You are on page 1of 5

Contoh

Kasus

1:

Perusahaan X memiliki kerjasama BTO (KSO) dengan pemda (sebagai pemilik lahan) untuk pembangunan pasar. Nah pertanyaannya adalah apakah perusahaan X (sebagai pemegang hak pengelolaan) wajib memungut PPN kepada penyewa stand? kalau mengacu pada PPN atas jasa persewaan ruangan maka perusahaan X harus memungut PPN. Hanya saja, masalahnya perusahaan X disini bertindak mewakili Pemda. Siapakah yang berhak memungut PPN?

Jawab:
Menilik Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 38/PJ.4/1995 bab II tentang Penghasilan dan biaya bagi investor 1. Penghasilan Penghasilan investor sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh investor dari pengusahaan bangunan yang didirikan antara lain: a. SEWA*) dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta; b. Penghasilan sehubungan dengan hak pengusahaan bangunan seperti penghasilan dari pengusahaan hotel, pusat fasilitas olah raga ("Sport center"), tempat hiburan, dan sebagainya; c. penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dari pemegang hak atas tanah apabila masa perjanjian bangun guna serah diperpendek dari masa yang telah ditentukan. 2. Biaya *)Dan yang termasuk didalam sewa dalam hal ini Jasa Persewaan Ruangan antara lain : - Jasa persewaan ruangan untuk perkantoran. - Jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha/ pertokoan. - Jasa persewaan ruangan apartemen, flat, tempat tinggal, kecuali persewaan kamar di hotel, rumah penginapan, motel, losmen dan hostel untuk tamu bermalam. - Jasa persewaan ruang pertemuan (convention hall), kecuali persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen dan hostel. - Lain-lain sejenisnya. Kemudian, Apa yang dimaksud dengan sewa, apa DPP-nya, berapa tarif dan penghitungan PPN-nya ? Sewa, yaitu balas jasa atas sewa ruangan dalam keadaan kosong yang dapat ditagih dimuka (pada awal penghunian) atau dibelakang, sesuai dengan kontrak (perjanjian). DPP atas Jasa Persewaan Ruangan adalah Nilai Penggantian berupa sewa, yaitu nilai berupa uang yang diminta atau seharusnya diminta termasuk semua biaya yang dikeluarkan dalam rangka penyerahan JKP tersebut. Tarif dan penghitungan PPN-nya : Tarif PPN = 10 % PPN yang terutang = 10% x DPP Dari kutipan dan pernyataan di atas juga berlaku untuk kasus BTO, dimana dalam hal ini perusahaan X sebagai investor yang mendapatkan pengasilan dan melakukan kegiatan penerahan Jasa Kena Pajak meskipun posisinya sebagai perwakilan dari Pemda tetap memiliki kewajiban memungut PPN yang terutang sebesar 10% atas serah terima JKP yang dilakukan, bukan bendaharawan pemda yang

memungutnya.

Contoh Kasus 2:
Apakah keuntungan atau kekurangan dengan berlakunya aturan baru tentang pengenaan PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas dengan di keluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010?

Jawab :
MEKANISME PELUNASAN PPN UNTUK PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR BEKAS OLEH DEALER BERDASARKAN KETENTUAN BARU Mekanisme pelunasan PPN untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak mengikuti mekanisme umum, tetapi menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat 7a dan 7b UU PPN 1984 dan ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2010. Dalam peraturan tersebut diatur bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha yang semata-mata melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran, besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, yaitu sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari Pajak Keluaran. Konsekuensi dari penghitungan dengan cara demikian adalah bahwa berapapun PPN yang dibayar karena perolehan barang atau jasa terkait dengan kegiatan usaha tidak lagi diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak lagi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya melainkan dengan menggunakan taksiran yang ditentukan sebesar 90% dari Pajak Keluaran. MEKANISME PELUNASAN PPN UNTUK PENYERAHAN KENDARAAN BERMOTOR BEKAS OLEH DEALER BERDASARKAN KETENTUAN LAMA Sebelum 1 April 2010, atas penyerahan kendaraan bermotor bekas menggunakan Nilai Lain sebagaimana ditetukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/ 1994 jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03 /2002. Dalam Peraturan tersebut antara lain diatur: - Dasar Pengenaan Pajak untuk penyerahan kendaraan bermotor bekas adalah berupa Nilai Lain yang ditetapkan sebesar 10% dari Harga Jual. - Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak dapat dikreditkan. Ketentuan ini mengandung konsekuensi bahwa: - PPN yang dibayar adalah sebesar 1% dari harga Jual yang berasal dari 10% dikalikan 10% dari Harga Jual; - Pajak yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan penyerahan kendaraan bermotor bekas tidak dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Contoh Perhitungan: Dalam catatan dealer kendaraan bermotor bekas pada suatu Masa Pajak diperoleh data sbb:

Penyerahan dan PPN yang dipungut: Harga Jual 500juta Pajak Keluaran 50juta

Penjualan kendaraan bekas

Pembelian barang dan jasa serta Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan kena pajak: Harga Jual/ Penggantian 180juta 300juta 50juta Pajak Masukan 18juta -5juta

- Pembelian mobil bekas dari PKP - Pembelian mobil bekas dari non PKP - Pemanfaatan JKP

Perbandingan PPN yang dibayar oleh konsumen dan PPN yang disetor oleh Dealer Kendaraan Bermotor Bekas dengan ketentuan baru dan lama: Berdasarkan ketentuan lama : Jumlah harga jual dalam Masa Pajak Dasar Pengenaan Pajak: 10% x 500juta PPN yang dipungut dari konsumen = 10% x Rp50juta PPN yang disetor ke Kas Negara Rp500juta Rp50juta Rp5juta Rp5juta

Secara yuridis penerimaan Negara yang berasal dari PPN dalam suatu tahapan sampai penyerahan kendaraan bermotor bekas oleh Dealer adalah sbb: - Pembayaran PPN yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP dealer - PPN yang dipungut oleh Dealer Jumlah Rp23juta Rp5juta Rp28juta

Tidak ada bias antara pajak yang dibayar oleh konsumen dengan yang disetorkan ke Kas Negara. Yang dimaksud konsumen di sini adalah dealer karena Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan (sebesar Rp23juta) dan konsumen yang membeli kendaraan bekas dari dealer (sebesar Rp5juta). Sebesar Rp23juta dibayar ke Kas Negara melalui pemungutan oleh penjual kendaraan, sedangkan Rp5juta dibayar ke Kas Negara oleh dealer.

Berdasarkan ketentuan baru : Jumlah harga jual dalam Masa Pajak Dasar Pengenaan Pajak PPN yang dipungut dari konsumen = 10% x Rp500juta Rp500juta Rp500juta Rp50juta

PPN yang disetor ke Kas Negara dengan Pedoman Pengkreditan - Pajak Keluaran - Pajak Masukan: 90% x Rp50juta Pajak kurang dibayar Rp50juta Rp45juta Rp5juta

Dengan ketentuan ini, yang diterima oleh Negara adalah sbb: - Pembayaran PPN yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP dealer - PPN yang disetor ke Kas Negara oleh Dealer Jumlah Rp23juta Rp5juta Rp28juta

Meskipun tidak terdapat perbedaan dari sisi penerimaan Negara antara ketentuan lama dan ketentuan baru namun dengan ketentuan baru terdapat bias antara yang sesungguhnya dibayar oleh konsumen dengan yang diterima Kas Negara. Yang sesungguhnya dibayar oleh konsumen dan seharusnya disetor ke Kas Negara adalah sbb: - Pembayaran PPN yang tidak dapat dikreditkan oleh PKP dealer - Selisih lebih yang seharusnya disetor ke Kas Negara:

Rp23juta

Pajak yang dipungut Hak penjual berupa pajak yang dapat dikreditkan

Rp50juta Rp23juta (-)

Jumlah

Rp27juta Rp50juta

Selisih pajak yang dibayar konsumen dengan yang diterima oleh Negara adalah sebesar Rp.22juta yaitu Rp.50juta - Rp28juta. Jumlah ini juga sama dengan jumlah pajak yang dipungut oleh dealer sebesar Rp.50juta dikurangi yang menjadi hak dealer berupa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebesar Rp.23juta dan dikurangi yang nyata-nyata disetor ke Kas Negara sebesar Rp5juta. Kemana larinya uang sebesar Rp.22juta? Tentunya menjadi milik dealer. Secara ekonomis, ketentuan ini bisa menguntungkan atau bisa juga merugikan bagi dealer kendaraan bermotor bekas. Keuntungan ekonomis dimaksud adalah berupa pajak yang dipungut

tidak seluruhnya disetor ke Kas Negara yaitu apabila Pajak Masukan yang dapat dikreditkannya lebih kecil dari 90% dikalikan Pajak Masukan. Ini mengandung arti tidak semua pajak yang dibayar oleh konsumen atas pembelian kendaraan bermotor bekas disetor seluruhnya ke Kas Negara oleh dealer. Dengan ketentuan baru pajak yang dibayar konsumen menjadi lebih besar tetapi yang diterima oleh Negara tetap sama dengan ketentuan lama. Terdapat selisih antara pajak yang dibayar konsumen dengan pajak yang disetor ke Kas Negara. Sesuai definisinya pajak yang dibayar oleh konsumen (dalam konteks PPN) seharusnya menjadi penerimaan Negara yang selanjutnya digunakan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan uraian di atas, kiranya perlu ditinjau ulang ketentuan mengenai pedoman pengkreditan pajak masukan bagi dealer kendaraan bermotor bekas karena pengenaannya tidak sesuai dengan Undang-Undang, setidaknya dengan definisi pajak.

You might also like