You are on page 1of 20

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Seiring berjalannya Reformasi di Indonesia muncul berbagai macam perubahan dalam sistem Ketatanegaraan, khususnya perubahan pada Konstitusi Negara Indonesia. Salah satu hasil dari Perubahan Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara karena semua lembaga negara didudukkan sederajat dalam mekanisme checks and balances. Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga memengaruhi negara. Perkembangan konsep trias politica juga turut perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara,

konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara yang membantu tugas lembaga-lembaga negara tersebut yang menurut Prof. Dr Jimly Asshidiqie, SH disebut sebagai Lembaga Negara Bantu dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa ahli tetap mengelompokkan lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif, namun ada pula sarjana yang menempatkannya tersendiri sebagai cabang keempat kekuasaan pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga negara bantu menjamur pascaperubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Berbagai lembaga negara bantu

tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden. Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan dengan masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi. Ke depannya, kedudukan lembaga negara bantu seperti KPK membutuhkan legitimasi hukum yang lebih kuat dan lebih tegas serta dukungan yang lebih besar dari masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi lembaga negara bantu ? 2. Apa itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ? 3. Apa tugas dan wewenang KPK sebagai salah satu lembaga negara bantu ? 4. Bagaimana kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan ?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui definisi dan pengertian lembaga negara bantu. 2. Dapat lebih mengenal lebih jauh dengan KPK. 3. Mengetahui dan memahami tugas dan wewenang KPK sebagai salah satu lembaga negara bantu di Indonesia.
4. Mengetahui dan memahami kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem

ketatanegaraan di Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN

A. DEFINISI LEMBAGA NEGARA BANTU


Kemunculan lembaga negara yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak secara jelas memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga trias politica mengalami perkembangan pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20 di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi, seperti Amerika Serikat dan Perancis. Banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga-lembaga baru tersebut, diantaranya adalah state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang apabila diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti institusi atau organ negara penunjang. Istilah lembaga negara bantu merupakan yang paling umum digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah lembaga negara penunjang atau lembaga negara independen lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. M. Laica Marzuki cenderung mempertahankan istilah state auxiliary institutions alih-alih lembaga negara bantu untuk menghindari kerancuan dengan lembaga lain yang berkedudukan di bawah lembaga negara konstitusional. Kedudukan lembaga-lembaga ini tidak berada dalam ranah cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun, tidak pula lembaga-lembaga tersebut dapat diperlakukan sebagai organisasi swasta ataupun lembaga non-pemerintah yang lebih sering disebut ornop (organisasi non-pemerintah) atau NGO non-governmental organization). Lembaga negara bantu ini sekilas memang menyerupai NGO karena berada di luar struktur pemerintahan eksekutif. Akan tetapi,keberadaannya yang bersifat publik, sumber pendanaan yang berasal dari publik, serta bertujuan untuk kepentingan publik, membuatnya tidak dapat disebut sebagai NGO dalam arti sebenarnya. Sebagian ahli tetap mengelompokkan lembaga independen semacam ini dalam lingkup kekuasaan eksekutif, namun terdapat pula

beberapa sarjana yang menempatkannya secara tersendiri sebagai cabang keempat dalam kekuasaan pemerintahan. Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur nonnegara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya. Selain itu, faktor lain yang memicu terbentuknya lembaga negara bantu adalah terdapatnya kecenderungan dalam teori administrasi kontemporer untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi bagian dari tugas lembaga independen. Berkaitan dengan sifatnya tersebut, John Alder mengklasifikasikan jenis lembaga ini menjadi dua, yaitu: (1) regulatory, yang berfungsi membuat aturan serta melakukan supervisi terhadap aktivitas hubungan yang bersifat privat; dan (2) advisory, yang berfungsi memberikan masukan atau nasihat kepada pemerintah. Lima alasan utama yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara bantu dalam suatu pemerintahan, alasan-alasan itu adalah sebagai berikut. 1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik. 2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik.

3. Perlunya

pengaturan

mengenai

profesi-profesi

yang

bersifat

independen, seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum. 4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis.
5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semiyudisial dan berfungsi

untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution / alternatif penyelesaian sengketa).

B. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)


Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada UndangUndang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK dipimpin oleh lima orang pimpinan. Yang diketuai oleh Busyro Muqoddas, yang dilantik pada Senin 20 Desember 2010.

Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Orde Lama Kabinet Djuanda Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih

yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda. Operasi Budhi Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi. Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet. Orde Baru Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai

dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru. Era Reformasi Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

Penanganan Kasus Korupsi oleh KPK 2008

16 Januari Mantan Kapolri Rusdihardjo ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua. Terlibat kasus dugaan korupsi pada pungli pada pengurusan dokumen keimigrasian saat menjabat sebagai Duta Besar RI di Malaysia. Dugan kerugian negara yang diakibatkan Rusdihardjo sebesar 6.150.051 ringgit Malaysia atau sekitar Rp15 miliar. Rusdiharjo telah di vonis pengadilan Tipikor selama 2 tahun.

14 Februari Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong di Rutan Polda Metro Jaya dan Rusli Simanjuntak ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua. Kedua petinggi BI ini ditetapkan tersangka dalam penggunaan dana YPPI sebesar Rp 100 miliar. Mantan Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro BI Rusli Simanjuntak yang masing-masing empat tahun penjara.

10 April Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah ditahan di Rutan Mabes Polri. Burhanuddin diduga telah menggunakan dana YPPI sebesar Rp 100 miliar. Burhanuddin sudah di vonis pengadilan tipikor lima tahun penjara,

27 November Aulia Pohan, besan Presiden SBY. Dia bersama tersangka lain, Maman Sumantri mendekam di ruang tahanan Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Sementara Bun Bunan Hutapea dan Aslim Tadjuddin dititipkan oleh KPK di tahanan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Mereka diduga terlibat dalam pengucuran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp100 miliar.

2 Maret Jaksa Urip Tri Gunawan ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua dan Arthalita Suryani ditahan di Rutan Pondok Bambu. Jaksa Urip tertangkap

tangan menerima 610.000 dolar AS dari Arthalita Suryani di rumah obligor BLBI Syamsul Nursalim di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan. Urip di vonis ditingkat pengadilan Tipikor dan diperkuat ditingkat kasasi di Mahkamah Agung selama 20 tahun penjara. Sedangkan Arthalita di vonis di Tipikor selama 5 tahun penjara.

12 Maret Pimpro Pengembangan Pelatihan dan Pengadaan alat pelatihan Depnakertrans Taswin Zein ditahan di Rutan Polda Metro Jaya. Taswin diduga terlibat dalam kasus penggelembungan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) Depnakertrans tahun 2004 sebesar Rp 15 miliar dan Anggaran Daftar Isian sebesar Rp 35 miliar. Taswin telah di vonis Pengadilan Tipikor selama 4 tahun penjara.

20 Maret Mantan Gubernur Riau Saleh Djasit (1998-2004) ditahan sejak 20 Maret 2008 di rutan Polda Metro Jaya. Saleh yang juga anggota DPR RI (Partai Golkar) ditetapkan sebagai tersangka sejak November 2007 dalam kasus dugaan korupsi pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran senilai Rp 15 miliar. Saleh Djasit telah di vonis Pengadilan Tipikor selama 4 tahun penjara.

10 November Mantan gubernur Jawa Barat Danny Setiawan dan Dirjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri Oentarto Sindung Mawardi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Damkar ditahan di rutan Bareskrim Mabes Polri. KPK juga menahan mantan Kepala Biro Pengendalian Program Pemprov Jabar Ijudin Budhyana dan mantan kepala perlengkapan Wahyu Kurnia. Ijudin saat ini masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Jabar. Selain itu KPK telah menahan Ismed Rusdani pada Rabu (12/12/08). Ismed yang menjabat staf biro keuangan di lingkungan Pemprov Kalimantan Timur ditahan di Rutan Polda Metro Jaya. Damkar juga menyeret Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Depok Yusuf juga ditetapkan sebagai tersangka pada Senin 22 September 2008

9 April Anggota DPR RI (PPP) Al Amin Nur Nasution dan Sekda Kabupaten Bintan Azirwan ditahan di Rutan Polda Metro Jaya, Sekda Bintan Azirwan ditahan di Rutan Polres Jakarta Selatan. Al Amin tertangkap tangan menerima suap dari Azirwan. Saat tertangkap ditemukan Rp 71juta dan 33.000 dolar Singapura. Mereka ditangkap bersama tiga orang lainnya di Hotel Ritz Carlton.

17 April Anggota DPR RI (Partai Golkar) Hamka Yamdhu dan mantan Anggota DPR RI (Partai Golkar) Anthony Zeidra Abidin. Anthony Z Abidin yang juga menjabat Wakil Gubernur Jambi ditahan di Polres Jakarta Timur, Hamka Yamdhu ditahan di Rutan Polres Jakarta Barat. Hamda dan Anthony Z Abidin diduga menerima Rp 31,5 miliar dari Bank Indonesia.

Desember 2008, menahan BUPATI Garut 2004-2009 Letkol.(Purn) H. Agus Supriadi SH, yang tersangkut penyelewangan dana bantuan bencana alam sebesar 10 milyar negara dirugikan,Bupati Agus dikenakan hukuman 15 tahun penjara dan denda 300 juta.

2006 Desember

27 Desember - Menetapkan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani H.R. sebagai tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kulu yang diperkirakan merugikan negara sebanyak Rp 15,9 miliar. Tribun Kaltim

22 Desember - Menahan Bupati Kendal Hendy Boedoro setelah menjalani pemeriksaan Hari Jumat (22/12). Hendy ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi APBD Kabupaten Kendal 2003 hingga 2005 senilai Rp 47 miliar. Selain Hendy, turut pula ditahan mantan Kepala Dinas Pengelola Keuangan Daerah Warsa Susilo. Tempo Interaktif

21 Desember - Menetapkan mantan Gubernur Kalimantan Selatan H.M. Sjachriel Darham sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penggunaan

uang taktis. Sjachriel Darham sudah lima kali diperiksa penyidik dan belum ditahan. Tempo Interaktif November

30 November - Jaksa KPK Tuntut Mulyana W. Kusumah 18 Bulan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kotak suara Pemilihan Umum 2004. Tempo Interaktif

30 November - Menahan bekas Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, Eda Makmur. Eda diduga terlibat kasus dugaan korupsi pungutan liar atau memungut tarif pengurusan dokumen keimigrasian di luar ketentuan yang merugikan negara sebesar RM 5,54 juta atau sekitar Rp 3,85 miliar. Tempo Interaktif

30 November - Menahan Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2001-2004. Rokhmin diduga terlibat korupsi dana nonbujeter di departemennya. Total dana yang dikumpulkan adalah Rp 31,7 miliar. Tempo Interaktif

September

2 September - Memeriksa Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan selama 11 jam di gedung KPK. Pemeriksaan ini terkait kasus pembelian alat berat senilai Rp 185,63 miliar oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dianggarkan pada 2003-2004. Tempo Interaktif

Juni

19 Juni - Menahan Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna A.F. setelah diperiksa KPK dalam kasus ijin pelepasan kawasan hutan seluas 147 ribu hektare untuk perkebunan kelapa sawit tanpa jaminan, dimana negara dirugikan tak kurang dari Rp 440 miliar. Tempo Interaktif

2005

Kasus penyuapan anggota KPU, Mulyana W. Kusumah kepada tim audit BPK (2005) Kasus korupsi di KPU, dengan tersangka Nazaruddin Sjamsuddin, Safder Yusacc dan Hamdani Amin (2005) Kasus penyuapan panitera PT Jakarta oleh kuasa hukum Abdullah Puteh, dengan tersangka Teuku Syaifuddin Popon, Syamsu Rizal Ramadhan, dan M. Soleh. (2005)

Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo, dengan tersangka Harini Wijoso, Sinuhadji, Pono Waluyo, Sudi Ahmad, Suhartoyo dan Triyadi

Dugaan korupsi perugian negara sebesar 32 miliar rupiah dengan tersangka Theo Toemion (2005) Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005)

2004

Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004). Sedang berjalan, dengan tersangka Ir. H. Abdullah Puteh.

Dugaan korupsi dalam pengadaan Buku dan Bacaan SD, SLTP, yang dibiayai oleh Bank Dunia (2004) Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004) Dugaan penyalahgunaan jabatan oleh Kepala Bagian Keuangan Dirjen Perhubungan Laut dalam pembelian tanah yang merugikan keuangan negara Rp10 milyar lebih. (2004). Sedang berjalan, dengan tersangka tersangka Drs. Muhammad Harun Let Let dkk.

Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui Bank BNI (2004)

Dugaan telah terjadinya TPK atas penjualan aset kredit PT PPSU oleh BPPN. (2004)

Regulasi Dasar hukum KPK

UU RI nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang

UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Peraturan Pemerintah

PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan KepalaDaerah dan Wakil Kepala Daerah

C. TUGAS DAN WEWENANG KPK BESERTA VISI DAN MISI


Tugas: 1. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 2. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 3. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; 4. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan 5. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Wewenang: 1. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; 2. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; 3. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; 4. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan 5. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Visi "Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi" Visi tersebut merupakan suatu visi yang cukup sederhana namun mengandung pengertian yang mendalam. Visi ini menunjukkan suatu tekad kuat dari KPK untuk segera dapat menuntaskan segala permasalahan yang menyangkut KKN. Pemberantasan korupsi memerlukan waktu yang tidak sedikit mengingat masalah korupsi ini tidak akan dapat ditangani secara instan, namun diperlukan suatu penanganan yang komprehensif dan sistematis.

Misi "Pendobrak dan Pendorong Indonesia yang Bebas dari Korupsi" Menjadi Pemimpin dan Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi Dengan misi tersebut diharapkan bahwa komisi ini nantinya merupakan suatu lembaga yang dapat "membudayakan" anti korupsi di masyarakat, pemerintah dan swasta di Indonesia. Komisi sadar bahwa tanpa adanya keikutsertaan komponen masyarakat, pemerintah dan swasta secara menyeluruh maka upaya untuk memberantas korupsi akan kandas ditengah jalan. Diharapkan dengan partisipasi seluruh lapisan masyarakat tersebut, dalam beberapa tahun mendatang Indonesia akan bebas dari KKN.

(Berdasar

Lampiran

Peraturan

Pimpinan

Komisi

Pemberantasan

Korupsi

No. PER-08/XII/2008 Tanggal Desember 2008)

Sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan KPK antara lain:

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK

D. KEDUDUKAN LEMBAGA NEGARA BANTU DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA


Berdirinya lembaga negara bantu merupakan perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Teori klasik trias politica sudah tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis relasi kekuasaan antarlembaga negara. Untuk menentukan institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI terlebih dahulu harus dilakukan pemilahan terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya. Pasca perubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke dalam tiga kelompok. Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas perintah UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang

(legislatively entrusted power). Dan ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah keputusan presiden. Lembaga negara pada kelompok pertama adalah lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan secara langsung oleh UUD Negara RI Tahun 1945, yaitu Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Selain delapan lembaga tersebut, masih terdapat beberapa lembaga yang juga disebut dalam UUD Negara RI Tahun 1945 namun kewenangannya tidak disebutkan secara eksplisit oleh konstitusi. Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah Kementerian Negara, Pemerintah Daerah, komisi pemilihan umum, bank sentral, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan dewan pertimbangan presiden. Satu hal yang perlu ditegaskan adalah kedelapan lembaga negara yang sumber kewenangannya berasal langsung dari konstitusi tersebut merupakan pelaksana kedaulatan rakyat dan berada dalam suasana yang setara, seimbang, serta independen satu sama lain. Berikutnya, berdasarkan catatan lembaga swadaya masyarakat Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), paling tidak terdapat sepuluh lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah undang-undang. Lembaga-lembaga tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Perlindungan Anak), Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Dewan Pers, dan Dewan Pendidikan. Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah atau berkurang mengingat lembaga negara dalam kelompok ini tidak bersifat permanen melainkan bergantung pada kebutuhan negara. Misalnya, KPK dibentuk karena dorongan kenyataan bahwa fungsi lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya, seperti kepolisian dan kejaksaan, dianggap tidak maksimal atau tidak efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Apabila kelak, korupsi dapat diberantas dengan efektif oleh kepolisian dan kejaksaan, maka keberadaan KPK dapat ditinjau kembali.

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pada garis besarnya KPK adalah lembaga Negara bantu yang dibentuk oleh pemerintah yang diberikan tugas dan wewenang khusus untuk menangani segala macam tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini. Dan pada sisi lain bertugas untuk menyelamatkan dan mengawasi keuangan Negara agar tidak disalahgunakan sehingga negara tidak dirugikan. Dan KPK menjalankan fungsinya sescara independen tanpa terpengaruh intervensi dari pihak diluar KPK. Keberhasilan KPK memerlukan dukungan seluruh masyarakat dan aparatur negara, untuk menggalakkan gerakan moral anti korupsi. KPK dengan segala kewenangan yang dimilikinya akan melakukan upaya penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi secara efektif dan berkualitas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yang sekaligus diharapkan dapat memulihkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.

SARAN
Adanya lembaga negara bantu, pastinya membantu kinerja pemerintahan yang telah terspesialisasi dalam suatu lingkup bidang tertentu. Contohnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dll. Dalam pelaksanaan kinerja komisi-komisi tersebut, hendaknya pemerintah tidak berusaha mengintervensi kinerja lembaga negara bantu tersebut. Khususnya KPK yang menangani korupsi yang terjadi di pemrintahan. Agar disini, dapat mewujudkan Indonesia yang bersih dan jujur, demi keadilan dan kepastian hukum.

You might also like