You are on page 1of 6

I.

PENGERTIAN TUNA RUNGU Tuna rungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan kondisi kehilangan keseluruhan atau sebagian daya pendengaran yang dialami seseorang. Tuna rungu diklasifikasikan menjadi dua, yaitu keadaan tuli (deaf) dan kuarang dengar (hard of hearing). Hallahan dan Kauffman (1991) serta Hardman (1990, dalam Hernawati 2007) mengemukakan bahwa orang tuli (a deaf person) adalah seseorang yang mengalami ketidak mampuan mendengar, sehingga mengalami hambatan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya. Sedangkan orang yang kurang dengar (a hard of hearing) adalah seorang yang memungkinkan untuk memproses informasi bahasa. Orang dengan gangguan ini biasanya menggunakan alat bantu dengar. Direktorat Pendidikan Luar bBiasa menyatakan bahwa tuna rungu

dilkasifikasikan sebagai berikut : a. Tuna rungu berdasarkan tingkat kemampuan mendengar percakapan/bicara 1) Sangat ringan (27-40db), yaitu memounyai kesulitan mendengar bunyi yang jauh. 2) Ringan (41-55db), yaitu berkurangnya daya pendengaran namun masih mengerti bahasa percakapan. 3) Sedang (56070db), yaitu hanya mendengar suara dari jarak dekat 4) Berat (71-90db), yaitu hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat. Penyampaian kata-kata dilakukan dengan berteriak di dekat orang tersebut. 5) Extreem (91db keatas), yaitu kondisi tidak dapat mendengar sama sekali dimana akses informasi diperoleh dari penglihatan b. Tuna rungu berdasarkan tempat terjadinya kerusakan pada telinga 1) Kerusakan telinga konduktif, yaitu kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah sehingga stimulus bunyi tidak dapat diakses oleh telinga dalam dan pendengaran menjadi terhambat 2) Kerusakan telinga sensoris, yaitu kerusakan telinga bagian dalam dan kerusakan saraf otak . 3) Kerusakan telinga campuran, yaitu kerusakan telinga konduktif dan sensoris yang menyebabkan hilangnya pendengaran. Tuna rungu selalu diidentikkaan dengan tuna wicara. Dampak langsung dari ketuna runguan adalah terhambatnya komunikasi verbal/lisan secara ekspresif melalui bicara

maupun reseptif, yakni memahami pembicaraan orang lain. Salah satu penyebab sederhana dari tuna wicara adalah gangguan pendengaran yang tidak terdeteksi sejak dini, sehingga menyebabkan kurangnya stimulisasi bahasa sejak lahir. Hal ini menyebabkan ketuna runguan diidentikkan dengan tuna wicara.

II.

PENYEBAB TUNA RUNGU Menurut tiga, yaitu: a. Masa Pre Natal Masa pre natal tuna rungu dapat disebabkan oleh : 1). Faktor Hereditas (keturunan) Yaitu anak yang menderita tuna rungu karena diantara keluarganya, terutama ayah dan ibunya atau kakek neneknya penderita tuna rungu, jadi kecacatan atau tuna rungu itu berasal dari keluarganya. 2). Pada waktu ibu mengandung Menderita suatu penyakit, misalnya penyakit campak, cacar air, malaria, sehingga penyakit itu berpengaruh pada anak yang dikandungnya dan dapat menganggu pendengaran anak. 3).Terjadinya kerancuan pada janin karena pengaruh obat Ketika ibu mengandung, kemudian ibu meminum obat terlalu keras misalnya dalam jumlah besar. b. Masa Natal Ketunarunguan pada masa natal atau saat kelahiran bayi, ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : karena proses kalahiran ini mengalami kesuburan sehingga memerlukan alat pertolongan dengan menggunakan tangan, yang memungkinkan mengenai otak besar dan dalam otak itu terdapat banyak saraf, salah satunya adalah otak saraf pendengaran, yang mengakibatkan anak menjadi kurang pendengarannya. a. Masa Past Natal Adalah masa past natal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor saat terjadinya ketunarunguan dapat digolongkan menjadi

antara lain : 1). Karena penyakit : anak menderita panas yang sangat dan terlalu

tinggi akibatnya dapat melemahkan saraf pendengarannya.

2). Otetis medis yang kronis. 3). Cairan otetis medis yang kurang menyebabkan kehilangan pendengaran secara kondusif (tuli kondusif).

III.

IDENTIFIKASI TUNA RUNGU Seorang dengan tuna rungu memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar b. Banyak perhatian terhadap getaran c. Terlambat dalam perkembangan bahasa d. Tidak ada reaksi terhadap bunyi-bunyian e. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi f. Kurang atau tidak tanggap ketika diajak bicara g. Ucapan kata tidak jelas, kualitas suara aneh/monoton Apabila ciri-ciri tersebut terpenuhi maka perlu rujukan dari dokter THT (telinga hidung tenggorokan). Pendeteksian ketunarunguan akan lebih baik dilakukan pada usia dini untuk meminimalisir gangguan berbicara yang mengarah pada tuna wicara.

IV.

CARA MENGATASI TUNA RUNGU Anak yang mengalami ketidakmampuan untuk medengar ini sebenarnya memiliki perkembangan inteligensi yang sama dengan anak yang normal. Perkembangan yang terganggu adalah ketrampilan bicara dan bahasa, khususnya anak-anak yang

ketunarunguannya dibawa sejak lahir. McLean, Wolery, & Bailey mengemukakan bahwa kebanyakan anak-anak dengan ketulian memerlukan banyak waktu untuk belajar berbicara. Perkembangan lainnya yang ikut terganggu adalah perkembangan sosial. Perkembangan sosial dan emosional sangat tergantung kepada ketrampilan berkomunikasi. Anak dengan ketunarunguan memodifikasi kapasitas menerima dan memproses rangsangan auditorinya, seingga dia menerima dan memproses rangsangan auditori yang tidak utuh. Dari perkembangan anak yang memiliki ketunarunguan tersebut, diperlukannya latihan sedini mungkin agar anak tersebut tidak mengalami keterlambatan belajar yang jauh. Dan beberapa hal untuk memberi pendidikan anak tunarungu antara lain: a. Mengintegrasikan perbendaharaan kata dan pengembangan konsep

Banyak siswa dengan ketunarunguan mempunyai keterbatasan dan keterlambatan dalam perbendaaraan kata, baik reseptif maupun ekspresif, dan ini berpengaruh buruk terhadap pemahaman (Traxler, 2000), terutama konsep dan perbendaharaan kata tersebut mulai abstrak. Oleh karena itu, untuk membuat kemajuan akademik isi kurikulum memerlukan dukungan tambahan agar tugas-tugas pembelajaran dapat dicapai dengan baik (Brackett, 1997). Dukungan tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Salah satu pendekatan yang menguntungkan bagi para siswa dikemukakan oleh Luckner dan muir (2001) yaitu pre dan postteaching. Preteaching yaitu mengajarkan perbedaan kata dan konsep yang membantu siswa dalam membentuk pegetahuan berdasarkan kebutuhan untuk memahami informasi baru. Postteaching dilakukan untuk mereview konsep-konsep kunci, mengklarifikasi konsep-konsep yang salah, mengorganisasi informasi, dan memperluas pengetahuan baik isi maupun ketrampilan yang ditekankan selama pebelajaran berlangsung. b. Tangga pengalaman belajar Pusat pembelajaran adalah kuantitas dan kualitas pengalaman yang kita peroleh dari sejak kecil sampai sekarang. Aneka pengalaman tersebut yang membantu kita membentuk intelegensi, karakter, dan minat. Kebanyakan siswa dengan ketunarunguan tumbuh dirumah karena adanya perlindungan yang berlebihan dari keluarganya, dan oleh karena itu mereka kehilangan pengalaman sebagai media (Stewart & Kluwin, 2001). Melihat keterbatasan yang diakibatkan oleh ketunarunguan serta dampaknya terhadap belajar, maka penting dibangun pembelajaran dengan pengalaman nyata bagi anak-anak tunarungu. Bruner (1966) mengemukakan bahwa manusia memperoleh pengalaman kehidupan dunia melalui tiga bentuk, yaitu: symbolic (huruf dan bahasa), iconic (gambar, tabel, grafik), dan enactive (pengalaman). Kedalaman dan keluasan pengetahuan tentang prosedur dan konsep individu diperoleh dari belajar yang melibatkan tiga bentuk di atas (Luckner & Nadler, 1977). Pola yang bisa dipergunakan ketika merencanakan kegiatan belajar disarankan oleh Luckner (2002) dan hal itu berhubungan dengan tangga pengalaman belajar. Tangga tersebut bisa dipergunakan untuk membantu

mengidentifikasi beberapa alternatif yang bisa dipergunakan dalam perkuliahan, diskusi, atau tugas membaca untuk menilai siswa dalam memahami konsep dan isi.

c. Strategi mengajar visual Adanya keterbatasan auditori yang menyertai hilangnya pendengaran, banyak peneliti dan pendidik yang menyarankan agar para guru membuat lingkungan belajar yang kaya akan visual bagi anak-anak tunarungu. Para ahli dalam lingkungan tersebut menggunakan isyarat, ejaan jari, dan membaca bibir yaitu memandang wajah orang lain dan mulutnya ketika dia membuat huruf Meskipun banyak dipergunakan penterjemah dan bahasa isyarat dalam seting pendidikan, tanda-tanda tersebut, seperti halnya bicara, hanya memberikan signal atau tanda yang bersifat sementara. Tnda tersebut bergerak, kemudian terlihat sebentar dan akhirnya hilang. Strategi pengajaran visual dapat lebih permanen dan dapat lebih dipergunakan membantu siswa lebih fokus terhadap informasi penting, melihat bagaimana keterkaitan antar konsep, dan mengintegrasikan antara pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Sebagai contoh, alat-alat bantu visual dapat dipergunakan di kelas untuk meningkatkan komunikasi dan proses belajar termasuk peraturan kelas, daftar tugas, jadwal harian, dan sebagainya. d. Mengakomodasi siswa yang tunarungu dan kurang dengar Karena banyak guru-guru umum yang mempunyai keterbatasan dalam memperoleh latihan atau pengalaman bekerja dengan siswa tunarungu, mereka biasanya tergantung kepada guru khusus untuk membantu mengidentifikasi dan melaksanakan agar kurikulum dan interaksi sosial dapat terlaksana di kelasnya. Keutusan tentang bantuan khusus apa yang akan dipergunakan tergantung pada tujuan.

DAFTAR PUSTAKA

Rahardjo, Djadja & Sujarwanto. 2010. Pengantar Pendidikan Luar Biasa (Orthopedagogik). Surabaya : UD. Mapan. Kartadinata, Sunaryo. 1996. Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. _______. Tanpa Tahun. Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus. www.repository.upi.edu. ______. 2010. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) bagi Petugas Kesehatan. Jakarta : Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat ______. Tanpa Tahun. Konsep Dasar Ketuna runguan. www.repository.upu.edu Hernawati, Tuti. 2007. Pengambangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara Anak Tuna Rungu. JASSI_anakku Volume 7 Nomor 1 Juni 2007 halaman 101-110. www.dit.plb.or.id

You might also like