You are on page 1of 3

Kemajuan suatu negara sangat bergantung pada Sumber Daya Manusianya (SDM).

Karena SDM yang berkualitas dapat memberikan nilai tambah terhadap pertumbuhan suatu negara. Oleh karena itu, Iptek merupakan salah hal yang sangat penting dalam menciptakan SDM yang berkualitas dan mampu bersaing, kata Kepala BPPT, Marzan A Iskandar pada acara Insan Cendekia Summit 2011 di BPPT, Sabtu (19/3). Melihat kondisi demikian, dalam paparannya yang bertema The Role of Technology Institutions in Human Resources Development, Marzan yang juga merupakan Kepala Bidang Pengembangan Iptek Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) menegaskan bahwa sebenarnya SDM yang unggul sangat menjamin lembaga teknologi dapat berkinerja lebih baik.Selanjutnya, Ia menyampaikan bahwa di sebuah lembaga teknologi tentu saja dilakukan beberapa pembinaan SDM agar dapat memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan lembaga tersebut. Diantaranya, kompetensi teknologi sebagai ajang untuk mempertajam keahlian dan kepakaran dari SDM, serta melalui pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi dari sisi pengetahuan, jelasnya.Sementara itu berbicara mengenai inovasi, menurutnya lembaga teknologi harus dapat menyediakan fasilitas dan atmosfer agar SDM dapat mengembangkan pemikiran-pemikiran inovasi, tetapi tetap pada koridor yang menjadi visi dan misi dari lembaga teknologi tersebut. Jaringan, juga sangat penting peranannya karena lembaga teknologi tidak bisa berkembang pada lingkungan yang terisolasi. Selain itu, wawasan, karier dan kesejahteraan juga penting sebab apabila tidak terjamin, SDM pasti akan mencari tempat bekerja yang lebih baik dari sisi jaminan kesejahteraan, jelasnya.Salah satu indikator penting dari kinerja suatu lembaga teknologi adalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Di tahun 2010 BPPT sudah memiliki 41 paten yang mendapat sertifikat, inilah jumlah paten terbanyak yang dimiliki lembaga penelitian untuk ukuran institusi, katanya.Sesuai dengan misi BPPT dan hasil kinerja SDM BPPT, ada beberapa capaian yang telah diraih di tahun 2010 lalu dalam rangka meningkatkan daya saing industri serta mendukung kemandirian bangsa dan meningkatkan pelayanan publik. Diantaranya membangun pabrik turbin uap di Indonesia, mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) skala kecil kapasitas <5MW dengan menerapkan teknologi condensing turbine dan binarycycle serta merekomendasikan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) untuk membangun database kependudukan yang dilengkapi dengan sidik jari dan chip.Insan Cendekia Summit 2011 dengan tema Elevating Education, Into Execellence, dilaksanakan dalam rangka memperingati 15 tahun Insan Cendekia. Acara nasional ini mengangkat permasalahan pendidikan yang ditujukan sebagai ajang pemantapan visi dan misi para pendidik dan pemikir pendidikan di Indonesia untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan luas mengenai keseimbangan Iptek dan Imtak di dalam dunia pendidikan. Rangakaian acara juga dilengkapi dengan penayangan video dari Presiden ke-3 RI, BJ. Habibie, yang menjelaskan sejarah singkat berdirinya SMP/SMU Insan Cendekia atas prakarsanya. Dalam tayangan video tersebut, pencetus konsep cendekia turut menyampaikan pesan kepada para alumni yang hadir. ICMI sebagai pusat keunggulan pendidikan dengan label yang excellence, telah mempunyai tugas untuk melahirkan SDM terbarukan dimana saja khususnya di Indonesia. SDM yang menjadi harapan dan andalan di masa depan dengan kualitas tinggi dalam imtak dan penguasaan iptek yang mampu mengaktualisasikannya di masyarakKementerian Pendidikan Nasional akan memasukkan materi Kependudukan dan Keluarga Berencana ke dalam kurikulum pendidikan mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Materi Kependudukan dan Keluarga Berencana tidak akan menjadi mata pelajaran khusus, tetapi disisipkan ke dalam mata pelajaran yang sudah ada, seperti Ilmu Sosial dan kegiatan ekstrakurikuler.Masuknya materi itu dalam kurikulum diharapkan akan mengubah pola pikir dan meningkatkan kesadaran pentingnya isu kependudukan. Hal itu dikemukakan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh seusai menandatangani Nota Kesepahaman Pendidikan Kependudukan dan Keluarga Berencana dengan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief, Kamis (4/8), di BKKBN Pusat Jakarta. "Materi akan dibahas bersama untuk menentukan tema yang sesuai dengan tingkatan usia anak. Jangan sampai ada materi orang dewasa seperti kontrasepsi masuk ke jenjang pendidikan dasar," kata Mendiknas.Sugiri menjelaskan pada tingkat SD materi yang akan disampaikan tentang kehidupan berkeluarga secara umum. Lalu di SMP lebih bertumpu pada materi kependudukan. Adapun di tingkat SMA akan dimasukkan materi kesehatan reproduksi. Indonesia kini menghadapi persoalan kependudukan yang serius. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 238 juta dengan pertumbuhan 1,49 persen. Artinya, jumlah penduduk bertambah sekitar 4 juta per tahun, atau setara jumlah penduduk Singapura. (LUK)Kebutuhan akan materi kependudukan dan keluarga berencana dalam pendidikan mendesak. Ini mengingat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237,64 juta jiwa dan tingkat kelahiran 2,6 dengan pertumbuhan 1,49 persen per tahun.Pendidikan kependudukan belum memasyarakat dan tidak mendapat perhatian pemerintah. Akibatnya, sampai sekarang bentuk pelaksanaan pendidikan kependudukan belum jelas.Hal ini mengemuka dalam pertemuan koordinasi lintas sektor pelaksanaan program pendidikan kependudukan antara Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama, Rabu hingga Kamis (10/11/2011) di Bandung, Jawa Barat.Implementasi pendidikan kependudukan dan KB diusulkan masuk kurikulum pendidikan dan kegiatan ekstrakurikuler mulai tahun ajaran baru mendatang. Harapannya, akan bisa mengubah pola pikir generasi muda. Meski masuk kurikulum, pendidikan kependudukan tidak menjadi mata pelajaran tersendiri.Kepala Bidang

Fasilitasi Sumberdaya Kemendikbud Dadang Sudarman mengatakan, implementasinya bisa berupa sinergitas program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Posyandu, atau Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah. "Di sekolah, bisa diintegrasikan dalam mata pelajaran, masuk sebagai muatan lokal, atau sebagai kegiatan pengembangan diri," kata Dadang.Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Kemenag Dede Rosada menambahkan, pendidikan kependudukan bisa diterapkan juga di jenjang pendidikan tinggi sebagai mata kuliah umum dasar. "Ini bisa menjadi entry point masuknya pendidikan kependudukan di perndidikan tinggi. Atau bisa juga diselipkan melalui program di forum kerukunan umat beragama," kata Dede.Sebelumnya, Rabu malam, BKKBN meluncurkan Gerakan Perilaku Hidup Berwawasan Kependudukan (PHBK) bekerja sama dengan Kemendikbud dan Kemenag. Keikutsertaan masyarakat untuk menjaga keseimbangan perkembangan penduduk dengan daya dukung lingkungan menjadi inti gerakan PHBK. "Kepedulian pada isu kependudukan ini harus menjadi gerakan kesadaran masyarakat," kata Kepala BKKBN Sugiri Syarief.Isu kependudukan bukan hanya milik BKKBN tetapi seluruh masyarakat. Direktur Kependudukan BKKBN Lalu Burhan menekankan pentingnya semua pihak untuk berbagi tugas terutama dalam hal pendampingan pendidikan kependudukan. Upaya pendampingan dilakukan segera setelah pendidik mendapat pelatihan pendidikan kependudukan."Semua harus sharing baik tenaga maupun biaya karena BKKBN tidak bisa bekerja sendiri. Langkah awalnya guru dan dosen harus dilatih agar bisa dimengerti dan dipraktikkan siswa," kata Burhan. Dalam rangka memasyarakatkan Kesepahaman Bersama antara Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi DIY dengan Kanwil Kementerian Agama Provinsi DIY tentang Penguatan Program Pendidikan Kependudukan dan Keluarga Berencana maka dilaksanakan sosialisasi tentang hal tersebut di Kanwil Kemenag, Senin (12/3) kemarin.Acara ini kerjasama BKKBN Provinsi DIY dengan Bidang Urusan Agama Islam (Urais) Kanwil Kemenag. Dimulai dengan sambutan ketua panitia, Rohdiana Sumariati, S.Sos., M.Sc. dan selanjutnya dibuka secara resmi Kakanwil Kemenag Drs. H. Maskul Haji, M.Pd.I. Diikuti 40 orang peserta yang berasal dari unsur Bidang Urais Kanwil, Seksi Urais Kemenag Kabupaten/Kota serta pengurus BP4. Rohdiana menyampaikan bahwa sosialisasi ini adalah langkah awal setelah ditandatanganinya Kesepahaman Bersama (MoU). Sementara, Drs. H. Maskul Haji, M.Pd.I. menyampaikan tentang pentingnya koordinasi dan sinergitas program antara program-program Kemenag dengan BKKBN terutama yang terkait dengan pendidikan kependudukan. Kementerian Agama memiliki banyak media untuk menyampaikan materi pendidikan kependudukan baik melalui pendidikan formal seperti di madrasahmadrasah, maupun pendidikan informal seperti pendidikan di pondok pesantren, majelis taklim dan kursus calon pengantin (suscatin), papar Kakanwil.Sedang Kabid Urais Drs. H. Zainal Abidin, M.Pd.I. dalam pemaparan materinya menyampaikan bahwa sosialisasi pada tahap awal ini difokuskan kepada perlunya pendidikan kependudukan melalui media suscatin Diharapkan melalui suscatin, materi pendidikan kependudukan dapat disampaikan kepada para calon pengantin agar mereka memahami pentingnya pendidikan kependudukan untuk mencegah terjadinya ledakan pertumbuhan penduduk, jelas Zainal Abidin. Menurutnya, suscatin memiliki peran strategis dalam rangka mensosialisasikan pentingnya pendidikan kependudukan seperti perlunya pengetahuan tentang pendewasaan usia perkawinan dan pengaturan jarak kelahiran, sehingga catin dari awal sudah harus merencanakan dengan matang tentang perencanaan kelahiran.Pada sesi berikutnya, disampaikan materi Kebijakan Pendidikan Kependudukan oleh Kabid Pengendalian Penduduk BKKBN Dra. Umi Haryati. Tantangan saat ini adalah pertama jumlah penduduk besar dengan kualitas rendah akan menjadi beban pembangunan, kedua keberhasilan dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk dan mengembangkan kualitas penduduk akan memperbaiki segala segi pembangunan dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.Diungkapkan pula tentang pentingnya Perilaku Hidup Berwawasan Kependudukan (PHBK) yang merupakan upaya untuk membudayakan anggota keluarga dan masyarakat agar peduli untuk tahu, mau, dan mampu mempraktekkan pengetahuan Kehidupan Berwawasan Kependudukan (KBK ) serta berperan aktif dalam gerakan KB di masyarakat dalam upaya mewujudkan NKKBS. Masih menurut Umi, bahwa PHBK dalam suatu keluarga ditandai dengan pelaksanaan 10 butir PHBK antara lain: (1)Pendewasaan Usia Perkawinan (2)Memiliki 2 anak lebih baik, (3)Pengaturan jarak kelahiran (4)Penggunaan alat kontrasepsi (5)Usaha ekonomi Keluarga, (6)Persalinan ditolong tenaga kesehatan (7)Pelaporan setiap kelahiran, kematian dan perpindahan (8)Keluarga ramah anak dan lingkungan (9)Keluarga berkarakter (sosial budaya dan agama ) dan (10)Keluarga berpendidikan. Terkait dengan Hubungan BP4 dengan PHBK diungkapkan bahwa BP4 mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya meningkatkan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku (PSP), individu, keluarga, masyarakat khususnya anak, remaja dan generasi muda pra nikah dan pasca nikah melalui proses membantu sasaran agar berubah : dari tidak tahu menjadi tahu/sadar (aspek knowledge); tahu menjadi mau (aspek attitude); mau menjadi mampu melaksanakan (aspek practice) PHBK. Sementara Kasi Pengembangan Keluarga Sakinah H. Nur Ahmad Ghojali, MA menandaskan pentingnya komitmen, kepedulian dan networking terhadap masalah kependudukan yang semakin kompleks. [sar]Pada dasawarsa terakhir ini, masalah lingkungan mulai menjadi fokus agenda pembicaraan Dunia. Laporan-laporan penelitian tentang pencemaran dan kerusakan lingkungan di muka bumi yang membahayakan bagi kehidupan manusia telah menjadi suatu hal yang menakutkan terhadap keberlanjutan kehidupan. Hal ini dikarenakan lingkungan yang semestinya menjadi salah satu sumber kenikmatan dalam kehidupan, alih- alih kini telah menjadi sumber kegelisahan

dan kecemasan.Dalam kaitan itu pula maka saat ini baik pada dimensi lokal maupun global, pengelolaan lingkungan telah menjadi perhatian yang serius. khususnya terhadap kegiatan manusia yang telah mempengaruhi integritas ekologi global yang mengancam masa depan yang sehat dan manusiawi. Peristiwa, dan bencana yang terjadi silih berganti, pada banyak anggota masyarakat hanya dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan wajar terjadi. Sementara ketakwajaran yang memicu terjadinya bencana lingkungan luput dari perhatian.Padahal, kita sangat tahu bahwa setiap bencana lingkungan tidak selalu berasal dari gejala alam, tetapi lebih banyak yang terjadi karena kesalahan kita dalam mengolah alam. Kita pun juga sangat mengerti bahwa perubahan yang berlangsung pada masa depan yang berkelanjutan akan bergantung pada proses belajar manusia dalam menyikapi, mengola, dan berinteraksi dengan lingkungan.Harus kita diakui bahwa sampai dengan saat ini kepedulian terhadap lingkungan baru dimiliki segelintir individu. Ada banyak di antara kita yang belum peduli dengan permasalahan lingkungan secara sungguh-sungguh. Cukup banyak ditemukan penanganan masalahan lingkungan masih sebatas retorika, belum terwujud dalam tindakan nyata yang memadai. Kalaupun ada aksi yang dilaksanakan, terkadang masih sebatas seremonial yang dilakukan dalam kegiatan dan acara tertentu saja.Bilamana kondisi kekurangan pedulian seperti ini terus berlanjut, tak ubahnya kita seperti memelihara bom waktu yang pada saatnya akan muncul dalam bentuk bencana lingkungan. Hal ini sekaligus juga bermakna bahwa sesungguhnya kita tengah bunuh diri pelan-pelan secara ekologis. Beragam bencana lingkungan telah kita alami, namun bencana demi bencana tersebut ternyata hanya mampu mengingatkan pada banyak kita sesaat saja. Kita sering terlalu cepat melupakan bencana lingkungan yang baru dihadapi bahkan tak jarang bencana tersebut dianggap sebagai peristiwa rutin tahunan seperti bencana banjir dan tanah longsor.Upaya mencegah seakan tak pernah tersentuh oleh banyak individu. Perencanaan pencegahan lebih banyak terlupakan, kalaupun ada, terkesan dilakukan seadanya. Program yang disiapkan lebih terkonsentrasi pada penanggulangan dampak bencana, bukan tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya bencana. Ironisnya, masalah pencegahan ini pada banyak daerah juga tak kunjung menjadi perhatian. Kita baru terhenyak tatkala bencana itu melanda. Seharusnya, upaya pencegahan telah dilakukan sejak dini. Studi terhadap kemungkinan terjadinya bencana dan langkah-langkah pencegahan munculnya permasalahan lingkungan sejogianya telah dilakukan sebelum bencana tersebut benar-benar melanda kehidupan kita.Hal-hal yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa akar permasalahan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia bermula dari kegagalan kita menyelenggarakan model pengelolaan sumber daya alam yang lestari dan berkelanjutan (sustainable). Karenanya, persoalan lingkungan yang utama yang kita hadapi saat ini sebenarnya adalah bagaimana membentuk dan menginternalisasikan sikap peduli dan sadar lingkungan pada masyarakat. Dalam kaitan itu, sudah sepantasnya saat ini kita berpikir dan berbuat tentang pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan yang mementingkan generasi mendatang. Hal ini harus terwujud dalam upaya yang sungguh-sungguh. Saat ini adalah waktu yang tepat bagi kita untuk menengok kembali terhadap pentingnya Pendidikan Lingkungan itu diberikan di semua lembaga pendidikan, mulai dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah yang berdiri sendiri. Prof. Dr. Syukri Hamzah, M.Si. 2010 dalam pidato pengukuhan guru besar PKLH Pengertian Lingkungan Hidup menurut Undang-Undang Republik Indonesia no. 23 tahun 1997 adalah : kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lingkungan hidup termasuk sumber daya alamnya baik secara global, regional maupun nasional dalam sejarah peradaban manusia telah memberikan dua makna bagi manusia. Disatu sisi, makna yang dirasakan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kualitas hidup manusia, sedangkan di bagian lain menyebabkan bencana dan sekaligus penurunan kualitas hidup manusia.Permasalahan pendudukan dan lingkungan hidup tersebut diatas, menjadi salah satu faktor yang mendesak perlunya pengenalan terhadap pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup (PKLH), khususnya dalam bidang pendidikan mulai dari jenjang pendidikan SD hingga perguruan tinggi. Dengan harapan melalui pendidikan tersebut akan memberikan pengetahuan, memupuk kesadaran dan perilaku si peserta didik akan pentingnya menjaga lingkungan dengan penuh tanggung jawab, karena manusia merupakan bahagian dari lingkungan, dalam arti bahwa apabila lingkungan rusak manusia akan mengalami masalah dalam kelangsungan hidupnya.Intinya bahwa melalui pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup (PKLH) ini, menjadi faktor pendukung terbentuknya interaksi yang saling menguntungkan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dimana manusia harus bijak didalam mengelola lingkungan hidup, baik pada waktu pengeksploitasiannya hingga pada tahap pengelolaan dan penggunaannya, dengan tetap mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan dengan meminimalkan dampak dari pengelolaan tersebut.Sejauh ini, pendidikan lingkungan masih banyak yang melihatnya dengan kacamata yang salah. Ada banyak yang beranggapan bahwa Ilmu Lingkungan adalah Pendidikan Lingkungan. Padahal keduanya memiliki sasaran kompetensi yang berbeda. Pendidikan lingkungan (environmental education) tidak sama dengan ilmu lingkungan (ecology). Ilmu lingkungan lebih kepada materi bio-fisik lingkungan, sedangkan pendidikan lingkungan lebih menitikberatkan pada pembentuk sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungannya. Rumusan pendidikan lingkungan pertama kali dikemukakan oleh IUCN/UNESCO (1970) yaitu, suatu proses untuk mengenali nilai-nilai dan

menjelaskan konsep dalam rangka mengembangkan keterampilan, sikap yang diperlukan untuk memahami serta menghargai hubungan timbal-balik antara manusia, budaya, dan lingkungan bio-fisiknya. Pendidikan lingkungan juga membutuhkan praktek dalam hal pengambilan keputusan dan memformulasi sendiri prilaku suatu bentuk perilaku yang berkenaan dengan isu kualitas lingkungan. Pendidikan lingkungan hidup menurut konvensi UNESCO di Tbilisi 1977 yang mengadopsi rumusan IUCN/UNESCO tersebut menyatakan bahwa pendidikan lingkungan adalah suatu proses yang bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat dunia yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan masalah-masalah yang terkait di dalamnya serta memiliki pengetahuan, motivasi, komitmen, dan keterampilan untuk bekerja, baik secara perorangan maupun kolektif dalam mencari alternatif atau memberi solusi terhadap permasalahan lingkungan hidup yang ada sekarang dan untuk menghindari timbulnya masalah-masalah lingkungan hidup baru (UNESCO, 1977).dalam Hamzah 2010.Northern Illiois University dengan sedikit modifikasi memberikan batasan Pendidikan lingkungan hidup adalah suatu proses pengenalan nilai, pemahaman konsep dan ketrampilan untuk mengapresiasi saling hubungan antara manusia, kebudayaan dan lingkungan hidup (anonim 1989).Dengan alasan ini dan dengan tetap mengikuti konstelasi kurikulum yang sedang berlaku, rasanya sekarang belum waktunya untuk mengenalkan mata pelajaran PKLH secara terpisah secara monolitik. Karakteristik lulusan yang berperilaku dengan wawasan lingkungan dapat dibentuk melalui pemberdayaan mata pelajaran yang sudah ada.Tapi sebagai pemerhati dan pendekar lingkungan tidak dengan begitu saja kita pasrah dengan sistem kurikulum yang berlaku, tetapi bagaimana berusaha untuk mengintegrasikan program dan materi-materi yang berkenaan dengan PKLH pada mata pelajaran yang diakui dalam kurikulum yang berlaku, pengintegrasian ini harus diusahakan mulai dari jenjang pendidikan yang paling rendah hingga jenjang pendidikan tertinggi supaya tertanam dalam diri masing-masing peserta didik setelah mempelajari PKLH yaitu mempunyai pengertian, kesadaran, sikap dan perilaku yang rasional terhadap hubungan manusia dengan lingkungan hidup.Dalam lingkungan sekolah diperlukan kreatifikas seorang guru untuk mengembangkan sikap peduli siswa terhadap lingkungan dengan tidak membuang limbah domestik secara sembarangan, guru perlu memberikan contoh, misalnya, selalu memegang kulit pisang/kulit rambutan sebelum menemukan tempat sampah. Guru perlu menyediakan lingkungan yang kondusif seperti menyediakan tempat sampah, tempat cuci tangan, kamoceng di kelas/sekolah. Selain itu, setiap kegiatan pembelajaran selalu diselipkan kegiatan yang mengkondisikan siswa untuk membuang sampah pada tempatnya, atau melatih siswa untuk memilah sampah organik dengan sampah non organik dan selanjutnya sampah non organik dimasukkan pada tempat khusus yang sudah disediakan.Guru dapat juga berdiskusi dengan guru lain untuk merencanakan kegiatan proyek dengan melibatkan beberapa guru mata pelajaran untuk menyoroti satu tema khusus. Misalnya, tema pencemaran air tanah dapat diangkat untuk kegiatan pembelajaran program satu semester beberapa mata pelajaran. Guru IPA (Kimia) dapat menyoroti unsur kimia yang sudah mencemari air tanah sedangkan guru Geografi dapat menyajikan unsur pencemaran dengan menampilkannya dalam beragam grafik.Guru PPKn di SLTP mungkin dapat menyajikan kegiatan diskusi studi kasus dengan simulasi di suatu wilayah kecamatan yang air tanahnya tercemar oleh limbah industri perusahaan tekstil. Beberapa lurah mengusulkan untuk menutup perusahaan tersebut tetapi beberapa lurah yang lain mengusulkan untuk tetap mempertahankan perusahaan itu karena perusahaan itu sering memberikan sumbangan untuk kegiatan umum. Ada juga beberapa lurah yang mengusulkan perusahaan itu dipindahkan supaya air tanah tidak tercemar. Kasus ini mungkin kasus rekaan yang mungkin terjadi di masyarakat. Kegiatan diskusi kasus ini akan lebih baik kalau guru dapat mengangkat kasus riil pencemaran yang terjadi di daerahnya.Pada kondisi ini peserta didik diberi beragam pengalaman belajar seperti diskusi kelas, diskusi kasus dalam situasi simulasi, melakukan percobaan, wawancara, melakukan kegiatan sosial untuk membersihkan lingkungan. Dari kegiatan-kegiatan inilah akan melahirkan pendekar-pendekar lingkungan hidup yang selalu berusaha melestarikan lingkungan sekitarnya.Dari kajian tentang Esensi pengenalan dan/atau pemberdayaan program PKLH di jenjang pendidikan dasar dan menengah hingga perguruan tinggi yang kajiannya diawali dengan terjadinya kerusakan lingkungan dari waktu ke waktu akibat ulah manusia termasuk meningkatnya angka pertumbuhan penduduk, lalu dilanjutkan dengan perlunya program PKLH baik melalui pendidikan formal maupun melalui pendidikan informal, dan pada bagian akhir dilanjutkan dengan cara mengemaskan kegiatan pembelajaran program PKLH yang multi-dimensi: kognitif, sikap, perilaku, keterampilan di jalur pendidikan sekolah.Salah satu gebrakan baru yang dilakukan oleh PEMERINTAH Kota Bandung, dalam hal ini Dinas Pendidikan Kota Bandung, yang telah berketetapan untuk menjadikan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah di Kota Bandung. Berbagai pendapat pun lantas merebak, seperti biasa, yaitu ada yang pro dan kontra. Terlepas dari prokontra itu, seberapa pentingkah PLH bagi murid khususnya yang tinggal di Kota Bandung ? (Gede H. Cahyana : http://gedehace.blogspot.com)Terlepas apakah PKLH tidak harus dimasukkan dalam kurikulum atau harus dimasukkan dalam kurikulum misalnya seperti yang dilakukan oleh pemerintah Bandung yang menjadikan PLH sebagai muatan lokal, tapi yang terpenting adalah penekanan taraf signifikansi PKLH yaitu pada porsi praktis-teoretisnya. Pelaksanaan PKLH ini hendaklah tidak berkutat di ranah teoretis. Jika hanya teoretis, hasilnya takkan terasa dan seolah-olah murid-murid berbilang ilmu lingkungan, tetapi perilakunya tak berubah. Jangan sampai PKLH ini sekadar penambah beban belajar siswa. Apalagi ada banyak pendapat

kontra bahwa tak perlulah PKLH lantaran murid sudah dianggap memperolehnya dari pelajaran yang lain.Tak dapat dipungkiri bahwa ada pelajaran yang membahas secara implisit soal lingkungan. Tetapi patut pula diakui bahwa kupasannya tidak menyentuh unsur utama lingkungan, yaitu pelestarian fungsi atau sustainability dan cederung menjadi lekatan dan tempelan belaka. Efeknya tidak tampak pada perubahan perilaku guru-gurunya apalagi murid-muridnya.Oleh sebab itu, PKLH harus dititik beratkan pada sisi afektif psikomotorik sehingga siswa tak hanya memiliki ilmu tetapi juga mampu mengubah perilakunya. Mampu melebur dengan lingkungannya. Misalnya, siswa melihat bagaimana proses polusi air dan apa dampaknya bagi kesehatan, lalu tahu cara mencegah dan mengolah polusi itu menjadi air yang tak tercemar. Ketika melihat sampah, yang ada di dalam benaknya ialah sumber daya baru yang bahkan mampu menghasilkan uang. Air limbah pun dijadikan potensi pupuk buatan atau didaur ulang menjadi air minum lagi. Pendeknya, PKLH harus mendekatkan guru dan muridnya kepada lingkungan dan menjadi bagian dari solusi, bukan sang penimbul masalah.Materi PKLH itu pun hendaklah dibatasi agar tak terlalu meluas sehingga menjadi persoalan biologi dan mengaburkan masalah lingkungan yang erat dengan kehidupan sehari-hari. Sebab, telah dipahami bersama bahwa lingkungan itu sangat luas dan semua orang bisa bicara soal lingkungan sesuai dengan persepsi dan latar belakang ilmunya. Kalau tidak dibatasi atau tidak didefinisikan sejak awal, wacana ini akan meluas dan di luar kendali sehingga tujuan PKLH menjadi tidak fokus atau bahkan difus (menyimpang jauh) sehingga tidak praktis dan tidak aplikatif.Makanya definisi atau pagar-pagar-nya harus sudah dibuat terlebih dulu agar PKLH berhasil menjadi pendidikan lingkungan yang erat dengan kehidupan praktis keseharian guru dan murid. Misalnya berkaitan dengan air minum, air limbah, sampah, polusi udara, kesehatan, penyakit menular lewat air, udara, makanan, tanah, dll. Juga upaya sanitasi dan kesehatan lingkungan yang wajib diketahui pada tingkat dasar dan tindakan preventif-kuratif apa saja yang mesti diambil dalam suatu kasus penyakit tertentu misalnya. Inilah PKLH yang implementatif dan berpeluang membentuk perilaku guru dan murid yang berkarib dengan lingkungan, environmentaly friendly, sehingga tak sekadar berwawasan lingkungan.PKLH ini hendaklah dilaksanakan secara bergradasi, mulai dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMA. Tentu saja harus ada perluasan materi yang diberikan meskipun pokoknya tetap sama. Misalnya, bahasan tentang air. Di kelas satu dan dua yang perlu diberikan hanya sebatas beda air jernih, air bersih, dan air limbah atau air kotor. Di kelas yang lebih tinggi, mulai dikenalkan pada parameter kualitasnya secara sambil lalu. Di kelas yang lebih tinggi lagi bisa dikenalkan pada teknologi tradisional-konvensional, selanjutnya masuk ke teknologi madya hingga ke teknologi lanjut. Begitu pun yang berkaitan dengan sampah, udara, kesehatan lingkungan, dll.Yang juga penting adalah rasio waktu belajarnya. Belajar tak hanya di kelas, tetapi juga di lapangan. Misalnya, pergi ke sungai, ke kolam, ke waduk, atau ke tanah lapang sambil melihat-lihat selokan. Siswa langsung melaksanakan pengamatan lapangan. Mereka pasti senang bereksperimen dan mengeksplorasi kemampuan dirinya di alam bebas. Itu sebabnya, pembagian 30% teori dan 70% praktik menjadi jalan tengah. Guru dan murid akan lebih banyak belajar di luar kelas dan berdiskusi. Guru harus betul-betul siap pada semua kemungkinan pertanyaan yang muncul dan jangan marah apabila belum bisa memberikan penjelasan yang logis dan berterima. Artinya, guru harus terus belajar dan belajar terus.Bagaimana hasilnya? Tentu saja tak bisa instan. Hasilnya baru akan tampak setelah sekian tahun kemudian dan ini membutuhkan proses, butuh waktu untuk pembentukan perilakunya, yaitu perilaku manusia cinta lingkungan, manusia yang peduli pada pembangunan berkawan lingkungan. Istilah umumnya adalah pembangunan berwawasan lingkungan (sustainable development).Manusia BerkualitasManusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.Manusia berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah mahluk berakhlak budi yang mampu menguasai mahluk ciptaan lainnya. Sedangkan berkualitas artinya adalah memilki mutu atau kualitas. Dari pengertian tersebut manusia berkualitas adalah mahluk yang memiliki akal budi yang memiliki mutu tertentu. Kualitas manusia sendiri dapat dilihat dari berbagai sisi, minimal ada 3 aspek yang dapat ditemukan, yaitu aspek fisik, kognitif (akademik) dan non-kognitif. Dari aspek non kognitif manusia berkualitas yang dibutuhkan untuk menghadapi lintas budaya yang terjadi adalah seseorang yang dapat memahami hakikat dirinya sebagai mahluk ciptaan Tuhan dan juga mahluk sosial yang berhubungan dengan masyarakat sekitar. Dalam konteks ini manusia sebagai mahluk sosial bebas dalam menjalani hidup, namun tetap harus menyadari bahwa dirinya adalah ciptaan Tuhan, dan tetap menjalani perintahnya serta menjauhi larangannya. Dalam konteks lain manusia sebagai mendapatkan informasi dari berbagai macam sumber, baik yang buruk maupun yang baik, dan penyebaran informasi dipermudah dengan adanya globalisasi. Selain itu dalam konteks yang berbeda manusia berkualitas adalah orang yang dapat memaksimalkan potensi yang ia miliki. Ada juga yang beranggapan bahwa manusia berkualitas adalah manusia

yang mengenal dirinya dengan utuh, seimbang, dan sinergis.Manusia merupakan makhluk yang paling menakjubkan, makhluk yang unik multi dimensi, serba meliputi, sangat terbuka, dan mempunyai potensi yang agung. Al-Qur'an, mendudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah berupa jasmani dan rohani. Al-Qur'an memberi acuan konseptual yang sangat mapan dalam memberi pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani agar manusia berkembang secara wajar dan baik. Manusia Berkualitas Menurut al-Qur'anManusia dikatakan sebagai makhluk yang pandai menciptakan bahasa untuk menyatakan fikiran dan perasaan, sebagai makhluk yang mampu membuat alat-alat, sebagai makhluk yang dapat berorganisasi sehingga mampu memanfaatkan lingkungan untuk kepentingan manusia, sebagai makhluk yang suka bermain, dan sebagai makhluk yang beragama. Dalam al-Qur'an, manusia berulangkali diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara posetif, al-Qur'an mengatakan manusia itu "hanief" yaitu condong kepada kebenaran, mentauhidkan Tuhan, dan nilai-nilai luhur lainnya.Karen Horney (1942, seorang ahli Psikologi), mengatakan bahwa "manusia berkualitas adalah orang yang telah mampu menyeimbangkan dorongan-dorongan dalam dirinya, sehingga mewujudkan tingkahlaku yang harmonis. Ia mampu berhubungan dengan lingkungannya, mampu menciptakan suasana aman dan harmonis. Ia tidak agresif, tidak mengasingkan diri dari lingkungannya, dan hidupnya tidak pula bergantung pada orang lain".Gordon Allport (1964), "manusia berkualitas dipandang sebagai orang yang telah menunjukkan kemampuan untuk memperluas lingkungan hidupnya, menghayati situasi untuk dapat berkomunikasi dengan hangat, menerima dirinya sebagaimana adanya, mempersepsi lingkungan secara realistik, memandang dirinya secara obyektif, serta berpegang pada pandangan hidup secara utuh. Ciri-ciri ini dimiliki oleh manusia yang telah matang (mature)".Jourard (1980), "manusia berkualitas adalah manusia sehat yang memiliki ciri (a) membuka diri untuk menerima gagasan orang lain; (b) peduli terhadap dirinya, sesamanya serta lingkungannya; (c) kreatif; (d) mampu bekerja yang memberikan hasil (produktif); dan (e) mampu bercinta".Thomas J. Peters dan Robert H.Waterman, "menamakan manusia berkualitas dilihat dari keberhasilan menjalankan usaha, adalah orang yang menampilkan ciri-ciri sebagai berikut : (a) memiliki kegemaran untuk selalu berbuat sesuatu, dari pada banyak bertanya; (b) menampilkan hubungan yang erat dengan para rekannya; (c) bersifat otonom dan memperlihatkan kewiraswastaan; (d) membina kesadaran bawahannya untuk menampilkan upaya terbaik; (e) memandang penting keuletan dalam menjalankan usaha; (g) menempatkan orang secara proporsional; dan (h) menggunakan prinsip pengawasan yang lentur (longgar tapi ketat)".Banyak istilah yang digunakan alQur'an dalam menggambarkan manusia berkualitas atau makhluk yang diciptakan Allah dalam sosok yang paling canggih, di antaranya kata manusia beriman [al-Hujarat (49 : 14, dll] dan beramal saleh (QS. at-Tiin (95) : 6, dll), diberi Ilmu (al-Isra (17) : 85, Mujadalah : 11, Fathir : 28, dll), alim (al-Ankabut (29) : 43, dll), berakal (al-Mulk (67) : 10, dll), manusia sebagai khalifah (QS.al-Baqarah (2) : 30,dll), jiwa yang tenang (QS. al-Fajr (89) : 27-28, dll), hati yang tenteram (al-Ra'd (30) : 28, dll), kaffah (al-Baqarah (2) : 208, dll), muttaqin (al-Baqarah (2) : 2, dll), taqwa (al-Baqarah (2) : 183, dll) , mu'minin, muhsinin, syakirin, muflihin, shalihin, yang kemudian diberi keterangan untuk mendeskripsikan ciri-cirinya.Djamaludin Ancok [1998:12], mengutip Hartanto [1997], Raka & Hendroyuwono [1998], ada empat kapital, yaitu kapital intelektual [intelect capital], kapital sosial [social capital], kapital lembut [soft capital], dan kapital spritual [spritual capital]. Empat kapital yang dikemukan ini juga menggambar ciri manusia berkualitas.Ukuran kualitas manusia sesungguhnya tergantung pada komposisi manusia yang terdiri dari : SIKAP (tindakan), MENTAL (pola pikir), EMOSI (perasaan), dan ROHANI (keyakinan). Kualitas hidup seseorang tidak ditentukan oleh tingkat pendidikan, jabatan atau seberapa jumlah kekayaannya. Jika kita melakukan hal-hal negatif, kita akan dinilai rendah. Terlebih jika kita melanggar norma dan etika agama, kita tahu penilaian orang lain terhadap kita. Oleh karena itu, kita harus menjaga sikap agar selalu positif dalam tindakan dan perkataan. Sikap manusia bukan sekedar menentukan kualitas manusia, melainkan juga mempengaruhi nasib hidup manusia. Khususnya, tindakan kita dalam waktu singkat bisa mengubah nasib hidup.Hal - hal yang jauh lebih utam,hakiki, dan mulia dari sekedar materi yang mampu membedakan mana manusia yang berkualitas mana yang tidak adalah nilainilai spiritual dan prinsip hidup yang akan membentuk pola berfikir, merasa dan berprilaku. Nilai-nilai spiritual menyiratkan pesan Allah, bahwa satu-satunya standart yang membedakan kualitas manusia adalah keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Hal ini tercermin lewat kebersihan akal, hati, dan kemuliaan perilaku. Bila keimanan dan ketakwaan dibarengi dengan ilmu agama(Ilmu Kauliyah) dan ilmu Kauniah (ilmu pengetahuan) maka keimanan dan ketakwaan ini semakin tinggi dan memiliki kekuatan membangun.

You might also like