You are on page 1of 17

KOMUNIKASI MULTIKULTURAL : SEBUAH PENDEKATAN MEREDAM KONFLIK SOSIAL

A. Pendahuluan Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa majemuk yaitu bangsa yang tersusun dan terbangun di atas beragam etnis, suku, budaya, agama, dan sistem nilai. Keragaman tersebut merupakan sebuah fenomena sosial yang tidak mungkin diubah karena memang sejak lama masyarakat Indonesia memiliki latar belakang budaya (cultural background) heterogen. Heterogenitas budaya sering kali diikuti dengan perbedaan tata bahasa, simbol dan perilaku masyarakat yang ada di dalamnya. Banyak orang yang salah menginterpretasi perbedaan kultur dan heterogenitas budaya tersebut sehingga seringkali hal itu menjadi pemicu berbagai konflik sosial sekaligus menjadi penghalang terjadinya interaksi harmonis antar masyarakat.1 Kesalahpahaman terhadap perbedaan kultur menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan.2 Kita sering mendengar dan menyaksikan di berbagai media massa tentang kerusuhan di tanah air yang bersumber dari perbedaan budaya atau agama. Pasca reformasi misalnya muncul banyak konflik mulai dari konflik horizontal seperti konflik Ambon Maluku, Poso Sulawesi dan Kalimantan Timur (konflik suku Madura dan suku Dayak)3 sampai konflik vertikal atau konflik antara masyarakat dengan aparat pemerintah seperti di Tasikmalaya dan Situbondo. Kehadiran konflik tersebut melahirkan sikap saling membenci antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Ada kecenderungan terjadi eskalasi dalam konflik bukan hanya di masyarakat daerah tersebut tapi juga meluas ke berbagai daerah lainnya dengan penyebab dan pemicu (trigger) yang berbeda. Ada pemikiran karena heterogenitas melahirkan konflik lalu harus dihilangkan dengan cara penyeragaman dan penyatuan berbagai kultur. Justru upaya penyeragaman dan penyatuan bukan solusi bijak apalagi untuk jangka waktu panjang. Sebaliknya, hal itu justru akan mengundang perlawanan dari masyarakat yang tersubordinatkan dan seperti
1 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya, Rosdakarya, Bandung, 2000 hal 151 2 Deddy Mulyana, Nuansa-nuansa Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 1999 hal 13 3 M. Soleh Isre, Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, Balitbang Depag, 2003 hal. 41

bara dalam sekam konflik akan meletup suatu waktu. 4 Orde Baru pernah membuat kebijakan dengan memaksakan penyatuan berbagai kultur dan etnis yang ada di Indonesia. Soeharto beserta segenap jajarannya baik secara langsung maupun tidak langsung- berupaya menghomogenkan masyarakat indonesia. Homogenitas yang dipaksakan memang terwujud, tetapi itu menjadi potensi lahirnya konflik yang terpendam dan meledak ketika era reformasi datang. Oleh karena itu, heterogenitas masyarakat perlu dijaga dalam keharmonisan dan cara yang paling elegan adalah melalui pendekatan komunikasi multikultural. Komunikasi multikultural menjadi solusi cerdas di tengah heterogenitas masyarakat Indonesia selaian untuk mencegah juga untuk menyelesaikan berbagai konflik sosial baik bersifat horizontal maupun vertikal. Perbedaan kultur etnis, agama dan nilai bukanlah ancaman, tapi itu semua menjadi potensi yang sangat besar yang perlu dijaga dan dipelihara sehingga mampu melahirkan keharmonisan dan kesejahteraan bagi masyarakat. B. Makna Komunikasi Multikultural Komunikasi multikultural muncul dari pemahaman tentang multikulturalisme. Multikulturalisme pada mulanya adalah terminologi dalam disiplin antropologi. Tetapi, sebagaimana lazimnya istilah dan konsep dalam sebuah cabang ilmu ia kemudian digunakan juga dalam cabang ilmu lain dengan makna dan tujuan yang tentu saja sudah bergeser.5 H.A.R Tilaar6 menjelaskan bahwa multikulturalisme bukanlah sebuah istilah yang mudah dipahami. Dalam istilah multikulturalme terkandung dua pengertian yang sangat kompleks yaitu multi yang berarti plural dan kulturalisme yang artinya kultur atau budaya. Plural selain mengandung arti yang berjenis-jenis, juga mempunyai implikasi politis, sosial dan ekonomi. Oleh sebab itu, multikulturalisme erat kaitannya dengan pluralisme dalam prinsip demokrasi. Pluralisme berkenaan dengan hak hidup kelompokkelompok masyarakat yang ada dalam suatu komunitas yang mempunyai budaya yang khas. Ada tiga istilah yang banyak digunakan secara bergantian untuk menggambarkan
4 Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia, Kuliah Dasar, profesional Book, Jakarta, 1997, hal 475 5 Abdul Haris Semendawai, Otonomi Daerah dalam Kehidupan Multikulturalitas di Indonesia, Suara Pembaharua, 8 Desember 2005 6 HAR. Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dan Transformasi Pendidikan Nasional, Grasindo Jakarta, 2004 hal. 43

masyarakat yang terdiri dari agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda, yakni pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Semuanya istilah itu mengacu kepada adanya ketidaktunggalan. Konsep pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan.7 Dibandingkan dua konsep lainnya, multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Menurut Bhikhu Parekh8, baru sekitar 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan, multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama.9 Watak masyarakat multikultural adalah toleran. Mereka hidup dalam semangat peaceful co-existence, hidup berdampingan secara damai. Setiap entitas sosial dan budaya masih tetap membawa serta jati dirinya, tidak terlebur kemudian hilang, tetapi juga tidak diperlihatkan sebagai kebanggaan melebihi penghargaan terhadap entitas lain. Dalam perspektif multikulturalisme ini, baik individu maupun kelompok dari berbagai entitas etnik dan budaya hidup dalam societal cohesion tanpa kehilangan identitas etnik dan kultur mereka. Masyarakat bersatu dalam ranah sosial tetapi antar-entitas tetap ada jarak. Jarak itu harus dijaga dengan komunikasi, dialog dan toleransi yang kreatif.10 Ada beberapa istilah lain yang secara konseptual tampak mirip dengan terminologi multikulturalisme tetapi sebenarnya beda, misalnya, diversitas, dan heterogenitas atau 7 Watson, C.W., Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University Press, 2000, hal. 72 8 Gurpreet Mahajan, Democracy, Difference and Justice, Cambridge, Mass.:Harvard University
Press.1998 hal 3 9 Nathan Glazer, We Are All Multiculturalists Now. Cambridge, Mass.:Harvard University Press. 1997, hal 45 10 HAR. Tilaar Op. Cit. hal 13

sering disebut juga dengan istilah masyarakat majemuk. 11 Masyarakat majemuk (plural society) berbeda dengan keragaman budaya atau multikultural (plural culture). Masyarakat majemuk lebih menekankan soal etnisitas atau suku bangsa yang pada gilirannya membangkitkan gerakan etnosentrisme dan etnonasionalisme. Sifatnya sangat askriptif dan primordial. Bahaya chauvinisme sangat potensial. Karena wataknya yang sangat mengagungkan ciri stereotip kesukubangsaan, anggotanya memandang masyarakat lain dengan cara pandang seperti itu juga. Masyarakat majemuk dengan demikian selalu mengeram konflik dalam dirinya yang setiap saat siap memanifes baik secara halus lewat kata-kata sindiran maupun secara kasar melalui tindakan kekerasan. Bahaya rasialisme juga bermula dari sini. Jati diri seseorang dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted terbawa dengan sendirinya dengan berbagai kebenarannya yang niscaya tanpa perlu digugat. Setiap suku menganggap kelompoknya lebih unggul, begitu juga budayanya. Seseorang kemudian diperlakukan berdasarkan asal usul kesukuannya, keyakinannya, kebudayaannya. Perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang bukan cuma tidak terjembatani, tetapi bahkan memang tidak boleh dijembatani. Ada kecemasan dan ketakutan akan hancur dan lenyapnya hakikat serta jati diri suatu suku jika jembatan dibangun. Dialog dan komunikasi menjadi dua hal yang muskil. Hanya satu jalan untuk meluluhkan arogansi etnik seperti itu yaitu dengan kekuatan koersif penguasa yang lebih tinggi. Berbeda dengan konsep dan perspektif masyarakat majemuk, konsep multikulturalisme memang mengagungkan perbedaan. Tetapi, ia tidak berhenti di situ. Perspektif ini memandang hakikat kemanusiaan sebagai sesuatu yang universal dan oleh karenanya sama. Tetapi ketika bicara soal cara hidup (way of life), aturan berpikir (rule of thinking), dan pendirian atau prinsip hidup (state of mind), multikulturalisme justru melihat bahwa sungguh tidak adil kalau realitas keanekaan itu dinafikan entah dengan cara apa pun. Perbedaan dipandang sebagai kesempatan untuk memanifestasikan hakikat sosial dan sosiabilitas manusia dengan dialog dan komunikasi. Masyarakat yang hidup dalam perspektif ini sangat mementingkan dialektika yang kreatif.12 Menurut Anthony Giddens13 terdapat tiga model pendekatan untuk pengembangan
11 Suparlan, Parsudi, 1999, "Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme". Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal. 35-42. 12, Ki Supriyoko, Pendidikan Masyarakat MultikulturalKompas , Senin 26 Januari 2004 13 Anthony Giddens, Sosiologi, UI Press, Jakarta, 1995, hal 55

relasi etnik (atau entitas lain) di masa depan, yaitu asimilasi, melting pot, dan pluralisme kultural (multikulturalisme). Dalam pendekatan asimilasionisme, tidak terdapat pemilahan atas mayoritas dan minoritas. Minoritas melebur ke dalam mayoritas. Semua karakteristik khas yang melekat dalam entitas minoritas kemudian hilang ditelan karakteristik mayoritas. Asumsinya, dengan pembauran tersebut konflik dapat diredam. Berbeda dengan asimilasionisme yang menyuburkan hegemoni mayoritas, pendekatan diferensialisme justru membiarkan semua entitas itu tumbuh. Tetapi, kontak, komunikasi, dialog sama sekali dihapus atau dihilangkan. Tak ada ruang untuk interaksi sosial. Konflik dihindari bukan dengan melenyapkan salah satu entitas, tetapi dengan membangun tembok tinggi antara berbagai entitas tersebut. Masyarakat dikotak-kotakkan. Sementara, yang dimaksudkan dengan melting pot adalah pencampuran berbagai kebudayaan atau entitas melebur menjadi sesuatu yang baru. Dalam sejarah dunia, kita mengenal adanya kebudayaan Helenisme zaman Aleksander Agung yang merupakan persenyawaan kebudayaan Yunani dengan kebudayaan wilayah-wilayah taklukannya. Giddens mencontohkan kebudayaan Anglo Amerika untuk menggambarkan model melting pot ini. Selanjutnya yang mendasari paham multikultural adalah prinsip pengakuan atas eksistensi manusia sebagai individu yang bebas. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebebasan yang sama, setiap orang memiliki hak yang sama. Karenanya konsep multikulturalisme adalah konsep yang menyamakan hak-hak manusia sebagai individu sebagaimana layaknya manusia, walaupun secara kasat mata ada perbedaan baik warna kulit, bentuk fisik, bahasa, budaya, agama dan tingkat sosial.14 Jadi multikulturalisme adalah sebuah perspektif alternatif untuk mengatasi pertentangan dan konflik sosial bernuansa etnis, agama, ras dan berbagai identitas primordial lainnya. Adapun komunikasi multikultural sebagaimana yang diungkapkan oleh Ronda J. Stanton 15 adalah kemampuan komunikasi dengan disertai pemahaman tentang budaya. The need for effective multicultural communication is becoming more prevalent in the world as countries do more business globally and borders disappear. To be effective in multicultural communication we must anticipate audience expectations, which can be known only through the study of the culture.
14 HAR Tilaar op. cit , hal 56 15 Ronda J. Stanton, Multicultural Communication: Back to the Basics, dalam www.stc.org/confproceed/2002

Larry A. Sammovar dan Richard E. Porter16, mengemukakan enam unsur budaya yang secara langsung mempengaruhi persepsi kita ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, yakni; Keperacayaan (beliefs), nilai (values) dan sikap (attitudes) Pandangan dunia (worldviews) Organisasi sosial (social organzation) Tabiat manusia (human nature) Orientasi kegiatan (activity orientation) Persepsi tentang diri dan orang lain (perception of self and other)

Pada dasarnya, keenam aspek tersebut saling berkaitan. Kita dapat mengalami peristiwa yang sama, dan sepakat mengenai apa yang kita lihat secara fisik. Namun kita sering berbeda dalam memaknai peristiwa atau objek yang kita lihat. Aspek lain yang mempengaruhi persepsi kita adalah pandangan kita tentang aktivitas. Orientasi ini paling baik dianggap sebagai suatu rentang dari being (siapa seseorang) hingga doing (apa yang dilakukan seseorang). Dalam suatu budaya mungkin terhadap dua kecenderungan ini, namun salah satu biasanya dominan.17 Dalam budaya-budaya tertentu, di timur khususnya, siapa seseorang itu, apakah dia seroang raja, anak presiden, pejabat, keturuanan ningrat, bergelar, lebih penting daripada apa yang dilakukannya. Sedangkan di Barat, justru apa yang sedang atau telah dilakukan seserorang (prestasinya) jauh lebih penting daripada siapa dia. Suatu kekeliruan persepsi terhadap apa yang berbeda adalah prasangka, yaitu suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip. Beberapa pakar cenderung menganggap bahwa stereotip itu identik dengan prasangka. Beberapa pakar cenderung menganggap bahwa stereotip merupakan komponen kognitif (kepercayaan) dari prasangka, sedangkan prasangka juga berdimensi perilaku. Jadi prasangka ini konsekuensi dari stereotip, dan lebih teramati daripada stereotip.18 Istilah prasangka (prejudice) berasal dari kata latin praejudicium, yang berarti suatu preseden, atau suatu penilaian berdasarkan keputusan dan pengalaman terdahulu. Richard W. Brislin19 mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap tidak adil, menyimpang atau
16 Deddy Mulyana, op. Cit. Hal 24-33 17 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipas, Jalasutra, Bandung, 1999 hal 8 18 Deddy Mulyana, 1999, ibid, hal 12 19 Joseph Devito, ibid hal 490

tidak toleran terhadap sekelompok orang. Meskipun bisa bersifat positif atau negatif, tetapi prasangka umumnya bersifat negatif. Prasangka ini bermacam-macam, yang populer adalah prasangka rasial, prasangka kesukuan, prasangka gender dan prasangka agama. Wujud prasangka yang nyata dan ekstream adalah diskriminasi, yakni pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang terhadap sumber daya semata-mata karena keanggotaan mereka adalam kelompok tersebut seperti ras, suku, gender, pekerjaan, agama dan sebagianya. Karenanya, orang yang berprasangka selalu enjoy berkomunikasi dengan orang yang sekelompok dengannya. Itu baginya lebih menyenangkan daripada berkomunikasi atau bergaul dengan yang tidak setarap atau tidak sekelompok dengan dirinya. Komunikasi multikultural dipengaruhi oleh berbagai simbol kebudayaan yang bersumber dari karakter individual manusia sebagai subyek penentu pertumbuhan, perkembangan dan perubahan budaya suatu masyarakat. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan Larry A. Samovar, bahwa untuk memahami interaksi antar budaya, maka terlebih dahulu harus dipahami bagaimana komunikasi manusia. Sebab dengan memahami komunikasi berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi itu berlangsung, mengapa terjadi, apa yang dapat terjadi, akibat apa yang terjadi dan akibatnya apa yang dapat diperbuat.20 Pola prilaku manusia selalu didasarkan pada persepsi mereka mengenai realitas. Persepsi manusia terhadap sesuatu, seseorang, atau kejadian berdasarkan pengalaman dan pembelajarannya pada masa lalu. Faktor-faktor internal seperti atensi, mempengaruhi persepsi mereka dalam menafsirkan sebuah fenomena. Sedangkan agama, ideologi, tingkat intelektualitas, tingkat ekonomi, pekerjaan dan cita rasa merupakan faktor internal yang sangat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu realitas. Oleh karena persepsi berdasarkan budaya yang dipelajari, maka persepsi seseorang atas lingkungannya bersifat subjektif. Semakin besar perbedaan budaya antara dua orang semakin besar pula perbedaan persepsi mereka terhadap suatu realitas. Karenanya diperlukan sebuah kerangka berpikir yang sama di atas perbedaanperbedaan kultur tersebut. Bagaimana individu-individu yang ada dalam masyarakat dapat melakukan proses komunikasi yang harmonis dalam sebuah kultur yang berbeda. Komunikasi dalam konteks lintas kultur ini dapat dilakukan lewat bahasa verbal maupun
20 Larry A. Samovar, Understanding Intercultur Communication, California, Wardsword Campony, 1981 hal 10

non verbal, misalnya gerak tubuh atau simbol-simbol lainnya.21 Komunikasi multikultural tidak bisa dilepaskan dari teori interaksi simbolik, yaitu suatu perspektif untuk melihat realitas sosial manusia.22 Proses komunikasi multikultural tidak cukup hanya diteliti dari apa yang dilihat, tetapi dipahami juga bagaimana aktivitas komunikasi berlangsung berupa pemindahan atau pertukaran simbol yang diberi makna serta menimbulkan interaksi antar budaya yang unik. Teori interaksi simbolik berkembang pertama kali di Universitas Chicago dan dikenal pula sebagai aliran Chicago. Banyak tokoh yang menganut teori ini, seperti William Isaac Thomas, John Dewey, Charles Horton dan tokoh utamanya George Herbert Blumer. Teori interaksi simbolik termasuk ke dalam salah satu dari sejumlah tradisi penelitian kualitatif yang berasumsi bahwa penelitian sistemik harus dilakukan dalam suatu lingkungan yang alamiah.23 George Ritzer24 mengemukakan tujuh prinsip metodologis berdasarkan teori interaksi simbolik, yaitu: 1. Simbol dan interaksi harus dipadukan 2. Harus diambil perspektif atau peran orang lain yang bertindak (the acting other) dan memandang dunia dari sudut pandang subjek, namun dalam berbuat demikian peneliti harus membedakan antara konsepsi realitas kehidupan sehari-hari dengan konsepsi ilmiah mengenai realitas tersebut. 3. Peneliti harus mengaitkan simbol dan definisi subjek dengan hubungan sosial dan kelompok-kelompok yang memberikan konsepsi demikian. 4. Setting perilaku dalam interaksi tersebut dan pengamatan ilmiah harus dicatat. 5. Metode penelitian harus mampu mencerminkan proses atau perubahan, juga bentuk perilaku yang statis 6. Pelaksanaan penelitian paling baik dipandang sebagi suatu tindakan interaksi simbolik. 7. Penggunaan konsep yang layak adalah mengarahkan dan kemudian operasional, teori yang layak menjadi teori formal, bukan grand teori atau teori menengah, dan proposisi yang dibangun menjadi interaksiona dan universal.
21 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung, 2002 2002 hal 13 22 ibid, hal 52 23 ibid, hal 148 24 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Rajawali Press, Jakarta, 2003, hal 57

Dengan menggunakan pendekatan teori interaksi simbolik maka komunikasi multikulural mempunyai peran sangat penting untuk mengamati nilai dan makna yang dianut oleh subyek penelitian. Sebab perspektif interaksi simbolik berupaya memahami perilaku manusia dari sudut pandang subyek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksinya.25 Interaksi simbolik merujuk kepada karakter khusus interaksi yang terjadi antar manusia. Sifat khusus ini terdapat pada kenyataan bahwa manusia menginterpretasikan dan mendefinisikan antara tindakan yang satu dengan yang lainnya.26 Dengan teori interaksi simbolik ini peneliti dapat memahami bagaimana sifat khusus yang ada pada berbagai etnis sehingga mereka memasuki proses komunikasi multikultural C. Komunikasi Multikultural dan Konflik di Indonesia Bangsa Indonesia saat ini berjumlah lebih dari 220 juta jiwa tersebar di wilayah geografi yang luasnya membentang dari Aceh sampau Papua, meliputi pulau kecil dan besar yang terdiri dari 450 suku bangsa dengan berbagai simbol kebudayaan yang melekat pada setiap suku bangsa. Semuanya mengaku dirinya bangsa Indonesia. Walaupun beraneka simbol dan tanda dalam kondisi kemasyarakatan dan kebudayaannya semuanya dipersatukan oleh bahasa Indonesia.27 Masa Reformasi paska runtuhnya kekuasaan Orde Baru telah membawa babak baru bagi kehidupan bangsa Indonesia. Nuansa baru dari pemerintahan reformasi ini disamping menghadirkan kembali kebebasan yang pernah terenggut di masa Soeharto tapi juga mengakibatkan munculnya berbagai konflik sosial. Sentimen kesukuan dan agama senantiasa menjadi pemicu (trigger) munculnya beberapa konflik sosial. Dengan sentimen ini konflik horizontal antar kelompok masyarakat muncul ke permukaan, padahal di zaman Orde Baru konflik seperti ini jarang terjadi. Sekalipun muncul konflik sosial eskalasinya besar dan tidak memakan waktu yang panjang karena dengan cepat mampu ditumpas dan diselesaikan oleh pemerintah meskipun dengan cara-cara kekerasan dan intimidasi.
25 ibid, hal 71 26 Riyadi Soeprapto, Interaksionalisme Simbolik, Pustaka Pelajar, Malang, 2002, hal 167 27 Zakiyuddin Baidhawy, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal 23

Sejak tahun 1950-an Indonesia tidak pernah sepi dan sunyi dari ledakan-ledakan konflik sosial. Konflik sejenis ini telah banyak terjadi baik di era Soekarno, Soeharto atau periode sesudah Soeharto. Konflik antar suku di Kalimantan telah terjadi sejak tahun 1950-an, dalam masa Orde Lama dan dalam era Orde Baru dengan meledaknya konflik etnis di Sanggau Ledo, Kalimantar Barat. Konflik terakhir di Sampit Kalimantan Tengah adalah yang ke-16 kalinya. Juga masih di masa Orde Baru Soeharto, terjadi berbagai pertikaian bernuansa agama di Jawa seperti peristiwa Situbondo, Tasikmalaya dan Pekalongan. Konflik antar umat beragama secara terbatas di Halmahera Utara telah sering terjadi sejak tahun 1960-an. Di Poso, paling kurang ada dua gejolak antar umat beragama, masing-masing pada tahun 1992 dan 1995. Setiap konflik sosial yang terjadi di masyarakat senantiasa dianggap sebagai konflik horizontal antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lain. Konflik tersebut semata-mata dilihat sebagai peristiwa agama atau suku, karena berkaitan dengan eksistensi suatu kelompok. Pemerintah kesulitan untuk menghadapinya karena demikian rumitnya permasalahan yang melatar belakangi konflik sosial tersebut. Suatu konflik sosial menurut Tomagola28 biasanya terjadi karena bertemunya tiga bagian utama konflik yang dianalogikan dengan struktur bom rakitan yang dibuat di wilayah konflik. Sebuah bom rakitan terdiri dari : 1) wadah keras; 2) amunisi serta 3) sumbu bom. Agar bom rakitan itu dapat meledak diperlukan satu faktor eksternal yang bernama 4) pemicu (trigger). Bila struktur bom itu diaplikasikan pada struktur anatomi konflik sosial maka secara berturut-turut sebagai berikut: 1) wadah keras = konteks yang memfasilitasi; 2) amunisi = inti atau akar permasalahan; 3) sumbu = sentimen suku dan agama; serta 4) pemicu = provokator. Demikian juga M Atho Mudzhar menyebutkan ada empat elemen utama konflik yang hadir dalam waktu yang bersamaan. Keempat elemen itu ialah facilitating contexts (konteks pendukung), core of conflict (akar konflik), fuse factor (sumbu) dan triggering factor (pemicu).29 Dalam suatu konflik sosial bernuansa agama, konteks pendukung itu dapat berupa pola pekerjaan atau pemukiman yang terpisah berdasarkan garis keagamaan antara berbagai kelompok yang akan terlibat konflik, atau kompetisi perkembangan demografi keagamaan, atau urbansasi yang berdampak menggusur penduduk lokal (asli) tertentu.
28 Tamrin Amal Tomagola, op. cit hal. 86 29 HM. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hal 238

Keberadaan konteks pendukung ini biasanya tidak serta merta mengakibatkan terjadinya konflik, tetapi berfungsi sebagai tempat berseminya potensi-potensi konflik untuk menunggu saat yang tepat. Diantara konflik sosial yang terjadi di Indonesia biasanya disebabkan oleh faktor kesukuan dan faktor agama. Konflik sosial yang disebabkan oleh kesukuan contohnya kasus Sampit, Kalimantan Barat. Sedangkan konflik sosial yang disebabkan oleh faktor agama seperti kasus Poso dan Ambon. Terdapat beberapa faktor yang sangat berperan dalam memfasilitasi konflik sosial diantaranya: pertama, pola pemukiman yang tersegregasi menurut suku dan agama. Kedua persaingan sengit antar lembaga-lembaga agama,30 baik dalam upaya memperbanyak pengikut maupun dalam memperluas teritori agama. Ketiga, masuknya imigran dari daerah lain yang berbeda suku atau agamanya dan Keempat terjadinya penghancuran sistematik atas lembaga-lembaga adat tradisional atau hukum adat yang sebelumnya bisa menjadi media penyelesai konflik.31 Faktor-faktor yang memfasilitasi konflik tersebut bisa kita lihat di Ambon Maluku. Di Maluku sejak dari pulau Morotai dan Halmahera di Maluku Utara sampai dengan pulau-pulau Kai dan Tanimbar di Maluku Tenggara, rakyat bertempat tinggal mengelompok menurut suku dan agama. Satu desa eksklusif suku dan agama tertentu. Bahkan dalam satu kecamatan di sana bisa ditemukan kecamatan eksklusif satu suku dan agama tertentu dengan beberapa kantong perkampungan daru suku dan agama yang berbeda. Konflik sosial yang melibatkan dua pihak atau lebih biasanya mengalami eskalasi (proses berikutnya yang menyusul). Eskalasi bisa berarti semakin luasnya sasaran atau wilayah konflik, atau semakin banyaknya orang yang terlibat, atau semakin canggihnya alat-alat konflik yang digunakan. Terkadang eskalasi itu bersifat undirectional (satu arah), dilakukan oleh salah satu pihak yang terlibat konflik. Tetapi pda umumnya eskalasi itu bersifat bi-directional, bersifat dua arah. Atinya eskalasi konflik yang dilakukan oleh salah satu pihak akan dibalas dengan eskalasi pihak lawan. Demikian seterusnya, sehingga tingkat eskalasi itu semakin besar dan saling bersahutan dari kedua belah pihak yang kalau kita gambarkan akan berbentuk seperti spiral. Hasilnya, konflik itu akan
30 Bedakan keyakinan dan ajaran agama dari sesuatu yan lain disebut lembaga-lembaga agama. Lembaga agama lebih sibuk dengan loby-loby politik ke hampir semua lembaa baik lembaga politik maupun lembaga kedinasan pemerintah. 31 Tomagola. Op Cit hal. 57 - 64

11

semakin membesar. Sementara itu, faktor pelanggeng konflik juga muncul, yaitu prejudice. Prejudis adalah sikap atau kepercayaan yang dimiliki seseorang untuk merendahkan orang lain, pernyataan negatif, atau pengungkapan perilaku permusuhan atau diskriminasi terhadap anggota suatu kelompok masyarakat hanya karena keanggotaan mereka dalam kelompok itu.32 Prejudis bukan hanya bersifat kognitif, tetapi juga meliputi emosi dan tingkah laku. Biasanya jenis kelamin, kesukuan, ras dan umur, menjadi ajang sasaran prejudis. Demikian pula kelompok-kelompok sosial yang terbangun karena menganut faham atau ajaran tertentu juga dapat menjadi ajang sasaran prejudis. Dua kelompok yang sedang terlibat konflik, biasanya juga memiliki prejudis satu terhadap yang lain. Kemudian semakin bereskalasi konflik itu terjadi, maka akan semakin peka dan membesar rasa prejudis itu. Apapun perkataan atau perbuatan pihak lawan, betatapun baik maksudnya, akan direspon secara negatif. Akibatnya, berbagai inisiatif untuk meredakan atau mengakhiri konflik, tidak akan direspon positif karena adanya prejudis. Jadi, prejudis berperan sebagai faktor pelanggeng konflik. Ada tiga sumber prejudis, yaitu: pertama, sumber yang bersifat psikologis. Dari segi ini prejudis dijelaskan bersumber dari rasa frustasi dan kemarahan, atau perasaan ketertindasan relatif, atau rasa keterancaman identitas sosial yagn kemudian secara diamdiam dialihkan menjadi sikap memandang rendah atau menyalahkan anggota kelompok lain yang tidak berdaya. Kedua, sumber yang bersifat kognitif. Dari segi ini prejudis muncul karena mekanisme proses informasi yang mula-mula membanun streotipe dan lama-lama menumpuk menjadi prejudis. Ketiga, sumber yang bersifat budaya. Dari segi ini prejudis dijelaskan bersumber dari transmisi norma dan nilai melalui agen-agen sosialisasi normal, dimana seseorang selalu berupaya menyesuaikan diri dengan norma dan nilai yang dianut orang-oran disekitarnya. Akibatnya, nilai dan norma yang dianut oleh suatu komunitas diikuti oleh para anggota komunitas itu, termasuk pandangan dan prejudis komunitas itu terhadap komunitas lain. Biasanya ada lima cara untuk mengakhir suatu konflik, yaitu: perjuangan kalah menang (zero sum game), bargaining, mediation, arbitration, dan adjudication. Dalam perjuangan kalah menang biasanya melibatkan tekanan politik dan fisik yang diharapkan
32 Deddy Mulyana, Nuansa-Nuansa Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 1997) hal 12.

berakhir dengan kemenangan pada salah satu pihak dan kehancuran pada pihak lain. Dalam bargaining, masing-masing pihak yang terlibat berupaya mencapai pernyataan kesepakatan (lisan atau tertulis) dengan pihak lawan yang bisanya terjadi dengan saling mengambil dan menerim tuntutan pihak lain. Dalam mediasi, pihak ketiga telah dilibatkan tetapi tidak untuk mengambil keputusan melainkan sekedar membantu proses bargaining. Dalam arbitration, masing-masing pihak menyerahkan kepada pihak ketiga untuk mengambil keputusan yang mengikat. Dalam adjudation, prinsipnya sama dengan arbitrasi, hanya saja pihak ketiga itu ialah hakim atau pengadilan. Dari lima cara yang ada itu, biasanya cara kedua dan ketiga, yaitu bargainign dan mediation, adalah cara yagn paling sedikit menimbulkan korban baik fisik maupun psikologis. Masalahnya timbul karena proses bargaining dan media itu biasanya harus dilakukan bersamaan dengan berlangsungnya konflik yang berarti juga berlangsungnya eskalasi konflik. Karena itu, upaya bargaining dan mediasi juga harus dibareni dengan upaya meredakan eskalasi konflik. Diantara cara peredaman eskalasi konflik ialah simple contact, cooperation on superordinate goals, dan unilateral conciliatory initiatives. Simple contact artinya pihak-pihak yang terlibat harus bertemu muka dan berbicara satu sama lain, mungkin dalam suatu forum. Adapun cooperation on superordinate goals artinya ialah upaya kerjasama dalam hal-hal bersama yang lebih besar di luar konflik. Sedangkan unilateral conciliatory initiatives artinya ialah langkah sepihak untuk rekonsialiasi. Di sinilah peran komunikasi multikultural perlu dibangun. Diantara upaya komunikasi multikultural adalah pengakuan akan adanya tradisi lokal atau lembaga adat yang telah ada di masyarakat. Contoh di Poso Situwu Marosa perlu diangkat kembali sebagai lembaga adat yang diakui dan disakralkan oleh masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan. Komunikasi multikultural juga mengedepankan dialog antar berbagai komunitas dan tokoh masyarakat dengan menggunakan pendekatan kultur. Selain peran tokoh adat, tokoh agama, tokoh masarakat dan pemerintah, hal penting yang mampu menciptakan kedamaian di ambon adalah semangat pela gandong, yaitu satu kultur khas Maluku. Pela artinya suatu relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain yang berada di pulau lain kadang juga menganut agama yang berbeda, sedangkan gandong sendiri bermakna adik. Perjanjian ini kemudian diangkat dalam sumpah yang tidak boleh

13

dilanggar. 33 Sedangkan penyelesaian konflik di Poso yaitu dengan komunikasi melalui perjanjian Malino I dan II. Kedua perjanjian ini telah memperkuat jalinan komunikasi multikultural yang tidak lagi mengedepankan prejudis di kalangan masyarakat. Mereka justru bahu membahu menyelesaikan konflik melalui komunikasi yang intensif. D. Penutup Demikianlah pendekatan komunikasi multikultural dalam kaitan heterogenitas masyarkat Indonesia. Dengan komunikasi yang intensif tanpa menghilangkan peran dan posisi masing-masing kelompok maka berbagai konflik akan mudah untuk diselesaikan. Sebaliknya bila prasangka (prejudice) dan stereotype tetap mengemuka dan menjadi frame berpikir masyarakat maka bukan penyelesaian yang akan datang tapi eskalasi konflik yang semakin meluas.

33 "Pela Gandong dan peran Tokoh, Dialog Jum'at Republika 22 Februari 2008 hal 4

DAFTAR PUSTAKA Abdul Haris Semendawai, Otonomi Daerah dalam Kehidupan Multikulturalitas di Indonesia, Suara Pembaharua, 8 Desember 2005 Anthony Giddens, Sosiologi, UI Press, Jakarta, 1995 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya, Rosdakarya, Bandung, 2000 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung, 2002 Deddy Mulyana, Nuansa-nuansa Komunikasi, Rosdakarya, Bandung, 1999 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Rajawali Press, Jakarta, 2003 Gurpreet Mahajan, Democracy, Difference and Justice, Cambridge, Mass.:Harvard University Press.1998 HAR. Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dan Transformasi Pendidikan Nasional, Grasindo Jakarta, 2004 HM. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia, Kuliah Dasar, Profesional Book, Jakarta, 1997 Ki Supriyoko, Pendidikan Masyarakat MultikulturalKompas , Senin 26 Januari 2004 Larry A. Samovar, Understanding Intercultur Communication, California, Wardsword Campony, 1981 M. Soleh Isre, Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, Balitbang Depag, 2003 Nathan Glazer, We Are All Multiculturalists Now. Cambridge, Mass.:Harvard University Press. 1997 "Pela Gandong dan peran Tokoh, Dialog Jum'at Republika 22 Februari 2008 Riyadi Soeprapto, Interaksionalisme Simbolik, Pustaka Pelajar, Malang, 2002 Ronda J. Stanton, Multicultural Communication: Back to the Basics, dalam www.stc.org/confproceed/2002 Suparlan, Parsudi, 1999, "Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme". Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus Tamrin Amal Tomagola, Anatomi Konflik Komunal di Indonesia dalam Konflik Etno Religius di Indonesia Kontemporer, Jakarta: Depag RI, 2003 Watson, C.W., Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University Press, 2000 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipas, Jalasutra, Bandung, 1999 Zakiyuddin Baidhawy, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Universitas Muhammadiyah Surakarta

15

ABSTRAKSI
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa majemuk karena memiliki latar belakang budaya (cultural background) heterogen. Heterogenitas budaya sering kali diikuti dengan kesalahan interpretasi sehingga memicu munculnya berbagai konflik sosial. Kehadiran konflik tersebut selanjutnya melahirkan sikap saling membenci antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Komunikasi multikultural menjadi solusi cerdas untuk mencegah sekaligus menyelesaikan berbagai konflik tersebut. Konsep multikulturalisme dalam komunikasi multikultural mengagungkan perbedaan, sekaligus juga memandang hakikat kemanusiaan sebagai sesuatu yang universal dan sama. Berbicara soal cara hidup (way of life), aturan berpikir (rule of thinking), dan pendirian atau prinsip hidup (state of mind), multikulturalisme melihat bahwa realitas keanekaan itu tidak dapat dinafikan. Perbedaan dipandang sebagai kesempatan untuk memanifestasikan hakikat sosial dan sosiabilitas manusia dengan dialog dan komunikasi. Adapun komunikasi multikultural adalah kemampuan komunikasi dengan disertai pemahaman tentang budaya. Pemahaman akan budaya ini meliputi pula pemahaman pada keperacayaan (beliefs), nilai (values) dan sikap (attitudes), pandangan dunia (worldviews), organisasi sosial (social organzation), tabiat manusia (human nature), orientasi kegiatan (activity orientation) dan persepsi tentang diri dan orang lain (perception of self and other). Sejak tahun 1950-an Indonesia tidak pernah sepi dan sunyi dari ledakan-ledakan konflik sosial. Konflik sejenis ini telah banyak terjadi baik di era Soekarno, Soeharto atau periode sesudah Soeharto. Konflik antar suku di Kalimantan telah terjadi sejak tahun 1950-an, dalam masa Orde Lama dan dalam era Orde Baru dengan meledaknya konflik etnis di Sanggau Ledo, Kalimantar Barat. Konflik terakhir di Sampit Kalimantan Tengah adalah yang ke-16 kalinya. Juga masih di masa Orde Baru Soeharto, terjadi berbagai pertikaian bernuansa agama di Jawa seperti peristiwa Situbondo, Tasikmalaya dan Pekalongan. Konflik antar umat beragama secara terbatas di Halmahera Utara telah sering terjadi sejak tahun 1960-an. Di Poso, paling kurang ada dua gejolak antar umat beragama, masing-masing pada tahun 1992 dan 1995. Di masa Reformasi terjadi pula konflik sosial yaitu di Ambon Maluku, Di Poso Sulawesi dan di Kalimantan. Pendekatan komunikasi multikultural diantaranya melalui mediasi diantara berbagai komponen tanpa mengesampingkan identitas masing-masing. Selain itu juga diangkat kembali lembaga adat serta budaya lokal seperti misalkan di Ambon dengan Pela Gandong atau di Maluku dengan perjanjian Malino.

Kata Kunci
Cultural background, konflik horizontal, konflik vertikal, plurality, diversity, asimilasi, melting pot, prejudice, interaksi simbolik, trigger, core of conflict, fuse factor, facilitating contexts, bargaining, mediation, arbitration, adjudication dan pela gandong.

KOMUNIKASI MULTIKULTURAL : SEBUAH PENDEKATAN MEREDAM KONFLIK SOSIAL

MAKALAH

Oleh : ZAENAL MUKAROM Staf Pengajar Komunikasi Politik Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN SGD Bandung

BANDUNG 2011
17

You might also like