You are on page 1of 8

TUGAS MATA KULIAH KEPEMIMPINAN KECERDASAN EMOSIONAL

NAMA NRP

: RIZKY ADITYA MUHAMMAD ALFATH : 1110112262

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA ANGKATAN 2011

PENGERTIAN KECERDASAN EMOSIAONAL


Emotional Intelligence/EQ (Kecerdasan Emosional) menurut Daniel Goleman, adalah kemampuan merasakan, memahami, dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh yang manusiawi. Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Howes dan Herald (1999) mengatakan, pada intinya kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Dari beberapa pendapat tersebut dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Ada tiga unsur penting kecerdasan emosional, terdiri atas kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri), kecakapan sosial (menangani suatu hubungan), dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).

Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional.


Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Daniel Goleman berpendapat bahwa IQ dan EQ merupakan dua sahabat yang saling melengkapi, namun memiliki perbedaan. IQ tidak berubah sepanjang waktu, IQ pada saat masuk sekolah sampai dengan IQ pada saat lulus tidak akan mengalami perubahan. EQ berubah sejalan dengan pengalaman dan keinginan belajar. Ibaratnya tanpa EQ, IQ hanya merupakan pengetahuan tanpa tenaga dan gairah. Menurut penelitian Daniel Goleman skor IQ rata-rata anak-anak di AS meningkat cukup significant dibandingkan sewaktu PD I. Faktor penyebabnya adalah nutrisi yang lebih baik, kesempatan menyelesaikan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, kecilnya jumlah anggota keluarga, dan semakin maraknya permainan (game) komputer yang membantu anak-anak menguasai keterampilan berwawasan (spatial skills). Namun ironisnya, dengan meningkatnya skor IQ mereka tingkat EQ (kecerdasan emosional) mereka justru menurun. Hal yang menyebabkan adalah karena anak-anak saat ini tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah dan sulit diatur, cenderung cemas, lebih impulsif, dan

agresif. Hal-hal demikian menurut Daniel Goleman berseberangan dengan dunia kerja saat ini dimana tingkat kecerdasan emosi lebih dibutuhkan dibandingkan dengan IQ. Linda Keegan (Vice President Citibank) pernah mengungkapkan bahwa, Kecerdasan emosi harus menjadi alasan mendasar dalam setiap pelatihan manajemen. Intinya adalah perusahaan-perusahaan saat ini semakin sadar bahwa dukungan untuk mengembangkan ketrampilan kecerdasan emosi karyawan merupakan hal yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan profit/bottom line perusahaan.

Dimensi kecerdasan Emosional


Menurut Daniel Goleman terdapat 5 (lima) dimensi EQ, yaitu :
Self awareness, artinya mengetahui keadaan dalam diri, hal-hal yang lebih disukai, dan intuisi. Kompentensi dalam dimensi pertama adalah mengenali emosi sendiri, mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri, dan keyakinan akan kemampuan sendiri. Self regulation, artinya mengelola keadaan dalam diri dan sumber daya diri sendiri. Kompetensi dimensi kedua ini adalah menahan emosi dan dorongan negatif, menjaga norma kejujuran dan integritas, bertanggung jawab atas kinerja pribadi, luwes terhadap perubahan, dan terbuka terhadap ide-ide serta informasi baru. Motivation, artinya dorongan yang membimbing atau membantu peraihan sasaran atau tujuan. Kompetensi dimensi ketiga adalah dorongan untuk menjadi lebih baik, menyesuaikan dengan sasaran kelompok atau organisasi, kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, dan kegigihan dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Empathy, yaitu kesadaran akan perasaan, kepentingan, dan keprihatinan orang. Dimensi ke-empat terdiri dari kompetensi understanding others, developing others, customer service, menciptakan kesempatan-kesempatan melalui pergaulan dengan berbagai macam orang, membaca hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan hubungan suatu kelompok. Social skills, artinya kemahiran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki oleh orang lain. Diantaranya adalah kemampuan persuasi, mendengar dengan terbuka dan memberi pesan yang jelas, kemampuan menyelesaikan pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan kooperasi, serta team building.

Mengembangkan Kecerdasan Emosional


Goleman menyebutkan ada lima wilayah kecerdasan emosional yang dapat dijadikan pedoman bagi seseorang untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sbb; * Mengenali emosi diri. Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan. Tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya akan berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah. * Mengelola emosi. Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan, dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, orang yang buruk kemampuannya dalam

mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri. * Memotivasi diri. Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal; (a) cara mengendalikan dorongan hati, (b) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang, (c) kekuatan berpikir positif, (d) optimisme, dan (e) keadaan flow, yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya. * Mengenali emosi orang lain. Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain. * Membina hubungan dengan orang lain. Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan seseorang dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan, seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya keterampilanketerampilan semacam inilah yang menyebabkan seseorang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan. Dengan memahami komponen-komponen emosional tersebut, diharapkan seseorang dapat menyalurkan emosinya secara proporsional dan efektif. Dengan demikian, energi yang dimiliki seseorang akan tersalurkan secara baik sehingga mengurangi hal-hal negatif yang dapat merugikan masa depan seseorang. Suharyo Chaidir , menyatakan bahwa kesuksesan penerapan dari EQ ini dapat dibedakan dalam 4 (empat) tahap sebagai berikut :
Tahap tidak sadar, artinya tidak siap sama sekali dan menyangkal bahwa perlu untuk merubah diri. Tahap kontemplasi, sadar perlu memperbaiki dan telah memikirkan caranya, namun belum siap melaksanakan. Tahap persiapan, telah memusatkan pada solusi dan secara nyata telah siap melaksanakannya. Tahap tindakan, perubahan nyata telah dimulai. Pada tahap ini telah menjalankan rencana, mulai mempraktekan tahapan-tahapannya, dan sungguh-sungguh mengubah cara bertindak mereka. Inilah yang disebut tahapan perubahan.

Salovey, seorang pakar psikologi memberikan beberapa arahan agar kita dapat mengenali dan mengembangkan kecerdasan emosi kita dengan baik, sbb: 1. Mengenali emosi diri kesadaran diri. Mengenali perasaan sewaktu perasaan yang dirasakan terjadi merupakan dasar kecerdassan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu kewaktu merupakan hal penting bagi pemahahaman diri. Ketidakmampuan mencermati perasaan kita sesungguhnya menempatkan kita dalam lingkungan perasaan. Orang yang memiliki kenyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah bagaikan seorang pilot yang canggih mampu mengenali kepekaan lebih tinggi akan keadaan emosi yang dirasakan saat itu.

2. Mengelola emosi. Menangani perasan agar dapat terungkap dengan tepat adalah kecakapan yang tergantung pada keasadaran diri. Kemampuan untuk menghibur diri, melepasakan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan, atau akibatakibat yang muncul karena kegagalan keterampilan emosional dasar ini. 3. Memotivasi diri. Penataan emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam keterkaitan memberi perhatian untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri serta mampu melakukan kreasi secara bebas. Pengendalian emosi seperti menahan diri terhadap suatu kepuasaan dan pengendalian dorongan hati sebagai landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. 4. Memahami emosi orang lain. Empati adalah kemampuan yang juga bergantung pada kesadaaran diri emosional, merupakan keterampilan bergaul/berinteraksi dengan orang lain. Jika seseorang memiliki kemampuan empati yang tinggi, situasi demikian dapat mengarahkan seseorang pada pekerjaan yang cocok untuk dirinya. 5. Membina hubungan. Keterampilan membina hubungan merupakan bagian dari keterampilan sosial, hal ini dapat menunjang seseorang dalam mengembangkan pergaulannya. 6. Berkomunikasi dengan jiwa . Tidak hanya menjadi pembicara terkadang kita harus memberikan waktu kepada lawan bicara kita untuk berbicara juga, dengan memposisikan diri kita menjadi pendengar dan penanya yang baik. Dengan demikian kita diharapkan mampu membedakan antara apa yang dilakukan atau yang dikatakan seseorang dengan reaksi atau penilaian. Ingat kita diberikan dua buah telinga dan satu mulut banyaklah mendengar sedikitlah berbicara dengan demikian kita mampu memahami apa yang diinginkan orang lain, sehingga kita mampu memposisikan diri kita pada situasi dan kondisi yang tepat.

Hubungan pemimpin dengan kecerdasan emosional


Kecerdasan emosional atau EQ yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman di sekitar pertengahan tahun 1990-an menjelaskan dalam bukunya yang bertulis kan kemampuan seseorang untuk mendeteksi dan mengelola emosi. Kecerdasan emosional ini sangat penting sekali melekat pada aspek kepemimpinan seseorang. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa kemampuan manajer dalam memahami dan mengelola emosinya dan juga emosi bawahannya maupun orang lain merupakan kunci kerberhasilan kinerja bisnisnya dalam memimpin suatu institusi. Daniel Goleman telah menulis dan menerbitkan buku berjudul Emotional Intelligence (1995) dalam Stuart Crainer dan Des Dearlove (Handbook of Management, 2001). Dia menyimpulkan bahwa kompetensi insani seseorang seperti kesadaran diri, kedisiplinan diri, ketekunan yang terus menerus, dan empati mempunyai pengaruh lebih besar ketimbang kecerdasan intelektual (IQ) terhadap kinerja institusinya. Goleman sebagai seorang psikolog mengadop pendapat Peter Salovey, seorang psikolog dari Universitas Yale, tentang arti kecerdasan emosional. Menurut Salovey, kecerdasan emosional dapat diamati dari lima perspektif yakni, pemahaman emosi diri, pengelolaan emosi, pemotivasian diri, pengenalan diri, dan membangun hubungan. Dalam bukunya yang lain berjudul Working With Emotional Intelligence,(1998), Goleman kembali menegaskan bahwa kompetensi pekerjaan yang didasarkan pada kecerdasan emosional memainkan peranan yang lebih besar ketimbang kecerdasan intelektual atau ketrampilan teknis. Menurut Goleman, ada empat level kecerdasan emosi. Level pertama adalah self awareness atau kesadaran diri. Pada tahap ini, seorang pemimpin atau pegawai dapat mengenal dan memahami emosi, kekuatan dan kelemahan, nilai-nilai serta motivasi dirinya. Pada level kedua, yaitu self management atau kelola diri Pemimpin atau pegawai tidak hanya mampu mengenal dan memahami emosinya, juga mampu mengelola, mengendalikan dan mengarahkannya. Pemimpin yang memiliki kemampuan kelola diri yang baik secara rutin melakukan evaluasi diri setelah menghadapi keberhasilan maupun kesuksesan dan mampu mempertahankan motivasi dan perilaku kerjanya untuk menghasilkan kinerja yang baik. Pada level ketiga yang disebut social awareness atau kesadaran social Pemimpin atau pegawai sudah mampu berempati, yaitu peka terhadap perasaan, pemikiran, dan situasi yang dihadapi orang lain. Kecerdasan emosi memampukan kita untuk menyadari dan memahami perasaan sendiri dan orang lain, memampukan kita menilai suatu situasi dan bertindak sesuai dengan situasi yang dihadapi.

Pada level yang keempat yaitu relationship management atau kelola hubungan Seorang Pemimpin atau pegawai mampu mengendalikan dan mengarahkan emosi orang lain. Pemimpin tersebut mampu menginspirasi orang lain,memengaruhi perasaan dan keyakinan orang lain, mengembangkan kapabilitas orang lain, mengatasi konflik, membina hubungan, dan membentuk kerja sama yang menguntungkan semua pihak. Pertanyaan yang muncul dari pendapat itu adalah apakah hal demikian berlaku untuk semua posisi pekerjaan seseorang. Hemat saya tidak demikian. Untuk para operator, ketrampilan teknis atau kecerdasan intelektual merupakan unsur kunci keberhasilanprestasinya. Pada posisi seperti itu ketrampilan teknis harus lebih besar ketimbang kemampuan manajerialnya. Bisa dibayangkan seorang pegawai teknis produksi kalau kurang mengetahui unsur teknis dan semata-mata mengandalkan pada kecerdasan manajerial yang lebih besar maka kinerjanya bukan membaik tetapi malah menurun. Namun bukan berarti kecerdasan emosi seperti motivasi dan menajemen diri tidak diperlukan. Memang seseorang akan lebih mampu lagi meningkatkan kinerjanya apabila memiliki dua jenis kecerdasan sekaligus. Istilahnya kedua dimensi kecerdasan itu bekerja bersama secara sinergis. Hal ini lebih nyata pada kemampuan seorang pimpinan.Dengan kecerdasan intelektual tertentu plus kecerdasan emosional yang lebih besar ketimbang orang lain maka kinerjanya akan lebih tinggi. Dilihat dari posisinya, semakin senior posisi seorang pimpinan semakin membutuhkan kecerdasan emosionalnya. Hal ini wajar karena salah satu tugas penting seorang pimpinan adalah dalam mengkoordinasi orang dalam mencapai visi dan tujuan bisnis tertentu. Hal ini juga dibedakan berdasarkan gaya kepemimpinannya. Sebagaimana diketahui ada beragam gaya kepemimpinan seperti yang bersifat paksaan (coercive) pada seseorang atau kelompok orang dalam setiap permintaan untuk segera dipenuhi; gaya otoritatif yang memobilisasi orang untuk mencapai visi organisasi; gaya afiliatif yang menciptakan suasana kerjasama harmonis; gaya demokratis yang membangun konsensus dengan cara partisipasi anggota-anggotanya; gaya perintis yang suka pada keunggulan dan bertindak cepat; dan gaya seorang guru yang mengembangkan kapabilitas orang. Semuanya berhubungan dengan orang. Setiap pemimpin harus mampu menerapkan gaya kepemimpinannya sesuai dengan situasi. Misalnya ketika memimpin pegawai yang masih baru, seorang pemimpin sebaiknya menerapkan kepemimpinan yang berorientasi tugas dan intensitas pemantauan produksi tinggi (jumlah, mutu, tingkat kerusakan). Jadi disini dibutuhkan kecerdasan intelektual atau teknis yang lebih besar. Sementara ketika menghadapi pegawai yang semakin senior maka gaya kepemimpinannya berorientasi pada memelihara otonomi, motivasi dan hubungan sosial. Dan disini dibutuhkan kecerdasan emosional yang lebih besar. Jadi bisa disimpulkan bahwa menganalisis hubungan keberhasilan seseorang dengan bentuk kecerdasannya harus dilihat secara proporsional. Dalam prakteknya perlu diposisikan dua kecerdasan itu dalam konteks dengan output (kinerja) dan posisi pekerjaan secara seimbang. Kecerdasan intelektual dapat dipandang sebagai syarat keutamaan. Tetapi syarat itu masih kurang dan harus ditambah dengan syarat kecukupan yakni kecerdasan emosional. Dan kecerdasan emosional seseorang itu sendiri cenderung berhubungan positif dengan faktor usianya. Semakin tua usia seseorang sampai batas tertentu semakin tinggi kecerdasan emosionalnya. Semakin besar syarat kecukupan seseorang semakin besar kemampuan untuk meningkatkan kinerjanya; pada tingkat kecerdasan intelektual dan posisi tertentu.

Hubungan kecerdasan emosional dengan manajer


Keberlangsungan sebuah organisasi sangat tergantung seorang pemimpin atau manajer yanag dapat mangatur ornganisasi tersebut. Kemantangan seorang manajer dapat didukung dengan kecerdasan emosional yang baik dari manajer itu sendiri. Dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggidari seorang manajer maka manajer tersebut mampu melakukan penilaian yang baik terhadap kinerja karyawannya. Baik tidaknya penilaian manajer terhadap karyawan berpengaruh terhadap kinerja karyawan di masa yang akan datang. Selain kecerdasan emosional yang terdiri dari kesadaran diri, kegembiraan emosional dan motivasi. Ada faktor lain yang dapat mempengaruhi kenyamanan seorang manajer dalam melakukan penilaian kinerja karyawan, faktor itu adalah efikasi diri manajer itu sendiri. Pengaruh dari empat variabel yaitu kesadaran diri, kegembiraan emosional, motivasi dan efikasi diri dapat dijadikan indikator kenyamanan seorang manajer dalam melakukan penilaian kinerja karyawan Bank Rakyat Indonesia se-Kabupaten Sragen. Penelitian ini untuk mengetahui apakah ada pangaruh signifikan antara variabel kompetensi utama kecerdasan emosional (kasadaran diri, kegembiraan emosional, motivasi) an efikasi diri terhadap kenyamanan manajer dalam melakukan penilaian kinerja karyawan Bank Rakyat Indonesia se-Kabupeten Sragen baik secara parsial maupun secara bersama-sama. Hipotesis yang didapatkan dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh signifikan antara kompetensi utama kecerdasan emosional dan efikasi diri terhadap kenyamanan manajer dalam melakukan penilaian kinerja karyawan Bank Rakyat Indonesia se-Kabupaten Sragen baik secara parsial maupun secara bersama-sama. Data diperoleh dari responden yang merupakan manajer unit Bank Rakyat Indonesia se-Kabupaten Sragen yang berjumlah 31 orang. Hubungan hubungan variabel kompetensi utama kecerdasan emosional dan efikasi diri dapat dilihat pada t hitung (2.179 (X1), 2.241 (X2), 2.439 (X3), 2.886 (X4)) > t tabel (2.056) dengan tingkat signifikan masing-masing 0.039, 0.034, 0.022, 0.008 yang < 0.05 yang artinya bahwa variabel independen secara parsial berpengaruh secara signifikan dengan melihat koefisien regresi linier yang positif, hal ini menyatakan bahwa di dalam hipotesisi pertama, kedua, ketiga dan keempat bahwa ada pengaruh signifikan antara variabel kompetensi utama kecerdasan utama emosional dan efikasi diri terhadap kenyamanan manajer dalam melakukan penilaian kinerja karyawan Bank Rakyat Indonesia terbukti. Pada F hitung sebesar 29.754 > F table 2.74 dengan taraf signifikan 0.000m< 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa ada pangaruh yang signifikan dan koefisien regresi linier yang bernilai posotif menyatakan bahwa ada pengaruh positif secara bersama-sama variable kompetensi utama kecerdasan emosional dan efikasi diri terhadap kenyamanan penilaikan kinerja karyawan Bank rakyat Indonesia se-Kabupaten Sragen, sehingga hipotesis keempat yang menyatakan ada pengaruh signifikan variable kompetensi utama kecerdasan utama dan efikasi diri secara bersama-sama terhadap kenyamanan manajer dalam melakukan penilaian kinerja karyawan Bank Rakyat Indonesia se-kabupaten dapat terbukti, koefisien adjusted R2 = 0.793 variabel kesadaran diri, kegembiraan emosional, motivasi dan efikasi diri secara bersama-sama mampu menjelaskan variable kenyamanan manajer dalam melakukan penilaian kinerja karyawan Bank Rakyat Indonesia sebesar 79,3%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh signifikan antara kesadaran diri, kegembiraan emosional, motivasi dan efikasi diri manajer terhadap kenyamanan manajer dalam melakukan penilaian kinerja karyawan Bank Rakyat Indonesia se-Kabupaten Sragen. Hal ini sebaiknya menjadi perhatian manajeman bank Rakyat Indonesia agar lebih meningkatkan potensi kesadaran diri manajer di dalam lingkungan Bank Rakyat Indonesia, mungkin dengan cara mangadakan pelatihan-pelatihan semacam ESQ.

You might also like