You are on page 1of 13

PRODUKSI DAN POTENSI PEMASARAN UBI KAYU INDONESIA*)

Putri Suci Asriani**) ABSTRAK Terdapat kelemahan integrasi pemahaman antar pelaku sistem usaha pertanian terhadap potensi ubi kayu sebagai sumberdaya pangan, pakan, dan industri dalam satu sistem usaha pertanian, salah satunya disebabkan oleh sistem informasi yang tidak mampu memberikan gambaran secara ekonomi potensi pemasaran ekspor dan domestik ubi kayu di Indonesia. Informasi tersebut antara lain adalah produksi dan potensi pemasaran ubi kayu Indonesia, baik untuk pasaran ekspor maupun domestik. Secara strategi ekonomi upaya pengembangan ubi kayu adalah layak dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan ekspor dan domestik. Apabila produksi dan sistem pemasaran ekspor dan domestik ubi kayu diketahui, maka alokasi sumberdaya ubi kayu akan dapat dijadikan landasan penetapan strategi dasar pengembangan produk sebagai penunjang ketahanan pangan. Kata kunci: Ubi kayu; Produksi; Potensi; Pemasaran ekspor dan domestik ABSTRACT There are integrate weakness of understanding, among partnership the agriculture farming system of cassava potencies as food, feed, and industrial resources in agribusiness system. There is, among other, due to assymetric information system for economic potential of cassava marketing system (export and domestic market) in Indonesia, as well as, the information of production and potencies of cassava market in Indonesia, export and domestic market. Economic strategic to develop strive the cassava productivity is feasible for the accompleshment of export and domestic requirement. Information in production allocation and marketing system for export and domestic consumption of cassava will be useful for the strategic of decision making for the product development to support food security. Keywords: Cassava; Production; Potencies; Export and domestic marketing system.

PENDAHULUAN
Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) komoditas dari subsektor tanaman pangan dan memiliki potensi untuk dikembangkan. Lebih dari itu, ubi kayu merupakan salah satu komoditas ekspor yang sangat potensial. Kepentingan pengembangannya tidak hanya bertitik-tolak dari perkembangan permintaan dalam negeri, tetapi juga pada potensi ekspor yang cukup besar. Dalam lima tahun terakhir produksi ubi kayu Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2002 produksinya sebesar 16,91 juta ton, sedangkan pada tahun 2003 menjadi
*) Disampaikan pada Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Balitkabi Malang, Tanggal 7-8 September 2006. **)Staf Pengajar Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian FP Universitas Bengkulu, sekarang sedang mengikuti Program Karya Siswa di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

18,52 juta ton atau meningkat sebesar 9,52 persen dan target pada tahun 2004 sebesar 19,25 juta ton atau meningkat 3,92 persen dibandingkan tahun 2003 (Faostat, 2006). Ubi kayu di Indonesia mempunyai dua peranan utama. Pertama, sebagai tanaman pangan, ubi kayu merupakan sumber karbohidrat di samping beras dan jagung. Namun, ubi kayu akan menjadi komoditas inferior dengan meningkatnya pendapatan (Baharsjah, Azahari, dan Suryana, 1980 dalam Suryana, 1981). Kedua, sebagai tanaman perdagangan, ubi kayu merupakan tanaman penghasil uang (cash crop). Pati, gaplek, tepung ubi kayu, etanol, glukosa cair, dan pellets merupakan komoditas ekspor. Negara tujuan ekspor utama ubi kayu Indonesia adalah Cina, pada periode tahun 2001 sampai dengan September 2003 rata-rata ekspor sebesar 83,14 persen (BPS RI, 2005). Secara kultur teknis tanaman ubi kayu dapat ditanam pada tanah yang kurang subur, tahan terhadap kekeringan dan mempunyai waktu panen sepanjang tahun. Namun upaya perluasan areal panen komoditas belum mendapatkan respon yang positif, bahkan rata-rata negatif 0,29 persen per tahun (Deptan RI, 2005), salah satu penyebabnya adalah image negatif yang sudah terlanjur melekat (Darwanto dan Muharto, 1998). Hal tersebut didukung dengan adanya paradigma yang salah terhadap agribisnis ubi kayu yang dianggap sebagai usaha pertanian kelas dua (secondary crops) setelah beras (Saragih, 2003). Fenomena di atas menggambarkan secara jelas bahwa ubi kayu memiliki potensi besar dengan berbagai fungsi kegunaannya, namun pemahaman tersebut belum dimiliki secara terintegrasi oleh semua pelaku sistem usaha pertanian. Sehingga potensi yang ada tidak dapat diberdayakan secara optimal, baik di pasaran ekspor maupun domestik.

PRODUKSI UBI KAYU INDONESIA


Ubi kayu sebagai komoditas sekunder dalam sistem bahan pokok untuk konsumsi masih sering dianggap sebagai usaha sampingan sehingga pengembangannya belum dilakukan secara intensif. Namun, dari sisi jumlah produksi jika dibandingkan dengan komoditas sekunder dalam sistem bahan pokok untuk konsumsi lainnya, ubi kayu menempati posisi pertama (Tabel 1). Berdasarkan perbandingan luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu Indonesia (Faostat, 2006), diketahui bahwa tingginya jumlah produksi tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas daripada peningkatan luas panen. Pertumbuhan luas panen pada lima tahun terakhir yang rata-rata adalah negatif 0,32 persen mampu memproduksi ubi kayu dengan pertumbuhan 4,52 persen pada tingkat produktivitas 0,67 persen.

Tabel 1. Produksi Tanaman Pangan Sekunder di Indonesia


Tahun
2001 2002 2003 2004 2005*)
*)

Jagung (Ton)
9347192 9654105 10886442 11225243 12013707

Kedelai (Ton)
826937 673056 671600 723483 797135

Kacang Tanah (Ton)


709770 718071 785526 837495 837633

Kacang Hijau (Ton)


301021 288089 335224 310412 309721

Ubi Kayu (Ton)


17054600 16913104 18523800 19264000 19459402

Ubi Jalar (Ton)


1749070 1771642 1991478 1901802 1840248

angka estimasi

Sumber: Food Crops Statistics (2005), diolah.

Penyebaran tanaman ubi kayu meluas ke semua propinsi di Indonesia. Pada tahun 2003 propinsi-propinsi yang merupakan sentra produksi komoditas ubi kayu adalah Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Tabel 2). Tanaman ubi kayu tahan dan mampu produktif pada lahan dengan kapasitas nutrisi tanah yang rendah, namun demikian sistem irigasi dan kondisi curah hujan yang tinggi serta penggunaan pupuk tetap harus diperhatikan dengan baik guna mencapai tingkat produktivitas yang tinggi (Plucknett, et.al., 1998 dalam FAO and IFAD, 2004). Ubi kayu potensial sebagai usahatani penunjang ketahanan pangan. Hasil olahan ubi kayu dapat dijadikan sebagai buffer stock pangan, hal tersebut sudah dilakukan oleh beberapa daerah di Indonesia yang menjadikan ubi kayu sebagai bahan pangan, yaitu dalam bentuk chips (gaplek), gatot, growol, dan thiwul yang tahan disimpan untuk beberapa bulan (tergantung pada baik/tidaknya proses pengolahan yang dilakukan). Tabel 2. Luas Panen, Hasil Per Hektar, dan Produksi Ubi Kayu Indonesia di Beberapa Sentra Produksi Pada Tahun 2003
No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Lampung Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat Nusa Tenggara Timur D.I. Yogyakarta Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Sulawesi Tenggara

Propinsi

Luas Panen (Hektar)


298.989 240.493 215.374 114.853 80.330 59.270 40.808 33.452 15.174 16.526

Produktivitas (Ton/Ha)
16,7 15,7 16,1 14,4 10,7 12,9 14,5 12,3 13,9 14,1

Produksi (Ton)
4.984.616 3.786.882 3.469.795 1.651.879 861.620 764.409 590.717 411.990 210.742 233.340

10. Kalimantan Barat Sumber: Biro Pusat Statistik RI (2005) diolah.

Perkembangan produksi ubi kayu Indonesia, berdasarkan hasil analisis exponential smoothing_5, sampai dengan tahun 2010 relatif mendatar, namun cenderung ke arah positif. Diharapkan dengan semakin besar kuantitas peningkatannya, maka semakin besar 3

pula peluang ubi kayu Indonesia untuk memasuki pasar ubi kayu dunia. Walaupun, kuantitas terbesar masih ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan domestik, hanya sekitar 22 persen untuk pemenuhan kebutuhan dunia melalui pasar ekspor (Gambar 1).
Produksi/D_Domestik/D_Dunia (1000 Mt)
200000 180000 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 '85 '88 '91 '94 '97 '00 '03 '04 '05 '06 '07 '08 '09 '10

Produksi D_Domestik D_Dunia

Tahun

Sumber: Faostat 2006, dianalisis.

Gambar 1. Perkembangan Produksi Ubi Kayu Indonesia dan Kebutuhan Pasar Domestik dan Dunia Tahun 1985-2010 Peluang tersebut seiring dengan kecenderungan meningkatnya potensi kuantitas ekspor ubi kayu Indonesia pada lima tahun yang akan datang. Besarnya potensi ekspor tersebut dapat dilihat dari selisih antara kuantitas produksi terhadap pemenuhan kebutuhan domestik (Gambar 2).
20000

Produksi/D_Domestik (1000 Mt)

18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 '85 '88 '91 '94 '97 '00 '03 '04 '05 '06 '07 '08 '09 '10

Produksi D_Domestik

Tahun

Sumber: Faostat 2006, dianalisis.

Gambar 2. Potensi Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1985-2010 Perkembangan pemanfaatan ubi kayu untuk pemenuhan pasar domestik, sampai dengan tahun 2002, masih didominasi pada pemenuhan kebutuhan pangan (Gambar 3). Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa image pemanfaatan ubi kayu di Indonesia masih sebagai komoditas pertanian yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pangan, belum secara luas di respon sebagai cash crop. 4

Permintaan Domestik/W aste/Pangan/Pakan/Lain2 (1000 Mt)

35000 32500 30000 27500 25000 22500 20000 17500 15000 12500 10000 7500 5000 2500 0 '85 '88 '91 '94 '97 '00 '01 '02

Lain-lain Pakan Pangan Waste D_Domestik

Tahun

Sumber: Faostat 2006, dianalisis.

Gambar 3. Alokasi Produksi Ubi Kayu untuk Pemenuhan Kebutuhan Pasar Domestik Produk sampingan (termasuk limbah selulosa) dari industri pengolahan ubi kayu dan ubi kayu yang belum termanfaat (waste) berpotensi sebagai sumber bahan mentah bioetanol (Soerawidjaya, 2004). Hal ini menunjukkan potensi pemanfaatan ubi kayu sebagai cash crop dapat lebih dioptimalkan, seiring dengan rencana Indonesia untuk menggunakan sumber energi alami sebesar 5 persen pada tahun 2025 (ESMAP, 2005). Peluang tersebut seiring dengan kecenderungan meningkatnya potensi kuantitas ekspor ubi kayu Indonesia pada lima tahun yang akan datang. Bioetanol dibuat dengan bahan baku bahan bergula seperti tebu, nira, aren, bahan berpati seperti jagung dan ubi-ubian dan bahan berserat berupa limbah pertanian yang saat ini masih dalam taraf pengembangan di negara maju (Menristeka, 2006).

Sumber: Soerawidjaya, 2006

Gambar 4. Perkembangan Konsumsi Etanol Dunia

PEMASARAN UBI KAYU UNTUK PASAR DOMESTIK


Ubi kayu sebagai pangan. Bagian tanaman ubi kayu yang umum digunakan sebagai bahan pangan adalah akar dan daun-daun muda (pucuk). Ubi kayu dapat diolah menjadi berbagai jenis produk. Aneka jenis makanan yang berbahan baku ubi kayu antara lain adalah ubi kayu rebus (kukus), ubi kayu bakar, ubi kayu goreng, gethuk, kolak, keripik, opak, tape, dan enyek-enyek. Selain itu ubi kayu dapat diolah menjadi produk antara seperti gaplek dan tapioka (Rukmana, 2006). Ubi kayu dan berbagai produk olahannya mengandung gizi cukup tinggi dan komposisinya lengkap yang merupakan bahan pangan sumber karbohidrat sebagai sumber utama energi yang kaya serat. Ubi kayu tercatat mampu menghasilkan 250x10 3 kalori/ha/hari, sedangkan untuk beras mampu menghasilkan 176x103 kalori/ha/hari, gandum 110x103 kalori/ha/hari, jagung 200x103 kalori/ha/hari, dan sorgum 114x103 kalori/ha/hari (Okigbo, 1977). Namun demikian ubi kayu tetap dikenal sebagai bahan pangan yang miskin gizi, karena kandungan protein, lemak, vitamin dan mineral pada ubi kayu dan produk olahannya rendah. Walaupun sesungguhnya jika dibandingkan dengan produk tanaman sekunder lainnya ubi kayu tetap merupakan tanaman pangan potensial. Kandungan protein, lemak, vitamin dan mineral yang rendah pada ubi kayu pada dasarnya dapat dipenuhi melalui kombinasi bahan pangan yang tepat. Daun muda (pucuk) ubi kayu lebih kaya protein dibandingkan dengan akarnya (Direktorat Gizi Depkes RI, 1992). Ubi kayu sebagai sebagai bahan baku industri pati. Produk olahan ubi kayu dalam bentuk tapioka dan tepung gaplek merupakan bahan baku industri makanan, glukosa, tekstil, dan lain-lain. Produk utama hasil pengolahan ubi kayu, antara lain adalah tapioka, tepung gaplek, dan ampas tapioka yang dipergunakan dalam industri kue, roti, kerupuk, dan lain-lain. Tapioka juga dibutuhkan dalam industri lem dan tekstil serta industri kimia. Peluang untuk mengembangkan industri pengolahan hasil ubi kayu cukup luas, terutama industri makanan. Produk antara seperti gaplek, tepung gaplek, dan tapioka sangat memungkinkan untuk ditumbuhkembangkan di daerah-daerah sentra produksi. Ubi kayu sebagai bahan campuran pakan ternak chips. Ubi kayu merupakan bahan campuran pakan ternak yang cukup baik. Di luar negeri bahan yang biasa digunakan untuk campuran pakan ternak adalah gaplek, tepung gaplek, dan limbah dari proses pengolahan ubi kayu (FAO dan IFAD, 2004). Di Indonesia, pemakaian ubi kayu sebagai bahan pakan ternak masih sangat terbatas. Padahal potensi limbah ubi kayu tersedia 6

melimpah. Limbah ubi kayu yang dapat digunakan sebagai pencampur pakan ternak adalah daun, kulit, dan onggok. Limbah ubi kayu termasuk salah satu bahan pakan ternak yang mempunyai energi (Total Digestible Nutrients=TDN) tinggi, dan kandungan gizi tersedia dalam jumlah memadai. Dalam penyusunan ransum ternak, limbah ubi kayu dapat menggantikan sumber energi yang mahal harganya, seperti jagung. Ubi kayu sebagai bahan baku industri etanol. Ubi kayu adalah bahan baku etanol yang dihasilkan melalui proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme (Menristekb, 2006). Ethanol digunakan sebagai bahan minuman, bahan bakar, dan industrial (Soerawidjaya, 2006). Sebagai bahan bakar, biaya pokok produksi etanol lebih kompetitif dibandingkan dengan bensin tanpa subsidi, yaitu untuk kapasitas 60 kiloliter per hari, etanol biaya produksinya Rp 2.500,00 sementara bensin sekitar Rp 4.000,00 per liter (Menristekb, 2006). Bahan bakar alternatif dari ubi kayu dengan unjuk kinerja (power dan torsi) gasohol setara dengan pertamax bahkan lebih baik dari premium mampu bersaing di pasar dunia (Tjahyono, 2005; Nugroho, 2005 ). Namun demikian dalam pengembangannya perlu diperhatikan bahwa jika pemerintah Indonesia ingin mengganti pemakaian BBM dengan gasohol (campuran premium dan etanol) pada saat ini, maka substitusinya tidak lebih dari 2 persen, karena produksi etanol Indonesia hanya 200 jutaliter per tahun dengan konsumsi premium dalam negeri 17,2 milliar liter per tahun. Apabila 10 persen dari kebutuhan BBM diganti dengan etanol, maka paling tidak harus diproduksi 1,8 milliar liter etanol per tahun (Raharjo, 2006). Umbi Ubi Kayu Pakan Ternak Pellet Chip Pati Ubi Kayu Pati Modifikasi Bahan Buangan Selulosa Sirup Glukosa Glukosa Sagu Mutiara Bahan Pangan fermentasi Komoditas: Propylene glycol, MSG, Asam Asetat, Asam Suksinat 1,3 Propanediol: PDO (DuPont/Cenecor) Sorbitol
Sumber: Chulavatantol, 2006

Vitamin C PLA

Asam Laktat Etanol

Gambar 5. Rantai Potensi Pengembangan Ubi Kayu 7

Berdasarkan Perpres No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, biofuel ditargetkan memberikan kontribusi sebesar lima persen dari energy-mix. Dengan asumsi perbandingan masing-masing jenis bahan bakar sesuai dengan komposisi tahun 2005, bioetanol derajat bahan bakar (fuel grade etanol) yang harus diproduksi pada 2005 sebesar minimal 6,28 juta kL. Untuk memenuhi kebutuhan bioetanol ini diperlukan pabrik bioetanol sebanyak 314 pabrik yang masing-masing memproduksi 60 kL per hari dan bahan baku setara 41 juta ton ubikayu (Menristeka, 2006).

PEMASARAN UBI KAYU UNTUK PASAR EKSPOR


Pasar ekspor ubi kayu merupakan sumberdaya yang memiliki banyak hal menarik untuk ditumbuhkembangkan, hal ini diharapkan secara ekonomi mampu memacu produsen untuk memproduksi ubi kayu secara komersial. Berdasarkan Laporan Kegiatan Studi Pasar Ubi Kayu Global oleh FAO dan IFAD (2004) diketahui bahwa pasar ekspor ubi kayu telah memasuki masa pertumbuhan yang mengagumkan, dimana pertumbuhan tersebut dapat terjadi atas dukungan penuh internasional dengan sedikit intervensi nasional. Tidak diragukan lagi jika disimpulkan bahwa saat ini merupakan kesempatan yang tepat memasuki pasar ubi kayu tingkat lanjut ke berbagai negara sasaran ekspor, sebagai contoh promosi dan pengembangan pasar ubi kayu dapat dilakukan melalui organisasi nasional dan internasional. Ubi kayu sebagai pangan. Pasar ekspor ubi kayu sebagai bahan pangan, mayoritas diperuntukkan sebagai lapisan transparan pembungkus makanan. Negara pengimpor terbesar adalah Amerika Utara dengan total impor 38000 ton dan Eropa dengan total impor 5000 ton. Eksportir utama ubi kayu dunia adalah Costa Rica. Permintaan ubi kayu segar mengalami peningkatan dan semakin eksis di pasar dunia antara lain dikarenakan adanya penemuan proses pengemasan makanan dengan lapisan transparan yang mampu mengurangi penggunaan pembungkus plastik. Pasar ekspor diarahkan ke masyarakat etnik di Eropa, biasanya adalah keturunan Afrika, dan Amerika Utara, biasanya adalah Hispanics (FAO dan IFAD, 2004). Berdasarkan studi kasus yang dilakukan oleh FAO dan IFAD (2004) diindikasikan bahwa masih banyak hasil olahan ubi kayu yang dapat diterima food and baverage markets, seperti ubi kayu beku, ubi kayu french-fries, dan tepung ubi kayu. Namun belum banyak informasi pasar mengenai produk tersebut. Total impor tepung ubi kayu relatif rendah, namun kesempatan pasar lebih luas dapat dikembangkan jika pengusaha roti, industri makanan (biskuit dan makanan sejenis), dan 8

produk pasta (mie, makaroni, spagheti) menggunakan tepung ubi kayu sebagai bahan baku yang merupakan tepung tidak bergluten dengan sasaran pasar penderita gangguan pencernaan. Hal tersebut dimungkinkan, sebab di Amerika Utara, mayoritas industri makanan tidak memperhatikan pasar tersebut padahal pasar tersebut cukup potensial untuk menjustifikasi pengembangan produk. Pasar impor untuk ubi kayu beku dan french fries di Eropa dan Amerika Utara relatif baru. Secara umum terlihat bahwa pasar ekspor ubi kayu sebagai bahan pangan akan mengalami pertumbuhan, tetapi pertumbuhan tersebut dapat terwujud jika diikuti dengan pengembangan proses pengolahan produk sebagai sarana promosi.

Konsumsi (1000 Mt)


Sumber: FAO dan IFAD, 2004.

Gambar 6. Potensi Peningkatan Konsumsi Ubi Kayu oleh Populasi Hispanics Ubi kayu sebagai bahan baku industri pati. Pati ubi kayu atau yang dikenal dengan tapioka sebagai komoditas perdagangan memiliki kemampuan diversifikasi produk yang luas. Ketersediaan data yang memuat informasi tersebut masih sangat terbatas, termasuk FAO, untuk itu masih diperlukan banyak pengamatan tentang hal tersebut. Tetapi, terlepas dari itu, diketahui bahwa lebih banyak importir pati ubi kayu dibandingkan dengan eksportirnya. Hal ini menekankan bahwa tingkat kebutuhan pati ubi kayu sebagai bahan baku industri sangat tinggi. Thailand merupakan negara pengekspor pati ubi kayu utama dengan kemampuan pemenuhan 85 persen kebutuhan dunia. Pada tahun 1990, tercatat sekitar 85 persen impor pati dunia dilakukan China dan Jepang. Pada tahun 1995, tercatat sekitar 81 persen impor pati dunia dilakukan oleh China, Indonesia, Malaysia, dan Jepang (Faostat, 2006). Studi kasus yang dilakukan untuk pasar pati Eropa dan Amerika Utara, menggambarkan fakta bahwa selera akan konsumsi pati kedua bangsa tersebut didasarkan 9

pada kelebihan penawaran atas ketersediaan bahan baku. Selera konsumsi pati di Eropa sangat dipengaruhi oleh kondisi geografi regional. Pati kentang, gandum, dan jagung lebih disukai dibandingkan dengan pati ubi kayu. Dalam jumlah relatif besar, impor atas komoditas kentang, gandum, dan jagung dipenuhi oleh China dan Jepang, secara parsial fakta tersebut menggambarkan bahwa bangsa ini tidak memiliki kemampuan yang cukup atas sumber daya bahan baku industri pati. Sehingga terlihat bahwa Eropa dan Amerika Utara merupakan pasar pati ubi kayu yang besar untuk pemenuhan industri bahan perekat (adhesive) dan minuman. Pada saat harga jagung dan pati jagung tinggi, industri kertas di Amerika Utara mengimpor pati ubi kayu dalam jumlah besar (FAO dan IFAD, 2004). Pada Tabel 3 terlihat jelas bahwa di United States, tinggi rendahnya harga sangat mempengaruhi kuantitas dan jenis bahan baku pati yang akan diimpor. Studi lainnya yang dilakukan untuk pasar pati di Brazil, Eropa, Amerika Utara, dan Thailand mengindikasikan adanya potensial pertumbuhan kebutuhan pati ubi kayu termodifikasi. Negara-negara tersebut melakukan pembangunan secara komersial untuk memproduksi pati termodifikasi dengan produsen Eropa dan Amerika Utara. Produk yang dihasilkan biasanya diproduksi untuk Eropa dan Amerika Utara. Studi ini sedikit mengindikasikan secara eksklusif suatu negara memproduksi ubi kayu yang diproses menjadi pati termodifikasi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Tabel 3. Impor Pati United State
Impor
Pati Gandum Pati Jagung Pati Ubi kayu Pati Kentang

Kuantitas (Mt)
1 136 3 815 20 440 25 273

Nilai ('000$)
767 3 080 7 737 11 796

$/kg
0.68 0.81 0.38 0.47

Sumber: Sunderland (FAO dan IFAD, 2004)

Ubi kayu sebagai bahan campuran pakan ternak chips. Pasar ekspor impor untuk chips ubi kayu dan pellets secara dominan terwakili oleh sektor perdagangan Eropa Thailand, dan juga termasuk Indonesia. Pada Gambar 7 diilustrasikan bahwa Thailand dan Indonesia tercatat sebagai eksportir chips ubi kayu dan pellets untuk memenuhi permintaan pasar Eropa sebanyak 95 persen (Faostat, 2006). Ekspor chips ubi kayu dan pellets oleh Thailand mengalami peningkatan setiap tahunnya, dari tidak sama sekali pada tahun 60-an hingga 6 juta ton pada tahun 1978. Sampai dengan 1988 ekspor chips ubi kayu dan pellets Thailand tidak mengalami perubahan yang berarti, masih sekitar 6 juta ton, namun dari 1988 ke 1992 terjadi perubahan yaitu sekitar 8 juta ton. Sejak tiga tahun terakhir, ekspor 10

chips ubi kayu dan pellets Thailand ke Eropa mengalami penurunan. Hal tersebut berdampak pada suksesnya Thailand membuka pasar alternatif untuk chips ubi kayu dan pellets-nya yaitu ke China dan Republik Korea, dimana faktor pendorongnya adalah tidak reliable-nya permintaan chips ubi kayu dan pellets dalam negeri. Studi kasus di Eropa menjelaskan bagaimana politik pertanian masyarakat Eropa membentuk pasar ubi kayu. Studi ini disertai fakta-fakta bagaimana merubah politik masyarakat Eropa dan dunia untuk menghargai proteksi dan perdagangan pertanian, termasuk di dalamnya adalah pasar ubi kayu. Banyak saran disampaikan pada saat permintaan Eropa atas pellets ubi kayu mengalami penurunan. Namun dengan dengan optimisme yang tinggi Thailand dan mungkin Indonesia (data yang tersedia tidak spesifik) tetap eksis dan kontinue memenuhi kebutuhan pellets untuk pasar Eropa dalam jangka panjang. Kondisi ini menciptakan kesempatan yang kecil bagi negara lain untuk ikut masuk ke dalam pasar, kecuali anggota WTO dengan kuota 145000 ton, diantaranya adalah Ghana dengan komoditas ekspor chips ubi kayu (FAO dan IFAD, 2004). Secara fakta, sangat sulit bagi pendatang baru untuk masuk dan bertahan pada pasar yang terbatas.

Kuantitas Ekspor (Mt)

Gambar 7. Ekspor Chips Ubi Kayu dan Pellets (root equivalence)

PENUTUP DAN REKOMENDASI


Ubi kayu sebagai komoditas sekunder memiliki produksi tertinggi dibandingkan komoditas sekunder lainnya dengan potensi sebagai usahatani penunjang ketahanan pangan. Trend perkembangan produksi sampai dengan 2010 menunjukkan kecenderungan yang positif begitu juga halnya dengan potensi ekspor. Potensi pemasaran domestik dan ekspor ubi kayu meliputi empat peranan: (1) ubi kayu sebagai bahan pangan, (2) ubi kayu sebagai bahan baku industri, (3) ubi kayu sebagai bahan

11

campuran pakan ternak, dan (4) ubi kayu sebagai bahan baku industri etanol. Untuk pasar domestik, potensi pengembangan ubi kayu diarahkan pada pemenuhan kebutuhan bahan pangan dan kebutuhan bahan baku industri etanol. Untuk pasar ekspor, potensi pengembangan ubi kayu diarahkan pada pemenuhan kebutuhan bahan campuran pakan ternak. Sistem agribisnis ubi kayu dijalankan secara terintegrasi dalam satu sistem usaha pertanian terpadu, sehingga pemanfaatan ubi kayu pada keempat peranan tersebut dapat optimal dan saling berantai dengan pendekatan konsep tekonologi zero waste disposal process.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Republik Indnesia, 2005. www.BPS.org. Biro Tokyo-Bisnis Indonesia, 1996. Integrasi Vertikal di Gula Cair Perlu Dibenahi. richard@twics.com. Edisi 10 Juli 1996. Chulavatnatol, Montri, 2006. What Thailand should do to Promote a Knowledge Economy?. NESDB & WBI, Bangkok, Thailand. Departemen Pertanian RI. 2005, Data Base Pemasaran Internasional Ubi Kayu. Direktorat Pengolahan dan pemasaran Hasil Tanaman Pangan Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Deptan RI. Jakarta. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit Bhratara-Jakarta. ESMAP, 2005. Potential for Biofuels for Transport in Developing Countries. Http://wbln0018.worldbank.org/esmap/. FAOSTAT, 2006. FAO. Rome: Italy (http://faostat.org). FAO and IFAD, 2004. Proceedings of The Validation Forum on The Global Cassava Development Strategy (Volume 6): Global Cassava Market Study Business Opportunities for The use of Cassava. FAO. Rome. FAO and IFAD, 2001. Proceedings of The Validation Forum on The Global Cassava Development Strategy (Volume 1): The Global Cassava Development Strategy and Implementation Plan. FAO. Rome. Food Crops Statitics, 2005. FAO. Rome: Italy (http://faostat.org). Darwanto, D H dan Muharto, 1998. Kaji Ulang Penelitian Agribisnis dan Agroindustri Ketela Pohon selama Pembangunan Jangka Panjang-1. Prosiding Seminar Nasional: Pengembangan Agroindustri Ketela Pohon Berbasis Pedesaan dalam Menunjang Peningkatan Ketahanan dan Keamanan Pangan. FP UGM dan Kantor Meneg Urusan Pangan RI. Yogyakarta. Kompas-Online, 2000. Puluhan Ribu Ton Singkong KUT Tidak Laku. Kompas, 11 September 2000. Jakarta. Menristeka, 2006. Menristek Presentasikan BBNabati. Situs Web Resmi Presiden RIDr.H. Susilo Bambang Yudhoyono. 12

Menristekb, 2006. Kontrak Kerjasama Riset Indonesia Belanda. Republika-Online. Nugroho, Bagus Anang, 2005. Menanam Bensin di Kebun Singkong. Gatra.Com. Okigbo, Bede N, 1977. Nutritional Implications of Projects Giving High Priority to the Production of Staples of Low Nutritive Quality: The Case For Cassava (Manihot Esculenta Crantz) in the Humid Tropics of West Africa. International Institute of Tropical Agriculture, Ibadan, Nigeria. Raharjo, Sri, 2006. Bahan Baku Alkohol Melimpah. Kompas Cyber Media. Rukmana, Rahmat, 2006. Ubi Kayu: Budi Daya dan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta. Saragih, Bungaran, 2003. Lembaga Agrobisnis Petani Perlu Terus Dikembangkan agar Petani Mampu Memanfaatkan Fasilitas Skim Kredit. Pikiran Rakyat-Online. Bandung. Soba, Heri S, 2004. Agribisnis Ubi Kayu. Pembaruan Daily-Online, 29 Juli 2004. Soerawidjaja, Tatang H, 2004. Prospek Bioetanol sebagai Bahan Bakar Transportasi. Pusat Penelitian Pengembangan Sumberdaya Alam LPPM, Institut Teknologi Bandung: Disajikan pada Pertemuan Asosiasi Spiritus dan Ethanol Indonesia (ASENDO) Yogyakarta 2004. Suharno, Pa, 1997. Prospek Permintaan pati Ubi Kayu (Tapioka) di Indonesia. Jurnal Agribisnis I (1&2): 45-51. Suharno, Pb, 1997. Dinamika Struktur Permintaan Ubi Kayu di Indonesia dan Implikasinya untuk Kebijaksanaan: Ringkasan Disertasi Ph.D di bidang Ekonomi Pertanian, University of the Philippines Los Banos 1996. Pangan VIII (31): 78-80. Suryana, Ahmad, 1981. Keuntungan Komparatif Usahatani Ubi Kayu di Daerah Produksi Utama di Lampung dan Jawa Timur. Jurnal Agro Ekonomi I (1): 37-55. Syafa'at, Nizwar., Sudi Mardianto., dan Pantjar Simatupang, 2003. Kinerja Pertumbuhan PDB Pertanian 2003: Berada Pada Fase Percepatan Pertumbuhan. Analisis Kebijakan Pertanian I (3): 210-220. Widodo, Yudia, 1995. Ubi-ubian Potensi dan Prospeknya untuk Dimanfaatkan dalam Program Diversifikasi. Pangan VI (22): 46-54. Widodo, Yudib, 1986. Pola Pengembangan Agro Industri Ubi Kayu di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, V (3): 67-72. Tjahyono, Agus Eko, 2005. Menanam Bensin di Kebun Singkong. Gatra.Com.

13

You might also like