Professional Documents
Culture Documents
Oleh: Drs. SURIADI Kepala SMP Negeri 1 Tanjung Morawa E-mail: suriadi_trimosurodinoyo@yahoo.co.id Dipresentasikan pada Workshop Peningkatan Profesionalisme Guru Kerjasama SMP Negeri 1 Biru-Biru Dengan Anggota Sub Rayon 31 Tanggal 29 Nopember 2008, di SMP Negeri Biru-Biru
A. Pendahuluan
Abad 21 yang bercirikan globalisasi yang serba kompetitif dengan perubahan yang terus menggesa merupakan abad profesional. Sangat mustahil, jika ada organisasi yang bisa bertahan tanpa profesionalisme. Bahkan, bukan hanya sekedar profesionalisme biasa tetapi profesionalisme kelas tinggi (world-class professionalism) yang memampukan kita sejajar dan bermitra dengan orang-orang dan organisasiorganisasi terbaik dari seluruh dunia (Jansen, 2007:http://www.duniaguru.com).
Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang merupakan produk pendidikan merupakan kunci keberhasilan pembangunan suatu negara (Depdiknas, 2008.a:1). Menurut Supriano (2007:3) banyak bukti empirik yang menunjukkan bahwa suatu negara yang lebih memprioritaskan pendidikan dari pada pranata lainnya, ternyata mampu menghasilkan SDM yang lebih unggul, produktif dan inovatif dalam percaturan kehidupan global.
Sebaliknya, negara yang mengecilkan pranata pendidikan lebih cepat mengalami keterpurukan disebabkan SDMnya tidak mampu bersaing dalam percaturan kehidupan global. Hal ini didukung Gultom yang mengutip United Nations (2004:2) bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental dalam meningkatkan kualitas SDM. Bahkan Rusmana (2000:36), Djuwita (2004:12) dan Rochaeni (2004:42) lebih menegaskan bahwa untuk mendapatkan SDM berkualitas harus ditempuh melalui pendidikan yang berkualitas.
Kenyataan menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan (Depdiknas, 2003:http://www.depdiknas.go.id). Hal ini didukung Umaedi (2002:2) yang mengatakan bahwa kualitas pendidikan nasional terus mengalami penurunan. Menurut laporan ASPBAE (Asian South Pacific Beurau of Adult Education) and GCE (Global Campaign for Education) yang dikutip Firdaus (2005:7) penelitian terhadap kualitas Pendidikan Dasar di 14 negara Asia Pasifik, Indonesia hanya menempati peringkat 10 di bawah Kamboja dan India.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Masalah pokok dalam pendidikan nasional, yaitu menurunnya akhlak dan moral peserta didik, pemerataan kesempatan belajar, masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan, status kelembagaan, manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan, dan SDM yang belum profesional.
pada uji kompetensi Matematika, dari 40 pertanyaan rata-rata hanya dua pertanyaan yang diisi dengan benar dan pada Bahasa Inggris hanya satu yang diisi dengan benar oleh guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris.
Fenomena tersebut menegaskan bahwa masalah SDM pendidikan yang belum profesional merupakan salah satu akar permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Laporan ASPBAE and GCE yang dikutip Firdaus (2005:7) menunjukkan bahwa kualitas guru Indonesia menempati peringkat terakhir atau paling rendah di antara 14 negara di Asia Pasifik. Hal ini didukung Lubis (2008:4) yang mengatakan bahwa salah satu indikator rendahnya kualitas pendidikan adalah human capital (mental/SDM dan skill manusianya).
Sedangkan, Tampubolon (2008:14) mengatakan bahwa salah satu sebab mendasar dan utama dari rendahnya kualitas pendidikan nasional adalah sistem pemberdayaan guru yang tidak berkualitas. Sementara itu, Dharma (2008:http://www.duniaguru.com) mengatakan mantan Mendikbud Fuad Hassan ketika dimintai pendapatnya tentang perkembangan pendidikan Indonesia pernah berkata Jangan terlalu ribut soal kurikulum dan sistemnya. Itu semua bukan apa-apa, justru pelakupelakunya itulah yang perlu diperhatikan.
Idealisme profesi guru dan komitmen membangun pendidikan berkualitas merupakan kunci jawaban dari persoalan pendidikan yang dihadapi selama ini. Sebuah Data yang disajikan Portal www.duniaguru. com pada Desember 2007 lalu telah melakukan jajak pendapat dengan pertanyaan Jika Anda seorang guru dan 'diberi' kesempatan untuk ganti profesi, maukah Anda?.
Jawaban para guru adalah tetap memilih profesi guru (55,8%), tetap sebagai guru dan mencari tambahan penghasilan (27,9%), ganti profesi (15,4%), bingung (1%). Ini berarti, lebih dari 80% guru ingin setia pada profesinya. Artinya lagi, tingkat kepuasan menjalani profesi keguruan cukup tinggi. Tentu saja ini kabar baik, karena sulit kita membayangkan kalau para guru mogok atau ogah-ogahan menjalani profesinya.
B. Guru Profesional
Istilah guru profesional berasal dari kata guru dan profesional. Guru adalah padanan dari pendidik, yang menurut pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Kata profesional merujuk kepada dua hal, yakni (1) orang yang menyandang suatu profesi, dan (2) kinerja atau performance seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya (Danim, 2002:22-23).
Dengan demikian, guru profesional dalam kajian ini adalah orang yang menyandang profesi guru yang memiliki kinerja atau performance dalam melaksanakan tugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat sesuai dengan profesi guru.
Menurut mantan Mendikbud Fuad Hasan yang dikutip Dharma (2008: http://www.duniaguru.com)
di Indonesia, Jepang, Finlandia, Amerika Serikat, dan di manapun di dunia ini kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas gurunya, bukan oleh besarnya dana pendidikan dan juga bukan oleh hebatnya fasilitas. Jika guru berkualitas baik, maka baik pula kualitas pendidikannya.
Danumihardja (2001:39) tidak mungkin pendidikan dapat meningkatkan kualitasnya, jika tidak ditunjang oleh guru-guru profesional dan inovatif. Brand yang dikutip Gultom (2007:2) yang mengemukakan hasil studi dari pakar pendidikan menyimpulkan bahwa guru merupakan faktor kunci yang paling menentukan dalam keberhasilan pendidikan dinilai dari prestasi belajar siswa.
Gibson yang dikutip Danim (2002:145) hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan sekolah dalam meningkatkan kualitas lulusannya sangat dipengaruhi oleh kapasitas kepala sekolahnya, di samping adanya guruguru yang kompeten di sekolah itu. Nursito (2002:5) hasil penelitian yang dilakukan Bardley di 16 negara, menunjukkan bahwa faktor guru memberikan kontribusi sebesar 34%, manajemen 22%, sarana 26%, dan waktu belajar 18% terhadap hasil belajar siswa.
Untuk melihat tingkat kemampuan profesional guru dilakukan melalui dua presfektif, yaitu 1. tingkat pendidikan minimal dari latar belakang pendidikan untuk jenjang sekolah tempat guru tersebut menjadi guru, dan 2. penguasaan guru terhadap materi bahan ajar, mengelola proses pembelajaran, mengelola siswa, melaksanakan tugastugas bimbingan (Danim, 2002:30).
hierarki profesi tenaga kependidikan, yaitu 1. tenaga profesional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi pendidikan sekurang-kurangnya S1 atau yang setara, dan memiliki wewenang penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengendalian pendidikan/pengajaran,
2. tenaga semi profesional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi tenaga kependidikan D3 atau yang setara yang telah berwenang mengajar secara mandiri, tetapi masih harus melakukan konsultasi dengan tenaga kependidikan yang lebih tinggi jenjang profesionalnya, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengendalian pendidikan/pengajaran, dan 3. tenaga paraprofesional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi tenaga kependidikan D2 ke bawah, yang memerlukan pembinaan dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengendalian pendidikan/pengajaran.
Seorang guru disebut sebagai guru profesional karena kemampuannya dalam mewujudkan kinerja profesi guru secara utuh yang dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam mencapai tujuan pendidikan. Guru profesional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian, baik dalam materi, maupun metode.
Menurut Surya (2005:1) keahlian yang dimiliki guru profesional adalah keahlian yang diperoleh melalui suatu proses pendidikan dan pelatihan yang diprogramkan secara khusus untuk itu. Keahlian tersebut mendapat pengakuan formal yang dinyatakan dalam bentuk sertifikasi, akreditasi, dan lisensi dari pihak yang berwenang. Dengan keahliannya itu, guru mampu menunjukkan otonominya, baik secara pribadi, maupun sebagai pemangku profesinya.
1. 2. 3. 4.
Guru profesional dituntut untuk mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai guru kepada peserta didik, orangtua, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya. Menurut Surya (2005:1) guru profesional mempunyai tanggung jawab pribadi, sosial, intelektual, dan moral dan spiritual.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Idealnya guru profesional harus memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, idealisme, komitmen, kualifikasi akademik, kompetensi, tanggung jawab, dan prestasi kerja.
Surya (2005:2-3)
1. 2. 3.
4. 5.
kualitas profesionalme ditunjukkan oleh lima unjuk kerja, yakni keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, meningkatkan dan memelihara citra profesi, keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembanangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya, mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi, dan memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Suhendro (2008:http://www.duniaguru.com)
1. Selain kualifikasi pendidikan, profesionalisme guru dapat dilihat dari tingginya rasa tanggungjawab dan komitmen guru dalam membangun pendidikan bermutu; adanya kemauan dan keseriusan guru untuk mengembangkan potensi kependidikan atau kompetensi dasar sesuai dengan tuntutan IPTEK; kemampuan untuk berfikir analitis, sistematis dan bersikap aktif, kreatif serta inovatif dalam mengembangkan program pendidikan; dan kemampuan membangun konsep belajar bermakna, menarik dan menyenangkan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi.
2.
3.
4.
Karakteristik guru profesional adalah 1. mengembangkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, dan kreativitas siswa, 2. mempunyai sikap yang positif dan moral yang tinggi, dan 3. melakukan belajar berkesinambungan dan pengembangan profesi.
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menurut Gultom (2007:6) dalam pelaksanaannya memiliki sembilan misi sebagai berikut
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
mengangkat martabat guru, menjamin hak dan kewajiban guru, meningkatkan kompetensi guru, memajukan profesi serta karir guru, meningkatkan mutu pembelajaran, meningkatkan mutu pendidikan nasional, mengurangi kesenjangan ketersediaan guru antar daerah dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi, 8. mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antar daerah, dan 9. meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 juga menyebutkan bahwa kompetensi guru mencakup kompetensi 1. pedagogik, 2. kepribadian, 3. profesional, dan 4. sosial.
1. 2. 3. 4. 5.
kepribadian yang mantap dan stabil, kepribadian yang dewasa, kepribadian yang arif, kepribadian yang berwibawa, dan akhlak mulia untukdan dapat menjadi teladan,
Kompetensi sosial, berkenaan dengan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif yang meliputi kemampuan berkomunikasi secara dan bergaul secara efektif dengan
1. peserta didik, 2. sesama pendidik dan tenaga kependidikan, dan 3. orangtua/wali peserta didik dan masyarakat.
C. Mentalitas Profesional
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. mentalitas mutu, mentalitas altruistik, mentalitas melayani, mentalitas pembelajar, mentalitas pengabdian, mentalitas kreatif, dan mentalitas etis.
1. Mentalitas Mutu
Seorang profesional menampilkan kinerja terbaik yang mungkin. Dengan sengaja dia tidak akan menampilkan the second best (kurang dari terbaik) karena tahu tindakan itu sesungguhnya adalah bunuh diri profesi. Seorang profesional mengusahakan dirinya selalu berada di ujung terbaik (cutting edge) bidang keahliannya. Dia melakukannya karena hakikat profesi itu memang ingin mencapai suatu kesempurnaan nyata, menembus batas-batas ketidakmungkinan praktis, untuk memuaskan dahaga manusia akan ideal mutu: kekuatan, keindahan, keadilan, kebaikan, kebergunaan.
2. Mentalitas Altruistik
Seorang profesional selalu dimotivasi oleh keinginan mulia berbuat baik. Istilah baik di sini berarti berguna bagi masyarakat. Aspek ini melengkapi pengertian baik dalam mentalitas pertama, yaitu mutu. Baik dalam mentalitas kedua ini berarti goodness yang dipersembahkan bagi kemaslahatan masyarakat. Profesi seperti guru, dokter, atau advokat memang jelas sangat bermanfaat bagi masyarakat.
3. Mentalitas Melayani
Kaum profesional tidak bekerja untuk kepuasan diri sendiri saja tanpa peduli pada sekitarnya. Sebaliknya, kepuasannya muncul karena konstituen, pelanggan, atau pemakai jasa profesionalnya telah terpuaskan lebih dahulu via interaksi kerja. Kaum profesional lahir karena kebutuhan masyarakat pelanggan. Seorang profesional bahkan dengan tegas mematok nilai moneter atas jasa profesionalnya.
4. Mentalitas Pembelajar
Di bidang olahraga, seorang pemain profesional, sebelum terjun penuh waktu, terlebih dahulu menerima pendidikan dan pelatihan yang mendalam. Dan di sepanjang karirnya ia terus-menerus mengenyam latihan-latihan tiada henti. Begitu juga di bidang lain, seorang pekerja profesional adalah dia yang telah mendapat pendidikan dan pelatihan khusus di bidang profesinya. Bahkan untuk profesi-profesi yang sudah mapan, sebelum seseorang diberi hak menyandang status profesional, dia harus menempuh serangkaian ujian. Bila lulus barulah dia mendapatkan sertifikasi profesional dari asosiasi profesinya.
5. Mentalitas Pengabdian
Seorang pekerja profesional memilih dengan sadar satu bidang kerja yang akan ditekuninya sebagai profesi. Pilihannya ini biasanya terkait erat dengan ketertarikannya pada bidang itu, bahkan ada semacam rasa keterpanggilan untuk mengabdi di bidang tersebut. Mula-mula, pilihan itu dipengaruhi oleh bakat dan kemampuannya yang digunakannya sebagai kalkulasi peluang suksesnya di sana. Tetapi kemudian berkembang sebuah hubungan cinta antara sang pekerja dengan pekerjaannya. Seorang profesional, semakin ia menekuni profesinya semakin timbul rasa cinta. Dan bila hatinya sudah mantap betul maka ia memutuskan untuk hanya menekuni bidang itu sampai tuntas dan menyatu padu dalam sebuah ikatan cinta yang kekal. Demikianlah, seorang profesional mengabdi sepenuh cinta pada profesi yang dipilihnya.
6. Mentalitas Kreatif Seorang olahragawan profesional menguasai sepenuhnya seni bermain. Baginya permainan tidak melulu soal teknis, tetapi juga seni. Ia beranjak dari seorang jago menjadi seorang maestro seperti Rudy Hartono di bulutangkis, Pele di sepakbola, atau Muhammad Ali di tinju. Sedangkan pemain amatir, tidak pernah sampai ke jenjang seni; asal menguasai teknik-teknik dasar maka memadailah untuk ikut pertandingan-pertandingan.
Seorang profesional, sesudah menguasai kompetensi teknis di bidangnya, berkembang terus ke tahap seni. Dia akan menemukan unsur seni dalam pekerjaannya. Dia akan menghayati estetika dalam profesinya. Mata hatinya terbuka lebar melihat kekayaan dan keindahan profesi yang ditekuninya. Seterusnya, perspektif, keindahan, dan kekayaan ini akan memicu kegairahan baru bagi sang profesional yang pada gilirannya memampukannya menjadi pekerja kreatif, berdaya cipta, dan inovatif.
7. Mentalitas Etis
Seorang pekerja profesional, sesudah memilih untuk "menikah" dengan profesinya, menerima semua konsekuensi pilihannya, baik manis maupun pahit. Profesi apa pun pasti terlibat menggeluti wacana moral yang relevan dengan profesi itu. Misalnya profesi hukum menggeluti moralitas di seputar keadilan, profesi kedokteran menggeluti moralitas kehidupan, profesi bisnis menggeluti moralitas keuntungan, begitu seterusnya dengan profesi lain.
Maka seorang profesional sejati tidak akan menghianati etika dan moralitas profesinya demi uang atau kekuasaan atau yang lainnya. Penghianatan profesi disebut juga sebagai pelacuran profesionalisme yakni ketidaksetiaan pada moralitas dasar kaum profesional. Di pihak lain, jika profesinya dihargai dan dipuji orang, dia juga akan menerimanya dengan wajar. Kaum profesional bukanlah pertapa yang tidak membutuhkan uang atau kekuasaan, tetapi mereka menerimanya sebagai bentuk penghargaan masyarakat yang diabdinya dengan tulus.
Wilensky yang dikutip Danim (2002:28-29) mengemukakan lima langkah profesionalisasi suatu pekerjaan
1. memunculkan suatu pekerjaan yang penuh waktu atau full-time bukan pekerjaan sambilan, 2. menetapkan sekolah sebagai tempat menjalani proses pendidikan atau pelatihan, 3. mendirikan assosiasi profesi, 4. melakukan agitasi secara politis untuk memperjuangkan adanya perlindungan hukum terhadap assosiasi profesinya, dan 5. mengadopsi secara formal kode etik yang ditetapkan.
Caplow yang dikutip Danim (2002:29) lima tahap profesionalisasi suatu pekerjaan
1. menetapkan perkumpulan profesi, 2. mengubah dan menetapkan pekerjaan itu menjadi suatu kebutuhan, 3. menetapkan dan mengembangkan kode etik, 4. melancarkan agitasi untuk memperoleh dukungan masyarakat, dan 5. secara bersama mengembangkan fasilitas latihan.
Profesionalisasi terhadap guru dalam jabatan mengandung makna dua dimensi utama, yakni (1) peningkatan status, dan (2) peningkatan kemampuan praktis (Danim, 2002:24). Aksentasi peningkatan status dapat dilakukan melalui penelitian, diskusi antarrekan se profesi, penelitian dan pengembangan membaca karya akademik kekinian dan sebagainya, sedangkan aksentasi peningkatan kemampuan praktis dapat dilakukan melalui kegiatan belajar mandiri, mengikuti pelatihan, studi banding, observasi praktikal, dan lain lain menjadi bagian integral upaya profesionalisasi itu.
Untuk pembentukan keprofesionalan guru diperkuat beberapa hal yang harus dimilikinya dan terus disikapi oleh pemerintah, yakni 1. kemampuan intelektual yang perlu digali dan dipertajam dengan input sains dan teknologi yang terkini, 2. pengetahuan spesialisasi yang terus dikembangkan sehingga menimbulkan kompetensi atau skill yang inovatif, dan 3. kemampuan mengkomunikasikan ilmu kepada siswa dan lingkungan sosial.
Ketiga hal tersebut mengajak guru tidak hanya merasa puas dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui bangku akademiknya saja, tetapi lebih jauh diharapkan mampu merencanakan dan mewujudkan strategistrategi baru yang cerdas dan dinamis. Guru harus terus membaca buku-buku pengetahuan terkini, mengikuti informasi up to date surat kabar, mampu mengoperasikan komputer dan internet dan senantiasa mengikuti pendidikan latihan (diklat) serta melakukan penelitian terhadap perkembangan ilmu yang diperoleh. Menurut Widiani bahwa guru-guru di Jepang yang secara terus-menerus meningkatkan profesionalismenya dengan mengikuti diklat dan mendiskusikan kembali serta mengevaluasi diri.
Di Amerika Serikat, pengembangan tenaga kependidikan yang efektif dilakukan dengan beberapa model. Crandall yang dikutip Danim (2002:45) mengemukakan model-modelnya sebagai berikut 1. model mentoring yaitu para praktisi atau guru berpengalaman merilis pengetahuannya atau memberikan mentor kepada praktisi yang kurang berpengalaman, 2. model praktik (terapan) berupa penautan antara hasilhasil riset yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan praktis, dan 3. model inkuiri yaitu pendekatan yang berbasis pada guru-guru. Pada model ini guru-guru diharuskan aktif menjadi peneliti, seperti membaca, bertukar pendapat, melakukan observasi, menganalisa kritis dan merefleksikan pengalaman praktis.
Pengembangan profesionalisme guru perlu mendapat respons aktif dari semua pihak, termasuk kepala sekolah, pihak penyelenggara sekolah (yayasan bila swasta) dan pemerintah melalui pejabat yang berwenang. Konkritnya, pemerintah jangan terlalu banyak menuntut kualitas pendidikan di negeri ini bila tidak dibarengi dengan perhatian yang cukup serius. Kenyataan di lapangan, nasib guru masih sangat memprihatinkan. Terlebih lagi guru swasta yang belum memiliki ketegasan standar honor minimum.
Dengan mengadopsi Slamet (2007:9-10) strategi yang dapat ditempuh dalam pencapaian kompetensi guru adalah 1. mengikuti kuliah di Perguruan Tinggi sesuai dengan bidangnya bagi guru yang belum memiliki kualifikasi akademik S1/DIV, bagi guru yang telah berkualifikasi S1/D4 seyogiyanya melanjutkan ke jenjang S2 terutama pada Program Studi Teknologi Pendidikan. Menurut Depdiknas (2008:3) pada tahun 2008 pemerintah memberikan subsidi peningkatan kualifikasi akademik bagi guru PNS dan bukan PNS yang memenuhi syarat dan berada di bawah binaan Depdiknas pada TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan PLB baik negeri maupun swasta untuk memperoleh kualifikasi akademik S1/D4 sejumlah 270.000 guru,
2. mengikuti pendidikan profesi guru yang diselenggarakan Perguruan Tinggi terakreditasi yang ditunjuk pemerintah, 3. mengikuti pelatihan dan lokakarya yang sesuai dengan bidang keahliannya, 4. mengikuti pelatihan penelitian tindakan kelas (classroom action research) dan melaksanakannya di sekolah,
5. mengikuti cara-cara penulisan karya ilmiah di profesinya, 6. mengikuti kegiatan forum ilmiah (seminar, semiloka, diskusi panel, konferensi, temu ilmiah, dan sebagainya), 7. belajar secara berkelompok melalui KKG/MGMP/MGBK, 8. belajar mandiri dan dilakukan secara terus menerus, 9. mempelajari modul-modul pendidikan guru berbasis kompetensi,
10. belajarlah dari kesalahan dan lakukan perbaikan atas kekurangannya, 11. berkunjung ke pusat-pusat kegiatan ilmiah/pengembangan ilmu (LiPI, Pusat Penelitian di Perguruan Tinggi, Laboratorium, Perpustakaan, dan sebagainya), 12. mengunjungi sekolah-sekolah yang unggul (best practices and lessons learned), 13. mengunjungi dan berdialog dengan guruguru tangguh, 14. melakukan pemagangan kepada guru-guru yang terbukti unggul, 15. membaca buku-buku, majalah-majalah, jurnal-jurnal dan hasil-hasil penelitian di profesinya,
16. kunjungan ke dunia usaha/dunia industri, 17. pengalaman kerja di dunia usaha/dunia industri, 18. mengunjungi pusat-pusat sumber belajar, penerbit-penerbit, dan tempat-tempat lain yang memiliki sumber belajar,
19. menjadi anggota organisasi profesi dan berpartisipasi di dalamnya, 20. menulis artikel yang dipublikasikan di jurnaljurnal profesinya, 21. memanfaatkan internet (web-site) dan membangun jaringan dengan pihak-pihak yang relevan pada bidangnya, 22. menghadiri ceramah-ceramah/presentasipresentasi ilmiah oleh para ahli, 23. membaca media masa agar dapat mengetahui perkembangan mutakhir di profesinya, 24. memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya,
25. mengikuti lomba-lomba karya ilmiah di bidangnya, baik tingkat lokal, nasional, dan internasional, 26. pertukaran guru antar sekolah, 27. tutorial oleh teman sejawat di sekolahnya sendiri, 28. biasakan membaca selama dua jam per hari, baik pada bidangnya, maupun didang terkait,
29. terapkan delapan kebiasaan perilaku tangguh, yakni (a) proaktif, (b) setiap kegiatan mengacu pada tujuan yang jelas, (c) buat prioritas (penting dan segera), (d) berpikir menang-menang (saling menghidupi), (e) mendengar lebih dahulu, baru minta didengar, (f) bersinergi (kerja sama kreatif), (g) inovasi (pembaruan) terus menerus, dan (h) spirit tinggi untuk maju (berpikir, bersemangat dan bertindak lebih baik),
30. kehidupan adalah perubahan, tanpa perubahan tidak ada kehidupan dalam diri kita. Oleh karena itu, sekecil apapun kita harus melakukan perubahan berupa peningkatan/ pengembangan, dan 31. lakukan yang terbaik, jalan menuju puncak akan terbuka.
E. Tugas Guru
1. merencanakan pembelajaran; 2. melaksanakan pembelajaran (a) kegiatan awal tatap muka, (b) kegiatan tatap muka, (c) membuat resume proses tatap muka; 3. menilai hasil pembelajaran (a) penilaian dengan tes,. (b) penilaian non tes berupa pengamatan dan pengukuran sikap, (c) penilaian non tes berupa penilaian hasil karya; 4. membimbing dan melatih peserta didik (a) bimbingan dan latihan pada kegiatan pembelajaran, (b) bimbingan dan latihan pada kegiatan intrakurikuler, (c) bimbingan dan latihan dalam kegiatan ekstrakurikuler; dan 5. melaksanakan tugas tambahan sebagai (a) kepala sekolah, dan (b) wakil kepala sekolah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan mengamanatkan bahwa guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik, nomor registrasi, dan telah memenuhi beban kerja mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.
Guru yang tidak dapat memenuhi bebabn kerja minimum 24 jam tatap muka karena struktur program kurikulum dapat diberi tugas sebagai berikut 1. mengajar di Sekolah atau Madrasah lain baik negeri, maupun swasta sesuai dengan mata pelajaran yang diampu, 2. menjadi Guru Bina/Pamong pada Pendidikan Terbuka, atau 3. mengajar pada Program Kelompok Belajar Paket A, Paket B, dan Paket C sesuai bidangnya, namun wajib melaksanakan beban kerja minimum 12 (dua belas) jam tatap muka per minggu pada satuan pendidikan tempat guru diangkat sebagai Guru Tetap. Pembagian tugas bagi guru tersebut diterbitkan bersama oleh Kepala Sekolah pada Satuan Pendidikan tempat guru diangkat sebagai guru tetap dan Kepala Sekolah/Kepala Kelompok Belajar tempat guru mendapat tambahan jam mengajar serta diketahui oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
2.menerbitkan surat keputusan penetapan guru penerima tunjangan profesi kepada Menteri Pendidikan Nasional, 3.Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan melaksanakan proses pencairan pembayaran tunjangan profesi berdasarkan surat keputusan melalui Bank/Pos, 4.Bank/Pos melakukan penyaluran dana tunjangan profesi ke nomor rekening guru penerima tunjangan profesi.
Guru yang terdaftar sebagai peserta sertifikasi guru tahun 2006 dan telah lulus sertifikasi guru dalam jabatan: sebelum bulan Oktober 2007, mendapat tunjangan profesi terhitung mulai 1 Oktober 2007, pada bulan Oktober 2007, mendapat tunjangan profesi terhitung mulai 1 Nopember 2007, pada bulan Nopember 2007, mendapat tunjangan profesi terhitung mulai 1 Desember 2007, pada bulan Desember 2007, mendapat tunjangan profesi terhitung mulai 1 Januari 2008.
Guru yang terdaftar sebagai peserta sertifikasi guru tahun 2007 dan telah lulus sebelum bulan Januari 2008 mendapat tunjangan profesi terhitung mulai 1 Januari 2008.
Tunjangan profesi guru dibebankan oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pembayaran tunjangan profesi dapat dihentikan apabila: 1. guru meninggal dunia, 2. guru mencapai batas usia pensiun atau setinggi-tingginya mencapai usia 60 tahun, 3. mengundurkan diri sebagai guru atas permintaan sendiri atau alih tugas bukan sebagai guru, 4. melalaikan tugas sebagai guru sesuai dengan ketentuan yang berlaku, 5. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara guru dan penyelenggara pendidikan, 6. guru melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama, 7. guru yang bersangkutan dinyatakan bersalah karena tindak pidana oleh pengadilan dan telah memiliki kekuatan hukum tetap, dan 8. 8. beban kerja guru kurang dari yang dipersyaratkan.