemukan (process of inquiry) mendapat perhatian atau penekanan mempunyai pengaruh yang paling positif terhadap sikap dan pembelajaran siswa. Menurut Rockman, mayoritas guru dari sekolah berbasis laptop melaporkan adanya suatu peningkatan baik dalam pembelajaran kooperatif dan pembelajaran yang berbasis proyek (project-based instruction). Riset yang lainnya tidak mendukung manfaat penggunaan laptop dalam pendidikan. Gardner (1993) menemukan bahwa pengaruh laptop setelah satu tahun pada sekolah yang paling marjinal dalam pelajaran matematika, sains, dan menulis menunjukkan perbaikan atau peningkatan. Fisher dan Stolarchuk melaporkan adanya suatu hubungan yang lebih positif antara laptop dan sikap siswa dibandingkan dengan antara laptop dan pencapaian akademis. Riset penggunaan laptop dalam dunia pendidikan baru saja dimulai; Beberapa sekolah K-12 (setingkat SMU) telah menggunakan laptop dalam proses pembelajaran mereka. Hal yang masih harus dilihat adalah apakah riset tambahan (additional research) akan menemukan pengaruh jangka panjang dari penggunaan laptop pada pencapaian dan outcome siswa. Pelaksanaan proyek satu laptop per siswa di Henrico County Public School (HCPS) ternyata juga sangat menggembirakan. Pengelola sekolah sangat yakin bahwa para siswa HCPS akan menjadi warga abad 21 yang kompeten. Lebih dari 27.000 siswa Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas bersama para guru mereka memiliki sebuah laptop untuk digunakan di sekolah dan di rumah. Program satu laptop untuk satu siswa memungkinkan tiap-tiap siswa memiliki akses yang sama terhadap piranti-piranti (pendidikan) abad 21. Sejak program ini dilaksanakan, pejabat sekolah telah mencatat adanya peningkatan hasil belajar siswa (students rising grades), dan yang lebih penting lagi peningkatan minat sekolah mereka. Sulit dipercaya bahwa laptop telah membawa perubahan pada siswa-siswi kami, kata sang kepala sekolah Aaron Spence. Kini siswa-siswi kami jauh lebih teratur dan memiliki akses terhadap konten pendidikan yang sangat kaya dari laptop mereka dan halaman web untuk assignmentyang dibuat para guru. Para guru dan administrator sekolah juga telah menyadari bahwa sejak program satu laptop per siswa dimulai, kehadiran siswa di sekolah semakin meningkat dan para siswa semakin terlibat dalam kegiatan kelas karena selain material pembelajaran yang tradisional, mereka kini mengalami suatu proses pembelajaran yang dinamis dan interaktif juga.

Semua yang diuraikan di atas menunjukkan apa yang telah ditemukan dalam penelitian terdahulu berkaitan dengan manfaat pembelajaran berbasis laptop. Dari temuantemuan itu kita dapat menyatakan bahwa tujuan dari program satu laptop per siswa tidak lain untuk mengantisipasi tantangan abad 21 dalam dunia pendidikan dan dunia kerja sekaligus juga meningkatkan hasil siswa dalam belajar. Sisi Negatif Penggunaan Laptop yang harus diantisipasi Segala sesuatu yang dilakukan manusia secara berlebihan akan memberi dampak negatif pada dirinya. Makan berlebihan bisa menyebabkan kegemukan atau gampang terserang penyakit tertentu. Demikian juga dengan menggunakan laptop secara berlebihan pasti memberi dampak tertentu pada penggunanya. www.lovepanky.com mencatat beberapa efek samping penggunaan laptop secara berlebihan terhadap kesehatan seperti pain in the neck, shoulders cramp, twitching and swelling in the fingers, vision fatigue, spine and nerves, the hot laps, R.S.I. (Repetitive Strain Injury). Russell Huebsch (dalam Laptop Radiation Effect online) mencatat bahwa satu-satunya dampak penggunaan laptop terhadap kesehatan adalah thermal radiation yang juga dikenal dengan heat, tetapi hal itu dianggap tidak berbahaya. Menurut penelitian dari Universitas Mexico yang dikutip Russel, heat atau efek panas yang dihasilkan laptop yang diletakkan pada pangkuan dapat menyebabkan ketidak-suburan pada pria dan wanita. Namun harus diakui, sebagai mana dilansir BBC News (BBC NEWS | Technology | Wi-fi health fears are unproven) bahwa para ahli belum sepakat mengenai dampak penggunaan laptop terhadap kesehatan. Meskipun demikian, penemuan yang dipaparkanGary Small, M.D. dan Gigi Vorgan (tanpa tahun terbit) dalam ebook mereka yang berjudul iBRAIN - Surviving the Technological Alteration of the Modern Mind patut untuk diperhatikan. Sebagian dari temuan mereka telah disinyalir dalam hasil penelitian yang dipaparkan di atas. Berikut ini adalah beberap dampak penggunaan laptop yang diuraikan Gary Small dan Gigi Vorgan. Pertama, mengutip the Los Angeles Times, seorang pekerja yang telah bekerja selama 19 tahun pada perusahaan komputer dipecat dari pekerjaannya karena mengunjung sexual chat room pada jam istirahat (Small, Gary & Gigi Vorgan, 50). Kedua, Studi terbaru dari Standford University menemukan 14% dari pengguna komputer mengabaikan sekolah, kerja, keluarga, makan, dan tidur agar tetap online(Small, Gary & Gigi Vorgan, 50). Ketiga, Pengguna komputer atau laptop dapat kecanduan seperti kecanduan alcohol. Tanda-tandanya (Small, Gary & Gigi Vorgan, 53) adalah orang selalu memikirkan tentang

aktivitas onlinenya atau secara konstan online (preoccupation), baru merasa puas bila telah online dalam jangka waktu yang lama (tolerance), orang tidak bisa berhenti online (lack of control), bila terpaksa (berusaha) untuk berhenti menggunakan internet menyebabkan tidak bisa istirahat atau tidur, gampang marah, mut berubah (withdrawal), orang cenderung online melebihi waktu yang direncanakan dan itu terjadi berulang-ulang (staying online). Selain halhal yang telah disebut di atas, tanda-tanda kecanduan dapat dilihat dari munculnya sekurangkurangnya satu dari tiga ciri-ciri berikut: 1. Risk of functional impairment, Internet dapat menyebabkan orang kehilangan pekerjaan, pendidikan, kesempatan karir, dan relasi yang penting dengan orang lain. 2. Concealment, pengguna berbohong kepada orang lain agar aktivitas yang dilakukannya di Internet tidak ketahuan. 3. Escape, orang melarikan diri dari perasaan yang tidak nyaman, masalah, atau gagal dalam hubungan dengan orang lain dengan online di Internet. Keempat, Terobsesi dengan situs-situs porno (Small, Gary & Gigi Vorgan, 58). Situssitus porno hanya 4% atau website yang menyediakan material seksual hanya 4% dari total website yang ada. Namun 1/3 dari pengguna internet terlibat dalam berbagai bentuk aktivitas seksual online. Kelima, Perjudian illegal (Small, Gary & Gigi Vorgan, 59). Survey yang dilakukan pada tahun 2005 menemukan bahwa 4% penduduk Amerika terlibat dalam jdui online. Keenam, Distraksi (Small, Gary & Gigi Vorgan, 64). Khusus untuk orang yang mempunyai resiko genetic, teknologi digital dapat menyebabkan attention defivit

disorder(ADD) atau attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Philip Chan dan Terry Rabinowitz dari Brown University (Small, Gary & Gigi Vorgan, 66) menemukan bahwa remaja yang bermain Internet video games selama lebih dari satu jam per hari mempunyai symptom ADHD atau tidak dapat kosentrasi yang lebih besar dari mereka yang tidak melakukannya. Mengakses video game di Internet dapat pula menimbulkan masalah di sekolah. Studi yang lain menemukan bahwa kecanduan internet pada anak usia sekolah dasar (SD) secara signifikan dapat meningkatkan symptom seperti ADHD atau ketidak-mampuan untuk konsentrasi. Peneliti dari Kaohsing Medical University di Taiwan pada tahun 2007 menemukan bahwa kecanduan Internet berkaitan secara signifikan dengan ADHD. Peneliti dari Korea juga menemukan bahwa 20% dari anak-anak dan remaja yang kecanduan Internet secara relatif menunjukkan gejala-gejala menderita ADHD.

Penutup Lepas dari dampak negatif yang mungkin dapat diderita oleh generasi abad 21 yang sangat akrab dengan laptop, kehadiran laptop dalam ruang-ruang kelas sangat mendesak dan diperlukan. Siswa-siswi abad 21 sangat terikat dengan peralatan digital ini, karena mereka tumbuh dan berkembang bersamanya. Itu sebabnya akan terasa aneh dan tidak pas bila perangkat ini tidak hadir dalam ruang-ruang kelas mereka. Dampak negatif yang dapat muncul dapat diantisipasi dan diatasi dengan penerapan aturan-aturan yang harus ditaati oleh semua pihak. Aturan-aturan itu pun memerlukan keterlibatan siswa bersama guru dalam pembentukannya. Orang tua juga harus terlibat secara aktif dalam mengawasi proses belajar anak-anaknya dan perangkat digital juga memungkinkan hal itu untuk dilakukan dengan mudah.

You might also like