You are on page 1of 8

Air sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia dan menjadi elemen terpenting kehidupan, seharusnya tidak boleh

dilimitasi ataupun dieliminir oleh pihak manapun. Bahkan, PBB pada tahun 2003 yang lalu pernah mendeklarasikan bahwa akses atas air bersih adalah salah satu dari HAM. Hal ini sesuai dengan UUD 45 pasal 33 yang jauh-jauh hari sudah menekankan pada pentingnya air (dan sumberdaya alam yang lain) yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai bentuk representasi negara, adalah merupakan salah satu dari cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena PDAM sebagai cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak, maka ia harus dikuasai oleh negara. Dan di dalam pengertian yang dimaksud dikuasai negara disini adalah dikuasai yang bisa dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Masalah kemudian timbul ketika PDAM tidak lagi kapabel dalam menjalankan kewajibannya. Tercatat dari 306 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang ada di Indonesia, hanya 10 % yang dalam keadaan sehat. Selebihnya (90%) dalam keadaaan kurang baik dan beberapa diantaranya kondisi kritis. Selain kapasitas produksi nasional air yang belum terpenuhi, PDAM hingga kini masih mengalami masalah kebocoran air hingga 40-50 persen. . Hal ini kemudian menjadi salah satu sebab mengapa hanya sekitar 18 persen penduduk Indonesia yang dapat mengakses air bersih. Artinya masih ada 82 persen rakyat Indonesia lainnya yang terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara kesehatan. Disaat seperti ini, Pemerintah malah terkesan cuci tangan dengan secara bertahap menyerahkan pengelolaan air kepada swasta. Privatisasi seolah-olah menjadi jalan termudah untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul dan bukannya dengan melakukan efisiensi dan pembenahan internal. Padahal belum tentu dengan adanya privatisasi permasalahan akan teratasi. Malah bisa saja menjadi lebih buruk dari sebelumnya, seperti yang terjadi dengan privatisasi PAM Jaya. Menurut data WALHI , privatisasi malah memperburuk keadaan PAM Jaya itu sendiri. Sebelum terjadi privatisasi pertambahan pelanggan baru periode 1988-awal 1998 mencapai antara 9.698-63.934 pelanggan per tahun. Sedangkan setelah privatisasi, pertambahan jumlah pelanggan justru merosot drastis. Pada 1998, antara Februari-Desember, dua mitra swasta meraup pelanggan baru sebanyak 21.533 pelanggan. Jumlah ini jauh lebih kecil dari perolehan pelanggan baru yang digaet PAM Jaya pada 1997 sebelum terjasi privatisasi yaitu 63.934 pelanggan baru. Bahkan, pada 1999 (semester pertama) perolehan pelanggan baru dua mitra swasta asing merosot tajam menjadi hanya 4.879. Bandingkan dengan perolehan PAM Jaya sebelum terjadi privatisasi pada Januari 1998 (Perolehan pelanggan baru untuk satu bulan) sebesar 5.804. Sedangkan dari sisi rasio warga yang terjangkau sebelum dan sesudah privatisasi tidak berubah signifikan. Pada 1997 sebelum privatisasi dilakukan, sebanyak 52% warga Jakarta terjangkau PAM Jaya. Sedangkan setelah privatisasi menjadi 59% (2002). Sementara dari sisi kualitas air relatif tidak berubah sebelum dan sesudah privatisasi. Bahkan untuk beberapa indikator seperti konsentrasi deterjen, setelah privatisasi, kualitas airnya justru menurun. Pada 1998 misalnya, konsentrasi deterjen mencapai 0,12 mg/l. Demikian juga pada 1999 dengan konsentrasi deterjen sebesar 0,17 mg/l. Padahal standar konsentrasi deterjen adalah 0,05 mg/l. Bandingkan dengan sebelum privatisasi, konsentrasi deterjen masih memenuhi standar seperti pada 1993 (0,031 mg/l) dan 1994 (0,016 mg/l). Dari sisi tarif, tarif air di jakarta rata-rata Rp. 5.000 permeter kubik, termasuk yang paling tinggi di Indonesia. Tarif tinggi karena sejak awal kontrak sudah mahal, yakni Rp. 1.700. Tariff terus mengalami kenaikan karena inflasi, dan kenaikan tarif otomatis tiap semester (6 bulan). Dari tarif demikian, sebanyak Rp. 4.600 untuk

membayar imbaln kepada operator asing (PDAM Lyonnaise dan ThamesPAM Jaya). Sisanya untuk bayar utang PDAM kepada pemerintah, defisit, serta badan regulator. Sementara mengenai tingkat layanan, warga menganggap kualitas air minum setelah privatisasi tetap keruh dan berbau tidak sedap. Regulasi yang diciptakan Pemerintah pun nampaknya malah semakin mempermulus adanya privatisasi secara membabi-buta. Salah satunya adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang di dalamnya menurut banyak pihak terdapat banyak kontroversi didalamnya. Diantaranya adalah : Penguasaan Sumber Air oleh swasta melalui pemberian Hak Guna Usaha Air pada pasal 9, 45, 46, 48 dan 49. Undang undang ini secara fundamental telah merekonstruksi prinsip penggunaan dan penguasaan air yang merupakan milik umum dan diperoleh secara bebas (common property, open acces) yang dikuasai oleh negara (state property) kepada swasta (quasy private property) untuk tujuan komersial. Selain itu adalah tentang Privatisasi Air Minum dan Irigasiyang terdapat pada pasal 40, 41 dan 46. UU ini membuka kesempatan luas kepada swasta untuk menjalankan jasa penyediaan air minum dan irigasi. Sebagai imbalan, pihak swasta dapat memungut biaya jasa atas pengelolaan air baku untuk irigasi (pasal 26 dan 80). Kasus privatisasi PAM Jaya diatas adalah salah satu dari sedikit contoh gagalnya jargon welfare state, dimana semua pelayanan publik diserahkan kepada negara. Walaupun pada realitasnya memang tidak mungkin negara dapat mengurus semua pelayanan publik yang sangat kompleks sendirian. Jadilah kemudian negara membagi pekerjaan tersebut ke swasta demi pelayanan publik yang maksimal. Berkembangnya ragam pelayanan publik dan kian tingginya tuntutan pelayanan publik yang lebih efisien, cepat, fleksibel, berbiaya rendah serta memuaskan, akan menjadikan negara pada posisi kewalahan manakala masih tetap memaksakan dirinya sebagai satu-satunya institusi yang paling sah dalam memberikan pelayanan. Bahkan jika ia tetap menempatkan diri sebagai agen tunggal dalam memberikan pelayanan, pastilah akan berada pada posisi payah. Karena itu, mengurus sesuatu yang semestinya tidak perlu diurus, haruslah ditinggalkan oleh negara; agar lebih berkonsentrasi pada urusan-urusan yang lebih strategis dan krusial. Kemudian apa yang bisa dilakukan? Pembenahan tentang Undang-undang Sumberdaya Air (dan juga sumberdaya-sumberdaya yang lain) menjadi salah satu hal yang mendesak mengingat selama ini regulasi yang ada malah lebih menguntungkan pihak luar daripada masyarakat sendiri. Dan yang tak kalah penting adalah pembenahan internal dari PDAM itu sendiri, baik itu berupa efisiensi, peningkatan mutu SDM, pembenahan layanan dll.

Membuat keharusan kepada kita semua melakukan perubahan strategis khususnya bagi negaranegara yang sedang berkembang, seperti halnya Indonesia untuk dapat menciptakan daya saing tinggi dengan negara-negara semi maju atau sudah maju yang tentunya hal ini jelas lebih dititik beratkan pada ekonomi. Maka tak heran dengan kondisi seperti ini. Kita dimabukkan oleh sebuah keadaan sehingga seluruh unsur kehidupan sepertinya ter-arsobsi (terserap) ke sana. Dan begitu hebatnya pesona globalisme, maka apapun tak luput menjadi sasaran arus globalisasi. Demikian pula, tak terkecuali dengan sektor jasa pelayanan air bersih yang di privatisasi. Dimana perusahaan multinasional dengan topeng manisnya untuk memprivatisasi air adalah untuk memperbaiki mutu pelayanan, alih teknologi, bahkan menutupi resiko utang sejumlah PDAM yang ada di Indonesia, baik PDAM yang ada di Bali, Tangerang, Bekasi, Sumatera Utara, Kalimantan, Jakarta dan lainnya, terhadap sejumlah landers yang ada di jagad raya ini seperti halnya IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) melalui lewat persyaratan pinjaman, tak lain merupakan bagian dari kepentingan kapitalisme global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air milik pemerintah (PDAM). Air Bagian Dari HAM

Air yang merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia yang mengandung suatu nilai universal, dimana kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang tidak boleh dilimitasi, dieleminir sebagian dan atau seluruhnya, hal kebutuhan tersebut juga sudah menjadi hak konstitusional setiap warga negara, yang bisa dirtikan bahwa keberadaan air bagi rakyat banyak tidak bisa lagi di dalam pemenuhannya tergantung pada Undang-undang atau Peraturan Pemerintahan yang berlaku di sebuah Negara, misalkan dibatasi dengan keberadaan oleh adanya UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Apalagi air yang merupakan suatu kebutuhan pokok bagi masyarakat, serta merupakan suatu elemen yang terpenting bagi kelangsungan kehidupan manusia, suadah merupakan keharusan mendapatkan suatu proteksi yang memadahi bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan umat manusia. Dan fundamentalisnya, hal ini tentunya telah bertentangan, sebagaimana air di dalam perspektif konsep hak asasi manusia (HAM) yang berlaku secara universal, di dalam keterkaitan hubungannya negara dengan warganya, dalam hal ini rakyat yang berkedudukan sebagai pemegang hak (right holder), kemudian di sisi lain negara berkedudukan sebagai pengemban kewajiban (duty holder) mengandung imperatif. Dan kemudian dimana kewajiban negara yang mendasar seharusnya adalah melindungi (proteksi) dan menjamin hak asasi warganya (rakyat), dalam hal itu dimana salah satunya adalah hak atas air mengupayakan pemenuhan secara positip atau menjamin akses rakyat atas air yang sehat untuk segala kebutuhannya mulai dari urusan rumah tangga, urusan irigasi, urusan produksi lainnya. Dengan demikian keberadaan air lebih dari sekadar cuma barang konsumsi; sebab air adalah barang sosial yang artinya rakyat disini bukan sekedar berkedudukan sebagai konsumen an sich, melainkan rakyat didudukkan lebih sebagai pemilik hak. Maka dengan sendirinya upaya apapun dari pihak negara ataupun kekuatan di luar negara untuk memperlakukan air sebagai barang komoditi ekonomik harus kita tolak. Bahwasanya air merupakan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus menjadi tanggung-jawab pemerintah. Dan dengan demikian juga, bilamana pemerintah

tidak sanggup mengelola perusahaan penyedia air untuk rakyat sebagaimana telah diamanatkan di dalam konstitusi maka sebenarnya yang harus diubah adalah cara-cara pengelolaannya bukan menjualnya ke pihak mitra strategis asing.

Dan sebenarnya yang perlu diperhatikan oleh perusahaan air minum sebagai public utilities, terlepas dari keberadaan PDAM yang masih sulit memenuhi kebutuhan masyarakat konsumennya, yang disebabkan oleh berbagai kendala yang komplek akibat dari laju urbanisasi (pertumbuhan penduduk), aktivitas ekonomi (perkembangan industri yang cepat), persoalan kelembagaan, teknologi, anggaran, pencemaran maupun sikap masyarakat turut mempengaruhi, sebagai berikut : Pertama, adalah masalah hal penyediaan air oleh PDAM di Indonesia yang sebagaimana patut diketahui, di Indonesia terlalu berlebihan jika menggunakan istilah air minum sebagaimana yang telah dikenal selama ini, dengan istilah air minum yang disediakan oleh PDAM; namun sebaliknya yang ada fakta empiriknya yang dirasakan masyarakat pelanggan adalah justeru air bersih yang setelah dimasak terlebih dahulu oleh para pelanggan yang kemudian air bersih tersebut baru dapat dijadikan air minum. Jadi, dengan kata lain PDAM tidak menyediakan (baca ; menjual) air minum, tetapi sekedar air bersih. Kedua, bahwa PDAM di Indonesia, termasuk PDAM Jaya yang ada di DKI Jakarta yang menyediakan air bersih bagi masyarakat konsumennya adalah merupakan termasuk cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dan analogis dari cabang-cabang produksi lainnya sejenis itu adalah seperti perusahaan yang menyediakan aliran listrik, bahan bakar gas untuk memasak, dan angkutan umum; dan bahkan telepon pun sudah pula menjadi bagian dari produk yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena ia sebagai cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak, harus dikuasai negara, termasuk tegasnya PDAM dalam artian, sebagaimana juga yang telah diamanatkan di dalam pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang bukan saja berlaku untuk Republik Indonesia, tetapi juga berlaku di banyak negara, termasuk negara-negara yang sudah maju, seperti halnya di Amerika dan Eropa. Dan di dalam pengertian yang dimaksud dikuasai negara disini adalah dikuasai yang bisa dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Dan kemudian lebih lanjutnya disisi lain yang dimaksud penguasaan itu adalah tentunya dengan komposisi penyertaan modal (equitas, saham) dari pihak pemerintah yang harus lebih dari 50 persen (tidak sekedar mayoritas) dari total penyertaan seluruh modal. Dan baru kemudian sisanya, kurang dari 50 persen dikuasai oleh penyerta-penyerta yang lain. Disini pemerintah pusat, atau pemerintah daerah yang mempunyai otoritas tersebut, bisa saja menunjuk pihak swasta untuk menyelenggarakan penyediaan air minum (bersih), akan tetapi harus jelas ditetapkan dalam sebuah perjanjian tertulis dan dimana proses tendernya tentunya haruslah juga secara terbuka bagi perusahaan-perusahaan swasta lain, dan khusus swasta nasional yang memang ingin bekerjasama dalam usaha penyediaan air, sehingga pihak-pihak swasta nasional pun mempunyai kemampuan untuk ikut serta dalam usaha tersebut, dengan hal

tentunya meliputi suatu minimum ketentuan yang tidak boleh dilanggar oleh perusahaan air minum itu sendiri, yaitu pertama, masalah kualitas air dan pelayanan. Kedua, masalah akses air yang tidak boleh diskriminatif terhadap semua pelanggan. Dan ketiga, masalah besarnya tarif yang terjangkau oleh semua jenis pelanggan. Sementara, untuk dalam hal masalah kualitas air dan pelayanan, bisa diartikan secara tegas, yakni bahwa air yang disediakan haruslah berkualitas. Misalnya, tidak boleh tercampur dengan kotoran atau semacamnya (contohnya, air keruh, air yang berbau kaporit, air berwarna kecoklatcoklatan yang tak layak untuk bisa dikonsumsi bagi kesehatan). Dan jangan terulang lagi kisah sangat tak sedap seperti halnya dari pelanggan yang ada di Jakarta setahun lalu yang pernah diberitakan pernah menemukan seekor cacing dari air yang disediakan oleh PDAM. Dan dengan demikian berarti hal tersebut menunjukkan kualitas produk dan pelayanan yang sangat rendah. Kemudian selanjutnya, dalam hal masalah akses air yang tidak boleh diskriminatif terhadap semua pelanggan, artinya, bahwa masyarakat pelanggan, di wilayah mana pun, dan kaya atau pun tidak, haruslah mendapatkan debit air yang cukup sesuai dengan kebutuhannya. Sebab, semua orang membutuhkan air, Apalagi dua pertiga tubuh manusia terdiri atas air, dan seperti kita ketahui sedikitnya setiap orang membutuhkan 50 liter air untuk air untuk minum, masak, mencuci, untuk sanitasi dan sebagainya. Oleh sebab itu tidak bisa dinafikan, betapapun juga, orang tidak akan bisa hidup tanpa air, karena air itu sendiri tak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan, sebab lagi air itu sendiri adalah kehidupan kita semua (aqua vitae, life water). Lalu serta, dalam hal masalah kebijakan besarnya tarif yang harus terjangkau oleh semua jenis pelanggan, artinya dimana ketika pemerintah memberlakukan kebijakan kenaikan tarif tersebut, maka sebelumnya haruslah sudah mengkalkulasikan atau memperhitungkan kemampuan atau daya jangkau para pelanggan atau masyarakat pelanggan. Dan dengan demikian juga sebaiknya apabila dari kebijakan tarif sebesar itu ternyata Perusahaan Air Minum tersebut meraih keuntungan lebih besar dari yang telah ditentukan, maka seyogyanya keuntungan yang lebih tersebut seharusnya dikembalikan lagi kepada masyarakat pelanggan (misalnya dengan bentuk kompensasi lain seperti halnya dengan ditingkatkannya lagi soal aspek kualitasnya yang lebih sangat prima dan dengan begitu, ada persyaratan lain selain tarif an sich). Sehingga tingkat keuntungan tersebut mempunyai suatu standarisasi tingkat keuntungan. Dan kemudian sebaliknya, apabila dengan tarif yang sudah ditentukan tersebut, andaikata Perusahaan Air Minum tersebut bilamana kemudian merugi, yang tentunya kerugian tersebut memang sudah diaudit atau dibuktikan oleh akuntan publik, maka kerugian tersebut haruslah ditanggung oleh pemerintah pusat atau daerah, yaitu dengan cara memberikan sejumlah subsidi, bertujuan agar PDAM tersebut masih tetap bisa beroperasi. Namun subsidi yang dimaksud itu bukan ditujukan bagi perusahaan, tetapi kepada masyarakat pelanggannya keseluruhan. Dengan demikian hal itu telah menjadi bagian tanggungjawab pemerintah pusat (dan Pemda) untuk meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Ketiga, air yang merupakan suatu barang publik atau barang sosial, yang tidak semestinya diperjual-belikan apalagi masih banyak rakyat yang belum dapat akses air bersih, maka PDAM

(seperti halnya Palyja dan TPJ yang ada di Jakarta) semestinya harus tetap dibawah tanggungjawab pemerintah sepenuhnya (sehingga dalam mengambil suatu kebijakan tertentu, misalkan saja dalam hal suatu kebijakan tarif air, yang sejatinya kebijakan itu tidak ada intervensi atau imut campur tangan dari pihak-pihak lain, dalam hal ini mitra asingnya). Dan kemudian perlu ditekankan disini, bahwa bagaimanapun bentuknya, bahkan juga jika kepemilikan/ownership-nya masih ditangan pemerintah dan swasta hanya mengelola saja, semuanya itu adalah bentuk privatisasi. Pada umumnya, istilah privatisasi menjadi perdebatan karena orang mengasosiasikannya dengan kepemilikan. Jika sudah terjadi divestasi atau penjualan aset negara secara penuh, baru dikatakan sebagai privatisasi. Padahal, walaupun aset tersebut masih milik negara dan yang dialihkan hanyalah tugas-tugasnya/ pengelolaannya, tetap merupakan bentuk privatisasi atau juga sebagai bagian dari model privatisasi. Maka dalam hal ini mengenai kasus Jakarta menggunakan model konsesi, yaitu Build-OperateTransfer (BOT). Pengaturan seperti ini, kadang dianggap sebagai konsesi sebagian (partial concession) karena tanggung jawab yang diserahkan pada perusahaan swasta, hanya pada porsi tertentu. Kepemilikan terhadap fasilitas modal akan diserahkan kembali ke pemerintah setelah masa kontrak habis. Namun, model atau bentuk manapun yang digunakan, perlu diingat bahwa pengalaman di seluruh dunia menunjukkan bahwa bisnis swasta, bagaimanapun mereka mencoba untuk bertanggung jawab dalam menjalankan bisnis mereka, tidak didisain untuk menyediakan pelayanan publik atas dasar persamaan dan keadilan. Pelibatan sektor swasta dalam pengelolaan sumber daya air Indonesia harus benar-benar dilakukan dengan hati-hati. Karena, walau bagaimanapun, perusahaan swasta tidak mempunyai kewajiban sosial dan tidak mungkin menjalankan suatu usaha tanpa mencari keuntungan. Hal ini dapat merugikan rakyat banyak, terutama mereka yang tidak mampu. Apalagi jika penilaian kinerja PDAM seperti yang tertera di atas hanya mementingkan aspek finansial, operasional dan administrasi saja.

Padahal, ada aspek-aspek lain yang juga penting seperti keberlanjutan lingkungan dan konservasi air, yang justru dapat menjamin akses dan ketersedian air untuk masa yang akan datang, tidak menjadi hitungan. Sehingga, PDAM, apalagi jika dikelola swasta yang tujuannya adalah untuk mendapatkan profit, tidak akan mementingkan aspek-aspek tersebut. Dan mengenai kinerja dan kondisi keuangan PDAM yang buruk juga memang tidak bisa lepas dari masalah tarif yang dikenakan ke pelanggan, tidak dapat menutupi biaya-biaya yang harus dikeluarkan (tidak cost recovery). Jika memang ini masalah, memang tarif pelayanan air PDAM tersebut perlu dinaikkan sehingga dapat menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan, yang harus juga harus dibarengi dengan upaya penyehatan lain seperti mengurangi tingkat kebocoran, menanggulangi korupsi dan peningkatan efisiensi. Sehingga setiap warga dapat menikmati pelayanan air bersih dan kualitas pelayanannya dapat ditingkatkan. Dan untuk PDAM yang bermasalah tentunya, haruslah diupayakan solusi-solusi penyehatan dan perbaikan manajemen berdasarkan partisipasi publik dan perbaikan kinerja PDAM. Maka sebagai bagian dari upaya peningkatan efisiensi dan

pelayanan PDAM, harus juga didisain mekanisme partisipasi masyarakat dimana masyarakat atau pelanggan dapat ikut mengontrol kinerja PDAM tersebut. Kemudian dalam pola kemitraan publik-swasta itu sendiri, jika memang sudah terjadi atau harus terjadi, harus juga dirumuskan mengenai konsep dan mekanisme partisipasi publik yang menjamin transparansi dan akuntabilitas dari kemitraan tersebut, supaya masyarakat tidak terlalu dirugikan. Dan dengan demikian, air dan pelayanan air harus diberikan pada harga yang adil, pantas dan terjangkau. Pelayanan air bersih ini memang tidak boleh diberikan secara gratis, namun harus ada sistem subsidi bagi kaum lemah. Pengaturan mengenai sistim tarif diatur oleh regulasi pemerintah. Keempat, adalah masalah prinsip kerjasama PDAM dengan mitra-mitra asingnya dalam rangka untuk mempercepat pelayanan air minum kepada masyarakat seharusnya berpegang pada prinsip kerjasama yang saling menguntungkan (win-win solution) bagi seluruh stake holders, yakni sebagai berikut : a. Terhadap Masyarakat :

Mendapat kualitas pelayanan yang lebih baik Tarif air yang terjangkau bagi seluruh masyarakat pelanggan

b. Terhadap Karyawan PDAM :


Seharusnya tidak ada PHK (Putus Hubungan Kerja) Mendapatkan suatu kesejahteraan yang lebih baik

c. Terhadap PDAM :

Tetap Mampu membayar utang Harus memperoleh keuntungan yang layak

d. Terhadap Pemerintah Daerah (Pemda) :


Menampakkan perbaikan lingkungan hidup yang berarti Perolehan Asli Daerah (PAD) meningkat

e. Terhadap Mitra Swasta-nya :


Adanya pengembalian modal (investasi) Harus memperoleh keuntungan yang layak

Privatisasi Air Bahwa agenda privatisasi air didorong oleh lembaga keuangan (World Bank, ADB, dan IMF) di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman. Ini merupakan bagian dari kepentingan kapitalisme global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan badan penyedia air bersih (PDAM) milik pemerintah. Undang-undang Sumber Daya Air (SDA) yang baru ini merupakan bagian dari persyaratan pencairan pinjaman program WATSAL dari World Bank. World Bank

menyatakan, Manajemen Sumber Daya Air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai komoditas ekonomis dan partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya menghasilkan hasil yang effisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat investasi bagi perluasan jasa penyediaan (World Bank, 1992). Privatisasi air akan meliputi jasa penyediaan air di perkotaan, maupun pengelolaan sumber-sumber air di pedesaan oleh swasta. Bahwa selain itu juga politik ekonomi World Bank, mengatakan air yang diperoleh masyarakat saat ini masih berada dibawah harga pasar dan perlu dinaikkan. Baik World Bank dan ADB dalam Kebijakan Air-nya mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi apa yang disebut sebagai Full Cost Recovery. Secara singkat Full Cost Recovery berarti konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya. Dengan demikian privatisasi, sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air. Bahwa dengan privatisasi air maka jaminan pelayanan hak dasar bagi rakyat banyak tersebut akhirnya ditentukan oleh swasta dengan mekanisme pasar, siapa ingin membeli /siapa ingin menjual.

You might also like